Anda di halaman 1dari 22

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Skabies

2.1.1 Definisi

Skabies adalah penyakit kulit menular yang disebabkan oleh infestasi

dan sensitisasi terhadap Sarcoptes scabiei var hominis dan produknya.

Penyakit ini sering juga disebut dengan nama lain kudis, the itch, seven

year itch, gudikan, gatal agogo, budukan (Boediardja dan Handoko, 2017).

2.1.2 Epidemiologi

Epidemik skabies diduga terjadi setiap siklus 30 tahun (Boediardja dan

Handoko, 2017). Banyak faktor yang menunjang perkembangan penyakit

ini, antara lain sosial ekonomi yang rendah, higiene yang buruk, hubungan

seksual bersifat promiskuitas, kesalahan diagnosis, dan perkembangan

demografik serta ekologik. Penyakit ini dapat dimasukkan dalam I.M.S

(Infeksi Menular Seksual).

World Health Organization (WHO) menyatakan angka kejadian

skabies pada tahun 2014 sebanyak 130 juta orang didunia. Tahun 2014

menurut International Alliance for the Control Of Scabies (IACS) kejadian

skabies bervariasi mulai dari 0,3% menjadi 46% (IACS, 2014). Kejadian

skabies pada tahun 2015 juga memiliki prevalensi tinggi pada beberapa

negara, di antaranya Mesir (4,4%), Nigeria (10,5%), Mali (4%), Malawi

(0,7%), dan Kenya (8,3%). Insiden tertinggi terdapat pada anak-anak dan

remaja (Hegab, 2015).


8

Penyakit skabies banyak dijumpai di Indonesia, hal ini disebabkan

karena Indonesia merupakan negara beriklim tropis. Prevalensi skabies di

Indonesia menunjukkan penurunan dari tahun ke tahun, data terakhir yang

didapat tercatat prevalensi skabies di Indonesia tahun 2013 yakni sebesar

6%. Walaupun Indonesia belum dikatakan terbebas dari penyakit skabies,

dan penyakit ini masih menjadi salah satu masalah penyakit menular di

Indonesia (RISKESDAS, 2013).

Pada penelitian yang dilaksanakan di Jawa Timur, prevalensi skabies

di 12 pondok pesantren di Kabupaten Lamongan adalah 48,8% (Badri,

2007) dan prevalensi di Provinsi Sulawesi Tenggara sebesar 4,5% pada

tahun 2012 (Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara, 2013).

Sementara dalam salah satu penelitian skabies yang dilakukan di Provinsi

Sumatera Utara, ditemukan prevalensi skabies di Pondok Pesantren Ar-

Raudhatul Hasanah Medan sebanyak 63 orang atau 73% dari jumlah

subjek yang diteliti (Asra, 2010).

2.1.3 Morfologi dan Siklus Hidup

Skabies merupakan tungau, termasuk dalam filum Arthropoda, ordo

Acari, superfamili Sarcoptoidea, serta genus Sarcoptes. Parasit ini

memiliki ukuran yang sangat kecil sehingga sangat sulit untuk dilihat

dengan mata telanjang, bahkan ada beberapa yang memiliki ukuran

mikron sehingga hanya dapat dilihat melalui mikroskop (Hadidjaja dan

Sungkar, 2011). Ukuran tungau betina sekitar 330-450 mikron x 250-350

mikron, sedangkan ukuran tungau jantan jauh lebih kecil yakni 200-240
9

mikron x 150-200 mikron. Bentuk dewasa tungau memiliki 4 pasang

kaki, 2 pasang kaki di depan sebagai alat untuk melekat dan 2 pasang kaki

kedua pada betina berakhir dengan rambut, sedangkan pada tungau jantan

pasangan kaki ketiga berakhir dengan rambut dan keempat diakhiri

dengan alat perekat (Boediardja dan Handoko, 2017).

Sarcoptes scabiei melalui empat tahapan dalam siklus hidupnya

(telur, larva, nimfa, dan bentuk dewasa). Tungau betina akan

menetaskan 2-3 telur per hari pada saat masuk kedalam lapisan kulit.

