Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN KASUS

TUMOR LARING

Disusun oleh:
Afifah Faizah Dinillah (1102015009)
Sinta Dwi Maharani (1102013198)

Pembimbing:
dr. Jon Prijadi, Sp.THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK TELINGA HIDUNG TENGGOROK


RSUD KABUPATEN BEKASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
22 FEBRUARI – 14 MARET 2021
BAB I
STATUS PASIEN

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. A
Usia : 53 tahun
Alamat : Wanasari, Bekasi
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status Marital : Sudah Menikah
Pekerjaan : Wirausaha
Tanggal Pemeriksaan : 23 Februari 2021

II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dengan pasien pada tanggal 23
Februari 2021 pukul 11.30 WIB

Keluhan Utama :
Suara serak sejak kurang lebih 6 bulan lalu.
Keluhan Tambahan :
Terdapat benjolan di leher sejak kurang lebih 1 tahun lalu.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke poliklinik THT RSUD Kabupaten Bekasi dengan
keluhan suara serak. Keluhan sudah dirasakan sejak kurang lebih 6 bulan
yang lalu. Keluhan disertai timbul benjolan di leher kanan sejak 1 tahun yang
lalu. Benjolan teraba kenyal berukuran 3 cm x 3 cm dan ikut bergerak saat
pasien menelan. Keluhan suara serak dirasakan semakin memberat dalam dua
minggu terakhir dimana mengganggu pasien berbicara. Keluhan suara serak
disertai nyeri pada tenggorokan, rasa mengganjal di tenggorok, dahak di
tenggorok dan belum terasa sesak. Pasien mengaku keluhan ini muncul setiap
hari dan semakin memberat terutama sejak dua minggu terakhir. Pasien juga

2
mengeluhkan benjolan pada leher terasa sedikit nyeri. Pasien mengaku
memiliki kebiasaan sering mengkonsumsi ayam goreng tepung setiap hari
karena pasien menjualnya dan sering mengkonsumsi makanan dalam
kemasan kaleng dan mie instan. Keluhan batuk, demam, keluar darah dari
tenggorokan, mimisan, nyeri kepala, pandangan ganda, telinga terasa penuh
disangkal. Riwayat alergi makanan, obat-obatan, cuaca dan debu disangkal.
Riwayat merokok dan mengkonsumsi alkohol disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat operasi (-)
Riwayat hipertensi (-)
Riwayat ISPA (-), infeksi telinga (-)
Riwayat asma (-), rhinitis alergi (-)
Riwayat DM (-), penyakit paru (-) dan penyakit jantung (-).

Riwayat Penyakit Keluarga


Ayah pasien memiliki suara serak secara tiba-tiba namun tidak di periksa ke
dokter.

Riwayat Pengobatan
Pasien berobat ke RS Karya Medika sebelum ke RSUD Kabupaten Bekasi
dengan keluhan yang sama dan di berikan obat namun tidak kunjung
membaik.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda Vital
 Tekanan darah : 120/70 mmHg
 Nadi : 86 x / menit
 Respirasi : 20 x / menit

3
 Suhu : 36,50C
Kepala : Normocephal, tidak ada nyeri tekan, tidak teraba massa
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat,
isokor, RCL/RCTL (+/+)
Leher : Trakea ditengah, teraba massa dengan ukuran 3 cm x 3
cm, teraba kenyal, terfiksir dan bergerak saat menelan

Thorax
 Pulmo : Pergerakan dinding dada simetris kanan kiri, suara nafas
vesikuler simetris kanan kiri, rhonki (-/-) maupun
wheezing
(-/-)
 Jantung : Bunyi jantung 1 dan 2 normal reguler, murmur (-) maupun
gallop (-)
Abdomen : Bising usus (+) normal, nyeri tekan (-)
Ekstremitas : Akral hangat, edema (-)
Neurologis : Tidak dilakukan

IV. STATUS LOKALIS


A. Telinga
Bagian Kelainan Auris
Dextra Sinistra
 Kelainan kongenital Tidak ada Tidak ada
 Radang tumor Tidak ada Tidak ada
Preaurikula
 Trauma Tidak ada Tidak ada
 Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada
 Kelainan kongenital Tidak ada Tidak ada
 Radang tumor Tidak ada Tidak ada
Aurikula
 Trauma Tidak ada Tidak ada
 Nyeri Tarik Tidak ada Tidak ada
Retroaurikula  Edema Tidak ada Tidak ada

4
 Hiperemis Tidak ada Tidak ada
 Nyeri Tekan Tidak ada Tidak ada
 Sikatrik Tidak ada Tidak ada
 Fistula Tidak ada Tidak ada
 Fluktuasi Tidak ada Tidak ada
 Kelainan Kongenital Tidak ada Tidak ada
 Kulit Tidak hiperemis Tidak hiperemis
 Sekret Tidak ada Tidak ada
Canalis
 Serumen Tidak ada Tidak ada
Akustikus
 Edema Tidak ada Tidak ada
Eksternus
 Jaringan Granulasi Tidak ada Tidak ada

 Massa Tidak ada Tidak ada

 Kolestetoma Tidak ada Tidak ada


 Bentuk  Normal  Normal
 Warna  Putih mutiara  Putih mutiara
Membran  Intak  Intak  Intak
Timpani  Cahaya  Terlihat cone  Terlihat cone
of light di of light di
arah jam 5 arah jam 7

Tes Pendengaran :
Pemeriksaan Auris
Dextra Sinistra
Tes Bisik Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Tes Rinne Positif Positif
Tes Weber Tidak ada lateralisasi
Tes Swabach Sama dengan pemeriksa
Kesan : Normal

B. Hidung
Nasal
Bagian Kelainan
Dextra Sinistra
Keadaan  Bentuk Normal Normal

5
Luar  Ukuran
Rhinoskop  Mukosa  Tidak hiperemis  Tidak hiperemis
i Anterior  Sekret  Tidak ada  Tidak ada
 Krusta  Tidak ada  Tidak ada
 Concha  Hipertrofi  Hipertrofi
Inferior
 Chonca  Eutrofi  Eutrofi
Media
 Septum  Tidak ada septum  Tidak ada septum
deviasi deviasi

 Meatus  Terbuka  Terbuka


Media
 Polip/Tumo  Tidak tampak massa  Tidak tampak massa
r
 Pasase
Udara

Rhinoskop  Mukosa
i Posterior  Koana
 Sekret
 Torus
 Tidak dapat  Tidak dapat
tubarius
dinilai dinilai
 Fossa
Rossenmull
er
 Adenoid

6
A. Sinus Paranasal

Inspeksi :
 Edema & hiperemis pada maksilla, palpebra superior dan inferior : (-)
Palpasi :
 Nyeri tekan maksilla sinistra (-)
 Nyeri tekan pada medial atap orbita : (-)
 Nyeri tekan pada daerah kantus medius (-)
Transluminasi : Tidak dilakukan

B. Mulut dan Orofaring


Bagian Kelainan Keterangan
 Mukosa mulut  Tidak hiperemis
 Lidah  Tidak deviasi
 Palatum Mole  DBN
 Gigi Geligi  Berlubang (-), Karies (-)
Mulut

 Uvula  Tidak deviasi


 Halitosis  (-)

