Anda di halaman 1dari 23

REFLEKSI KASUS MARET 2020

“KEJANG NEONATUS”

Nama : Isra Nofitri


No. Stambuk : N 111 19 072
Pembimbing : dr. Haryanty Kartini Huntoyungo,
M.Biomed, Sp.A

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA
PALU
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Isra Nofitri

No. Stambuk : N 111 19 072

Fakultas : Kedokteran

Program Studi : Profesi Dokter

Universitas : Tadulako

Bagian : Ilmu Kesehatan Anak

Judul Refleksi Kasus : Kejang Neonatus

Bagian Ilmu Kesehatan Anak


RSUD UNDATA
Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako

Palu, Maret 2020

Mengetahui,

Pembimbing Klinik Dokter Muda

dr. Haryanty K. Huntoyungo, M.Biomed, Sp.A Isra Nofitri


NIP.198304212010012012 N 111 19 072
STATUS PASIEN
Identitas Pasien
Nama : An. P.S
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : 27 Februari 2020
Agama : Hindu
Alamat : Dusun Mekar Jaya, Kec. Bukal, Kab.Buol
Tanggal Masuk : 27 Februari 2020

A. Anamnesis
Keluhan Utama :
Kejang

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien masuk rumah sakit diruangan peristi pukul 06:25 dengan
keluhan Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) disertai dengan asfiksia sedang.
Pada hari ke tiga perawatan pasien mengalami kejang yang berulang kurang
lebih selama 4 jam

Riwayat Penyakit Dahulu


Tidak ada riwayat penyakit dahulu.

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada riwayat penyakit keluarga.

Riwayat Kehamilan dan Persalinan


Pasien merupakan anak dari ibu dengan riwayat G1P1A0. Selama
kehamilan, ibu rutin melakukan ANC di Bidan PKM setempat. Tidak ada
kelainan ditemukan selama kehamilan dan Ibu tidak pernah mengalami sakit
maupun konsumsi obat-obatan tertentu selama kehamilan. Ibu partus secara
normal dan tidak cukup bulan. Berat badan lahir 1.690 gram dengan panjang
badan lahir 39 cm.

Riwayat Imunisasi
Pasien baru mendapatkan imunisasi HB-0 pada saat baru lahir.
Sementara imunisasi polio, BCG, DPT-HB dan campak belum didapatkan.
B. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Lemah
Kesadaran : Compos mentis
Antropometri
BB : 1690 gram
PB : 39 cm
LLA : 7,5 cm
LK : 28
LD : 27
LP : 25
TTV
DJ : 152 x/menit
RR : 56 x/menit
SB : 36,70C
a. Kepala dan Leher
1. Wajah : Simetris
2. Bentuk : Normocephal
3. Mata : Edema palpebral (-/-), konjungtiva anemis (-/-)
4. Sclera : Ikterik (-/-)
5. Telinga : Otorrhea (-/-)
6. Hidung : Rhinorrhea (-/-)
7. Mulut : Bibir kering (+)
8. Kelenjar : Pembesaran kelenjar getah bening (-)

b. Paru-paru
- Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris bilateral
- Palpasi : Vokal fremitus (+) normal kiri dan kanan
- Perkusi : Sonor (+) diseluruh lapang paru
- Auskultasi : Bronchovesiculer (-/-), Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)

c. Jantung
- Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
- Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
- Perkusi : Batas atas jantung SIC II, batas kanan jantung SIC V linea
parasternal dextra, batas kiri jantung SIC V linea axilla
anterior.
- Auskultasi : Bunyi jantung I/II murni regular, murmur (-)

d. Abdomen
- Inspeksi : Permukaan kesan datar
- Auskultasi : Peristaltik (-)
- Perkusi : Tympani (+) seluruh lapang abdomen
- Palpasi : Organomegali (-), nyeri tekan (-), lien dan hepar tidak
teraba (-)

e. Pemeriksaan Fisik Relevan :


