“Indikasi, Efek Samping, dan Mekanisme Kerja Obat Cacing (Cutaneus Larva Migrans)
dan Parasit (Pedikulosis dan Skabies) di Bidang Dermatologi”
Oleh :
Pembimbing:
Dr. Dinie Ramdhani Kusuma, M.Kes, Sp.KK
2019
KATA PENGANTAR
1
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya
penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini tepat pada waktunya.
Referat yang berjudul “Indikasi, Komplikasi, dan Cara Kerja Obat Cacing (Cutaneus
Larva Migrans) dan Parasit (Pedikulosis dan Skabies) di Bidang Dermatologi” ini disusun dalam
rangka mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian/SMF Ilmu KesehatanKulit dan Kelamin
RSUD Praya.
Pada kesempatan ini, kami selaku penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada dr. Dinie Ramdhani Kusuma, M.Kes, Sp.KK selaku pembimbing yang telah
banyak memberikan bimbingan kepada penulis.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan referat ini masih banyak kekurangan. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi
kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan tambahan pengetahuan khususnya
kepada penulis dan kepada pembaca dalam menjalankan praktek sehari-hari sebagai dokter.
Terima kasih.
Penulis
2
BAB I
PENDAHULUAN
Migran larva kulit yang disebabkan oleh larva cacing tambang hewan adalah penyakit
kulit yang paling sering di antara para pelancong yang kembali dari negara-negara tropis.
Komplikasi (impetigo dan reaksi alergi), bersama dengan pruritus yang intens dan durasi
penyakit yang signifikan, membuat pengobatan wajib.1,2,3 Creeping eruption lebih sering terjadi
pada negara yang beriklim hangat. Faktor risiko penyakit tersebut adalah kontak langsung
individu dengan tanah berpasir yang terkontaminasi dengan tinja anjing atau kucing. Anak lebih
sering terinfeksi dibandingkan dengan dewasa. Di Indonesia, penyakit infeksi oleh (larva) cacing
tersebut kurang diperhatikan karena dianggap tidak berbahaya, gejalanya sering ringan sehingga
cenderung diabaikan. Penyakit ini termasuk penyakit swasirna. Pengobatan yang diberikan
bertujuan untuk mempercepat kesembuhan dan meringankan gejala penyakitnya.4,5,6
Selain cacing, terdapat penyakit kulit yang disebabkan oleh kutu seperti Pedikulosis dan
Skabies. Pediculosis Capitis adalah infeksi kulit kepala dan rambut oleh Pediculus Humanus
Capitis. Untuk Pediculosis Corporis merupakan infeksi yang disebabkan oleh Pediculus
Humanus Humanus. Sedangkan Pediculosis Pubis merupakan infestasi daerah yang ditumbuhi
rambut oleh kutu. Paling umum terjadi pada daerah pubis, bagian dada dan aksila yang berbulu,
bulu mata bagian atas. Manifestasi klinis berupa pruritus ringan hingga sedang, urtikaria papula,
dan eksoriasi. Tatalaksana pedikulosis menggunakan insektisida topikal seperti Permethrin,
Malathion, Pyrethrin, Piperonyl, Butoxide. Obat sistemik dapat berupa Ivermectin oral. Obat-
obat ini juga digunakan sebagai tatalaksana Skabies yang disebabkan oleh tungau Sarcoptes
scabiei var. hominis.7.8,9
Dari beberapa penyakit diatas yang disebabkan oleh parasit cacing maupun kutu, terdapat
beberapa obat yang dapat digunakan pada berbagai penyakit dengan bentuk sediaan dan dosis
yang berbeda. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui masing-masing indikasi obat, cara
kerja dan efek samping obat yang digunakan untuk mengeradikasi cacing maupun kutu penyebab
kelainan kulit. Dengan demikian laporan tinjauan pustaka ini dibuat untuk mengetahui indikasi,
efek samping, dan mekanisme obat yang digunakan pada CLM maupun Pedikulosis dan Skabies.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
d. Manifestasi klinis
Masuknya larva ke kulit biasanya disertai rasa gatal dan panas. Mula -
mula, pada porte d’entree, akan timbul papul, kemudian diikuti oleh bentuk yang
khas, yakni lesi berbentuk linear atau berkelok – kelok yang terasa sangat gatal.