7
 Mukosa  Tidak hiperemis
 Besar  T1-T1
 Kripta  Tidak ada
 Detritus  Tidak ada
 Perlengketan  Tidak ada

Tonsil

 Mukosa  Tidak Hiperemis


Faring  Granulasi  Tidak terdapat granulasi
 Post Nasal Drip  (-)

 Epiglotis  DBN
 Kartilago Aritenoid  DBN
 Plica Ariepiglotika  DBN
Laring  Plica Vestibularis  DBN
 Plica Vokalis  Nodul Bilateral (+)
 Rima Glotis  DBN
 Trakea  DBN

C. Maxillofacial
Bagian Keterangan
Maxillofacial
 Bentuk Tidak ditemukan kelainan
 Parese N. Cranialis

D. Leher

8
Bagian Keterangan
Leher
 Bentuk  Bentuk normal, trakea berada di
 Massa tengah
 Massa (+) dengan ukuran 3 cm x
3 cm, teraba kenyal, terfiksir
dan bergerak saat menelan,
pembesaran KGB (-)

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Nasoendoscopy:

Gambar 1-4 Konka Dextra &


Sinistra
 Chonca inferior hipertrofi (+ / +)
 Chonca media eutrofi (+ / +)
 Meatus media terbuka
 Polip / massa (-)
 Nasofaring dbn

Rhinolaringoskopi Fiber Optik (RLFO)

9
Gambar 1-4
 Epiglotis : Hiperemis (-)
 Aritenoid : Edema (-), hiperemis (-)
 Plika Vocalis : pergerakan simetris,
hiperemis (-), tanpak nodul di kedua
sisi plika vocalis
 Plica ventricularis : pergerakan
simetris, hiperemis (-)
 Sinus piriformis : standing sekresi (-)
 Rima glottis : Terbuka

Kesan : Nodul di kedua pita suara

VI. RESUME
Pasien datang ke poliklinik THT RSUD Kabupaten Bekasi dengan keluhan
suara serak sudah sejak 6 bulan yang lalu. Keluhan disertai timbul benjolan di
leher kanan sejak 1 tahun yang lalu. Keluhan suara serak dirasakan semakin

10
memberat dalam dua minggu terakhir dimana mengganggu pasien berbicara.
Keluhan suara serak disertai nyeri pada tenggorokan, rasa mengganjal di
tenggorok, dahak di tenggorok dan belum terasa sesak. Pasien mengaku
keluhan ini muncul setiap hari dan semakin memberat terutama sejak dua
minggu terakhir. Pasien juga mengeluhkan benjolan pada leher terasa sedikit
nyeri. Pasien mengaku memiliki kebiasaan sering mengkonsumsi ayam
goreng tepung setiap hari karena pasien menjualnya dan sering mengkonsumsi
makanan dalam kemasan kaleng dan mie instan. Pada pemeriksaan tanda vital
dan status generalis dalam batas normal.

Pada pemeriksaan status lokalis di termukan:

Mulut & Orofaring


 Plica Vokalis : Terdapat Nodul Bilateral

Leher
 Massa (+) dengan ukuran 3 cm x 3 cm, teraba kenyal, terfiksir dan
bergerak saat menelan, pembesaran KGB (-)

Nasoendoscopy:

Gambar 1-4 Konka Dextra &


Sinistra
 Chonca inferior hipertrofi
(+ / +)
 Chonca media eutrofi (+ / +)
 Meatus media terbuka
 Polip / massa (-)
 Nasofaring dbn

Rhinolaringoskopi Fiber Optik (RLFO)

11
Gambar 1-4
 Epiglotis : Hiperemis (-)
 Aritenoid : Edema (-), hiperemis
(-)
 Plika Vocalis : pergerakan
simetris, hiperemis (-), tanpak
nodul di kedua sisi plika vocalis
 Plica ventricularis : pergerakan
simetris, hiperemis (-)
 Sinus piriformis : standing sekresi
(-)
 Rima glottis : Terbuka

Kesan : Nodul di kedua pita suara

VII. DIAGNOSIS BANDING


 Tumor Laring Jinak
 Tumor Laring Ganas

VIII. DIAGNOSIS KERJA


 Dysfonia e.c. Tumor Laring suspek keganasan

IX. PENATALAKSANAAN

Konseling dan Edukasi

12
 Menjelaskan kepada pasien mengenai, penyakit, tatalaksana,
komplikasi dan prognosis penyakit.
 Menjelaskan tujuan dari biopsi untuk diagnosis penyakit.
 Tidak banyak berbicara (vocal rest)
 Menghindari faktor iritan seperti asap rokok, debu, minuman es,
makanan asam & berpengawet
 Menjelaskan bahwa penyakit ini merupakan penyakit non-infeksi yang
yang mengarah ke keganasan dan diperlukan pemeriksaan lebih lanjut
untuk mengetahui pasti kelainan tersebut.

Kriteria Rujukan
 Kesulitan bernapas dan menelan
 Merasa seperti ada yang mengganjal pada tenggorokan
 Benjolan pada leher

Medikamentosa
 Analgetic : Paracetamol 3 x 500 mg
 Mukolitik : Ambroxol 2 x 30 mg

Saran Tindakan
- Rujuk ke Spesialis THT-KL
- Foto thorax
- CT scan laring
- Biopsi Nodul Pita Suara dan FNAB Tiroid

X. PROGNOSIS
Quo Ad Vitam : ad Bonam

13
Quo Ad Functionam : ad Bonam
Quo Ad Sanationam : ad Bonam

14
BAB II
PEMBAHASAN

Anatomi Laring
Laring adalah organ khusus yang mempunyai sphincter pelindung pada
pintu masuk jalan napas dan berfungsi dalam pembentukan suara. Di atas, laring
terbuka ke dalam laryngopharynx dan di bawah laring berlanjut ke trakea.
Kerangka yang menyusun laring berjumlah sembilan kartilago yang saling
dihubungkan oleh ligament, membran dan otot serta disusun oleh epitel respiratori
dan squamosa berlapis. Terdapat tiga kartilago tunggal yaitu thyroid, cricoid, dan
epiglottis serta tiga lainnya merupakan kartilago berpasangan yaitu arytenoid,
corniculata, dan kueniformis. Kartilago thyroidea merupakan kartilago terbesar di
antara enam kartilago lainnya, terdiri dari dua lamina yang bersatu di bagian
depan dan mengembang kearah belakang. Kartilago krikoid terletak di belakang
kartilago tiroid merupakan tulang rawan yang paling bawah dari laring. Di setiap
sisi tulang rawan krikoid melekat ligamentum krikoaritenoid, otot krikoaritenoid
lateral dan di bagian belakang melekat otot krikoaritenoid. Kartilago arytenoidea
merupakan kartilago kecil, dua buah, dan berbentuk seperti piramida. Keduanya
terletak di belakang laring, pada pinggir atas lamina kartilago krikoidea.
Kartilago corniculata adalah dua buah nodulus kecil yang bersendi dengan
apeks cartilaginis arytneoidea dan merupakan tempat lekat plica aryepiglotica.
Kartilago kuneiformis merupakan dua krtilago kecil berbentuk batang yang
terletak sedemikian rupa sehingga masing-masing terdapat di dalam satu plica
aryepiglottica. Epiglotis adalah sebuah kartilago elastis berbentuk daun yang
terletak di belakang radiks lingua. Di sini, terdapat plica glossoepiglotica mediana
dan plica glossoepiglotica lateralis. Vallecuale adalah cekungan pada membrane
mukosa di kanan dan kiri glossoepiglotica.
Kavitas larings terbentang dari aditus sampai ke pinggir bawah kartilago
cricoidea, dan dapat dibagi menjadi tiga bagian; (1) bagian atas atau vestibulum,
(2) bagian tengah, dan (3) bagian bawah.