Ubun-Ubun : caput succedaneum
Turgor Kulit : Kembali cepat

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Darah Rutin
- WBC 31,0 x 103 /uL
- RBC 4,01 x 106 /uL
- HGB 16.2 g/dL
- HCT 48,5%
- PLT 140 x 103 /uL
D. RESUME
Pasien masuk rumah sakit pada tanggal 27 februari 2020 dan dirawat
diruangan peristi pada pukul 06:25, keluhan pasien berat bayi lahir rendah
(BBLR) disertai dengan asfiksia sedang. Pada tanggal 1 maret 2020, Pasien
mengalami kejang berulang kurang lebih sekitar 4 jam. Pasien merupakan
anak dari ibu dengan riwayat G1P1A0. Tidak ada kelainan ditemukan selama
kehamilan dan ibu tidak pernah mengkonsumsi obat-obatan tertentu selama
kehamilan. Ibu partus secara normal dan tidak cukup bulan. Berat badan lahir
1690 gram dan panjang badan lahir 39 cm. Pasien baru mendapatkan
imunisasi HB-0 pada saat baru lahir, sementara imunisasi polio, BCG, DPT-
HB, dan campak belum didapatkan.
Pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum tampak sakit sedang,
kesadaran compos mentis.. Tanda-tanda vital menunjukkan Denyut Jantung :
152 kali/menit, Suhu 36.7 °C, Respirasi : 56 kali/menit. Ubun-ubun : caput
(+), bibir tampak kering, turgor kulit kembali cepat.
Dari hasil pemeriksaan darah rutin ditemukan :
- WBC 31,0 x 103 /uL
- RBC 4,01 x 106 /uL
- HGB 16.2 g/dL
- HCT 48,5%
- PLT 140 x 103 /uL

E. DIAGNOSIS
- Kejang Neonatus et causa suspek hipoksia-iskemik-ensefalopati
- Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR)
- Respiratory Distress of the Newborn (RDN)
F. TERAPI
- Rawat Incubator
- Oksigen 0,5 liter/menit
- Fenobarbital 4 mg/kgBB/menit secara intravena

