Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN KASUS

KANKER PAROTIS

Oleh :
Ni Putu Emi Januantari
H1A 014 054

Pembimbing :
dr. Ramses Indriawan, Sp.B(K)Onk

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN


KLINIK MADYA DI BAGIAN/ SMF BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM/
RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB
2018
BAB I

PENDAHULUAN

Neoplasma kelenjar saliva ganas relatif jarang yakni sekitar 3% hingga 7% dari semua
kanker kepala dan leher dan terhitung kurang dari 0,5% dari semua keganasan yang
didiagnosis setiap tahun di Amerika Serikat. Insiden pertahun adalah sekitar 2,5 hingga 3,0
kasus per 100.000 individu Mayoritas neoplasma ini jinak dan hanya 20% yang ganas.
Insiden tahunan kanker kelenjar saliva berkisar 0,5-2 per 100.000 di berbagai bagian dunia,
dengan insiden tertinggi terjadi di Kroasia (1, 2).
Tumor kelenjar saliva dapat muncul di kelenjar saliva major (parotis, submandibular,
sublingual) atau di salah satu kelenjar saliva minor (didominasi kelenjar mensekresi mukus),
yang didistribusikan di bawah mukosa di seluruh saluran aerodigestive atas. Kebanyakan
pasien yang terdiagnosis dengan tumor kelenjar saliva ganas berusia antara 60-70 tahun.
Sekitar 80% hingga 85% tumor kelenjar saliva muncul di kelenjar parotid dan sekitar 75%
hingga 80% tumor ini jinak. Sekitar 70% lesi yang berasal dari kelenjar parotid yang sering
muncul sebagai massa preauricular yang tanpa rasa sakit tetapi perlahan-lahan membesar.
Ciri khas yang berbeda dari karsinoma ini adalah distribusi anatominya yang luas. 30% sisa
tumor dapat muncul dari seluruh saluran aerodigestive atas, terutama rongga mulut, faring,
laring, hidung / sinus paranasal, dan ruang telinga bagian tengah (1, 3).
Etiologi kanker parotis belum sepenuhnya diteliti dan faktor-faktor yang
mempengaruhi karsinogenesisnya tidak jelas. Paparan asap tembakau dan asupan alkohol
belum ditemukan secara konsisten terkait dengan perkembangan kanker parotis. Faktor risiko
yang telah diteliti yakni paparan radiasi pengion, didukung oleh studi pada korban bom atom.
Radiasi medis atau perawatan terapi sinar ultraviolet ke kepala atau leher dan paparan sinar X
pada perawatan gigi juga dikaitkan dengan peningkatan risiko. Efek sinar terapeutik UV lebih
jelas pada orang-orang berkulit putih, yang secara alami lebih sensitif terhadap efek sinar
UV. Selain itu senyawa nitroso telah menginduksi tumor kelenjar parotis pada penelitian
dengan tikus. Senyawa nitroso inrubbers dapat menjelaskan tingginya insiden kanker kelenjar
parotis pada pekerja industri karet (4).
BAB II

ISI

2.1 ANATOMI KELENJAR PAROTIS (5)

Gambar 1. Ilustrasi Kelenjar Saliva Major (4)

Kelenjar saliva dikategorikan ke dalam kelenjar saliva mayor dan minor. Kelenjar mayor
dibagi menjadi tiga yaitu kelenjar parotis, kelenjar submandibularis dan kelenjar sublingualis.
Kelenjar parotis merupakan kelenjar saliva mayor yang tersusun dari sel asinus dan duktal.
Sel asinus adalah struktur yang berfungsi untuk sekresi liur yang bersifat serous sedangkan
kelenjar sublingual menghasilkan sekresi yang bersifat mucous serta kelenjar submandibula
menghasilkan sekresi yang bersifat campuran. Glandula parotis merupakan kelenjar ludah
terbesar, berbentuk irreguler akan tetapi dilihat dari permukaan lateralnya nampak berbentuk
segitiga. Glandula parotis terdapat dalam fossa yang pada bagian depan dibatasi oleh margo
posterior ramus mandibula dan musculus pterygoideus. Pada bagian belakang fossa dibatasi
oleh pars tympanica ossis temporalis, kartilago meatus austici, margo anterior processus
mastoidei, dan musculus sternocleidomastoideus. Pada bagian medial, fossa dibatasi oleh
processus styloideus, otot-otot stylohyoideus dan styloglossus, arteri carotis interna dan vena
juguaris interna. Sedangkan pada bagian ventromedial, fossa dibatasi oleh venter posterior
musculi digastrici. Duktus primer kelenjar parotis terletak di superficial fasia otot maseter
hampir tegak lurus menuju ke dalam membentuk otot businator dan bermuara di mukosa
bukal, dekat gigi Molar 2 atas dan disebut Stenson’s Duct. Duktus parotideus Stenson
dibentuk oleh duktus-duktus yang berasal dari lobus-lobus glandula parotis. Duktus
parotideus stenson bermuara kedalam vestibulum oris pada paila parotidea yang berhadapan
dengan gigi Molar kedua atas atau Molar pertama atas Glandula parotis dibungkus oleh fascia
yang melekat erat pada permukaannya. Fascia ini dibentuk dari fascia colli superficialis yang
di daerah glandula parotis membelah untuk membungkus kelenjar ini (fascia
parotideomasseterica).

Gambar 2. Ilustrasi Glandula Salivarius (6)

Perdarahan kelenjar parotis berasal dari A. carotis externa, dimana arteri ini berjalan
medial dari kelenjar parotis lalu kemudian mempercabangkan A. maxilaris dan A. temporalis
superior. A. temporalis superior mempercabangkan A. transveralis yang berjalan diantara
zigoma dan saluran parotis, kemudian memperdarahi kelenjar parotis, saluran parotis dan otot
masseter. V. maxilaris dan V. temporalis superficialis bersatu membentuk V.
Retromandibuler yang berjalan disebelah dalam N. facialis lalu kemudian menyatu dengan V.
jugularis externa.
Nodul kelenjar limfe ditemukan pada kulit yang berada diatas kelenjar parotis (kelenjar
preaurikuler) serta juga pada bagian dari kelenjar parotis itu sendiri. Kelenjar limfe yang
berasal dari kelenjar parotis mengalirkan isinya ke dalam nodi lymphoidei parotidei dan nodi
lymphoidei cervicales profundi.
Persarafan kelenjar parotis oleh saraf preganglionik yang berjalan pada cabang petrosus
dari N glossopharyngeus dan bersinaps pada ganglion otikus. Serabut post ganglionic
mencapai kelenjar melalui N. auriculotemporal.

