Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

“Indikasi, Efek Samping, dan Mekanisme Kerja Obat Cacing (Cutaneus Larva Migrans)
dan Parasit (Pedikulosis dan Skabies) di Bidang Dermatologi”

Oleh :

Annisa Firdausi Anwar H1A015004


Desy Windayani H1A014015

Pembimbing:
Dr. Dinie Ramdhani Kusuma, M.Kes, Sp.KK

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN/SMF ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PRAYA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM

2019

KATA PENGANTAR

1
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya
penulis dapat menyelesaikan laporan kasus ini tepat pada waktunya.

Referat yang berjudul “Indikasi, Komplikasi, dan Cara Kerja Obat Cacing (Cutaneus
Larva Migrans) dan Parasit (Pedikulosis dan Skabies) di Bidang Dermatologi” ini disusun dalam
rangka mengikuti Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian/SMF Ilmu KesehatanKulit dan Kelamin
RSUD Praya.

Pada kesempatan ini, kami selaku penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada dr. Dinie Ramdhani Kusuma, M.Kes, Sp.KK selaku pembimbing yang telah
banyak memberikan bimbingan kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan referat ini masih banyak kekurangan. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi
kesempurnaan makalah ini.

Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat dan tambahan pengetahuan khususnya
kepada penulis dan kepada pembaca dalam menjalankan praktek sehari-hari sebagai dokter.
Terima kasih.

Mataram, 14 Agustus 2019

Penulis

2
BAB I

PENDAHULUAN

Migran larva kulit yang disebabkan oleh larva cacing tambang hewan adalah penyakit
kulit yang paling sering di antara para pelancong yang kembali dari negara-negara tropis.
Komplikasi (impetigo dan reaksi alergi), bersama dengan pruritus yang intens dan durasi
penyakit yang signifikan, membuat pengobatan wajib.1,2,3 Creeping eruption lebih sering terjadi
pada negara yang beriklim hangat. Faktor risiko penyakit tersebut adalah kontak langsung
individu dengan tanah berpasir yang terkontaminasi dengan tinja anjing atau kucing. Anak lebih
sering terinfeksi dibandingkan dengan dewasa. Di Indonesia, penyakit infeksi oleh (larva) cacing
tersebut kurang diperhatikan karena dianggap tidak berbahaya, gejalanya sering ringan sehingga
cenderung diabaikan. Penyakit ini termasuk penyakit swasirna. Pengobatan yang diberikan
bertujuan untuk mempercepat kesembuhan dan meringankan gejala penyakitnya.4,5,6

Selain cacing, terdapat penyakit kulit yang disebabkan oleh kutu seperti Pedikulosis dan
Skabies. Pediculosis Capitis adalah infeksi kulit kepala dan rambut oleh Pediculus Humanus
Capitis. Untuk Pediculosis Corporis merupakan infeksi yang disebabkan oleh Pediculus
Humanus Humanus. Sedangkan Pediculosis Pubis merupakan infestasi daerah yang ditumbuhi
rambut oleh kutu. Paling umum terjadi pada daerah pubis, bagian dada dan aksila yang berbulu,
bulu mata bagian atas. Manifestasi klinis berupa pruritus ringan hingga sedang, urtikaria papula,
dan eksoriasi. Tatalaksana pedikulosis menggunakan insektisida topikal seperti Permethrin,
Malathion, Pyrethrin, Piperonyl, Butoxide. Obat sistemik dapat berupa Ivermectin oral. Obat-
obat ini juga digunakan sebagai tatalaksana Skabies yang disebabkan oleh tungau Sarcoptes
scabiei var. hominis.7.8,9

Dari beberapa penyakit diatas yang disebabkan oleh parasit cacing maupun kutu, terdapat
beberapa obat yang dapat digunakan pada berbagai penyakit dengan bentuk sediaan dan dosis
yang berbeda. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui masing-masing indikasi obat, cara
kerja dan efek samping obat yang digunakan untuk mengeradikasi cacing maupun kutu penyebab
kelainan kulit. Dengan demikian laporan tinjauan pustaka ini dibuat untuk mengetahui indikasi,
efek samping, dan mekanisme obat yang digunakan pada CLM maupun Pedikulosis dan Skabies.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Larva Migrans Kulit


