Anda di halaman 1dari 7

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Skabies atau dikenal juga dengan kudis atau budukan merupakan salah
satu penyakit kulit yang disebabkan oleh Sarcoptes scabiei varian humanis
dan produknya (Handoko et al., 2011).

B. Etiologi

Sarcoptes scabiei termasuk filum arthropoda, kelas arachnida, ordo


ackarina, dan superfamili sarcoptes. Pada manusia disebut Sarcoptes scabiei
varian homini, sedangkan varietas pada mamalia lain dapat menginvestasi
manusia, tetapi tidak hidup lama. Sarcoptes scabiei betina setelah dibuahi
mencari lokasi yang tepat di permukaan kulit untuk kemudian membentuk
terowongan dengan kecepatan 0,5-5 mm per hari. Terowongan pada kulit
dapat sampai ke perbatasan stratum korneum dan stratum granulosum. Di
dalam terowongan ini tungau betina akan tinggal selama hidupnya, yaitu
kurang lebih 30 hari dan bertelur sebanyak 2-3 butir telur sehari (Handoko et
al., 2011).

Gambar 2.1. Gambaran dari Sarcoptes scabiei (Handoko et al., 2011)

Telur akan menetas setelah 3-4 hari menjadi larva yang akan keluar ke
permukaan kulit untuk kemudian masuk lagi ke dalam kulit dengan menggali
6

terowongan, biasanya sekitar folikel rambut untuk melindungi dirinya dan


mendapat makanan. Setelah beberapa hari, berubah menjadi bentuk dewasa
melalui bentuk nimfa. Waktu yang diperlukan dari telur hingga bentuk
dewasa sekitar 10-14 hari. Tungau jantan mempunyai masa hidup yang lebih
pendek dari pada tungau betina dan mempunyai peran yang kecil pada
patogenesis penyakit. Biasanya hanya hidup di permukaan kulit dan akan
mati setelah membuahi tungau betina. Sarcoptes scabiei betina dapat hidup di
luar pada suhu kamar selama lebih kurang 7-14 hari (Handoko et al., 2011).

C. Epidemiologi

Skabies ditemukan hampir di semua negara dengan prevalensi bervariasi.


Prevalensi skabies di negara berkembang sekitar 6-27% populasi umum dan
cenderung tinggi pada anak-anak dan remaja. Daerah endemik skabies adalah
di daerah tropis dan subtropis, yaitu Afrika, Mesir, Amerika Tengah, Amerika
Selatan, Amerika Utara, Australia, Kepulauan Karibia, India, dan Asia
Tenggara. Diperkirakan bahwa terdapat lebih dari 300 juta orang di seluruh
dunia terjangkit tungau skabies (Harahap, 2000; Binic et al., 2010).
Studi epidemiologi memperlihatkan bahwa prevalensi skabies cenderung
tinggi pada anak-anak serta remaja dan tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin,
ras, umur, ataupun kondisi sosial dan ekonomi. Faktor primer yang
berkontribusi adalah kemiskinan dan kondisi hidup di daerah yang padat
sehingga penyakit ini lebih sering di daerah perkotaan. Terdapat bukti
menunjukkan insiden kejadian berpengaruh terhadap musim di mana kasus
skabies lebih banyak didiagnosis pada musim dingin dibandingkan musim
panas (Binic et al., 2010).

D. Faktor Risiko

Faktor risiko skabies adalah (Handoko et all., 2011):


1. Sistem Imun Tubuh
Semakin rendah imunitas seseorang, maka akan semakin besar
kemungkinan orang tersebut untuk terjangkit atau tertular penyakit
skabies. Namun, diperkirakan terjadi kekebalan setelah infeksi.
7

2. Lingkungan dengan Hygiene Sanitasi yang Kurang


Lingkungan yang memungkinkan untuk terjangkit skabies adalah
lingkungan yang lembab, terlalu padat, dan dengan sanitasi yang buruk.
3. Semua Kelompok Umur
4. Kemiskinan
5. Seksual Promiskuitas (Berganti-ganti Pasangan)
6. Diagnosis yang Salah
7. Demografi
8. Ekologi
9. Derajat Sanitasi Individual

