Anda di halaman 1dari 24

Bagian Ilmu Kesehatan Anak REFERAT

Fakultas Kedokteran Februari 2020


Universitas Tadulako
Palu

EPILEPSI PADA ANAK

Disusun Oleh:
Virgiana
N 111 19 021

PEMBIMBING :
dr. Haryanty Kartini Huntoyungo, M.Biomed, Sp.A

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik


Pada Bagian Ilmu Kesehatan Anak

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA
PALU
2020

HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Virgiana

No. Stambuk : N 111 19 021

Fakultas : Kedokteran

Program Studi : Profesi Dokter

Universitas : Tadulako

Judul : Epilepsi Pada Anak

Bagian : Ilmu Kesehatan Anak

Bagian Ilmu Kesehatan Anak


RSUD Undata Palu
Program Studi Profesi Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Tadulako

Palu, Februari 2020

Pembimbing Dokter Muda

dr. Haryanty Kartini Huntoyungo, M.Biomed, Sp.A Virgiana

ii
iii
DAFTAR ISI

Halaman Judul............................................................................................... i

Halaman Pengesahan..................................................................................... ii

Daftar Isi........................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................... 3

2.1 Definisi Epilepsi........................................................................... 3


2.2 Epidemiologi Epilepsi.................................................................. 3
2.3 Klasifikasi Epilepsi...................................................................... 4
2.4 Etiologi Epilepsi........................................................................... 6
2.5 Diagnosis Epilepsi....................................................................... 7
2.6 Diagnosis Banding Epilepsi......................................................... 10
2.7 Tatalaksana Epilepsi.................................................................... 11
2.8 Edukasi ........................................................................................ 14
2.9 Penghentian Pemberian OAE...................................................... 14
2.10 Komplikasi Epilepsi................................................................... 15
2.11 Prognosis.................................................................................... 17

BAB III KESIMPULAN................................................................................ 18

Daftar Pustaka................................................................................................ 20

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Anak adalah individu yang bertumbuh dan berkembang. Proses tumbuh


kembang tersebut dipengaruhi oleh banyak hal. Gangguan atau penyakit kronik
dapat memengaruhi tumbuh kembang anak dan mengurangi potensi anak di
kemudian hari. Epilepsi merupakan salah satu penyakit kronik dengan angka
kejadian tinggi khususnya di negara berkembang karena sistem pelayanan
kesehatan belum berhasil untuk memerangi secara keseluruhan penyebab epilepsi
seperti gangguan selama proses kehamilan dan kelahiran serta penyakit infeksi.1
Diperkirakan 40%-50% epilepsi terjadi pada anak-anak. Sebagian besar epilepsi
bersifat idiopatik, tetapi sering juga disertai gangguan neurologi yang disebabkan
oleh kelainan pada susunan saraf pusat. Di samping itu, dikenal pula beberapa
sindrom epilepsi pada anak.2
Insidens epilepsi telah diteliti di beberapa negara, namun berkaitan dengan
perbedaan desain dan kriteria penelitian, data yang diperoleh dan rerata kejadian
yang dilaporkan sulit untuk dibandingkan di negara berkembang, insidens epilepsi
sebesar 61-124/100.000 anak per tahun. Di Indonesia, sampai saat ini belum ada
data insidens yang pasti karena banyak penderita epilepsi yang tidak terdeteksi
atau tidak mengunjungi pusat kesehatan. Penderita epilepsi ini sebagian akan
mengalami status epileptikus. Empat puluh persen anak penderita epilepsi
mengalami status epileptikus sebelum usia 2 tahun, bahkan 75% penderita
epilepsi mengalami status epileptikus sebagai gejala pertama epilepsi.1

Diagnosis epilepsi tidak selalu mudah, terdapat begitu banyak diagnosis


banding terhadap suatu kejang baik kejang epilepsi maupun bukan epilepsi.
Diagnosis epilepsi sendiri ternyata memiliki kriteria tersendiri yang membutuhkan
tata laksana serta prognosis berbeda. Diperkirakan angka kesalahan diagnosis
epilepsi cukup tinggi yaitu diperkirakan berkisar 20% hingga 30%.1 Tujuan utama
terapi epilepsi adalah mengupayakan kondisi bebas bangkitan dengan efek
samping seminimal mungkin sehingga penyandang epilepsi dapat hidup secara

1
normal dan mencapai kualitas hidup yang optimal. Terapi penyandang epilepsi
dibagi menjadi terapi farmakologis dan non farmakologis (edukasi dan
konseling).3