2.2 DEFINISI
Neoplasma glandula salivarius adalah neoplasma jinak atau ganas yang berasal dari sel
epitel/myoepitel kelenjar liur. Karsinoma parotis merupakan suatu proses keganasan yang
berasal dari kelenjar parotis. Karsinoma parotis berasal dari sel epithelial yang terjadi di
kelenjar parotis (7, 3)

2.3 EPIDEMIOLOGI
Neoplasma kelenjar saliva terjadi sekitar 1% dari tumor kepala dan leher, dengan
perkiraan insiden 1,5 kasus / 100,000. Sekitar 67,7% hingga 84% dari neoplasma terjadi di
glandula parotid, 10% sampai 23% terjadi di kelenjar submandibular dan kelenjar sublingual
dan di kelenjar ludah minor. Sekitar 95% kasus terjadi pada orang dewasa dan jarang terjadi
pada anak-anak. Sekitar 75% merupakan neoplasma jinak dan adenoma pleomorfik adalah
tipe histologis yang paling umum. Semakin kecil kelenjar, semakin besar probabilitas
neoplasma untuk menjadi malignant: 25% dari tumor parotid bersifat malignant, sementara
pada kelenjar submandibular 43% bersifat malignant dan mencapai 82% pada kelenjar
saliva minor (8).
Tabel 1. Insidensi Tumor Jinak dan Ganas pada kelenjar Saliva (9)

Pada tumor parotid, subtipe histologis yang paling umum adalah adenoma pleomorfik
(53,3%), diikuti oleh tumor Warthin (28,3%) dan oleh karsinoma mucoepidermoid (9%). Di
kelenjar lain pleomorfik adenoma juga merupakan yang paling umum (36% di submandibular
dan 43% di kelenjar sublingual dan kelenjar saliva minor), diikuti oleh karsinoma adenoid
kistik (25% pada submandibular dan 34% pada kelenjar sublingual dan kelenjar saliva minor)
dan yang ketiga merupakan karsinoma mucoepidermoid (12% pada submandibular dan 11%
pada kelenjar sublingual dan kelenjar saliva minor) (8).

2.4 ETIOLOGI

Faktor etiologi untuk neoplasma kelenjar saliva yakni (8):


 Radiasi: radioterapi dalam dosis rendah berperan dalam patogenesis adenoma
pleomorfik, karsinoma sel skuamosa dan karsinoma mucoepidermoid setelah 15
hingga 20 tahun paparan. Bukti yang lebih besar dari hubungan tersebut adalah
meningkatnya insiden tumor ini pada korban yang selamat dari area yang terpapar
bom atom.
 Merokok: meskipun tidak terikat pada pengembangan karsinoma kelenjar saliva,
merokok telah dikaitkan dengan tumor WARTHIN.
 Virus Epstein-Barr: kecuali karsinoma yang tidak terdiferensiasi, peran etiologi virus
tidak ada pada neoplasma kelenjar saliva.
 Faktor Genetik: P53 (gen penekan tumor) dan MDM2 (onkogen) diidentifikasi dalam
persentase tinggi pada karsinoma misalnya adenoma pleomorfik; Peningkatan dari
(VEGF) faktor pertumbuhan endotel akan berhubungan dengan ukuran tumor yang
lebih besar, invasi vaskular, kekambuhan, metastasis dan agresivitas. Hilangnya atau
translokasi alel 12q13-15 berhubungan dengan adenoma pleomorfik.
Faktor risiko pada kanker kelenjar saliva (10) :
 Usia yang lebih tua
Risiko kelenjar saliva meningkat seiring bertambahnya usia.
 Jenis kelamin laki-laki
Kanker kelenjar saliva lebih sering terjadi pada pria dibandingkan pada wanita.
 Paparan radiasi
Perawatan radiasi ke daerah kepala dan leher untuk alasan medis lainnya
meningkatkan risiko kanker kelenjar saliva. Paparan tempat kerja untuk zat radioaktif
tertentu juga dapat meningkatkan risiko
kanker kelenjar saliva.
 Riwayat keluarga
Tetapi kebanyakan orang yang terkena kanker kelenjar ludah tidak memilikiriwayat
keluarga penyakit ini. Sebaliknya, perubahan pada DNA sel seseorang mungkin
berlangsung selama periode hidup seseorang. Terkadang perubahanini mungkin saja
peristiwa acak yang terjadi di dalam sel, tanpa penyebab luar.Tapi kadang-kadang
penyebabnya mungkin sesuatu yang spesifik, seperti paparan radiasi atau karsinogen
tertentu.
 Eksposur pada tempat kerja
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang yang bekerja dengan logam tertentu
(debu paduan nikel) atau mineral (debu silika), dan orang-orang yang bekerja di
pertambangan asbes, pipa ledeng, manufaktur produk karet, dan beberapa jenis
pertukangan mungkin berisiko lebih tinggi. untuk kanker kelenjar saliva.
 Penggunaan tembakau dan alkohol
Tembakau dan alkohol dapat meningkatkan risiko untuk beberapa jenis kanker pada
daerah kepala dan leher, tetapi mereka belum sangat terkait dengan kanker kelenjar
saliva di sebagian besar penelitian.
 Diet
Beberapa penelitian menemukan bahwa diet rendah sayuran dan tinggi lemak hewani
mungkin meningkatkan risiko kanker kelenjar saliva, tetapi penelitian lebih lanjut
diperlukan untuk mengkonfirmasi hal ini
 Penggunaan telepon seluler
Satu penelitian telah menunjukkan peningkatan risiko tumor kelenjar parotis diantara
pengguna telepon seluler. Dalam penelitian ini, sebagian besar tumor yang terlihat
jinak (bukan kanker).

