Anda di halaman 1dari 36

CASE REPORT

Congestive Heart Failure - Atrial Fibrilasi

Pembimbing :

dr. Erdiansyah Zulyadaini, Sp. JP

Dokter Pendamping:

dr. Lusi Dwiyanti

Disusun Oleh :

dr. Roaeni

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SOESELO SLAWI
KABUPATEN TEGAL
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini dengan judul
CONGESTIF HEART FAILURE-ATRIAL FIBRILASI
Penulisan laporan kasus ini adalah salah satu syarat untuk menyelesaikan Program
Internship Dokter Indonesia, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, di Rumah Sakit Umum
Daerah Soeselo Slawi, Jawa tengah
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada konsulen pembimbing,
yakni dr. Erdiansyah Zulyadaini, Sp. JP, yang telah meluangkan waktunya dan memberikan
banyak masukan dalam penyusunan makalah kasus ini sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah kasus ini, serta dokter pendamping, dr. Lusi Dwiyanti, yang telah membimbing penulis
selama mengikuti program internship ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik dari pembaca sebagai koreksi dalam
penulisan laporan kasus selanjutnya. Semoga laporan kasus ini bermanfaat. Akhir kata, penulis
mengucapkan terima kasih.

Slawi, April 2022

Penulis
dr. Roaeni
DAFTAR ISI

Halaman Judul 1

Kata Pengantar 2

Daftar Isi 3

BAB I

Latar Belakang 4

Bab II

Laporan Kasus 5

Bab III

Tinjauan Pustaka 27

Bab IV

Kesimpulan 41

Daftar Pustaka 43
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

CHF ( Congestive Heart Failure ) merupakan salah satu masalah kesehatan dalam system
kardiovaskular, yang angka kejadiannya terus meningkat. Menurut data dari WHO dilaporkan
bahwa ada sekitar 3000 warga Amerika menderita CHF. Menurut American Heart Association
(AHA ) tahun 2012 dilaporkan bahwa ada 5,7 juta penduduk Amerika Serikat yang menderita
gagal jantung. Penderita gagal jantung atau CHF di Indonesia pada tahun 2012 menurut data dari
Departemen Kesehatan mencapai 14.449 jiwa penderita yang menjalani rawat inap di rumah
sakit. Pada tahun 2012 di Jawa Tengah terdapat 520 penderita CHF dan menjalani rawat inap
Selain itu, penyakit yang paling sering memerlukan perawatan ulang di rumah sakit adalah gagal
jantung (readmission ), walaupun pengobatan dengan rawat jalan telah diberikan secara optimal.
Hal serupa juga dibenarkan oleh Rubeinstein ( 2007 ) bahwa sekitar 44 % pasien Medicare yang
dirawat dengan diagnosis CHF akan dirawat kembali pada 6 bulan kemudian.
BAB II
LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : Tn. S
Usia : 62 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Dukuhwaru RT 02/04 Kab Tegal,
Jaminan : JKN Non-PBI
Agama : Islam
Tanggal masuk RS : 22 Maret 2022
Tanggal periksa : 22 Maret 2022

II. Anamnesis (Autoanamnesis)


Keluhan Utama : sesak nafas 2 minggu,
Keluhan tambahan : batuk kadang-kadang,Lemas,pusing

Riwayat Penyakit Sekarang: (Alloanamnesis)


Pasien datang ke IGD RSUD dr. Soeselo dengan keluhan Pasien datang dengan
keluhan sesak nafas memberat sejak ± 2 minggu yang lalu. Sesak diraskan terus
menerus setiap hari dan semakin memberat. Awalnya sebelum sesak pasien diketahui
merasa lemas, pusing dan nafsu makan menurun sejak 5 hari SMRS. Keluhan sesak
dirasakan memberat saat beraktifitas dan berkurang saat istirahat.Pasien diketahui
cepat merasa lelah saat berjalan ke kamar mandi yang jaraknya sekitar 1-2 meter.
Pasien juga diketahui tidur dengan 2-3 bantal. Di malam hari pasien sering terbangun
tiba-tiba karena mengeluh sesak nafas.Batuk tidak berdahak, Sesak tidak dipengaruhi
cuaca, debu dan emosi.
Keluhan disertai batuk (+), bunyi mengi (-), nyeri dada (-). mual (+), muntah (-),
nyeri ulu hati (-), bengkak pada kaki (-/-), demam (+). BAK normal, BAB (+) nomral.
Keluhan batuk dirasakan bersamaan dengan keluhan sesak, batuk lenidr (+) berwarna
putih kekuningan, darah (-). Keluhan demam dan mual dirasakan hilang timbul dan
tidak menentu, semalam demam, besoknya tidak.
Riwayat penyakit dahulu:

