Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN KASUS

STASE BAYI, BALITA DAN ANAK PRASEKOLAH


ASUHAN PADA BALITA DENGAN SKABIES
TAHUN AKADEMIK 2022/2023

Dosen Pembimbing Pendidikan: DR. Noviyanti.M.Keb

Disusun Oleh : (Susanty Suherman – 2250351099)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI BIDAN


FAKULTAS ILMU TEKNOLOGI DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS JENDERAL ACHMAD YANI
CIMAHI
2023
LAPORAN KASUS
STASE BAYI, BALITA DAN ANAK PRASEKOLAH
ASUHAN PADA BALITA DENGAN SKABIES
TAHUN AKADEMIK 2022/2023

Dosen Pembimbing Pendidikan: DR. Noviyanti.M.Keb

Cimahi, 12 April 2023

Pembimbing Preceptor Mahasiwa

DR. Noviyanti.M.Keb Bdn. Mariani, SST Susanty Suherman

i
DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan

DAFTAR ISI...........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1
1.1 Latar Belakang………………………………………………………..1
1.2 Tujuan………………………………………………………………...3

BAB II TINJAUAN TEORI…………………………………………………….4


2.1 Definisi………………….………………….…………………………4
2.2 Etiologi………………………………………………………………..4
2.3 Epidemiologi…………………………...……………………………..6
2.4 Cara penularan………………….………………...…………...……...6
2.5 Patofisiologi……………………………...……………...……………7
2.6 Gejala klinis………………………………………...………..…….…8
2.7 Dampak………………………………………………………………10
2.8 Penatalaksanaan……...………………………………………………10
BAB III PENGKAJIAN DATA………………………………………………..13
BAB IV PEMBAHASAN……………………………………………………….19
BAB IV
PENUTUP……………………………………………………………...21
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Skabies merupakan infeksi parasit pada kulit yang disebabkan oleh

Sarcoptes scabei var hominis. Tungau ini berukuran sangat kecil dan hanya

bisa dilihat dengan mikroskop atau bersifat mikroskopis. Penyakit skabies

sering disebut kutu badan. Penyakit ini juga mudah menular dari manusia ke

manusia, dari hewan ke manusia dan sebaliknya, penyakit ini dikenal juga

dengan nama lain yang berbeda seperti the itch, atau gudik oleh karena itu

peran kulit sebagai pelindung sangat penting dijaga dari berbagai penyakit

yang disebabkan oleh jamur, virus, bakteri dan parasit (Djuanda, Adhi. 2007).

Saat ini Badan Dunia seperti WHO menganggap penyakit skabies

sebagai pengganggu dan perusak kesehatan yang tidak hanya dianggap

sebagai penyakit orang miskin, akan tetapi dapat menjangkit semua orang

pada semua umur, ras dan level sosial ekonomi. Tingkat pendidikan ternyata

berhubungan dengan tingkat prevalensi skabies, pendidikan yang rendah

cenderung lebih tinggi prelevansi skabiesnya secara signifikan dibandingan

dengan orang dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi (Raza N,. dkk,

2009).

Menurut data menyebutkan bahwa penyakit Skabies di seluruh dunia

dengan insiden yang berfluktuasi akibat pengaruh faktor imun yang belum

diketahui sepenuhnya. Penyakit ini banyak dijumpai pada anak dan dewasa,

1
2

tetapi dapat mengenai semua umur. Penyakit ini telah ditemukan hampir pada

semua negara di seluruh dunia dengan angka prevalensi yang bervariasi,

skabies diperkirakan lebih umum terjadi pada anak-anak dan remaja,

meskipun pada suatu penelitian menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi

pada orang dewasa. Prevalensi skabies menurut penelitian diseluruh dunia

dilaporkan sekitar 300 juta kasus per tahun (Chowsidow O, 2006).

Di beberapa negara termasuk Indonesia penyakit cenderung mulai

meningkat, laporan dari dinas kesehatan dan para dokter praktek

mengindikasikan bahwa penyakit skabies telah meningkat di beberapa daerah.

Menurut Departemen Kesehatan RI prevalensi skabies di Indonesia sebesar

4,60-12,95% dan skabies menduduki urutan ketiga dari 12 penyakit kulit

tersering. Salah satu faktor pendukung yang mengakibatkan tinggginya

prevalensi skabies antara lain kelembaban yang tinggi, rendahnya sanitasi,

kepadatan, malnutrisi, personal higiene yang buruk, pengetahuan, sikap dan

perilaku yang kurang mendukung pola hidup sehat (Agoes, R.N, 2005).

