Disusun Oleh:
Prahasta Listiyaning Renny - 112019112
Pembimbing :
dr. Melda Suryana,MEpid
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Skabies merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh parasit Sarcoptes scabiei
varietas hominis. Dimana jumlah penderita skabies di dunia lebih dari 300 juta setiap
tahun dengan angka kejadian yang bervariasi di setiap negara. 1 Data dari World Health
Organization (WHO) tahun 2020 memperkirakan angka kejadian skabies kurang lebih
200 juta orang dengan perkiraan prevalensi rata-rata 5-10% pada anak-anak. Sedangkan
data dari International Alliance for the Control of Scabies (IACS) dalam Sahrudin (2017)
menjelaskan bahwa kejadian skabies sangat beragam dan meningkat yaitu dari 0,3%
menjadi 46%.2
Menurut KEMENKES RI prevalensi penyakit kulit di Indonesia di tahun 2012 adalah
8,46% kemudian meningkat di tahun 2013 sebesar 9% dan skabies menduduki urutan
ketiga dari 12 penyakit kulit yang sering terjadi. Sebanyak 14 provinsi mempunyai
prevalensi penyakit kulit, dimana provinsi Sumatera Barat menduduki posisi pertama
kasus skabies terbanyak di Indonesia.3 Beberapa faktor yang berpengaruh pada prevalensi
skabies antara lain keterbatasan dan sanitasi air bersih, perilaku kebersihan yang buruk,
dan kepadatan penghuni rumah.4
1.2 Tujuan
Dengan dilakukannya kunjungan ke rumah pasien, diharapkan sebagai dokter dapat
melakukan analisa kasus penyakit skabies dengan pendekatan kedokteran keluarga yakni :
- Dapat menerapkan dan mengaplikasikan praktek pendekatan kedokteran keluarga
dengan memberikan pelayanan kesehatan secara komprenhensif (promotif, preventif,
kuratif, rehabilitative) serta memberikan komunikasi, informasi dan edukasi dengan
mengikutsertakan pasien dan anggota keluarga.
- Mengetahuinya hubungan antara penyakit pasien dengan riwayat keluarga (riwayat
biologis, lingkungan , spiritual, sosial dan kultural keluarga).
- Menjelaskan pengetahuan mengenai penyakit (risiko penularan) dan pentingnya
melakukan pengobatan.
1.3 Sasaran
Sasaran dalam laporan kasus dengan pendekatan pelayanan kedokteran keluarga disini
adalah pasien beserta anggota keluarga.
2
1.4 Skabies
Skabies disebut juga the itch, pamaan itch, seven year itch karena gatal hebat yang
berlangsung menahun. Di Indonesia skabies disebut penyakit kudis, gudik, atau buduk yang
merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh infeksi kutu Sarcoptes scabiei varietas
hominis. Skabies sering diabaikan oleh masyarakat, sehingga penyakit ini menjadi salah satu
masalah di seluruh dunia. Faktor yang berperan pada tingginya prevalensi skabies adalah
kemiskinan, kepadatan penghuni rumah, tingkat pendidikan rendah, keterbatasan air bersih,
dan perilaku kebersihan yang buruk. Tingginya kepadatan penghuni disertai interaksi dan
kontak fisik yang erat memudahkan penularan skabies.5
Kepadatan penghuni rumah merupakan faktor risiko paling dominan dibandingkan
faktor risiko skabies lainnya. Berdasarkan faktor risiko tersebut prevalensi skabies yang
tinggi umumnya terdapat di asrama, panti asuhan, pondok pesantren, penjara, dan
pengungsian. Penderita skabies terganggu kualitas hidupnya karena mengalami gatal hebat
dan radang di kulit akibat infeksi sekunder oleh bakteri sehingga produktivitas dan prestasi
akademik menurun.6
Semua penderita skabies harus diobati dan lingkungan harus dibersihkan
(dekontaminasi). Jika tidak, penderita skabies yang telah sembuh akan tertular lagi dan
reinfestasi skabies akan terjadi dalam waktu singkat dengan lingkaran setan yang sulit
diputus. Diperlukan peran dokter dan tenaga kesehatan lainnya untuk menjadi agen
perubahan serta pendidik bagi penduduk terutama untuk masyarakat yang memiliki risiko
tinggi menderita skabies. Berdasarkan hal tersebut diperlukan informasi yang lengkap tentang
skabies sebagai pedoman pengobatan, pemberantasan, dan pencegahan skabies.5
1.5 Epidemiologi
Data dari World Health Organization tahun 2020 memperkirakan angka kejadian
skabies kurang lebih 200 juta orang dengan perkiraan prevalensi rata-rata 5-10% pada anak-
anak. Masalah skabies adalah salah satu kondisi dermatologis yang paling umum, terhitung
sebagai penyebab sebagian besar penyakit kulit di negara berkembang. Secara global,
diperkirakan mempengaruhi lebih dari 200 juta orang setiap saat, meskipun upaya lebih lanjut
diperlukan untuk menilai beban ini. Perkiraan prevalensi dalam literatur terkait skabies baru-
baru ini berkisar dari 0,2% hingga 71%.