Penyakit epilepsi bersifat kronik sehingga dapat mengganggu kualitas


hidup dan membutuhkan biaya cukup banyak. Gangguan kualitas hidup dapat
disebabkan oleh komorbiditas terkait penyakit epilepsi, efek jangka panjang dari
OAE yang dikonsumsi, atau keterbatasan dalam kehidupan sosial dan aktivitas
harian.1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Epilepsi


Epilepsi adalah kelainan otak yang ditandai dengan bangkitan epilepsi
yang terus menerus dengan konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologis
dan sosial. Definisi ini mensyaratkan terjadinya minimal satu kali bangkitan
epileptik. Bangkitan epileptik merupakan terjadinya tanda/gejala yang bersifat
sesaat akibat aktivitas neuronal yang abnormal dan berlebihan di otak.4

2
Berdasarkan consensus ILAE (International League Against Epilepsy)
2014, epilepsi adalah penyakit otak yang dapat ditegakkan pada tiga kondisi,
yaitu : 5
1. Terdapat dua kejadian kejang tanpa provokasi yang terpisah lebih dari 24
jam.
2. Terdapat satu kejadian kejang tanpa provokasi, namun resiko kejang
selanjutnya sama dengan resiko rekurensi umum setelah dua kejang tanpa
provokasi dalam 10 tahun mendatang.
3. Sindrom epilepsi (berdasarkan pemeriksaan EEG)

First unprovoked seizure (FUS) : satu bangkitan kejang atau beberapa


bangkitan kejang dalam 24 jam yang terjadi tanpa adanya faktor pencetus.
Dalam klasifikasi baru, FUS dapat dianggap sebagai epilepsi bila risiko
berulangnya kejang lebih dari 60%.6

Sindrom epilepsi : suatu epilepsi disebut sebagai suatu sindrom apabila


memenuhi kriteria klinis dan elektroensefalografi tertentu. Beberapa sindrom
epilepsi dapat didiagnosis pada saat anak baru satu kali mengalami bangkitan
kejang.6

2.2 Epidemiologi Epilepsi


Insidens epilepsi telah diteliti di beberapa negara, namun berkaitan
dengan perbedaan desain dan kriteria penelitian, data yang diperoleh dan
rerata kejadian yang dilaporkan sulit untuk dibandingkan di negara
berkembang, insidens epilepsi sebesar 61-124/100.000 anak per tahun. Di
Indonesia, sampai saat ini belum ada data insidens yang pasti karena banyak
penderita epilepsi yang tidak terdeteksi atau tidak mengunjungi pusat
kesehatan. Penderita epilepsi ini sebagian akan mengalami status epileptikus.
Empat puluh persen anak penderita epilepsi mengalami status epileptikus
sebelum usia 2 tahun, bahkan 75% penderita epilepsi mengalami status
epileptikus sebagai gejala pertama epilepsi.1
2.3 Klasifikasi Epilepsi

3
Klasifikasi bangkitan epileptik menurut ILAE 1981 : 3
1. Bangkitan Parsial / Fokal
Terjadi pada satu area otak dan terkadang menyebar ke area lain.
Jika menyebar, akan menjadi kejang umum (sekunder), paling sering
terjadi kejang tonik klonik. 60 % penderita epilepsi merupakan kejang
parsial dan kejang ini terkadang resisten terhadap terapi antiepileptik.
a. Parsial Sederhana
Kejang singkat ini diistilahkan “warning” dan terjadi sebelum
kejang parsial kompleks atau kejang tonik klonik. Tidak ada
penurunan kesadaran, dengan durasi kurang dari satu menit.
b. Parsial Kompleks
Serangan ini dapat sangat bervariasi, bergantung pada area dimulai
dan penyebaran di otak. Banyak kejang parsial kompleks dimulai
dengan tatapan kosong, kehilangan ekspresi atau samar-samar dan
penampilan bingung. Kesadaran terganggu dan orang mungkin tidak
merespon. Kadang-kadang orang memiliki perilaku yang tidak biasa.
Perilaku umum termasuk mengunyah, gelisah, berjalan di sekitar atau
bergumam. Kejang parsial dapat berlangsung dari 30 detik sampai tiga
menit. Setelah kejang, penderita sering bingung dan mungkin tidak
ingat apa-apa tentang kejang.