Telur ini berbentuk oval dan memiliki ukuran 0,1-0,15 mm dan akan

menetas dalam waktu 3-4 hari. Setelah menetas, maka telur akan berubah

bentuk mejadi larva. Larva akan berpindah ke permukaan kulit luar dan

akan menetap di lapisan stratum korneum. Di lapisan stratum korneum,

larva akan membentuk terowongan kecil yang hampir kasat mata bernama

molting pouches. Stadium larva memiliki 3 pasang kaki, dan hanya akan

bertahan sekitar 3-4 hari. Setelah itu, larva akan menjadi nimfa yang

mempunyai 4 pasang kaki. Nimfa nantinya akan berubah menjadi lebih

besar sebelum akhirnya masuk ke fase dewasa. Larva dan nimfa akan

sering ditemukan di kantung-kantung kulit. Tungau dewasa berbentuk

bulat, ukuran tungau betina berkisar antara 0,3-0,45 mm sedangkan

ukuran tungau jantan lebih kecil berkisar antara 0,2-0,24 mm. Perkawinan

terjadi setelah tungau jantan secara aktif masuk ke dalam terowongan yang

telah dibuat oleh tungau betina. Setelah kopulasi, maka tungau jantan

akan mati atau bertahan hidup dalam waktu yang singkat di dalam
10

terowongan. Tungau betina akan keluar ke permukaan kulit untuk mencari

tempat yang cocok untuk membuat terowongan yang baru dan meletakkan

telur- telurnya. Siklus hidup dari telur hingga dewasa memakan waktu satu

bulan (CDC, 2010).

Gambar 2.1 Morfologi Sarcoptes scabiei var hominis

Sumber: CDC,2010

Gambar 2.2 Telur Sarcoptes scabiei var


11

hominis

Sumber: James et al., 2016

Gambar 2.3 Siklus hidup Sarcoptes scabiei var hominis

Sumber: CDC, 2010

2.1.4 Manifestasi Klinis dan Diagnosis

Ciri-ciri seseorang terkena skabies adalah kulit penderita penuh bintik-

bintik kecil (miliaria) sampai besar (papula) yang berwarna kemerahan

yang disebabkan garukan keras. Bintik-bintik itu akan menjadi berair

(vesikula) bahkan bernanah (pustula) jika terinfeksi. Setelah infeksi awal

gejala dapat terjadi dalam beberapa hari sampai beberapa minggu untuk
12

berkembang. Gejala pruritus mungkin timbul dalam waktu 24 jam.

Penderita skabies biasanya mengeluh pruritus yang paling parah di malam

hari, tapi kadang-kadang ada juga pasien yang tidak menunjukkan gejala.

Lesi yang paling khas dari skabies adalah berupa terowongan yang dibuat

oleh Sarcoptes scabiei pada tempat hidup tungau tersebut. Terowongan ini

biasanya tipis, melengkung, berukuran 1 mm (Sutanto, 2008).

Empat (4) tanda kardinal skabies yaitu ditemukannya pruritus

nokturna, terjadi pada penderita secara kelompok, adanya terowongan

(kunikulus), dan menemukan tungau (Boediardja and Handoko, 2017).

Pruritus nokturna artinya gatal pada malam hari yang disebabkan oleh

aktivitas tungau lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab dan panas.

Penyakit ini menyerang manusia secara kelompok misalnya dalam sebuah

keluarga biasanya seluruh anggota keluarga terkena infeksi, di asrama,

atau pondokan. Begitu pula dalam sebuah perkampungan yang padat

penduduknya, sebagian besar tetangga yang berdekatan akan diserang oleh

tungau tersebut. Pada infeksi ini dikenal keadaan hiposensitisasi, yakni

pada kondisi seluruh anggota keluarga terinfeksi. Pada keadaan ini,

walaupun seluruh anggota keluarga mengalami infestasi tungau, namun

tidak memberikan gejala (Boediardja dan Handoko, 2017).