Penyakit skabies biasanya banyak ditemukan pada tempat dengan

sanitasi buruk dan biasanya menyerang manusia yang hidup secara

berkelompok, seperti asrama, barak-barak tentara, rumah tahanan, pesantren

dan panti asuhan. Skabies mudah menyebar baik secara langsung seperti

bersentuhan dengan penderita, maupun secara tidak langsung melalui baju,

seprai, handuk, bantal, air, atau sisir penderita yang belum dibersihkan dan

masih terdapat tungau sarcoptesnya. Skabies menyebabkan rasa gatal pada

bagian kulit seperti disela-sela jari, siku, selangkangan. Penyakit kulit skabies
3

menular dengan cepat pada suatu komunitas yang tinggal bersama sehingga

dalam pengobatannya harus dilakukan serentak secara menyeluruh pada

semua orang, dan lingkungan pada komunitas yang terserang skabies.

Pengobatan secara individual hanya akan membuat penyakit skabies mudah

tertular kembali (Badri, 2008).

Usaha penyehatan lingkungan seperti sanitasi, merupakan faktor utama

yang harus diperhatikan dalam suatu pencegahan penyakit skabies.

Pencegahan dan pengobatan yan tepat pada penyakit skabies, akan

menurunkan angka kekambuhan yang timbul dari penyakit, hal ini dapat

dihindari jika pasien patuh terhadap pengobatan dan melukakan pola hidup

yang bersih dan sehat. Oleh karena itu dibutuhkan partisipasi dan dukungan

keluarga yang optimal dalam memotivasi, mengingatkan, serta

memperhatikan pasien dalam penatalaksanaan penyakitnya (Mukoro H.J,

2006).

Dari uraian tersebut, penulis tertarik melakukan asuhan kebidanan pada

balita dengan skabies.

1.2 Tujuan

Mengetahui penangan kasus dalam asuhan kebidanan pada balita dengan

skabies.
4
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi

Skabies (kudis) merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh parasit

tungau Sarcoptes scabei yang mampu membuat terowongan dibawah kulit

dan ditularkan melaui kontak manusia. Di Indonesia skabies sering disebut

kudis, orang jawa menyebutnya gudik, sedangkan orang sunda menyebutnya

budug. Skabies adalah penyakit zoonosis yang menyerang kulit, dapat

mengenai semua golongan di seluruh dunia yang disebabkan oleh tungau

(kutu atau mite) scabiei , Secara global, skabies dapat mengenai lebih dari

130 juta orang setiap saat dengan tingkat kejadian skabies bervariasi dari 46%

(Thomas et al. 2015).

Skabies merupakan penyakit kulit menular yang disebabkan oleh seekor

tungau (kutu) yang bernama scabiei, filum Arthopoda, kelas Arachnida, ordo

Ackarina, superfamili scabei. Kecil ukurannya, hanya bisa dilihat di bawah

lensa mikroskop, yang hidup didalam jaringan kulit penderita, hidup

membuat terowongan yang bentuknya memanjang setiap hari (Imartha 2016).

2.2 Etiologi

Skabies ialah penyakit kulit yang diakibatkan oleh infestasi dan sensitasi

tungau (mite) Sarcoptes scabiei varian hominis dan sejenisnya. Sarcoptes

scabiei adalah tungau dari famili Sarcoptidae, ordo Acaria, kelas Arachnida.

Badannya yang berbentuk oval, pipih datar di bagian ventral, dan convex di

4
5

bagian dorsal.Tungau yang jantan berukuran 150-200 mikron, sedangkan

yang betina lebih besar berkisar ukuran 300-350 mikron. Alat mulut terdiri

dari selisere yang bergigi dan palpi menjadi satu dengan hypostom. Stadium

dewasa mempunyai 4 pasang kaki, 2 pasang menghadap ke depan sebagai

alat perekat dan 2 pasang menghadap ke belakang (Sudarsono, 2012).

Setelah melakukan kopulasi yang jantan mati dan yang betina gravid

mencari tempat buat meletakkan telurnya di stratum korneum dari kulit

dengan membuat terowongan sambil meletakkan telur 4-5 butir sehari sampai

dengan selesai 40-50 butir. Dalam waktu 5 hari, telur akan menetas dan

keluar larva dengan 3 pasang kaki. Larva ini akan meneruskan membuat

terowongan ke arah lateral, membuat terowongan baru dan menembus

mencari jalan keluar, setelah itu terjadi 2 stadium nimfa, lalu menjadi dewasa.