● Paisen mengatakan sebelumnya pernah mengalami keluhan yang sama sejak 1


bulan yang lalu namun tidak mendapat pengobatan.
● Riwayat nyeri dada tembus hingga punnggung belakang disangkal.
● Riwayat penyakit jantung sebelumnya disangkal.
● Riwayat penyakit TBC 5 tahun lalu
● Riwayat alergi (-)
● Riwayat hipertensi (-)
● Riwayat diabetes melitus (-)

Riwayat pribadi/ kebiasaan: merokok (+), konsumsi alkohol (-)


Riwayat keluarga: tidak ada keluarga yang mengalami keluhan serupa.
Riwayat perkembangan: baik
Keadaan Lingkungan: baik
III. Pemeriksaan Umum
Keadaan / kesan umum : Tampak sesak
Kesadaran / GCS : Compos Mentis / GCS 15 (E4M6V5)
Kelainan kongenital : Tidak ada kelainan kongenital
Tinggi badan : 170 cm
Berat Badan : 50 kg
IMT : 22,5 kg/cm2
Tanda-tanda vital:
Tekanan darah : 113/89 mmHg
Nadi : 134 kali/menit: teratur, teraba penuh;
Suhu aksila : 36,4°C
Pernafasan : 28 kali/menit, teratur
Saturasi O2 : 98% nasal kanul 4 lpm

Kepala:
Kalvarium : normocephali, deformitas (-), luka (-).
Wajah : Simetris
Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-,
Hidung : simetris, deviasi septum (-)
Mulut : mukosa oral basah
Telinga : membran timpani intak +/+, sekret -/-
Leher:
JVP : 5±2 cmH2O
A. Karotis : pulsasi teraba teratur, kuat, penuh
Kel. Tiroid : tidak ada pembesaran
Trakea : terletak di tengah
Kelenjar/benjolan : tidak teraba pembesaran KGB/benjolan lainnya
Thoraks:
Paru :
Inspeksi : gerak nafas tampak simetris
Palpasi : gerak nafas teraba simetris
Perkusi : sonor +/+
Auskultasi : vesicular +/+, rhonki +/+, wheezing -/-
Jantung :
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : ictus cordis teraba di ICS V linea axilaris anterior
Perkusi : Batas atas : linea parasternal sinistra ICS III
Batas kanan : linea parasternal dextra ICS IV
Batas kiri : linea axillaris anterior sinistra ICS V
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II ireguler, gallop (+), murmur (+)
Abdomen :
Inspeksi : tampak buncit, tidak ada caput medusae / spider naevi
Auskultasi : BU (+) 4x/menit
Palpasi : nyeri tekan (-)
Hepar : tidak ada pembesaran
Lien : tidak ada pembesaran
Vesika urinaria : tidak ada pembesaran
Perkusi : timpani
Genitalia eksterna : tidak diperiksa
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2s, edema -/-/-/-
Kolumna vertebralis : dalam batas normal
Gerak leher / tubuh : dalam batas normal

Resume Medis
Pasien datang ke IGD RSUD dr. Soeselo dengan keluhan sesak nafas 2 minggu
sebelum masuk rumah sakit, sesak dirasakan saat berbaring dan beraktivitas dan
berkurang dengan isthirahat. Batuk tidak berdahak (+), Udem tungkai (-), Mual (+),
muntah (-), nafsu makan berkurang, nyeri dada (-).pusing (+) dan lemas (+)

Pada pemeriksaan fisik umum pasien tampak sakit sedang, kesadaran Compos
Mentis, kooperatif, tanda-tanda vital tekanan darah 113/89 mmHg, nadi 134
kali/menit, teratur, teraba penuh, suhu aksila 36,4 °C, pernafasan 24 kali/menit,
teratur, saturasi O2 92% room air, 98% nasal kanul 4 LPM. Pemeriksaan lain Pada
leher Jugular Venous Pressure (JVP) meningkat (5+2) cmH20. Pada toraks
didapatkan adanya ronki kedua lapang paru. Pada pemeriksaan jantung iktus kordis
terlihat dan teraba di intercostal space (ICS) V dua jari lateral dari linea midklavikula
sinistra, di auskultasi irama ireguler, murmur (+), suara gallop (+).