2. Bangkitan Umum
Terjadi pada seluruh area otak. Kesadaran akan terganggu pada
awal kejadian kejang. Kejang umum dapat terjadi diawali dengan kejang
parsial simpleks atau kejang parsial kompleks.
a. Tonik
Kejang ini terjadi mendadak. Kekakuan singkat pada otot seluruh
tubuh, menyebabkan orang menjadi kaku dan terjatuh jika dalam posisi

4
berdiri. Pemulihannya cepat namun cedera yang terjadi dapat bertahan.
Kejang tonik dapat terjadi pula saat tertidur.
b. Mioklonik
Kejang berlangsung singkat, biasanya sentakan otot secara intens
terjadi pada anggota tubuh atas. Sering setelah bangkitan, pasien akan
menjatuhkan dan menumpahkan sesuatu. Meski kesadaran tidak
terganggu, penderita dapat merasa kebingungan dan mengantuk jika
beberapa episode terjadi dalam periode singkat. Terkadang dapat
memberat menjadi kejang tonik-klonik.
c. Tonik – Klonik (Grand Mal)
Jenis kejang ini merupakan jenis yang paling dikenal. Hal ini
diawali dengan hilangnya kesadaran dan sering penderita akan
menangis. Jika berdiri, orang akan terjatuh, tubuh menegang (tonik)
dan diikuti sentakan otot (klonik). Bernafas dangkal dan sewaktu-
waktu terputus menyebabkan bibir dan kulit terlihat keabuan/ biru. Air
liur dapat terakumulasi dalam mulut, terkadang bercampur darah jika
lidah tergigit. Dapat terjadi kehilangan kontrol kandung kemih. Kejang
biasanya berlangsung sekitar dua menit atau kurang. Hal ini sering
diikuti dengan periode kebingungan, agitasi dan tidur. Sakit kepala dan
nyeri juga biasa terjadi setelahnya.
d. Absens (Petit Mal)
Kejang ini biasanya dimulai pada masa anak-anak (tapi bisa terjadi
pada orang dewasa), seringkali keliru dengan melamun atau pun tidak
perhatian. Sering ada riwayat yang sama dalam keluarga. Diawali
mendadak ditandai dengan menatap, hilangnya ekspresi, tidak ada
respon, menghentikan aktifitas yang dilakukan. Terkadang dengan
kedipan mata atau juga gerakan mata ke atas. Durasi kurang lebih 10
detik dan berhenti secara tiba-tiba. Penderita akan segera kembali
sadar dan melanjutkan aktifitas yang dilakukan sebelum kejadian,
tanpa ingatan tentang kejang yang terjadi. Penderita biasanya memiliki

5
kecerdasan yang normal. Kejang pada anak-anak biasanya teratasi
seiring dengan pubertas.
e. Atonik
Kejang ini terjadi mendadak, kehilangan kekuatan otot,
menyebabkan penderita lemas dan terjatuh jika dalam posisi berdiri.
Biasanya terjadi cedera dan luka pada kepala. Tidak ada tanda
kehilangan kesadaran dan cepat pemulihan kecuali terjadi cedera.

Selain itu ILAE (1989) juga membagi epilepsi berdasarkan etiologi.


Menurut etiologi epilepsi dapat dibagi menjadi : 1

1. Epilepsi atau sindrom epilepsi idiopatik yaitu epilepsi tanpa adanya


kelainan struktur otak dan tidak ditemukan defisit neurologi. Faktor
genetik diduga berperan pada tipe ini dan biasanya khas mengenai usia
tertentu.
2. Epilepsi atau sindrom epilepsi simtomatik yaitu epilepsi yang disebabkan
satu atau lebih kelainan anatomi dan ditemukan defisit neurologi.
3. Epilepsi atau sindrom epilepsi kriptogenik yaitu epilepsi atau sindrom
epilepsi yang diasumsikan simtomatik tetapi etiologi masih belum
diketahui. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan (pemeriksaan pencitraan,
genetik, metabolik) klasifikasi kriptogenik banyak yang dapat
digolongkan sebagai epilepsi simtomatik.
2.4 Etiologi Epilepsi
Etiologi epilepsi umumnya tidak diketahui. Klasifikasi berdasarkan
ILAE 2010, mengganti terminologi dari idiopatik, simtomatis, atau
kriptogenik, menjadi genetik, struktural/metabolik, dan tidak diketahui.
Genetic epilepsy syndrome adalah epilepsi yang diketahui/diduga disebabkan
oleh kelainan genetik dengan kejang sebagai manifestasi utama.
Structural/metabolic syndrome adalah adanya kelainan struktural/metabolik
yang menyebabkan seseorang berisiko mengalami epilepsi. Epilepsi
digolongkan sebagai “unknown cause” bila penyebabnya belum diketahui.1