Skabies endemik di banyak daerah tropis yang miskin sumber daya, dengan perkiraan
prevalensi rata-rata 5-10% pada anak-anak. Infestasi berulang sering terjadi. Beban semata-
mata dari infestasi skabies dan komplikasinya membebankan biaya besar pada sistem
3
perawatan kesehatan. Di negara-negara berpenghasilan tinggi, kasusnya sporadis, namun
wabah di institusi kesehatan dan komunitas rentan berkontribusi pada biaya ekonomi yang
signifikan dalam layanan kesehatan nasional.
Skabies terjadi di seluruh dunia. Namun, kelompok yang paling rentan – anak-anak
dan orang tua di komunitas miskin sumber daya – yang sangat rentan terhadap skabies dan
komplikasi sekunder dari infestasi. Tingkat infestasi tertinggi terjadi di negara-negara dengan
iklim tropis yang panas, terutama di masyarakat di mana kepadatan penduduk dan
kemiskinan hidup berdampingan, dan di mana ada akses terbatas ke pengobatan.
4
rambut sedangkan pasangan kaki keempatnya dilengkapi dengan ambulakral (perekat). Alat
reproduksi tungau betina berbentuk celah di bagian ventral sedangkan pada tungau jantan
berbentuk huruf Y yang terletak di antara pasangan kaki keempat.5
Siklus Hidup S.scabiei S.scabiei memiliki metamorfosis lengkap dalam lingkaran
hidupnya yaitu: telur, larva, nimfa dan tungau dewasa (Gambar 2). Infestasi dimulai ketika
tungau betina gravid berpindah dari penderita skabies ke orang sehat. Tungau betina dewasa
berjalan di permukaan kulit dengan kecepatan 2,5cm per menit untuk mencari tempat
menggali terowongan. Setelah menemukan lokasi yang sesuai, tungau menggunakan
ambulakral untuk melekatkan diri di permukaan kulit kemudian membuat lubang di kulit
dengan menggigitnya.5
Selanjutnya tungau masuk ke dalam kulit dan membuat terowongan sempit dengan
permukaan yang sedikit terangkat dari kulit. Biasanya tungau betina menggali stratum
korneum dalam waktu 30 menit setelah kontak pertama dengan menyekresikan saliva yang
dapat melarutkan kulit. Terowongan tungau biasanya terletak di daerah lipatan kulit seperti
pergelangan tangan dan sela-sela jari tangan. Tempat lainnya adalah siku, ketiak, bokong,
perut, genitalia, dan payudara.5
Pada bayi, lokasi predileksi berbeda dengan dewasa. Predileksi khusus bagi bayi
adalah telapak tangan, telapak kaki, kepala dan leher. Tungau berkopulasi di dalam
terowongan. Setelah kopulasi, tungau betina akan membuat terowongan di kulit sampai
perbatasan stratum korneum dan stratum granulosum dengan kecepatan 0,5-5mm per hari.