Adanya terowongan (kunikulus) pada tempat-tempat predileksi yang

berwarna putih atau keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau berkelok,

rata-rata panjangnya 1 cm, pada ujung terowongan itu ditemukan papula

atau vesikula. Jika timbul infeksi sekunder ruam, maka kulitnya menjadi
13

polimorf (pustul, ekskoriasi, dan lain-lain). Namun, kunikulus biasanya

sukar terlihat, karena sangat gatal pasien selalu menggaruk, kunikulus

dapat rusak karenanya. Tempat predileksinya biasanya merupakan tempat

dengan stratum korneum yang tipis, yaitu: sela-sela jari tangan,

pergelangan tangan bagian volar, siku bagian luar, lipat ketiak bagian

depan, areola mamae (perempuan), umbilikus, bokong, genitalia eksterna

(laki- laki), dan perut bagian bawah. Pada bayi dapat menyerang telapak

tangan, telapak kaki, wajah dan kepala. Menemukan tungau merupakan

hal yang paling diagnostik. Dapat ditemukan satu atau lebih stadium hidup

tungau. Selain tungau dapat ditemukan telur dan kotoran atau yang biasa

disebut dengan skibala (Boediardja dan Handoko, 2017).

Diagnosis bisa ditegakkan dengan cara klinis maupun laboratorium.

Secara klinis diagnosis ditegakkan dengan melihat kelainan pada kulit,

khususnya di daerah predileksi serta memperhatikan pasien saat

menggaruk. Diagnosis bisa ditegakkan dengan menemukan 2 dari 4 tanda

kardinal skabies. Secara laboratorium dengan uji kerokan kulit dan uji

tinta (Natadisastra, 2009).

Menurut Muller (1997) dalam melakukan kerokan kulit, minyak

mineral lebih unggul daripada larutan potasium hidroksida karena:

a. Tungau mudah menempel pada minyak dan mudah diambil, tungau

akan tetap hidup.

b. Skuama dari kulit bercampur dengan minyak mineral dan lebih

banyak bahan yang tersedia untuk pemeriksaan mikroskopis.


14

Kerokan kulit dapat dilakukan dengan cara meneteskan satu tetes

minyak mineral pada skalpel steril. Biarkan minyak mengalir pada papula

atau daerah yang akan dikerok. Lalu lakukan pengerokan sekitar 6 atau 7

kali untuk mengangkat atap papula, kemudian pindahkan ke kaca objek.

Kemudian tambahkan 1 atau 2 tetes minyak lalu aduk untuk

mencampurkan bahan kerokan merata pada minyak. Letakkan kaca

penutup pada kaca objek, jangan sampai ada gelembung udara. Kemudian

lihat sediaan dibawah mikroskop (Muller, 1997).

Menurut Graham-Browns dan Burns (2005) terdapat dua tipe utama

lesi kulit pada skabies, yaitu terowongan dan ruam. Terowongan terutama

ditemukan pada tangan dan kaki bagian samping jari tangan dan jari kaki,

sela-sela jari, pergelangan tangan dan punggung kaki. Ruam skabies

berupa erupsi papula kecil yang meradang, yang terutama terdapat di

aksila, umbilikus, dan paha. Ruam adalah reaksi alergi dari tubuh terhadap

tungau.Klasifikasi

Skabies memiliki dua varian, yaitu skabies Norwegia (skabies berkrusta)

dan skabies nodular (Boediardja dan Handoko, 2017). Skabies Norwegia

(skabies berkrusta) ditandai dengan dermatosis berkrusta pada tangan dan

kaki, kuku yang distrofik, serta skuama yang generalisata. Bentuk ini sangat

menular, tetapi rasa gatalnya sangat sedikit. Tungau dapat ditemukan dalam

jumlah yang sangat banyak. Penyakit terdapat pada pasien dengan retardasi

mental, kelemahan fisis, gangguan imunologik dan psikosis. Skabies

nodular berbentuk nodular bila lama tidak mendapat terapi, sering terjadi
15

pada bayi dan anak, atau pada pasien dengan penurunan sistem imunitas.