Adanya lesi papul yang eritematosa ini menunjukkan larva tersebut telah berada
dikulit selama beberapa jam atau hari. Rasa gatal dapat timbul paling cepat 30
menit setelah infeksi, meskipun pernah dilaporkan late onset dari CLM.
Perkembangan selanjutnya , papul merah ini menjalar seperti benang berkelok-
kelok, polisiklik, serpiginosa, menimbul dan membentuk terowongan dan
bertambah panjang beberapa milimeter atau beberapa sentimeter setiap harinya,
tanpa pengobatan larva dapat mati dan diabsorbsi dalam beberapa minggu sampai
bulan setelah invasi.3
5
limfatik sehingga tidak dapat menyelesaikan siklus hidupnya. Cacing tambang
kemudian mati tanpa bereproduksi, dan penyakit dapat sembuh sendiri.
e. Penegakan diagnosis
Diagnosis CLM biasanya dibuat secara klinis berdasarkan riwayat
perjalanan baru-baru ini ke daerah endemik dan kombinasi dengan ditemukan
ruam serpiginous klasik. Ruam ini sangat pruritus, sedikit timbul melebihi
permukaan kulit, dan memiliki laju milimeter lebih lambat hingga 2 cm per hari.
Ini yang dapat membedakan dari infeksi migrasi lainnya. Tes darah tidak
diperlukan untuk diagnosis. Karena pada pemeriksaan darah tidak hanya
eosinofilia ditemukan pada kurang dari 40% pasien CLM, dan hal ini juga tidak
spesifik. Biopsi kulit kadang-kadang dilakukan dan dapat mengungkapkan larva
nematoda dalam saluran melingkar. Biopsi tidak sensitif, dan meskipun perubahan
sekunder dan infiltrat membantu dalam diagnosis, tidak perlu untuk
mengkonfirmasi diagnosis klinis dari CLM ini.5
f. Pengobatan
Penyakit ini dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan. Penyakit ini dapat
sembuh sendiri dan lesi kulit dapat menghilang setelah periode 2-8 minggu. Pada
creeping dengan infeksi yang lokal, larutan thiabendazole 10% topikal atau salep
15% dapat dicoba terlebih dahulu. Krim ini dioleskan 2 hingga 3 kali sehari
selama 5 hingga 10 hari. Studi kecil menunjukkan peningkatan pruritus dapat
terjadi sedini 48 jam setelah memulai pengobatan, dan angka kesembuhan
setinggi 98% dalam 10 hari telah tercapai. Keuntungan terbesar dari terapi topikal
adalah kurangnya penyerapan sistemik dan efek samping, tetapi penggunaannya
dibatasi oleh beberapa aplikasi setiap hari, dan utilitasnya kurang bernilai dengan
beberapa lesi.5
Pada lesi multipel atau manifestasi berat, albendazole dan ivermectin
adalah terapi sistemik lini pertama. Albendazole oral, 400 mg setiap hari selama 3
hingga 5 hari, sangat efektif dengan tingkat kesembuhan mendekati 100%.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian albendazole selama 7 hari
dapat menurunkan angka penyakit berulang. Ivermectin oral juga efektif, dan
keuntungannya adalah pasien hanya perlu minum dosis 12 mg per oral. Tingkat
penyembuhan mendekati 100% dengan pemberian ivermectin. Mebendazole
adalah agen antihelmint lainnya. Namun, obat ini memiliki bioavailabilitas yang
6
buruk, penyerapan, dan kemanjuran yang buruk, oleh karena itu obat ini tidak
boleh digunakan sebagai obat lini pertama.5
Penatalaksanaan creeping eruption atau CLM menurut Perdoski 2017
disebutkan bahwa ada dua jenis penatalaksanaan, yaitu secara non medikamentosa
dan medikamentosa:
Non medikamentosa
Pasien dihimbau untuk tetap menjaga kebersihan kulit dengan mandi 2 kali
sehari dengan sabun.