Lokasi biasanya di stratum korneum kulit yang tipis.5
Tungau betina hidup selama 30-60 hari di dalam terowongan dan selama waktu
tersebut tungau terus memperluas terowongannya. Penggalian terowongan biasanya pada
malam hari dan tungau menggali terowongan sambil bertelur atau mengeluarkan feses.
Tungau betina bertelur sebanyak 2-3 butir setiap hari. Seekor tungau betina dapat bertelur
sebanyak 40-50 butir semasa hidupnya. Dari seluruh telur yang dihasilkan tungau betina,
kurang lebih hanya 10% yang menjadi tungau dewasa dan pada seorang penderita biasanya
hanya terdapat 11 tungau betina dewasa.5
Telur menetas menjadi larva dalam waktu 3-5 hari. Larva berukuran 110x140mikron,
mempunyai tiga pasang kaki dan segera keluar dari terowongan induknya untuk membuat
terowongan baru atau hidup di permukaan kulit. Larva menggali terowongan dangkal agar
mudah untuk makan dan mengganti kulit luar (ekdisis/pengelupasan kulit) untuk berubah
menjadi nimfa. Dalam waktu 3-4 hari, larva berubah menjadi nimfa yang mempunyai 4
pasang kaki. Nimfa betina mengalami dua fase perkembangan. Nimfa pertama panjangnya
5
160µm dan nimfa kedua panjangnya 220-250µm. Nimfa kedua bentuknya menyerupai
tungau dewasa, tetapi alat genitalnya belum terbentuk sempurna. Nimfa jantan hanya
mengalami satu fase perkembangan. Nimfa berkembang menjadi tungau dewasa dala 4-7 hari
.5
6
Gatal biasanya meningkat dengan pengobatan yang efektif selama 1-2 minggu, dan
individu yang dirawat harus diberitahu tentang hal ini. Karena orang-orang pada tahap awal
infestasi baru mungkin tidak menunjukkan gejala dan karena pengobatan skabies tidak
membunuh telur parasit, hasil terbaik diperoleh dengan mengobati seluruh anggota keluarga
pada waktu yang sama dan pengobatan berulang dalam jangka waktu yang sesuai untuk
pengobatan yang dipilih.5
1.8 Pencegahan
Pencegahan skabies terdiri dari beberapa fase diantaranya pada fase prepatogenesis
dilakukan pencegahan primer dengan cara promosi kesehatan dan perlindungan khusus
sedangkan pada fase patogenesis dilakukan pencegahan sekunder berupa diagnosis dini dan
perawatan segera serta pembatasan cacat dan pencegahan tersier dilakukan dengan
rehabilitasi.5
Pencegahan primer meliputi menjaga kebersihan badan, kebersihan pakaian, tidak
menggunakan alat pribadi seperti handuk, seprai, pakaian bersama-sama dengan orang lain,
dan penyuluhan untuk komunitas. Skabies merupakan penyakit yang dapat dicegah apabila
seseorang mempunyai kesadaran untuk menjaga kebersihan diri serta lingkungannya.
Hindarkan kontak yang lama dan erat dengan penderita skabies misalnya tidur bersama di
atas satu kasur. Seluruh anggota keluarga atau masyarakat yang terinfestasi perlu diobati
secara bersamaan untuk memutuskan rantai penularan skabies.4-6
Semua pakaian, sprei, dan handuk harus dicuci dengan air panas minimal 2 kali
seminggu untuk mematikan tungau. Selanjutnya pakaian dijemur di bawah terik sinar
matahari minimal 30 menit lalu disetrika. Populasi yang tinggal bersama perlu diberikan
edukasi mengenai tanda dan gejala skabies, pencegahan penularan, dan mendorong peserta
untuk memberikan laporan apabila mengalami keluhan skabies setelah bepergian ke suatu
tempat.4-6
Pencegahan sekunder menjelaskan bahwa ketika ada seseorang terinfestasi skabies
tindakan yang harus dilakukan adalah mencegah orang di sekitar penderita tertular skabie
sehingga perlu mengobati penderita secara langsung agar tungau tidak menginfestasi orang-
orang yang berada di sekitarnya. Untuk sementara, hindari kontak tubuh dalam waktu lama
dan erat misalnya melakukan hubungan seksual, berpelukan, dan tidur satu ranjang dengan
penderita. Orang yang pernah melakukan kontak langsung dengan penderita atau yang sering
berada di sekitar penderita perlu diperiksa.4-6
Pencegahan tersier dilakukan setalah penderita dinyatakan sembuh dari skabies, agar
penderita dan orang-orang disekitarnya tidak terinfestasi skabies untuk kedua kalinya.
