Anda di halaman 1dari 19

REFERAT

SKABIES

Pembimbing:

dr. Nurhasanah, Sp.KK

Disusun oleh:

Muthi’ah Nabillah

1102014175

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA CILEGON
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 16 APRIL -19 MEI

BAB 1
1
Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi terhadap
tungau Sarcoptes scabiei varietas hominis. Sarcoptes scabiei ini dapat ditemukan di
dalam terowongan lapisan tanduk kulit pada tempat-tempat predileksi. Wabah scabies
pernah terjadi pada zaman penjajahan Jepang (1942-1945), kemudian menghilang dan
timbul lagi pada tahun 1965. Hingga kini, penyakit tersebut tidak kunjung reda dan
insidensnya tetap tinggi. pengetahuan dasar tentang penyakit ini diletakkan oleh Von
Hebra, bapak dermatologi modern. Penyebabnya ditemukan pertama kali oleh Benomo
pada tahun 1667, kemudian oleh Mellanby dilakukan percobaan induksi pada
sukarelawan selama perang dunia II. (Handoko, 2011)
Skabies menduduki peringkat ke-7 dari sepuluh besar penyakit utama di
puskesmas dan menempati urutan ke-3 dari 12 penyakit kulit tersering di Indonesia. Ada
dugaan bahwa setiap siklus 30 tahun terjadi epidemi skabies. Banyak faktor yang
menunjang perkembangan penyakit ini, antara lain keadaan sosial ekonomi yang rendah,
higiene yang buruk, hubungan seksual yang sifatnya promiskuitas, kesalahan diagnosis
dan perkembangan dermografik seperti keadaan penduduk dan ekologik. Penyakit ini
juga dapat dimasukkan dalam Infeksi Menular Seksual (IMS). (Murtiastutik, 2005)
Kepustakaan tertua mengenai skabies menyatakan bahwa orang pertama yang
menguraikan skabies adalah dokter Aboumezzan Abdel Malek ben Zohar yang lahir di
Spanyol pada tahun 1070 dan wafat di Maroko pada tahun 1162. Dokter tersebut
menulis sesuatu yang disebut “soab” yang hidup pada kulit dan menimbulkan gatal. Bila
kulit digaruk muncul binatang kecil yang sulit dilihat dengan mata telanjang.3
Pada tahun 1687, Giovan Cosimo Bonomo menulis surat kepada Fransisco Redi
dan menyatakan bahwa seorang wanita miskin dapat mengeluarkan “little bladder of
water” dari lesi skabies anaknya. Surat Bonomo ini kemudian dilupakan orang dan pada
tahun 1812 Gales melaporkan telah menemukan Sarcoptes scabiei dan tungau yang
ditemukannya dilukis oleh Meunir. Sayangnya, penemuan Gales ini tidak dapat
dibuktikan oleh ilmuwan lainnya.. Penemuan Gales baru diakui pada tahun 1839 ketika
Renucci seorang mahasiswa dari Corsica berhasil mendemonstrasikan cara
mendapatkan tungau dari penderita skabies dengan sebuah jarum. (Sungkar, 1995)

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Skabies terjadi baik pada laki-laki maupun perempuan, di semua geografi


daerah, semua kelompok usia, ras dan kelas sosial. Namun menjadi masalah utama pada
daerah yang padat dengan gangguan sosial, sanitasi yang buruk, dan negara dengan
keadaan perekonomian yang kurang. Skabies ditularkan melalui kontak fisik langsung,
(skin-to-skin) maupun tak langsung (pakaian, tempat tidur, yang dipakai bersama)
(Orkin, 2008).

Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi
terhadap tungau Sarcoptes scabiei varietas hominis. Sarcoptes scabiei ini dapat
ditemukan di dalam terowongan lapisan tanduk kulit pada tempat-tempat predileksi.
Sinonim atau nama lain skabies adalah kudis, the itch, gudig, budukan, dan gatal agogo.
Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi terhadap
Sarcoptes scabiei varian hominis dan produknya (Djuanda, 2015).

