Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN KASUS

SKABIES DENGAN SEKUNDER INFEKSI

Disusun Oleh :

Fathin Aulia Rachmawati

201920401011178

Pembimbing :

dr. Diana Kartika Sari, Sp.KK

SMF KULIT DAN KELAMIN

RSUD GAMBIRAN KEDIRI

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

2020

1
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Skabies merupakan penyakit kulit akibat manifestasi parasit dari tungau

Sarcoptes scabiei. Penyakit yang mempengaruhi semua jenis ras di dunia tersebut

ditemukan hampir pada semua negara di seluruh dunia dengan angka prevalensi

yang bervariasi.1 Di beberapa negara berkembang prevalensinya dilaporkan 6-

27% populasi umum dan insidensi tertinggi pada anak usia sekolah dan remaja.1

Perkembangan penyakit ini juga dipengaruhi oleh keadaan sosial ekonomi yang

rendah, tingkat hygiene yang buruk, kurangnya pengetahuan akan penyakit

skabies, dan kesalahan dalam diagnosis serta penatalaksanaan.2,3

Menurut Departemen Kesehatan RI, prevalensi skabies di puskesmas

seluruh indonesia adalah 4,6% hingga 12,95%.4 Di Indonesia, penyakit ini masih

menjadi masalah, tidak saja di daerah terpencil, tetapi juga di kota-kota besar

bahkan di Jakarta. Kondisi kota Jakarta yang padat merupakan faktor pendukung

perkembangan skabies. Berdasarkan pengumpulan data Kelompok Studi

Dermatologi Anak Indonesia (KSDAI) tahun 2001, dari 9 rumah sakit di 7 kota

besar di Indonesia, jumlah penderita skabies terbanyak didapatkan Jakarta yaitu

335 kasus di 3 rumah sakit.5

Pelayanan kesehatan primer memegang peranan penting pada penyakit

skabies dalam hal penegakan diagnosis pertama kali, terapi yang tepat, dan

edukasi komunitas dalam pencegahan penyakit dan menularnya penyakit ke

komunitas, karena penyakit ini mudah sekali menular terutama pada pemukiman

yang padat. Transmisi atau perpindahan antar penderita dapat berlangsung melalui

2
kontak kulit langsung yang erat dari orang ke orang. Hal tersebut dapat terjadi bila

hidup dan tidur bersama, misalnya anak-anak yang mendapat infestasi tungau dari

ibunya, hidup dalam satu asrama, atau para perawat. Selain itu perpindahan

tungau juga dapat terjadi melalui kontak tidak langsung, yaitu melalui pakaian

atau alat mandi yang digunakan bersama.6

Pencegahan dan pengobatan yang tepat pada penyakit skabies, akan

menurunkan angka kekambuhan yang timbul dari penyakit, hal ini dapat dihindari

jika pasien patuh terhadap pengobatan dan melukakan pola hidup yang bersih dan

sehat. Oleh karena itu dibutuhkan partisipasi dan dukungan keluarga yang optimal

dalam memotivasi, mengingatkan, serta memperhatikan pasien dalam

penatalaksanaan penyakitnya.6

3
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Skabies

Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh tungau Sarcoptes

scabei varietas hominis. Parasit tersebut termasuk kelas arachnida, subkelas

acarina, ordo astigmata, dan famili sarcoptidae. Selain varietas hominis, S.scabiei

memiliki varietas binatang namun varietas itu hanya menimbulkan dermatitis

sementara, tidak menular, dan tidak dapat melanjutkan siklus hidupnya di

manusia.7

Tungau Sarcoptes scabei ini berukuran sangat kecil dan hanya bisa

dilihat dengan mikroskop atau bersifat mikroskopis. Penyakit skabies sering

disebut kutu badan. Penyakit ini juga mudah menular dari manusia ke manusia,

dari hewan ke manusia dan sebaliknya. Skabies mudah menyebar baik secara

langsung atau melalui sentuhan langsung dengan penderita maupun secara tak

langsung melalui baju, seprai, handuk, bantal, air, atau sisir yang pernah

dipergunakan penderita dan belum dibersihkan dan masih terdapat tungau

sarcoptesnya. Skabies menyebabkan rasa gatal pada bagian kulit seperti disela-

sela jari,siku, selangkangan.