Medikamentosa
Prinsip dari penatalaksanaan medikamentosa adalah untuk mematikan larva
cacing. Terdapat beberapa obat atau tindakan yang dapat dipilih sesuai dengan
indikasi sebagai berikut:
a) Topikal
- Salep albendazol 10% dioleskan 3 kali sehari selama 7-10 hari.
- Salep thiabendazol 10-15% dioleskan 3 kali sehari selama 5-7 hari.
Dapat diberikan pada anak berusia kurang dari 2 tahun atau berat
badan kurang dari 15 kg. Penggunaan sediaan thiabendazole topikal
diindikasikan pada pada lesi yang masih awal dan terlokalisir.
Sediaan thiabendazole ada dalam bentuk larutan 10% atau salep
15%. Thiabendazole sediaan topikal digunakan dengan pemberian 2-
3 kali per hari selama 7-10 hari.
b) Sistemik
- Albendazol 400 mg untuk anak usia >2 tahun atau >10 kg selama 3-
7 hari berturut-turut.
Albendazole adalah antihelmintic spektrum luas benzimidazole
carbamate yang bekerja dengan mengganggu proses pengambilan
glukosa dan agregasi mikrotubulus cacing tambang. Albendazole
diberikan dengan dosis 400 mg/hari selama 3 hari. Kelebihan
albendazole dibandingkan modalitas terapi yang lain adalah dapat
diberikan pada anak-anak mulai usia >6 bulan dan aman diberikan
pada wanita yang sedang menyusui. Dosis albendazole pada anak
adalah 15 mg/kg berat badan per hari selama 3 hari.
- Thiabendazol 50 mg/kg/hari selama 2-4 hari.
7
- Ivermektin 200 μg/kg dosis tunggal, dosis kedua diberikan bila
gagal. Sebaiknya tidak diberikan pada anak berusia kurang dari 5
tahun atau berat badan kurang dari 15 kg.
c) Kombinasi
Bedah beku dengan nitrogen cair atau etil klorida dapat dikombinasi
albendazol.7 Krioterapi dengan nitrogen cair dapat dipergunakan
sebagai alternatif tatalaksana cutaneous larva migrans, tetapi tidak
direkomendasikan karena kurang efektif dan nyeri. Alasannya antara
lain karena larva mampu bertahan hidup sampai suhu minus.
Efek Samping
Pada penelitian oleh Begheri et al 2013 disebutkan bahwa efek samping
yang ditimbulkan dari 6 pasien yang digolongkan serius, 2 kasus
agranulositosis, satu kasus hepatitis, satu retrobulbar neuritis, satu gagal ginjal
akut, dan satu ruam kulit.8
Mekanisme Kerja
Albendazole adalah antihelmintic spektrum luas benzimidazole carbamate
yang bekerja dengan mengganggu proses pengambilan glukosa dan agregasi
mikrotubulus cacing tambang.2 Albendazole diberikan dengan dosis 400
8
mg/hari selama 3 hari. Kelebihan albendazole dibandingkan modalitas terapi
yang lain adalah dapat diberikan pada anak-anak mulai usia >6 bulan dan aman
diberikan pada wanita yang sedang menyusui. Dosis albendazole pada anak
adalah 15 mg/kg berat badan per hari selama 3 hari.7
b. Thiabendazole
Indikasi Pemberian
Thiabendazole oral dapat efektif dalam pengobatan CLM. Penggunaan
sediaan thiabendazole topikal diindikasikan pada pada lesi yang masih awal
dan terlokalisir.7
Efek Samping
Komplikasi atau efek samping yang dapat kemungkinan muncul pada
penggunaan thiabendazole pada bidang dermatologi adalah reaksi
hipersensitivitas seperti SJS (Steven Johnson Syndrome), skin rash, eritema
multiform.5
Mekanisme Kerja
Cara kerja dari thiabendazole secara spesifiknya belum dapat diketahui,
namun kemungkinan thiabendazole bekerja dengan menekan produksi telur
dan atau larva dari cacing, dan juga thiabendazole dapat menghambat
perkembangan selanjutnya dari telur dan larva, serta dapat menghambat enzim
fumarat reduktase spesifik dari cacing.8 thiabendazole akan lebih efektif jika
diberikan bersamaan dengan obat lainnya, seperi ivermectin atau albendazole.5
c. Ivermectin
Indikasi Pemberian
Ivermectin merupakan obat yang efektif dalam mengobati CLM. Dosis
tunggal ivermectin lebih efektif dibandingkan dengan dosis tunggal
albendazole. Namun memang pada beberapa daerah ivermectin susah
didapatkan sediaannya, sehingga diberikan albendazole sebagai penggantinya.