B. Etiologi

Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi
terhadap Sarcoptes scabiei varian hominis dan produknya. Setelah kopulasi
(perkawinan) yang terjadi di atas kulit, yang jantan akan mati, kadang-kadang masih
dapat hidup beberapa hari dalam terowongan yang digali oleh betina. Tungau betina
yang telah dibuahi mempunyai kemampuan untuk membuat terowongan pada kulit
sampai di perbatasan stratumm korneum dan startum granulosum dengan kecepatan
0,5-5 mm per hari. Di dalam terowongan ini tungau betina akan bertelur (Djuanda,
2015).

Tungau skabies mempunyai empat kaki dan diameternya berukuran 0,3 mm.
Sehingga tidak dapat dilihat dengan mata telanjang. Tungau mampu hidup selama 3 hari

3
jauh dari host dalam tabung reaksi steril, dan selama 7 hari jika ditempatkan di mineral
oil mounts. Tungau ini tidak dapat terbang atau melompat dan hanya dapat hidup selama
30 hari di lapisan epidermis (Orkin, 2008).

C. Epidemiologi

Skabies ditemukan di semua negara dengan prevalensi yang bervariasi. Daerah


endemik skabies adalah di daerah tropis dan subtropis seperti Afrika, Mesir, Amerika
Tengah, Amerika Selatan, Amerika Utara, Australia, Kepulauan Karibia, India, dan Asia
Tenggara (Binic, 2010).

Terdapat lebih dari 300 juta orang di seluruh dunia terjangkit tungau skabies
(Chosidow, 2006). Studi epidemiologi memperlihatkan bahwa prevalensi skabies
cenderung tinggi pada anak-anak serta remaja dan tidak dipengaruhi oleh jenis kelamin,
ras, umur, ataupun kondisi sosial ekonomi. Faktor primer yang berkontribusi adalah
kemiskinan dan kondisi hidup di daerah yang padat (Walton, 2007), sehingga penyakit
ini lebih sering di daerah perkotaan (Orkin, 2008).

Terdapat bukti menunjukkan insiden kejadian berpengaruh terhadap musim


dimana kasus skabies lebih banyak didiagnosis pada musim dingin dibanding musim
panas. Insiden skabies semakin meningkat sejak dua dekade ini dan telah memberikan
pengaruh besar terhadap wabah di rumah-rumah sakit, penjara, panti asuhan, dan panti
jompo (Orkin, 2008).

Ada dugaan bahwa setiap siklus 30 tahun terjadi epidemi skabies. Banyak faktor
yang menunjang perkembangan penyakit ini, antara lain: higiene yang buruk, kesalahan
diagnosis, dan perkembangan dermografik serta ekologi (Djuanda, 2015).

D. Cara Penularan

Cara penularan (Transmisi) :

a. Kontak langsung (kontak dengan kulit), misalnya berjabat tangan,


tidur bersama dan hubungan seksual.

4
b. Kontak tak langsung (melalui benda), misalnya pakaian, handuk,
sprei, bantal, dan lain – lain.

Penularan biasanya oleh Sarcoptes scabiei betina yang sudah dibuahi atau
kadang oleh bentuk larva. Dikenal pula Sarcoptes scabiei varanimalis yang kadang-
kadang dapat menulari manusia, terutama pada mereka yang banyak memelihara
binatang peliharaan misalnya kucing, anjing (Djuanda, 2015).

E. Patogenesis

Siklus hidup terjadi sepenuhnya di kulit manusia. Tungau betina berkembang


biak dengan melakukan gerakan tubuh, membuat terowongan di stratum korneum
sampai batas granulosum. Sepanjang 1 cm, ia meletakkan 2-3 telur sehari dengan masa
hidup telur selama 30 hari. Telur menetas 10 hari kemudian. Tungau jantan hidup di
permukaan kulit dan memasuki terowongan untuk berkembang biak (Craig, 2012).

Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan keterlibatan reaksi hipersensitivitas


tipe IV dan tipe I. Pada reaksi tipe I, pertemuan antigen tungau dengan Imunoglobulin-
E pada sel mast yang berlangsung di epidermis menyebabkan degranulasi sel-sel mast.
Sehingga terjadi peningkatan antibodi IgE. Keterlibatan reaksi hipersensitivitas tipe IV
akan memperlihatkan gejala sekitar 10-30 hari setelah sensitisasi tungau dan akan
memproduksi papul-papul dan nodul inflamasi yang dapat terlihat dari perubahan
histologik dan jumlah sel limfosit T banyak pada infiltrat kutaneus. Kelainan kulit yang
menyerupai dermatitis tersebut sering terjadi lebih luas dibandingkan lokasi tungau
dengan efloresensi dapat berupa papul, nodul, vesikel, urtika dan lainnya. Akibat
garukan yang dilakukan oleh pasien dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta hingga
terjadinya infeksi sekunder (Burns DA, 2004 ; Hicks, 2015).

F. Gambaran Klinis

Kelainan klinis pada kulit yang ditimbulkan oleh infestasi Sarcoptes scabiei
sangat bervariasi. Meskipun demikian kita dapat menemukan gambaran klinis berupa
keluhan subjektif dan objektif yang spesifik.

5
Dikenal ada 4 tanda utama atau cardinal sign pada infestasi skabies, yaitu
(Djuanda, 2015) :
1. Pruritus nocturna
Setelah pertama kali terinfestasi dengan tungau skabies, kelainan kulit
seperti pruritus akan timbul selama 6 hingga 8 minggu. Infeksi yang berulang
menyebabkan ruam dan gatal yang timbul hanya dalam beberapa hari. Gatal
terasa lebih hebat pada malam hari. Hal ini disebabkan karena meningkatnya
aktivitas tungau akibat suhu yang lebih lembab dan panas. Sensasi gatal yang
hebat seringkali mengganggu tidur dan penderita menjadi gelisah.
2. Sekelompok orang
Penyakit ini menyerang manusia secara kelompok, sehingga dalam sebuah
keluarga biasanya mengenai seluruh anggota keluarga. Begitu pula dalam sebuah
pemukiman yang padat penduduknya, skabies dapat menular hampir ke seluruh
penduduk. Suatu kelompok mungkin akan ditemukan individu yang
hiposensitisasi, walaupun terinfestasi oleh parasit sehingga tidak menimbulkan
keluhan klinis akan tetapi menjadi pembawa/carier bagi individu lain.
3. Adanya terowongan
Kelangsungan hidup Sarcoptes scabiei sangat bergantung kepada
kemampuannya meletakkan telur, larva dan nimfa didalam stratum korneum,
oleh karena itu parasit sangat menyukai bagian kulit yang memiliki stratum
korneum yang relative lebih longgar dan tipis.
Lesi yang timbul berupa eritema, krusta, ekskoriasi papul dan nodul yang
sering ditemukan di daerah sela-sela jari, aspek volar pada pergelangan tangan
dan lateral telapak tangan, siku, aksilar, skrotum, penis, labia dan pada areola
wanita. Bila ada infeksi sekunder ruam kulitnya menjadi polimorf (pustul,
ekskoriasi, dan lain-lain).
Erupsi eritematous dapat tersebar di badan sebagai reaksi hipersensitivitas
pada antigen tungau. Lesi yang patognomonik adalah terowongan yang tipis dan
kecil seperti benang, berstruktur linear kurang lebih 1 hingga 10 mm, berwarna
putih abu-abu, pada ujung terowongan ditemukan papul atau vesikel yang
merupakan hasil dari pergerakan tungau di dalam stratum korneum. Terowongan
6
ini terlihat jelas kelihatan di sela-sela jari, pergelangan tangan dan daerah siku.
Namun, terowongan tersebut sukar ditemukan di awal infeksi karena aktivitas
menggaruk pasien yang hebat.