G. ANJURAN
- Pemeriksaan darah rutin (Gula darah sewaktu dan elektrolit)
- Elektroensefalografi (EEG)
PEMBAHASAN

Kejang adalah perilaku yang tidak terkontrol pada episode tertentu yang
disebabkan oleh peristiwa pelepasan muatan-muatan listrik di dalam otak secara
berlebihan. Kejang pada neonatus sangat berbeda dengan kejang yang terjadi pada
bayi dan anak-anak yang lebih besar. Perbedaan ini disebabkan oleh karena proses
myelinisasi sistem saraf pusat pada neonatus belum sempurna sehingga kejang umum
tonikklonik tidak terjadi pada neonatus. Kejang pada neonatus lebih sering bersifat
tersamar dan sulit teridentifikasi karena proses transmisi muatan listrik di otak tidak
terjadi dengan baik.1
Beberapa etiologi sering hidup berdampingan di anak-anak mereka dan karena
itu penting untuk mengesampingkan penyebab umum seperti hipoglikemia,
hipokalsemia, meningitis sebelum memulai terapi spesifik.2 Pendekatan yang
komprehensif untuk manajemen kejang neonatal ditujukan pada periode neonatal
yaitu keadaan darurat yang berpotensi signifikan dalam perkembangan ke otak
dewasa. Diagnostik dan terapeutik intervensi harus jadi dibentuk segera. 3
Penyebab kejang pada BBL dapat karena kelainan susunan syaraf pusat primer
karena proses intrakranial (meningitis, cerebrovaskular accident, encephalitis,
perdarahan intrakranial, tumor) atau sekunder karena masalah sistemik atau
metabolik (misalnya iskemik-hipoksik-hipokalsemia, hipoglikemia, hiponatremia). 4
Etiologi kejang yang sering terjadi dapat digolongkan sebagai berikut:
A. Ensefalopati iskemik hipoksik
Merupakan penyebab tersering (60-65%) kejang pada BBL, biasanya
terjadi dalam waktu 24 jam pertama dan sering dimulai 12 jam pertama. Dapat
terjadi pada BCB maupun BKB terutama bayi dengan asfiksia. Bentuk kejang
subtel atau multifokal klonik serta fokal klonik. 4
Kasus iskemik hipoksik disertai kejang, 20% akan mengalami infark
serebral. Manifestasi klinis ensefalopati hipoksik-iskemik dapat dibagi dalam 3
stadium, yaitu: ringan, sedang dan berat. Manifestasi kejang terjadi pada
stadium sedang dan berat. 4
B. Perdarahan intrakranial
Perdarahan matriks germinal atau intraventrikel adalah penyebab kejang
tersering pada bayi preterm. Sober menemukan 45% bayi preterm dengan
kejang mengalami perdarahan matriks germinal atau intraventrikel (GMH-
IVH). Perdarahan intrakranial sering sulit disebut sebagai penyebab tunggal
kejang, biasanya berhubungan dengan penyebab lain 4, yaitu
1. Perdarahan sub arachnoid
Perdarahan yang sering dijumpai pada BBL, kemungkinan karena
robekan vena superfisial akibat partus lama. Pada mulanya bayi tampak
baik, tiba-tiba dapat terjadi kejang pada hari pertama atau kedua. Pungsi
lumbal harus dikerjakan untuk mengetahui apakah terdapat darah di dalam
cairan serebrospinal. Darah biasanya terdapat di fisura interhemisfer dan
resesus supra dan infra tentorial. Kemudian bayi tampak sakit berat dalam 1-
2 hari pertama dengan tanda peninggian tekanan intrakranial seperti ubun-
ubun besar tegang dan membonjol, muntah, tangis yang melengking dan
kejang-kejang. Pemeriksaan CT-scan sangat berguna untuk menentukan
letak dan luasnya perdarahan. Pemeriksaan pembekuan darah perlu
dikerjakan untuk menyingkirkan kemungkinan koagulopati. 4
2. Perdarahan sub dural
Perdarahan ini umumnya terjadi akibat robekan tentorium di dekat falks
serebri. Keadaan ini karena molase kepala yang berlebihan pada letak
verteks, letak muka dan partus lama. Darah terkumpul di fosa posterior dan
dapat menekan batang otak. Manifestasi klinis hampir sama dengan
ensefalopati hipoksik-iskemik ringan sampai sedang. Bila terjadi penekanan
pada batang otak terdapat pernapasan yang tidak teratur, kesadaran
menurun, tangis melengking, ubun-ubun besar menonjol dan kejang.
Perdarahan pada parenkim otak kadang-kadang dapat menyertai perdarahan
subdural. Deteksi kelainan ini dengan pemeriksaan USG atau CT-scan.
Perdarahan yang kecil tidak membutuhkan pengobatan, tetapi pada
perdarahan yang besar dan menekan batang otak perlu dilakukan tindakan
bedah untuk mengeluarkan darah, mortalitas tinggi, dan pada bayi yang
hidup biasanya terdapat gejala sisa neurologis. 4
3. Perdarahan periventrikular/intraventrikular
Gambaran klinis perdarahan intraventrikuler tergantung kepada beratnya
penyakit dan saat terjadinya perdarahan. Pada bayi yang mengalami trauma
atau asfiksia biasanya kelainan timbul pada hari pertama atau kedua setelah
lahir. Pada BKB dapat mengalami perdarahan hebat, gejala timbul dalam
