Anda di halaman 1dari 12

Laporan Kasus

SKABIES
Gabriella Shanaz Maitimu (2018-84-069)
Bagian/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
FK UNPATTI/RSUD DR. M. Haulussy Ambon

I. PENDAHULUAN
Di berbagai belahan dunia, laporan kasus skabies masih sering ditemukan pada keadaan
lingkungan yang padat penduduk, status ekonomi rendah, tingkat pendidikan yang rendah dan
kualitas higienis pribadi yang kurang baik atau cenderung jelek. Rasa gatal yang
ditimbulkannya terutama waktu malam hari, secara tidak langsung juga ikut mengganggu
kelangsungan hidup masyarakat terutama tersitanya waktu untuk istirahat tidur, sehingga
kegiatan yang akan dilakukannya disiang hari juga ikut terganggu. Jika hal ini dibiarkan
berlangsung lama, maka efisiensi dan efektifitas kerja menjadi menurun yang akhirnya
mengakibatkan menurunnya kualitas hidup masyarakat.1
Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh tungau (mite) Sarcoptes scabei, yang
termasuk dalam kelas Arachnida. Tungau ini berukuran sangat kecil dan hanya bisa dilihat
dengan mikroskop atau bersifat mikroskopis. Penyakit skabies sering disebut kutu badan.
Penyakit ini juga mudah menular dari manusia ke manusia, dari hewan ke manusia dan
sebaliknya.2 Skabies mudah menyebar baik secara langsung atau melalui sentuhan langsung
dengan penderita maupun secara tak langsung melalui baju, seprai, handuk, bantal, air, atau
sisir yang pernah dipergunakan penderita dan belum dibersihkan dan masih terdapat tungau
sarcoptesnya. Skabies menyebabkan rasa gatal pada bagian kulit seperti disela-sela jari,siku,
selangkangan.1,2
Pada Negara maju, scabies merupakan wabah umum yang terjadi pada perumahan padat
penduduk dan pada rumah-rumah perawatan yang menyebabkan angka morbiditas yang
signifikan.1 Skabies ditemukan disemua negara dengan prevalensi yang bervariasi. Dibeberapa
negara yang sedang berkembang prevalensi skabies sekitar 6 % - 27 % populasi umum dan
cenderung tinggi pada anak-anak serta remaja. Suatu survei yang dilakukan pada tahun 1983
diketahui bahwa disepanjang sungai Ucayali, Peru, ditemukan beberapa desa di mana semua
anak-anak dari penduduk asli desa tersebut mengidap skabies. Behl ada tahun 1985 menyatakan

1
bahwa prevalensi skabies pada anak-anak di desa-desa Indian adalah 100%. Di Santiago, Chili,
insiden tertinggi terdapat pada kelompok umur 10-19 tahun (45%) sedangkan di Sao Paolo,
Brazil insiden tertinggi terdapat pada anak dibawah umur 9 tahun. Di India, Gulati melaporkan
prevalensi tertinggi pada anak usia 5-14 tahun. Hal tersebut berbeda dengan laporan Srivatava
yang menyatakan prevalensi skabies tertinggi terdapat pada anak dibawah 5 tahun. Di negara
maju prevalensi skabies sama pada semua golongan umur.3
Siklus hidup tungau scabies (S. scabiei var. Hominis) dimulai dengan tungai betina yang
sedang mengandung dan bersembuyi di dalam epidermis manusia dan bertelur 2-3 telur perhari.
Larva muncul setelah 48-72 jam dan membentuk lubang yang baru. Larva menjadi dewasa
dalam 10-14 hari, larva menjadi betina dan siklus akan berulang. Penularannya dibagi menjadi
dua yaitu kontak secara langsung melalui kontak dari kulit ke kulit, misalnya berjabat tangan,
tidur bersama, dan berhubungan seksual. Tungau scabies mampu bertahan hidup di lingkungan
diluar tubuh manusia selama 24-36 jam pada suhu lingkungan normal (21 ° c dan kelembapan
relatif 40-80%) dan sepanjang waktu tersebut tungau tetap mampu menyerang. Sedangkan
penularan secara tidak langsung yaitu melalui pakaian, tempat tidur, handuk dan media
penularan lainnya.1,2
Penemuan klinis pada pasien yang memiliki tungau Scabies menunjukan tanda yaitu rasa
sangat gatal pada kulit yang terupsi terdiri dari papul, nodul dan vesikel. Sebagian besar
merupakan hasil dari hipersesitifitas host dan efek langsung dari invasi tungau. Masa inkubasi
sebelum terjadinya gejala adalah 3-6 minggu pada kasus infestasi primer, dan 1-2 hari pada
kasus infeksi berulang. Sensitisasi terhadap antigen tungau baru terlihat setelah 1 bulan setelah
infeksi primer dan perlu waktu hingga 6 minggu hingga tanda dan gejala hipersensitivitas
terselesaikan. Gejala yang masih bertahan setelahnya masih perlu untuk diteliti kembali.
Terowongan yang terbentuk saat tungau betina dewasa memakan sepanjang jalan melalui
epidermis yang dilalui; satu terowongan yang terbentuk merupakan tanda khas dari infeksi
tungau Scabies. Namun terkadang scabies sulit diidentifikasi karena garukan, krusta atau
infeksi sekunder, dan hanya dapat diamati pada sebagian kecil kasus.1,2,4
Distribusi khas pada serangan tungau Scabies yaitu pada daerah antara jari, pergelangan
tangan, aksilla, selangkangan, bokong, alat kelamin, dan payudara pada wanita. Pada bayi dan
anak kecil tempat predileksi tersering tungau Scabies yaitu pada telapak tangan,telapak kaki