2.1.5 Faktor Risiko dan Diagnosis Banding

Menurut Anwar (2014) faktor yang menunjang perkembangan penyakit

ini adalah perilaku dan higiene perorangan yang buruk, tempat tinggal yang

berkelompok seperti asrama dan pesantren, hubungan seksual yang bersifat

promiskuitas, kesalahan diagnosis, usia yang biasanya terjadi pada anak-

anak dan remaja, sosial ekonomi yang rendah.

Beberapa pendapat menyebut skabies ini merupakan the greatest

imitator, karena menyerupai banyak penyakit kulit dengan keluhan

utamanya adalah gatal (Boediardja dan Handoko, 2017). Sebagai diagnosis

bandingnya ialah prurigo pedikulosis korporis, dan dermatitis (Anwar,

2014).

2.1.6 Penatalaksanaan

Menurut Boediardja dan Handoko (2017) syarat obat yang ideal ialah

harus efektif terhadap semua stadium tungau, harus tidak menimbulkan

iritasi dan tidak toksik. tidak berbau atau kotor serta tidak merusak atau

mewarnai pakaian. mudah diperoleh dan harganya murah. Cara pengobatan

ialah seluruh anggota keluarga harus diobati (termasuk penderita yang

hipersensitif). Jenis obat topikal yang dapat diberikan, yaitu:

1. Belerang endap (sulfur presipitatum) dengan kadar 4-20%

dalam bentuk salap atau krim. Preparat ini karena tidak efektif

terhadap stadium telur, maka penggunaan dilakukan 3 hari

berturut-turut. Kekurangan yang lain ialah berbau dan


16

mengotori pakaian serta kadang-kadang menimbulkan iritasi.

Dapat dipakai pada bayi berumur kurang dari 2 tahun.

2. Emulsi benzil-benzoas (20-25%), efektif terhadap semua

stadium, diberikan setiap malam selama 3 hari. Obat ini sulit

diperoleh, sering memberi iritasi, dan kadang-kadang makin

gatal dan panas setelah dipakai.

3. Gama benzene heksa klorida (gemeksan = gammexxane)

kadarnya 1% dalam krim atau losio, termasuk obat pilihan

karena efektif terhadap semua stadium, mudah digunakan dan

jarang memberi iritasi. Obat ini tidak dianjurkan pada anak di

bawah 6 tahun dan ibu hamil karena toksik terhadap susunan

saraf pusat. Pemberian cukup sekali, kecuali jika masih ada

gejala, maka diulangi seminggu kemudian.

4. Krotamiton 10% dalam krim atau losio juga merupakan obat

pilihan, mempunyai dua efek sebagai antiskabies dan antigatal;

harus dijauhkan dari mata, mulut dan uretra.

5. Permetrin dengan kadar 5% dalam krim, efektivitas sama,

aplikasi hanya sekali, dan dibersihkan dengan mandi setelah

8-10 jam. Pengobatan diulangi setelah seminggu. Tidak

dianjurkan pada bayi dibawah umur 2 bulan.

2.1.7 Pencegahan dan Prognosis

Upaya preventif yang perlu dilakukan yaitu memberikan edukasi pada

pasien tentang penyakit skabies, perjalanan penyakit, penularan, cara


17

eradikasi tungau skabies, menjaga perilaku kebersihan perorangan, tata cara

pengolesan obat serta perilaku untuk menjaga sanitasi lingkungan.

Pengobatan dilakukan pada orang serumah dan orang di sekitar pasien yang

berkontak erat (Boediardja and Handoko, 2017).

Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah skabies adalah

sebagai berikut (April dan Wardana, 2006):

1. Menghindari kontak langsung dengan penderita skabies dan mencegah

penggunaan barang-barang penderita secara bersama.

2. Pakaian, handuk, dan barang-barang lain yang digunakan penderita

harus diisolasi dan dicuci dengan air panas.