waktu beberapa menit sampai beberapa jam berupa gangguan napas, kejang
tonik umum, pupil terfiksasi, kuadriparesis flaksid, deserebrasi dan stupor
atau koma yang dalam. Pada perdarahan sedikit, gejala timbul dalam
beberapa jam sampai beberapa hari sampai penururan kesadaran, kurang
aktif, hipotonia, kelainan posisi dan pergerakan bola mata seperti deviasi,
fiksasi vertikal dan horisontal disertai dengan gangguan respirasi. Bila
keadaan memburuk akan timbul kejang.. Untuk menegakkan diagnosis
perdarahan intraventrikular yang pasti dilakukan pungsi lumbal,
pemeriksaan darah misalnya, Hb. Ht dan trombosit, pemeriksaan EEG dan
USG. Pemeriksaan USG mempunyai nilai diagnostik yang tinggi, tidak
invasif, aman bagi bayi dan relatif murah. USG digunakan untuk
menentukan saat timbulnya perdarahan, memantau perubahan yang terjadi
dan meramalkan akibat perdarahan pada masa akut. 4
4. Infark serebral fokal
Bayi preterm dengan GMH-IVH sering juga mengalami infark karena
perdarahan vena, yang kemudian berperan sebagai fokus kejang. Kejang
pada bayi aterm dengan Apgar skor normal yang tetap sadar diantara kejang
seringkali disebabkan oleh lesi infark fokal arteri serebral media. Kondisi ini
sering membutuhkan identifikasi dengan MRI. 1
C. Metabolik
Penyebab paling sering kejang metabolik adalah :
1. Hipoglikemia
Bayi dengan kadar glukose darah <45 mg/dL disebut hipoglikemia
kadang asimptomatis. Kejang karena hipoglikemia ini sering dihubungkan
dengan penyebab kejang yang lain. Hanya sekitar 3% yang benar-benar
disebabkan oleh karena hipoglikemia. Faktor yang paling kritis pada
hipoglikemia yang berhubungan dengan gejala neurologik adalah masa atau
durasi terjadinya hipoglikemia dan jumlah waktu yang terbuang sebelum
terapi dimulai. Tidak ada keraguan pemberian terapi dextrosa intravena jika
ditemukan kadar glukosa rendah pada bayi kejang. untuk mengembalikan
kadar gula darah kembali normal secepatnya. 4,7
2. Hipokalsemia/hipomagnesemia
Kejadian awal kejang akibat hipokalsemia pada hari pertama dan ke
dua. Lebih sering didapatkan pada BBLR dan sering dihubungkan dengan
keadaan asfiksia serta bayi dari ibu dengan diabetes melitus. Kejadian
kejang lambat akibat hipokalsemia pada BCB yang mendapat susu formula
yang kandungan rasio fosfat dengan kalsium magnesium kurang optimai.
Setengah dari bayi pada peneilitian Brown dkk mengalam hipokalsemi.
Hipokalsemia didefinisikan kadar kalsium < 7.5 mg/dL (< 1.87
mmol/L), biasanya disertai dengan kadar fosfar >3 mg/dL (> 0.95 mmol/L),
seperti hipoglikemia kadang asimptomatis. Sering berhubungan dengan
prematuritas atau kesulitan persalianan dan asfiksia.4
Kadar magnesium yang rendah sering terjadi bersama dengan
hipokalsemi dan perlu di terapi agar memberikan respon yang baik untuk
menghentikan kejang. Mekanisme terjadinya hipokalsemia bersamaan
dengan hipomagnesemia belum jelas. Bila kejang pada bayi berat lahir
rendah yang disebabkan oleh hipokalsemia diberikan kalsium glukoronat
kejang masih belum berhenti harus dipikirkan adanya hipomagnesemia.4
3. Hiponatremia dan hipematremia
Kadar natrium serum yang sangat tinggi, sangat rendah atau yang
mengalami perubahan dengan sangat cepat, sering terjadi pada kondisi
tertentu seperti Syndrome of lnappropriate Anti-Diuretic Hormone
(SIADH), sindroma Bartter atau dehidrasi berat dapat menyebabkan kejang.
SIADH, berhubungan dengan keadaan sekunder dari meningitis atau
perdarahan intrakranial, terapi diuretika, kehilangan garam yang berlebihan
atau asupan cairan yang mengandung kadar natrium yang rendah
hiponatremia dapat terjadi akibar minurn air, pemberian infus intravena
yang berlebihan atau akibat pengeluaran natrium yang berlebihan lewat
kencing dan feses.4
Hipernatremia terjadi akibat dehidrasi berat atau iatrogenik atau
sekunder akibat asupan natrium yang berlebihan. Dapat juga terjadi akibat
pemberian natriurn yang berlebihan secara oral maupun parenteral.4
D. Infeksi
Infeksi terjadi pada sekitar 5, 10 % dari seluruh penyebab kejang BBL,
bakteri, non-bakteri maupun congenital dapat menyebabkan kejang BBL,
biasanya terjadi setelah minggu pertama kehidupan. Infeksi digolongkan
menjadi :
1. lnfeksi akut
Infeksi bakteri atau virus pada SSP dengan atau tanpa keadaan sepsis
dapat mengakibatkan kejang, biasanya sering berhubungan dengan
meningitis. Kuman Gram negatif sering mengakibatkan infeksi intracranial
dan sistemik pada BBL. Bakteri yang sering ditemultan adalah group B
Streptococcus, Escherichia coli, Listeria sp, Staphylococcus and
Pseudomonas species.4,8