a. Definisi
Creeping eruption (cutaneous larva migrans) adalah penyakit yang
disebabkan oleh infeksi larva non human hookworm Ancylostoma braziliensis
atau Ancylostoma caninum dari kucing atau anjing pada manusia. Larva tersebut
menembus kulit manusia, bermigrasi di kulit manusia meski tidak dapat menjadi
bentuk dewasa, dan menimbulkan gejala berupa lepuh, kemerahan,
menonjoldisertai rasa gatal dan panas, kemudian menjalar berkelok-kelok.1,4
b. Epidemiologi
Creeping eruption atau Cutaneus Larva Migrans (CLM) sering ditemukan
pada usia muda terutama anak-anak. Cutaneous Larva Migrans (CLM) atau
creeping eruptions ini adalah penyakit yang spesifik untuk daerah tropis dan salah
satu masalah bidang dermatologis yang sering terjadi pada pelancong di daerah
tropis dan subtropis. Penyakit ini lebih sering terjadi pada negara-negara
berkembang seperti India, Brasil, dan Hindia Barat, termasuk juga Indonesia.5
c. Etiologi
Larva migrans kulit disebabkan oleh larva cacing tambang hewan, di mana
Ancylostoma braziliense adalah spesies yang paling sering ditemukan pada
manusia. Cacing tambang ini umumnya hidup di usus hewan peliharaan domestik
seperti anjing dan kucing dan bertelur melalui kotoran ke tanah (biasanya daerah
pantai berpasir atau di bawah rumah). Manusia terinfeksi di daerah endemisitas
tropis dan subtropis melalui kontak dengan tanah yang terkontaminasi. Larva
cacing tambang menggali melalui kulit yang utuh tetapi tetap terbatas pada dermis
atas, karena manusia adalah inang insidental.3
CLM pada umumnya disebabkan oleh larva cacing tambang hewan,
seperti Ancylostoma braziliense dan A. caninum. Banyak larva nematoda lainnya
yang dapat menyebabkan CLM, seperti genus Gnathostoma (gnathostomiasis),
hookworm, Paragonimus westermani (paragonimiasis), Spirometra (sparganosis)
dan Strongyloides stercoralis (strongyloidiasis).3

4
d. Manifestasi klinis
Masuknya larva ke kulit biasanya disertai rasa gatal dan panas. Mula -
mula, pada porte d’entree, akan timbul papul, kemudian diikuti oleh bentuk yang
khas, yakni lesi berbentuk linear atau berkelok – kelok yang terasa sangat gatal.
Adanya lesi papul yang eritematosa ini menunjukkan larva tersebut telah berada
dikulit selama beberapa jam atau hari. Rasa gatal dapat timbul paling cepat 30
menit setelah infeksi, meskipun pernah dilaporkan late onset dari CLM.
Perkembangan selanjutnya , papul merah ini menjalar seperti benang berkelok-
kelok, polisiklik, serpiginosa, menimbul dan membentuk terowongan dan
bertambah panjang beberapa milimeter atau beberapa sentimeter setiap harinya,
tanpa pengobatan larva dapat mati dan diabsorbsi dalam beberapa minggu sampai
bulan setelah invasi.3

Gambar 1. Klinis dari creeping eruption pada telapak kaki6

Cacing tambang dewasa hidup di usus anjing dan kucing. Telur


ditumpahkan dalam kotoran dan setelah deposisi ke dalam tanah menetas dalam
satu hari. Selama minggu berikutnya, ini berkembang menjadi larva infektif.
Cacing merespons getaran fisik dan peningkatan suhu dan bergerak seperti ular.
Setelah menghubungi organisme inang menembus lapisan kornea dengan
mengeluarkan hyaluronidase. Meskipun menggali melalui lapisan kulit
superfisial, mereka tidak dapat menembus membran basal untuk memasuki