6
Kelainan genetik yang dapat menyebabkan epilepsi antara lain : 1

1. Kelainan kromosom: sindrom fragile X, sindrom Rett.


2. Trisomi parsial 13q22-qter berhubungan dengan epilepsi umum awitan
lambat dan leukoensefalopati.

Kelainan struktural/metabolik yang dapat menyebabkan epilepsi antara lain : 1

1. Kelainan neurokutan: tuberosklerosis, neurofibromatosis, hipomelanosis


Ito, sindrom Sturge-Weber.
2. Palsi serebral (PS); epilepsi didapatkan pada 50% PS spastik kuadriplegia
atau hemiplegia dan 26% PS spastik diplegia atau diskinetik.
3. Sklerosis hipokampus, gliosis, dan hilangnya neuron sehingga mengubah
rangkaian sirkuit menjadi epileptogenesis, termasuk mesial temporal
sclerosis.
2.5 Penegakan Diagnosis Epilepsi
Dokter di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) harus mampu
menegakkan diagnosis epilepsi berdasarkan anamnesis dan pemerik-saan fisik
yang cermat. Autoanamnesis dan alloanamnesis terhadap pasien, orang tua
atau orang yang merawat dan saksi mata yang mengetahui kejadian
diperlukan untuk menggambarkan gejala dan tanda sebelum, selama dan
sesudah bangkitan dan untuk menentukan apakah bangkitan yang terjadi
adalah suatu bangkitan epileptik atau bukan. Apabila diagnosis epilepsi sudah
ditegakkan, secara klinis maka dokter di tingkat layanan primer harus segera
merujuk pasien ke fasilitas kesehatan tingkat lanjut yang memiliki dokter
spesialis neurologi untuk mendapatkan penanganan lanjutan guna
menentukan terapi terbaik bagi pasien. Terapi Obat Anti Epilepsi (AOE)
dapat diberikan oleh dokter di layanan primer berdasarkan hasil konsultasi
(rujukan balik) dari spesialis neurologi kecuali pada daerah yang tidak ada
dokter spesialis neurologi dokter FKTP boleh memberi pertolongan sebelum
merujuk.3
1. Penentuan Kejang Epileptik

7
Diagnosis epilepsi merupakan diagnosis klinis yang terutama
ditegakkan atas dasar anamnesis dan pemeriksaan fisis neurologis.
Penegakkan diagnosis epilepsi dimulai dengan penentuan secara klinis
apakah kejang merupakan kejang epileptik, berdasar atas deskripsi
serangan atau pengamatan kejang secara langsung serta gejala dan
temuan lain pada anamnesis dan pemeriksaan fisis. Anamnesis dapat
didapatkan dari pasien, orang lain yang menyaksikan atau mengetahui
riwayat serangan, serta bilamana memungkinkan, dari saksi mata yang
melihat serangan. Dalam menentukan serangan merupakan suatu kejang
epileptik, diagnosis banding yang lain perlu disingkirkan. Diagnosis
kejang epileptik atas dasar temuan klinis (anamnesis dan pemeriksaan
fisis, dengan baku emas pemantauan jangka panjang) memiliki
sensitivitas 97,7% dan spesifisitas 100%.1
2. Penentuan Tipe Kejang
Setelah dipastikan serangan merupakan kejang epileptik, langkah
selanjutnya adalah penentuan tipe kejang, apakah kejang bersifat umum
atau fokal (menjadi umum atau tidak), serta bentuk kejang (tonik, klonik,
tonik-klonik, absans, mioklonik, atonik, spasme infantil,
sensorik/autonom, dan lain-lain). Tipe kejang ditentukan melalui
anamnesis atau mengamati langsung serangan bilamana memungkinkan,
dan dapat ditunjang dengan pemeriksaan EEG.1
3. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan neurologi lengkap meliputi tingkat kesadaran
penglihatan dan pendengaran, refleks fisiologis, refleks patologi,
lateralisasi, dan papil edema. Sistem motorik yaitu parestesia, hipestesia,
anestesia.
4. Pemeriksaan Penunjang
a. Elektroensefalografi (EEG)
Perekaman EEG interiktal adalah perekaman EEG di antara
waktu kejang atau pada saat pasien tidak kejang, sedangkan
perekaman EEG iktal adalah perekaman EEG pada saat kejang atau

8
serangan. Perekaman aktivitas epileptiform interiktal tergantung pada
jenis kejang, lokalisasi zona epileptogenik, metode perekaman, usia
awitan kejang dan frekuensi kejang. Cakupan EEG interiktal dapat
ditingkatkan dengan perekaman berulang, memperpanjang waktu
perekaman EEG, dan melakukan perekaman tidak lama setelah
serangan kejang.7
Hasil EEG dapat membantu menentukan tipe kejang dan jenis
epilepsi sehingga pemilihan anti epilepsi lebih tepat dan menentukan
prognosis. Temuan dalam EEG berkontribusi pada diagnosis
multiaksial dari epilepsi, yaitu fokal atau umum, simtomatik atau
idiopatik, atau bagian dari sindrom tertentu. Hasil EEG normal dapat
dijumpai pada anak yang nyata-nyata menderita kelainan otak, dan
sebaliknya EEG abnormal dapat dijumpai pada anak normal dan
sekitar 10% pasien dengan epilepsi memiliki EEG yang normal.7
Rekaman EEG dikatakan abnormal apabila terdapat asimetri
irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua
hemisfer otak, irama gelombang yang tidak teratur, irama gelombang
yang lebih lambat dibanding seharusnya misalnya gelombang delta,
dan adanya gelombang epileptiform misalnya gelombang tajam,
gelombang paku, paku ombak, paku majemuk dan gelombang lambat
yang timbul paroksismal.7