2
dan kepala (wajah, leher dan kulit kepala). Tungau scabies lebih menghindari area yang
memiliki banyak folikel polisebaceous.1,4
Diagnosis dapat ditegakan dengan menemukan 2 dari 4 tanda cardinal yaitu: (1. Pruritus
Nokturna, artinya gatal pada malam hari yang disebabkan oleh aktivitas tungau yang lebih
tinggi pada suhu yang lebih lembab dan panas. (2. Penyakit ini menyerang sekelompok manusia
misalnya dalam seluruh keluarga terkena infeksi, di asrama, perkampungan yang padat
penduduk. Walaupun seluruh anggota keluarga mengalami investasi tungau, namun tidak
memberikan gejala, hal ini disebut hiposensitasi. (3. Adanya terowongan (kunikulus) pada
tempat-tempat predileksi yang berwarna putih atau keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau
berkelok-kelok, rata-rata panjang 1 cm, pada ujung terowongan ditemukan papul atau vesikel.
Jika timbul infeksi sekunder ruam kulit menjadi polimorf (pustul, ekskoriasi dan lain
sebagainya). (4. Menemukan tungau merupakan hal yang paling menunjang diagnosis. Dapat
ditemukan satu atau lebih stadium hidup tungau. Selain tungai dapat ditemukan telur dan
kotoran dari tungau scabies.4
Penatalaksanaan skabies berupa pemberian obat topikal seperti (a. Sulphur presipitatum
dengan kadar 4-20%, (b. Emulsi benzyl-benzoat 20-25%, (c. Gamma benzene heksa klorida
1%, (d. Krotamiton 10%, (e. Permetrin 5%. 2
Tujuan pembuatan laporan kasus ini adalah membahas skabies dan penatalaksanaannya.

II. LAPORAN KASUS


Seorang anak laki-laki usia 6 tahun, suku Maluku, bangsa Indonesia, alamat Batu Gantung.
Datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin Dr. M. Haulussy Ambon bersama ibunya pada tanggal
14 Oktober 2019 dengan keluhan utama gatal pada seluruh tubuh.

Heteroanamnesis
Pasien datang dengan keluhan gatal diseluruh tubuh sejak ± 2 minggu sebelum pasien
dating ke poliklinik. Awalnya gatal dirasakan hanya pada sela-sela jari pasien namun makin
lama gatal semakin menjalar ke seluruh tubuh pasien. Daerah seperti sela-sela tangan dan lutut
serta paha sudah mulai timbul luka akibat garukan pasien. Sedangkan pada daerah perut,
selangkangan dan ketiak masih terasa sangat gatal dan muncul bintik-bintik putih keabu-abuan.

3
Gatal terasa sangat hebat khususnya pada malam hari. Pasien tidak demam, dan terkadang
bagian yang luka terasa nyeri.
Riwayat penyakit dahulu: Keluhan yang sama tidak ada, Diabetes Melitus (-), hipertensi (-).
Riwayat Penyakit keluarga: Keluhan yang sama terjadi hampir pada seluruh anggota keluarga
pasien
Riwayat pengobatan: Pasien sudah mendapat salep dari puskesmas
Riwayat atopi/alergi: Tidak ada.