2. Infeksi kronik
Infeksi intrauterine yang berlangsung lama: toxoplasmsis, rubella,
cytomegalovirus, herpes, herpes simpleks, rubella (TORCH), treponema
pallidum juga dapat mengakibatkan kejang.4
E. Kenikterus/ensefalopati bilirubin
Suatu keadaan ensefalopati akut dengan sekuele neurologis yang disertai
meningkatnya kadar serum bilirubin dalam darah. Bilirubin indirek
menyebabkan kerusakan otak pada BCB apabila melebihi 20 mg/dl. Pada bayi
prematur yang sakit. kadar 10 mg/dl sudah berbahaya. Kemungkinan kerusakan
otak yang terjadi tidak hanya disebabkan oleh kadar bilirubin yang tinggi tetapi
tergantung kepada lamanya hiperbilirubinemia. BKB yang sakit dengan
sindrom distres pernapasan, asidosis mempunyai risiko yang tinggi untuk
terjadinya kernikterus. Manifestasi klinis kernikterus terdiri dari hipotonia,
lerargi dan refleks menghisap lemah. Pada hari kedua terdapat gejala demam,
rigiditas dan posisi dalam opisto tonus. Selanjutnya gambaran klinis bulan
pertama menunjukkan tonus otot meningkatkan progresi. Sindrom klinis yang
tampak sesudah tahun pertama meliputi: 1) disfungsi ekstra piramidal biasanya
berbentuk atetosis dan korea; 2) gangguan gerak bola mata vertikal, ke atas
lebih dari pada ke bawah, terdapat pada 90% kasus; 3) kehilangan pcndengaran
frekuensi tinggi terdapat pada 60% kasus; 4) retardasi mental terdapat pada 25%
kasus. 4