15
Vestibulum larynges terbentang dari aditus larynges sampai ke plica
vestibularis. Plica vestibularis yang bewarna merah muda menonjol ke medial.
Rima vestibule adalah celah di antara plica vestibularis. Ligamentum vestibularis
yang terletak di dalam setiap plica vestibularis merupakan pinggir bawah
membrane quadrangularis yang menebal. Ligamentum ini terbentang dari
kartilago thyroidea sampai ke kartilago arytenoidea.
Laring bagian tengah terbentang dari plica vestibularis sampai setinggi
plica vocalis. Plica vocalis bewarna putih dan berisi ligamentum vocale. Rima
glottides adalah celah di antara plica vocalis di depan dan prosessus vcalis
kartilaginis arytneoidea di belakang.
Laring di bagian bawah terbentang dari plica vocalis sampai ke pinggir
bawah kartilago cricoidea. Membran mukosa laring melapisi kavitas laryngeus
dan ditutupi oleh epitel silindris bersilia. Namun, pada plica vocalis, tempat
membrane mukosa sering mengalami trauma saat fonasi, maka membrane
mukosanya dilapisi oleh epitel berlapis gepeng.

Gambar 1: anatomi struktur penyangga laring

Otot-otot laring dapat dibagi menjadi dua kelompok; (1) ekstrinsik dan (2)
intrinsik.

16
Otot-otot ekstrinsik dapat dibagi dalam dua kelompok yang berlawanan,
yaitu kelompok elevator laring dan depressor laring. Laring tertarik ke atas selama
proses menelan dan ke bawah sesudahnya. Karena os hyoideum melekat pada
kartilago thyroidea melalui membrane thyroihyoidea, gerakan os hyoideum akan
diikuti oleh gerakan laring.
1) Otot-otot elevator laring meliputi m.digastricus, m.stylohyoideus,
m.geniohyoideus. M.stylopharyngeus, m.salphingopharyngeus, dan
m.palatopharyngeus yang berinsersio pada pinggir posterior lamina
kartilaginis thyroidea juga mengangkat laring.
2) Otot depressor laring meliputi m.sternohyoideus, m.sternothyroideus, dan
m.momohyoideus. Kerja otot-otot ini dibantu oleh daya pegas trakea yang
elastis.

Otot-otot intrinsik dapat dibagi menjadi dua kelompok; kelompok yang


mengendalikan aditus laringis dan kelompok yang menggerakkan plica vocalis.(9)
Terdapat dua sphincter pada laring yaitu (1) pada aditus larynges dan (2)
pada rima glottis. Sphincter pada aditus larynges hanya berfungsi pada saat
menelan. Ketika bolus makanan dipindahkan ke belakang di antara lidah dan
palatum durum, laring tertarik ke atas di bawah bagian belakang lidah. Aditus
larynges menyempit akibat kontraksi m.artynoideus obliqus dan m.aryepiglotica.
Epiglotis didorong ke belakang oleh lidah dan berfungsi sebagai sungkup di atas
aditus larynges. Bolus makanan atau cairan kemudian masuk ke dalam esophagus
dengan berjalan di atas epiglottis atau turun ke bawah lewat alur pada sisi-sisi
aditus larynges, yaitu melalui fossa piriformis.
Ketika batuk atau bersin, rima glotidis berfungsi sebagai sphincter. Setelah
inspirasi, plica vocalis mengalami adduksi, dan otot-otot ekspirasi berkontraksi
dengan kuat. Akibatnya, tekanan di dalam toraks meningkat, dan dalam waktu
yang sama plica vocalis mendadak adduksi. Pelepasan mendadak dari udara yang
terkompresi seringkali diikuti pula keluarnya partikel asing atau mucus dari
saluran pernapasan dan selanjutnya masuk ke faring. Disini, partikel-partikel ini
akan ditelan atau dikeluarkan.

17
Pada keadaan abdomen tegang seperti saat miksi, defekasi dan melahirkan,
udara sering ditahan sesaat di saluran pernapasan dengan cara menutup rima
glotidis. Sesudah inspirasi dalam, rima glotidis ditutup. Kemudian otot-otot
dinding anterior abdomen berkontraksi dan gerakan naik dari diafragma dicegah
oleh adanya udara yang tertahan di saluran pernapasan. Setelah usaha yang cukup
lama, orang tersebut sering melepaskan sejumlah udara dengan membuka rima
glotidisnya sekejap dan menimbulkan suara mengeluh.

Gambar 2: otot-otot intrinsik laring.

Pelepasan udara ekspirasi secara terputus-putus melalui plica vocalis yang


sedang adduksi akan menggetarkan plica tersebut dan menimbulkan suara.
Frekuensi atau tinggi suara ditentukan oleh perubahan panjang dan tegangan
ligamentum vocale. Kualitas suara tergantung pada resonator di atas laring, yaitu
faring, mulut dan sinus paranasalis. Kualitas dikendalikan oleh otot-otot palatum
molle, lidah, dasar mulut, pipi, bibir, dan rahang. Bicara normal tergantung pada
kemampuan modifikasi suara menjadi konsonan-konsonan dan vokal yang

18
dikenali dengan menggunakan lidah, gigi, dan bibir. Bunyi vokal biasanya murni
dari mulut dengan palatum molle terangkat; yaitu udara disalurkan melalui mulut
dan bukan melalui hidung. Dokter menguji mobilitas palatum molle dengan
meminta pasien mengucapkan ‘ah’ dengan mulut terbuka.
Bicara melibatkan pelepasan udara ekspirasi secara terputus-putus melalui
plica vocalis yang teradduksi. Menyanyi satu nada membutuhkan pelepasan udara
ekspirasi yang lebih lama lewat plica vocalis yang teradduksi. Pada berbisik, plica
vocalis teradduksi, tetapi kartilago arytneoidea terpisah; vibrasi terjadi akibat
getaran udara ekspirasi secara tetap melalui bagian posterior rima glotidis.
Maka secara ringkas dapat dikatakan terdapat satu otot abduktor, tiga
aduktor dan tiga otot tensor seperti yang diberikan seperti berikut:

ABDUKTOR ADDUKTOR TENSOR


Krikotiroideus posterior Interaritenoideus Krikotiroideus (eksterna)
Krikoaritenoideus lateralis Vokalis (interna)
Krikoaritenoideus Tiroaritenoideus (interna)

Laring dipersarafi oleh saraf sensorik yang mempersarafi membran


mukosa laring di atas plica vocalis dan berasal dari n.laryngeus internus, cabang
dari n.laryngeus superior (cabang n. vagus). Di bawah plica vocalis, membrane
mukosa dipersarafi oleh n. laryngeus recurrens. Saraf motorik ke otot-otot
intrinsik laring berasal dari n. laryngeus recurrens, kecuali m. cricothyroideus
yang dipersarafi oleh ramus laryngeus externus dari n. laryngeus superior (n.
vagus)..
Suplai arteri ke setengah bagian atas laring berasal dari ramus laryngeus
superior a. thyroidea superior. Setengah bagian bawah laring didarahi oleh ramus
laryngeus inferior a. thyroidea inferior.