2.5 PATOGENESIS
Histogenesis neoplasma kelenjar saliva telah menjadi bahan perdebatan besar yakni
terdapat hipotesis teori sel stem bicelluler atau teori sel cadangan yang mengatakan bahwa
neoplasma kelenjar saliva berasal dari sel stem dengan kemampuan untuk self-renewal.
Dalam hipotesis ini, dua jenis sel stem (atau sel induk) dari saluran interkalaris dan
ekskretoris merupakan asal epitel sel neoplasma saliva. Dengan demikian, tumor epidermoid,
seperti karsinoma sel skuamosa dan karsinoma mucoepidermoid, diduga timbul dari sel-sel
stem saluran ekskretoris, sedangkan tumor glandular, seperti adenokarsinoma, karsinoma
kistik adenoid, dan karsinoma sel acinus, timbul dari sel stem duktus interkalaris (6).
Hipotesis alternatif yakni teori multiseluler, semua jenis sel dalam unit kelenjar saliva
mampu bereplikasi dan, oleh karena itu dapat terlibat dalam proses tumorigenik. Jadi sel-sel
myoepithelial menghasilkan tumor yang sangat heterogen, termasuk karsinoma sel acinic dan
karsinoma kistik adenoid. Ductus terminal (juga dikenal sebagai polimorfisme tingkat
rendah) adenokarsinoma berkembang dari duktus interkalaris terminal dan asinus. Tumor
dengan fitur oncocytic karena peningkatan mitokondria sitoplasma mungkin timbul dari sel-
sel duktus striated. Mucoepidermoid, duktus saliva, dan karsinoma skuamosa primer timbul
dari saluran ekskretoris (6).

Jaringan-jaringan dalam tubuh manusia terdiri dari jaringan labil, jaringan stabil, dan
jaringan permanen. Jaringan-jaringan labil seperti kulit dan kelenjar liur mempunyai
kemampuan berproliferasi untuk menghasilkan berjuta-juta sel setiap harinya. Jaringan stabil
seperti sel otot mempunyai kemampuan proliferasi yang rendah namun dapat membelah diri
dengan cepat untuk merespon cedera. Sedangkan jaringan permanen seperti otot jantung dan
syaraf mempunyai sedikit kemampuan berproliferasi untuk bergenerasi untuk memperbaiki
kerusakan. Kemampuan berproliferasi ini diatur oleh atau rangkaian DNA gen pada setiap sel
jaringan. Pada masing-masing sel disamping mempunyai gen yang mengatur proliferasi sel
seperti Ki-67 gene, juga mempunyai gen yang menghentikan proliferasi sel pada suatu waktu
yang disebut repressor gen seperti p53, krev-1/rap1A atau Gas-1 (11).
Kanker dapat terjadi oleh adanya sel yang mengalami mutasi. Proses karsinogenesis ini
melibatkan perubahan genetik pada onkogen, gen supresor tumor (misalnya p53), gen
metastasis (misalnya NME1 dan NME2), maupun pada gen DNA repair. Mutasi genetik
dapat terjadi pada sel yang mengalami transkripsi, translasi, pembentukan membran basal,
maupun sel yang bekerja mengendalikan apoptosis sel. Karsinogenesis ini mengakibatkan sel
membelah secara terus menerus dan tidak terkontrol (11).
Pada Adenoid cystic carcinoma (ACC) dapat diidentifikasi dengan adanya overekspresi
pada produk protein SOX4 dan AP-2γ. Mutasi diduga terjadi pada proses transkripsi,
translasi, maupun pada sel pengendali kegiatan apoptosis. Sehingga terjadi penumpukan
protein yang menyebabkan adanya gambaran overekspresi. Saat ini Adenocarcinoma dapat
diidentifikasi dengan marker diagnostic spesifik menggunakan Antigen karsinoembronik
(CEA) (12).

Berdasarkan bagan di atas dapat dijelaskan yaitu sel normal yang terpapar zat zat perusak
DNA akan mengalami kerusakan. Pada sel yang masih normal apabila terjadi kerusakan
DNA, maka dari dalam tubuh akan diperintahkan untuk memperbaiki sel yang rusak sebelum
melanjutkan pembelahan. Namun pada sel kanker, sel yang mengalami kerusakan DNA gagal
memperbaiki kerusakan sehingga terjadi mutasi pada gen. Mutasi gen ini mengakibatkan
adanya pengaktifan onkogen pendorong pertumbuhan kanker, perubahan gen yang
mengendalikan pertumbuhan, dan penonaktifan gen supresor kanker. Akibatnya terjadi sel
yang mengalami kerusakan DNA akan lolos dan tetap melaju untuk pembelahan dan
mengakibat sel berkembang biak secara berlebihan. Adanya pembelahan sel yang tidak
terkendali inilah yang menyebabkan kanker (11).

2.6 DIAGNOSIS (7)

Pemeriksaan Klinis
1. Anamnesis
- Benjolan pada glandula parotis, glandula submandibular dan mukosa rongga
mulut (palatum, sublingual)
- Benjolan pada glandula parotis biasanya terletak pre-auricular, menyebabkan
telinga terangkat, nyeri atau tidak (berhubungan dengan N.C. Trigeminus), ada
tidaknya “bell’s palsy” (kelumpuhan N.C.Fascialis), berhubungan dengan
malignancy glandula salivarius
- Paralisis n.facialis dijumpai pada kurang lebih 2-3% keganasan parotis
- Adanya disfagia, nyeri pada tenggorokan, dan gangguan pendengaran
berhubungan dengan keganasan lobus profundus parotis dengan ekstensi ke
orofaring.
- Paralisis n.glossopharyngeus, n.vagus, n.hypoglossus, n.accessorius, truncus
sympathicus (Horner syndrome) berhubungan dengan kegansan parotis yang
bersifat lanjut lokal dengan ekstensi pada nervi tersebut
- Adanya pembesaran KGB leher, terutama pada level I, II, dan III biasanya
berhubungan dengan metastasis keganasan yang berasal dari glandula salivarius.
- Progresivitas penyakit. Kecepatan pertumbuhan berhubungan dengan grading
keganasan dan besar tumor (Cancer cells doubling time).
- Faktor etiologi atau faktor risiko (paparan radiasi  radioterapi pada penyakit lain
di daerah leher kepala).
- Histori pengobatan atau pembedahan sebelumnya
- Keterlambatan (dokter atau pasien)
2. Pemeriksaan Fisik
- Status Generalis (keadaan umum penderita, tanda vital)
- Performance status (karnofsky score)
- Adanya anemia, ikterus, batuk/sesak napas, paresis dari ekstremitas
- Tanda-tanda metastasis pada KGB, paru, hati, tulang/vetebra
- Status lokal:
Inspeksi  pada leher, terangkatnya”cuping/lobulus daun telinga intra-oral,
orofaring, besar tumor, pendesakan organ sekitar, pembesaran KGB leher
Palpasi  besar tumor, mobilitas (mobilitas tumor glandula salivarius biasanya
terbatas, o.k. ruang yang sempit  inoperabel), konsistensi, bimanual palpasi,
pemeriksaan fungsi n.VII, VIII, IX, X, XI, XII.
- Status regional: palpasi KGB leher pada semua level, teruatama pada upper level
(level I, II, III), baik ipsilateral maupun kontra lateral, ukuran besarnya KGB,
mobilitas, jumlahnya adanya konglomerasi KGB.
- Adanya trismus yang menunjukan kemungkinan inoperabilitas
-
3. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologis untuk diagnosis (atas indikasi)
- Foto polos rahang untuk mengetahui terkena tidaknya tulang rahang
(mandibula/maxilla) pada proses keganasan glandula salivarius ini
- Untuk melakukan diagnosis banding antara kista tulang rahang, keganasan tulang
rahang (Ewing sarcoma, osteosarcoma) dan tumor glandula salivarius (parotis,
submandibular).
- Sealografi : tidak banyak membantu diagnosis keganasan parotis