Klasifikasi Kejang

Tatalaksana Kejang
A. Manajemen awal kejang
 Pengawasan jalan napas bersih dan terbuka, pemberian oksigen.
 Pasang jalur Infus IV dan beri cairan dcngan dosis rumatan.
 Bila kadar glukosa darah kurang 45 mg/dL, tangani hipoglikeminya sebelum
melanjutkan manajemen kejang seperti dI bawah Ini, untuk menyingkirkan
kemungkinan hipoglikemia sebagai penyebab kejang.
 Medikamentosa: Fenobarbital 20 mg/kg berat badan intra vena dalam waktu 5
menit, jika kejang tidak berhenti dapat diulang dengan dosis 10 mg/kg berat badan
sebanyak 2 kali dengan selang waktu 30 menit. Jika tidak tersedia jalur intravena,
dan atau tidak tersedia sediaan obat intravena, maka dapat diberikan intramuskuler
 Bila kejang berlanjut diberikan fenitoin 20 mg/kg berat badan intravena dalam
larutan garam fisiologis dengan kecepatan 1mg/kgberat badan/menit, dengan
memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
o fenitoin hanya boleh diberikan secara IV
o campur dosis fenitoin dalam 15ml garam fisiologis dan diberikan dengan
kecepatan 0,5 mL/menit selama 30 menit. Fenitoin hanya boleh dicampur
dengan larutan garam fisiologis, sebab jenis cairan lain akan mcngakibatkan
kristalisasi.
o monitor denyut jantung selama pemberian fenitoin IV. 4,10
Paclac Manual and Guidelines menyarankan untuk manajemen kejang sebagai
berikut. Disarankan untuk melakukan konsultasi dengan ahli neonatologi dan Sub Bagian
Syaraf Anak
a. Terapi suportif
1. Pemantauan ketat: Pasang monitor jantung dan pernapasan serta “pulse
oxymeter“
2. Pasang jaIur intra vena, berikan infus dekstrose
3. Beri bantuan respirasi dan terapi okaigen bila diperlukan
4. Koreksi gangguan metabolik dengan tepat.1
b. Medikamentosa : pembetian antikonvulsan merupakan indikasi pada manajemen
awal
1. Fenobarbital
 Dosis awal (loading dose) 20-40 mg/kgBB intravena diberikan mulai
dengan 20 mg/kg BB selama 5 -10 menit
 Pantau depresi pernapasan dan tekanan darah
 Dosis rumatan : 3-5 mg/kgBB dibagi dalam 2 dosis Kadar terapeutik dalam
darah diukur 1 jam setelah pemberian intravena atau 24 jam setelah
pemberian peroral dengan kadar 15-45 ugm/mL.4
 Fenobarbital adalah obat pilihan pertama untuk mengobati kejang neonatal.
Hal ini karena relatif efektif, efek samping minimal dan tidak terpengaruh
oleh berat lahir atau usia kehamilan.10
2. Fenitoin (Dilantin) : biasanya diberikan hanya apabila bayi tidak memberi
respons yang adekuat terhadap pemberian fenobarbital
 Dosis awal (Loading dose) untuk status epileptikus 15 -20 mg/kgBB
intravena pelan-pelan
 Karena efek alami obat yang iritatip maka beri pembilas larutan garam
fisiologis sebelum dan sesudah pemberian obat
 Pengawasan terhadap gejala bradikardia, aritmia dan hipotensi selama
pemberian infus
 Dosis rumat hanya dengan jalur intra vena (karena pemberian oral tidak
efektif) 5 -8 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 atau 3 dosis
 Kadar terapeutik dalam darah (Fenitoin bebas dan terikat) 12 -20 mg/L atau
1'2 mg/L (hanya untuk Fenitoin bebas).
3. Lorazepam (Ativan TM) : biasanya diberikan pada BBL yang tidak memberi
respons terhadap pemberian fenobarbital dan fenitoin secara beturutan
 Dosis efektip : 0.05 0.10 mg/kgBB diberikan intravena dimulai dengan
0.05 mg/kgBB pelampelan dalam beberapa menit.
 Obat ini akan masuk ke dalam otak dengan cepat dan membentuk efek
antikonvulsan yang nyata dalam waktu kurang 5 menit.
 Pengawasan terhadap depresi pemapasan dan hipotensi.
B. Obat anti kejang lainnya
- Benzodiazepin
Benzodiazepin meningkatkan inhibisi GABA-mediated melalui aktifasi teseptor
GABA-A. Benzodiazepin adalah antikonvulsan yang efektif pada anak dan dewasa
namun kurang berperan pada BBL karena GABA bersifat eksitatorik.
Benzodiazepin mempunyai profil keamanan yang baik. 1
- Midazolam
Midazolam larut dalam air, benzodiazepin bekerja cepat dan terbukti efektif
untuk terapi status epileptikus pada populasi anak. Telah y7di evaluasi
perbandimgan midazolam dengan lidokain sebagai terapi lini kedua pada bayi
dengan kejang yang gagal merespon fenobatbital; kejang dimonitor dengan
menggunakan video-EEG secara kontinyu. Enam bayi menerima klonazepam atau
midazolam namun tidak ada yang berespon. Didapatkan adanya gerakan abnormal
pada bayi preterm yang menerima infus midazolam, meski EEG tetap normal.
Kelanjutan dari perkembangan sarafnya leblh baik pada bayi yang disedasi dengan
morfin daripada dengan penggunaan midazolam, dan hasil seperti ini
menyebabkan perhatian khusus pada penggunaan midazolam pada bayi. 1
- Diazepam
Diazepam mempunyai efek antikonvulsan hanya bersifat sementara.
Ketidakstabilan kardirespiratorik dapat terjadi jika obat ini digunakan bersama
dengan fenobarbital (fenobarbiton), dan metabolit utamanya yang memiliki waktu
paruh panjang, N-dismetildiazepam, dapat menyebabkan sedasi tanpa dapat
mengontrol kejangnya. Karena alasan ini, diazepam bukanlah pilihan terbaik dari
golongan benzodiazepin untuk digunakan pada BBL.1
C. Anti kejang rumatan
Jika kejang telah teratasi maka dilanjutkan dengan pemberian anti kejang
rumatan, Pengobatan rumatan: 1) Fenobarbital 3-5 mg/ kg BB /hari, dosis tunggal
atau terbagi tiap 12 jam secara intravena atau per oral, sampai bebas kejang 7 hari, 2)
Fenitoin 4-8 mg/kg/ hari intravena atau per oral, dosis terbagi dua atau tiga. Kasus
yang resisten harus diterapi dengan kombinasi fenobarbital dan karbamazepin, meski
sodium valproat dapat berhasil pada beberapa kasus. Lamanya pemberian dosis
rumatan pada kejang BBL masih belum terdapat kata sepakat. Beberapa penulis
segera menghentikan dosis rumatan setelah ternyata tidak ada kelainan neurologis.
Sedangkan yang lain menggunakan patokan gambaran klinis dan gambaran EEG. 1,2