19
Gambar 4: suplai darah arteri pada laring.

Pembuluh limfe bermuara ke dalam nodi lymphoidei cervicalis profunda.

Terdapat dua sistem drainase terpisah, superior dan inferior, dimana garis
pemisah adalah korda vokalis sejati. Disebelah superior, aliran limfe menyertai
pedikulus neurovaskuler superior untuk bergabung dengan nodi limfatisis superior
dari rangkaian servikalis profunda setinggi os hioideus. Drainase subglotis lebih
beragam, yaitu ke nodi limfatisi pretrakeales (satu kelenjar terletak tepat didepan
krikoid dan disebut nodi Delphian), kelenjar getah bening servikalis profunda
inferior, nodi supraklavikularis dan bahkan nodi mediastinalis superior. Laring
mempunyai 3 (tiga) sistem penyaluran limfe, yaitu:
1. Daerah bagian atas pita suara sejati, pembuluh limfe berkumpul membentuk
saluran yang menembus membrana tiroidea menuju kelenjar limfe cervical
superior profunda. Limfe ini juga menuju ke superior dan middle jugular
node.
2. Daerah bagian bawah pita suara sejati bergabung dengan sistem limfe
trakea, middle jugular node, dan inferior jugular node.
3. Bagian anterior laring berhubungan dengan kedua sistem tersebut dan
system limfe esofagus. Sistem limfe ini penting sehubungan dengan metastase
karsinoma laring dan menentukan terapinya.

20
Definisi
Tumor laring merupakan suatu neoplasma yang di tandai dengan tumor yang
berasal dari epitel struktur laring dan merupakan massa abnormal jaringan yang
pertumbuhannya berlebihan dan tidak terkoordinasikan dengan pertumbuhan
jaringan normal meskipun rangsangan yang memicu perubahan tersebut berhenti
(7)

2.4 Etiologi
a. Asap rokok dan alkohol(7)
Etiologi karsinoma laring belum diketahui dengan pasti. Dikatakan oleh
para ahli bahwa perokok dan peminum alkolhol merupakan kelompok
orang-orang dengan risiko tinggi terhadap karsinoma laring. Penelitian
epidemiologik menggambarkan beberapa hal yang diduga menyebabkan
terjadinya karsinoma laring yang kuat adalah rokok alkohol dan terpajan
oleh sinar radioaktif.
b. Karsinogen lingkungan
Arsen (pabrik, obat serangga), asbes (lingkungan, pabrik, tambang), gas
mustar (pabrik), serbuk nikel (pabrik, lingkungan), polisiklik hidrokarbon
(pabrik, lingkungan), vinil klorida (pabrik), dan nitrosamin (makanan yang
diawetkan, ikan asin).
c. Human papilloma virus (HPV)
Predileksi di korda vokalis. Awalnya tumbuh jaringan berupa papil-papil
(papiloma) kemudian terjadi perubahan maligna menjadi karsinoma
verukosa (verrucous carcinoma).

2.5 Klasifikasi

A. Tumor jinak laring

21
Tumor jinak laring tidak banyak ditemukan, hanya kurang lebih 5%
dari semua jenis tumor laring. Tumor jinak laring dapat berupa:
1. Papiloma laring
Tumor ini dapat digolongkan dalam 2 jenis:
 Papiloma laring juvenil, ditemukan pada anak, biasanya
berbentuk multipel dan mengalami regresi pada waktu dewasa.
Bentuk juvenil, tumor ini dapat tumbuh pada pita suara bagian
anterior atau daerah subglotik. Dapat pula tumbuh di plika
ventrikularis atau aritenoid. Secara makroskopik bentuknya
seperti buah murbei, berwarna putih kelabu dan kadang-kadang
kemerahan. Jaringan tumor ini sangat rapuh dan kalau di potong
tidak menyebabkan perdarahan. Sering tumbuh kembali setelah
diangkat.
 Pada orang dewasa biasanya berbentuk tunggal, tidak akan
mengalami resolusi dan merupakan prekanker.
2. Adenoma
Merupakan tumor yang berasal dari glandula saliva. Lesi ini jarang
ditemukan pada laring. Ketika terdapat adenoma pada laring, tempat
paling sering ditemukan yaitu pada epiglottis.
3. Kondroma
Merupakan lesi yang pertumbuhannya lambat ( slow growing lession)
yang tersusun atas kartilago hialin. Tidak ada penyebab definitif dari
kondroma laring, umumnya diakibatkan osifikasi kartilago laring yang
irreguler. Pada umumnya, kondroma laring muncul pada internal
posterior kartilago krikoid, kartilogo thyroid, kartilago arytenoid, dan
kartilago epiglottic.

4. Mioblastoma sel granular


Mioblastoma sel granular atau granuler atau Granular cell tumor
merupakan jinak, tumbuh perlahan berasal dari sel Schwann. GCT
laring merupakan tumor berukuran kecil, berbentuk bulat, berbatas

22
tegas yang dilapisi submukosa berwarna abu-abu atau kuning, mendatar
dan memiliki mukosa yang normal.

Gambar 5: Granular Cell Tumor


5. Hemangioma
Hemangioma adalah tumor jinak yang merupakan proliferasi dan
dilatasi abnormal dari pembuluh darah. Hemangiomasering terjadi pada
bayi yang baru lahir dan anak usia < 1 tahun. Pada orang dewasa,
hemangioma jarang terjadi dan tidak regresi spontan. Hemangioma
sering ditemukan kuadran posterior lateral kiri dari subglottis, plika
vokalis.
6. Lipoma laring
Lipoma merupakan tumor jaringan mesenkimal. Beberapa peneliti
berpendapat bahwa lipoma dapat muncul dari embriogenetik sel
lipoblast atau metaplasia dari sel otot. Tumor tampak seperti massa
pedunculata, seperti kista dengan permukaan yang halus dan berlobus,
berkapsul, dan terbungkus mukosa norml berwarna merah muda-
kekuningan.
7. Neurofibroma
Neurofibroma merupakan tumor langka yang berasal dari sel-sel
schwan. Tumor umumnya berasal dai lipatan ariepiglotika

23
B. Tumor Ganas
Karsinoma sel skuamosa dibagi 3 tingkat diferensiasi
a. Berdiferensiasi baik (Grade I)
b. Berdiferensiasi sedang (Grade II)
c. Berdiferensiasi buruk (Grade III)
Kebanyakan tumor ganas pita suara berdiferensiasi dengan baik.
Lesi yang mengenai hipofaring, sinus piriformis dan plika ariepiglotika
kurang berdiferensiasi baik.