b. Pencitraan
Peran pencitraan adalah untuk mendeteksi adanya lesi otak
yang mungkin menjadi faktor penyebab epilepsi atau kelainan
neurodevelopmental yang menyertai. Pencitraan dilakukan untuk
menentukan etiologi, memperkirakan prognosis, dan merencanakan
tata laksana klinis yang sesuai. Magnetic resonance imaging (MRI)
merupakan pencitraan pilihan untuk mendeteksi kelainan yang
mendasari epilepsi. Indikasi MRI pada anak dengan epilepsi adalah
sebagai berikut:1

9
1. Epilepsi fokal berdasarkan gambaran klinis atau EEG.
2. Pemeriksaan neurologis yang abnormal, misalnya adanya defisit
neurologis fokal, stigmata kelainan neurokutan, tanda malformasi
otak, keterlambatan perkembangan yang bermakna, atau
kemunduran perkembangan.
3. Anak berusia kurang dari 2 tahun.
4. Anak dengan gejala khas sindrom epilepsi simtomatik.
2.6 Diagnosa Banding Epilepsi
Diagnosis banding epilepsi adalah kejang non-epileptik dan serangan
paroksismal bukan kejang. Yang termasuk kejang non-epileptik adalah kejang
demam, kejang refleks, kejang anoksik, kejang akibat withdrawal alkohol,
kejang yang dicetuskan obat-obatan atau bahan kimiawi lainnya, kejang
pascatrauma, dan kejang akibat kelainan metabolik atau elektrolit akut.
Dalam menentukan suatu serangan merupakan kejang epileptik, perlu
disingkirkan pelbagai serangan paroksismal non-epileptik. Pembedaan kejang
epileptik, kejang non-epileptik, dan serangan paroksismal bukan kejang
dilakukan melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, serta pemeriksaan penunjang
sesuai indikasi yang ditemukan pada anamnesis dan pemeriksaan fisis.
Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) dengan rekaman video pada saat
terjadi serangan terkadang dapat membantu menentukan apakah serangan
merupakan kejang epileptik, namun pemeriksaan EEG dan rekaman video
secara terpisah tidak dapat menentukan atau menyingkirkan kejang epileptik
dan bukan merupakan pemeriksaan baku emas.1

2.7 Tatalaksana
a. Medikamentosa
Pemilihan obat anti epilepsi (OAE) sangat tergantung pada bentuk
bangkitan dan sindroma epilepsi, selain itu juga perlu dipikirkan
kemudahan pemakaiannya. Penggunaan terapi tunggal dan dosis tunggal
menjadi pilihan utama. Kepatuhan pasien juga ditentukan oleh harga dan

10
efek samping OAE yang timbul. Keputusan pemberian pengobatan setelah
bangkitan pertama dibagi dalam 3 kategori:8
1. Definitely treat (pengobatan perlu dilakukan segera)
Terdapat lesi struktural, seperti :
1) Tumor otak
2) Infeksi : seperti abses, ensefalitis herpes
Tanpa lesi struktural :
1) Terdapatnya riwayat epilepsi pada saudara sekandung (bukan orang
tua)
2) EEG dengan gambaran epileptik yang jelas
3) Riwayat bangkitan simpomatik
4) Riwayat trauma kepala, stroke, infeksi SSP
5) Status epilepstikus pada awitan kejang
2. Possibly treat (kemungkinan harus dilakukan pengobatan)
Pada bangkitan yang tidak dicetuskan (diprovokasi) atau tanpa
disertai faktor resiko diatas.
3. Probably not treat (walaupun pengobatan jangka pendek mungkin
diperlukan)
1) Kecanduan alkohol
2) Ketergantungan obat obatan
3) Bangkitan yang diprovokasi oleh kurang tidur
Pilihan OAE Lini Pertama : 1