D. Manajemen Spesifik atau Manajemen Lanjut


1. Meningitis
Antibiotik awal diberikan Ampisilin dan Gentamisin, bila organisme
tidak dapat ditemukan dan bayi tetap menunjukkan tanda infeksi sesudah 48
jam, ganti Ampisilin dan beri Sefotaksim disamping tetap beri Gentamisin.
Antibiotika diberikan sampai 14 hari setelah ada perbaikan (dosis lihat tabel
2.3)2

Tabel 2.3 dosis antibiotik

(DepKes RI, 2005)


2. Gangguan metabolik
Diagnosis kejang yang disebabkan oleh karena gangguan metabolisme
sangat sulit ditegakkan karena terbatasnya fasilitas dan kemampuan
pemeriksaan penunjang di Puskesmas, karena tidak ada gejala klinis yang
khas untuk beberapa kejang metabolik, mis. hiponatremia, hipernatremia dan
hipomagnesimia. Untuk itu manajemen umum diperlukan untuk kejang
metabolik ini, dan segera dirujuk Bila tersedia fasilitas pemeriksaan kadar
glukosa darah, lakukan manajemen hipoglikemia (Lihat manajemen
Hipoglikemia) Dugaan diagnosis kejang disebabkan oleh hipokalsemia dapat
ditegakkan dengan pemeriksaan klinis berupa karpopedal spasme dan riwayat
hipoksia atau asfiksia. Untuk kasus ini diberi: Kalsium glukonas 10%, 1-2
ml/kg berat badan dengan aquadest sama banyak secara intravena dalam 5
menit. Dapat diulang setelah 10 menit jika tidak ada respon klinis. 2
3. Kern ikterus: dilakukan penanganan sesuai hiperbilirubinemia
4. Hipoksia: optimalisasi ventilasi dan terapi oksigen
5. Spasme/ tetanus
- Beri Diazepam 10mg/kg/hari dengan drip selama 24 jam atau bolus IV
tiap 3 jam, maksimum 40 mg/ kg/hari Bila frekuensi napas kurang 30 kali
per menit, hentikan pemberian obat meskipun bayi masih mengalami
spasme.
- Bila tali pusat merah dan membengkak, mengeluarkan pus atau berbau
busuk, obati untuk infeksi tali pusat.
- Beri bayi: Human Tetanus immunoglobin 500 U IM, bila tersedia, atau
beri padanannya, antitoksin tetanus 5,000 IU IM.toksoid tetanus IM pada
tempat yg berbeda dg tempat pemberian antitoksin , Benzyl Penicillin G
100,000 IU/kg BB IV atau IM dua kali sehari selama tujuh hari
- Anjurkan ibunya untuk mendapat toksoid tetanus 0.5 ml (untuk
melindunginya dan bayi yg dikandung berikutnya) dan kembali bulan
depan untuk pemberian dosis ke dua.
- Pada kasus perdarah subdural, trauma SSP dan hidrosefalus diperlukan
tindakan bedah, dapat dirujuk.2