Klasifikasi Letak Tumor


a. Tumor supraglotik terbatas pada daerah mulai dari tepi atas epiglotis
sampai batas atas glotis termasuk pita suara palsu dan ventrikel laring.
b. Tumor glotik mengenai pita suara asli. Batas inferior glotik adalah 10
mm dibawah tepi bebas pita suara, 10 mm merupakan batas inferior
otot-otot intrinsik pita suara. Oleh karena itu, tumor glotik dapat
mengenai 1 atau kedua pita suara, dapat meluas ke subglotik sejauh
10 mm, dan dapat mengenai komisura anterior atau posterior atau
prosesus vokalis kartilago adenoid.
c. Tumor subglotik tumbuh lebih dari 10 mm di bawah tepi bebas pita
suara asli sampai batas krikoid.
d. Tumor ganas transglotik adalah tumor yang menyeberangi ventrikel
mengenai pita suara asli dan pita suara palsu, atau meluas ke
subglotik lebih dari 10 mm.

24
Gambar 6: gambaran letak tumor dan
gejala yang biasa timbul dari letaknya.

 Glottis carcinoma
Karsinoma invasif glotis secara biologis umumnya kurang agresif
dibandingkan dengan karsinoma sel skuamosa supraglotik atau
hypopharyngeal. Dari histologinya biasanya baik untuk berdiferensiasi
sedang, dan tanpa disertai metastasis jauh. Hal ini diduga karena limfatik
submukosa di pita suara sangat jarang dan mungkin mencerminkan
perilaku biologis ke arah karsinoma berdiferensiasi baik. Gejala hadir
lebih awal karena sebagian besar tumor berasal dari permukaan bebas di
lipatan pita suara dua per tiga anterior di mana suara serak adalah gejala
pertamanya. Di stadium awal, radioterapi atau konservatif menjadi terapi
terbaik tanpa perlu direncanakan manajemen operasi leher eletif.

 Supraglottis carcinoma
Karsinoma supraglotik melibatkan wilayah: superior oleh batas
bebas epiglotis dan inferior oleh pita suara palsu dan ventrikel laring.
Lateral oleh aspek medial lipatan aryepiglotik. Neoplasma ini cenderung
menyebar dengan ekstensi lokal. Ada kecenderungan kuat untuk
karsinoma supraglotik untuk menyebar melalui limfatik. Sejumlah

25
laporan memperkirakan bahwa 39-65% pasien dengan T2 untuk
karsinoma supraglotik T4 datang dengan metastasis kelenjar getah
bening yang jelas, sedangkan 32-34% dari pasien tersebut memiliki node
patologis positif.

 Subglottis carcinoma
Karsinoma subglotik sangat jarang terjadi dengan hanya 1% dari
2%. 180 kasus karsinoma laring yang terletak 1 cm di bawah pita suara
menurut Shaba dan Shah. Gambaran klinis biasanya adanya obstruksi
jalan napas. Pasien mungkin memiliki insufisiensi saluran napas dan
memperoleh bantuan langsung bila diintubasi. Lesi subglotik biasanya
muncul di bawah konus elastikus (1 cm di bawah tepi bebas dari pita
suara sejati) dan menyebar secara lokal untuk menyerang tulang rawan
dan kelenjar tiroid melalui penyebaran limfatik menuju nodus jugularis
profunda, nodus Delphian(prelaryngeal), dan nodus paratrakeal.

Kanker laring dibagi berdasar system TNM (tumor, nodul,


metastasis) milik American Joint Committee on Cancer. Untuk
kepentingan staging, nodul postif di leher termasuk dalam metastasis
lokoregional; metastasis di bagian tubuh yang lain (seperti paru,
mediastinum, hepar dan tulang) termasuk dalam metastasis jauh. Untuk
pertama kalinya, tumor T4 dibagi menjadi tumor stage IV dibagi
menjadi IV.A, IV.B dan IV.C (adanya metastasis jauh). Studi yang
dilakukan sebelumnya, bagaimanapun juga, mengacu pada system lama
yakni tahun 1998 di mana terdapat T4 yang berdiri sendiri.

Klasifikasi Tumor Ganas Laring berdasarkan stadium


Tumor primer (T)
a. Supraglotis
Tis: Karsinoma insitu
T1: Tumor terdapat pada satu sisi suara/pita suara palsu (gerakan
masih baik).

26
T2: Tumor sudah menjalar ke 1 dan 2 sisi daerah supraglotis dan
glotis masih bisa bergerak (tidak terfiksir).
T3: Tumor terbatas pada laring dan sudah terfiksir atau meluas ke
daerah ke krikod bagian belakang, dinding medial dari sinus
piriformis, dan kearah rongga preepiglotis.
T4: Tumor sudah meluas keluar laring, menginfiltrasi orofaring
jaringan lunak pada leher atau sudah merusak tulang rawan tiroid.

b. Glotis
Tis: Karsinoma insitu.
T1: Tumor mengenai satu atau dua sisi pita suara, tetapi gerakan
pita suara masih baik, atau tumor sudah terdapat pada kommisura
anterior atau posterior.
T2: Tumor meluas ke daerah supraglotis atau subglotis, pita
suara masih dapat bergerak atau sudah terfiksir (impaired
mobility).
T3: Tumor meliputi laring dan pita suara sudah terfiksir.
T4: Tumor sangat luas dengan kerusakan tulang rawan tiroid atau
sudah keluar dari laring.

c.Subglotis
Tis: Karsinoma insitu.
T1: Tumor terbatas pada daerah subglotis.
T2: Tumor sudah meluas ke pita, pita suara masih dapat
bergerak atau sudah terfiksir.
T3: Tumor sudah mengenai laring dan pita suara sudah terfiksir.
T4: Tumor yang luas dengan destruksi tulang rawan atau
perluasan ke luar laring atau dua – duanya.

Penjalaran ke kelenjar limfe (N)


Nx: Kelenjar limfe tidak teraba.

27
N0: Secara klinis kelenjar tidak teraba.
N1: Secara klinis teraba satu kelenjar limfe dengan ukuran diameter 3
cm homolateral.
N2: Teraba kelenjar limfe tunggal, ipsilateral dengan ukuran
diameter 3-6 cm.
N2a: Satu kelenjar limfe ipsilateral, diameter lebih dari 3 cm tapi
tidak lebih dari 6 cm.
N2b: Multipel kelenjar limfe ipsilateral, diameter tidak lebih dari
6 cm. 10
N2c: Metastasis bilateral atau kontralateral, diameter tidak lebih
dari 6 cm.
N3: Metastasis kelenjar limfe lebih dari 6 cm.

Tabel dibawah menunjukkan penentuan kategori TNM edisi ke-7 pada


karsinoma laring
Kategori T N M
0 Tis N0 M0
I T1 N0 M0
II T2 N0 M0
III T3 N0 M0
T1, T2 N1
IV A T4a N0 M0
T 1-3 N2 M0
IV B T4b N apapun M0
T apapun N3 M0
IV C T apapun N apapun M1

Klasifikasi berdasarkan histopatologi


Karsinoma sel skuamosa meliputi 95 – 98% dari semua tumor
ganas laring, dengan derajat difrensiasi yang berbeda-beda, yaitu
berdiferensiasi baik, sedang dan berdiferensiasi buruk. Jenis lain yang
jarang kita jumpai adalah karsinoma verukosa, adenokarsinoma dan
kondrosarkoma
1. Karsinoma Verukosa

28
Adalah satu tumor yang secara histologis kelihatannya jinak, akan
tetapi klinis ganas. Insidennya 1 – 2% dari seluruh tumor ganas laring,
lebih banyak mengenai pria dari wanita dengan perbandingan 3 : 1.
Tumor tumbuh lambat tetapi dapat membesar sehingga dapat
menimbulkan kerusakan lokal yang luas. Tidak terjadi metastase
regional atau jauh. Pengobatannya dengan operasi, radioterapi tidak
efektif dan merupakan kontraindikasi. Prognosanya sangat baik.