3. Benda-benda yang tidak dapat dicuci dengan air dimasukkan kedalam

kantong plastik selama 7 hari, lalu dijemur di bawah sinar matahari.

4. Sprei penderita harus diganti dengan yang baru maksimal tiga hari sekali.

5. Kebersihan tubuh dan lingkungan termasuk sanitasi serta pola hidup

yang sehat akan mempercepat kesembuhan dan bisa memutus siklus

hidup skabies.

Dengan memerhatikan pemilihan dan cara pemakaian obat, serta syarat

pengobatan dan menghilangkan faktor predisposisi, antara lain higiene,

serta semua orang yang berkontak erat dengan pasien harus diobati, maka

penyakit ini dapat disembuhkan dan memiliki prognosis yang baik

(Boediardja dan Handoko, 2017).

2.2 PERILAKU

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia perilaku adalah tanggapan


18

atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan. Perilaku adalah

suatu respon terhadap stimulus dan akan sangat ditentukan oleh keadaan

stimulusnya. Individu seakan-akan tidak mempunyai kemampuan untuk

menentukan perilakunya sehingga stimulus dan respon seakan-akan bersifat

mekanitik. Untuk menilai perilaku tersebut dikatakan baik ataupun buruk

terdapat beberapa indikator dan parameter yang telah dikemukakan oleh

para ahli.

Perilaku sehat diukur melalui tiga parameter yaitu pengetahuan, sikap,

dan tindakan terhadap skabies. Ketiga parameter tersebut menunjukkan

peran yang nyata terhadap prevalensi penyakit skabies. Pengukuran perilaku

dilihat dari kebiasaan para santri yang dinilai dari jawaban pertanyaan yaitu

perilaku yang buruk dan perilaku yang baik (Ma’rufi et al., 2005).

Perilaku yang buruk seperti sering memakai baju atau handuk

bergantian dengan teman, tidur bersama dan berhimpitan dalam suatu

tempat, mandi bersama, tidak menjaga kebersihan tempat tinggal.

Sedangkan perilaku yang baik dengan memakai pakaian sendiri atau tidak

memakai baju atau handuk bergantian dengan teman, menjaga kebersihan

tempat tinggal, menjaga kebersihan pribadi (Ma’rufi et al., 2005).

Menurut Notoatmodjo (2012) perilaku merupakan totalitas penghayatan

dan aktivitas individu, yang merupakan hasil dari berbagai faktor, baik

faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor internal adalah karakteristik

individu yang bersangkutan, misalnya tingkat pengetahuan, jenis kelamin,

dan lain-lain. Faktor eksternal meliputi lingkungan, baik lingkungan fisik,


19

sosial, budaya, politik, dan lain-lain. Faktor ini adalah faktor yang

cenderung mewarnai perilaku individu. Ahli psikologi pendidikan

Benyamin Bloom membagi perilaku kedalam tiga domain yaitu domain

kognitif, afektif, dan psikomotor. Seiring dengan berjalan waktu, teori

Bloom dikembangkan dan dimodifikasi menjadi:

2.2.1 Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu

seseorang terhadap suatu objek dari indra yang dimilikinya (Notoatmodjo,

2012). Terdapat 6 tingkat pengetahuan, yaitu: tahu, memahami, aplikasi,

analisis, sintesis dan evaluasi.

Tahu (know) adalah mengingat kembali memori yang telah ada

sebelumnya setelah mengamati sesuatu. Memahami (comprehension)

adalah suatu kemampuan untuk menjelaskan tentang suatu objek yang

diketahui dan diinterpretasikan secara benar. Aplikasi (application) adalah

suatu kemampuan untuk mempraktekkan materi yang sudah dipelajari pada

kondisi real (sebenarnya). Analisis (analysis) adalah kemampuan

menjabarkan atau menjelaskan suatu objek atau materi tetapi masih di

dalam struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu dengan

yang lainnya. Sintesis (synthesis) adalah suatu kemampuan menghubungkan

bagianbagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Evaluasi

(evaluation) adalah pengetahuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu

materi atau objek (Notoatmodjo, 2012).