2.2 Epidemiologi

Skabies ditemukan disemua negara dengan prevalensi yang bervariasi.

Dibeberapa negara yang sedang berkembang prevalensi skabies sekitar 6 % - 27

% populasi umum dan cenderung tinggi pada anak-anak serta remaja. Suatu survei

yang dilakukan pada tahun 1983 diketahui bahwa disepanjang sungai Ucayali,

Peru, ditemukan beberapa desa di mana semua anak-anak dari penduduk asli desa

4
tersebut mengidap skabies. Di Santiago, Chili, insiden tertinggi terdapat pada

kelompok umur 10-19 tahun (45%) sedangkan di Sao Paolo, Brazil insiden

tertinggi terdapat pada anak dibawah umur 9 tahun. Di India, Gulati melaporkan

prevalensi tertinggi pada anak usia 5-14 tahun. Hal tersebut berbeda dengan

laporan Srivatava yang menyatakan prevalensi skabies tertinggi terdapat pada

anak dibawah 5 tahun. Di negara maju prevalensi skabies sama pada semua

golongan umur.8

Skabies merupakan penyakit endemik pada banyak masyarakat. Penyakit

ini dapat mengenai semua ras dan golongan di seluruh dunia. Penyakit skabies

banyak dijumpai pada anak dan orang dewasa muda, insidennya sama terjadi pada

pria dan wanita. Insiden skabies di negara berkembang menunjukkan siklus

fluktuasi yang sampai saat ini belum dapat dijelaskan. Interval antara akhir dari

suatu endemik dan permulaan epidemik berikutnya kurang lebih 10-15 tahun.8

Menurut Departemen Kesehatan RI prevalensi skabies di Puskesmas

seluruh Indonesia pada tahun 1986 adalah 4,6%-12,9%, dan skabies menduduki

urutan ketiga dari 12 penyakit kulit tersering. Di Bagian Kulit dan Kelamin

FKUI/RSCM pada tahun 1988, dijumpai 734 kasus scabies yang merupakan

5,77% dari seluruh kasus baru. Pada tahun 1989 dan 1990 prevalensi skabies

adalah 6% dan 3,9%. Prevalensi skabies sangat tinggi pada lingkungan dengan

tingkat kepadatan penghuni yang tinggi dan kebersihan yang kurang memadai

(Depkes. RI, 2000).

2.3 Etiologi

Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi S.scabiei

varietas hominis. Parasit tersebut termasuk kelas arachnida, subkelas acarina, ordo

5
astigmata, dan famili sarcoptidae. Selain varietas hominis, S.scabiei memiliki

varietas binatang namun varietas itu hanya menimbulkan dermatitis sementara,

tidak menular, dan tidak dapat melanjutkan siklus hidupnya di manusia.

S.scabiei berbentuk lonjong dan gepeng, berwarna putih kotor,

punggungnya cembung, bagian dadanya rata, dan tidak memiliki mata. Tungau

betina berukuran lebih besar dibandingkan tungau jantan, yakni 0,3-0,45 mm

sedangkan tungau jantan berukuran 0,2-0,25 mm. S.scabiei memiliki dua segmen

tubuh yaitu bagian anterior yang disebut nototoraks dan bagian posterior yang

disebut notogaster. Larva mempunyai tiga pasang kaki sedangkan nimfa memiliki

empat pasang kaki. Tungau dewasa mempunyai empat pasang kaki, dua pasang

kaki di bagian depan dan 2 pasang kaki di bagian belakang. Dua pasang kaki

bagian belakang tungau betina dilengkapi dengan rambut dan pada tungau jantan

hanya pasangan kaki ketiga saja yang berakhir dengan rambut sedangkan

pasangan kaki keempatnya dilengkapi dengan ambulakral (perekat). Alat

reproduksi tungau betina berbentuk celah di bagian ventral sedangkan pada

tungau jantan berbentuk huruf Y yang terletak di antara pasangan kaki keempat.

