Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Gantung diri merupakan cara kematian yang paling sering dijumpai pada bunuh diri.
Tindakan bunuh diri dengan cara penggantungan sering dilakukan karena dapat dilakukan
dimana saja dan kapan saja, dapat menggunakan seutas tali, kain, dasi atau bahan apa saja
yang dapat melilit leher. Demikian pula pada pembunuhan atau hukuman mati dengan cara
penggantungan yang sudah digunakan sejak zaman dahulu.Penggantungan (hanging)
adalah penyebab kematian akibat asfiksia yang paling sering ditemukan.1,2
Penggantungan adalah penyebab kematian akibat asfiksia yang paling sering
ditemukan. Bagaimanapun, penggantungan juga merupakan penyebab kematian yang
paling sering menimbulkan persoalan karena rawan terjadi salah interpretasi baik oleh ahli
forensic, polisi, dan dokter non-forensik.1
Penggantungan merupakan metode bunuh diri yang sering ditemukan di banyak negara.
Di Inggris, terdapat lebih dari 2000 kasus bunuh diri dengan penggantungan dilaporkan
setiap tahun. Penggantungan baik akibat bunuh diri atau pembunuhan lebih sering
ditemukan di perkotaan.1 Di Departemen Forensik Leeds menunjukkan bahwa gantung diri
sekitar 6 dari 146 kasus kematian mendadak tidak wajar pertahun.3
Di Amerika Serikat, pada tahun 2001 dilaporkan sebanyak 279 kematian yang
dikibatkan oleh penggantungan yang tidak disengajakan dan strangulasi, dan 131 kematian
karena penggantungan, strangulasi, dan lemas.2 Pada balita, biasanya terjadi accidental
hanging yaitu penggantungan yang tidak disengajakan misalnya akibat dijerat ayunan.2
Data yang dihimpun dari Polda Metro Jaya diketahui bahwa pada tahun 2009 ada 90
kasus gantung diri, tahun 2010 ada 101 kasus dan tahun 2011 ada 82 kasus gantung diri.4
Dalam kasus gantung diri diperlukan pemeriksaan yang teliti untuk mencegah
kemungkinan lain, seperti pembunuhan atau kecelakaan. Penggantungan juga merupakan
penyebab kematian yang paling sering menimbulkan persoalan karena rawan terjadi salah
interpretasi. Oleh karena itu, sangatlah perlu untuk mengetahui lebih mendalam
mengenai penggantungan (hanging), khususnya mengenai gantung diri mengingat kasus
ini merupakan penyebab kematian akibat asfiksia yang paling sering ditemukan. Selain itu,
dalam aspek medikolegal, sebagai dokter yang memeriksa perlu memastikan apakah kasus
penggantungan tersebut merupakan tindakan bunuh diri, pembunuhan atau kecelakaan
sehingga dapat membuat terang suatu perkara pidana, khususnya penggantungan.
1.2. Tujuan
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk memenuhi Tugas Kepaniteraaan Klinik di
Departemen Ilmu Kedokteran Forensik Rumah Sakit Umum Daerah Kabelota Kabupaten
Donggala dan untuk memberikan pengetahuan kepada mahasiswa mengenai pemeriksaan
kasus gantung diri.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Gantung diri adalah suatu tindakan yang dilakukan secara sengaja untuk membunuh diri
sendiri melalui suatu penggantungan.5 Ada beberapa definisi tentang penggantungan.
Penggantungan atau hanging adalah suatu keadaan dimana terjadi konstriksi dari leher oleh
alat jerat yang ditimbulkan oleh berat badan seluruh atau sebagian.1
Penggantungan juga didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana leher dijerat dengan
ikatan yang mana daya jerat ikatan tersebut memanfaatkan berat badan tubuh atau kepala.1,6
Dengan demikian berarti alat penjerat bersifat pasif dan berat badan bersifat aktif sehingga
terjadi konstriksi pada leher.1,2Keadaan tersebut berbeda dengan penjeratan, dimana yang
aktif (kekuatan yang menyebabkan konstriksi leher), adalah terletak pada alat penjeratnya.5
Penggantungan (Hanging) adalah suatu keadaan dimana terjadi konstriksi dari leher
oleh alat penjerat yang ditimbulkan oleh berat badan seluruh atau sebagian. Alat penjerat
sifatnya pasif, sedangkan berat badan sifatnya aktif sehingga terjadi konstriksi pada leher. 8
Umumnya penggantungan melibatkan tali, tapi hal ini tidaklah perlu. Penggantungan yang
terjadi akibat kecelakaan bisa saja tidak terdapat tali. Pada beberapa kasus konstriksi dari
leher terjadi akibat eratnya jeratan tali bukan oleh berat badan yang tergantung. Pada
beberapa kasus yang jarang, jeratan tali dipererat oleh berat tubuh yang tergantung oleh
individu dalam keadaan tegak lurus. Kekuatan tambahan juga kadang dibutuhkan untuk
mengeratkan tali.9
2.2. Epidemiologi
Suatu tinjauan pada tahun 2008 di 56 negara berdasarkan data mortalitas World Health
Organization (WHO) ditemukan bahwa penggantungan merupakan metode bunuh diri yang
paling utama pada sebagian besar negara-negara tersebut. 5 Di Amerika Serikat, pada tahun
2005, the National Center for Injury Prevention and Control melaporkan 13,920 kematian di
seluruh Amerika Serikat akibat sufokasi, dengan angka rata-rata 4,63 per 100.000. Angka ini
meliputi pula strangulasi dan hanging aksidental, strangulasi dan sufokasi aksidental,
hanging, strangulasi dan sufokasi serta ancaman terhadap pernafasan aksidental lainnya.7
Penggantungan bunuh diri disetujui bersama lebih banyak pada laki-laki. 7 Di Eropa
Timur (misalnya Estonia, Latvia, Polandia dan Romania), proporsi tertinggi kasus gantung
diri lebih banyak pada laki-laki, yaitu 90%, sedangkan pada wanita 80%. 8 Namun akhir-
akhir ini wanita lebih banyak memilih metode ini untuk melakukan bunuh diri dibanding
penggunaan senjata api dan racun.7Sedangkan berdasarkan usia, kelompok remaja
melakukan tindakan bunuh diri akibat depresi dimana dapat memicu gantung diri. Terdapat
pula peningkatan insidensi accidental hanging karena "the choking game", suatu strangulasi
leher yang disengaja dalam rangka menikmati perubahan status mental dan sensasi fisik.
Pada kelompok usia dewasa muda, penyebab tersering adalah penyerangan dan bunuh diri
akibat depresi. Para narapidana sering memilih gantung diri sebagai upaya bunuh diri karena
ini merupakan satu dari sedikit metode yang tersedia bagi mereka.7
Di India, dari tahun 1997-2000, didapatkan kematian akibat penggantungan sebesar
3,4%. Penggantungan yang diakibatkan oleh bunuh diri lebih sering ditemukan pada jenis
kelamin laki-laki (2:1), tetapi kematian yang disebabkan oleh kekerasan strangulasi lebih
dominan ditemukan pada wanita.2 . Di Istanbul, Turki, 537 dari semua kasus gantung diri
adalah laki-laki (70,56%) dan 224 adalah wanita (29,44%).3 Jika dilihat dari faktor umur,
insidens penggantung lebih sering terjadi pada dewasa muda. Di India misalnya, kematian
akibat penggantungan paling sering ditemukan pada kelompok umur 21-25 tahun4,manakala
penelitian Davidson & Marshall (1986), melaporkan bahwa insidens penggantungan yang
paling tinggi adalah pada kelompok umur 20-39 tahun.5

