Anda di halaman 1dari 13

Kejadian Skabies Pada Laki-Laki Usia 1 Tahun Di Rumah Sakit

Undata Palu : Laporan Kasus

*Ni Kadek Budiartin1, Nur Hidayat2, Muhammad Nasir3

1
Medical Profession Program, Faculty of Medicine, Tadulako University– Palu, Indonesia,
94118

2
Department of Internal, Undata General Hospital – Palu, Indonesia, 94118

3
Departement of Tropical Disease and Traumatology, Faculty of Medicine, Tadulako
University – Palu, Indonesia, 94118

*Corespondent Author : nikadekbudiartin16@gmail.com

ABSTRACT

Latar Belakang : Skabies merupakan penyakit infeksi kulit menular yang disebabkan tungau
betina Sarcoptes scabiei varieta hominis yang termasuk dalam kelas Arachnida. Skabies
merupakan masalah kesehatan masyarakat umum diseluruh dunia, dengan prevalensi secara
global 300 juta orang yang terinfeksi. Penularan skabies dapat terjadi melalui kontak dengan
obyek terinfestasi seperti handuk, selimut, atau lapisan furnitur dan dapat pula melalui hubungan
langsung kulit ke kulit. Tempat-tempat yang menjadi favorit bagi sarcoptes scabei adalah
daerah-daerah lipatan kulit, seperti telapak tangan, kaki, selangkangan, lipatan paha, lipatan
perut, ketiak dan daerah vital.

Ringkasan Kasus : kasus ini merupakan kasus pada seorang pasien laki-laki beruasia 16 tahun
yang datang kepoli kulit dan kelamin di RSUD Undata Palu yang didiagnosa dengan scabies.

Kesimpulan : Skabies merupakan penyakit infeksi oleh ektoparasit Sarcoptes scabiei var.
hominis. Skabies merupakan penyakit kulit ke tiga dari dua belas penyakit kulit tersering di
Indonesia. Peyakit ini sering terjadi kepada orang atau kelompok dengan higienitas yang rendah.
Gejala yang paling sering ditimbulkan adalah gatal yang semakin bertambah saat malam hari.
Diagnosis skabies ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Penatalaksanaan pada skabies memerlukan edukasi yang lebih untuk pasien karena pilihan obat
yang akan diberikan tidak sedikit efek sampingnya dan parasit ini bersifat sangat menular.
Kata Kunci : scabies , Sarcoptes scabiei varieta hominis
PENDAHULUAN

Skabies merupakan salah satu kondisi dermatologis yang paling umum dan sebagian
besar terjadi di negara berkembang dan dapat mengenai lebih dari 10 orang setiap saat dengan
tingkat kejadian yang bervariasi antara 03-46%. Penyakit skabies banyak dijumpai di Indonesia,
hal ini disebabkan karena Indonesia merupakan Negara beriklim tropis.(1)