Gambar 2.1 Sarcoptes scabiei Varietas Hominis

6
2.4 Siklus Hidup Sarcoptes Scabiei

S.scabiei memiliki metamorfosis lengkap dalam lingkaran hidupnya

yaitu: telur, larva, nimfa dan tungau dewasa. Infestasi dimulai ketika tungau

betina gravid berpindah dari penderita skabies ke orang sehat. Tungau betina

dewasa berjalan di permukaan kulit dengan kecepatan 2,5 cm per menit untuk

mencari tempat menggali terowongan. Setelah menemukan lokasi yang sesuai,

tungau menggunakan ambulakral untuk melekatkan diri di permukaan kulit

kemudian membuat lubang di kulit dengan menggigitnya. Selanjutnya tungau

masuk ke dalam kulit dan membuat terowongan sempit dengan permukaan yang

sedikit terangkat dari kulit.

Biasanya tungau betina menggali stratum korneum dalam waktu 30 menit

setelah kontak pertama dengan menyekresikan saliva yang dapat melarutkan kulit.

Terowongan tungau biasanya terletak di daerah lipatan kulit seperti pergelangan

tangan dan sela-sela jari tangan. Tempat lainnya adalah siku, ketiak, bokong,

perut, genitalia, dan payudara. Pada bayi, lokasi predileksi berbeda dengan

dewasa. Predileksi khusus bagi bayi adalah telapak tangan, telapak kaki, kepala

dan leher.

Tungau berkopulasi di dalam terowongan. Setelah kopulasi, tungau

betina akan membuat terowongan di kulit sampai perbatasan stratum korneum dan

stratum granulosum dengan kecepatan 0,5-5 mm per hari. Lokasi biasanya di

stratum korneum kulit yang tipis. Tungau betina hidup selama 30-60 hari di dalam

terowongan dan selama waktu tersebut tungau terus memperluas terowongannya.

Penggalian terowongan biasanya pada malam hari dan tungau menggali

terowongan sambil bertelur atau mengeluarkan feses.

7
Tungau betina bertelur sebanyak 2-3 butir setiap hari. Seekor tungau

betina dapat bertelur sebanyak 40-50 butir semasa hidupnya. Dari seluruh telur

yang dihasilkan tungau betina, kurang lebih hanya 10% yang menjadi tungau

dewasa dan pada seorang penderita biasanya hanya terdapat 11 tungau betina

dewasa. Telur menetas menjadi larva dalam waktu 3-5 hari.

Larva berukuran 110x140 mikron, mempunyai tiga pasang kaki dan

segera keluar dari terowongan induknya untuk membuat terowongan baru atau

hidup di permukaan kulit. Larva menggali terowongan dangkal agar mudah untuk

makan dan mengganti kulit luar (ekdisis/pengelupasan kulit) untuk berubah

menjadi nimfa. Dalam waktu 3-4 hari, larva berubah menjadi nimfa yang

mempunyai 4 pasang kaki.

Gambar 2.2 Siklus Hidup Sarcoptes scabiei

Nimfa betina mengalami dua fase perkembangan. Nimfa pertama

panjangnya 160 μm dan nimfa kedua panjangnya 220-250 μm. Nimfa kedua

bentuknya menyerupai tungau dewasa, tetapi alat genitalnya belum terbentuk

8
sempurna. Nimfa jantan hanya mengalami satu fase perkembangan. Nimfa

berkembang menjadi tungau dewasa dalam waktu tiga hari. Waktu sejak telur

menetas sampai menjadi tungau dewasa sekitar 10-14 hari. Tungau jantan hidup

selama 1-2 hari dan mati setelah kopulasi.

2.5 Patogenesis

S.scabiei hidup di stratum korneum epidermis manusia dan mamalia

lainnya. Seluruh tahapan hidup tungau, yaitu larva, protonimfa, tritonimfa dan

tungau dewasa adalah parasit permanen obligat yang membutuhkan cairan

ekstraselular hospes yang merembes ke dalam terowongan untuk bertahan hidup.

Hospes menunjukkan respons imun tipe lambat terhadap skabies. Pada

manusia, gejala klinis berupa inflamasi kulit baru timbul 4-8 minggu setelah

terinfestasi. Respons imun yang lambat tersebut merupakan dampak dari

kemampuan tungau dalam memodulasi berbagai aspek respons imun dan

inflamasi hospes.