2.3. Mekanisme Kematian pada Penggantungan


Kematian pada kasus gantung diri dapat disebabkan oleh mekanisme tertentu,
diantaranya sebagai berikut :
1. Asfiksia.
Merupakan penyebab kematian yang paling sering. Terjadi akibat terhambatnya
aliran udara pernafasan.1 Kekuatan kontriksi dari pengikat menyebabkan penyempitan
kompresif pada lumina laring dan trakea, dan menekan ke atas dasar lidah terhadap
dinding posterior faring, dan melipat epiglotis di atas pintu masuk laring untuk
menghalangi aliran udara.6
Asfiksia bisa juga terjadi akibat dari tertutupnya jalan nafas. Kondisi ini terjadi setelah
korban tidak sadar dan tidak ada usaha untuk bernafas. Akhirnya, korban mati. Gambaran
klasik asfiksia termasuk:15
1. Kongesti pada wajah.
Kulit tampak kemerahan pada wajah dan kepala akibat hambatan aliran kembali
vena ke jantung oleh kompresi leher
2.  Edema pada wajah
Pembengkakan jaringan akibat transudasi cairan dari vena akibat peningkatan
vena hasil obstruksi aliran kembali vena ke jantung
3.  Sianosis pada wajah
Warna biru pada kulit akibat adanya darah terdeoksigenasi dalam sistem vena
yang terkongesti serta kadang-kadang turut melibatkan sistem arteri.
4.  Peteki pada kulit wajah dan mata
Perdarahan halus sebesar ujung jarum lazim ditemukan di wajah dan sekitar
kelopak mata selain pada konjunktiva dan sklera akibat darah bocor dari vena kecil
yang mengalami peningkatan tekanan. Keadaan ini diduga akibat hipoksia dinding
pembuluh darah namun belum terbukti pasti. Peteki bukan tanda diagnostik asfiksia
karena dapat ditemukan pada keadaan batuk atau bersin yang terlampau keras. Hal
yang terkait peteki wajah adalah peteki visceral yang disebut “Tardieu spots” yang
sebelumnya dianggap tanda khas asfiksia kini sudah terbukti bukan tanda terjadinya
obstruksi pernapasan.
2. Apopleksia (kongesti pada otak).
Tekanan pada pembuluh darah vena menyebabkan kongesti pada pembuluh darah
otak dan mengakibatkan kegagalan sirkulasi.Tekanan  pada  vena  jugularis  bisa
menyebabkan  kematian  korban penggantungan dengan mekanisme asfiksia.
Kebanyakan kasus penggantungan bunuh diri mempunyai mekanisme kematian seperti
ini. Seperti yang diketahui, vena jugularis membawa darah dari otak ke jantung untuk
sirkulasi. Pada penggantungan sering terjadi penekanan pada vena jugularis oleh tali yang
menggantung korban. Tekanan ini seolah-olah membuat jalan yang dilewati darah untuk
kembali ke jantung dari otak tersumbat. Obstruksi  total maupun  parsial  secara
perlahan-lahan  dapat menyebabkan kongesti pada pembuluh darah otak. Darah tetap
mengalir dari jantung ke otak tetapi darah dari otak tidak bisa mengalir keluar. Akhirnya,
terjadilah penumpukan darah di pembuluh darah otak. Keadaan ini menyebabkan suplai
oksigen ke otak berkurang dan korban seterusnya tidak sadarkan diri. Kemudian,
terjadilah depresi pusat nafas dan korban mati akibat asfiksia. Besarnya tekanan yang
diperlukan untuk terjadinya mekanisme ini idak  penting  tetapi  durasi lamanya tekanan
yang diberikan  pada  leher  oleh tali  yang menggantung korban yang menyebabkan
mekanisme tersebut. Ketidaksadaran korban memerlukan waktu yang lama sebelum
terjadinya depresi pusat nafas. Secara keseluruhan, mekanisme ini tidak menyakitkan
sehingga sering disalahgunakan oleh pria untuk memuaskan nafsu seksual mereka
(autoerotic sexual asphyxia). Pada mekanisme ini, korban akan menunjukkan gejala
sianosis. Wajahnya membiru dan sedikit membengkak. Muncul peteki di wajah dan mata
akibat dari pecahnya kapiler darah karena tekanan yang lama. Didapatkan lidah yang
menjulur keluar pada pemeriksan luar.1
Obstruksi arteri karotis terjadi akibat dari penekanan yang lebih besar. Hal ini
karena secara anatomis, arteri karotis berada lebih dalam dari vena jugularis. Oleh karena
itu, obstruksi arteri karotis jarang ditemukan pada kasus bunuh diri dengan
penggantungan. Biasanya korban mati karena tekanan yang lebih besar, misalnya
dicekik atau pada penjeratan. Pada pemeriksaan dalam turut ditemukan jejas pada
jaringan lunak sekitar arteri karotis akibat tekanan yang besar ini. Tekanan ini
menyebabkan aliran darah ke otak tersumbat. Kurangnya suplai darah ke otak
menyebabkan korban tidak sadar diri dan depresi pusat nafas sehingga kematian terjadi.
Pada mekanisme ini, hanya ditemukan wajah yang sianosis tetapi tidak ada peteki.1