Tempat-tempat predileksi skabies


(Habif, 2004)

4. Menemukan Sarcoptes scabiei


Apabila kita dapat menemukan terowongan yang masih utuh kemungkinan
besar kita dapat menemukan tungau dewasa, larva, nimfa maupun skibala dan ini
merupakan hal yang paling diagnostik. Akan tetapi, kriteria yang keempat ini
agak susah ditemukan karena hampir sebagian besar penderita pada umumnya
datang dengan lesi yang sangat variatif dan tidak spesifik. Pada kasus skabies
yang klasik, jumlah tungau sedikit sehingga diperlukan beberapa lokasi kerokan
kulit. Teknik pemeriksaan ini sangat tergantung pada operator pemeriksaan,
sehingga kegagalan menemukan tungau sering terjadi namun tidak
menyingkirkan diagnosis skabies.

Bentuk Klinis

7
Selain bentuk skabies yang klasik, terdapat pula bentuk-bentuk yang tidak khas,
meskipun jarang ditemukan. Kelainan ini dapat menimbulkan kesalahan diagnostik yang
dapat berakibat gagalnya pengobatan
Bentuk-bentuk skabies antara lain (P, Stone, 2006):
1) Scabies pada orang bersih

Scabies yang terdapat pada orang yang tingkat kebersihannya


cukup bisa salah didiagnosis. Biasanya sangat sukar ditemukan
terowongan. Kutu biasanya hilang akibat mandi secara teratur.

2) Scabies pada bayi dan anak


Lesi scabies pada anak dapat mengenai seluruh tubuh,
termasuk seluruh kepala, leher, telapak tangan, telapak kaki, dan sering
terjadi infeksi sekunder berupa empitigo, ektima sehingga terowongan
jarang ditemukan. Pada bayi, lesi terdapat dimuka.

(Itzhak Brook, 1995)

8
3) Scabies yang ditularkan oleh hewan

Sarcoptes scabiei varian canis dapat menyerang manusia yang


pekerjaannya berhubungan erat dengan hewan tersebut. Misalnya
peternak dan gembala. Gejal ringan, rasa gatal kurang, tidak timbul
terowongan, lesi terutama terdapat pada tempat-tempat kontak. Dan
akan sembuh sendiri bila menjauhi hewan tersebut dan mandi bersih.

4) Scabies Noduler

Nodul terjadi akibat reaksi hipersensitivitas. Tempat yang


sering terjadi adalah genetalia pria, lipat paha, dan aksila. Lesi ini
dapat menetap beberapa minggu hingga beberapa bulan,bahkan satu
tahun walaupun telah mendapatkan pengobatan anti scabies.

(Itzhak Brook, 1995)

5) Scabies Inkognito

Obat steroid tropikal atau sistemik dapat menyamarkan gejala


dan tanda scabies, sementara infestasi tetap ada. Sebaliknya,
pengobatan dengan steroid topikal yang lama dapat pula menyebabkan
lesi bertambah hebat. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena
penularan respon imun seluler.

6) Scabies terbaring ditempat tidur (bed-ridden)

9
Penderita penyakit kronis dan orang tua yang terpaksa
harus tinggal ditempat tidur dapat menderita scabies yang lesinya
terbatas.

7) Scabies krustosa (Norwegian scabies)

Lesinya berupa gambaran eritrodemi, yang disertai


skuamageneralisata, eritema, dan distrofi kuku. Krusta terdapat banyak
sekali. Krusta ini melindungi Sarcotes scabiei dibawahnya. Bentuk ini
sering salah didiagnosis, malah kadang diagnosisnya baru dapat
ditegakkan setelah penderita menularkan penyakitnya ke orang
banyak. Sering terdapat pada orang tua dan orang yang menderita
retardasi mental (Down’s syndrome), sensasi kulit yang rendah (lepra,
syringomelia dan tabes dorsalis), penderita penyakit sistemik yang
berat (leukimia dan diabetes), dan penderita imunosupresif (misalnya
pada penderita AIDS atau setelah pengobatan glukokortikoid atau
sitotoksik jangka panjang).