2. Adenokarsinoma
Angka insidennya 1% dari seluruh tumor ganas laring. Sering
terjadi pada kelenjar mukus supraglotis dan subglotis dan tidak
pernah dari glottis. Sering bermetastase ke paru-paru dan hepar. Two
years survival rate-nya sangat rendah. Terapi yang dianjurkan adalah
reseksi radikal dengan diseksi kelenjar limfe regional dan radiasi
pasca operasi.

3. Kondrosarkoma
Adalah tumor ganas yang berasal dari tulang rawan krikoid 70%,
tiroid 20% dan aritenoid 10%.Sering pada laki-laki 40 – 60
tahun.Terapi yang dianjurkan adalah laringektomi total.

2.5. Gejala Klinis

1. Suara serak: Gejala utama Ca laring, merupakan gejala dini tumor pita
suara. Hal ini disebabkan karena gangguan fungsi fonasi laring. Kualitas nada
sangat dipengaruhi oleh besar celah glotik, besar pita suara, ketajaman tepi pita
suara, kecepatan getaran dan ketegangan pita suara.Pada tumor ganas laring,
pita suara gagal berfungsi secara baik disebabkan oleh ketidak teraturan pita
suara, oklusi atau penyempitan celah glotik, terserangnya otot-otot vokalis,
sendi dan ligament krikoaritenoid dan kadang-kadang menyerang saraf.

29
Adanya tumor di pita suara akan mengganggu gerak maupun getaran kedua
pita suara tersebut. Serak menyebabkan kualitas suara menjadi semakin kasar,
mengganggu, sumbang dan nadanya lebih rendah dari biasa. Kadang bisa afoni
karena nyeri, sumbatan jalan nafas atau paralisis komplit. Hubungan antara
serak dengan tumor laring tergantung pada letak tumor. Apabila tumor laring
tumbuh pada pita suara asli, serak merupakan gejala dini dan menetap. Apabila
tumor tumbuh di daerah ventrikel laring, dibagian bawah plika ventrikularis
atau dibatas inferior pita suara, serak akan timbul kemudian. Pada tumor
supraglotis dan subglotis, serak dapat merupakan gejala akhir atau tidak timbul
sama sekali. Pada kelompok ini, gejala pertama tidak khas dan subjektif seperti
perasaan tidak nyaman, rasa ada yang mengganjal di tenggorok. Tumor
hipofaring jarang menimbulkan serak kecuali tumornya eksentif.
2. Suara bergumam (hot potato voice): fiksasi dan nyeri menimbulkan suara
bergumam.
3. Dispnea dan stridor: Gejala yang disebabkan sumbatan jalan nafas dan dapat
timbul pada tiap tumor laring. Gejala ini disebabkan oleh gangguan jalan
nafas oleh massa tumor, penumpukan kotoran atau secret maupun oleh fiksasi
pita suara. Pada tumor supraglotik dan transglotik terdapat kedua gejala
tersebut.Sumbatan yang terjadi perlahan-lahan dapat dikompensasi. Pada
umunya dispnea dan stridor adalah tanda prognosis yang kurang baik.
4. Nyeri tenggorok: Keluhan ini dapat bervariasi dari rasa goresan sampai rasa
nyeri yang tajam.
5. Disfagia: Merupakan ciri khas tumor pangkal lidah, supraglotik, hipofaring
dan sinus piriformis. Keluhan ini merupakan keluhan yang paling sering pada
tumor ganas postkrikoid.Rasa nyeri ketika menelan (odinofagia):
menandakan adanya tumor ganas lanjut yang mengenai struktur ekstra laring.
6. Batuk dan hemoptisis: Batuk jarang ditemukan pada tumor ganas glotik,
biasanya timbul dengan tertekanya hipofaring disertai secret yang mengalir ke
dalam laring. Hemoptisis sering terjadi pada tumor glotik dan tumor
supraglotik.

30
2.6 Diagnosa
2.6.1 Anamnesis
Pada anamnesis biasanya didapatkan keluhan suara parau yang diderita
sudah cukup lama, tidak bersifat hilang-timbul meskipun sudah diobati dan
bertendens makin lama menjadi berat. Penderita kebanyakan adalah seorang
perokok berat yang juga kadang–kadang adalah seorang yang juga banyak
memakai suara berlebihan dan salah (vocal abuse), peminum alkohol atau
seorang yang sering atau pernah terpapar sinar radioaktif, misalnya pernah
diradiasi didaerah lain. Pada anamnesis kadang–kadang didapatkan hemoptisis,
yang bisa tersamar bersamaan dengan adanya TBC paru, sebab banyak penderita
menjelang tua dan dari sosio - ekonomi yang lemah.

2.6.2 Pemeriksaan leher


a. Inspeksi : terutama untuk melihat pembesaran kelenjar leher, laring, dan
tiroid. Kelenjar leher pada umumnya baru bisa teraba apabila ada
pembesaran lebih dari 1 cm.
b. Palpasi : untuk memeriksa pembesaran pada membran krikotiroid atau
tirohioid, yang merupakan tanda ekstensi tumor ke ekstra laringeal.
Infiltrasi tumor ke kelenjar tiroid menyebabkan tiroid membesar dan keras.
Memeriksa pembesaran kelenjar getah bening leher. Palpasi dilakukan
dengan posisi pemeriksa berada di belakang penderita dan dilakukan
secara sistematis/berurutan dimulai dari submental berlanjut ke arah
angulus mandibula, sepanjang muskulus sternocloidomastoid, klavikula,
dan diteruskan sepanjang saraf assesorius.

2.6.3 Laringoskopi Indirekta

Pemeriksaan ini bertujuan melihat laring secara tidak langsung dengan


cara menempatkan cermin didalam faring dan cermin tersebut disinari oleh
cahaya. Bayangan laring pada cermin terlihat dari sinar yang dipantulkan.
1. Syarat-syarat laringoskopi indirekta