Ivermectin dapat menjadi terapi pilihan pertama karena relatif aman, toksisitas
rendah, serta hanya perlu dosis tunggal.5
Efek Samping
Ivermectin kontraindikasi pada anak-anak dengan berat badan kurang dari
15 kg, usia kurang dari 5 tahun, serta pada wanita hamil dan menyusui. Saat ini
sediaan topikal ivermectin juga mulai digunakan sebagai alternatif terapi oral
ivermectin yang dianggap memiliki banyak efek samping. Efek samping dari
ivermectin yang dapat timbul antara lain nyeri mata atau mata merah hingga
9
gangguan penglihatan, lalu dapat menyebabkan skin rash yang berat hingga
menjadi pus, dapat juga timbul rasa gatal pada kulit.5
Mekanisme Kerja
Ivermectin adalah agen antiparasitik macrocyclic lactone semisintetis
spectrum luas, yang bekerja melawan nematoda dengan menghasilkan flaccid
paralysis melalui ikatan kanal ion glutamate-gated chloride. Obat ini terbukti
efektif mematikan larva yang sedang bermigrasi serta mengurangi rasa gatal.
Penyembuhan seluruh gejala terjadi setelah sekitar 1 minggu. Jika terapi gagal,
dosis dapat diulang sekali lagi dan umumnya akan memberikan respon terapi
yang baik.5
2.3 Pediculosis
a. Pediculosis Capitis
Pediculosis Capitis adalah infeksi kulit kepala dan rambut oleh kutu kepala.
Etiologinya termasuk subspesies Pediculus Humanus Capitis. Transmisi didapat dari
kontak kepala dengan kepala, topi, sisir yang dipakai bersama, hingga bantal.
Diperkirakan sekitar 6-12 juta orang di Amerika Serikat mengalami hal ini setiap
tahun. Di Amerika Serikat, lebih banyak terjadi pada orang kulit putih daripada orang
kulit hitam. Di Afrika relatif jarang terjadi.7,9
10
Gambar 2. Pediculosis capitis: Panah: kapsul telur putih keabu-abuan (nits) melekat erat pada
poros rambut, divisualisasikan dengan lensa.9
Gejala dapat berupa pruritus bagian belakang dan sisi kulit kepala. Tempat
predileksi terbatas pada kulit kepala, terutama daerah oksipital dan postauricular. Sangat
jarang menginfeksi jenggot. Kutu kepala juga dapat menyerang bulu mata (pediculosis
palpebrarum). Lesi kulit akibat reaksi gigitan dapat berupa urtikaria atau papula di leher.
Lesi sekunder dapat berupa eksim, eksoriasi, liken simpleks kronikus pada kulit kepala
oksipital dan leher sekunder akibat garukan kronis. Infeksi sekunder oleh S. aureus dapat
menyebabkan eksim atau eksoriasi yang meluas ke leher, dahi, wajah, dan telinga. Dapat
ditemukan limfadenopati oksipital posterior. 7,9
b. Pediculosis Corporis
Merupakan infeksi yang disebabkan oleh Pediculus Humanus Humanus. Kutu ini
hidup dalam lapisan pakaian, dapat bertahan hidup tanpa makan darah hingga 3 hari, dan
menempel pada rambut di tubuh untuk mencari makan. Faktor risiko termasuk
kemiskinan, perang, bencana alam, ketidakmampuan, tunawisma, dan populasi di
pengungsian. 7,9
11
Gambar 3. Lesi multipel sekunder akibat ekskoriasi, prurigo nodularis, dan lichen
simplex chronicus. Kutu dan telur kutu terlihat di lapisan pakaian. 9
Manifestasi klinis dapat berupa reaksi terhadap gigitan seperti urtikaria mirip
dengan kutu kepala. Perubahan sekunder akibat sering menggaruk termasuk eksoriasi,
eksim, liken simpleks, infeksi S. aureus, dan hiperpigmentasi pasca-inflamasi. Skabies,
Pedikulosis Kapitis, dan Pulex Irritnt dapat hidup berdampingan. Diagnosis banding
dapat berupa Dermatitis Atopik, Dermatitis Kontak, Skabies, reaksi obat yang merugikan.