Lingkaran hidup berlangsung 8-17 hari dan tungau betina dapat hidup 2-3

minggu sampai 1 bulan ( Griana, 2013).

Skabies disebabkan oleh kutu yang transparan, berbentuk oval,

pungggungnya cembung, perutnya rata dan tidak bermata. Kelainan kulit

yang ditimbulkannya tidak hanya disebabkan oleh investasi tungau skabies

semata, tetapi juga akibat garukan oleh penderita sendiri. Gatal yang terjadi

disebabkan oleh sensitisasi terhadap sekret dan ekskret tungau yang

memerlukan waktu kurang lebih satu bulan setelah infestasi. Pada saat itu,

terjadilah kelainan kulit menyerupai dermatitis, dengan ditemukannya papul,

vesikel, urtika dan lain-lain. Dengan garukan dapat timbul erosi, ekskoriasi,

krusta dan infeksi sekunder. Sarcoptes scabiei termasuk filum arthropoda,


6

kelas arachnida, ordo acarina, super family sarcoptes. Penyakit skabies sering

berjangkit pada daerah yang padat penduduknya, dengan kondisi sanitasi

lingkungan dan perilaku hygiene perorangan yang tidak baik. Penularan

penyakit ini dapat terjadi karena hubungan erat/ tatacara ekspresi kekerabatan

dalam tatanan masyarakat atau keluarga, misalnya melalui kebiasaan berjabat

tangan, hubungan antara suami dan istri, ibu dan anak, serta anggota keluarga

lainnya (Rini, et al.,2015).

2.3 Epidemilogi

Penyakit ini menular dari hewan ke manusia (zoonosis), manusia ke

hewan bahkan dari manusia ke manusia. Cara penularannya melalui kontak

langsung maupun kontak tak langsung. Penyebaran tungau skabies melalui

kontak langsung dengan penderita skabies secara terus menerus, bisa juga

menular melalui penggunaan handuk bersamaan, sprei tempat tidur, dan

segala hal yang dimiliki pasien scabies (Ira Indriaty P.B.Sopi, 2015).

Ada dugaan bahwa setiap siklus 30 tahun terjadi epidemi sekabies.

Banyak faktor yang menunjang perkembangan penyakit tersebut, diantaranya

ialah sosial ekonomi yang rendah, hygiene yang buruk, hubungan seksual

yang sifatnya promiskuitas, kesalahan diagnosis, dan perkembangan

demografik serta ekologik. Penyakit ini dapat dimasukkan PHS (penyakit

akibat hubungan seksual) (Djuanda, 2010).

2.4Cara penularan

Skabies dapat ditularkan melalui perpindahan telur, larva, nimfa, atau

tungau dewasa dari kulit penderita ke kulit orang lain namun dari semua
7

bentuk infektif tersebut tungau dewasalah yang paling sering menyebabkan

penularan. Sekitar 90% penularan skabies dilakukan oleh tungau dewasa

betina terutama yang gravid. Tungau tidak dapat melompat atau terbang

melainkan berpindah dengan merayap. Kemampuan tungau untuk

menginfestasi akan menurun seiring dengan lamanya tungau berada di luar

tubuh hospes (buku Illustrasi Siklus Hidup S. scabiei, Badan Penerbit FKUI,

Jakarta, 2016).

Penularan penyakit skabies bisa terjadi dengan secara langsung ataupun

tidak langsung, adapun cara penularannya ialah :

1. Kontak langsung (kulit bersentuhan langsung dengan kulit)

Penularan skabies dapat melalui kontak langsung contohnya berjabat

tangan, tidur bersama, dan hubungan seksual , pada anak-anak atau balita

biasanya penularan di dapat pada orang tuanya (Djuanda, 2010).

2. Kontak tidak langsung (melalui benda)

Penularan melalui kontak tidak langsung, misalnya melalui

perlengkapan tidur, pakaian atau handuk dahulu dikatakan mempunyai

peran kecil pada penularan. Namun demikian, penelitian terakhir

menunjukkan bahwa hal tersebut memegang peranan penting dalam

penularan skabies dan dinyatakan bahwa sumber penularan utama adalah

selimut. merupakan sumber utama terjadinya wabah skabies pada rumah

sakit, panti jompo, pemondokkan/asrama dan rumah sakit jiwa, karena

banyak mengandung tungau (Djuanda, 2010).