Skabies merupakan penyakit infeksi kulit menular yang disebabkan tungau betina
Sarcoptes scabiei varieta hominis yang termasuk dalam kelas Arachnida. Skabies pada manusia
disebabkan oleh tungau betina yang menyebabkan gatal, yang hidup selama 30 hari siklus
kehidupan di dalam epidermis. Tungau merupakan parasit obligat pada manusia yang hidup di
terowongan (burrow) di stratum korneum epidermis. Tungau betina menggali hingga ke dalam
epidermis bagian atas dan bertelur di dalam lubangnya, dimana larva akan muncul setelah 50-53
jam, dan tungau dewasa akan berkembang setelah 10-14 hari kemudian. Tanda patognomonis
skabies adalah burrow, papul eritematus, dan pruritus generalisata yang muncul dengan pola
nocturnal. Prevalensi penyakit ini di negara berkembang sekitar 5,8-8,3% di kalangan penduduk
pedesaan. Keadaan ini memburuk pada negara yang kurang maju di Afrika, berkisar antara 10 2-
31%. Berdasarkan pengumpulan data KSDAI (Kelompok Studi Dermatologi Anak Indonesia)
tahun 2001 dari 9 Rumah Sakit besar di 7 kota besar di Indonesia, didapatkan sebanyak 892
pasien skabies. Jumlah pasien skabies tertinggi diperoleh di RS Hasan Sadikin Bandung, tetapi
jika berdasarkan wilayah kota, maka tertinggi di Jakarta sebanyak 335 kasus (37,9%), dan
Surabaya menempati urutan ke 7, yaitu sebanyak 82 kasus (9,2%). (2)
Menurut Depkes RI, berdasarkan data dari puskesmas seluruh Indonesia pada tahun
2008, angka kejadian skabies adalah 5,6%-12,95%. Skabies di Indonesia menduduki urutan ke
tiga dari dua belas penyakit kulit tersering. prevalensi skabies yang tinggi umumnya ditemukan
di lingkungan dengan kepadatan penghuni dan kontak interpersonal yang tinggi seperti asrama,
panti asuhan, dan penjara.(3)
Skabies merupakan masalah kesehatan masyarakat umum diseluruh dunia, dengan
prevalensi secara global 300 juta orang yang terinfeksi. Penyakit ini dapat terjadi pada semua
kelompok social ekonomi dan komunitas diseluruh dunia; namun demikian tingkat skabies
bervariasi dari setiap negara. Skabies dapat mempengaruhi semua jenis umur, dan tanpa
kecenderungan dari jenis kelamin tertentu. Skabies adalah masalah khusus yang terjadi di
negara-negara berkembang, dimana sebagian besar individu yang terkena adalah anak-anak, dan
biasanya akan menyerang dibawah usia 15 tahun. (4)

Kasus skabies sendiri merupakan salah satu penyakit manusia yang diketahui sejak abad
ke-17. Ini adalah infeksi menular pada kulit yang disebabkan oleh paratit tungau, dan berbagai
hominis sarcoptes scabiei. Skabies terdapat diseluruh dunia. Menurut study global burden of
diseases, 100-130 juta orang terinfeksi setiap tahunnya dan menyebabkan kecacatan sekitar
0,21%.(5)

Skabies adalah salah satu masalah kulit paling umum dan dapat terjadi kepada sekitar 200
juta orang setiap tahun diseluruh dunia. Kasus skabies tertinggi terjadi dinegara tropis dan
pasifik. Untuk contoh, prevalensi skabies adalah 17,8% sering terjadi pada anak-anak di sekolah
asrama kamerum, 5,88% di rumah sakit di Bangui dengan faktor risiko utama karena kepadatan
penduduk dan kemiskinan.(6)
LAPORAN KASUS

Seorang pasien laki-laki, usia 16 tahun, beragama islam dengan nomor rekam medis 01-
02-32-80. Pasien datang ke poliklinik kulit dan kelamin RSUD Undata Palu diantar oleh
temannya dengan keluhan gata-gatal pada bagian sela-sela jari tangan, telapak tangan, dan pada
kelamin. Gatal dirasakan dialami sejak 2 minggu yang lalu. Pasein merasa gatal semakin hari
semakin memberat, terutama pada malam hari. Pasien sulit tidur malam, selama 2 minggu karena
gatal. Awalnya hanya bintik merah di bagian ibu jari tangan, namun semakin lama semakin
menjalar berwarna kemerahan, bersisik, dan kadang keluar nanah. Pasien merupakan anak
pesantren dan dari pengakuan pasien, teman pasien yang berada di pesantren yang sama juga
mengalami hal yang sama dengan pasien.

Pada pemeriksaan fisik status generalis ditemukan keadaan umum tampak sakit sedang,
tanda-tanda vital didapatkan tekanan darah : 120/90 mmHg, nadi 78 kali/menit, respirasi 18
kali/menit dan suhu 36,7oC. Mata didapatkan konjungtiva anemis bilateral, pembesaran kelenjar
getah bening (-), pembesaran kelenjar tiroid (-), paru-paru, jantung dan ekstremitas dalam batas
normal. Pada bagian genital terdapatnya Pustul dan papul-eritematosa, disertai dengan skuama
halus, krusta, dan ekskoriasi karena sering menggaruk.