E. Patogenesis

Skabies yang disebabkan oleh infestasi Sarcoptes scabiei pada kulit,


diawali dengan kopulasi tungau Sarcoptes scabiei jantan dan betina. Setelah
kopulasi, tungau jantan akan mati atau kadang-kadang masih bisa bertahan
hidup beberapa hari di dalam terowongan yang dibuat oleh tungau betina.
Tungau betina yang telah dibuahi menggali terowongan pada stratum
korneum dengan kecepatan 2-3 mm sehari sambil meletakkan telurnya 2 atau
4 butir sehari sampai mencapai jumlah 40 atau 50. Selanjutnya telur akan
menetas dalam waktu 3-5 hari, menjadi larva dengan 3 pasang kaki (Handoko
et al., 2011).
Larva ini dapat tinggal di dalam terowongan, dapat juga keluar. Setelah
2-4 hari, larva akan berubah menjadi nimfa jantan dan betina dengan 4 pasang
kaki. Proses tersebut berlanjut menjadi tungau dewasa jantan dan betina
dengan 4 pasang kaki. Keseluruhan proses metamorfosis dari telur hingga
menjadi dewasa membutuhkan waktu antara 8-12 hari. Pada suhu kamar
(21oC dengan kelembaban relatif 40-80%) tungau masih dapat hidup di luar
penjamu selama 24-36 jam. Bentuk betina yang telah dibuahi sendiri dapat
hidup 1 bulan lamanya (Handoko et al., 2011).
Kelainan kulit ini selain disebabkan oleh tungau, disebabkan juga oleh
penderita, yaitu akibat garukan. Gatal yang dirasakan penderita, akibat tungau
betina yang selain menempatkan telurnya juga meninggalkan sekret dan
8

ekskret kira-kira sebulan setelah infestasi. Ujud kelainan kulit yang dapat
dijumpai, yaitu papul, vesikel, urtika, dan lain-lain. Apabila dengan garukan
dapat muncul erosi, ekskoriasi, krusta, dan infeksi sekunder (Handoko et al.,
2011).

F. Patofisiologi

Infestasi Sarcoptes scabiei pada lapisan kulit akan memicu respon


imunologis hipersenitivitas tipe 4 atau tipe delayed. Sarcoptes scabiei akan
mengeluarkan suatu enzim, yakni lisozyme dan telur di dalam terowongan
yang dibentuk oleh Sarcoptes scabiei betina (Wolff, 2008).
Adanya lisozyme dan telur beserta sekret eksotoksik yang ada akan
memicu ekspresi antigen oleh APC pada tubuh, dalam hal ini adalah sel
langerhans, yang bertindak sebagai APC di epidermis. Setelah terjadi
pengenalan antigen oleh APC kepada sel Th1, maka sel Th1 akan
tersensitisasi. Setelah sel Th1 tersensitisasi, maka sel Th1 ini akan
mengeluarkan sitokin dan juga mengaktivasi makrofag. Efek dari sitokin
yang ada ini selain mengaktivasi makrofag, namun juga dapat berperan
sebagai pemicu kerja mediator inflamasi seperti histamin (Kindt et al., 2006).
Pruritus pada skabies terutama terjadi pada malam hari. Hal ini
dikarenakan oleh teraktivasinya histamin oleh sitokin dari sel Th1 yang
tersensitisasi. Pruritus yang terjadi biasanya akan menjadi hebat pada malam
hari dikarenakan beberapa faktor. Pada malam hari akan terjadi peningkatan
aktivitas dari patogen sehingga respon imun juga akan bertambah dan
mediator yang berperan pun akhirnya lebih banyak sehingga gatal akan
meningkat di malam hari. Selain itu, pada malam hari keadaan tubuh lebih
pada kondisi parasimpatis, kondisi ini mengakibatkan penurunan tresh hold
respon gatal (Tivoli, 2009).
Papul, vesikel, dan kemerahan, serta ada sumur pada lapisan kulit
merupakan ujud kelainan kulit yang ada pada skabies. Papul yang ada bisa
dikarenakan oleh deposit makrofag yang teraktivasi. Vesikel yang ada
dikarenakan adanya ekstravasasi cairan plasma. Selain itu, kemerahan yang
ada bisa dikarenakan oleh vasodilatasi karena mediator dan sitokin,
9

sedangkan sumur yang ada merupakan suatu galian yang dihasilkan oleh
induk betina dari patogen sebagai tempat penetasan telur, dan deposit dari
gangguan dermatoimunologis yang ada biasanya terjadi pada daerah lipatan
dan juga pada kulit yang tipis, seperti di sela tangan, hal ini dikarenakan oleh
ketebalan kulit di lipatan relatif lebih tipis dan mudah terinvestasi. Biasanya
akan timbul respon menggaruk dari pasien, hal ini sering terjadi dan menjadi
alasan utama timbulnya infeksi sekunder (Wolff, 2008).