DIAGNOSIS : Congestif Heart Failure- Atrial Fibrilasi


Pemeriksaan penunjang yang dilakukan:
● Pemeriksaan darah lengkap, Golongan darah, Rhesus Factor, Ureum, Creatinin, SGOT,
SGPT,
● Foto Thorax AP
● EKG
Saran pemeriksaan penunjang:
● Echocardiografi
Assessment:
Tn. S, 62 tahun, dengan Congestif Heart Failure

Tatalaksana IGD:
- O2 Nasal Kanul 4 lpm
- Inf RL 12 tpm
- Inj Furosemid 2x 1amp
- Inj Pantoprazol 2 x 40 mg
- PO Digoxin 2 x ½ tab
Konsul dr. Erdiansyah, Sp. JP:
- kirim bangsal

Prognosis:
● Quo ad vitam : dubia ad bonam
● Quo ad functionam : dubia ad bonam
● Quo ad sanationam : dubia ad bonam
Hasil Rontgen Thorax (22 Maret 2022)cc
Cor: apeks jantung bergeser ke laterokaudal
Pulmo: Tampak gambaran infiltrat di kedua lapang paru, corakan bronkovaskuler meningkat
Sinus costophrenicus kanan lancip
Hemidiafragma kanan kiri normal
Trachea ditengah
Sistem tulang baik
Kesan :
Gambaran bronkopneumonia, ditemukan kardiomegali

Hasil EKG (22 Maret 2022) di IGD:


Kesan: Heart rate 134 kali/menit dengan irama sinus, interval pr 0,15 s dan interval qt 0,35 s,
axis normal 650 , terdapat pada lead V4 – V5

Kesan: Atrial Fibrilasi

Pemeriksaan Laboratorium di RS Soeselo (7 Maret 2022)


Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Hemoglobin 15,3 g/dL 13,2 – 17,3 g/dL
Hematokrit 42% 40-52 %
Leukosit 13.500 /uL (H) 3.800 – 10.600 /uL
Eritrosit 5.300.000 /uL 4.400.000 – 5.900.000 /uL
Trombosit 403.000 /uL (H) 150.000 – 400.000 /uL
MCV 80 fl 80 – 100 fl
MCH 29 pg 26 – 34 pg
MCHC 36 g/dL 32 – 36 g/dL
Diff. Count
Eosinofil 2.20 2.00 – 4.00%
Basofil 0,30 0 – 1%
Neutrofil 59.50 50-70%
Limfosit 36,50 25-40%
Monosit 7.50 2-8%
Netrofil Limfosit Ratio 1.47 <3.13
Kimia Darah
Ureum 27,4 mg/dL 17,1 – 42,8 mg/dL
Kreatinin 0,95 mg/dL 0,40 – 1,00 mg/dL
SGOT 20 U/L 12 – 33 U/L
SGPT 27 U/L 6.0 – 30.0 U/L
Troponin I 3,4 mg/dL (H) 0,0 – 0,4 mg/dL
Elektrolit
Kalium 2,89 mmol/L (L) 3,5 – 5,0 mmol/L
Natrium 140,2 mmol/L 135,0 – 147,0 mmol/L
Klorida 104,0 mmol/L 95,0 – 105,0 mmol/l
Kalsium 1,14 mmol/L 1,13 – 1,22 mmol/L

FOLLOW UP HARI KE 2
Nama : Tn. S Tekanan Darah : 138/101 mmHg
Kamar : ICU HR : 98 kali/menit
Usia : 46 tahun RR : 22 kali/menit; Suhu: 36,6oC
Tgl Follow Up : 8 Maret 2022 SpO2 : 98%
S/Permasalahan/Keluhan hari ini : Nyeri dada masih ada, sesak disangkal, pusing sesekali masih
ada
O/Kesadaran : CM; GCS : E4M6V5 A/ Diagnosis
Tn. S, 46 tahun, dengan STEMI Anterior dan
hipertensi esensial grade I
Lab dan penunjang: T/
Gula darah puasa 110 mg/dL - Lanjut program SP NTG 0,5 cc / jam
Gula darah 2 jam PP 117 mg/dL murni
Asam Urat 5,5 mg/dL - Evaluasi EKG harian berkala
Kolesterol total 191 mg/dL
HDL kolesterol 35,1 mg/dL
LDL kolesterol 114,1 mg/dL
Trigliserida 133 mg/dL
EKG:
Pembacaan: Heart rate 100 kali/menit dengan
irama sinus, interval pr 0,15 s dan interval qt
0,35 s, axis normal 650, tidak tampak terdapat
elevasi segmen ST

Kesan: STEMI Anterior perbaikan

FOLLOW UP HARI KE 3
Nama : Tn. S Tekanan Darah : 140/98 mmHg
Kamar : Cempaka HR : 107 kali/menit
Usia : 46 tahun RR : 22 kali/menit; Suhu: 36,7oC
Tgl Follow Up : 9 Maret 2022 SpO2 : 98%
S/Permasalahan/Keluhan hari ini : Nyeri dada membaik, sesak disangkal, pusing / mual
disangkal
O/Kesadaran : CM; GCS : E4M6V5 A/ Diagnosis
Tn. S, 46 tahun, dengan STEMI Anterior dan
hipertensi esensial grade I
Lab dan penunjang: T/
- Inj Furosemide extra 1 ampul lanjut 1-
0-0 IV
- Bisoprolol 2,5 mg 1 – 0 – 0
- Captopril 3 x 12,5 mg PO
- Acc pindah bangsal Cempaka