Pada kasus ini tidak dilakukan pemeriksaan penunjang, usulan pemeriksaan penunjang
adalah pemeriksaan dengan membuat biopsy irisan dari lesi untuk memeriksa tungau, biopsy
eksisional dan diperiksa dengan pewarnaan HE serta pemeriksaan tungau dengan mikroskop
cahaya.

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik maka pada pasien ini dapat ditegakkan
diagnosis skabies.
Gambar 1 : Pasien Laki-laki Usia 16 Tahun Dengan Effloresensi : Pustul Dan Papuleritem,
Disertai Dengan Skuama Halus, Krusta, Dan Ekskoriasi Karena Sering Menggaruk.
DISKUSI

Pada kasus ini di diagnosis dengan skabies berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Dari anamnesis didapatkan keluhan gata-gatal pada bagian sela-sela jari tangan, telapak tangan,
dan pada kelamin. Gatal dirasakan dialami sejak 2 minggu yang lalu. Pasein merasa gatal
semakin hari semakin memberat, terutama pada malam hari. Hasil pemeriksaan didapatkan
Pustul dan papul-eritematosa, disertai dengan skuama halus, krusta, dan ekskoriasi karena sering
menggaruk. Faktor yang dapat berperan dalam tingginya angka kejadian skabies berkaitan
dengan personal hygiene. Tinggal bersama dengan sekelompok orang seperti di pesantren
memang berisiko mudah tertular penyakit scabies. Tempat-tempat yang menjadi favorit bagi
sarcoptes scabei adalah daerah-daerah lipatan kulit, seperti telapak tangan, kaki, selangkangan,
lipatan paha, lipatan perut, ketiak dan daerah vital. Melakukan kebiasaan seperti kebiasaan
mencuci tangan, mandi menggunakan sabun, menganti pakaian dan pakaian dalam, tidak saling
bertukar pakaian, kebiasaan keramas menggunakan shampo, tidak saling bertukar handuk dan
kebiasaan memotong kuku, dapat mengurangi resiko terkena scabies.(7)
Skabies adalah penyakit parasit yang terabaikan yang merupakan masalah kesehatan
masyarakat utama di banyak daerah miskin sumber daya. Hal itu menyebabkan morbiditas
substansial dari infeksi sekunder dan komplikasi pasca infeksi seperti streptokokus
glomerulonefritis. Pada infeksi primer, tanda dan gejala hanya berkembang setelah2-4 minggu.
Dalam hal ini, satu liang adalah patognomonik.(8)
Kondisi kulit yang lembab dan kebiasaan mandi < 2 kali sehari juga dapat berkontribusi
meningkatkan risiko terjadinya scabies. Skabies banyak ditemukan pada tempat dengan
penghuni padat seperti asrama tentara, penjara, dan pondok pesantren. Tempat hunian padat dan
lingkungan yang kurang bersih mempercepat transmisi dan penularan scabies.(9)
Skabies merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh tungau sarcoptes scabiei, yang ada
dibawah bagian kulit dan dapat ditularkan melalui kontak langsung dan sering terjadi pada
masyarakat miskin dan pada anak-anak muda. Gejala klinis yang sering muncul yaitu rasa gatal,
menyebabkan goresan, yang dapat menyebabkan terjadinya komplikasi yang serius karena
adanya infeksi bakteri pada kulit (impetigo), terutama yang disebabkan oleh staphylococcus
aureus dan streptococcus pyogenes komplikasi ini seperti septicaernia, penyakit ginjal, dan
penyakit jantung.(10)
Manifestasi klinis scabies dapat meniru beberapa jumlah penyakit kulit lainnya seperti
eksim, impetigo, jamur, reaksi alergi, dan dermatitis kontak yang menimbulkan kesulitan
diagnostic. Inkubasi skabies berlangsung sekitar 4-6 minggu, dan mungkin lebih pendek jika
infeksi awalnya ringan. Jika scabies dibiarkan dan tidak diobati maka akan menjadi infeksi
sekunder. Pyoderma adalah salah satu dari infeksi sekunder yang disebabkan oleh streptokokus
dan staphylococcus aureus. (11)
Gambaran klinis skabies yaitu gatal dan kulit ruam yang disebabkan oleh sensitisasi (reaksi
alergi) terhadap protein atau kotoran tungau. Gatal parah juga memburuk pada malam hari.
Gejala skabies melibatkan hampir semua bagian tubuh tetapi sebagian besar tubuh yang terkena
yaitu pergelangan tangan, siku, ketiak, penis, puting susu, pinggang, pantat, perut, tempat bahu,
kaki, dan juga paha. Pada anak-anak dan bayi biasanya mengenai bagian kepala, kaki, telapak
tangan, dan leher.(6)
Skabies pada orang tua seringkali tidak dikenali karena dikaitkan dengan kejadian pruritus.
Penggunaan steroid topical jangka panjang yang tidak sesui akan menyebabkan skabies
berkrusta. Skabies berkrusta yang terjadi secara umum pada system imun pasien
(misalnyamereka yang menerima topical atau terapi glukokortikoid sistemik, orang dengan HIV
atau infeksi HTLV-1, penerima trans-organ), dan dalam individu dengan keterbelakangan mental
atau cacat fisik. kerusakan karena menggaruk , akan menghasilkan papula yang terlihat, vesikel,
atau lubang linear kecil (yang mengandung tungau dan telurnya). (12,13)