2.5 Patofisiologi
8

Ketika tungau masuk ke dalam lapisan kulit seseorang, maka ia mulai

mengalami gejala skabies. Lesi primer yang terbentuk akibat infeksi skabies

pada umumnya berupa terowongan yang berisi tungau Sarcoptes scabiei,

telur, dan hasil metabolisme/ekskresinya. Terowongan berwarna putih abu-

abu, tipis dan kecil seperti benang dengan struktur linear atau berkelok-kelok

kurang lebih 1-10 mm, yang merupakan hasil dari pergerakan tungau di

dalam stratum korneum. Terowongan dapat ditemukan bila belum terdapat

infeksi sekunder. Ketika menggali terowongan, tungau mengeluarkan sekret

yang dapat melisiskan stratum korneum. Sekret dan produk eksresi tersebut

akan menyebabkan sensitisasi sehingga menimbulkan lesi sekunder, berupa

papul, vesikel, yang dapat dan bula. Selain itu, dapat pula terbentuk lesi

tersier berupa ekskoriasi, eksematisasi, dan pioderma. Namun, tungau hanya

dapat ditemukan pada lesi primer ( Hilma, et.al., 2014).

2.6 Gejala klinis

Gatal merupakan gejala klinis utama pada skabies. Rasa gatal pada masa

awal investasi tungau biasanya terjadi pada malam hari (pruritus nokturna),

cuaca panas, atau ketika berkeringat. Gatal terasa di sekitar lesi, namun pada

skabies kronik gatal dapat dirasakan hingga ke seluruh tubuh. Gatal

disebabkan oleh sensitisasi kulit terhadap ekskret dan sekret tungau yang

dikeluarkan pada waktu membuat terowongan. Masa inkubasi dari infestasi

tungau hingga muncul gejala gatal sekitar 14 hari (Buku Illustrasi Siklus

Hidup S. scabies , Badan Penerbit FKUI, Jakarta , 2016).


9

Diagnosa skabies dapat ditegakkan dengan melihat 2 dari 4 tanda di

bawah ini (AlFalakh, 2009) :

1. Pruritus nokturnu, artinya gatal disaat malam hari yang disebabkan karena

aktifitas tungau ini lebih tinggi pada suhu atau cuaca yang lebih lembab

dan panas.

2. Penyakit skabies ini menyerang manusia secara kelompok, misalnya

dalam sebuah keluarga yang terkena infeksi. Begitu juga dalam sebuah

perkampungan yang padat penduduknya, sebagian besar tetangga yang

berdekatan akan diserang oleh tungau tersebut. Dikenal keadaan

hiposensitisasi, yang semua anggota keluarganya terkena. Meskipun

mengalami infeksi tungau, tetapi tidak memberikan gejala. Penderita ini

bersifat sebagai pembawa (carrier).

3. Adanya kunikulus pada tempat-tempat predileksi yang berwarna putih

keabu-abuan, yang berbentuk garis lurus atau berkeloak, rata-rata panjang

1 cm, pada ujung luka ditemukan papul atau vesikel. Jika timbul infeksi

skunder ruam kulitnya menjadi polimorf (pustul, ekskonasi, dan lain-

lain). Tempat berkembang biasanya merupakan tempat dengan stratum

korneum yang tipis, yaitu : sela-sela jari tangan, pergelangan tangan

bagian volar, siku bagian luar, lipat ketiak bagian depan, areola mamae

(wanita), umbilicus, bokong, genitalia eksterna (pria), dan perut di bagian


10

bawah. Pada bayi atau balita dapat menyerang telapak tangan dan telapak

kaki.

4. Menemukan tungau, merupakan hal yang paling diagnostik. Dapat

ditemukan satu atau lebih stadium hidup tungau ini.

2.7 Dampak

Supri (2013) mengemukakan beberapa diagnosa keperawatan penyakit

skabies, yaitu :

1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologi.

2. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri dan gatal yang dirasakan.

3. Gangguan rasa aman, cemas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan

tentang penyakit yang dialami.

4. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan penampilan

skunder.

2.8 Penatalaksanaan

Pengobatan skabies dapat dilakukan dengan delousing, yaitu shower

dengan air yang sudah dilarutkan bubuk DDT (Diclboro Diphenyl

Trichloroetan). Selain itu menjaga kebersihan dengan mandi secara teratur

setiap hari perlu dilakukan. Semua pakaian seperti sprei dan handuk yang

digunakan harus dicuci secara teratur dan bila perlu direndam dengan air

panas (Widodo, 2013).