Gambar 1. Kongesti yang menyolok pada leher akibat gantung diri

3. Kombinasi dari asfiksia dan apopleksia.


4. Iskemia serebral. Hal ini akibat penekanan dan hambatan pembuluh darah arteri yang
memperdarahi otak.
5. Syok Vaso-Vagal (refleks vagal).
Perangsangan pada sinus caroticus menyebabkan henti jantung. Hal ini dapat
dijelaskan melalui mekanisme:
a. Inhibisi vagal sering diikuti oleh fibrilasi ventrikel
b. Secara experimental pada binatang yang dibuat dalam keadaan obstruktive asphyxia,
setelah beberapa menit akan diikuti dengan berkurangnya detak jantung kemudian
beberapa saat terjadi takikardi sampai terjadi kematian.
6. Kerusakan pada batang otak dan medula spinalis.
Hal ini terjadi akibat dislokasi atau fraktur vertebra servikalis. Fraktur vertebra
servikal dapat menimbulkan kematian pada penggantungan dengan mekanisme asfiksia
atau dekapitasi. Sering terjadi fraktur atau cedera pada vertebra servikal 1 dan servikal 2
(aksis dan atlas) atau lebih dikenali sebagai “hangman fracture”. Fraktur atau dislokasi
vertebra servikal akan menekan medulla oblongata sehingga terjadi depresi pusat nafas
dan korban meninggal karena henti nafas.6
Kejadian ini biasa terjadi pada hukuman gantung atau korban penggantungan yang
dilepaskan dari tempat tinggi.Pada keadaan dimana tali yang menjerat leher cukup
panjang, kemudian korbannya secara tiba-tiba dijatuhkan dari ketinggian 1,5–2 meter
maka akan mengakibatkan fraktur atau dislokasi vertebra servikalis yang akan menekan
medulla oblongata dan mengakibatkan terhentinya pernafasan.1
7. Kematian segera akibat dari penggantungan dapat muncul akibat dari beberapa
mekanisme.
Penekanan pada ganglion saraf arteri karotis oleh tali yang melingkar pada leher
korban dapat menyebabkan carotid bodyreflex (refleks vagus) sehingga memicu
perlambatan denyut jantung. Perlahan-perlahan terjadi aritmia jantung sehingga terakhir
korban mati dengan cardiac arrest. Namun mekanisme kematian ini jarang didapatkan
karena untuk menimbulkan refleks karotis, tekanan lansung yang kuat harus diberikan
pada area khusus di mana carotid body berada. Hal ini sukar dipastikan. Sebagai
tambahan refleks karotis juga dapat dimunculkan biar pun tanpa penggantungan.13,14

8. Tekanan pada vena jugularis juga bisa menyebabkan kematian korban penggantungan
dengan mekanisme asfiksia.
Kebanyakan kasus penggantungan bunuh diri mempunyai mekanisme kematian
seperti ini. Seperti yang diketahui, vena jugularis membawa darah dari otak ke jantung
untuk sirkulasi. Pada penggantungan sering terjadi penekanan pada vena jugularis oleh
tali yang menggantung korban. Tekanan ini seolah-olah membuat jalan yang dilewati
darah untuk kembali ke jantung dari otak tersumbat. Obstruksi total maupun parsial
secara perlahan-lahan dapat menyebabkan kongesti pada pembuluh darah otak. Darah
tetap mengalir dari jantung ke otak tetapi darah dari otak tidak bisa mengalir keluar.
Akhirnya, terjadilah penumpukan darah di pembuluh darah otak. Keadaan ini
menyebabkan suplai oksigen ke otak berkurang dan korban seterusnya tidak sadarkan
diri. Kemudian, terjadilah depresi pusat nafas dan korban mati akibat asfiksia. Tekanan
yang diperlukan untuk terjadinya mekanisme ini tidak penting tetapi durasi lamanya
tekanan diberikan pada leher oleh tali yang menggantung korban yang menyebabkan
mekanisme tersebut. Ketidaksadaran korban mengambil waktu yang lama sebelum
terjadinya depresi pusat nafas. Secara keseluruhan, mekanisme ini tidak menyakitkan
sehingga disalahgunakan oleh pria untuk memuaskan nafsu seksual mereka (autoerotic
sexual asphyxia). Pada mekanisme ini, korban akan menunjukkan gejala sianosis.
Wajahnya membiru dan sedikit membengkak. Muncul peteki di wajah dan mata akibat
dari pecahnya kapiler darah karena tekanan yang lama. Didapatkan lidah yang menjulur
keluar pada pemeriksan luar.9,13,14

9. Obstruksi arteri karotis terjadi akibat dari penekanan yang lebih besar. Hal ini karena
secara anatomis, arteri karotis berada lebih dalam dari vena jugularis. Oleh hal yang
demikian, obstruksi arteri karotis jarang ditemukan pada kasus bunuh diri dengan
penggantungan. Biasanya korban mati karena tekanan yang lebih besar, misalnya dicekik
atau pada penjeratan. Pada pemeriksaan dalam turut ditemukan jejas pada jaringan lunak
sekitar arteri karotis akibat tekanan yang besar ini. Tekanan ini menyebabkan aliran darah
ke otak tersumbat. Kurangnya suplai darah ke otak menyebabkan korban tidak sadar diri
dan depresi pusat nafas sehingga kematian terjadi. Pada mekanisme ini, hanya ditemukan
wajah yang sianosis tetapi tidak ada peteki.2,13,14

10. Fraktur vertebra servikal dapat menimbulkan kematian pada penggantungan dengan
mekanisme asfiksia atau dekapitasi. Kejadian ini biasa terjadi pada hukuman gantung
atau korban penggantungan yang dilepaskan dari tempat tinggi. Sering terjadi fraktur atau
cedera pada vertebra servikal 1 dan servikal 2 (aksis dan atlas) atau lebih dikenali sebagai
“hangman fracture”. Fraktur atau dislokasi vertebra servikal akan menekan medulla
oblongata sehingga terjadi depresi pusat nafas dan korban meninggal karena henti nafas.13

2.4. Pengelompokkan Penggantungan


Penggantungan dapat dikelompokkan berdasarkan posisi korban pada saat gantung diri,
yang terdiri dari :1,6
1. Complete Hanging, yaitu posisi penggantungan dimana kedua kaki tidak menyentuh
lantai.

Gambar 2. Contoh posisi pada complete hanging

2. Partial Hanging, yaitu posisi penggantungan berupa duduk berlutut. Istilah ini digunakan
jika beban berat badan tubuh tidak sepenuhnya menjadi kekuatan daya jerat tali. Pada
kasus tersebut berat badan tubuh tidak seluruhnya menjadi gaya berat sehingga disebut
penggantungan parsial.
Gambar 3. Contoh posisi pada partial hanging

3. Berbaring, posisi penggantungan seperti ini biasanya dilakukan di bawah tempat tidur.

Gambar 4. Contoh posisi gantung diri berbaring

Selain berdasarkan posisi, penggantungan (hanging) juga dapat dikelompokkan


berdasarkan letak jeratan, yaitu typical hanging dan atypical hanging.1
1. Typical hanging, yaitu bila titik penggantungan ditemukan di daerah oksipital dan
tekanan pada arteri karotis paling besar.
2. Atypical hanging, yaitu bila titik penggantungan terletak di samping, sehingga leher miring
(fleksilateral), yang mengakibatkan hambatan pada arteri karotis dan arteri vertebralis. Saat
arteri terhambat, korban segera tidak sadar.
2.4 Aspek Medikolegal
Gantung diri merupakan cara kematian yang paling sering dijumpai pada
penggantungan, tetapi pemeriksaan yang teliti tetap harus dilakukan untuk mencegah
kemungkinan lain. Kepentingan medikolegal dalam kasus penggantungan adalah
menentukan 2 hal, yaitu :6
- Apakah kematian disebabkan oleh penggantungan? Pertanyaan ini sering diajukan
kepada dokter pemeriksa dalam persidangan
- Apakah penggantungan tersebut merupakan bunuh diri, pembunuhan atau kecelakaan?