Pemeriksaan radiologis untuk staging


- Foto toraks untuk melihat metastasis paru

Pemeriksaan CT Scan/MRI, PET Scan


- Terutama untuk tumor glandula salivarius yang besar, dengan mobilitas terbatas
- Penting untuk approach pembedahan dan operabilitas, misalnya pada tumor
parotis dari lobus profundus dan perluasannya ke orofaring
- Metastasis pada KGB leher, ekstensinya, kadang untuk melihan ekstensi
ekstrakapsuler
- Fluorodeoxyglucose (FDG) Positron Emmision Tomography mempunyai
sensitivitas 100% dan dengan false positive sebesar 30%. PET Scan juga akurat
untuk follow up dan menentukan rekurensi.
4. Fine Needle Aspiration Biopsy & Open Biopsy
- Diagnosis patologi sebelum pembedahan diperlukan untuk menentukan ekstensi
pembedahan
- Akurasi sitologi ditentukan oleh teknik pengambilan jaringan dan pengalaman ahli
sitologi
- Sensitivitas FNA/Sitologi berkisar antara 58-96%, dengan spesifisitas berkisar 71-
88%
- Biopsi terbuka hanya dilakukan pada tumor ganas glandula salivarius yang tidak
operabel untuk menentukan strategi pengobatan selanjutnya
- Pemeriksaan “potong beku” juga memerlukan pengalaman ahli patologi
mengingat banyaknya variasi dan heterogenitas tumor dari glandua salivarius
5. Evaluasi Preoperatif
- Evaluasi preoperatif penting untuk menentukan strategi, intensi, dan hasil
pengobatan yang akan dicapai
- Terkenanya nervi sekitar (lihat di depan)
- Terkenanya lobus profundus parotis (evaluasi intra-oral/intra faring)
- Adanya trismus

2.7 KLASIFIKASI (7)

A. Klasifikasi Histopatologi WHO


Tumor Jinak
Pleiomorphic adenoma (Benign Mixed Tumor)
Monomorphic adenoma
Papillary cyst-adenoma lymphomatosum (Warthin Tumor)
Tumor Ganas
Mucoepidermoid carcinoma
Acinic cell carcinoma
Adenid cystic carcinoma
Adenocarcinoma
Epidermoid carcinoma
Small cell carcinoma
Lymphoma
Malignant mixed tumor
Carcinoma ex pleimorphic adenoma (carcinosarcomal CXPA)

B. Klasifikasi menurut Grade (WHO/AJCC)


Low Grade
Acinic Cell Ca
Mucoepidermoid carcinoma (grade I dan II)

High Grade
Mucoepidermoid carcinoma (grade III)
Adenocarcinoma (poorly diff, anaplasti Ca)
Squamous cell Carcinoma
Malignant mixed tumor
Adenoid Cystic carcinoma
Tumor ganas yang sering dijumpai adalah mucoepidermoic ca, adenocarcinoma, dan
adenoid cystic carcinoma

1. Karsinoma Mucoepidermoid

Tumor maligna parotis paling umum (15% dari tumor parotid) dan yang paling sering
kedua di kelenjar submandibular. Secara histologis terdiri oleh 2 jenis sel, yaitu sel mucous
dan sel-sel epidermoid, dan dari diferensiasi ini mereka dapat dibagi menjadi low grade,
Intermediet dan high grade, berdasarkan prevalensi satu atau yang lain. Grade tumor adalah
salah satu faktor prognostik yang paling penting dalam 5 tahun: 92-100% pada tingkat
rendah, 62-92% dalam kelas menengah dan 0-43% dalam kelas tinggi. Tumor derajat rendah
(low grade) terdiri dari beberapa sel mukosa dan ruang kistik. Tumor derajat rendah dapat
terjadi antara dekade ke-4 dan ke-6 secara umum dengan pertumbuhan lambat dalam
beberapa bulan atau tahun, dengan dominasi penderita berjenis kelamin perempuan dan
sekitar 7% dari kasus-kasus pasien memiliki paralisis wajah perifer untuk diagnosis. Tumor
derajat tinggi sangat mirip dengan karsinoma sel skuamosa dan dalam beberapa kasus
memerlukan evaluasi patologis yang lebih spesifik. Secara makroskopis mereka muncul
tanpa margin yang jelas, konsistensi yang mengeras dan berwarna abu-abu (8).
2. Adenokarsinoma

Paling sering terjadi pada kelenjar saliva minor, diikuti oleh kelenjar parotis. Keganasan
ini mewakili sekitar 15% dari neoplasma maligna parotis. Bersifat agresif dengan potensi
kuat untuk kambuh dan menjadi metastasis. Adenokarsinoma adalah keganasan parotis kedua
yang paling sering ditemukan pada anak-anak. Berasal dari tubulus terminal dan intercalated
atau strained sel duktus. Sebagian besar (80%) tanpa gejala, 40% ditemukan terfiksasi di
jaringan diatas atau dibawahnya, 30% metastasis ke nodus servical, 20% menderita paralisis
nervus facialis dan 15% mengeluhkan sakit pada wajahnya. Jenis-jenis yang lain adalah jenis
keganasan yang tidak berdiferensiasi secara keseluruhan dan mempunyai angka harapan
hidup yang buruk (8).