Menurut Djuanda (2007: 124) pengobatan lain yaitu dengan mengolesi

salep yang mempunyai daya miticid baik dari zat kimia organik maupun non

organik seperti:
11

1. Belerang endap (sulfur presipitatum)

Dengan kadar 4-20% dalam bentuk salep atau krim. Tetapi salep ini

tidak efektif terhadap stadium telur, sehingga penggunannya tidak boleh

kurang dari 3 hari. Kekurangannya yang lain adalah berbau dan

mengotori pakaian dan kadang-kadang menimbulkan iritasi. Dapat di

pakai pada bayi berumur kurang dari dua tahun.

2. Emulsi benzil-benzoas (20-25%)

Efektif terhadap semua stadium, diberikan setiap malam selama tiga

hari. Tetapi dapat menimbulkan iritasi, dan kadangkadang semakin gatal

setelah digunakan.

3. Gama Benzena Heksa Klorida (gameksan atau gammexane)

Dengan kadar 1% dalam krim atau lotion, dan gel yang tidak berbau

dan tidak berwarna. Obat ini dapat membunuh tungau S.scabiei dan

nimfa serta mencegah menetasnya telur, efektif terhadap semua stadium

dan jarang menimbulkan iritasi. Krim ini tidak dianjurkan pada anak di

bawah enam tahun dan wanita hamil. Cara pemakaiannya dengan

mengoleskan ke seluruh tubuh, didiamkan selama 12-24 jam lalu dicuci

bersih. Pemberiannya cukup sekali, kecuali jika masih ada gejala diulangi

satu minggu kemudian. Pemberian ulang dimaksudkan untuk membunuh

larva yang menetas dan tidak mati oleh pengobatan sebelumnya.

Penggunaan yang berlebihan dapat memberikan toksik terhadap susunan

saraf pusat (neurotoksik).

4. Krotamiton
12

Dengan kadar 10% dalam krim atau lotion, mempunyai dua efek

sebagai antiskabies dan antigatal, dan harus dijauhkan dari mata, mulut,

dan uretra. Dapat membunuh tungau S.scabiei tetapi tidak mempunyai

efektivitas yang tinggi terhadap skabies, tidak mempunyai efek sistemik

serta aman digunakan pada wanita hamil, bayi, dan anak-anak. Cara

pemakaiannya dengan dioleskan dan digosok ke seluruh tubuh selama

dua malam kemudian dicuci bersih. Efek sampingya yaitu dapat

menimbulkan iritasi apabila digunakan dalam jangka waktu yang lama.

Untuk memperoleh hasil yang lebih efektif dapat dilanjutkan sampai lima

hari terutama pada bayi dan anak.

5. Permetrin

Dengan kadar 5% dalam krim, merupakan sintesa piretroid dan aman

karena efek toksisitasnya terhadap mamalia sangat rendah, dan

kemungkinan keracunan karena salah penggunaan sangat kecil. Hal ini

karena hanya sedikit obat yang diabsorbsi dan obat di metabolisme

secara cepat dan belum pernah dilaporkan resistensi terhadap

permetrin.Cara pemakaiannya dengan dioleskan ke seluruh tubuh,

didiamkan selama 8-12 jam, kemudian dicuci bersih. Penggunaannya

cukup sekali , bila belum sembuh diulangi setelah satu minggu. Tidak

dianjurkan pada bayi di bawah umur dua bulan.

6. Ivermektin

Bahan semi sintetik yang dihasilkan Streptomyces avermitilis,

merupakan antiparasit yang strukturnya mirip antibiotik makrolid. Obat


13

ini adalah suatu lakton makrosiklik dan sangat efektif sebagai antiparasit

berspektrum luas untuk melawan berbagai jenis nematoda dan artropoda

termasuk kutu, tungau, dan kutu anjing. Diberikan secara oral dengan

dosis tunggal 200 µg/kgBB. Dianjurkan pada anak berusia lebih dari lima

tahun.
BAB III

PENGKAJIAN KASUS

3.1 PENGUMPULAN DATA

I. DATA SUBYEKTIF

A. Identitas / Biodata
Nama Bayi : An. K
Tgl/Jam Lahir : 18 Februari 2019
Jenis Kelamin : Laki-laki
Berat Badan lahir : 17 kg
Panjang Badan lahir : 108 cm