7
Pakaian, handuk, dan sprei yang digunakan lima hari terakhir oleh penderita harus dicuci
dengan air panas agar seluruh tungau mati. Cara lainnya adalah semua barang tersebut dicuci
bersih dengan deterjen dan dijemur di bawah terik sinar matahari. Barang-barang yang tidak
dapat dicuci tetapi diduga terinfestasi tungau diisolasi dalam kantong plastik tertutup di
tempat yang tidak terjangkau manusia selama seminggu sampai tungau mati.4-6
8
tersebut. Sedangkan sehat secara jasmani artinya bersih dan bebas dari kuman dan bibit
penyakit.9
Selain itu rumah sehat juga harus sehat secara fisiologis yaitu menurut Winslow dan
APH tersedianya pencahayaan, penghawaan dan ruang gerak yang cukup dan terhindar dari
kebisingan yang menggangu. Sedangkan menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No.829/Menkes/SK/VII/1999 ketenntuan persyaratan kesehatan rumah tinggial
adalah harus berbahan bangunan yang tidak terdiri dari bahan yang dapat melepaskan zat
yang membahayakan kesehatan, adanya komponen dan penataan ruangan, tersedianya
pencahayaan yang baik, kualitas udara yang baik, ventilasi yang luas, tidak adanya vector
penyakit, ketersediaan sumber air bersih, adanya pembuangan limbah dan mencakup
kepadatan hunian dimana luaskamar tidur minimal 8 meter persegi dan dianjurkan tidak
untuk lebih dari 2 orang tidur.10
9
BAB III
ANALISA KASUS
2.1 Hasil Studi Kasus
2.1.1 Identitas Pasien
Nama : Tn. R
Usia : 37 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status : menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
Bangsa : Indonesia
Alamat : Jln Sawah Lio 3, Rt 03/ Rw 05,
Gatal-gatal pada kedua sela-sela jari tangan, kaki, perut, bokong, yang
dirasakan sejak sebulan yang lalu.
10
gatal. Ibu pasien juga mengatakan bahwa pada kedua kaki pasien terdapat bekas-
bekas korengan. Sebelumnya Ibu pasien pernah membeli obat warung dan salep
diapotik untuk mengurangi keluhan tetapi tidak ada perbaikan. Pasien tidak memiliki
keluhan demam, batuk, pilek, nyeri sendi,lemas, mual dan muntah.
Diabetes militus (-), Jantung (-), Hipertensi (-), Penyakit sistemik signifikan/ imun (-),
Alergi (-), Atopi (-).
11
Pernapasan : 18 kali/ menit (Thoraco abdominal)
Suhu : 36,7oC
Status Generalis :
- Kepala : bentuk normal, rambut warna hitam terdistribusi merata, tidak
mudah dicabut
- Kulit : kulit berwarna sawo matang, ikterik (-), sianosis (-)
- Mata : ODS : Bentuk normal, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak
ikterik, palpebra superior et inferior tidak edema, pupil bulat dengan diameter
kurang lebih 3 mm, reflek cahaya (+), arkus senilis (+).