11
Efek Samping Penggunaan OAE

Concentration Chronic Side


Obat Idiosyncratic
Dependent Effect
Perubahan
perilaku,
Ataksia, gangguan jaringan
Hyperaktivitas, ikat, gangguan
Diskrasia darah,
Fenobarbital sakit intelektual,
Ruam.
kepala, pusing, penyakit metabolit
sedasi, mual. tulang, perubahan
suasana hati,
sedasi.
Ataksia,
nystagmus,
perubahan Perubahan
perilaku, sakit perilaku, jerawat,
kepala, sedasi, defisiensi
Diskrasia darah,
sedasi, folat, penebalan
Fenitoin Ruam, reaksi
inkoordinasi, kulit, hiperplasia
Imunologi.
penglihatan gingiva, gangguan
kabur, kognitif, penyakit
gangguan metabolit tulang

kognitif.
Gangguan GI, Sindrom ovarium
Gagal hati akut,
Asam sedasi, polikistik,
pankreatitis
pusing, tremor, kenaikan BB,
Valproat akut,
trombositopenia. gangguan siklus
alopecia.
menstruasi.
Diplopia,
Karbamazepi pusing, Hiponatremia,
Diskrasia darah,
kantuk, mual, penyakit metabolit
n Ruam.
pusing, tulang.
kelesuan.

12
Sekitar 70% epilepsi pada anak akan berespons baik terhadap OAE
lini pertama atau lini kedua. Jika OAE lini pertama dan lini kedua masing-
masing gagal sebagai monoterapi, peluang untuk mencoba monoterapi lain
dalam memberantas kejang sangat kecil, sehingga terapi OAE kombinasi
patut dipertimbangkan. Sebelum memulai terapi kombinasi, ada beberapa
hal yang patut dipertimbangkan: (1) apakah diagnosis sudah tepat; (2)
apakah kepatuhan minum obat sudah baik; dan (3) apakah pilihan dan
dosis OAE sudah tepat.1

b. Non-Medikamentosa
1. Diet Ketogenik
Diet ketogenik adalah diet dengan kandungan lemak yang
tinggi, rendah karbohidrat, dan cukup protein. Diet tersebut
menghasilkan energi untuk otak bukan dari glukosa sebagai hasil
glikolisis, namun dari keton sebagai hasil oksidasi asam lemak. Rasio
lemak dengan karbohidrat dan protein adalah 3:1 atau 4:1 (dalam
gram). Diet ketogenik dapat diberikan sebagai terapi adjuvan pada
epilepsi intraktabel dan dapat menurunkan frekuensi kejang. Namun
perlu diingat, diet ketogenik pada anak usia 6-12 tahun dapat
menyebabkan pertumbuhan yang lambat, batu ginjal, dan fraktur.
Inisiasi diet ketogenik pada pasien rawat jalan sama efektifnya dengan
inisiasi di ruang rawat inap. Suplementasi multivitamin bebas gula,
kalsium dan vitamin D, serta garam sitrat (untuk mengurangi risiko
batu ginjal) dapat diberikan.1
2. Tindakan Bedah
Sebagian besar epilepsi pada anak dapat dikontrol dengan
terapi medikamentosa. Tindakan bedah saraf dapat dipertimbangkan
pada sebagian kecil penyandang epilepsi yang tetap mengalami kejang
meskipun telah mendapat terapi OAE kombinasi, terdapat
kontraindikasi atau gagal dengan diet ketogenik.1

13
Terapi bedah dikerjakan hanya jika tidak ada sumber
epileptogenik lain di luar area yang direncanakan akan direseksi.
Tindakan tersebut dapat berupa pengangkatan area di mana kejang
bermula atau pengangkatan lesi yang menjadi fokus epileptik.
Pemilihan jenis operasi berdasarkan tipe dan lokalisasi kejang. Jika
bedah kuratif tidak mungkin dikerjakan, anak dengan epilepsi
intraktabel harus dirujuk untuk prosedur bedah paliatif.1
2.8 Edukasi4
1. Edukasi mengenai minum obat secara teratur
2. Edukasi mengenai penghindaran faktor pencetus
3. Edukasi kontrol ulang secara teratur
2.9 Penghentian OAE
Tergesa-gesa dalam menurunkan OAE meningkatkan risiko relaps dan
membuat epilepsi sulit mencapai remisi. Seorang anak dengan epilepsi yang
tidak mengalami kejang setidaknya membutuhkan waktu dua tahun dengan
terapi dan dikatakan mencapai kondisi remisi. Berdasarkan hal tersebut, dosis
OAE diturunkan secara bertahap selama periode 6-12 bulan dapat
dipertimbangkan sebelum akhirnya dihentikan. Pasien yang telah berhenti
dari pengobatan dan tidak mengalami kejang selama minimal 2 tahun
dikatakan telah mencapai kondisi remisi komplit. Relaps merupakan suatu
kondisi pasien mengalami kejang kembali saat OAE diturunkan atau setelah
dihentikan. Risiko relaps pada anak dengan epilepsi sekitar 16%-56% dan
sekitar 63% pasien relaps akan mengalami resistensi obat.9
2.10 Komplikasi
1. Komplikasi Primer
Kejang dan epilepsi menyebabkan kerusakan pada neuron dan
memicu reaksi inflamasi, calcium related injury, jejas sitotoksik,
perubahan reseptor glutamat dan GABA, serta perubahan lingkungan sel
neuron lainnya. Perubahan pada sistem jaringan neuron, keseimbangan
metabolik, sistem saraf otonom, serta kejang berulang dapat
menyebabkan komplikasi sistemik. Proses kontraksi dan relaksasi otot