Craig N. Scabies, Fitzpatrick, 8th 2012

10
G. Pemeriksaan Penunjang

Bila gejala klinis spesifik, diagnosis skabies mudah ditegakkan. Tetapi penderita
sering datang dengan lesi yang bervariasi sehingga diagnosis pasti sulit ditegakkan. Pada
umumnya diagnosis klinis ditegakkan bila ditemukan dua dari empat cardinal sign.
Beberapa cara yang dapat digunakan untuk menemukan tungau dan produknya yaitu
(Orkin, 2008 ; Binic, 2010):

1. Apusan kulit

Kulit dibersihkan dengan eter, kemudian diletakkan selotip pada lesi dan
diangkat dengan gerakan cepat. Selotip kemudian diletakkan di atas gelas objek
dan diperiksa dengan mikroskop.

2. Kerokan kulit

Papul atau kanalikuli yang utuh ditetesi dengan minyak mineral atau KOH 10%
lalu dilakukan kerokan dengan meggunakan scalpel steril yang bertujuan untuk
mengangkat atap papula atau kanalikuli. Bahan pemeriksaan diletakkan di gelas
objek dan ditutup dengan kaca penutup lalu diperiksa dibawah mikroskop.

3. Mengambil tungau dengan jarum

Bila menemukan terowongan, jarum suntik yang runcing ditusukkan kedalam


terowongan yang utuh dan digerakkan secara tangensial ke ujung lainnya
kemudian dikeluarkan. Bila positif, Tungau terlihat pada ujung jarum sebagai
parasit yang sangat kecil dan transparan. Cara ini mudah dilakukan tetapi
memerlukan keahlian tinggi.

4. Tes tinta pada terowongan (Burrow ink test)

Identifikasi terowongan bisa dibantu dengan cara mewarnai daerah lesi dengan
tinta hitam. Papul skabies dilapisi dengan tinta cina, dibiarkan selama 20-30
menit. Setelah tinta dibersihkan dengan kapas alkohol, terowongan tersebut akan

11
kelihatan lebih gelap dibandingkan kulit di sekitarnya karena akumulasi tinta
didalam terowongan. Tes dinyatakan positif bila terbetuk gambaran kanalikuli
yang khas berupa garis menyerupai bentuk zigzag.

5. Membuat biopsi irisan (epidermal shave biopsy)

Diagnosis pasti dapat melalui identifikasi tungau, telur atau skibala secara
mikroskopik. Ini dilakukan dengan cara menjepit lesi dengan ibu jari dan
telunjuk kemudian dibuat irisan tipis, dan dilakukan irisan superficial secara
menggunakan pisau dan berhati-hati dalam melakukannya agar tidak berdarah.
Kerokan tersebut diletakkan di atas kaca objek dan ditetesi dengan minyak
mineral yang kemudian diperiksa dibawah mikroskop.

6. Biopsi irisan dengan pewarnaan Hmatoxilin Eosin.

Sarcoptes scabiei dalam epidermis (panah) dengan pewarnaan H.E

H. Diagnosa Banding

Skabies dapat mirip berbagai macam penyakit sehingga disebut juga “The great
imitator”. Diagnosis banding skabies meliputi hampir semua dermatosis dengan
keluhan pruritus, yaitu dermatitis atopik, dermatitis kontak, prurigo, urtikaria popular,
pioderma, pedikulosis, dermatitis herpetiformis, ekskoriasi-neurotik, liken planus,
penyakit Darier, gigitan serangga, mastositosis, urtikaria, dermatitis eksematoid
infeksiosa, pruritis karena penyakit sistemik, dermatosis pruritik pada kehamilan, sifilis
dan vaskulitis. (Handoko, 2009)

12
I. Komplikasi

Impetiginisasi sekunder dan poststreptococcal glomerulonefritis disebabkan oleh


Streptococcus pyogenes. Limfangitis dan septikemia juga telah dilaporkan pada skabies
krusta (Craig,2012).