Status Generalis
Keadaan umum : Kesadaran kompos mentis, tampak sakit sedang, gizi cukup,
hygiene sedang
Tanda Vital : TD: 110/80 mmHg , Nadi: 89 kali/menit, pernapasan 18 kali/menit,
Suhu 36,5’C

Kepala : Bentuk monosepal, konjungtiva anemis(-), sklera ikterik (-)

Leher dan aksila : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening

Toraks : Jantung dan paru dalam batas normal

Abdomen : Hepar dan lien tidak teraba dan tidak ada nyeri tekan

Ekstremitas : Ada luka pada ekterimitas inferior dan superior

Status dermatologis

Lokasi : Region truncus, extremitas superior et inferior

UKK : Papul eritem, ekskoriasi, krusta

4
(a) (b)

(c) (d)
Gambar 1. (a), (b), (c), (d) gambaran lesi scabies pada hari pasien datang ke poliklinik

5
Resume
Seorang anak laki-laki usia 6 tahun, datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin Dr. M.
Haulussy Ambon bersama ibunya pada tanggal 14 Oktober 2019 dengan keluhan utama gatal pada
seluruh tubuh diseluruh tubuh sejak ± 2 minggu sebelum pasien dating ke poliklinik. Awalnya
gatal dirasakan hanya pada sela-sela jari pasien namun makin lama gatal semakin menjalar ke
seluruh tubuh pasien. Daerah seperti sela-sela tangan dan lutut serta paha sudah mulai timbul luka
akibat garukan pasien. Sedangkan pada daerah perut, selangkangan dan ketiak masih terasa sangat
gatal dan muncul bintik-bintik putih keabu-abuan. Gatal terasa sangat hebat khususnya pada
malam hari. Pasien tidak demam, dan terkadang bagian yang luka terasa nyeri.
Riwayat penyakit dahulu: Keluhan yang sama tidak ada, Diabetes Melitus (-), hipertensi (-).
Riwayat Penyakit keluarga: Keluhan yang sama terjadi hampir pada seluruh anggota keluarga
pasien
Riwayat pengobatan: Pasien sudah mendapat salep dari puskesmas
Riwayat atopi/alergi: Tidak ada.

Pada status dermatologi:


Status dermatologi
Lokasi : Region truncus, extremitas superior et inferior
Ukuran : Lentikuler
Efloresensi : Papul eritem, ekskoriasi, krusta

Pemeriksaan penunjang
-
Diagnosis banding
1. Prurigo
2. Tinea Korporis

Diagnosis sementara: Scabies


Penatalaksanaan
1. Terapi yang diberikan:
Sistemik:
- Cetrizine tab 10 mg 1x1

6
Topikal:
- Permetrin 5% krim
- Asam fusidat
2. Anjuran:
- Merendam pakaian, handuk, sprei tempat tidur dalam air panas
- Menganjurkan untuk pengobatan satu keluarga
- Menggunakan obat secara teratur
- Tidak menggaruk bagian yang gatal
- Menjaga hygiene

Pemeriksaan penunjang:
- Kerokan kulit
Prognosis
- Quo ad vitam: dubia ad bonam
- Quo ad sanationam: dubia ad bonam
- Quo ad fungsionam: dubia ad bonam
- Quo ad kosmetika: dubia ad bonam

III. DISKUSI
Diagnosis scabies pada pasien ini ditegakan berdasarkan anamnesis dan hasil pemeriksaan
fisik. Pada anamnesis didapatkan keluhan utama yaitu gatal pada seluruh tubuh pada sela-sela jari
dan menjalar sampai ke bagian tubuh lainnya, gatal terutama di malam hari. Keluhan gatal disertai
adanya luka dan titik-titik putih keabu-abuan pada beberapa bagian tubuh. Menurut kepustakaan
scabies merupakan salah satu penyakit kulit berupa gatal yang disebabkan oleh tungau Sarcoptes
scabiei. Infestasi tungau scabies dapat terjadi pada segala jenis usia namun lebih sering terjadi pada
anak-anak. Scabies lebih sering terjadi pada anak-anak usia dibawah 2 tahun terutama pada anak-
anak pada negara berkembang dengan rata-rata prevalensi yaitu 5-10%.5 Skabies dapat ditularkan
melalui perpindahan telur, larva nimfa atau tungau dewasa dari kulit penderita ke kulit orang lain.
Skabies dapat ditularkan baik secara langsung maupun tidak langsung, namun penularan skabies
tersering melalui kontak langsung antara individu saat tungau sedang berjalan dipermukaan kulit.
Pada orang dewasa penularan tersering adalah melalui hubungan seksual, sedangkan pada anak-