EKG
Pembacaan: Heart rate 100 kali/menit
dengan irama sinus, interval pr 0,15 s
dan interval qt 0,35 s, axis normal 650 ,
terdapat elevasi segmen ST pada lead V3
– V4

Kesan: STEMI anterior perbaikan,

FOLLOW UP HARI KE 4
Nama : Tn. S Tekanan Darah : 127/89 mmHg
Kamar : Cempaka HR : 89 kali/menit
Usia : 46 tahun RR : 22 kali/menit; Suhu: 36,7oC
Tgl Follow Up : 10 Maret 2022 SpO2 : 99%
S/Permasalahan/Keluhan hari ini : Pasien tidak merasa nyeri dada, sesak disangkal
O/Kesadaran : CM; GCS : E4M6V5 A/ Diagnosis
Tn. S, 46 tahun, dengan STEMI Anterior dan
hipertensi esensial grade I
Lab dan penunjang: T/
- Tidak ada pemeriksaan penunjang - Tx lanjut
yang dilakukan - Plan Echo (11 Maret 2022)

EKG

Pembacaan :
Heart rate 100 kali/menit dengan irama sinus, interval pr 0,15 s dan interval qt 0,35 s, axis
normal 650 , terdapat penurunan elevasi segmen ST pada lead V4 – V5

Kesan: STEMI anterior perbaikan

FOLLOW UP HARI KE 5
Nama : Tn. S Tekanan Darah : 112/86 mmHg
Kamar : Cempaka HR : 88 kali/menit
Usia : 46 tahun RR : 22 kali/menit; Suhu: 36,7oC
Tgl Follow Up : 11 Maret 2022 SpO2 : 99%
S/Permasalahan/Keluhan hari ini : Pasien tidak memiliki keluhan
O/Kesadaran : CM; GCS : E4M6V5 A/ Diagnosis
Tn. S, 46 tahun, dengan STEMI Anterior dan
hipertensi esensial grade I
Lab dan penunjang: T/
- Echo: - Rencana pulang pasca Lovenox
- Dimensi ruang jantung normal - Terapi pulang:
- Fungsi sistolik global LV normal - Furosemide PO 1 x
dengan EF 64% - Candesartan 1 x 8 mg
- Gangguan kinetik segmental ringan - Bisoprolol 1 x 2,5 mg
- Disfungsi diastolik tipe I - Atorvastatin 1 x 20 mg
- Fungsi sistolik RV normal - Miniaspi 1 x 80 mg
- Katup normal - Clopidogrel 1 x 75 mg
a. - Nitrokaf 2 x 2,5 mg
- Codein 1 x 10 mg
- KSR 2 x 1 tablet

EKG
Pembacaan:
Heart rate 75 kali/menit dengan irama sinus, interval pr 0,15 s dan interval qt 0,35 s, axis normal
650 , tidak terdapat elevasi segmen ST

Kesan: STEMI anterior perbaikan

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi

2.12. Penyakit Jantung Koroner


2.2.1.1. Definisi dan Klasifikasi
Penyakit jantung koroner adalah kumpulan penyakit yang ditandai oleh adanya
infark pada jaringan jantung, infark merupakan kondisi kematian jaringan akibat
kurangnya suplai oksigen ke jaringan tersebut. Kondisi ini umumnya terjadi secara
mendadak yang dapat terjadi akibat kerusakan atau sumbatan pada arteri yang
memperfusi otot jantung tersebut.
PJK umumnya dibagi menjadi tiga kelompok besar yaitu STEMI, NSTEMI, dan
UAP yang dibedakan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang
● Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST)/STEMI:
o Merupakan kejadian adanya sumbatan pada pembuluh darah koroner
o Memerlukan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah
dan reperfusi miokard secepatnya; hal ini dapat dilakukan dengan du acara
yaitu reperfusi menggunakan metode mekanik yaitu tindakan PCI atau
secara medis menggunakan terapi fibrinolitik
o Diagnosis ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut menetap
disertai pembacaan EKG dengan unsur elevasi segmen ST yang persisten
di 2 sadapan yang bersebelahan.
o Tata laksana revaskularisasi bersifat segera sehingga tidak perlu
menunggu konfirmasi pemeriksaan marker jantung
● Infark miokard akut non-elevasi segmen ST (IMA-NEST)/NSTEMI; dan
● Angina pektoris tidak stabil (APTS)/UAP:
o Diagnosis N-STEMI dan UAP ditegakkan jika terdapat keluhan angina
pektoris akut tanpa gambaran EKG elevasi segmen ST yang menetap di .2
sadapan yang bersebelahan.
o Gambaran rekaman EKG yang ditemukan dapat berupa depresi segmen
ST, inversi gelombang T, gelombang T yang datar, gelombang T pseudo-
normalisasi, atau bahkan tanpa perubahan EKG sehingga kadang
diperlukan pemeriksaan tambahan untuk menegakkan diagnosis.
o Pemeriksaan biomarker jantung merupakan alat diagnostic untuk
membedakan NSTEMI dan UAP. Biomarka jantung yang lazim
digunakan adalah high sensitivity troponin, troponin, atau CK-MB.
o Bila hasil pemeriksaan biokimia biomarka jantung terjadi peningkatan
bermakna, maka diagnosisnya infark miokard akut tanpa elevasi
segmen ST (NSTEMI), jika biomarka jantung tidak meningkat secara
bermakna maka diagnosisnya UAP.
o Pada sindroma koroner akut, nilai ambang untuk peningkatan biomarka
jantung yang abnormal adalah beberapa unit melebihi nilai normal atas
(upper limits of normal/ULN).