Nama Ibu : Ny. M Nama Ayah : Tn. A


Umur : 29 tahun Umur : 31 thn
Suku/Kebangsaan : Sunda/Indonesia Suku/Kebangsaan : Sunda
Agama : Islam Agama : Islam
Pendidikan : SD Pendidikan : SMP
Pekerjaan : IRT Pekerjaan : BHL
Alamat rumah : Kp. Balakasap RT. 04/RW. 01 Desa. Pataruman
Telp :- Telp :-
B. Status Kesehatan
1. Riwayat Faktor Lingkungan
a. Suhu udara : Lembab
b. Pencahayaan : Pencahayaan tidak masuk ke dalam rumah
c. Ventilasi : Baik
d. Hygienitas : Bersih
e. Daerah tempat tinggal: Padat
f. Paparan Polusi : Tidak ada
g. Riwayat penyakit menular keluarga: Kakak terkena skabies

13
14

2. Riwayat faktor genetik :


Ibu mengatakan kakak pasien yang baru saja pulang dari pondok
pesantren 3 bulan yang lalu terkena scabies.
3. Riwayat faktor sosial :
Ibu, keluarga dan masyarakat terhadap keberadaan bayi, sosial
ekonomi keluarga cukup.
4. Riwayat faktor ibu dan perinatal
a. Riwayat kehamilan : Baik, pemeriksaan ANC teratur
b. Riwayat persalinan : Tidak ada penyulit
5. Riwayat faktor neonatal
a. Asphixia
Nilai APGAR : 1 menit = 9 5 menit = 10
b. Kelainan kongenital: Tidak ada
c. Trauma persalinan : Tidak ada
d. Pola nutrisi : Makan 3 kali/hari, minum 6 gelas per/hari
e. Pola eliminasi : BAK 4-6 kali/hari dan BAB 1-3 kali/hari

II. DATA OBJEKTIF


A. Pemeriksaan fisik
1. Keadaan Umum : Baik
a. Ukuran tubuh : Normal
b. Kesadaran : Composmentis
c. Tangisan : Normal
d. Tonus otot dan keaktifan gerakan: Aktif
e. Warna kulit : Tidak pucat
f. Suhu : 36,6oC
2. Ukuran Berat Badan : 17 kg
3. Ukuran Panjang Badan : 108 cm
4. Kepala
a. Kesimetrisan : Simetris
b. Pembengkakan : Tidak ada
15

c. Lingkar kepala : 49 cm
5. Mata
a. Bentuk mata dan kesimetrisan : Simetris
b. Sklera dan konjungtiva : Putih, tidak anemis
c. Pengeluaran : Tidak ada
d. Refleks Mengedip : Bayi mengedip saat menerima rangsangan
e. Reflek glabella : Bayi mengedipkan mata
f. Reflek pupil : Pupil mengecil saat diberikan cahaya
6. Telinga
a. Kesimetrisan : Simetris
b. Daun telinga : Ada
c. Pengeluaran : Tidak ada
d. Hubungan kantus luar mata : Sejajar dengan puncak daun
telinga.
7. Hidung & mulut
a. Kesimetrisan dan warna bibir : Simetris, merah muda
b. Bibir dan Langit–langit : Tidak ada kelainan
8. Leher
a. Gerakan leher : Tidak ada hambatan
b. Pembengkakan : Tidak ada
c. Refleks Tonic neck : Ada
9. Dada
a. Bentuk dan kesimetrisan : Simetris
b. Retraksi dinding dada : Tidak ada
c. Payudara : Ada
d. Bunyi dan Frekuensi nafas : 20 x/menit
e. Bunyi dan Frekuensi Jantung : 86 /menit
10. Bahu, Lengan dan Tangan
a. Kesimetrisan : Simetris
b. Gerakan : Gerakan aktif
c. Jumlah Jari : Lengkap
16

d. Lain-lain : Terdapat pustul pada sela-sela jari


11. Abdomen
a. Bentuk : Simetris
b. Bising usus : Tidak ada
c. Penonjolan sekitar tali pusat pada saat menangis : Tidak ada
d. Perdarahan tali pusat: Tidak ada
e. Benjolan : Tidak ada
12. Genital
a. Kebersihan : Bersih
b. Skrotum : Skrotum 2
c. Posisi uretra : Ada diujung penis
13. Tungkai dan kaki
a. Bentuk : Simetris
b. Pergerakan : Aktif
c. Kesimetrisan : Simetris
d. Jumlah jari : Lengkap
e. Garis pada telapak kaki : Garis tampak
f. Gerakan panggul : Aktif
g. Lain-lain : Terdapat pustul pada sela-sela jari
14. Punggung dan Anus
a. Bentuk : Simetris
b. Pembengkakan : Tidak ada
c. Anus : Berlubang
15. Kulit
a. Warna : Tidak pucat
b. Verniks : Tidak ada
c. Tanda lahir : Tidak ada
d. Lanugo : Tidak ada