Diagnosis didapat dari ditemukannya kutu dan telur pada pakaian. Tatalaksana berupa
dekontaminasi pakaian dan tempat tidur, menjaga kebersihan, membasmi kutu, obat-
obatan seperti Pyrethrin, Permethrin, Malathion. 7,9
12
c. Pediculosis Pubis
Infestasi daerah yang ditumbuhi rambut oleh kutu. Paling umum terjadi pada
daerah pubis, bagian dada dan aksila yang berbulu, bulu mata bagian atas. Manifestasi
klinis berupa pruritus ringan hingga sedang, urtikaria papula, dan eksoriasi. Paling sering
terjadi pada pria muda. Penularan terjadi akibat kontak fisik yang dekat seperti berbagi
ranjang. Dapat hidup berdampingan dengan penyakit menular seksual lainnya. 7,9
Gambar 4. a) Kutu kepiting (panah) pada kulit di daerah kemaluan. b) Kutu kepiting
(panah) dan nits pada bulu mata atas seorang anak; ini satu-satunya tempat infeksi. 9
Manifestasi klinis seringkali tanpa gejala, pruritus ringan sampai sedang selama
berbulan-bulan, eksoriasi dan infeksi sekunder. Lesi kulit berupa urtikaria papula (papula
eritematosa kecil) di daerah seperti periumbilikalis. Perubahan sekunder akibat
likenifikasi dan ekskoriasi. Infeksi S. aureus sekunder. Maculae ceruleae (taches bleues)
adalah makula abu-abu kebiruan dengan diameter 0,5-1 cm. Manifestasi pada kelopak
mata dapat terjadi kerak serosa bersama dengan kutu dan telur kutu dan edema kelopak
mata. Dapat terjadi limfadenopati regional. 7,9
13
Tabel 1. Tatalaksana Pedikulosis.9
2.4 Scabies
Gambar 5. Skabies dengan papula dan lokasi khas di sela jari. Burrows adalah lapisan
kulit berwarna kecokelatan linier dengan vesikel kecil atau papula di ujung saluran. 9
14
Sarcoptes scabiei var. hominis menetap ke dalam epidermis tak lama setelah
kontak, tidak lebih dalam dari stratum granulosum. Masa hidup tungau perempuan dapat
4-6 minggu, bertelur hingga 40-50 telur, telur menetas dalam 4 hari. Membuat Burrow 2-
3 mm setiap hari, biasanya di malam hari, dan bertelur di siang hari. Larva menetas
bermigrasi ke permukaan kulit dan menjadi dewasa. 7,9
Manifestasi klinis dapat berupa gejala serupa pada anggota keluarga atau
pasangan seksual. Pruritus yang intens, menyebar, sering mengganggu tidur. Ruam
berkisar dari tanpa ruam hingga eritroderma menyeluruh. Beberapa orang mengalami
pruritus selama berbulan-bulan tanpa ruam. Dapat ditemukan Burrow intraepidermal,
panjang 0,5-1 cm, baik linier atau serpiginosa, dengan vesikel kecil atau papula di ujung
terowongan. Distribusi pada area dengan sedikit atau tanpa folikel rambut, biasanya di
mana stratum korneum tipis dan lunak seperti jaringan interdigital tangan, pergelangan
tangan, penis, siku, kaki, bokong, aksila. Pada bayi dapat terjadi di kepala dan leher. 7,9
15
dalam. Skabies bulosa dapat menterupai pemfigoid bulosa. Dapat terjadi infeksi sekunder
oleh S. aureus. Diagnosis banding Pruritus, lokal atau umum, ruam parasitosis, reaksi
obat yang merugikan, dermatitis atopik, dermatitis kontak alergi, pruritus metabolik.