Sel epidermis seperti keratinosit dan sel langerhans merupakan sel

pertama yang menghadapi tungau skabies dan produknya. Respons inflamasi

bawaan dan didapat dari kulit hospes berperan sebagai pertahanan lini pertama

terhadap invasi, kelangsungan hidup dan reproduksi tungau di dalam kulit.

Tungau merangsang keratinosit dan sel dendritik melalui molekul yang terdapat di

dalam telur, feses, ekskreta, saliva, dan cairan sekresi lain seperti enzim dan

hormon, serta aktivitas organ tubuh seperti chelicerae, pedipalps dan kaki selama

proses penggalian terowongan. Tubuh tungau mati yang membusuk juga

merangsang respons imun.

9
S.scabiei memproduksi banyak saliva saat membentuk terowongan dan

merupakan sumber molekul yang dapat memodulasi inflamasi atau respons imun

hospes. Produk tungau yang menembus dermis merangsang sel-sel seperti

fibroblas, sel endotel mikrovaskular serta sel imun seperti sel langerhans,

makrofag, sel mast dan limfosit. Diduga sel langerhans dan sel dendritik lain

memproses antigen tungau dan membawa antigen tersebut ke jaringan limfe

regional yaitu tempat respons imun didapat diinisiasi melalui aktivasi sel limfosit

T dan limfosit B.

Tungau skabies memicu sekresi anti-inflammatory cytokine interleukin-1

receptor antagonist (IL-1ra) dari sel fibroblas dan keratinosit pada model kulit

manusia. IL-1ra menghambat aktivitas sitokin proinflamasi IL-1 dengan mengikat

reseptor IL-1 yang terdapat pada banyak sel termasuk sel limfosit T, sel limfosit

B, natural killer cell, makrofag dan neutrofil. Ekstrak tungau skabies mengandung

molekul yang menekan ekspresi molekul adhesi interselular dan vaskular yaitu

intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) dan vascular cell adhesion molecule-

1 (VCAM-1) serta E-selectin oleh kultur sel endotel mikrovaskular kulit manusia.

Supresi tersebut akan menghambat atau menurunkan ekstravasasi limfosit,

neutrofil dan sel lain ke dalam dermis sehingga mengganggu respons pertahanan

hospes.

S.scabiei dapat menghambat interaksi ko-stimulasi antara limfosit T dan

sel penyaji antigen (antigen presenting cell) sedangkan ekstrak tungau skabies

memicu sel limfosit T regulator untuk memproduksi IL-10. Sitokin tersebut

bekerja sebagai antiinflamasi poten dengan menekan sekresi sitokin proinflamasi

lain dan ekspresi molekul major histocompatibility complex II (MHC-II) di

10
permukaan sel penyaji antigen. Pada akhirnya, interaksi kompleks MHC-II

antigen dan reseptor limfosit T yang penting untuk aktivasi dan proliferasi sel

limfosit B menjadi sel plasma yang memproduksi antibodi menjadi berkurang

atau terhambat.

Model kulit manusia serta monokultur keratin epidermis dan fibroblas

dermis manusia mensekresikan lebih banyak vascular endothelial growth factor

(VEGF) sebagai respons terhadap tungau skabies hidup maupun ekstraknya.

VEGF meningkatkan vaskularisasi dan jumlah plasma di terowongan epidermis

yang dekat dengan mulut tungau sehingga terowongan yang semula kering

menjadi kaya air dan nutrisi. Hal tersebut dibuktikan oleh pencernaan antibodi di

dalam plasma oleh tungau.

Produk tungau skabies dapat menurunkan aktivitas IL-8 di sekitar lesi

skabies setelah dua hari. IL-8 adalah kemokin yaitu suatu kemotaktik untuk

ekstravasasi neutrofil ke lokasi patogen. Monokultur keratinosit epidermis,

fibroblas dermis, sel endotel mikrovaskular kulit, dan sel dendritik yang

dipajankan ekstrak tungau skabies menurunkan kadar IL-8 dalam media

dibandingkan kontrol. Tungau skabies juga memproduksi protein pengikat IL-8

yang dapat menurunkan kadar IL-8 lokal sehingga menghambat kemotaksis

neutrofil.