J. Pengobatan

Edukasi pada pasien scabies (Djuanda, 2015) :


1. Mandi dengan air hangat dan keringkan badan.
2. Pengobatan yang diberikan dioleskan di kulit dan sebaiknya dilakukan pada malam
hari sebelum tidur selama 10 jam.
3. Hindari menyentuh mulut dan mata dengan tangan.
4. Ganti pakaian, handuk, sprei, yang digunakan, selalu cuci dengan teratur dan
direndam dengan air panas
5. Setiap anggota keluarga serumah sebaiknya mendapatkan pengobatan yang sama
dan ikut menjaga kebersihan.

Dikutip dari Craig N. Scabies, Fitzpatrick, 8th 2012.

13
Pengobatan skabies harus efektif terhadap tungau dewasa, telur dan produknya, mudah
diaplikasikan, nontoksik, tidak mengiritasi, aman untuk semua umur, dan terjangkau
biayanya. Pengobatan skabies yang bervariasi dapat berupa topikal maupun oral.

a. Permethrin
Merupakan sintesa dari pyrethroid, dan bekerja dengan cara mengganggu
polarisasi dinding sel saraf parasit yaitu melalui ikatan dengan natrium.
Hal ini memperlambat repolarisasi dinding sel dan akhirnya terjadi
paralise parasit. Obat ini merupakan pilihan pertama dalam pengobatan
scabies karena efek toksisitasnya terhadap mamalia sangat rendah dan
kecenderungan keracunan akibat kesalahan dalam penggunaannya sangat
kecil. Hal ini disebabkan karena hanya sedikit yang terabsorpsi di kulit
dan cepat dimetabolisme yang kemudian dikeluarkan kembali melalui
keringat dan sebum, dan juga melalui urin. Belum pernah dilaporkan
resistensi setelah penggunaan obat ini.
Permethrin tersedia dalam bentuk krim 5%, yang diaplikasikan selama 8-
12 jam dan setelah itu dicuci bersih. Apabila belum sembuh bisa
dilanjutkan dengan pemberian kedua setelah 1 minggu (Currie, 2010).
Permethrin jarang diberikan pada bayi-bayi yang berumur kurang dari 2
bulan, wanita hamil dan ibu menyusui. Wanita hamil dapat diberikan
dengan aplikasi yang tidak lama sekitar 2 jam. Efek samping jarang
ditemukan, berupa rasa terbakar, perih dan gatal, namun mungkin hal
tersebut dikarenakan kulit yang sebelumnya memang sensitive dan
terekskoriasi (Currie, 2010).
b. Lindane / Gamma benzene heksaklorida
Lindane juga dikenal sebagai hexaklorida gamma benzena, adalah
sebuah insektisida yang bekerja pada sistem saraf pusat (SSP) tungau.
Lindane diserap masuk ke mukosa paru-paru, mukosa usus, dan selaput
lendir kemudian keseluruh bagian tubuh tungau dengan konsentrasi tinggi