Skabies nodular. urticaria pigmentosa (pada anak kecil), urtikaria papular (gigitan
serangga), prurigo nodularis, pseudolymphoma. Infestasi skabies. Psoriasis, dermatitis
eksema, dermatitis seboroik, eritroderma. 7,9
Tatalaksana dengan merawat individu yang terinfeksi dan kurangi kontak fisik
(termasuk pasangan seksual) pada saat yang sama meskipun ada gejala atau tidak.
Pengobatan yang direkomendasikan yaitu krim Permethrin 5% diaplikasikan ke seluruh
area tubuh. Lindane 1% lotion atau krim dioleskan tipis ke semua area tubuh dari leher ke
bawah, cuci bersih setelah 8 jam. Lindane tidak boleh digunakan setelah mandi atau saat
mandi, atau oleh pasien dengan dermatitis luas, wanita hamil atau menyusui, atau anak-
anak di bawah 2 tahun. Terapi alternatif topikal berupa Crotamiton 10%, sulfur 2-10%
dalam petrolatum, benzyl benzoate 10% dan 25%, benzyl benzoate dengan sulfiram,
malathion 0,5%, sulfram 25%, ivermectin 0,8%. Terapi alternatif sistemik berupa
Ivermectin oral, 200 μg/kg dosis tunggal dilaporkan sangat efektif dalam 15-30 hari.
Tidak boleh digunakan pada bayi, anak kecil atau wanita hamil atau menyusui. 7,9
16
hari (70 mg pada hari 1). Apabila terjadi infeksi bakteri sekunder, obati dengan salep
mupirocin atau agen antimikroba sistemik. Pada Nodul Scabietic diberikan Triamcinolone
intralesi 5-10 mg/ml ke dalam setiap lesi, ulangi setiap 2 minggu jika perlu. 7,9
3. Profilaksis Pedikulosis.
Profilaksis hanya direkomendasikan untuk individu yang tinggal di daerah
epidemi dimana setidaknya 20% populasi terinfeksi dan apabila tinggal di satu
rumah dengan individu yang terinfeksi.
17
4. Pengobatan skabies, termasuk skabies berkrusta (Norwegia).
Dosis topikal digunakan Permethrin 5% krim. Dapat diberikan pada orang
dewasa. remaja, anak-anak, dan bayi 2 bulan ke atas. Biasanya 30 gram sudah
cukup untuk rata-rata orang dewasa. Bersihkan krim setelah 8 hingga 14 jam.
Satu kali pemberian umumnya sudah bersifat kuratif. Meskipun pruritus dapat
bertahan setelah pengobatan, ini jarang merupakan tanda kegagalan pengobatan
dan bukan merupakan indikasi untuk pengobatan ulang. Pengobatan ulang
diindikasikan jika tungau bertahan hidup setelah 7 sampai 14 hari pengobatan
awal.
Pada skabies berkrusta (Norwegia), CDC merekomendasikan aplikasi
seluruh tubuh (semua bagian tubuh dari leher ke bawah) dari permethrin 5%
krim topikal setiap hari selama 7 hari dan kemudian 2 kali seminggu sampai
terlepas dari perawatan atau penyembuhan dalam kombinasi dengan oral
ivermectin. Ivermectin (200 mcg/kgBB) diberikan dalam 5 dosis (sekitar hari 1,
2, 8, 9, dan 15), dengan pertimbangan 2 dosis tambahan (sekitar hari 22 dan 29)
untuk infeksi berat. Krim keratolitik topikal juga dapat digunakan untuk
membantu mengurangi pengerasan kulit. Pengobatan ulang 2 minggu setelah
rejimen pengobatan awal dapat dipertimbangkan untuk pasien yang masih
bergejala. Penggunaan rejimen alternatif direkomendasikan untuk pasien yang
tidak menanggapi pengobatan yang direkomendasikan.