Beberapa faktor di bawah ini dapat dijadikan bahan pertimbangan:


a. Penggantungan biasanya merupakan tindakan bunuh diri, kecuali dibuktikan lain.
b. Cara terjadinya penggantungan
c. Bukti-bukti tidak langsung di sekitar tempat kejadian
d. Tanda berupa jejas penjeratan
e. Tanda-tanda kekerasan atau perlawanan
Berdasarkan cara kematian:8
a.  Suicidal Hanging (Gantung Diri)
Gantung diri merupakan cara kematian yang paling sering dijumpai pada
penggantungan, yaitu sekitar 90% dari seluruh kasus. Walaupun demikian,
pemeriksaan yang teliti harus dilakukan untuk mencegah kemungkinan lain
terutamanya pembunuhan.
b. Accidental Hanging
Kejadian penggantungan akibat kecelakaan lebih banyak ditemukan pada anak-
anak utamanya pada umur antara 6-12 tahun. Tidak ditemukan alasan untuk bunuh diri
karena pada usia itu belum ada tilikan dari anak untuk bunuh diri. Hal ini terjadi akibat
kurangnya pengawasan dari orang tua. Meskipun tidak menutup kemungkinan hal ini
dapat terjadi pada orang dewasa yaitu ketika melampiaskan nafsu seksual yang
menyimpang (Autoerotic Hanging).
c. Homicidal Hanging (Pembunuhan)
Pembunuhan yang dilakukan dengan metode menggantung korban. Biasanya
dilakukan bila korbannya anak-anak atau orang dewasa yang kondisinya lemah baik
oleh karena penyakit atau dibawah pengaruh obat, alcohol, atau korban sedang tidur.
Sering ditemukan kejadian penggantungan tetapi bukan kasus bunuh diri, namun
kejadian diatur sedemikian rupa hingga menyerupai kasus penggantungan bunuh diri.
Banyak alasan yang menyebabkan pembunuhan terjadi mulai dari masalah sosial,
masalah ekonomi, hingga masalah hubungan sosial.
Pemeriksaan post-mortal pada kasus gantung diri atau penggantungan dipengaruhi
oleh mekanisme kematiannya; mekanisme kematian yang berbeda akan memberikan
gambaran post-mortal yang berbeda.
Pemeriksaan tempat kejadian.8,17

1. Periksa apakah masih hidup atau sudah meninggal


2. Keadaan di TKP (tempat kejadian perkara) : Pada kasus gantung diri, keadaanya
tenang, di ruang atau tempat tersembunyi atau pada tempat yang sudah tidak
digunakan.
3. Pakaian korban : Pada kasus gantung diri biasa ditemukan pakaian korban cukup
rapih, sering didapatkan surat peninggalan dan tidak jarang diberikan alas sapu tangan
sebelum alat jerat dikalungkan ke leher.
4. Adakah alat penumpu seperti bangku dan sebagainya
5. Jumlah lilitan : Semakin banyak jumlah lilitan, dugaan bunuh diri makin besar
6. Arah serabut tali penggantung:
-  Bunuh diri  arah serabut tali menuju korban
-  Dibunuh terlebih dulu  arah serabut sebaliknya

7. Distribusi lebam mayat. Diperiksa apakah sesuai dengan posisi korban yang
tergantung atau tidak.
8. Macam simpul pada jerat di leher
-  Simpul hidup : Umumnya pada kasus bunuh diri.
-  Simpul mati
Pemeriksaan : Bila dilonggarkan maksimal, apakah dapat melewati kepala. Bila dapat
biasanya bunuh diri,. Bila tidak, curiga pembunuhan.
9. Jarak ujung jari kaki dengan lantai.
Pada kasus bunuh diri, posisi korban yang tergantung lebih mendekati lantai, berbeda
dengan pembunuhan dimana jarak antara kaki dan lantai cukup lebar.
10. Letak korban di tempat kejadian
Cara menurunkan korban:
Potong bahan penggantung di luar simpul. Awalnya buat ikatan pada 2 tempat
untuk mencegah serabut terurai lalu potong diantara kedua ikatan secara miring untuk
memudahkan rekonstruksi.
11. Bekas serabut tali pada tempat menggantung dan pada leher diamankan untuk
pemeriksaan lebih lanjut.
12. Bahan penggantung; makin kecil/keras bahan makin jelas alur jerat yang timbul di
leher.
-   Tali, kawat, selendang, ikat pinggang
-   Seprei yang disambung

Gambar 6: Contoh kasus gantung diri: pada TKP didapatkan


keadaan tenang, pakaian rapih dan alatpenumpu yaitu kursi.10
 
5. 2 Pemeriksaan Otopsi.
5. 21Pemeriksaan luar.
Kepala:

1. Muka sianotik (vena terjepit) atau muka pucat (vena dan arteri terjepit)
2. Tanda penjeratan pada leher. Hal ini sangat penting diperhatikan oleh dokter, dan
keadaannya bergantung kepada beberapa kondisi :
a. Tanda penjeratannya jelas dan dalam jika tali yang digunakan kecil dibandingkan
jika menggunakan tali yang besar. Bila alat penjerat mempunyai permukaan yang
luas, yang berarti tekanan yang ditimbulkan tidak terlalu besar tetapi cukup
menekan pembuluh balik, maka muka korban tampak sembab, mata menonjol,
wajah berwarna merah kebiruan dan lidah atau air liur dapat keluar tergantung
dari letak alat penjerat. Jika permukaan alat penjerat kecil, yang berarti tekanan
yang ditimbulkan besar dan dapat menekan baik pembuluh balik maupun
pembuluh nadi; maka korban tampak pucat dan tidak ada penonjolan dari mata.
b. Alur jerat : bentuk penjeratannya berjalan miring (oblik atau berbentuk V) pada
bagian depan leher, dimulai pada leher bagian atas di antara kartilago tiroid
dengan dagu, lalu berjalan miring sejajar dengan garis rahang bawah menuju
belakang telinga. Tanda ini semakin tidak jelas pada bagian belakang.
c. Tanda penjeratan atau jejas jerat yang sebenarnya luka lecet akibat tekanan alat
jerat yang berwarna merah kecoklatan atau coklat gelap dan kulit tampak kering,
keras dan berkilat. Pada perabaan, kulit terasa seperti perabaan kertas perkamen,
disebut tanda parchmentisasi, dan sering ditemukan adanya vesikel pada tepi jejas
jerat tersebut dan tidak jarang jejas jerat membentuk cetakan sesuai bentuk
permukaan dari alat jerat.
d. Pada tempat dimana terdapat simpul tali yaitu pada kulit dibagian bawah telinga,
tampak daerah segitiga pada kulit dibawah telinga.
e. Pinggiran berbatas tegas dan tidak terdapat tanda-tanda abrasi disekitarnya.
f. Jumlah tanda penjeratan. Kadang-kadang pada leher terlihat 2 buah atau lebih
bekas penjeratan. Hal ini menunjukkan bahwa tali dijeratkan ke leher sebanyak 2
kali.
3. Tanda-tanda asfiksia.