Pemantauan
1. Terapi
 Efektivitas terapi dipantau dengan meilai gejala klinis, bila perludiulang dan
segera dilakukan pemeriksaan penunjang untuk menentukan penyakiy
penyebabnya.
 Jika kejang telah teratasi maka dilanjutkan dengan pemberian antikejang rumatan,
fenobarbital 5 mg/kgBB/hari adalah pilihan pertama
 Pemberian dosis rumatan dihentikan setelah tidak ada kelainan neurologis dan
atau kelainan gambaran EEG.4
2. Tumbuh kembang
 Pemantauan tertama ditujukan pada pertumbuhan dan perkembangan sensorik dan
motorik. Setiap adanya gangguan perkembangan, perubahan tingkah laku ataupun
gejla neurologik, eksplorasi harus dilakukan dengan pemeriksaan neurologis
lengkap.
 Kejang awitan dini biasanya dihubungkan dengan angka kesakitan dan kematian
yang tinggi. Kejang berulang, semakin lama kejang berlangsung semakin tinggi
risiko kerusakn pada otak dan berdampak pada terjadinya kelainan neurologik
lanjut (misalnya serebral palsi dan retardasi mental). 4

Kriteria memulangkan
Kebanyakan neonatologis di Inggris hanya akan memulangkan bayi dengan memberi
fenobarbital dosis rumatan jika pemeriksaan neurologis abnormal, meski hanya 3%
neonatologis di Amerika yang menghentikan terapi yang sebelum bayi keluar dari rumah
sakit. Hanya dua dari 55 bayi di Swedia yang pulang tanpa pengobatan ini yang kembali
relaps. Beberapa melakukan pemeriksaan EEG lagi dalam satu bulan, atau sesaat
sebelum keluar dari perawatan, dan menghentikan terapi antikonvulsan jika EEGnya
normal, jika bayi keluar dari perawatan dengan tetap menggunakan obat antikonvulsan
petimbangkan penghentiannya jika mereka telah bebas kejang selama 9 bulan. 2
DAFTAR PUSTAKA

1. Syahreni, E. 2016. Rekomendasi Perawatan Terkini Dalam Penatalaksanaan


Neonatus. 8(2):1-6. Viewed on 6 Februari 2020. From http://jki.ui.ac.id
2. Adre J. Neonatal Seizure. Dalam : Cloherty Jp, Strak AR, eds. Manual
Neonatal Care; edisi ke-5. Boston : Lippincott Williams & Wilkins, 2015;
507-23
3. Daud D. Tatalaksana Kejang Pelayanan Primer. Makassar Pediatric Update.
Tatalaksana praktis kesehatan bayi dan anak dilayanan primer. 2015. Hal: 39-
47
4. Kosim, M.S., Yunanto, A., Dewi., Sarosa, G.I., Usman, A., Buku Ajar Neonatologi.
Edisi 1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: 2014.
5. Handryastuti, S. 2016. Kejang pada Neonatus, Permasalahan dalam Diagnosis
dan Tata laksana. Sari Pediatri. 9(2):1-9. Viewed on 6 Februari 2020. From
http://saripeditri.org
6. Haslam R. Kejang Neonatus. Editor: Waldo E. Dalam: Buku Ilmu Kesehatan
Anak. Jakarta : EGC. 2014; (vol: 3 ed: 15) 2064-2066
7. Pujiadi, A.H.m Hegar. B., Handryastuti, S., Idris, N.S., Gandapura,E.P.,
Harmoniati,E.D., Yuliarti, K.,Pedoman pelayanan Medis. Ikatan Dokter Indonesia.
Jakarta: 2011.
8. Sheth, R.D., Neonatal Seizures. MedScape. Viewed from
http://emedicine.medscape.com/article/1177069-overview#a6
9. WHO, Guidelines on neonatal seizures. World Health Organization. 2011.
10. DepKes RI. Pelatihan pelayanan obstetri neonatal emergensi dasar buku acuan.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta: 2015.

Anda mungkin juga menyukai