5
limfatik sehingga tidak dapat menyelesaikan siklus hidupnya. Cacing tambang
kemudian mati tanpa bereproduksi, dan penyakit dapat sembuh sendiri.
e. Penegakan diagnosis
Diagnosis CLM biasanya dibuat secara klinis berdasarkan riwayat
perjalanan baru-baru ini ke daerah endemik dan kombinasi dengan ditemukan
ruam serpiginous klasik. Ruam ini sangat pruritus, sedikit timbul melebihi
permukaan kulit, dan memiliki laju milimeter lebih lambat hingga 2 cm per hari.
Ini yang dapat membedakan dari infeksi migrasi lainnya. Tes darah tidak
diperlukan untuk diagnosis. Karena pada pemeriksaan darah tidak hanya
eosinofilia ditemukan pada kurang dari 40% pasien CLM, dan hal ini juga tidak
spesifik. Biopsi kulit kadang-kadang dilakukan dan dapat mengungkapkan larva
nematoda dalam saluran melingkar. Biopsi tidak sensitif, dan meskipun perubahan
sekunder dan infiltrat membantu dalam diagnosis, tidak perlu untuk
mengkonfirmasi diagnosis klinis dari CLM ini.5
f. Pengobatan
Penyakit ini dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan. Penyakit ini dapat
sembuh sendiri dan lesi kulit dapat menghilang setelah periode 2-8 minggu. Pada
creeping dengan infeksi yang lokal, larutan thiabendazole 10% topikal atau salep
15% dapat dicoba terlebih dahulu. Krim ini dioleskan 2 hingga 3 kali sehari
selama 5 hingga 10 hari. Studi kecil menunjukkan peningkatan pruritus dapat
terjadi sedini 48 jam setelah memulai pengobatan, dan angka kesembuhan
setinggi 98% dalam 10 hari telah tercapai. Keuntungan terbesar dari terapi topikal
adalah kurangnya penyerapan sistemik dan efek samping, tetapi penggunaannya
dibatasi oleh beberapa aplikasi setiap hari, dan utilitasnya kurang bernilai dengan
beberapa lesi.5
Pada lesi multipel atau manifestasi berat, albendazole dan ivermectin
adalah terapi sistemik lini pertama. Albendazole oral, 400 mg setiap hari selama 3
hingga 5 hari, sangat efektif dengan tingkat kesembuhan mendekati 100%.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian albendazole selama 7 hari
dapat menurunkan angka penyakit berulang. Ivermectin oral juga efektif, dan
keuntungannya adalah pasien hanya perlu minum dosis 12 mg per oral. Tingkat
penyembuhan mendekati 100% dengan pemberian ivermectin. Mebendazole
adalah agen antihelmint lainnya. Namun, obat ini memiliki bioavailabilitas yang

6
buruk, penyerapan, dan kemanjuran yang buruk, oleh karena itu obat ini tidak
boleh digunakan sebagai obat lini pertama.5
Penatalaksanaan creeping eruption atau CLM menurut Perdoski 2017
disebutkan bahwa ada dua jenis penatalaksanaan, yaitu secara non medikamentosa
dan medikamentosa:
 Non medikamentosa
Pasien dihimbau untuk tetap menjaga kebersihan kulit dengan mandi 2 kali
sehari dengan sabun.
 Medikamentosa
Prinsip dari penatalaksanaan medikamentosa adalah untuk mematikan larva
cacing. Terdapat beberapa obat atau tindakan yang dapat dipilih sesuai dengan
indikasi sebagai berikut:
a) Topikal
- Salep albendazol 10% dioleskan 3 kali sehari selama 7-10 hari.
- Salep thiabendazol 10-15% dioleskan 3 kali sehari selama 5-7 hari.
Dapat diberikan pada anak berusia kurang dari 2 tahun atau berat
badan kurang dari 15 kg. Penggunaan sediaan thiabendazole topikal
diindikasikan pada pada lesi yang masih awal dan terlokalisir.
Sediaan thiabendazole ada dalam bentuk larutan 10% atau salep
15%. Thiabendazole sediaan topikal digunakan dengan pemberian 2-
3 kali per hari selama 7-10 hari.
b) Sistemik
- Albendazol 400 mg untuk anak usia >2 tahun atau >10 kg selama 3-
7 hari berturut-turut.
Albendazole adalah antihelmintic spektrum luas benzimidazole
carbamate yang bekerja dengan mengganggu proses pengambilan
glukosa dan agregasi mikrotubulus cacing tambang. Albendazole
diberikan dengan dosis 400 mg/hari selama 3 hari. Kelebihan
albendazole dibandingkan modalitas terapi yang lain adalah dapat
diberikan pada anak-anak mulai usia >6 bulan dan aman diberikan
pada wanita yang sedang menyusui. Dosis albendazole pada anak
adalah 15 mg/kg berat badan per hari selama 3 hari.
- Thiabendazol 50 mg/kg/hari selama 2-4 hari.