a. Mata menonjol keluar; oleh karena pecahnya oleh bendungan kepala, dimana
vena-vena terhambat sedang arteri tidak.
b. Perdarahan berupa peteki tampak pada wajah dan subkonjungtiva; pecahnya vena
oleh bendungan dan meningkatnya permeabilitas pembuluh darah akibat asfiksia.
c. Lidah menjulur; tergantung dari letak jerat. Bila tepat di kartilago tiroid lidah
akan terjulur sedang jika di atasnya lidah tidak akan terjulur.
2. Air liur mengalir dari sudut bibir di bagian yang berlawanan dengan simpul tali. Keadaan
ini menunjukkan tanda pasti penggantungan ante-mortem.
3. Kedalaman dari bekas penjeratan menunjukkan lamanya tubuh tergantung.
4. Jika korban lama tergantung, ukuran leher menjadi semakin panjang.

Anggota gerak

7. Lebam mayat dan bintik-bintik perdarahan terutama pada bagian akral dari ekstremitas,
sangat tergantung dari lamanya korban dalam posisi tergantung.
8. Posisi tangan biasanya dalam keadaan tergenggam.
Dubur dan kelamin

9. Keluarnya mani, darah (sisa haid), urin dan feses akibat kontraksi otot polos pada saat
stadium konvulsi pada puncak asfiksia.
Hai ini bukan merupakan tanda khas dari penggantungan dan keadaan ini tidak selalu menyertai
penggantungan.
5. 22Pemeriksaan dalam.
Kepala

1. Tanda bendungan pembuluh darah otak

Leher

2. Jaringan yang berada dibawah jeratan berwarna putih, berkilat dan perabaan seperti
perkamen karena kekurangan darah, terutama jika mayat tergantung cukup lama. Pada
jaringan dibawahnya mungkin tidak terdapat cedera lainnya.
3. Platisma atau otot lain disekitarnya mungkin memar atau ruptur pada beberapa keadaan.
Kerusakan otot ini lebih banyak terjadi pada kasus penggantungan yang disertai dengan
tindak kekerasan.
4. Lapisan dalam dan bagian tengah pembuluh darah mengalami laserasi ataupun ruptur.
Resapan darah hanya terjadi didalam dinding pembuluh darah.
5. Fraktur tulang hyoid jarang terjadi. Fraktur ini biasanya terdapat pada penggantungan
yang korbannya dijatuhkan dengan tali penggantung yang panjang dimana tulang hyoid
mengalami benturan dengan tulang vertebra. Adanya efusi darah disekitar fraktur
menunjukkan bahwa penggantungannya ante-mortem.
6. Fraktur kartilago tiroid jarang terjadi. Pada korban diatas 40 tahun, patah tulang ini darap
terjadi bukan karena tekanan alat penjerat tetapi karena terjadinya traksi pada
penggantungan.
7. Fraktur 2 buah tulang vertebra servikalis bagian atas. Fraktur ini sering terjadi pada
korban hukuman gantung

Dada dan perut


8. Perdarahan pada pleura, pericard atau peritoneum
9. Organ-organ dapat mengalami kongesti atau bendungan

Darah

10. Darah dalam jantung gelap dan lebih cair.

2.5. Gambaran Post-Mortem Korban Penggantungan


Ada beberapa hal yang dapat kita jumpai pada pemeriksaan luar dan dalam pada korban
penggantungan. Ada 5 bagian tubuh korban yang kita perhatikan saat melakukan pemeriksaan
luar dan dalam, yaitu:9
1. Kepala.
2. Leher.
3. Anggota gerak (lengan dan tungkai).
4. Dubur.
5. Alat kelamin.
Ada 4 bagian kepala korban yang kita perhatikan saat melakukan pemeriksaan luar
autopsi, yaitu:9
1. Muka.
2. Mata.
3. Konjungtiva.
4. Lidah.

Gambaran yang ditemukan pada korban berdasarkan alat penggantung:9


1. Penampang kecil (tali)
Muka korban penggantungan (hanging) akan mengalami sianosis dan terlihat pucat karena
vena terjepit. Pucat yang tampak pada wajah korban disebabkan tekanan alat penggantung
tidak hanya menyebabkan terjepitnya vena, tetapi tekanan penggantung juga menyebabkan
terjepitnya arteri.
2. Penampang lebar (sarung, sprei)
Mata korban penggantungan (hanging) melotot akibat terjadinya bendungan pada kepala
korban.wajah korban tampak kongesti. Hal ini disebabkan oleh terhambatnya vena-vena
kepala tetapi arteri kepala tidak terhambat.

Hasil Pemeriksaan Luar dan Pemeriksaan Dalam Korban Penggantungan Pemeriksaan


Luar9
1) Tanda penjeratan pada leher. Alur jeratan pada leher korban penggantungan (hanging)
berbentuk lingkaran (V shape). Alur jerat berupa luka lecet atau luka memar dengan ciri-ciri
sebagai berikut :
1. Alur jeratan pucat.
2. Tepi alur jerat coklat kemerahan.
3. Kulit sekitar alur jerat terdapat bendungan.

Alur jeratan yang simetris / tipikal pada leher korban penggantungan (hanging)
menunjukkan letak simpul jeratan berada dibelakang leher korban. Alur jeratan yang
asimetris / atipikal menunjukkan letak simpul disamping leher.

Gambar 5. Gambaran post-mortem pada leher korban hanging

Hal ini sangat penting diperhatikan oleh dokter, dan keadaannya bergantung kepada
beberapa kondisi:
 Tanda penjeratannya jelas dan dalam jika tali yang digunakan kecil dibandingkan jika
menggunakan tali yang besar.
 Bentuk jeratannya berjalan miring (oblik) pada bagian depan leher, dimulai pada leher
bagian atas di antara kartilago tiroid dengan dagu, lalu berjalan miring sejajar dengan
garis rahang bawah menuju belakang telinga. Tanda ini semakin tidak jelas pada bagian
belakang.
 Tanda penjeratan tersebut berwarna coklat gelap dan kulit tampak kering, keras dan
berkilat. Pada perabaan, kulit terasa seperti perabaan kertas perkamen, disebut tanda
parchmentisasi.
 Pada tempat dimana terdapat simpul tali yaitu pada kulit di bagian bawah telinga, tampak
daerah segitiga pada kulit di bawah telinga.
 Pinggirannya berbatas tegas dan tidak terdapat tanda-tanda abrasi di sekitarnya.
 Jumlah tanda penjeratan. Kadang-kadang pada leher terlihat 2 buah atau lebih bekas
penjeratan. Hal ini menunjukkan bahwa tali dijeratkan ke leher sebanyak 2 kali.