- Telinga : bentuk simeris dan tidak ada kelainan, serumen -/-, sekret -/-
- Hidung : bentuk normal, deviasi septum (-), epistaksis (-)
- Mulut : bentuk normal, bibir lembab, lidah tidak kotor, bibir tidak
pucat, sianosis (-), mukosa bibir basah, tremor (-), karies (-), faring tidak
hiperemis, uvula di tengah, tonsil T1-T1 tenang, tidak terdapat bercak putih
- Leher : trakea ditengah, kelenjar tiroid tidak teraba membesar,
kelenjar getah bening tidak membesar.
- Thorax
Paru
Inspeksi : gerak dinding dada simetris
Palpasi : tidak teraba massa
Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : suara napas vesikuler, ronki -/-, wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : pulsasi ikus cordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba pada ICS IV linea midclavikula sinistra
Perkusi : tidak dilakukan
Auskultasi: BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : pelebaran vena (-),
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), hepatomegali (-), splenomegali (-),
turgor baik
Perkusi : timpani
Auskultasi: bising usus normal
12
- Ekstremitas atas : akral hangat (-/-), edema (-/-), sianosis (-), ROM normal,
krepitas (-), CRTA < 2 detik
- Ektermitas bawah : akral hangat (+/+), edema (-/-), sianosis (-), ROM terbatas
pada kedua lutut, krepitasi (-)
2.3 Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan
2.4 Diagnosis
Skabies
13
segera memeriksakan diri ke dokter agar bisa dilakukan pemeriksaan lebih lanjut
untuk mengetahui progesivitas penyakit. Mematuhi anjuran dokter untuk melakukan
pengobatan dan kontrol teratur.
2.7.5 Rehabilitation: Pasien diedukasi untuk tetap menjaga kebersihan dan menjaga
kelembapan kulit dengan cara rutin menggunakan pelembap sesering mungkin untuk
mencegah kulit menjadi kering yang dapat memicu timbulnya rasa gatal. tetap
melakukan kontrol secara rutin ke fasilitas layanan kesehatan untuk dilakukan
pemantauan pengobatan dan melihat perkembangan penyakit.
2.8 Prognosis
Ad Vitam : Ad bonam
Ad Functionam : Ad bonam
Ad Sanationam : Ad bonam
dengan memperhatikan :
- Pemilihan dan cara pemakaian obat
- Syarat pengobatan
- Menghilangkan fator predisposisi (higiene)
- Semua orang yang Kontak dengan pasien harus diobati
2.9 Pendekatan Holistik
2.9.1 Profil Keluarga
Pasien An. F adalah anak pertama dari 3 bersaudara yang masih tinggal
bersama kedua orang tuanya.
Ibu Rumah
2 M Ibu P 27 Islam Sehat Lengkap
Tangga
14
2.9.3 Genogram
Keterangan :
: Laki-laki dengan scabies
a. Bentuk Keluarga
Bentuk keluarga ini adalah Nuclear Family yaitu keluarga inti yang terdiri
atas ayah, ibu, dan anak.
b. Hubungan Anggota Keluarga
Hubungan antar anggota keluarga baik, sering berkumpul dan berkomunikasi.
2.9.4 Penilaian Status Sosial dan Kesejahteraan Hidup
Keadaan Rumah Pasien di Jl. Sawah Lio III gang 4, RT 03/ RW 05, Kecamatan
Tambora, Jakarta Barat
15
Venitlasi udara : kurang baik baik dan dihuni oleh 5 orang. Dengan
penerangan listrik 900 watt. Air sumur
Jamban keluarga : ada satu
sebagai sarana air bersih keluarga.
Tempat bermain : tidak ada
Penerangan listrik : 900 watt
16
Kamar tidur
17
Masalah : Sehari-hari pasien tidur berlima dengan kedua orang tua dan kedua
adiknya bersama dalam 1 kamar di Kasur yang sama. Bila pasien sedang tidur Kasur
gabus yang di alasi dengan seprei di gelar kebawah/dilantai. Didalam kamar pasien
memiliki 1 ventilasi yang terlihat kotor, namun ventilasi ini tertutup dengan warung
yang ada di depan rumah pasien. Di dalam kamar ini juga pasien menjemur pakaian
yang sehabis dicuci karna keluarga pasien tidak memiliki tempat untuk menjemur
pakaian di rumah. Kondisi pencahayaan dirumah pasien juga kurang baik karena
lampu dirumah tertutup oleh jemuran baju pasien.