3. Karsinoma Adenoid Kistik

Tumor maligna kelenjar saliva kedua yang paling umum dan berhubungan dengan 10%
neoplasma. Tidak ada dominasi untuk jenis kelamin dan ras dan diagnosis rata-rata pada usia
45 tahun. Secara makroskopis pada umumnya merupakan lesi kecil yang tidak dienkapsulasi,
infiltratif dan berwarna merah muda-abu-abu. Invasi perineural adalah pernyataan khas
neoplasma seperti itu. Dan itu membentuk neoplasma kelenjar saliva yang paling
menyakitkan. Kelangsungan hidup relatif terhadap tumor adalah sekitar 80% pada tahun-
tahun pertama, tetapi menurun drastis seiring berjalannya waktu, dan mencapai 20% dalam
20 tahun. Lesi primer tumbuh dengan lambat dan kekambuhannya dalam beberapa tahun,
serta munculnya metastasis jauh hingga 20 tahun dari pengobatan awal. Karsinoma
adenokistik merupakan neoplasma kelenjar liur spesifik yang termasuk neoplasma dengan
potensial keganasan tinggi. Didapat pada 3% seluruh neoplasma parotis, 15% neoplasma
submandibular dan 30% neoplasma kelenjar liur minor. Sebagian pasien merasa
asimptomatik, walaupun sebagian besar terfiksasi pada struktur diatas atau dibawahnya.
Ditandai dengan adanya penyebaran perineural awal. Asalnya dipikirkan dari sel mioepitel
(8).
4. Karsinoma Sel Asiner

Neoplasma derajat rendah yang mewakili 1% dari seluruh neoplasma kelenjar saliva dan
5-11% neoplasma maligna. Sering terjadi pada kelenjar parotis. Seperti tumor Warthin, 2
hingga 5% multisentrik dan bilateral. Secara makroskopik, ia dikapsulasi, berwarna abu-abu,
dan mungkin padat atau kistik. Karsinoma sel asiner terjadi pada sekitar 3% neoplasma
parotis. Jenis ini lebih sering terjadi pada wanita. Puncak insidens antara lain dekade ke 5
atau ke 6 kehidupan. Terdapat metastasis ke nodus servikal, kira-kira 15% kasus. Tanda
patologik khas adalah amiloid. Asalnya diperkirakan dari komponen serosa asinar dan sel
duktus intercalated (8).

5. Karsinoma sel skuamosa

Karsinoma sel skuamosa primer kelenjar saliva jarang terjadi. Insidensi sekitar 0,3 hingga
1,5% dari tumor kelenjar saliva. Diagnosis dibuat setelah eksklusi Karsinoma
Mucoepidermoid, metastasis CEC, invasi kelenjar oleh tumor struktur yang berdekatan dan
kelenjar skuamosa metaplasia. Perawatan terdiri dari reseksi bedah lengkap dengan
radioterapi pasca operasi. Kelangsungan hidup sangat rendah dan mencapai 24% dalam 5
tahun. Karsinoma sel skuamosa sering terjadi pada pria berusia tua dan ditandai dengan
pertumbuhannya yang cepat. Insidens metastase ke nodus limfatikus sebanyak 47%. Biasanya
terdapat pada kelenjar parotis. Dipikirkan berasal dari sel duktus ekskretorius (8).

6. Karsinoma sel ductus

merupakan jenis yang jarang, dan menyerupai karsinoma duktus mammae. Duktus
stensen lebih sering terkena dibandingkan dengan duktus Wharton. Memiliki kecendrungan
untuk terjadi berulang pada tempat yang sama (35%). Dapat bermetastasis jauh (62%) dan
hanya 23% pasien yang dapat bertahan hidup selama 3 tahun (8).
Staging TNM
Penentuan staging dilakukan menurut AJCC tahun 2002, berdasarkan klasifikasi TNM :
Tumor primer (T) Keterangan
Tx Tumor primer tak dapat ditentukan
T0 Tidak ada tumor primer
T1 Tumor berukuran 2 cm atau kurang pada dimensi terbesar tanpa
ekstensi ekstraparenkim
T2 Tumor berukuran lebih dari 2 cm tetapi tidak lebih dari 4 cm pada
dimensi terbesar tanpa ekstensi ekstraparenkim
T3 Tumor beurkuran lebih dari 4 cm dan/atau terdapat ekstensi
ekstraparenkim
T4a Tumor menginvasi kulit, mandibula, kanalis telinga dan/atau saraf
facialis
T4b Tumor menginvasi basis cranii, lempeng pterigid atau arteri karotis
KGB regional (N)
Nx Metastase KGB tak dapat ditentukan
N0 Tidak ada metastase KGB
N1 Metastase KGB tunggal ipsilateral, berukuran 3 cm atau kurang
pada dimensi terbesar
N2a Metastase KGB tunggal ipsilateral, berukuran lebih dari 3 cm tetapi
tidak lebih dari 6 cm pada dimensi terbesar
N2b Metastase KGB multipel ipsilateral, berukuran tidak lebih dari 6cm
pada dimensi terbesar
N2c Metastase KGB bilateral atau kontralateral, berukuran tidak lebih
dari 6 cm pada dimensi terbesar
N3 Metastasis KGB berukuran lebih dari 6 cm pada dimensi terbesar
Metastasis jauh (M)
Mx Metastase jauh tak dapat ditentukan
Mo Tidak ada metastase jauh
M1 Metastase jauh
Pengelompokkan stadium

T N M
Stadium I T1 N0 M0
Stadium II T2 N0 M0
Stadium III T3 N0 M0
T1, T2, T3 N1 M0
Stadium IV A T1, T2, T3 N2 M0
T4a N0, N1, N2 M0
Stadium IV B T4b Setiap N M0
Setiap T N3 M0
Stadium IV C Setiap T Setiap N M1

2.8 TATALAKSANA

Terapi Pembedahan
Terlepas dari lokasi tumor, histologi, atau grade, pendekatan pengobatan lini pertama
untuk keganasan kelenjar saliva yakni reseksi bedah kuratif, jika memungkinkan. Modalitas
pengobatan lini pertama lainnya telah dipelajari, tetapi modalitas tersebut secara umum telah
disediakan untuk pasien dengan penyakit yang tidak dapat dioperasi atau terdapat komorbid
medis yang mencegah pendekatan bedah. Strategi operasi harus mempertimbangkan
lokalisasi anatomis tumor, tingkat locoregional penyakit, morbiditas kosmetik dan fungsional
akibat ekstirpasi tumor, dan kebutuhan untuk rekonstruksi defek pasca operasi. Pertimbangan
penting lainnya adalah kecenderungan histologi tumor tertentu (misalnya, karsinoma kistik
adenoid) dalam invasi perineural. Dalam kasus ini, strategi operasi mungkin memerlukan
diseksi saraf yang luas (misalnya, cabang saraf trigeminal atau facialis) ke arah dan melalui
foramen tengkorak-dasar dalam upaya untuk mencapai pembersihan tumor (3).