31
a. Harus ada jalan yang lebar buat cahaya yang dipantulkan oleh cermin dari
faring ke laring. Untuk keperluan itu maka lidah harus dikeluarkan,
sehingga radiks linguae yang menutup jalan itu bergerak ke ventral.
b. Harus ada tempat yang luas buat cermin dan cemin tidak boleh ditutup
oleh uvula. Untuk keperluan itu penderita disuruh bernafas dari mulut.
Dengan demikian uvula bergerak dengan sendirinya ke atas dan menutup
jalan ke nasofaring.
2. Alat-alat yang digunakan
a. Cermin laringoskop yang besar
b. Lampu spiritus
c. Larutan Xylocain 10% buat faring yang sensitif 
d. Kain kasa yang dilipat
3. Pelaksanaan laringoskopi indirekta
a. Anaestesi faring dengan Xylocain 10%. Pada umumnya anaestesi ini tidak
diperlukan, kecuali untuk faring yang sangat sensitif. Pemeriksaan dapat
dimulai kira – kira 10 menit setelah disemprotkan larutan Xylocain 10%.
b. Mulut harus dibuka lebar  –  lebar, harus bernafas dari mulut. Penderita
diminta menjulurkan lidah panjang – panjang
c. Bagian lidah yang ada di luar mulut dibungkus dengan kain kasa, kita
pegang dengan tangan kiri, jari I diatas lidah, jari III dibawah lidah dan jari
II menekan pipi. Dipegang dengan tenaga yang optimal. Lebih keras dari
itu menyebabkan penderita merasa sakit, bila lebih lunak lidah akan
terlepas.
d. Cermin dipegang dengan tangan kanan, seperti memegang pensil arah
cermin kebawah. Cermin dipanasi ( lebih sedikit dari 37⁰C ), supaya nanti
tidak menjadi kabur.
e. Cermin dipegang dengan tangan kanan, seperti memegang pensil arah
cermin ke bawah. Cermin dipanasi ( lebih sedikit dari 37⁰ C ), supaya
nanti tidak menjadi kabur.
f. Panas cermin dikontrol pada lengan bawah kiri pemeriksa. Cermin
dimasukkan ke dalam faring, dan mengambil posisi dimuka uvula. Kalau

32
perlu uvula didorong sedikit ke belakang dengan punggung cermin, cermin
disinari.
4. Tahap-tahap Pemeriksaan
a. Memeriksa radiks linguae, epiglotis dan sekitarnya
b. Memeriksa lumen laring dan rima glotidis, memperhatikan anatomi
laring:

 Epiglotis dan pinggirnya.


 Aritenoid kiri dan kanan.
 Plika ari-epiglotika kiri dan kanan
 Sinus piriformis kiri dan kanan
 Dinding posterior dan dinding lateral faring
 Plika ventrikularis kiri dan kanan
 Komisura anterior dan posterior
 Korda vokalis kiri dan kanan

2.6.4 Laringoskop Direkta


Bertujuan melihat laring secara langsung tanpa menggunakan cermin
tetapi menggunakan alat yang disebut laringoskop. Laringoskop yang digunakan
dapat berupa:
a.  Laringoskop kaku
• Penderita ditidurkan telentang di atas meja periksa
• Pemeriksaan baru dapat dimulai kira-kira 10 menit setelah ke dalam
faring dan laring diteteskan tetrakain 1% ( masing-masing 10 tetes)
• Pipa dimasukkan sampai ke dalam introitus laringitis
• Memperhatikan gambar laring seperti pada laringoskopi indirekta
b.  Laringoskop fiber
c. Mikrolaringoskop dengan pemakaian mikroskop
Perhatikan:
• Penderita berbaring, posisi kepala di depan pemeriksa
• Bagian kanan penderita adalah juga bagian kanan pemeriksa

33
2.6.5 Pemeriksaan Radiologi
Foto toraks diperlukan untuk menilai keadaan paru, ada atau tidaknya
proses spesifik dan metastasis diparu. Foto jaringan lunak (soft tissue) leher dari
lateral kadang–kadang dapat menilai besarnya dan letak tumor, bila tumornya
cukup besar. Apabila memungkinkan, CT scan laring dapat memperlihatkan
keadaan tumor dan laring lebih seksama, misalnya penjalaran tumor pada tulang
rawan tiroid dan daerah pre-epiglotis serta metastase kelenjar getah bening leher.
(8)

a. CT Scan Leher
Keterlibatan beberapa tempat pada supraglotis laring dan mobilitas
pita suara. Pemeriksaan radiologi dapat membantu dalam mengidentifikasi
perluasan submukosa transglotis yang tersembunyi. Kriteria pencitraan lesi
T3 adalah perluasan ke ruang pra-epiglotis (paralayngeal fat) atau tumor
yang mengerosi kebagian dalam korteks dari kartilago tiroid. Tumor yang
mengerosi ke bagian luar korteks kartilago tiroid merupakan stadium T4a.
Ada yang berpendapat bahwa kerterlibatan korteks bagian luar saja tanpa
keterlibatan sebagian besar tendon bisa memenuhi kriteria pencitraan lesi
T4. Tumor stadium T4 (a dan b) sulit diidentifikasikan hanya
denganpemeriksaan klinis saja, karena sebagian besar kriteria tidak dapat
diniai dengan palpasi dan endoskopi. Pencitraan secara cross-sectional
diindikasikan untuk mengetahui komponen anatomi yang terlibat untuk
menentukan stadium tumor.(8)

34
Gambar 7 : Gambaran CT scan aksial
karsinoma supraglotik(x). Terdapat erosi kartilago thyroid (xx)
dan metastasis kelenjar getah bening di leher(xxx). Diambil
dari kepustakaan 16

b. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

MRI memiliki beberapa kelebihan daripada CT yang mungkin membantu


dalam perencanaan pre-operasi. Pencitraan koronal membantu dalam
menentukan keterlibatan ventrikel laryngeal dan penyebaran transglottic.
Pencitraan midsagittal membantu untuk memperlihatkan hubungan antara tumor
dengan komisura anterior. MRI juga lebih unggul daripada CT untuk
karakterisasi jaringan spesifik. Namun, pencitraan yang lebih lama dapat
menyebabkan degradasi gambar akibat pergerakan.(8)

35
Gambar 8 : Gambar MRI laring normal Gambar 9: MRI laring
abnormal

2.7 Tatalaksana Karsinoma laring


Secara umum ada 3 jenis penanggulangan karsinoma laring yaitu pembedahan,
radiasi dan sitostatika, ataupun kombinasi, tergantung pada stadium penyakit dan
keadaan umum pasien. (4)

1. PEMBEDAHAN
Tindakan operasi untuk keganasan laring terdiri dari:
A. LARINGEKTOMI
 Laringektomi parsial. Tumor yang terbatas pada pengangkatan hanya
satu pita suara dan trakeotomi sementara yang di lakukan untuk
mempertahankan jalan napas. Setelah sembuh dari pembedahan suara
pasien akan parau. Hemilaringektomi atau vertikal. Bila ada
kemungkinana kanker pita suara. Bagian ini diangkat sepanjang
kartilago aritenoid dan setengah kartilago tiroid. Trakeostomi sementara
dilakukan dan suara pasien akan parau setelah pembedahan. 

 Laringektomi supraglotis atau horisontal. Bila tumor berada pada


epiglotis, dilakukan diseksi leher radikal dan trakeotomi. Suara pasien
masih utuh atau tetap normal. Karena epiglotis diangkat maka resiko
aspirasi akibat makanan peroral meningkat. 