Saran : Agar setiap anggota keluarga tidur di Kasur masing-masing karena
resiko penularan pasien tinggi, selain itu sebaiknya tidak menggunakan selimut dan
bantal guling secara bersamaan, sebaiknya rajin mencuci seprei yang sudah di pakai
dan menjemur Kasur yang dipakai untuk tidur. Sebaiknya rajin membersihkan
ventilasi supaya tidak banyak debu yang menempel. Sebaiknya tidak menjemur
pakaian di dalam kamar. Dan bila memungkinkan sebaiknya diperlukan
menambahkan jendela sebagai sumber pencahayaan agar keluarga tidak bergantung
pencahayaan dari lampu pada pagi hingga siang hari.
Masalah : Rumah pasien memiliki dapur, ruang cuci dan kamar mandi yang
terletak di 1 ruangan tanpa pembatas. Sumber air dirumah pasien dari sumur dengan
kondisi air yang tampak keruh. Sumber air dari sumur ini juga digunakan untuk
minum dan untuk maemasak. Kondisi ruangan juga tampak kurang bersih, lantainya
sangat licin dan sedikit berlumut.
18
Saran : Untuk dapur sebaiknya rajin dibersihkan, agar lantai tidak licin dan
tidak terlihat kotor, dan sebaiknya tidak menumpuk barang diatas kompor gas.
sebaiknya bak mandi juga rajin di kuras dan dibersihkan. Bila memungkinkan
sebaiknya toilet dan dapur di beri pembatas.
2.9.5 Kepemilikan Barang-Barang Berharga
Keluarga An.F memiliki beberapa barang elektronik di rumahnya
antara lain yaitu, satu buah televisi yang terletak di kamar tidur, satu buah rice
cooker, satu buah kulkas, satu buah kipas angina (kamar tidur).
2.9.6 Penilaian Perilaku Kesehatan
- Jenis tempat berobat : Puskesmas
- Asuransi / Jaminan Kesehatan : BPJS
2.9.7 Pola Konsumsi Keluarga
Pola makan 2-3 kali dalam sehari, menu makanan sehari-hari keluarga An.F
bervariasi. Menu makanan yang biasa disajikan di rumah An.F terdiri dari nasi, sayur, dan
lauk (kebanyakan melalui proses penggorengan) yang di masak sendiri. Lauk yang paling
sering dikonsumsi adalah telur, tempe tahu, ikan asin dan kadang-kadang ayam.
Konsumsi buah-buahan juga tidak menentu, dalam seminggu bisa 2-3 kali mengkonsumsi
buah-buahan seperti semangka, pepaya dan pisang. Selain itu, keluarga An.F sering
membeli makanan dari luar.
19
yang diderita sehingga belum dapat mencegah resiko penularan dan
penyembuhan.
2.9.9 Fungsi Fisiologis (Skor APGAR)
Fungsi fisiologis yang dikembangkan oleh Rosan, Guyman dan Leyton adalah suatu
penentu sehat tidaknya suatu keluarga, dengan menilai 5 fungsi pokok keluarga,
diantaranya :
- Adaptation : Tingkat kepuasaan anggota keluarga dalam menerima bantuan
yang dibutuhkan.
- Partnership : Tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap komunikasi dalam
mengambil keputusan dan menyelesaikan masalah.
- Growth : Tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kebebasan yang
diberikan keluarga dalam mematangkan pertumbuhan dan kedewasaan semua
anggota keluarga.
- Affection : Tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kasih sayang serta
interaksi emosional yang berlangsung.
- Resolve : Tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kebersamaan dalam
membagi waktu, kekayaan dan ruang atas keluarga.