B. Data Penunjang

Laboratorium : Tidak dilakukan


17

III. ANALISA

A. Diagnosa : An. K usia 4 tahun dengan skabies

B. Masalah : Skabies

IV. PENATALAKSANAAN (11.00 WIB)


1. Memberikan kepada ibu hasil pemeriksaan bahwa bayinya dalam
keadaan sehat.
T : 36,6oC
N : 86x/m
P : 20x/m
BB : 17 kg
TB : 108 cm
Pemeriksaan fisik dalam batas normal
Evaluasi : ibu sudah tahu hasil pemeriksaan.
2. Memberitahu ibu penjelasan keluhan yang dirasakan oleh anaknya adalah
gejala skabies. Skabies merupakan infeksi parasit pada kulit yang
disebabkan oleh Sarcoptes scabei var hominis atau sering disebut tungau.
Evaluasi : ibu telah mengetahuinya.
3. Menjelaskan kepada ibu penularan skabies, scabies menular melalui
kontak langsung maupun kontak tak langsung. Penyebaran tungau
skabies melalui kontak langsung dengan penderita skabies secara terus
menerus, bisa juga menular melalui penggunaan handuk bersamaan, sprei
tempat tidur, dan segala hal yang dimiliki pasien scabies.
Evaluasi : ibu sudah tahu cara penularan skabies.
4. Memberitahu ibu langkah-langkah pengobatan dan perawatan untuk
mengatasi skabies:
a. Mandikan anak dalam waktu 8–12 jam dengan air hangat setelah ia
diberikan obat oles pembasmi kutu.
b. Cuci pakaian, handuk, boneka, dan alas tidur anak dengan air panas
secara terpisah, lalu jemur di bawah sinar matahari untuk membasmi
kutu.
18

c. Setrika pakaian, alas tidur, dan handuk anak.


d. Potong kuku anak untuk mencegah infeksi yang disebabkan oleh
garukan.
Evaluasi: ibu sudah pengetahui cara pengobatan dan perawatan pada
anak dan akan melakukannya.
5. Memberikan obat dan salep yang aman bagi anak setelah berkolaborasi
dengan dokter.
Evaluasi : ibu akan memberikan obat dan salep pada anaknya.
6. Memberitahu ibu untuk melakukan kunjungan ulang.
Evaluasi : ibu bersedia melakukan kunjungan ulang.
BAB IV

PEMBAHASAN

Diperoleh diagnosa penyakit pada pasien adalah skabies. Berdasarkan

anamnesis yang menyebutkan bahwa pasien An. K berusia 4 tahun memiliki

risiko lebih besar terkena skabies, karena angka kejadian penyakit tungau pada

anak lebih tinggi dibanding dewasa. Rentang usia 5-8 tahun merupakan usia

dengan risiko tertinggi penyakit, dan penyakit ini lebih sering ditemukan pada

anak laki-laki dibanding perempuan, yaitu 2:3 dimana pasien berjenis kelamin

lelaki.

Terdapat setidaknya dua dari empat tanda kardinal skabies yaitu: Pruritus

nokturna, yaitu gatal pada malam hari yang disebabkan karena aktivitas tungau ini

lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab dan panas, kedua pada penyakit ini

menyerang manusia secara berkelompok, sehingga dalam sebuah keluarga

biasanya mengenai seluruh anggota keluarga.

Kondisi tempat pasien tinggal bersama keluarga sangat mempengaruhi

timbulnya penyakit. Tempat yang disukai biasanys padat, lembab, jarang terkena

matahari dalam rentang waktu lama, sekitar 24-36 jam. Skabies dapat ditularkan

melalui kontak langsung maupun kontak tidak langsung, Penularan melalui

kontak langsung menjelaskan mengapa penyakit ini sering menular ke seluruh

anggota keluarga. Penularan secara tidak langsung dapat melalui penggunaan

bersama pakaian, handuk, maupun tempat tidur. Penularan secara langsung yaitu

kontak langsung dengan penderita scabies.