2.1.2. Epidemiologi
2.12.3. Patofisiologi8
Proses terjadinya PJK adalah adanya manifestasi akut dari rupturnya plak ateroma
akibat perubahan komposisi plak dan penipisan pelindung fibrosa yang menutupi plak
tersebut, hal ini memicu terjadinya proses agregasi trombosit dan aktivasi jalur koagulasi
sehingga membentuk thrombus yang tinggi kandungan trombosit (white thrombus).
Trombus yang terbentuk oleh proses ini akan menyumbat pembuluh darah koroner baik
secara total maupun parsial terkadang juga dapat menimbulkan mikroemboli yang
menyumbat bagian distal dari pembuluh darah koroner. Hal ini juga diperparah dengan
pelepasan zat vasoaktif oleh tubuh yang menyebabkan vasokonstriksi sehingga
menurunkan perfusi pada otot jantung yang mendapatkan suplai pembuluh darah koroner,
fenomena terhentinya suplai aliran darah menyebabkan terjadinya iskemia miokardium
yang memiliki manifestasi terjadinya angina (nyeri dada), dengan kejadian infark yang
berlangsung > 20 menit dapat menyebabkan adanya nekrosis atau infark miokard.
PJK sendiri tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah koroner,
misalnya dapat terjadi sumbatan subtotal dengan vasokonstriksi dinamis yang
menimbulkan iskemia dan infark miokard. Iskemia sendiri menyebabkan terjadinya
gangguan kontraktilitas miokard serta disritmia dan perubahan bentuk dan fungsi
ventrikel (ventricular remodelling).