G. Penegakan Diagnosis

1. Anamnesis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Terdapat 4 tanda cardinal untuk diagnosis skabies, yaitu (Permenkes RI,
2014):
a) Pruritus nokturnal.
b) Menyerang manusia secara berkelompok.
c) Adanya gambaran polimorfik pada daerah predileksi lesi di stratum
korneum yang tipis (sela jari, pergelangan volar tangan dan kaki, dan
sebagainya).
d) Ditemukannya tungau dengan pemeriksaan mikroskopis.
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan 2 dari 4 tanda tersebut.
Gejala klinis yang ada, yaitu (Permenkes RI, 2014):
a) Pruritus nokturnal, yaitu gatal yang hebat terutama pada malam hari
atau saat penderita berkeringat.
b) Lesi timbul di stratum korneum yang tipis, seperti di sela-sela jari,
pergelangan tangan dan kaki, aksila, umbilikus, areola mammae, dan
di bawah payudara (pada wanita), serta genital eksterna (pria).
c) Faktor risiko pada masyarakat yang hidup dalam kelompok yang
padat, seperti tinggal di asrama atau pesantren, higienitas yang
buruk, sosial dan ekonomi rendah, dan lain-lain.
2. Pemeriksaan Fisik
Lesi kulit berupa terowongan (kanalikuli) berwarna putih atau abu-
abu dengan panjang rata-rata 1 cm. Ujung terowongan terdapat papul,
10

vesikel, dan bila terjadi infeksi sekunder, maka akan terbentuk pustul,
ekskoriasi, dan sebagainya. Pada anak-anak, lesi lebih sering berupa
vesikel disertai infeksi sekunder akibat garukan sehingga lesi menjadi
bernanah (Permenkes RI, 2014).
Lokasi biasanya pada tempat dengan stratum korneum yang tipis,
seperti sela-sela jari tangan, pergelangan tangan bagian volar, siku bagian
luar, lipat ketiak bagian depan, areola mammae (wanita), umbilikus,
bokong, genitalia eksterna (pria), dan perut bagian bawah. Pada bayi
dapat menyerang telapak tangan dan kaki bahkan diseluruh permukaan
kulit, sedangkan pada remaja dan dewasa dapat timbul pada kulit kepala
dan wajah (Permenkes RI, 2014).
c. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang menggunakan pemeriksaan mikroskopis dari
kerokan kulit untuk menemukan tungau (Permenkes RI, 2014).

H. Penatalaksanaan

1. Melakukan perbaikan higienitas diri dan lingkungan, yaitu dengan cara


(Permenkes RI, 2014):
a) Tidak menggunakan peralatan pribadi secara bersama-sama dan alas
tidur diganti bila ternyata pernah digunakan oleh penderita skabies.
b) Menghindari kontak langsung dengan penderita skabies.
2. Terapi tidak dapat dilakukan secara individual melainkan harus serentak
dan menyeluruh pada seluruh kelompok orang yang ada di sekitar
penderita skabies. Terapi diberikan dengan salah satu obat topikal
(skabisid) di bawah ini (Permenkes RI, 2014):
a) Salep 2-4 dioleskan di seluruh tubuh, selama 3 hari berturut-turut,
dan dipakai setiap selesai mandi.
b) Krim permetrin 5% di seluruh tubuh. Setelah 10 jam, krim permetrin
dibersihkan dengan sabun.
11

I. Konseling dan Edukasi

Dibutuhkan pemahaman bersama agar upaya eradikasi skabies bisa


melibatkan semua pihak. Setiap anggota keluarga harus bahu-membahu
membersihkan semua benda yang berpotensi menjadi tempat penyebaran
penyakit (Permenkes RI, 2014).

Anda mungkin juga menyukai