Deskripsi leher korban penggantungan (hanging) yang penting kita berikan antara lain:9
- Lokasi luka
Lokasi luka pada leher korban penggantungan (hanging) dapat berada di depan, samping
dan belakang leher. Luka yang berada di depan leher kita ukur dari dagu atau manubrium
sterni korban. Luka yang berada di samping leher kita ukur dari garis batas rambut korban.
Luka yang berada di belakang leher kita ukur dari daun telinga atau bahu korban.
- Jenis luka
Jenis luka korban penggantungan (hanging) terdiri atas luka lecet, luka tekan dan luka
memar. Penting juga kita mendeskripsikan mengenai warna, lebar, perabaan dan keadaan
sekitar luka. Anggota gerak korban penggantungan (hanging) dapat kita temukan adanya
lebam mayat pada ujung bawah lengan dan tungkai.
- Lokasi simpul jeratan (belakang dan samping leher).
- Jenis simpul jeratan (simpul hidup dan simpul mati).

2) Kedalaman dari bekas penjeratan menunjukkan lamanya tubuh tergantung


3) Jika korban lama tergantung, ukuran leher menjadi semakin panjang
4) Tanda-tanda asfiksia. Mata menonjol keluar, perdarahan berupa petekia tampak pada wajah
dan subkonjungtiva. Bintik-bintik perdarahan pada konjungtiva korban penggantungan
(hanging) terjadi akibat pecahnya vena dan meningkatnya permeabilitas pembuluh darah
karena asfiksia.

Gambar 6. Petechie pada mata sebagai tanda asfiksia pd kasus gantung diri

Lidah menjulur menunjukkan adanya penekanan pada bagian leher. Lidah korban
penggantungan (hanging) bisa terjulur, bisa juga tidak terjulur. Lidah terjulur apabila letak
jeratan gantungan tepat berada pada kartilago tiroidea. Lidah tidak terjulur apabila letaknya
berada diatas kartilago tiroidea.
5) Air liur mengalir dari sudut bibir di bagian yang berlawanan dengan tempat simpultali.
Keadaan ini merupakan tanda pasti penggantungan ante-mortem
6) Lebam mayat paling sering terlihat pada tungkai
7) Posisi tangan biasanya dalam keadaan tergenggam
8) Urin dan feses bisa keluar. Pengeluaran urin pada korban penggantungan disebabkan
kontraksi otot polos pada stadium konvulsi atau puncak asfiksia.

Pemeriksaan Dalam9
1) Kepala korban penggantungan (hanging) dapat kita temukan tanda-tanda bendungan
pembuluh darah otak, kerusakan medulla spinalis dan medulla oblongata.
2) Jaringan yang berada di bawah jeratan berwarna putih, berkilat dan perabaan seperti
perkamen karena kekurangan darah, terutama jika mayat tergantung cukup lama.Pada
jaringan di bawahnya mungkin tidak terdapat cedera lainnya.
3) Platisma atau otot lain di sekitarnya mungkin memar atau ruptur pada beberapa keadaan.
Kerusakan otot ini lebih banyak terjadi pada kasus penggantungan yang disertai dengan
tindakan kekerasan.
4) Lapisan dalam dan bagian tengah pembuluh darah mengalami laserasi ataupun ruptur.
Resapan darah hanya terjadi di dalam dinding pembuluh darah.
5) Fraktur tulang hyoid jarang terjadi. Fraktur ini biasanya terdapat pada penggantungan yang
korbannya dijatuhkan dengan tali penggantung yang panjang dimana tulang hyoid
mengalami benturan dengan tulang vertebra. Adanya efusi darah di sekitar fraktur
menunjukkan bahwa penggantungannya ante-mortem.
6) Fraktur kartilago tiroid jarang terjadi.
7) Fraktur 2 buah tulang vertebra servikalis bagian atas. Fraktur ini sering terjadi pada korban
hukuman gantung

Gambar 7. Kiri: Fraktur melintang pada prosesus servikalia ke lima-enam (C5-6) (panah lurus
penuh), fraktur pada tepi depan C6 (panah melengkung) dan perluasan persendian
antara tulang C5 dan C6 (panah kosong). Kanan: patah tulang krikoid

8) Dada dan perut korban penggantungan (hanging) dapat kita temukan adanya perdarahan
(pleura, perikard, peritoneum, dan lain-lain) dan bendungan / kongesti organ.
9) Darah dalam jantung korban penggantungan (hanging) warnanya lebih gelap dan
konsistensinya lebih cair.

2.6. Perbedaan Antara Penggantungan Ante-Mortem dan Penggantungan Post-Mortem

Perbedaan antara penggantungan ante-mortem dan penggantungan post-mortem dapat dilihat


pada tabel.1 di bawah ini.9,16

No Penggantungan Ante-Mortem Penggantungan Post-Mortem

1. Tanda-tanda penggantungan Tanda-tanda post-mortem


antemortem bervariasi. menunjukkan kematian yang bukan
Tergantung dari cara kematian disebabkan penggantungan
2. Tanda jejas jeratan miring, Tanda jejas jeratan biasanya
berupa lingkaran terputus (non- berbentuk lingkaran utuh
continuous) dan letaknya pada (continuous), agak sirkuler dan
leher bagian atas letaknya pada bagian leher
tidak begitu tinggi

3. Simpul tali biasanya tunggal, Simpul tali biasanya lebih dari satu,
terdapat pada sisi leher diikatkan dengan kuat dan diletakkan
pada bagian depan leher

4. Ekimosis tampak jelas pada salah Ekimosis pada salah satu sisi jejas
satu sisi dari jejas penjeratan. penjeratan tidak ada atau tidak jelas.
Lebam mayat tampak di atas jejas Lebam mayat terdapat pada bagian
jerat danpada tungkai bawah tubuh yang menggantung sesuai
dengan posisi mayat setelah
meninggal

5. Pada kulit di tempat jejas Tanda parchmentisasi tidak ada atau


penjeratan teraba seperti perabaan tidak begitu jelas
kertas perkamen, yaitu tanda
parchmentisasi

6. Sianosis pada wajah, bibir, Sianosis pada bagian wajah, bibir,


telinga, dan lain-lain sangat jelas telinga dan lain-lain tergantung dari
terlihat terutama jika kematian penyebab kematian
karena asfiksia

7. Wajah membengkak dan mata Tanda-tanda pada wajah dan mata


mengalami kongesti dan tidak terdapat, kecuali jika penyebab
agak menonjol, disertai dengan kematian adalah  pencekikan
gambaran pembuluh dara vena (strangulasi)  atau sufokasi
yang jelas pada bagian dahi