Efek Samping:
Mekanisme Kerja:
Permethrin aktif terhadap berbagai parasit, termasuk kutu, tungau, dan arthropoda
lainnya. Permethrin bekerja pada membran sel saraf untuk mengganggu aliran
18
saluran natrium yang mengatur polarisasi membran. Hal ini menyebabkan
repolarisasi tertunda dan menyebabkan kelumpuhan dan kematian parasit.11
Gambar 6. Struktur Voltage-gated sodium channels. Saluran ini terdiri dari 4 domain
homolog (domain I hingga IV), dengan masing-masing 6 segmen transmembran (S1
hingga S6).11
19
menempatkan tungau dalam keadaan yang disebut "keadaan knockdown". Keadaan
ini akan diikuti oleh kelumpuhan dan akhirnya kematian kutu.9,10,11
b. Ivermectin
Indikasi: 10,11,12
20
Efek Samping:
Mekanisme Kerja:
21
22
BAB III
KESIMPULAN
Pada obat yang digunakan sebagai tatalaksana Cutaneus Larva Migran seperti
Albendazole, Tiabendazole dan Ivermectin, obat-obat ini bekerja membunuh telur dan larva
cacing penyebab dengan cara mengganggu ambilan glukosa dan agregasi mikrotubulus sehingga
telur dan larva tidak bisa bertahan. Sedangkan pada tatalaksana Pedikulosis maupun Skabies
dengan menggunakan obat Phermetrin maupun Ivermectin, obat-obat ini dapat melumpuhkan
dan membunuh kutu maupun tungau penyebab dengan cara mempengaruhi saluran kanal ion
baik sodium maupun klorida yang menyebabkan aktivitas polarisasi yang berlebihan.
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Djuanda,A., Hamzah, M., Aisah S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 2007. Edisi 5.
Cetakan 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
2. Caumes, E. Treatment of Cutaneous Larva. 2000. Infectious Disease Society of Amerika.
2000;30:811-14.
3. Borda, L. J., J. K. Penelope., D. G. Robert., A. Giubellino., and J. H. Cho-Vega.
Hookworm-related Cutaneous Larva Migrans with Exceptional Multiple Cutaneous
Entries. 2017. Clinical & Investigative Dermatology. 5(1): 1-4.
4. Sudjari., Mayashita, DK., and Brahmanti, H. Creeping Eruption. 2014. SMF Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Universitas Brawijaya/ RSUD Dr. Saiful Anwar
Malang.
5. Maxfield, L.,and Crane, JS. Cutaneous Larva Migrans. 2019. (Available at :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK507706/ ) Accessed on 27 Juli 2019.
6. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia. Panduan Praktik Klinis Bagi
Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di Indonesia. 2017. Perdoski.
7. Goldsmith, LA., Katz, SI., Gilchrest, BA., Paller, AS., Leffel, DJ., and Wolff, K.
Fitzpatrick: Dermatology in General Medicine. 2012. The Mc Graw-Hill Companies.
8. Bagheri, H., Simiand, E., Montastruc, JL., and Magnaval, JF. Adverse Drug Reactions to
Antehelmintics. 2004. (Available at: https://www.researchgate.net/publication/8896854 )
Accessed on 28 Juli 2019.
9. Wolff, Klaus, Richard A. Johnson, and Thomas B. Fitzpatrick. Fitzpatrick's Color Atlas
and Synopsis of Clinical Dermatology. New York: McGraw-Hill Medical, 2009.
10. R Scott, G., and Chosidow, O. (2011). European guideline for the management of
scabies,. International journal of STD & AIDS. 2010. 22. 301-3. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/28639722
11. Khalil S, Abbas O, Kibbi AG, Kurban M. Scabies in the age of increasing drug resistance.
PLoS Negl Trop Dis. 2017;11(11):e0005920. Published 2017 Nov 30. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5708620/
12. Sungkar, Saleha & Agustin, Triana & L. Menaldi, Sri & Fuady, Ahmad & Herqutanto,
Herqutanto & Angkasa, Hansen & Santawi, Victor Prana & Zulkarnain, Hirzi.
Effectiveness of permethrin standard and modified methods in scabies treatment. Medical
24
Journal of Indonesia. 23. 93. 2014. Available at:
https://mji.ui.ac.id/journal/index.php/mji/article/view/594.
25