2.12.4. Manifestasi klinis 8,9


Gejala yang khas dari PJK adalah munculnya keluhan nyeri dalam dada (nyeri
substernal) yang umumnya dideskripsikan seperti ditindih benda berat. Nyeri umumnya
berlangsung lebih dari 5 menit, tidak membaik dengan istirahat serta menjalar ke rahang,
punggung, atau tangan kiri. Gejala penyerta yang umumnya sering dijumpai adalah
adanya diaphoresis (keringat dingin), sensasi sesak nafas, pusing, mual, dan nyeri ulu
hati.
Berbeda dengan penyakit jantung lainnya, pemeriksaan fisik PJK pada umumnya
tidak memberikan temuan yang spesifik selain keadaan pasien yang tampak gelisah atau
adanya temuan yang mendukung keluhan penyerta PJK. Auskultasi bunyi jantung
umumnya normal walaupun gallop dan murmur kadang dapat terdengar saat
pemeriksaan. Pemeriksaan fisik pada bagian tubuh lain umumnya tidak memberikan
temuan spesifik kecuali pada pasien PJK dengan komorbiditas, sehingga peran
pemeriksaan fisik pada PJK bukan sebagai komponen penentu diagnosis melainkan
sebagai komponen untuk mengeksklusi kondisi lain yang terjadi dikarenakan PJK
merupakan kondisi dengan keluhan yang tidak spesifik.
2.12.5. Diagnosis
Diagnosis PJK ditegakkan melalui pemeriksaan penunjang menggunakan EKG
yang membedakan STEMI, N-STEMI, dan Angina tidak Stabil. EKG umumnya
dilakukan segera setelah pasien melaporkan keluhan yang mengarah ke diagnosis PJK.
Selain sadapan standar, untuk menegakkan diagnosis PJK juga sebaiknya dilakukan
sadapan tambahan sadapan pada beberapa titik yaitu V3-4R (punggung kanan) dan V7-9
(punggung belakang) untuk membantu memperkirakan sebaran jaringan yang
mengalaami infark. Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan PJK
dapat bervariasi, yaitu: gambaran normal, non-diagnostik (umumnya mengarah ke
Angina tidak stabil/UAP), left bundle branch block (LBBB) baru/persangkaan baru,
elevasi segmen ST yang persisten (≥20 menit) maupun tidak persisten (gambaran
STEMI) , atau depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T (gambaran N-
STEMI).
Selain pemeriksaan EKG, pemeriksaan lain yang dapat dilakukan untuk
menegakkan diagnosis PJK adalah pemeriksaan biomarker jantung yang meliputi
beberapa komponen yaitu kreatinin kinase-MB (CKMB) dan Troponin I/T yang
merupakan penanda terjadinya infark pada jaringan jantung. Peningkatan
biomarka jantung hanya menunjukkan adanya nekrosis miosit, namun tidak dapat
dipakai untuk menentukan penyebab nekrosis miosit tersebut (penyebab koroner
atau non-koroner). Troponin I/T juga dapat meningkat akibat kelainan kardiak
non-koroner seperti takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung, hipertrofi ventrikel
kiri, miokarditis/perikarditis. Keadaan non-kardiak yang dapat meningkatkan
kadar troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal napas, penyakit neurologik
akut, emboli paru, hipertensi pulmoner, kemoterapi, dan insufisiensi ginjal. Pada
dasarnya troponin T dan troponin I memberikan informasi yang seimbang
terhadap terjadinya nekrosis miosit, kecuali pada keadaan disfungsi ginjal. Pada
keadaan ini, troponin I mempunyai spesivisitas yang lebih tinggi dari troponin T.
Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau troponin I/T
menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan SKA, sehingga
pemeriksaan hendaknya diulang 8-12 jam setelah awitan angina. Jika awitan SKA
tidak dapat ditentukan dengan jelas, maka pemeriksaan hendaknya diulang 6-12
jam setelah pemeriksaan pertama. Kadar CK-MB yang meningkat dapat dijumpai
pada seseorang dengan kerusakan otot skeletal (menyebabkan spesivisitas lebih
rendah) dengan waktu paruh yang singkat (48 jam). Mengingat waktu paruh yang
singkat, CK-MB lebih terpilih untuk mendiagnosis ekstensi infark (infark
berulang) maupun infark periprosedural.
Pemeriksaan biomarka jantung sebaiknya dilakukan di laboratorium
sentral. Pemeriksaan di ruang darurat atau ruang rawat intensif jantung (point of
care testing) pada umumnya berupa tes kualitatif atau semikuantitatif, lebih cepat
(15-20 menit) tetapi kurang sensitif. Point of care testing sebagai alat diagnostik
rutin SKA hanya dianjurkan jika waktu pemeriksaan di laboratorium sentral
memerlukan waktu >1 jam. Jika biomarka jantung secara point of care testing
menunjukkan hasil negatif maka pemeriksaan harus diulang di laboratorium
sentral.

2.1.6. Tatalaksana 2.2.7. Tatalaksana8


Dikarenakan PJK merupakan kondisi yang sifatnya darurat dan membutuhkan
penanganan segera maka dokter perlu segera menetapkan diagnosis kerja yang akan
menjadi dasar strategi penanganan selanjutnya. Yang dimaksud dengan terapi awal
adalah terapi yang diberikan kepada pasien dengan diagnosis kerja Kemungkinan SKA
atau SKA atas dasar keluhan angina di ruang gawat darurat, sebelum ada hasil
pemeriksaan EKG dan/atau biomarka jantung. Terapi awal yang dimaksud adalah
Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspirin (disingkat MONA), yang tidak harus diberikan semua
atau bersamaan.
a) Tirah baring (Kelas I-C)
b) Pada semua pasien IMA-EST direkomendasikan untuk mengukur saturasi oksigen
perifer (Kelas I-C)
a. Oksigen diindikasikan pada pasien dengan hipoksemia (SaO2 < 90% atau
PaO2 <60 mmHg) (Kelas I-C).
b. Oksigen rutin tidak direkomendasikan pada pasien dengan SaO 2 ≥ 90%
(Kelas III).
c) Aspirin 160-320 mg diberikan segera kepada semua pasien yang tidak diketahui
intoleransinya terhadap aspirin (Kelas I-A). Aspirin tidak bersalut lebih terpilih
mengingat absorpsi sublingual (dibawah lidah) yang lebih cepat (Kelas I-C).
d) Penghambat reseptor adenosin difosfat (ADP)
a. Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan dengan
dosis pemeliharaan 2 x 90mg/hari kecuali pada pasien IMA-EST yang
direncanakan untuk reperfusi menggunakan agen fibrinolitik (Kelas I-B)
atau
b. Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 75 mg/hari (pada pasien yang direncanakan untuk terapi
reperfusi menggunakan agen fibrinolitik, penghambat reseptor ADP yang
dianjurkan adalah clopidogrel) (Kelas I-C).
e) Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual untuk pasien dengan nyeri dada yang
masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat (Kelas I-C). Jika nyeri dada
tidak hilang dengan 1 kali pemberian, dapat diulang setiap 5 menit sampai
maksimal 3 kali. Nitrogliserin intravena diberikan kepada pasien yang tidak
responsif dengan terapi 3 dosis NTG sublingual (Kelas I-C). Dalam keadaan tidak
tersedia NTG, isosorbid dinitrat (ISDN) dapat dipakai sebagai pengganti.
f) Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi pasien
yang tidak responsif dengan terapi 3 dosis NTG sublingual (Kelas IIa-C).