Pada tumor kelenjar parotis ini akan ditangani dengan beberapa bentuk operasi
parotis. Reseksi konservatif (parotidektomi superfisial) dengan diseksi dan pelestarian saraf
wajah dianggap tepat dalam banyak kasus. Diseksi saraf dianggap diperlukan hanya ketika
invasi saraf besar ditemukan secara intraoperatif. Bila memungkinkan, pencangkokan saraf
(nerve grafting) harus dipertimbangkan pada saat reseksi untuk memaksimalkan fungsional
jangka panjang. Lateral reseksi tulang temporal atau diseksi ruang parapharyngeal /
mandibulotomi mungkin juga diperlukan untuk eksisi lengkap pada tumor yang luas. Untuk
lesi di luar jaringan parotis, strategi bedah yang luas dapat dilakukan yakni mulai dari
pendekatan ablatif terbuka tradisional hingga teknik transoral, endoskopi, atau teknik robotic.
Tanpa menghiraukan pendekatan, manajemen operatif karsinoma kelenjar saliva harus
mengeradikasi tumor, dengan harapan margin bedah yang negatif secara mikroskopis (3).

Pada keganasan parotis dengan pembedahan berupa reseksitotal/lengkap (parotidektomi)


diikuti dengan terapi radiasi (jika ada indikasi). Excisions konservatif terganggu oleh
tingginya tingkat kekambuhan lokal. Luasnyareseksi didasarkan pada histologi tumor, ukuran
tumor dan lokasi, invasi struktur lokal, dan status cekungan nodal daerah (13, 14).
 Parotidektomi Total adalah pengangkatan tumor parotis dengan mengangkat seluruh
kelenjar parotis baik dengan mengangkat saraf fasialis atau merawat saraf fasialis.
Parotidektomi total diindikasikan pada tumor jinak yang mengenai kedua lobus
kelenjar parotis atau pada tumor ganas parotis.
 Parotidektomi Superfisial, adalah pengangkatan tumor parotis dengan mengangkat
seluruh lobus superfisial parotis baik dengan pengangkatan saraf fasialis atau dengan
perawatan saraf fasialis. Teknik operasi ini dilakukan pada tumor jinak atau tumor
dengan keganasan rendah yang hanya mengenai lobus superfisial dari parotis.
Parotidektomi superfisialis dapat dilakukan dengan mengangkat saraf fasialis jika
tumor mengenai saraf fasialis atau tanpa mengangkat saraffasialis.
 Parotidektomi Medial, adalah pengangkatan tumor parotis dengan mengangkat
seluruh lobus profunda parotis baik dengan pengangkatan saraf fasialis atau dengan
perawatan saraf fasialis. Teknik operasi ini dilakukan pada tumor jinak atau tumor
dengan keganasan rendah yang hanya mengenai lobus profunda dari parotis.
 Parotidektomi Subtotal, adalah reseksi konservatif dalam pengangkatan tumor
kelenjar parotis dimana kelenjar yang diangka tkurang dari parotidektomi superfisial
atau medial atau diseksi saraf fasialis yang tidak komplit. Pengangkatan tumor dengan
batas yang adekuat dengan jaringan normal, diharapkan kekambuhan tidak terjadi dan
fungsi fisiologis kelenjar dan saraf fasialis dapat dipertahankan,komplikasi yang
mungkin timbul dari pengangkatan kelenjar parotis dapat dikurangi. Walaupun
parotidektomi superfisial atau medial dengan perawatan saraf fasial merupakan
standar dalam pengangkatan tumor jinak parotis, namun berdasarkan temuan operatif
parotidektomi parsial atau subtotal dapat menjadi pilihan untuk dilakukan.
Pengangkatan lobus kelenjar parotis tidak diperlukan jika tumor memungkinkan
untuk diangkat secara komplit.

Terapi Adjuvant

A. Radioterapi (7)
Keganasan primer glandula salivarius resisten terhadap radioterapi, oleh karena itu,
radioterapi umumnya diberikan pascabedah (adjuvant).
Indikasi pemeberian radioterapi adjuvant adalah:
- High grade tumor, terlepas dari stadium ataupun status dari surgical margin
- Close margin (≤ 5mm), ataupun pada margin + mikroskopis, dan hampir pada
semua keganasan yang mengenai lobus profundus, terutama jika N.VII
dipertahankan.
- Tumor stadium lanjut (tumor T4), terlepas dari margin status maupun grade
tumor
- Tumor yang telah menginfiltrasi kulit, tulang, jaringan lunak ekstra ganduler, dan
nervus (n.VII, n.XI, nXII, n.Lingualis).
- Pembedahan/reseksi pada tumor rekuren, terlepas dari margin status atau
histology dari tumor
- Adanya KGB yang positif pascadiseksi
- Pascabedah tumor rekuren

Pembedahan tetap merupakan gold standar terapi tumor gld salivarius. Tidak ada
laporan suatu studi randomized trial dengan jumlah sampel yang besar, yang
membandingkan pembedahan + RT dan pembedahan saja.

Penggunaan fast neuron radiotherapy yang merupakan teknologi baru, yang


menyebabkan kerusakan DNA yang less repairable, dan dengan sensitivitas yang
tidak bervariasi, dilaporkan memberikan kontrol lokal yang lebih baik
B. Kemoterapi (7)
Pada umumnya, tumor glandula salivarius dalam hal ini direpresentasikan oleh
adenoid cystic carcinoma, mucoepidermoid carcinoma, dan adenocarcinoma adalah
kemoresisten. Pemberian kemoterapi berbasis cisplatinum bersamaan dengan
pemberian radioterapi (concomittant chemo-radiation therapy), pada kanker lanjut
lokal yang inoperabel memberikan perbaikan survival sebanyak 8% dalam 5 tahun.
Pemberian concomittant chemo-radiationtherapy dengan menggunakan carboplatin
sebagai terapi adjuvant diharapkan akan meningkatkan overall survival pasien dengan
tumor ganas glandula salivarius high grade.