19
20

Dalam menatalaksana pasien, seorang bidan perlu memperhatikan pasien

secara komperhensif, tidak hanya tanda dan gejala penyakit, serta obat apa yang

akan diberikan dengan tepat namun juga psikologisnya. Pembinaan keluarga yang

dilakukan pada kasus ini tidak hanya mengenai penyakit pasien, tetapi juga

mengenai masalah-masalah lainnya seperti fungsi ekonomi dan pemenuhan

kebutuhan keluarga, perilaku kesehatan keluarga, dan lingkungan.

Pencegahan skabies pada manusia dapat dilakukan dengan cara menghindari

kontak langsung dengan penderita dan mencegah penggunaan barang-barang

penderita secara bersama-sama. Pakaian, handuk dan barang-barang lainnya yang

pernah digunakan oleh penderita harus diisolasi dan dicuci dengan air panas,

selanjutnya dicuci kering atau dijemur di bawah sinar matahari, himbaun untuk

melarang anak untuk berbagi barang pribadi seperti baju, handuk, selimut yang

menjadi agen penularan skabies melalui kontak dari kulit ke kulit. Menjaga

kebersihan tubuh dan lingkungan termasuk sanitasi serta pola hidup yang sehat

akan mempercepat kesembuhan dan memutus siklus hidup S. scabiei.


BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Diagnosis skabies pada kasus ini sudah sesuai dengan beberapa teori dan

telaah kritis dari penelitian terkini. Penatalaksanaan terhadap pasien An. K

sudah tepat dapat dilihat dengan penggunaan obat yang patuh penyakit ini

dapat disembuhkan, tentunya diikuti dengan meningkatkan Higiene keluarga.

5.2 Saran

A. Bagi bidan

Bidan hendaknya dalam memberikan asuhan kebidanan pada An. A

dengan scabies usia 4 tahun lebih menerapkan manajemen kebidanan

yang tepat dan baik.

B. Bagi ibu

Sebaiknya ibu memeriksakan balita secara teratur dan lebih

meningkatkan Higiene keluarga serta lingkungan tempat tinggalnya serta

menghindari penderita scabies agar tidak terpapar secara langsung.

21
DAFTAR PUSTAKA

Chin, James. 2006. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Jakarta:


Infomedika.

Djuanda, Adhi. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Jakarta:Fakultas


Kedokteran Universitas Indonesia.

Raza N,. Qadir S. N . R ., Agna H.. 2009. Risk factor for scabies among male
soldier in Pakistan: case control study, Eastern Mediterranean Health Journal
15, 1- 6.

Ciftci IK, Karaca S, Dogru O, Cetinkaya Z, & Kulac K. 2006. Prevalence of


pediculosis and skabies in preschool nursery children of Afyon, Turkey.
Korean Journal of Parasitology 44, 95-98.

Heukelbach J, Wilcke T, Winter B & Feldmeier. 2005. Epidemiology and


morbidity of scabies and pediculosis capitis in resource-poor communities in
Brazil. British Journal of Dermatology 153: 150– 156.

Chowsidow O. 2006. Skabies. The new england journal of medicine. 35,1-16.

Agoes, R.N. 2005. Parasitologi Kedokteran Ditinjau dari Organ Tubuh Yang
Diserang. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Notobroto, Hari Basuki, Soedjajadi Keman, dan Isa Ma’rufi. 2005. Faktor Sanitasi
Lingkungan Yang Berperan Terhadap Prevalensi Penyakit Scabies (Studi
Pada Santri di Pondok Pesantren Kabupaten Lamongan). Jurnal Kesehatan
Lingkungan, Volume 2, Nomor 1.

Onayemi O., Isezuo S.A. & Njoku C.H. 2005. Prevalence of different skin
conditions in an outpatients’ setting in north-western Nigeria. International
Journal of Dermatology 44.
Badri,. Media Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Bandung. 2008
http://digilib.litbang.depkes.go.id/go.php ?id=jkpkbppk gdl-grey-2008-
mohbadri 2623&node=146&start=141

Mukoro H.J. 2006. Epidemiologi Lingkungan, Airlangga University Press,


Surabaya.

National Populations Commission (NPC) [Nigeria] and ORC Macro.Nigeria


Demographic and Health survey 2003. Calverton, Maryland:National
Populations Commission & ORC Macro;

Anda mungkin juga menyukai