14
pada jaringan yang kaya lipid dan kulit yang menyebabkan eksitasi,
konvulsi, dan kematian tungau. Lindane dimetabolisme dan
diekskresikan melalui urin dan feses.
Lindane tersedia dalam bentuk krim, lotion, gel, tidak berbau dan tidak
berwarna. Pemakaian secara tunggal dengan mengoleskan ke seluruh
tubuh dari leher ke bawah selama 12-24 jam dalam bentuk 1% krim atau
lotion. Setelah pemakaian dicuci bersih dan dapat diaplikasikan lagi
setelah 1 minggu. Hal ini untuk memusnahkan larva-larva yang menetas
dan tidak musnah oleh pengobatan sebelumnya. Beberapa penelitian
menunjukkan penggunaan Lindane selama 6 jam sudah efektif.
Dianjurkan untuk tidak mengulangi pengobatan dalam 7 hari, serta tidak
menggunakan konsentrasi lain selain 1%.
Efek samping lindane antara lain menyebabkan toksisitas SSP, kejang,
dan bahkan kematian pada anak atau bayi walaupun jarang terjadi.
Tanda-tanda klinis toksisitas SSP setelah keracunan lindane yaitu sakit
kepala, mual, pusing, muntah, gelisah, tremor, disorientasi, kelemahan,
berkedut dari kelopak mata, kejang, kegagalan pernapasan, koma, dan
kematian. Beberapa bukti menunjukkan lindane dapat mempengaruhi
perjalanan fisiologis kelainan darah seperti anemia aplastik,
trombositopenia, dan pancytopenia (Hicks, 2009).
c. Crotamiton
Crotamion (crotonyl-N-etil-o-toluidin) digunakan sebagai krim 10% atau
lotion. Tingkat keberhasilan bervariasi antara 50% dan 70%. Hasil terbaik
telah diperoleh bila diaplikasikan dua kali sehari selama lima hari
berturut-turut setelah mandi dan mengganti pakaian dari leher ke bawah
selama 2 malam kemudian dicuci setelah aplikasi kedua. Efek samping
yang ditimbulkan berupa iritasi bila digunakan jangka panjang (Hicks,
2009).
Beberapa ahli beranggapan bahwa crotamiton krim ini tidak memiliki
efektivitas yang tinggi terhadap skabies. Crotamiton 10% dalam krim

15
atau losion, tidak mempunyai efek sistemik dan aman digunakan pada
wanita hamil, bayi dan anak kecil (Hicks, 2009).

d. Sulfur Precipitatum
Sulfur adalah antiskabietik tertua yang telah lama digunakan, sejak 25 M.
Preparat sulfur yang tersedia dalam bentuk salep (2% -10%) dan
umumnya salep konsentrasi 6% lebih disukai. Cara aplikasi salep sangat
sederhana, yakni mengoleskan salep setelah mandi ke seluruh kulit tubuh
selama 24 jam selama tiga hari berturut-turut. Keuntungan penggunaan
obat ini adalah harganya yang murah dan mungkin merupakan satu-
satunya pilihan di negara yang membutuhkan terapi massal.
Bila kontak dengan jaringan hidup, preparat ini akan membentuk
hydrogen sulfide dan pentathionic acid (CH2S5O6) yang bersifat germicid
dan fungicid. Secara umum sulfur bersifat aman bila digunakan oleh
anak-anak, wanita hamil dan menyusui serta efektif dalam konsentrasi
2,5% pada bayi. Kerugian pemakaian obat ini adalah bau tidak enak,
mewarnai pakaian dan kadang-kadang menimbulkan iritasi (Hicks, 2009).

e. Benzyl Benzoat
Benzil benzoate adalah ester asam benzoat dan alkohol benzil yang
merupakan bahan sintesis balsam peru. Benzil benzoate bersifat
neurotoksik pada tungau skabies. Digunakan sebagai 25% emulsi dengan
periode kontak 24 jam dan pada usia dewasa muda atau anak-anak, dosis
dapat dikurangi menjadi 12,5%. Benzil benzoate sangat efektif bila
digunakan dengan baik dan teratur dan secara kosmetik bisa diterima.
Efek samping dari benzil benzoate dapat menyebabkan dermatitis iritan
pada wajah dan skrotum, karena itu penderita harus diingatkan untuk
tidak menggunakan secara berlebihan. Penggunaan berulang dapat
menyebabkan dermatitis alergi. Terapi ini dikontraindikasikan pada
wanita hamil dan menyusui, bayi, dan anak-anak kurang dari 2 tahun.

16
Tapi benzil benzoate lebih efektif dalam pengelolaan resistant crusted
scabies. Di negara-negara berkembang dimana sumber daya yang
terbatas, benzil benzoate digunakan dalam pengelolaan skabies sebagai
alternatif yang lebih murah (Hicks, 2009).