14
dapat menyebabkan kerusakan otot, demam, rabdomiolisis, bahkan gagal
ginjal. Selain itu, keadaan hipoksia akan menyebabkan metabolisme
anaerob dan memicu asidosis. Kejang juga menyebabkan perubahan
fungsi saraf otonom dan fungsi jantung (hipertensi, hipotensi, gagal
jantung, atau aritmia). Metabolisme otak pun terpengaruh; mulanya
terjadi hiperglikemia akibat pelepasan katekolamin, namun 30-40 menit
kemudian kadar glukosa akan turun. Seiring dengan berlangsungnya
kejang, kebutuhan otak akan oksigen tetap tinggi, dan bila tidak terpenuhi
akan memperberat kerusakan otak. Edema otak pun dapat terjadi akibat
proses inflamasi, peningkatan vaskularitas, atau gangguan sawar darah-
otak.10
2. Komplikasi Sekunder
a. Peningkatan berat badan
Valproat berkaitan dengan penambahan berat badan pada anak
dan remaja. Kelebihan berat badan pada awal terapi merupakan
prediktor yang bermakna untuk peningkatan berat badan selanjutnya
selama pemakaian obat tersebut.1
b. Gangguan kognitif
Orangtua kerap melaporkan perubahan fungsi kognitif akibat
efek samping OAE, namun beberapa studi berkualitas tinggi
menunjukkan bahwa tidak terdapat gangguan kognitif pada pemberian
klobazam, valproat, karbamazepin, atau fenitoin. Fenobarbital dapat
menyebabkan gangguan kognitif pada anak.1
c. Hipertorfi gusi
Hipertrofi atau pembesaran gusi sering berkaitan dengan
fenitoin, namun jarang terjadi pada natrium valproat dan vigabatrin.
Hal tersebut dapat dicegah dengan higiene oral yang baik, yang pada
beberapa anak cukup sulit, terutama pada anak dengan kesulitan fisik
dan belajar.1
d. Gangguan fungsi hati

15
Asam valproat berhubungan dengan peningkatan enzim
transaminase hati dan kadar amonia darah namun biasanya
asimtomatik. Peningkatan enzim transaminase kurang dari tiga kali
nilai normal dan asimtomatik tidak memerlukan penghentian OAE.
Bila kadar enzim transaminase meningkat lebih dari tiga kali, maka
kadarnya perlu diulang beberapa minggu kemudian dan OAE
dihentikan bila kadarnya meningkat secara cepat dan simtomatik.
Hepatotoksisitas akibat asam valproat biasanya terjadi pada anak
berusia kurang dari 3 tahun dan terjadi dalam 6 bulan pertama
pemberian. Namun seringkali anak-anak tersebut tidak hanya
mendapat asam valproat, tetapi mendapat politerapi, serta diduga
terdapat kelainan metabolik yang mendasari, misalnya defek siklus
urea, asiduria organik, storage disease, atau kelainan metabolik
bawaan lainnya.1
e. Leukopenia dan agranulositosis
Penggunaan karbamazepin berhubungan dengan leukopenia
yang terjadi dalam 2-3 bulan pertama terapi. Anemia dan
agranulositosis dilaporkan dapat terjadi namun sangat jarang, dengan
perkiraan insidens 2 dari 575.000 paparan. Pada keadaan leukopenia
dan agranulositosis, jumlah leukosit dan hitung jenis diulang setiap 3-
4 minggu mencapai nilai normal. Jika nilai absolute neutrophil count
(ANC) kurang dari 1000, maka pemberian karbamazepin harus
dihentikan.1

2.11 Prognosis
Empat puluh persen anak penderita epilepsi mengalami status
epileptikus sebelum usia 2 tahun, bahkan 75% penderita epilepsi mengalami
status epileptikus sebagai gejala pertama epilepsi.1
Risiko terjadinya relaps meningkat pada :4
1. Anak dengan epilepsi simtomatik
2. Awitan bangkitan umur ≥ 12 tahun