Tabel 2. Response Rates dari Berbagai Kombinasi Kemoterapi (7)


2.9 PROGNOSIS
Studi oleh Ogawa et al, menemukan tingkat kelangsungan hidup dalam 5 tahun
berdasarkan staging tumor ; Stadium I (75%), Stadium II (59%), Stadium III (57%),
Stadium IV (28%) (8).
BAB III
LAPORAN KASUS

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. Darsih
Usia : 54 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Lajut Praya
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tanggal Pemeriksaan : 29 Agustus 2018

B. ANAMNESIS
 Keluhan Utama
Benjolan pada belakang telinga sebelah kanan

 Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan terdapatnya benjolan pada belakang telinga yang
disadari sejak kurang lebih 3 bulan yang lalu. Benjolan berawal dikeluhkan hanya
bentukan seperti benjolan kecil, yang semakin lama semakin membesar. Awalnya
benjolan tidak terasa nyeri, dan tidak terdapat luka, namun sejak 1 minggu yang lalu
pasien mengatakan terdapat bisul pada benjolan,terasa nyeri dan kemudian ditempelkan
daun pada benjolan (terapi tradisional) pasien mengatakan bisul pada benjolan pecah,
sebelum pecah pasien mengatakan badanya terasa panas (demam) dan benjolan terasa
lebih kencang dari biasanya. Setelah bisul pecah pasien mengatakan demamnya turun
dan benjolan tidak terasa kencang. Pada saat ini pasien tidak demam (-), mual (-),
muntah (-), sulit menelan (-), penurunan nafsu makan (-), buang air besar jarang pasien
mengaku sudah 1 minggu tidak BAB, buang air kecil normal, nyeri perut (-), nyeri
pinggang (+). Pasien mengeluhkan mulutnya mencong ke kiri sejak 1 tahun terakhir, alis
kanan tidak bisa diangkat secara bersamaan dengan alis kiri, mata kanan sulit untuk
tertutup, pada saat mencucu bibir mengarah ke kiri. Nyeri kepala (-), Sesak (-), Nyeri
Punggung (-). Riwayat terkena radiasi (-), riwayat bekerja pada pabrik karet/industrial(-).
 Riwayat Penyakit Dahulu
Os menyatakan belum pernah mengalami gejala seperti ini sebelumnya. Riwayat
hipertensi tidak terkontrol (+), penyakit jantung (-), asma (-), riwayat trauma (-), DM (-),
riwayat batuk lama (-).

 Riwayat alergi :
Alergi makanan dan obat-obatan disangkal

 Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak terdapat keluarga yang mengalami keluhan yang sama. Riwayat hipertensi (+),
riwayat kencing manis (-).

 Riwayat Sosial

Pasien adalah seorang ibu rumah tangga menikah 1kali memiliki 4 orang anak. Pasien
tidak merokok maupun minum alkohol

C. PEMERIKSAAN FISIK
Tanda Vital
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : E4V5M6
Tensi : 180/100 mmHg
Nadi : 85 x/menit
Respiratory rate : 20 x/menit
Suhu axial : 36,5⁰C

Pemeriksaan Fisik Umum


 Kepala-leher:
1. Ekspresi wajah mencong ke kiri, garis bibir kanan menurun, pada saat
berkedip secara tidak bersamaan
2. Mata : Asimetris, anemis (-/-), hyperemi (-/-), ikterus (-/-), pupil bulat
isokor uk. ± 3mm.
3. THT : Pasien tidak mengalami penurunan pendengaran. Pada pemeriksaan
region intraoral tidak adanya pendesakan pada bagian tonsil dan uvula.
4. Leher : Terdapat massa pada belakang telinga sebelah kanan dengan
berukuran 6 cm x 4 cm, berwarna lebih gelap dari sekitarnya, permukaan
rata, terdapat ulkus dan bekuan darah yang mengering, , konsistensi keras
dan berbatas tegas, nyeri tekan (-), terdapat pembesaran KGB pada level
III (1 buah) dan IV (1 buah). Berukuran 2x2 cm, berbatas tegas,
konsistensi kenyal, mobile (+) , Nyeri tekan (-). Pada leher sebelah kiri
tidak ditemukan massa.

 Thorax
1. Pulmo:
 Inspeksi : bentuk simetris, gerakan simetris, spidernevi (-), fosa
supraklavikula dan infraklavicula simetris, deviasi trakea (-).
 Palpasi : pergerakan simetris, nyeri tekan (-).
 Perkusi : sonor pada seluruh lapangan paru.
 Auskultasi : vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

2. Cor :
 Inspeksi : iktus cordis tidak tampak
 Palpasi : iktus cordis teraba ICS VI midclavicula sinistra 3 jari
kemedial.
 Perkusi : pekak dengan batas kanan jantung sterna line dekstra. Batas
kiri jantung ICS V midclavicular line sinistra 2 jari ke medial. Batas
atas jantung ICS II sterna line sinistra.
 Auskultasi : S1S2 tunggal regular, murmur (-), gallop (-).

 Abdomen
1. Inspeksi : kulit tampak normal, dinding abdomen tidak tampak distensi,
2. Auskultasi : BU (+) normal.
3. Palpasi : nyeri tekan (-) pada seluruh lapang abdomen; hepar, lien dan
renal tidak teraba.
4. Perkusi : timpani pada seluruh lapang abdomen.
 Extremitas Atas-Axilla
1. Dingin (-), edema (-).
2. Deformitas (-)
3. Motorik dan sensibilitas baik