8. Lidah bisa terjulur atau tidak Lidah tidak terjulur kecuali pada
sama sekali kasus kematian akibat pencekikan

9. Penis. Ereksi penis disertai Penis. Ereksi penis dan cairan sperma
dengan keluarnya cairan sperma tidak ada. Pengeluaran feses juga
sering terjadi pada korban pria. tidak ada
Demikian juga sering ditemukan
keluarnya feses

10 Air liur. Ditemukan menetes dari Air liur tidak ditemukan menetes pada
. sudut mulut, dengan arah yang kasus selain kasus penggantungan
vertikal menuju dada. Hal ini
merupakan pertanda pasti
penggantungan ante-mortem

2.7. Perbedaan Penggantungan pada Gantung Diri dan Penggantungan pada


Pembunuhan
Perbedaan gantung diri dan penggantungan pada pembunuhan dapat dilihat pada table.2 di
bawah ini.9,16

No Gantung Diri Penggantungan pada Pembunuhan

1. Usia. Gantung diri lebih sering Tidak mengenal batas usia, karena
terjadi pada remaja dan orang tindakan pembunuhan dilakukan oleh
dewasa.Anak-anak di bawah usia musuh atau lawan dari korban dan
10 tahun atau orang dewasa di atas tidak bergantung pada usia
usia 50 tahun jarang melakukan
gantung diri

2. Tanda jejas jeratan, bentuknya Tanda jejas jeratan, berupa lingkaran


miring, berupa lingkaran terputus tidak terputus, mendatar, dan
(non-continuous) dan terletak pada letaknya di bagian tengah leher,
bagian atas leher. karena usaha pelaku pembunuhan
untuk membuat simpul tali
3. Simpul tali, biasanya hanya satu Simpul tali biasanya lebih dari satu
simpul yang letaknya pada bagian pada bagian depan leher dan simpul
samping leher tali tersebut terikat kuat

4. Riwayat korban. Biasanya korban Sebelumnya korban tidak


mempunyai riwayat untuk mempunyairiwayat untuk bunuh diri
mencoba bunuh diri dengan cara
lain

5. Cedera. Luka-luka pada tubuh Cedera berupa luka-luka pada tubuh


korbanyang bisa menyebabkan korban biasanya mengarah kepada
kematianmendadak tidak pembunuhan
ditemukan pada kasusbunuh diri

6. Racun. Ditemukannya racun Terdapatnya racun berupa asam


dalam lambung korban, misalnya opium hidrosianat atau kalium
arsen,sublimat korosif dan lain- sianida tidak sesuai pada kasus
lain tidak bertentangan dengan pembunuhan, karena untuk hal ini
kasus gantung diri. Rasa nyeri perlu waktu dan kemauan dari korban
yang disebabkan racun tersebut itu sendiri. Dengan demikian maka
mungkin mendorong korban untuk kasus penggantungan tersebut adalah
melakukan gantung diri karena bunuh diri

7. Tangan tidak dalam keadaan Tangan yang dalam keadaan terikat


terikat karena sulit untuk gantung mengarahkan dugaan pada kasus
diri dalamkeadaan tangan terikat pembunuhan

8. Kemudahan. Pada kasus bunuh Pada kasus pembunuhan mayat


diri mayat biasanya ditemukan ditemukan tergantung pada tempat
tergantung pada tempat yang yang sulit dicapai oleh korban dan
mudah dicapai oleh korban atau di alat yang digunakan untuk mencapai
sekitarnya ditemukan alat yang tempat tersebut tidak ditemukan
digunakan untuk mencapai tempat
tersebut

9. Tempat kejadian. Jika kejadian Tempat kejadian. Bila sebaliknya


berlangsung di dalam kamar, pada ruangan ditemukan terkunci dari
dimana pintu, jendela ditemukan luar, maka penggantungan adalah
dalam keadaan tertutup dan kasus pembunuhan
terkunci dari dalam, maka
kasusnya pasti merupakan bunuh
diri

10 Tanda-tanda perlawanan, Tanda-tanda perlawanan hampir


. tidak ditemukan pada kasus selalu ada kecuali jika korban sedang
gantung diri tidur, tidak sadar atau masih anak-
anak

6.ASPEK MEDIKOLEGAL PADA PENGGANTUNGAN

Prosedur mediko-legal adalah tata-cara atau prosedur penatalaksanaan dan berbagai


aspek yang berkaitan pelayanan kedokteran untuk kepentingan hukum. Secara garis besar
prosedur mediko-legal mengacu kepada peraturan perundangundangan yang berlaku di
Indonesia, dan pada beberapa bidang juga mengacu kepada sumpah dokter dan etika kedokteran.
Ruang lingkup medikolegal dapat disimpulkan sebagai yang berikut 18

a. pengadaan visum et repertum,


b. tentang pemeriksaan kedokteran terhadap tersangka.
c. pemberian keterangan ahli pada masa sebelum persidangan dan pemberian keterangan
ahli di dalam persidangan,
d. kaitan visum et repertum dengan rahasia kedokteran,
e. tentang penerbitan Surat Keterangan Kematian dan Surat Keterangan Medik ,
f. tentang kompetensi pasien untuk menghadapi pemeriksaan penyidik,

Setelah pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan UU No. 73 Tahun 1958 yang


isinya menyatakan berlakunya UU No. 1 Tahun 1945 untuk seluruh Indonesia, maka suatu
perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan
pidana yang telah ada, sesuai dengan ketentuan Pasal 1 KUHP.6
Penggantungan lebih sering terjadi pada kasus bunuh diri. Tetapi tidak menolak
kemungkinan korban penggantungan mati akibat penganiayaan. Di sini lah dapat dilihat
fungsinya dari satu perundangan yang ditetapkan. Pada buku kedua KUHP Bab XIX tentang
kejahatan terhadap nyawa. Berikut merupakan pasal-pasal yang terkandung dalam bab XIX
KUHP.19
1.      Pasal 338
Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan
pidana penjara paling lama lima belas tahun.
2.      Pasal 339
Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh suatu perbuatan pidana, yang dilakukan
dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pelaksanaannya, atau untuk
melepaskan diri sendiri maupun peserta lainnya dari pidana dalam hal tertangkap tangan,
ataupun untuk memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum,
diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh
tahun.
3.      Pasal 340
Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain,
diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana rnati atau pidana penjara seumur
hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.
4.      Pasal 345
Barang siapa sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri, menolongnya dalam perbuatan itu
atau memberi sarana kepadanya untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat
tahun kalau orang itu jadi bunuh diri.
Pada kasus penggantungan, dokter forensik dipanggil untuk membuat pemeriksaan
lengkap sesuai dengan Pasal 133 KUHAP yang menyatakan dalam hal penyidik untuk
kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang
diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan
keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. Pada pasal
133 KUHAP (ayat 2 dan 3) menyatakan permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk
pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat; dan mayat yang
dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus diperlakukan
secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat
identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau bagian
lain badan mayat. Pernyataan ini menjadi dasar pembuatan visum et repertum (laporan bertulis)
pada kasus tindak pidana.20
Salah satu pemeriksaan yang dilakukan pada korban mati akibat penggantungan adalah
otopsi. Hal ini dapat membantu dokter forensic untuk mengetahui mekanisme kematian sehingga
dapat membantu penyidik mengetahui cara kematian korban. Sesuai dengan Pasal KUHP 222
yang menyatakan barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau
menggagalkan pemeriksaan mayat forensik, diancam dengan pidana penjara paling lama
sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.6
Pada persidangan kasus pidana, dokter forensic akan dipanggil sebagai saksi ahli. Sesaui
dengan Pasal 179 ayat 1 KUHAP yang menyatakan setiap orang yang diminta pendapatnya
sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan
ahli demi keadilan.2