Penularan skabies dapat terjadi melalui kontak dengan obyek terinfestasi seperti handuk,
selimut, atau lapisan furnitur dan dapat pula melalui hubungan langsung kulit ke kulit.
Berdasarkan alasan tersebut, skabies terkadang dianggap sebagai penyakit menular seksual.
Ketika satu orang dalam rumah tangga menderita skabies, orang lain dalam rumah tangga
tersebut memiliki kemungkinan yang besar untuk terinfeksi. Seseorang yang terinfeksi Sarcoptes
scabiei dapat menyebarkan skabies walaupun ia tidak menunjukkan gejala. Semakin banyak
jumlah parasit dalam tubuh seseorang, semakin besar pula kemungkinan ia akan menularkan
parasit tersebut melalui kontak tidak langsung.(3)

Terdapat beberapa metode untuk mendiagnosis skabies diantaranya dengan Kalium


Hidroksida (KOH) dengan cara digores (scrapping) dari liang atau terowongan, dermoskopi,
pembesaran fotografi digital, biopsi kulit, dan presentasi klinik, termasuk papula merah yang
gatal dan ruam. Tujuan dari diagnosis ini adalah visualisasi secara langsung tungau atau telur
penyebab skabies. Visualisasi langsung dapat dilakukan dengan preparasi KOH atau dengan
biopsi terowongan yang menunjukkan adanya tungau. Test KOH ini cukup spesifik namun
kurang sensitif. Biopsi hanya menunjukkan inflamasi sel dengan adanya sejumlah eosinofil,
edema, dan spongiosis epidermal. (14)
Diagnosis scabies ditetapkan dengan memvisualisasikan tungau, telur, dan / atau scybala
(kotoran) pada cahaya mikroskop baik kulit goresan atau biopsy. Bulosa, berkerak, nodular, dan
infesta dari parasit kulit kepala adalah varian klinis dari skabies.(15)
Tungau ini menyelesaikan seluruh siklus hidupnya pada inangnya. Sebagian besar pasien
memiliki jumlah tungau yang terbatas, biasanya 5 sampai 15 betina di seluruh tubuh. Tetapi pada
skabies berkrusta, jumlahnya bisa mencapai ratusan, ribuan atau bahkan jutaan. Infeksi dari
skabies biasa atau berkrusta kasus secara teori dapat menyebabkan infeksi yang berbeda secara
genetis parasit, meskipun kemungkinan ini jarang terjadi.(16)
Sampai saat ini belum ada vaksin untuk skabies , kelayakan dan keterjangkauan
pengembangan vaksin diragukan. Perawatan skabies saat ini tergantung pada seberapa
luasspektrum obat anti-parasit seperti ivemectin. Terapi untuk skabies membutuhkan
penggunaan skabisida secara berurutan, biasanya akan lebih lama periode yang diperlukan untuk
skabies.(17,18)
Penatalaksaan farmakologi yang dapat diberikan adalah pemethrin (krim 5%) dan malathion
(losion 0,5%) yang efektif terhadap perkembangan tungau dewasa. Permethrin merupakan
oitetroid 5% sintestis dalam krim dan merupakan skabisida yang sangat baik, sama dengan
lindane. Permethrin ini hamper tidak diserap oleh kulit jika itu terjadi akan dengan cepat