 Extremitas Bawah
1. Dingin (-), edema (-)
2. Deformitas (-)
3. Motorik dan sensibilitas baik
4. Terdapat massa padat pada regio kruris sinistra berukuran 2x1 cm,
konsistensi keras, immobile (+), Nyeri tekan (-), berbatas tegas (+),
permukaan licin (+), tak tampak ulkus. Massa sudah sejak >1 tahun yang
lalu, tidak bertambah membesar.
 Status Lokalis : Regio Parotis Dekstra dan Nervus VII, VIII, IX, X, XI,
XII
- Inspeksi : 6 cm x 4 cm, berwarna lebih gelap dari sekitarnya, permukaan
rata, terdapat ulkus dan bekuan darah yang mengering.
- Palpasi : konsistensi keras dan berbatas tegas, nyeri tekan (-), terdapat
pembesaran KGB pada level III (1 buah) dan IV (1 buah). Berukuran 2x2
cm, berbatas tegas, konsistensi kenyal, mobile (+) , Nyeri tekan (-). Pada
leher sebelah kiri tidak ditemukan massa.
- Pemeriksaan N. VII, VIII, IX, X, XI dan XII : Terdapat paralisis pada n.
VII (facialis), Alis kanan tertinggal pada saat mengerutkan dahinya,
mencucu kearah sinistra, meringis pelo kearah sinisra, menutup mata
terdapat ketertinggalan gerak pada palpebra dektra. Tidak ada paralisis
nervus VIII, IX, X, XI dan XII.
D. RESUME
Pasien perempuan usia 54 tahun dengan keluhan terdapatnya benjolan pada belakang
telinga yang disadari sejak kurang lebih 3 bulan yang lalu. Benjolan berawal dikeluhkan
hanya bentukan seperti benjolan kecil, yang semakin lama semakin membesar. Awalnya
benjolan tidak terasa nyeri, dan tidak terdapat luka, namun sejak 1 minggu yang lalu
pasien mengatakan terdapat bisul pada benjolan,terasa nyeri dan kemudian ditempelkan
daun pada benjolan (terapi tradisional) pasien mengatakan bisul pada benjolan pecah,
sebelum pecah pasien mengatakan badanya terasa panas (demam) dan benjolan terasa
lebih kencang dari biasanya. Setelah bisul pecah pasien mengatakan demamnya turun
dan benjolan tidak terasa kencang. Pada saat ini pasien tidak demam (-), mual (-),
muntah (-), sulit menelan (-), penurunan nafsu makan (-), buang air besar jarang pasien
mengaku sudah 1 minggu tidak BAB, buang air kecil normal, nyeri perut (-), nyeri
pinggang (+). Pasien mengeluhkan pelo ke kiri sejak 1 tahun terakhir, alis kanan tidak
bisa diangkat secara bersamaan dengan alis kiri, mata kanan sulit untuk tertutup, pada
saat mencucu bibir mengarah ke kiri.
Terdapat massa padat pada regio kruris sinistra berukuran 2x1 cm, konsistensi keras,
immobile (+), Nyeri tekan (-), berbatas tegas (+), permukaan licin (+), tak tampak ulkus.
Massa sudah sejak >1 tahun yang lalu, tidak bertambah membesar.
Pada Regio Parotis Dekstra didapatkan massa 6 cm x 4 cm, berwarna lebih gelap dari
sekitarnya, permukaan rata, terdapat ulkus dan bekuan darah yang mengering. Pada
palpasi ditemukan konsistensi keras dan berbatas tegas, nyeri tekan (-), terdapat
pembesaran KGB pada level III (1 buah) dan IV (1 buah). Berukuran 2x2 cm, berbatas
tegas, konsistensi kenyal, mobile (+) , Nyeri tekan (-). Pada leher sebelah kiri tidak
ditemukan massa.
Pada pemeriksaan N. VII, VIII, IX, X, XI dan XII : Terdapat paralisis pada n. VII
(facialis), Alis kanan tertinggal pada saat mengerutkan dahinya, mencucu kearah sinistra,
meringis pelo kearah sinisra, menutup mata terdapat ketertinggalan gerak pada palpebra
dektra. Tidak ada paralisis nervus VIII, IX, X, XI dan XII.
E. DIAGNOSIS KERJA
Suspek Ca Parotis Dx (T4a N2b Mx = Stadium 4a)

F. RENCANA TERAPI
Paratiroidektomi

G. USULAN PEMERIKSAAN
CT-Scan Kepala

Biopsi
H. PROGNOSIS
Dubia
DAFTAR PUSTAKA

1. Arrangoiz R, Papavasiliuo P, Sarcu D, Galloway TJ, Ridge JA, Lango M. Current


thinking on malignant salivary gland neoplasms. J Cancer Treat Res [Internet].
2013;1(1):8–24. Available from: http://www.sciencepublishinggroup.com/j/jctr

2. Shing V, To H, Yu J, Chan W, Tsang RKY, Wei WI. Review of Salivary Gland


Neoplasms. ISRN Otolaryngol [Internet]. 2012;(February). Available from:
https://www.researchgate.net/publication/236978829

3. Mifsud MJ, Burton JN, Trotti AM, Padhya TA. Multidisciplinary Management of
Salivary Gland Cancers. Cancer Control [Internet]. 2016;23(3):1–7. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/27556664

4. Ho K, Lin H, Ann DK, Chu PG, Yen Y. An overview of the rare parotid gland cancer.
Head Neck Oncol [Internet]. BioMed Central Ltd; 2011;3(1):40. Available from:
http://www.headandneckoncology.org/content/3/1/40

5. Snell RS. Kepala dan Leher. Dalam Buku Anatomi Klinik untuk Mahasiswa
Kedokteran. Hartanto H, Listiawati E, Suyono YJ, Susilawati, Nisa TM P, editor.
Jakarta: EGC; 2006. 722-724. p.

6. Witt RL. Salivary Gland Diseases Surgical and Medical Management. New York:
Thieme Medical Publishers, Inc.; 2005.

7. Manuaba TW. Panduan Penatalaksanaan Kanker Solid: PERABOI 2010. Jakarta:


Sagung Seto; 2010.

8. Ogawa AI, Takemoto LE, Navarro PDL, Heshiki RE. Salivary Glands Neoplasms. Intl
Arch Otorhinolaryngol. 2008;409–18.

9. Senchenkov A. Salivary Gland Tumors. Chapter 51 Salivary Gland Tumors.


2016;(May).

10. Anonymous. Salivary gland cancer. Am Cancer Soc. 2017;

11. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku Ajar Patologi 1. Jakarta: EGC; 2005.

12. Sudiono J. Pemeriksaan Patologis Untuk Diagnosis Neoplasma Mulut. Jakarta: EGC;
2008.

13. Adham M, Sutanti M. Parotidektomi radikal pada karsinoma sel asinus parotis. Dep
Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Fak Kedokt Univ Indones. 2010;

14. Jaka B, Seres B. Parotidektomi Total Pada Karsinoma Sel Asinus Parotis. Bagian
Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala Leher Fak Kedokt Univ Andalas. 2007;1–8.

Anda mungkin juga menyukai