Pada kasus ini, karena diagnosis pasien adalah STEMI maka tatalaksana kondisi ini
memiliki beberapa tahapan yang dimulai dari awal keluhan pasien yaitu:
Saat pasien datang dengan keluhan awal Diagnosis kerja infark miokard harus
telah dibuat berdasarkan riwayat nyeri dada yang berlangsung selama 20 menit atau lebih,
yang tidak membaik dengan pemberian nitrogliserin. Adanya riwayat PJK dan penjalaran
nyeri ke leher, rahang bawah, atau lengan kanan memperkuat dugaan ini. Pengawasan
EKG perlu dilakukan pada setiap pasien dengan dugaan IMA-EST. Diagnosis IMA-EST
perlu dibuat sesegera mungkin melalui perekaman dan interpretasi EKG 12 sadapan,
selambat-lambatnya 10 menit dari saat pasien tiba untuk mendukung keberhasilan tata
laksana. Gambaran EKG yang atipikal pada pasien dengan tanda dan gejala iskemia
miokard yang sedang berlangsung menunjukkan perlunya tindakan segera.
Sebisa mungkin, penanganan pasien IMA-EST sebelum di rumah sakit dibuat
berdasarkan jaringan layanan regional yang dirancang untuk memberikan terapi reperfusi
secepatnya secara efektif, dan bila fasilitas memadai sebanyak mungkin pasien dilakukan
IKP. Pusat-pusat kesehatan yang mampu memberikan pelayanan IKP primer harus dapat
memberikan pelayanan setiap saat (24 jam selama 7 hari) serta dapat memulai IKP primer
sesegera mungkin <90 menit sejak panggilan awal.
Semua rumah sakit dan Sistem Emergensi Medis yang terlibat dalam penanganan
pasien IMA-EST harus mencatat dan mengawasi segala penundaan yang terjadi dan
berusaha untuk mencapai dan mempertahankan target kualitas berikut ini:
1. Waktu dari kontak medis pertama hingga perekaman EKG pertama ≤ 10
menit
2. Waktu dari kontak medis pertama hingga pemberian terapi reperfusi:
a. Untuk fibrinolisis ≤ 30 menit
b. Untuk IKP primer ≤ 90 menit di faskes dengan kemampuan fasilitas IKP
primer (kurang dari 120 menit bila pasien perlu ditransfer ke faskes yang melakukan IKP
primer).
a. Strategi Reperfusi
Jika strategi reperfusi yang dipilih adalah fibrinolitik, maka terapi fibrinolitik
sebaiknya dimulai dalam waktu 10 menit dari diagnosis IMA-EST. Diagnosis IMA-EST
harus ditegakkan dalam waktu 10 menit dari KMP. Waktu absolut dari diagnosis IMA-EST
ke reperfusi IKP (wire crossing pada IRA) adalah 120 menit. Jika diperkirakan lebih dari
120 menit, maka fibrinolitik menjadi pilihan.
Untuk mempersingkat waktu iskemia, jika memungkinkan, fibrinolitik dapat
dipertimbangkan sebelum pasien tiba di RS. Setelah pemberian fibrinolitik, pasien dirujuk
ke RS dengan fasilitas IKP. Jika fibrinolitik gagal (resolusi segmen ST <50% dalam waktu
60-90 menit setelah pemberian fibrinolitik), atau terjadi ketidakstabilan
hemodinamik/elektrolit, perburukan iskemia, atau nyeri dada persisten, merupakan
keadaan dengan indikasi untuk dilakukan IKP rescue. Angiografi koroner rutin
direkomendasikan setelah fibrinolitik berhasil. Pasien dengan presentasi klinis IMA dan
EKG dengan segmen ST yang tidak dapat diinterpretasikan (seperti pada blok bundle
branch atau ventricular pacing), harus menjalani IKP primer.
IKP primer juga harus dikerjakan pada pasien dengan gejala yang berlangsung >12 jam
disertai:
1. EKG yang menunjukkan iskemia sedang berlangsung
2. Nyeri sedang berlangsung/rekuren dan perubahan EKG yang dinamis
3. Nyeri sedang berlangsung/rekuren, gejala dan tanda gagal jantung, syok, atau
aritmia maligna.
*jika fibrinolitik merupakan kontraindikasi, langsung lakukan IKP primer tanpa
menghiraukan waktu.