7
anak penularan didapati dari orang tua atau temannya. Anak-anak berpeluang lebih besar
menularkan skabies karena tingginya kontak interpersonal terutama dengan saudara-saudaranya
yang tinggal di tempat yang sama dan dengan orang tuanya saat kontak fisik normal seperti ketika
berpelukan atau tidur bersama.2
Gatal merupakan gejala klinis utama pada skabies. Rasa gatal pada masa awal infestasi
tungau biasanya terjadi pada malam hari (pruritus nocturnal), cuaca panas, atau ketika berkeringat.
Rasa gatal disekitar lesi, namun pada skabies yang kronik gatal dapat dirasakan hingga ke seluruh
bagian tubuh. Rasa gatal disebabkan oleh sensitisasi kulit terhadap sekret tungau yang dikeluarkan
pada waktu membuat terowongan. S.scabiei biasanya memilih lokasi epidermis yang tipis untuk
menggali terowongan di sela-sela jari tangan, pergelangan tangan, penis, areola mammae, peri-
umbilikalis, lipas payudara, pinggang, bokong bagian bawah, paha serta lipatan aksila anterior dan
posterior. Terowongan yang digali tungau tampak sebagai lesi berupa garing halus berwarna putih
keabu-abuan, berkelok-kelok dan diujungnya terdapat papul atau vesikel kecil tempat tungau
berada. Gejala skabies pada anak biasanya berupa vesikel, pustule dan nodul; anak menjadi gelisah
dan nafsu makan berkurang. 2,3,5
Pada pemeriksaan fisik didapati papul eritema, ekskoriasi dan krusta pada region trunkus,
ekstremitas superior dan ekstremitas inferior. Menurut kepustakaan gejala klinis skabies berupa
erupsi kulit yang khas berupa terowongan, papul, vesikel dan pustul pada tempat predileksi.
Namun, sekalipun gejala skabies khas, penderita biasanya datang berobat ketika sudah dalam
stadium lanjut dan tidak memiliki gejala klinis yang khas lagi karena telah timbul ekskoriasi,
infeksi sekunder oleh bakteri dan likenifikasi.3,6
Kasus ini didiagnosis banding dengan Prurigo dan tinea korporis. Menurut kepustakaan
Prurigo merupakan peradangan kronis pada kulit ditandai dengan papul dengan vesikel kecil
diatasnya, disertai rasa gatal dan kerap kali menyerang anak-anak. Prurigo sering terjadi pada anak
berusia satu tahun. Kelainan yang khas yaitu adanya papul-papul miliar tidak berwarna, berbenttuk
kubah. Rasa gatal yang terus menerus menimbulkan erosi, ekskoriasi, krusta, hiperpigementasi
serta likenifikasi. Tempat predileksinya di ekstremitas bagian ekstensor dan simetrik, dapat pula
meluas sampai ke bokong dan perut, wajah juga dapat terkena. Pada kasus ini lesi berupa papul
eritema namun tidak berbentuk miliar dan tidak berbentuk kubah sehingga diagnosis prurigo dapat
disingkirkan.4,11