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Gantung diri adalah suatu tindakan yang dilakukan secara sengaja
untuk membunuh diri sendiri melalui suatu penggantungan.
2. Penggantungan adalah keadaan dimana leher dijerat dengan ikatan,
daya jerat ikatan tersebut memanfaatkan berat badan tubuh atau kepala.
3. Penggantungan merupakan metode bunuh diri yang paling utama di
beberapa negara menurut WHO (World Health Organization)
4. Kematian pada kasus penggantungan antara lain disebabkan karena
adanya mekanisme, seperti terhambatnya aliran udara pernafasan, kongesti pembuluh darah
otak, iskemia serebral, terjadinya refleks vagal atau karena terjadinya dislokasi atau fraktur
vertebra servikalis.
5. Hanging dapat dikelompokkan berdasarkan posisi, yaitu complete
hanging, partial hanging dan berbaring. Selain itu dapat juga dibedakan berdasarkan letak
jeratan, yaitu typical hanging dan atypical hanging.
6. Ada 2 hal yang harus ditentukan dalam kasus penggantungan, yaitu
apakah hanging tersebut terjadi pada antemortem atau postmortem dan apakah penggantungan
tersebut akibat pembunuhan atau bunuh diri.
7. Penilaian terhadap kasus penggantungan dapat dilihat dari hasil
pemeriksaan luar dan pemeriksaan dalam pada korban
3.2 Saran 
1. Sebaiknya seorang dokter atau calon dokter mampu mendeskripsikan luka tembak
sehingga mampu membuat Visum et Repertum yang baik dan benar.
2. Sebaiknya seorang dokter atau calon dokter tidak hanya mempelajari ilmu kedokteran
tetapi juga mengetahui hukum kesehatan. 
DAFTAR PUSTAKA

1. Noharakrizo. Makalah Hanging. Online. 2011. Diunduh dari:


http://www.scribd.com/doc/49388289/Makalah-Hanging

2. Idries AM. Penggantungan. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: EGC. 1997.
hal.202-7.

3. Rao D. Asphyxia: Hanging. 2012. Diunduh dari:


http://forensicpathologyonline.com/index.php?
option=com_content&view=article&id=103&Itemid=120.

4. Felisiani T. Laporan Wartawan Tribunnews.com.: Gantung diri jadi trend 2009 hingga
awal 2012. Rabu 7 Maret 2012 09.24 WIB. Diunduh dari:
http://m.tribunnews.com/2012/03/07/gantung-diri-jadi-trend-2009-hingga-awal-2012.

5. Anonim. Suicide by hanging. 2012. Diunduh dari:


http://en.wikipedia.org/wiki/Suicide_by_hanging

6. Fikasari D. Gantung Diri (Hanging). Online. 2008. Diunduh dari:


http://sibermedik.files.wordpress.com/2008/11/gantung_diri.pdf
7. Ernoehazy W. Hanging injuries and Strangulation. Online. 2011. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/826704-overview#showall

8. Gross VA, Weiss MG, Ring M, Hepp U, Bopp M, Gutzwiller F. Methods of suicide:
international suicide patterns derived from the WHO mortality database. Bulletin of the
World Health Organization. 86(9): 726-32. 2008. Diunduh dari:
http://www.scielosp.org/pdf/bwho/v86n9/a17v86n9.pdf

9. Aflanie I, Abdi M, Setiawan R, Muna. Roman’s Forensic 25th Ed. Banjarmasin:


Departemen Kedokteran Kehakiman FK UNLAM-RSUD Ulin. 2011.

1.                  Sharma S.K. Ligature strangulation: Not very common but contested too often. Available
at: www.crimeandclues.com/ligature_strangulation.htm
2.                  Ernoehazy W. Hanging injuries and Strangulation. Cited February 14, 2006. Available at:
http://www.emedicine.com/emerg/topic227.htm
3.                  Uzün I, Büyük Y, Gürpinar K. Suicidal hanging: fatalities in Istanbul retrospective analysis
of 761 autopsy cases. Cited March 26,2007. Available at:
http://www.w3.org/TR/xhtml1/DTD/xhtml1-transitional.dtd
4.                  Sharma B.R, Harish D. Ligature Mark on the neck: How Informative? JIAFM 2005:27(1),
p 10-15.
5.                  Rajeev J, Ashok C, Hakumat R. Incidence and Medicolegal Importance of Autopsy Study
of Fracture of Neck Structure in Hanging and
Strangulation. Medico-Legal Update. October-December, 2007:7(4). P 105-130

6.                  Leonardo. Asfiksia Forensik. Cited May 9 th 2008. Available at:


http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=3&dn=20080509041548
8.                  Idries AM. Penggantungan. In: Idries AM, editor. Pedoman ilmu kedokteran forensik.
Edisi 1. Jakarta: Binarupa Aksara; 1997. p202-207.
9.                  Skhrum J. Michael MD, Ramsay A. David, MB, ChB; Forensic Pathology of Trauma,
Common Problems for The Pathologist : Tontowa, New Jersey: 2007. Page : 81-107.
13.              Anonym; Hanging, Available at: http://en.wikipedia.org/wiki/Hanging Accessed on:
Februari 12nd, 2008.
14.              Hawley D. Death By Strangulation. Accessed on June 23rd 2008. P 1-9
15.              Shephered R. Simpson’s forensic medicine. 12th ed. London: Blackwell
Publishing; 2003. Page 99- 100
17.              Penggantungan,Catatan kuliah, Universitas Hasanuddin, 2003.
16.              Chadha PV. Kematian Akibat Asfiksia. Dalam Ilmu Forensik dan Toksikologi. Edisi
kelima. Penerbit:Widya Medika
18.              http://www.unmit.org/legal/IndonesianLaw/undang/kuhp.htm
19.             
http://www.asiatour.com/lawarchives/indonesia/kuhp/asiamaya_kuhp_penal_code_nyawa.htm
20.             
http://www.asiatour.com/lawarchives/indonesia/kuhp/asiamaya_kuhp_penal_code_nyawa.htm

Anda mungkin juga menyukai