L. Pencegahan

Untuk melakukan pencegahan terhadap penularan scabies, orang-orang yang


kontak langsung atau dekat dengan penderita harus diterapi dengan topikal skabisid.
Terapi pencegahan ini harus diberikan untuk mencegah penyebaran scabies karena
seseorang mungkin saja telah mengandung tungau scabies yang masih dalam periode
inkubasi asimptomatik (Orkin, 2008).

Selain itu untuk mencegah terjadinya reinfeksi melalui seprei, bantal, handuk
dan pakaian yang digunakan dalam 5 hari terakhir, harus dicuci bersih dan dikeringkan
dengan udara panas karena tungau scabies dapat hidup hingga 3 hari diluar kulit, karpet
dan kain pelapis lainnya sehingga harus dibersihkan (vacuum cleaner) (Orkin, 2008).

17
BAB III

KESIMPULAN

Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi
terhadap Sarcoptes scabiei var. hominis dan produknya. Penularannya dengan 2 cara,
yaitu kontak langsung dan kontak tak langsung.
Pada penyakit skabies ditemukan 4 tanda cardinal yaitu pruritus nocturna,
menyerang manusia secara berkelompok, adanya terowongan (kunikulus) pada tempat-
tempat predileksi yang berwarna putih atau keabu-abuan dan menemukan tungau.
Bentuk kelainan kulit pada penyakit skabies yaitu ditemukannya papul, vesikel,
erosi, ekskoriasi, krusta dan lain-lain, serta bermanifestasi klinis dalam berbagai variasi.
Bila infeksi sekunder telah terjadi dapat disebabkan bakteri yang ditandai dengan
munculnya pustul maupun timbulnya gejala infeksi sistemik. Penanganan yang menjadi
pilihan utama adalah primethrin 5% topikal yang dioleskan di kulit 8-12 jam serta
edukasi pasien dan keluarga pasien.

18
BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

Binic I, Aleksandar J, Dragan J, Milanka L. Crusted (Norwegian) Scabies Following Systemic


And Topikal Corticosteroid Therapy. J Korean Med Sci; 25: 2010. 88-91.

Burns DA. Diseases Caused by Arthropods and Other Noxious Animals, in: Burns T,
Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Rooks Textbook of Dermatology. Vol.2. USA:
Blackwell publishing; 2004. 37-47.

Chosidow O. Scabies. New England J Med. 2006. July : 354/ 1718-27.

Craig N. Burkhart, Scabies, Other Mites and Pediculosis. Fitzpatrick’s Dermatology in General
Medicine, 8th. USA : McGraw Hill; 2012. 2569

Currie J.B., and James S. McCarthy. Permethrin and Ivermectin for Scabies. New England J
Med. 2010. February : 362/717-724.

Djuanda A, Hamzah M., dan Aisah S. Ed., 2015. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 7.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Habif TP, Hodgson S. Clinical Dermatology. Ed.4. London: Mosby; 2004. 497-506.

Hicks MI, Elston DM. Scabies. Dermatologic Therapy. 2009. November :22/279-292.

Itzhak Brook. Microbiology of Secondary Bacterial Infection in Scabies Lesions. J Clin


Microbiol. 1995. August: 33/2139-2140.

Marks, JG & Miller, JJ 2006, Lookingbill&Marks’s Principles of Dermatology, 4 edn, Elsevier,


Philadelphia.

Murtiastutik D., 2008. Skabies. In: Barakbah J., Lumintang H., and Martodiharjo S. Ed. Buku
Ajar Infeksi Menular Seksual. Airlangga University Press, Surabaya: 202-208.

Orkin Miltoin, Howard L. Maibach Scabies and Pediculosis,. Fitzpatrick’s Dermatology in


General Medicine, 7th. USA: McGrawHill; 2008. 2029-31.

19

Anda mungkin juga menyukai