8
Menurut kepustakaan tinea korporis merupakan dermatofitosis pada kulit tubuh yang tidak
berambut (glabrous skin). Kelainan kulit berupa lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas terdiri atas
eeritema, skuama, kadang-kadang dengan vesikel dan papul ditepi. Daerah ditengahnya biasanya
berwarna lebih terang. Kadang-kadang terdapat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi pada
umumnya merupakan bercak terpisah satu dengan yang lainnya. Kelainan kulit dapat pula terlihat
sebagai lesi dengan pinggiran yang polisiklik, karena beberapa lesi kulit menjadi satu. Pada kasus
ini lesi kulit yaitu papula eritema dan tidak berbentuk lesi bulat atau lonjong, selain itu pada lesi
kasus ini lesi berwana merata dan terlihat berupa terowongan dan daerah ditengah lesi tidak
berwarna lebih terang sehingga diagnosis tinea korporis dapat disingkirkan.4
Penatalaksanaan pada kasus ini berupa pemberian terapi sistemik yaiitu Cetrizine tablet 10
mg 1 kali sehari dan pemberian terapi topikal berupa krim permetrin 5% dan asam fusidat.
Menurut kepustakaan terapi pada kasus skabies yaitu berupa penggunaan skabisida topikal
diikuti dengan perilaku hidup yang bersih dan sehat baik pada penderita maupun lingkungannya.
Syarat penggunaan skabisida yang ideal adalah efektif terhadap semua stadium tungau, tidak toksis
atau menimbulkan iritasi, tidak berbau serta tidak menimbulkan kerusakan atau mewarnai pakaian
dan mudah didapat. Pengolesan obat topikal umumnya selama 8-12 jam, namun ada penggunaan
yang perlu digunakan sampai lima hari berturut-turut, bergantung pada jenis skabisida. Pada
umumnya satu kali pengolesan skabisida topikal cukup untuk menyembuhkan skabies. Skabisida
topikal biasanya berbentuk krim yang dikemas dan tube berisi 30 gram dan 60 gram.2
Pada kasus pasien diberikan terapi sistemik berupa cetirizine 10 mg tablet diberikan sekali
sehari. Menurut kepustakaan untuk rasa gatal biasanya masih tetap dapat muncul setelah satu atau
dua minggu setelah skabies berhasil diobati, namun harus segera dievaluasi apabila gejala gatal
berkepanjangan. Penyebab dari rasa gatal yang terus-menerus adalah karena irritasi pada kulit,
dermatitis kontak alergi pada pengobatan, post-scabetic eczema atau pengobatan yang gagal.
Pilihan terapi berupa antihistamine yaitu chlorpheniramine, hydroxyzine, diphenhydramine dan
dexachlorpheniramine. Pemilihan antihistamin golongan sedative seharusnya digunakan pada
pasien anak kurang dari 2 tahun.7
Pada kasus terapi topikal yang digunakan yaitu Permetrin 5% dan Asam fusidat. Menurut
kepustakaan, permetrin merupakan insektisida yang termasuk dalam golongan piretroid sintetik,
bekerja dengan cara menggangu kanal natrium, menyebabkan perlambatan repolarisasi dinding
sel parasite yang pada akhirnya akan membunuh parasite. Permetrin tersedia dalam bentuk krim

9
dengan konsentrasi 5% pemakaiannya lebih singkat dari gamma benzene heksaklorida dan efek
sampingnya lebih ringan. 8
Permetrin dalam bentuk krim 5% adalah skabisida pilihan dalam tatalaksana skabies karena
angka kesembuhannya tinggi dan toksisitasnya rendah. Berbagai penelitian menunjukan bahwa
Permetrin dalam bentuk krim 5% adalah skabisida pilihan dalam tatalaksana skabies karena angka
kesembuhannya tinggi dan toksisitasnya rendah. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa
permetrin merupakan skabisida terbaik dalam pengobatan skabies dibandingkan terapi lainnya.
Efektivitas permetrin dalam mengobati skabies adalah 91%, sedangkan efektivitas gama benzen
heksaklorida 86%. Dosis tunggal permetrin dapat menyembuhkan 97,8% penderita skabies dan
permetrin lebih baik dibandingkan dengan ivermektin. Sayangnya, krim permetrin 5% relatif
mahal dan sering tidak tersedia di daerah endemis skabies.2,9
Krim permetrin digunakan dengan mengoleskannya ke seluruh permukaan kulit dari leher
hingga ujung kaki. Hal tersebut bertujuan untuk membunuh seluruh tungau yang berada di stratum
korneum dan di permukaan kulit. Pengolesan krim permetrin perlu diperhatikan di daerah
predileksi skabies seperti bokong, area intertriginosa termasuk lipatan intergluteal, dan subungual
serta lipatan tubuh lainnya agar tidak luput dari pengobatan. Pengolesan permetrin ke seluruh
tubuh juga bertujuan untuk membunuh tungau yang berada di lesi subklinis. Permetrin dianjurkan
untuk dipakai pada malam hari selama 8-12 jam dan bila terhapus sebelum waktunya, maka krim
harus dioleskan lagi. Keesokan harinya penderita harus mandi memakai sabun untuk membilas
krim permetrin dari kulit.2,9
Pemberian antibiotic topikal pada luka diberikan asam fusidat pada luka. Penggunaan
antibiotika topikal dapat mengurangi kebutuhan antibiotika oral, problem kepatuhan, efek samping
pada saluran pencernaan, dan potensi terjadinya interaksi obat. Pada infeksi bakteri superficial
sering diresepkan berbagai jenis antibiotic topikal salah satunya yaitu asam fusidat. Asam fusidat
adalah sediaan topikal yang merupakan antibakteri steroidal dengan mekanisme kerja yaitu
mempengaruhi fungsi faktor elongasi (EF-G) dengan menstabilkan EF-G-GDP-ribosome
complex, mencegah translokasi ribosom dan daur ulang bentuk EF-G.10
Prognosis pasien ini quo ad vitam dubia ad bonam, ad sanationam dubia ad bonam, ad
fungsionam dubia ad bonam, ad kosmetikam dubia ad bonam. Prognosis skabies sangat baik jika
diagnosis dan terapi tepat, namun pada penderita immunocompromised atau penderita yang tinggal