20

Pengukuran tingkat pengetahuan dapat diketahui dan dinilai dengan

menggunakan angket atau wawancara mengenai isi materi yang ingin

diukur dari subjek penelitian atau responden (Notoatmodjo, 2012).

Menurut Nursalam (2008) tingkat pengetahuan dibagi 3 kategori:

1. Baik apabila responden dapat menjawab dengan benar 76%-100%

dari keseluruhan pertanyaan yang diberikan.

2. Cukup apabila responden dapat menjawab pertanyaan dengan benar

56%- 75% dari keseluruhan pertanyaan yang diberikan.

3. Tingkat pengetahuan kurang baik apabila responden dapat

menjawab dengan benar, kurang dari 56% dari keseluruhan

pertanyaan tersebut.

2.2.2 Sikap

Menurut Notoatmodjo (2012) sikap adalah respons atau reaksi tertutup

dari individu terhadap suatu objek atau stimulus. Manifestasi sikap tidak

dapat langsung terlihat, namun hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu

melalui perilaku yang tertutup. Seorang ahli psikologi sosial bernama

Newcomb, menyatakan bahwa sikap adalah kesiapan untuk bertindak, dan

bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum menentukan

suatu tindakan, namun berupa predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap

terdiri dari empat tingkatan yaitu menerima, merespons, menghargai, dan

bertanggung jawab.

Tingkatan pertama adalah menerima yang diartikan bahwa orang


21

(subjek) mau dan memberi perhatian kepada stimulus yang diberi (objek).

Selanjutnya merespons artinya bahwa seseorang memberikan tanggapan

terhadap stimulus yang diterima. Misalnya, memberi jawaban apabila

ditanya, menyelesaikan tugas yang diberikan, dan lain-lain. Menghargai

adalah ketika seseorang dapat mengajak orang lain untuk mengerjakan atau

mendiskusikan suatu masalah. Indikator bahwa seseorang bertanggung

jawab adalah saat mampu menerima semua resiko dari tindakan-tindakan

yang telah dipilihnya (Notoatmodjo, 2012).

Pengukuran sikap dapat dilakukan baik secara langsung maupun tak

langsung. Secara langsung dapat berupa wawancara mengenai pendapat

atau pernyataan responden perihal sebuah objek. Secara tidak langsung

dapat diukur dengan menggunakan pernyataan-pernyataan hipotesis,

kemudian ditanyakan pendapat responden. Misalnya, saya tidak akan

tinggal bersama orangtua pada saat berusia

27 tahun dengan pilihan sangat setuju, tidak setuju ataupun sangat tidak

setuju (Notoatmodjo, 2012).

2.2.3 Tindakan

Suatu sikap tidak langsung terwujud dalam suatu tindakan (overt

behavior). Untuk mewujudkannya, diperlukan faktor pendukung, antara lain

adalah fasilitas. Selain faktor fasilitas, diperlukan juga faktor dukungan dari

pihak lain. Seperti halnya pengetahuan dan sikap, tindakan juga memiliki

tingkatan, beberapa tingkatan sikap adalah respons terpimpin, mekanisme,

dan adopsi (Notoatmodjo, 2012).


22

Respons terpimpin artinya dapat melakukan sesuatu sesuai urutan yang

benar dan sesuai dengan contoh. Contohnya, seorang ibu memasak dengan

tepat, mulai dari cara mencuci yang baik dan memotong-motong bahan

makanan, lamanya memasak, menutup panci dengan tepat, dan seterusnya.

Mekanisme artinya dapat melakukan sesuatu secara otomatis tanpa

mengikuti panduan apapun, atau tindakan itu telah menjadi kegiatan sehari-

hari. Contohnya, seorang ibu membawa anaknya untuk diimunisasi pada

usia-usia tertentu, tanpa adanya ajakan dari pihak lain. Adopsi adalah suatu

tindakan yang sudah berkembang dengan baik, artinya sudah mengalami

modifikasi tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut. Contohnya, ibu

dapat memilih dan memasak makanan yang sehat dan bergizi dari bahan-

bahan yang murah dan sederhana (Notoatmodjo, 2012).