**keterlambatan target maksimal dari diagnosis IMA-EST ke pemberian fibrinolitik
dimulai dalam 10 menit, namun harus diberikan segera setelah diagnosis IMA-EST
ditegakkan (setelah menyingkirkan kontraindikasi).
b. Intervensi Koroner Perkutan Primer
Intervensi koroner perkutan (IKP) primer merupakan IKP emergensi dengan balloon, stent,
atau alat lainnya, yang dikerjakan pada arteri yang infark (infarct-related artery/IRA)
tanpa terapi fibrinolitik sebelumnya. IKP primer adalah terapi reperfusi pilihan apabila
dilakukan oleh tim yang berpengalaman dalam waktu 120 menit dari KMP. IKP primer
diindikasikan untuk pasien dengan gagal jantung akut yang berat atau syok kardiogenik,
kecuali bila diperkirakan bahwa pemberian IKP akan tertunda lama dan bila pasien datang
dengan awitan gejala yang telah lama. Tidak disarankan untuk melakukan IKP secara rutin
pada arteri yang telah tersumbat total lebih dari 24 jam setelah awitan gejala pada pasien
stabil tanpa gejala iskemia, baik yang telah maupun belum diberikan fibrinolitik. Bila
pasien tidak memiliki kontraindikasi terhadap terapi antiplatelet ganda (dual antiplatelet
therapy/DAPT) dan kemungkinan dapat patuh terhadap pengobatan, lebih disarankan
drug-eluting stents (DES) dari pada bare metal stents (BMS).
c. Terapi Fibrinolitik
Fibrinolitik merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama di layanan medis yang
tidak dapat melakukan IKP pada pasien IMA-EST dalam waktu yang disarankan. Terapi
fibrinolitik direkomendasikan diberikan dalam 12 jam sejak awitan gejala pada pasien-
pasien tanpa kontraindikasi apabila IKP primer tidak bisa dilakukan oleh tim yang
berpengalaman dalam 120 menit sejak kontak medis pertama (Kelas I-A). Pada pasien-
pasien yang datang segera (<2 jam sejak awitan gejala) dengan infark yang besar dan risiko
perdarahan rendah, fibrinolitik perlu dipertimbangkan bila waktu antara KMP dengan
inflasi balon lebih dari 90 menit (Kelas IIa-B). Fibrinolitik harus dimulai di ruang gawat
darurat.
Agen yang spesifik terhadap fibrin (tenecteplase, alteplase, reteplase) lebih disarankan
dibandingkan agen-agen yang tidak spesifik terhadap fibrin (streptokinase). Harus
diberikan aspirin oral. Clopidogrel diindikasikan diberikan sebagai tambahan untuk aspirin.
Antikoagulan direkomendasikan pada pasien-pasien IMA-EST yang diobati dengan
fibrinolitik sampai revaskularisasi (bila dilakukan) atau selama dirawat di rumah sakit
hingga 5 hari (Kelas I-A). Antikoagulan yang digunakan dapat berupa:
1. Enoxaparin subkutan (lebih disarankan dibandingkan heparin tidak terfraksi)
(Kelas I-A).
2. Heparin tidak terfraksi diberikan secara bolus intravena sesuai berat badan dan
infus selama 3 hari (Kelas I-C).
3. Pada pasien-pasien yang mendapatkan streptokinase, fondaparinux intravena
secara bolus dilanjutkan dengan dosis subkutan 24 jam kemudian (Kelas IIa-B).
-

2.1.8. Prognosis 2.2.8. Prognosis


BAB III

KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman Tatalaksana Sindrom


Koroner Akut. 4th ed. Jakarta, Indonesia: Jurnal Kardiologi Indonesia; 2018.

2. Jameson JL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Loscalzo J. Harrison’s Principles
of Internal Medicine 19th Edition and Harrison’s Manual of Medicine 19th Edition.
McGraw-Hill Education; 2017.

3. Lilly LS, School HM. Pathophysiology of Heart Disease: A Collaborative Project of Medical
Students and Faculty. Wolters Kluwer; 2016.

Anda mungkin juga menyukai