10
di panti asuhan atau asrama, angka kejadian infestasi ulang tinggi khususnya pada penderita yang
kembali ke lingkungan asalnya yang belum dilakukan eradikasi skabies.2,11

IV. RINGKASAN
Telah dilaporkan sebuah kasus scabies pada seorang anak laki-laki usia 6 tahun dengan
keluhan gatal pada hampir seluruh tubuh terlebih saat malam dan muncul luka akibat garukan
pasien. Keluhan muncul tiba-tiba sejak 2 minggu sebelum pasien diantar orang tuanya ke
poliklinik. Pada pemeriksaan dermatologis didapatkan papul eritema, ekskoriasi dan krusta.
Penatalaksanaan pasien berupa :
a. Pemberian antihistamine : Cetrizine tablet 1 x 10 mg
b. Pemberian salep topikal permetrine 5% dioleskan setelah mandi ke seluruh bagian tubuh dan
diulang lagi satu minggu setelahnya
c. Pemberian antibiotic topikal asam fusidat dioleskan pada luka dua kali satu hari
Prognosis pasien ini quo ad vitam dubia ad bonam, ad fungsionam dubia ad bonam, ad
sanationam dubia ad bonam, ad kosmetikam dubia ad bonam.

11
DAFTAR PUSTAKA

1. Chandler DJ, Fuller LC. A Review of Scabies: An Infestation More Than Skin Deep.
KARGER. 2019; 235:79-90
2. Sungkar Saleha. Skabies: Etiologi, Patogenesis, Pengobatan, Pemberantasan dan
Pencegahan. Jakarta: Badan Penerbit FKUI, 2016
3. Karimkhani C, Colombara DV, Drucker AM, et al. The global burden of scabies: a cross-
sectional analysis from the Global Burden of Disease Study 2015. Lancet Infect Dis. 2017;
17: 1247-1254
4. Buku Ajar Ilmu Penyakiit Kulit dan Kelamin. Edisi 7. Cetakan Pertama. 2015. Jakarta:
FKUI
5. Kazeminejad A, Hajheydari Z, Ghahari MJ. Scabies Treatment in Children: A Narrative
Review. Journal of Pediatrics Review. 2019; 7(2):105-106
6. Shimose L, Price SM. Diagnosis, Prevention and Treatment of Scabies. Current Infectious
Disease Reports. 2013: 15(7)
7. Guideline for Management of Scabies in Adult and Children. 2015. Malaysia: Ministry of
Health
8. Karthikeyan K. Treatment of Scabies: newer perspective. Postgraduated Medical Journal.
2015; 81: 7-11
9. Young C, Anglez C. Ivermectin for Parasitic Skin Infection of Lice: a Review of
Comparative Clinical Effectiveness, and Guidelines. CADTH. 2019; 1: 1-20
10. Suhariyanto B. Antibiotik Topikal untuk Penyakit Kulit pada Wisatawan. 2011. Jember:
SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. RSUD Dr.Soebandi.
11. Lipworth AD, Saavedra AP, Weinberg AN and Johnson RA. Non-Necrotizing
Infection of the Dermis and Subcutaneous Fat: Cellulitis and Erysipelas.
Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine. 8th ed. USA: McGraw-Hill.
2012. p.2160-9.

12

Anda mungkin juga menyukai