Inhibitor protease serin yang terdapat di sistem pencernaan tungau dapat

mengikat kaskade komplemen di dalam plasma dan menghentikan ketiga jalur

sistem komplemen manusia yaitu jalur klasik, alternatif dan lektin. Aktivasi

komplemen hospes dapat melindungi tungau dari kerusakan yang disebabkan

komplemen karena tungau skabies menelan plasma. Inhibitor komplemen dapat

11
memudahkan Streptococcus grup A menginfeksi lesi skabies dan menyebabkan

pioderma.

Selain mampu melakukan down-regulation, respons protektif hospes,

ekstrak tungau dan tungau hidup juga dapat melakukan up-regulation sekresi

sitokin proinflamasi oleh keratinosit, fibroblas dan sel endotel. Oleh karena itu

respons hospes yang sesungguhnya merupakan keseimbangan antara kejadian

yang memicu respons protektif dengan yang menghambat. Durasi infestasi dan

kepadatan tungau berperan dalam mengubah keseimbangan tersebut.

2.6 Diagnosis

Diagnosis dapat ditegakkan apabila pada penderita terdapat dua dari empat

tanda kardinal skabies yaitu :

1. Pada anamnesa didapatkan rasa gatal yang menonjol terutama pada malam

hari (Pruritus nokturna) atau saat berkeringat.

2. Terdapat beberapa orang dekat yang menderita penyakit yang sama, misalnya

dalam satu keluarga atau di pemukiman atau di asrama

3. Pada pemeriksaan fisik didapatkan efloresensi seperti terowongan yang

meninggi warna keabuan lurus atau berkelok dengan panjang ±10 mm, yang

pada ujungnya dapat disertai papul, vesikel, urtika, ekskoriasi dan krusta atau

dapat juga disertai pustula yang timbul dikarenakan adanya infeksi sekunder.

Dimana lokasi predileksinya yaitu pada kulit stratum korneum yang tipis pada

daerah seperti sela-sela jari tangan, pergelangan tangan bagian volar, siku

bagian luar, lipatan aksila, areola mamae (perempuan), scrotum, penis dan

labia. Pada bayi, skabies dapat menginfestasi telapak tangan dan telapak kaki

bahkan seluruh badan.

12
4. Menemukan tungau pada pemeriksaan mikroskopis.

Gambar 2.3 Daerah Predileksi Skabies

Gambar 2.4 Terowongan (Burrow) dengan papul diujungnya

Gambar 2.4 Pustula pada tangan

13
2.7 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan mikroskopis :

1. Spesimen  dari kerokan kulit (scraping) pada terowongan atau pada

vesikel/pustule, bisa juga dengan menempelkan selotip kemudian

dilepas dengan cepat dan ditempelkan pada slide.

 Hasil : ditemukan tungau Sarcoptes Scabei atau telurnya atau

kotoran (scylaba)

2. Ink Burrow test  Papul skabies diolesi tinta India menggunakan pena

lalu dibiarkan selama 20-30 menit kemudian dihapus dengan alkohol.

Burrow ink test menunjukkan hasil positif apabila tinta masuk ke

dalam terowongan dan membentuk gambaran khas berupa garis zig

zag. Burrow ink test adalah pemeriksaan untuk mendeteksi

terowongan, bukan untuk mendeteksi tungau dan produknya.

2.8 Diagnosis Banding

Diagnosis banding skabies meliputi hampir semua dermatosis dengan

keluhan pruritus, yaitu dermatitis atopik, dermatitis kontak, prurigo (karena

memiliki tempat predileksi yang sama), urtikaria papular, pioderma, pedikulosis,

dermatitis herpetiformis, ekskoriasi-neurotik, liken planus, penyakit Darier,

gigitan serangga, mastositosis, urtikaria, dermatitis eksematoid infeksiosa, pruritis

karena penyakit sistemik, dermatosis pruritik pada kehamilan, sifilis, dan

vaskulitis. Oleh karena itu skabies disebut juga “the greatest imitator”

2.9 Tatalaksana

Jenis obat topikal yang dapat diberikan kepada pasien adalah :

14
1. Permetrin 5% dalam krim (paling efektif)  kurang toksik jika

dibandingkan gameksan, efektifitasnya sama, aplikasi keseluruh tubuh dan

dicuci setelah 8-10 jam. Bila belum sembuh diulangi seminggu kemudian.