dimatabolisme. Obat ini direkomendasikan untuk aplikasi dosis tunggal setiap 10 jam. Selain
pemethrin dan malathion dapat juga diberikan crotamiton (10% dalam krim/lotion) adalah obat
yang diberikan selama 24 jam pada 2 hari berturut-turut.(4,10)
Pada ana-anak benzyl benzoate dapat menyebabkan iritasi, itulah sebabnya lotion malathion
atau pamethrin cream dapat direkomendasikan dan sering disukai. Selain itu yang
direkomendasikan pilihan pengobatan, seperti crotamiton dan lindane bisa efektif, meskipun
adanya kekurang yang signifikan. Crotamiton krim membutuhkan dosis berulang lima kali
sehari, dengan tinngkat penyembuhan hanya mencapai 60%, sementara lindane sering bukan
pilihan pertama karena risiko neurotoksisitasnya. Pada kasus berkepanjangan atau infeksi
subtansial, operasi mungkin diperlukan sebagai terapi tambahan yang bertujuan untuk
memastikan penyelesaian serangan dan mengurangi gejala. Ivermectin memiliki profil keamanan
yang baik dalam pemberian obat masal program untuk hilariasis dan onchocerciasis. Dalam
pengaturan dimana prevalensi scabies adalah proporsi epidemic, oral invermectin tampaknya
lebih efektif daripada terapi topical. (19,20)
KESIMPULAN
Skabies merupakan penyakit infeksi oleh ektoparasit Sarcoptes scabiei var. hominis. Skabies
merupakan penyakit kulit ke tiga dari dua belas penyakit kulit tersering di Indonesia. Peyakit ini
sering terjadi kepada orang atau kelompok dengan higienitas yang rendah. Gejala yang paling
sering ditimbulkan adalah gatal yang semakin bertambah saat malam hari. Diagnosis skabies
ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik. Penatalaksanaan pada skabies
memerlukan edukasi yang lebih untuk pasien karena pilihan obat yang akan diberikan tidak
sedikit efek sampingnya dan parasit ini bersifat sangat menular. Topikal permetrin digunakan
sebagai pilihan terapi pertama pada penyakit skabies. Pemilihan terapi harus berdasarkan
diagnosis yang benar, dengan memperhatikan presentasi klinik yang muncul. Oral ivermektin
lebih diutamakan untuk pasien yang tidak dapat mentolerir terapi topikal atau tidak dapat
mematuhi regimen terapeutik.

PERSETUJUAN
Penulis telah meminta persetujuan dari pasien dalam bentuk informed consent.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih banyak kepada Rumah Sakit Umum Daerah Undata Palu
Sulawesi Tengah terkait dalam proses penyusunan laporan kasus ini.
KONFLIK KEPENTINGAN
Penulis menyatakan bahwa tidak terdapat konflik kepentingan yang terdapat pada tulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA

1. handari siti, yamin mushidah. Analisis Faktor Kejadian Penyakit Skabies di Pondok
Pesantren An-Nur Ciseeng Bogor 2017. J Kedokt Dan Kesehat. 2018 Jul;14(2):74–82.