16
3. Durasi bebas bangkitan < 6 bulan
4. EEG abnormal saat penghentian bangkitan
5. Sindroma dengan risiko relaps tinggi : Juvenile Myoclonic Epilepsy,
sindroma epilepsi pada remaja

BAB III

KESIMPULAN

1. Berdasarkan consensus ILAE (International League Against Epilepsy)


2014, epilepsi adalah penyakit otak yang dapat ditegakkan pada tiga
kondisi, yaitu : (1) Terdapat dua kejadian kejang tanpa provokasi yang

17
terpisah lebih dari 24 jam. (2) Terdapat satu kejadian kejang tanpa
provokasi, namun resiko kejang selanjutnya sama dengan resiko rekurensi
umum setelah dua kejang tanpa provokasi dalam 10 tahun mendatang. (3)
Sindrom epilepsi (berdasarkan pemeriksaan EEG).
2. Di Indonesia, sampai saat ini belum ada data insidens yang pasti karena
banyak penderita epilepsi yang tidak terdeteksi atau tidak mengunjungi
pusat kesehatan.
3. Berdasarkan bangkitan epilepsi dibedakan menjadi : (1) Bangkitan Parsial
/ Fokal (Parsial Sederhana dan Parsial Kompleks). (2) Bangkitan Umum
(Tonik, Mioklonik, Tonik – Klonik (Grand Mal), Absens (Petit Mal), dan
Atonik).
4. Berdasarkan etiologi epilepsi dibedakan menjadi : (1) Epilepsi atau
sindrom epilepsi idiopatik, (2) Epilepsi atau sindrom epilepsi simtomatik,
dan (3) Epilepsi atau sindrom epilepsi kriptogenik.
5. Penegakan diagnosis epilepsi ditentukan dari hasil anamnesis (penentuan
kejang epileptik dan penentuan tipe kejang), pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang yang diperlukan.
6. Tatalaksana pasien epilepsi dilakukan dengan medikamentosa (pemberian
obat anti epilepsi) serta non-medikamentosa (diet ketogenik dan tindakan
bedah).
7. Penghentian pemberian OAE tidak boleh dilakukan secara tergesa-gesa
karena meningkatkan risiko relaps dan membuat epilepsi sulit mencapai
remisi. Dosis OAE diturunkan secara bertahap selama periode 6-12 bulan
dapat dipertimbangkan sebelum akhirnya dihentikan.
8. Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien epilepsi dapat berupa
komplikasi primer maupun komplikasi sekunder (efek penggunaan OAE)
9. Empat puluh persen anak penderita epilepsi mengalami status epileptikus
sebelum usia 2 tahun, bahkan 75% penderita epilepsi mengalami status
epileptikus sebagai gejala pertama epilepsi.

18
19
DAFTAR PUSTAKA

1. KEMENKES RI. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana


Epilepsi Pada Anak. Jakarta : KEMENKES RI. 2017.
2. Suwarba IGNM. Insidens dan Karakteristik Klinis Epilepsi pada Anak. Sari
Pediatri. 2011. Vol 13 (2). Viewed from http://saripediatri.org
3. Kristanto A. Epilepsi bangkitan umum tonik-klonik di UGD RSUP Sanglah
Denpasar-Bali. Intisari Sains Medis. 2017. Vol 8 (1). Viewed from
http://isainsmedis.id
4. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Panduan Praktik Klinis
Neurologi. 2017.
5. Minardi C, Minacapelli R, Valastro P, Vasile F, Pitino, S, Pavone P, Astuto
M, Murabito P. Epilepsy in Children: From Diagnosis to Treatment with
Focus on Emergency. Journal of clinical medicine. 2019. Vol 8 (39). Viewed
from http://mdpi.com/journal/jcm
6. IDAI DKI Jakarta. Knowledge and Soft Skill Update to Improve Child Health
Care. 2015.
7. Tartila. Gambaran Gelombang Epileptiform Pada Eeg Anak Dengan Epilepsi
- Kajian Pada Faktor-Faktor Yang Memengaruhi. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu
Kesehatan Anak. 2015. Viewed from http://lib.ui.ac.id
8. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Standar Pelayanan Medis
PERDOSSI. 2017.
9. Triono A, Herini ES, Mangunatmadja I. Luaran Klinis Anak dengan Epilepsi
yang Mengalami Relaps Setelah Penghentian Obat Antiepilepsi. Sari Pediatri.
2019. Vol 20 (6). Viewed from http://saripediatri.org
10. IDAI. Rekomendasi Penatalaksanaan Status Epileptikus. 2016.

20

Anda mungkin juga menyukai