2. Benzena Heksa klorida (gameksan=gammexane) lotion lindane kadarnya

1% dalam krim atau losio, termasuk obat pilihan karena efektif terhadap

semua stadium, mudah digunakan, dan jarang memberi iritasi. Obat ini

tidak dianjurkan pada anak dibawah 2 tahun dan wanita hamil/menyusui

karena toksis terhadap susunan saraf pusat. Pemakaian sama dengan

permetrin 5%.

3. sulfur presipitatum dengan kadar asam salisilat 2% sulfur 4% dalam

bentuk salep atau krim. Pemakaian dioleskan pada malam hari ± 8 jam

selama 3 hari berturut-turut. Preparat ini tidak efektif terhadap stadium

telur, maka penggunaannya tidak boleh kurang dari 3 hari. Kekurangannya

ialah berbau dan mengotori pakaian dan kadang-kadang menimbulkan

iritasi. Dapat dipakai pada anak <2 bulan dan ibu hamil.

4. Lotion benzyl benzoate (10-25%) efektif terhadap semua stadium,

diberikan selama 24 jam lalu dicuci. Obat ini sulit diperoleh, sering

memberi iritasi, dan kadang-kadang makin gatal setelah dipakai.

5. Ivermectin 200 mg/KgBB dosis tunggal, dapat diulang 1-2 minggu, 2-3

dosis. Efektivitas tinggi dan dapat digunakan bersamaan dengan terapi

topikal. Untuk lesi scabies yang berat atau imunocompromise.

Kontraindikasi pada anak, ibu hamil dan menyusui.

Bila disertai infeksi sekunder dapat diberikan antibiotika. Untuk rasa

gatal dapat diberikan antihistamin per oral. Perlu diperhatikan jika diantara

15
anggota keluarga ada yang menderita skabies juga harus diobati. Karena

sifatnya yang sangat mudah menular, maka apabila ada salah satu anggota

keluarga terkena skabies, sebaiknya seluruh anggota keluarga tersebut juga

harus menerima pengobatan. Pakaian , alat-alat tidur, dan lain-lain hendaknya

dicuci dengan air panas. Jangan terlalu menggosok lesi karena akan

menyebabkan iritasi.

2.10 Prognosis

Dengan memperhatikan pemilihan dan cara pemakain obat, serta syarat

pengobatan dapat menghilangkan faktor predisposisi (antara lain hiegene), maka

penyakit inimemberikan prognosisyang baik.

16
BAB 3

LAPORAN KASUS

3.1 Anamnesis

1. Identitas Pasien:

Nama : An. A

Usia : 10 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Kediri

Agama : Islam

Tanggal Pemeriksaan : 2 Agustus 2020

2. Keluhan Utama : Gatal sela-sela jari tangan, pergelangan tangan,

telapak tangan, dan pada kelamin sedikit.

3. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang ke poli kulit Rumah Sakit


dengan keluhan, gatal-gatal pada bagian
sela-sela jari tangan, telapak tangan,
pergelangan tangan, dan sedikit dibagian
kelamin. Gatal dirasakan sejak 3 hari yang
lalu. Pasien merasakan gatal semakin hari
semakin memberat, terutama pada malam
hari. Pasien sulit tidur malam, selama 3
hari ini karena gatal. Awalnya hanya bintik
merah dibagian ibu jari tangan, namun
semakin lama semakin menjalar berwarna
kemerahan, bersisik, dan kadang keluar
nanah.
4. Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat alergi disangkal. Riwayat keluhan yang
sama disangkal. Riwayat sakit kulit
disangkal

17
5. Riwayat Penyakit Keluarga : Ada saudara yang memiliki keluhan yang
sama dengan pasien.
6. Riwayat Sosial : pasien sering bermain bersama saudaranya yang

menderita keluhan yang sama, bermain dan tidur di satu

tempat tidur.