Pengukuran tindakan dapat dinilai dengan melakukan wawancara

terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan beberapa hari, minggu, bahkan

bulan yang lalu. Cara pengukuran lain adalah secara langsung, yang artinya

mengamati langsung kegiatan dari responden (Notoatmodjo, 2012).

2.3 KEBERSIHAN DIRI

Kebersihan diri adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan

kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis, kurang perawatan

diri adalah kondisi dimana seseorang tidak mampu melakukan perawatan

kebersihan untuk dirinya (Perry, 2005). Menurut Kementrian Kesehatan

Republik Indonesia, penyebab kurangnya perawatan diri adalah:


23

1. Faktor predisposisi

Yang merupakan faktor predisposisi perawatan diri adalah

perkembangan inisiatif berkurang karena keluarga yang terus melindungi

dan memanjakan seseorang, faktor biologis seperti penyakit kronis yang

mengganggu, gangguan jiwa yang menyebabkan kemampuan realitas turun,

dan faktor sosial seperti kurangnya dukungan dan latihan kemampuan

perawatan diri dari lingkungannya.

2. Faktor presipitasi/pencetus

Yang merupakan faktor presipitasi perawatan diri adalah

kurang/penurunan motivasi, kerusakan kognisi atau persepsi, cemas,

lelah/lemah yang dialami individu sehingga menyebabkan individu kurang

mampu melakukan perawatan diri.

Dampak yang sering ditimbulkan dari masalah personal hygiene adalah

dampak fisik dan dampak psikososial. Gangguan fisik yang sering terjadi

adalah gangguan integritas kulit, gangguan membran mukosa mulut, infeksi

pada mata dan telinga dan gangguan fisik pada kuku. Sedangkan dampak

psikososial yang berhubungan dengan personal hygiene adalah gangguan

kebutuhan rasa nyaman, kebutuhan dicintai dan mencintai, kebutuhan harga

diri, aktualisasi diri dan gangguan interaksi sosial (Depkes, 2016).

Seseorang dikatakan kurang perawatan diri yakni meliputi kurang

perawatan diri mandi, kurang perawatan diri mengenakan pakaian, kurang

perawatan diri makan, dan kurang perawatan diri toileting (Nurjanah,

2004).
24

2.4 SANITASI LINGKUNGAN

Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, lingkungan hidup

adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk

hidup termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi peri

kehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain (Kementrian

Kesehatan Republik Indonesia, 2014).

Sanitasi lingkungan merupakan suatu usaha untuk mencapai lingkungan

sehat melalui pengendalian faktor lingkungan fisik, khususnya hal-hal yang

memiliki dampak merusak perkembangan fisik kesehatan dan kelangsungan

hidup manusia. Pondok pesantren, walaupun merupakan wahana tempat

belajar santri dan santriwati dalam mendalami ilmu agama Islam, namun

selama ini dikenal bermasalah dari aspek sanitasi. Berbagai penyakit

berbasis lingkungan yang umum sering menjadi masalah di pondok

pesantren seperti penyakit kulit, diare, ISPA, yang umumnya disebabkan

oleh lingkungan yang kurang sehat di pondok pesantren (Azwar, 1995).

Menurut Azwar (1995) sebagaimana sanitasi rumah, sanitasi pondok

pesantren pada dasarnya adalah usaha kesehatan masyarakat yang

menitikberatkan pada pengawasan terhadap struktur fisik, yakni orang

menggunakannya sebagai tempat berlindung yang mempengaruhi derajat

kesehatan manusia. Sarana sanitasi tersebut antara lain ventilasi, suhu,

kelembaban, kepadatan hunian, penerangan alami, konstruksi bangunan,

sarana pembuangan sampah, sarana pembuangan kotoran manusia, dan

penyediaan air bersih.