Penilaian: Skor Total Skor
Hampir Selalu 2 8-10 Fungsi keluarga sehat
Kadang- Fungsi keluarga
1 4-7
kadang kurang sehat
Hampir tidak
0 0-3 Fungsi keluarga sakit
pernah
Penilaian
Hampir
Pertanyaan Hampir Kadang- Tidak
No.
Selalu (2) Kadang (1) Pernah (0)
Adaptasi
1. Saya Puas bahwa saya dapat kembali kepada
keluarga saya, bila saya menghadapi masalah √
Partnership (Kemitraan)
2. Saya puas dengan cara-cara keluarga saya membahas
√
serta membagi masalah dengan saya
3. Growth (Pertumbuhan) √
20
Saya puas bahwa keluarga saya menerima dan
mendukung keinginan saya melaksanakan kegiatan
dan ataupun arah hidup yang baru
Total Skor 10
Dari tabel APGAR diatas total Skor adalah 10 ini menunjukkan fungsi keluarga
pasien sehat.
2.9.10 Fungsi Patologis (SCREEM)
Aspek sumber daya patologi
- Sosial :
Pasien baik dalam bersosialisasi dengan tetangga, masyarakat dan teman-
teman disekolahnya.
- Cultural :
Pasien adalah orang Indonesia yang makanan pokoknya adalah nasi.
Pasien menyukai seblak dan makan gorengan sebagai cemilan
sehingga berisiko obesitas.
- Religius :
Keluarga pasien taat beribadah setiap hari sesuai dengan aturan agama
yang dianut.
- Ekonomi :
Keluarga pasien merasa kebutuhan ekonomi trercukupi.
- Edukasi :
- Tingkat pendidikan tertinggi di keluarga pasien yaitu SMP, yaitu ayah pasien
yang bekerja sebagai Supir.
- Medikasi :
Pembiayaan pelayanan kesehatan sudah cukup baik. Pasien dan keluarganya
biasanya dengan BPJS atau membayar secara mandiri.
21
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
22
3.2 Faktor Lingkungan
Berdasarkan luasnya, tempat tinggal pasien termasuk kurang baik dan kurang layak
huni. Hal ini dapat dilihat dari luas rumah yang terlihat kecil untuk dihuni oleh 5 orang. Luas
bangunan rumah yang cukup untuk penghuni di dalamnya, artinya luas lantai bangunan
tersebut harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya. Luas bangunan yang tidak sebanding
dengan penghuninya akan menyebabkan rumah terlalu padat orang, sehingga apabila terdapat
salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota
keluarga yang lain seperti pada kasus pasien tersebut sangat beresiko menularkan ke anggota
keluarga lainnya.
Ventilasi dan jendela pada rumah pasien kurang memadai sehingga sirkulasi udara di
tempat tinggalnya kurang baik. Tidak terdapat jendela di ruang tamu dan kamar yang tidak
memungkinkan pertukaran udara sehingga sirkulasi udara kurang baik dan menjadi lembab.
Bila adanya kelembapan akan dapat menjadi media yang baik untuk perkembangan bakteri-
bakteri pathogen dan juga dapat membebaskan udara ruangan dari bakteri dan virus.
Tempat tinggal pasien merupakan tempat yang padat penduduk. Pencahayaan tempat
tinggal pun kurang baik, karena setiap ruangan hanya terdapat lampu yang dapat menyala dan
tidak ada cahaya matahari dapat masuk dengan baik ke dalam rumah. Seharusnya
pengoptimalan sinar matahari yang masuk kedalam ruangan diperlukan karena ruangan yang
lembab bisa menjadi tempat bakteri berkembang biak. Cahaya matahari yang masuk dapat
membantu membunuh bakteri – bakteri patogen didalam rumah seperti bakteri penybebab
tuberculosis.
Jamban atau kamar mandi juga merupakan jamban milik pribadi sehingga kebersihan
lebih baik dan mengurangi risiko terjadinya penularan penyakit yang disebabkan oleh fecal
oral. Bak penampung air di kamar mandi di kuras 1 bulan sekali. Tempat tinggal pasien juga
selama ini jarang terkena banjir serta tidak dekat dengan pabrik-pabrik besar. Untuk
pembuangan sampah, setiap hari ayah pasien bertugas untuk membuah sampah yang milik
rumah mereka.