3.2 Pemeriksaan Fisik

Keadaaan umum : Baik


Kesadaran : Composmentis
Keadaan gizi : Baik
Vital Sign : TD : 120/70 mmHg
HR : 78 x/menit
RR : 22 x/menit
Suhu : 36, 1ºC
Kepala : Normochepal
Mata : Konjunctiva anemis (- /-), sklera ikterik (- /-)
Hidung : Simetris, deviasi septum (-), sekret (-)
Telinga : Bentuk daun telinga normal, sekret (-)
Mulut : Mukosa bibir dan mulut lembab, sianosis (-)
Tenggorokan : T1-T1, tidak hiperemis
Thorax : Simetris, Retraksi (-)
Jantung : BJ I-II reguler, Murmur (-), Gallop (-)
Paru : SD Vesikiler +/+ Normal, ST -/-
Abdomen : supel, datar, BU (+) N
Kelenjar Geah Bening : Tidak teraba.
Ekstremitas : Akral hangat, edema (-)
Status Dermatologis
Lokasi : interdigiti, palmar, penis, bokong
Regio : manus dan genetalia
Effloresensi : Pustul dan papul eritem, disertai dengan skuama halus, krusta,
dan ekskoriasi karena sering menggaruk.

18
3.3 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan mikroskopik

3.4 Diagnosis :

Skabies dengan sekunder infeksi

3.5 Diagnosis Banding :

Prurigo

Dermatitis Insect Bite

3.6 Penatalaksanaan

1. Permetrin cream 5%  setelah mandi sore dioles ke permukaan kulit


seluruh tubuh, kemudian didiamkan minimal 8-10 jam, setelah itu dibilas
mandi seperti biasa. Pemakaian hanya 1 kali dalam seminggu.
2. Antibiotik topikal
3. Antihistamin  Cetirizine 10 mg/dosis
4. Non-farmakologi
 Pakaian, handuk dan barang-barang lainnya yang pernah digunakan
oleh penderita harus diisolasi dan direndam dengan air panas terlebih
dahulu sebelum dicuci.
 Sprai penderita harus sering diganti dengan yang baru maksimal tiga
hari sekali
 Menghindari kontak langsung dengan penderita lain (adik spupu
penderita) seperti berjabat tangan dan tidur bersama.
 Kontrol kembali hari ke 7 pengobatan
3.7 Prognosis

Dubia ad bonam

19
3.8 Foto kasus

Gambar 3.1 Foto Kasus

20
BAB 4

PEMBAHASAN

Pasien datang ke poli kulit Rumah Sakit dengan keluhan, gatal-gatal pada
bagian sela-sela jari tangan, telapak tangan, pergelangan tangan, dan sedikit
dibagian kelamin dan bokong. Gatal dirasakan sejak 3 hari yang lalu. Pasien
merasakan gatal semakin hari semakin memberat, terutama pada malam hari.
Pasien sulit tidur malam, selama 3 hari karena gatal. Awalnya hanya bintik merah
dibagian ibu jari tangan, namun semakin lama semakin menjalar berwarna
kemerahan, bersisik, dan kadang keluar nanah. Pasien sebelumnya bermain dan
tidur pada satu tempat tidur dengan adik spupunya yang memiliki keluhan yang
sama. Riwayat alergi disangkal.
Pasien dapat didiagnosis menderita penyakit skabies, dimana hal ini sesuai
dengan teori yang ada bahwa dengan ditemukannya 2 dari 4 tanda kardinal
skabies maka diagnosis klinis dapat ditegakkan. Tanda kardinal yang ditemukan
adalah pruritus nokturna dan adanya orang sekitar pasien yang mengalami
keluhan yang sama yaitu adik spupu pasien.
Dari status dermatologinya kita dapatkan bahwa terdapat lesi didaerah sela-
sela jari tangan, telapak tangan, pergelangan tangan, dan penis didapatkan pustul
dan papul eritem, disertai dengan skuama halus, krusta, dan ekskoriasi karena
sering menggaruk. Hal ini sesuai untuk diagnosis skabies, berdasarkan teori
dikatakan bahwa predileksi terjadinya pada daerah dengan stratum korneum yang
tipis, namun karena pada anak-anak lapisan stratum korneum tubuhnya sebagian
besar masih tipis maka penyebarannya dapat bersifat atipikal.
Pada pasien ini penatalaksanaan yang dilakukan adalah dengan memberikan
obat secara topikal dan sistemik. Obat topikal yang diberikan adalah Permetrin
(Scabimite) cream 5% yang dioleskan setelah mandi sore ke seluruh permukaan
kulit tubuh dari leher sampai kaki sekali dalam seminggu. Pada teori yang telah
dikemukakan bahwa obat topikal yang paling baik diberikan pada anak-anak
berupa permetrin 5% mengingat obat ini efektif pada semua stadium skabies dan
toksisitasnya yang rendah. Untuk mengobati gejala infeksi sekunder diberikan