2. paramita kartika, sawitri. Profil Skabies pada Anak. BIKKK - Berk Ilmu Kesehat Kulit
Dan Kelamin - Period Dermatol Venereol. 2015 Apr;27(1):41–7.

3. mutiara hanna, syailindra firza. Skabies. Majority. 2016 Apr;5(2):37–42.

4. Orion E, Matz H, Wolf R. Ectoparasitic sexually transmitted diseases: Scabies and


pediculosis. Clin Dermatol. 2004 Nov;22(6):513–9.

5. Jannic A, Bernigaud C, Brenaut E, Chosidow O. Scabies Itch. Dermatol Clin. 2018


Jul;36(3):301–8.

6. ejigu kefele, haji yusuf, toma alemayehu, tadesse tilahun birkneh. Factors associated with
scabies outbreaks in primary schools in Ethiopia: a case–control study. Res Rep Trop Med.
2019 Sep;120–7.

7. Parman, Hamdani, Rachman I, Pratama A. FAKTOR RISIKO HYGIENE PERORANGAN


SANTRI TERHADAP KEJADIAN PENYAKIT KULIT SKABIES DI PESANTREN AL-
BAQIYATUSHSHALIHAT TANJUNG JABUNG BARAT TAHUN 2017. J Ilm Univ
Batanghari Jambi. 2017;17(3):243–52.

8. heukelbach jorg, feldmeier hermann. Scabies. 2006 mei;367:1767–74.

9. avidah amanatun, krisnarto eko, ratnaningrum kanti. Faktor Risiko Skabies di Pondok
Pesantren Konvensional dan Modern. Herb-Med J. 2019 oktober;2(2):28–63.

10. Romani L, Steer AC, Whitfeld MJ, Kaldor JM. Prevalence of scabies and impetigo
worldwide: a systematic review. Lancet Infect Dis. 2015 Aug;15(8):960–7.

11. Korycińska J, Dzika E, Lepczyńska M, Kubiak K. Scabies: Clinical manifestations and


diagnosis. Pol Ann Med. 2015 Jun;22(1):63–6.

12. Chosidow olivier. Scabies and pediculosis. THE LANCET. 2000 Mar 4;355:819–26.

13. Andrews RM, McCarthy J, Carapetis JR, Currie BJ. Skin Disorders, Including Pyoderma,
Scabies, and Tinea Infections. Pediatr Clin North Am. 2009 Dec;56(6):1421–40.

14. Dewi mayang, wathoni nasrul. ARTIKEL REVIEW: DIAGNOSIS DAN REGIMEN
PENGOBATAN SKABIES. Farmaka. 15(1):123–33.

15. Cohen PR. Scabies masquerading as bullous pemphigoid: scabies surrepticius. Clin Cosmet
Investig Dermatol. 2017 Aug;Volume 10:317–24.
16. Andriantsoanirina V, Ariey F, Izri A, Bernigaud C, Fang F, Charrel R, et al. Sarcoptes
scabiei mites in humans are distributed into three genetically distinct clades. Clin Microbiol
Infect. 2015 Dec;21(12):1107–14.

17. He R, Zhang H, Shen N, Guo C, Ren Y, Xie Y, et al. Molecular characterization and
allergenicity potential of triosephosphate isomerase from Sarcoptes scabiei. Vet Parasitol.
2018 Jun;257:40–7.

18. Hsu Y-H. Scabies. Tzu Chi Med J. 2013 Mar;25(1):58.

19. Aukerman W, Curfman K, Urias D, Shayesteh K. Norwegian Scabies management after


prolonged disease course: A case report. Int J Surg Case Rep. 2019;61:180–3.

20. Cassell JA, Middleton J, Nalabanda A, Lanza S, Head MG, Bostock J, et al. Scabies
outbreaks in ten care homes for elderly people: a prospective study of clinical features,
epidemiology, and treatment outcomes. Lancet Infect Dis. 2018 Aug;18(8):894–902.

Anda mungkin juga menyukai