Air minum yang digunakan juga berasal dari air yang dimasak dari sumur dirumah.
Air untuk kebutuhan sehari – hari juga menggunakan air sumur dirumah. Selain itu,
kebersihan tempat tinggal pasien juga kurang baik. Kebersihan rumah juga harus terjaga
karena tempat tinggal yang kotor tentu sangat tidak nyaman untuk dihuni dan dapat menjadi
tempat berkembang biak kuman sehingga dapat menimbulkan penyakit.
Dari beberapa hal tersebut, dapat dikatakan bahwa lingkungan fisik tempat tinggal
pasien dapat dikatakan kurang baik dan belum memenuhi syarat rumah sehat. Hal ini karena
23
lingkungan rumah pasien belum memenuhi syarat rumah yang sehat yakni memiliki ventilasi
udara yang cukup pada setiap ruangan, pengoptimalan sinar matahari yang masuk kedalam
ruangan, luas bangunan rumah yang cukup untuk penghuni di dalamnya, pencahayaan rumah
yang cukup, dan kebersihan rumah terjaga. Keadaan lingkungan sosial pasien bisa terbilang
baik. Hal ini dapat dilihat dari hubungan antara pasien dengan tetangga maupun keluarganya
yang sangat harmonis.
24
melihat efektivitas obat pada pasien dan bila adanya infeksi sekunder. Hal tersebut berlaku
juga untuk semua anggota keluarga pasien untuk menerapkan pola hidup bersih dan sehat
sebagai bentuk pencegahan dan risiko berulangnya penyakit.
BAB V
KESIMPULAN
25
sering dibersihkan, terdapat tempat jamban tersedia dengan sabun, tempat cuci dan sumber
air adalah dari air sumur.
Oleh karena itu sebagai dokter keluarga yang bekerja di Puskesmas, sebaiknya dapat
menerapkan pelayanan kesehatan dengan pendekatan prinsip kedokteran keluarga secara
komprenhensif dengan memperhatikan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif serta
memberikan komunikasi, informasi dan edukasi perorangan untuk memperbaiki pola hidup
pasien dan juga seluruh anggota keluarga pasien.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kurniawan, M. Ling, MSS. Franklind. Diagnosis dan terapi skabies; Tinjaun pustaka.
Jurnal Cermin Dunia Kedokteran Fakultas Kedokteran Atma Jaya Jakarta Indonesia.
Vol 47. No II. 2020.
2. (WHO) WHO. Water-related disease. 2009;36(12):5380–90. Tersedia pada:
http://www.who.int/
3. Kemenkes. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Republik Indonesia.Riset
Kesehatan Dasar (RISKESDAS). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementrian Kesehatan RI(Internet). 2013.
4. Menaldi SLS, Bramono K IW. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. edisi ke7. Jakarta
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2015.
26
5. Sungkar S. Skabies: Etiologi, Patogenesis, Pengobatan, Pemberantasan, dan
Pencegahan. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2016..
6. Husna R, Joko T, Nurjazuli. Faktor yang mempengaruhi kejadian skabies di Indonesia;
Literature review. Jurnal Kesehatan Lingkungan Universitas Dipenogoro Semarang
Indonesia. Vol.11, No.1. April 2021.
7. Ariawati N, Diarthini N. Penyakit scabies : Tinjauan Pustaka. Bagian Parasitologi
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Bali. 2016.
8. Susanto A. Manajemen pelayanan dokter keluarga. Fakultas Kedokteran Ukrida. 2019.
9. Chandra B. Pengantar kesehatan lingkungan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC; 2005. h.
163-5
10. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor:
829/MENKES/SK/VII/1999 tentang Persyaratan Kesehatan Rumah Tinggal. Jakarta:
Departemen Kesehatan; 1999.
27