 Laringektomi total. Karsinoma tahap lanjut yang melibatkan sebagian


besar laring, memerlukan pengangkatan laring, tulang hiod, kartilago
krikoid,2-3 cincin trakea, dan otot penghubung ke
laring.Mengakibatkan kehilangan suara dan sebuah lubang (stoma)
trakeostomi yang permanen. Dalam hal ini tidak ada bahaya aspirasi
makanan peroral, dikarenakan trakea tidak lagi berhubungan dengan
saluran udara–pencernaan. Suatu sayatan radikal telah dilakukan dileher
pada jenis laringektomi ini. Hal ini meliputi pengangkatan pembuluh

36
limfatik, kelenjar limfe di leher, otot sternokleidomastoideus, vena
jugularis interna, saraf spinal asesorius, kelenjar salifa submandibular
dan sebagian kecil kelenjar parotis. Operasi ini akan membuat penderita
tidak dapat bersuara atau berbicara. Tetapi kasus yang dermikian dapat
diatasi dengan mengajarkan pada mereka berbicara menggunakan
esofagus (esofageal speech), meskipun kualitasnya tidak sebaik bila
penderita berbicara dengan menggunakan organ laring. Untuk latihan
berbicara dengan esofagus perlu bantuan seorang binawicara.

B. DISEKSI LEHER RADIKAL


Tidak dilakukan pada tumor glotis stadium dini (T1 – T2) karena
kemungkinan metastase ke kelenjar limfe leher sangat rendah. Sedangkan
tumor supraglotis, subglotis dan tumor glotis stadium lanjut sering kali
mengadakan metastase ke kelenjar limfe leher sehingga perlu dilakukan
tindakan diseksi leher. Pembedahan ini tidak disarankan bila telah terdapat
metastase jauh.

2. RADIOTERAPI
Radioterapi digunakan untuk mengobati tumor glotis dan
supraglotis T1 dan T2 dengan hasil yang baik (angka kesembuhannya 90%).
Keuntungan dengan cara ini adalah laring tidak cedera sehingga suara masih
dapat dipertahankan. Dosis yang dianjurkan adalah 200 rad perhari sampai
dosis total 6000 – 7000 rad.

3. KEMOTERAPI
Diberikan pada tumor stadium lanjut, sebagai terapi adjuvant ataupun
paliatif. Obat yang diberikan adalah cisplatinum 80–120 mg/m2 dan 5 FU
800–1000 mg/m2.

4. REHABILITASI SUARA.

37
Laringektomi total yang dikerjakan untuk mengobati karsinoma laring
menyebabkan cacat pada penderita. Dengan dilakukannya pengangkatan laring
beserta pita-suara yang ada dalamnya, maka penderita akan menjadi afonia dan
bernafas melalui stoma permanen di leher. Untuk itu diperlukan rehabilitasi
terhadap pasien, baik yang bersifat umum, yakni agar pasien dapat
memasyarakat dan mandiri kembali, maupun rehabilitasi khusus yakni
rehabilitasi suara (voice rehabilitation), agar penderita dapat berbicara
(bersuara), sehingga berkomunikasi verbal. Rehabilitasi suara dapat dilakukan
dengan pertolongan alat bantu suara, yakni semacam vibrator yang
ditempelkan di daerah submandibula, ataupun dengan suara yang dihasilkan
dari esophagus (esophageal speech) melalui proses belajar. Banyak faktor yang
mempengaruhi suksesnya proses rehabilitasi suara ini, tetapi dapat disimpulkan
menjadi 2 faktor utama, ialah faktor fisik dan faktor psiko-sosial.

2.8 Komplikasi
Disebabkan oleh kanker laring maupun oleh tindakan pengobatannya, yaitu:
a. Disfagia
b. Kehilangan suara
c. Gangguan pada fungsi lidah dalam mengecap rasa
d. Mulut kering
e. Sesak napas
f. Mengalami kesulitan menelan
g. Perubahan pada kulit
h. Peradangan mukosa tenggorokan atau lapisan dalam tenggorokan
i. Mual dan muntah
j. Malnutrisi
k. Imunosupresi

2.9 Pencegahan
a. Hindari merokok.
b. Hentikan mengonsumsi minuman beralkohol.

38
c. Makan makanan yang kaya gizi, terutama makanan yang mengandung
antioksidan, seperti stroberi, kacang-kacangan, dan bayam.
d. Gunakan alat pelindung diri saat melakukan aktivitas atau bekerja di
tempat yang berisiko menyebabkan paparan radiasi.

2.10 Prognosis
Tergantung dari stadium tumor, pilihan pengobatan, lokasi tumor
dan kecakapan tenaga ahli. Secara umum dikatakan five years survival rate
pada karsinoma laring stadium I 90–98% stadium II 75–85%, stadium III 60–
70% dan stadium IV 40–50%. Adanya metastase ke kelenjar limfe regional
akan menurunkan five year survival rate sebesar 50%.
Pasien tumor ganas laring memiliki rekurensi yang lebih rendah dibandingkan
tumor kepala leher lain. Pasien dengan tumor ganas glotis mempunyai angka
harapan hidup lebih baik dan rekurensi lebih rendah dibandingkan tumor
supraglotis dimana penyebaran regional lebih sering terjadi. Prognosis terbaik
pada pasien dengan tumor ganas glotis dibandingkan supraglotis dan subglotis.
Angka harapan hidup 5 tahun jika dibandingkan dengan jenis histopatologi tumor,
squamous cell ca 68%, verrucous ca 95% dan yang terendah adalah small cell
neuroendocrine ca (5%) (4)

DAFTAR PUSTAKA

1. The Respiratory System. In: Tortora GJ, Derrickson BH. 2009. Principles of
Anatomy and Physiology. 2. 12 ed: John Wiley & Sons. Inc.
2. Bickley Lynn. 2009. Buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan.
Edisi 8. Jakarta: EGC.
3. Boies Lawrence, Adams George, Higler Peter. 1977. Buku ajar penyakit THT.
Edisi 6. Jakarta: EGC.

39
4. Hermani B, Abdurrachman H. Tumor Laring. In: Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD. 2012. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala & Leher. 7 ed. Jakarta: FKUI.

5. Irfandy, D, Rahman, S. 2015. Diagnosis dan Penatalaksanaan Tumor Ganas


Laring. Jurnal Kesehatan Andalas, 4(2), Hal. 6-8
6. Jun-Hee Park. 2010. Granular Cell Tumor on Larynx. Department of
Otorhinolaryngology-Head and Neck Surgery. Chosun University College of
Medicine. Gwangju. Korea.
7. Rukmini Sri, Herawati Sri. 2000. Teknik Pemeriksaan Telinga, Hidung dan
Tenggorok. Jakarta: EGC.

8. Simarak S, Breslow N, Dahl CJ. 1977. Cancer of the Oral Cavity,


Pharynx/larynx and Lung in North Thailand: Case-Control Study and Analysis
of Cigar Smoke. British Journal of Cancer. 36(130):1-11.

9. Smith D. Staging CT. Available from: http://radiopaedia.org/cases/laryngeal-


tumour-squamous-cell-carcinoma

10. Mangunkusumo E, Balfas H, Hermani B. Nodul Pita Suara. 2019. Buku Teks
Komprehensif Ilmu THT-KL untuk Mahasiswa Kedokteran, Dokter Umum,
dan Peserta Didik Spesialis THT-KL. Jakarta: EGC.

11. Irwan A, Sugianto. Tumor Laring. 2008. Atlas Berwarna Teknik Pemeriksaan
Kelainan Telinga Hidung Tenggorok. Jakarta: EGC.

40
41

Anda mungkin juga menyukai