21
antibiotik topikal. Sedangkan obat sistemik yang diberikan adalah Cetirizin oral
yang diminum 10 mg/dosis sebagai antihistamin untuk mengurangi rasa gatal.
Prognosis dari skabies yang diderita pasien pada umumnya baik bila diobati
dengan benar dan juga menghindari faktor pencetus dan predisposisi, demikian
juga sebaliknya. Selain itu perlu juga dilakukan pengobatan kepada keluarga
pasien yang mengalami keluhan yang sama. Bila dalam perjalanannya skabies
tidak diobati dengan baik dan adekuat maka Sarcoptes scabiei akan tetap hidup
dalam tubuh manusia karena manusia merupakan host definitive dari Sarcoptes
scabiei.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Goldust M, Rezaee E, Raghifar R, Hemayat S. Treatment of scabies: the

topical ivermectin vs permethrin 2.5% cream. Ann Parasitol. 2013; 59(2):79-

84.

2. Schultz MW, Gomez M, Hansen RC, Mills J, Menter A, Rodgers H, et al.

Comparative of 5% permethrin cream and 1% lindane lotion for treatment of

scabies. Arch Dermatol. 1990; 126(2):167-70.

3. Razi A, Golforoushan F, Bahrami A, Nejad SB, Goldust M. Evaluating of

dermal symptoms in hypothyroidism and hyperthyroidism. Pakistan J Bio

Scie. 2013; 16:541-4.

4. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman pengobatan dasar di

puskesmas 2007. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2012.

5. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S. Ilmu Penyakit Kulit Kelamin. Jakarta:

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 1999.

6. Hong MY, Lee CC, Chuang MC, Chao SC, Tsai MC, Chi CH. Factors related

to missed diagnosis of incidental scabies infestations in patients admitted

through the emergency department to inpatient services. Academic Emerg

Med. 2010; 17:958-64.

7. Sungkar, Saleha, 2016, Skabies : Etiologi, Patogenesis, Pengobatan,

Pemberantasan, dan Pencegahan, Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas

Indonesia.

8. Harahap M. 2000. Ilmu Penyakit Kulit. Ed 1. Jakarta: Hipokrates, 109-13.

9. Hicks MI, Elston DM. 2009. Scabies. Dermatoogic Therapy.

November:22/279-292.

23
10. Itzhak Brook. 1995. Microbiology Of Secondary Bacterial Infection In

Scabies Lesions. J Clin Microbiol. August:33/2139-2140.

11. Orkin Miltoin, Howard L. Maibach. 2008. Scabies And Pedicuosis.

Fitzpatrick’s Dermatology In General Medicine, 7 th. USA:Mcgrawhill .2029-

31.

12. Siregar, R.S. 2004. Penyakit Kulit Karena Parasit Dan Insecta. Dalam : Atlas

Berwarna Saripati Penyakit Kulit. Edisi 2. Jakarta: EGC.

13. Stone, S.P, Scabies And Pedikulosis, In : Freedberg, Et Al. Fitzpatrick’s

Dermatology In General Medicine 6th Edition. Volume 1. Mcgraw-Hil.

24

Anda mungkin juga menyukai