25

Menurut Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (2014), kondisi

sanitasi pada pondok pesantren akan sangat berkaitan dengan angka

kesakitan berbasis lingkungan yang menular. Beberapa masalah sanitasi

sangat umum di pondok pesantren dapat kita sebut antara lain keterbatasan

sarana sanitasi dan perilaku santri yang belum berperilaku hidup sehat dan

bersih (PHBS), penyakit berbasis lingkungan terjadi 40-95 % di pondok

pesantren.

Berdasarkan penelitian, penyakit skabies adalah penyakit kulit yang

berhubungan dengan sanitasi dan higiene yang buruk, kekurangan air,

kekurangan

makan dan hidup dalam lingkungan ramai terutama di daerah kumuh

dengan sanitasi yang sangat buruk (Rohmawati, 2010).

2.5 KAITAN PERILAKU DENGAN SKABIES

Cara penularan skabies adalah melalui kontak langsung kulit ke kulit

dan kontak tak langsung dengan cara peminjaman barang-barang pribadi

dari penderita skabies (Hadidjaja dan Sungkar, 2011). Hal ini berhubungan

dengan faktor risiko dari skabies dan yang menghubungkan kedua hal ini

adalah perilaku (Hadidjaja dan Sungkar, 2011).

Pengetahuan memengaruhi penularan dan faktor resiko dengan cara

mengetahui gejala penyakit, penyebab, dan mengetahui apakah penyakit

tersebut dapat menular atau tidak, mengetahui fungsi sanitasi yang baik juga

merupakan indikator yang memengaruhi kejadian skabies. Sikap


26

memengaruhi penularan dengan cara individu sudah dapat melakukan

penilaian terhadap sekitarnya. Misalnya, seseorang dapat menilai apakah

temannya sedang menderita penyakit skabies, sehingga dapat menentukan

sikap yang harus dia ambil, apakah harus tetap meminjam atau saling

berganti barang pribadi, atau berhenti saling meminjam barang sampai

penyakit temannya telah sembuh. Terakhir, tindakan sangat memengaruhi

penularan dan faktor risiko dari skabies. Tindakan memengaruhi penularan

dengan cara apakah dia telah menjaga sanitasi yang baik, dan apakah telah

melakukan pencegahan terhadap skabies (Ridwan, 2017).

Responden yang memiliki perilaku personal hygiene yang buruk

cenderung memiliki gejala skabies (Ridwan, 2017). Personal hygiene juga

menunjukkan hubungan yang bermakna dengan kejadian skabies pada

masyarakat di wilayah kerja Puskesmas Lubuk Buaya Kota Padang tahun

2015 (Yunita et al., 2015).

2.6 KAITAN SANITASI LINGKUNGAN DENGAN SKABIES

Sanitasi lingkungan pondok pesantren meliputi lokasi dan konstruksi

pondok pesantren, penyediaan air bersih, ketersediaan kamar mandi,

pengelolaan sampah, sanitasi dan kepadatan pemondokan, ketersediaan

tempat penyimpanan barang pribadi santri, sanitasi ruang belajar santri, dan

sanitasi masjid pondok pesantren.

Kondisi sanitasi lingkungan pondok pesantren sangat memengaruhi

penularan dan faktor risiko kejadian skabies. Sanitasi lingkungan pondok


27

pesantren yang baik tentunya akan mengurangi peluang untuk risiko

penularan skabies, misalnya kondisi air yang bersih, kondisi dan

ketersiadaan jamban yang baik, pengelolaan sampah yang baik, tingkat

kepadatan pemondokan yang tidak melebihi batas, dan sebagainya (Azwar,

1995).
28

2.7 KERANGKA TEORI

Demografi Jenis Kelamin

Faktor Risiko

Sosial Ekonomi Usia

Perilaku Kebersihan Sanitasi Lingkungan


Perseorangan
Skabies Ketersediaan Air Bersih
Kepadatan Hunian
Ketersediaan Tempat
Penyimpanan Barang
Pribadi

Gambar 2.6 Kerangka teori penelitian.

Keterangan:

: Variabel yang diteliti

: Variabel yang tidak diteliti

Anda mungkin juga menyukai