7
- Ivermektin 200 μg/kg dosis tunggal, dosis kedua diberikan bila
gagal. Sebaiknya tidak diberikan pada anak berusia kurang dari 5
tahun atau berat badan kurang dari 15 kg.
c) Kombinasi
Bedah beku dengan nitrogen cair atau etil klorida dapat dikombinasi
albendazol.7 Krioterapi dengan nitrogen cair dapat dipergunakan
sebagai alternatif tatalaksana cutaneous larva migrans, tetapi tidak
direkomendasikan karena kurang efektif dan nyeri. Alasannya antara
lain karena larva mampu bertahan hidup sampai suhu minus.

2.2 Obat Creeping Eruption atau CLM:


a. Albendazole
 Indikasi pemberian
Albendazole sistemik diberikan sebagai lini pertama pada CLM dengan
manifestasi multiple dan gejala yang berat. Albendazole adalah obat
antihelmintik heterosiklik generasi ketiga. Albendazole ini dapat dilakukan
sebagai alternatif yang baik di negara-negara dimana ivermectin tidak tersedia.
Oral albendazol (400 mg setiap hari) yang diberikan selama 5-7 hari
menunjukkan tingkat kesembuhan yang sangat baik, dengan angka
kesembuhan mencapai 92-100%. Karena dosis tunggal albendazol memiliki
efikasi yang rendah, albendazol dengan regimen tiga hari biasanya lebih
direkomendasikan. Jika diperlukan, dapat dilakukan pendekatan alternatif
dengan dosis awal albendazol dan mengulangi pengobatan.5

 Efek Samping
Pada penelitian oleh Begheri et al 2013 disebutkan bahwa efek samping
yang ditimbulkan dari 6 pasien yang digolongkan serius, 2 kasus
agranulositosis, satu kasus hepatitis, satu retrobulbar neuritis, satu gagal ginjal
akut, dan satu ruam kulit.8

 Mekanisme Kerja
Albendazole adalah antihelmintic spektrum luas benzimidazole carbamate
yang bekerja dengan mengganggu proses pengambilan glukosa dan agregasi
mikrotubulus cacing tambang.2 Albendazole diberikan dengan dosis 400

8
mg/hari selama 3 hari. Kelebihan albendazole dibandingkan modalitas terapi
yang lain adalah dapat diberikan pada anak-anak mulai usia >6 bulan dan aman
diberikan pada wanita yang sedang menyusui. Dosis albendazole pada anak
adalah 15 mg/kg berat badan per hari selama 3 hari.7
b. Thiabendazole

Indikasi Pemberian
Thiabendazole oral dapat efektif dalam pengobatan CLM. Penggunaan
sediaan thiabendazole topikal diindikasikan pada pada lesi yang masih awal
dan terlokalisir.7

Efek Samping
Komplikasi atau efek samping yang dapat kemungkinan muncul pada
penggunaan thiabendazole pada bidang dermatologi adalah reaksi
hipersensitivitas seperti SJS (Steven Johnson Syndrome), skin rash, eritema
multiform.5

Mekanisme Kerja
Cara kerja dari thiabendazole secara spesifiknya belum dapat diketahui,
namun kemungkinan thiabendazole bekerja dengan menekan produksi telur
dan atau larva dari cacing, dan juga thiabendazole dapat menghambat
perkembangan selanjutnya dari telur dan larva, serta dapat menghambat enzim
fumarat reduktase spesifik dari cacing.8 thiabendazole akan lebih efektif jika
diberikan bersamaan dengan obat lainnya, seperi ivermectin atau albendazole.5
c. Ivermectin

Indikasi Pemberian
Ivermectin merupakan obat yang efektif dalam mengobati CLM. Dosis
tunggal ivermectin lebih efektif dibandingkan dengan dosis tunggal
albendazole. Namun memang pada beberapa daerah ivermectin susah
didapatkan sediaannya, sehingga diberikan albendazole sebagai penggantinya.
Ivermectin dapat menjadi terapi pilihan pertama karena relatif aman, toksisitas
rendah, serta hanya perlu dosis tunggal.5

Efek Samping
Ivermectin kontraindikasi pada anak-anak dengan berat badan kurang dari
15 kg, usia kurang dari 5 tahun, serta pada wanita hamil dan menyusui. Saat ini
sediaan topikal ivermectin juga mulai digunakan sebagai alternatif terapi oral
ivermectin yang dianggap memiliki banyak efek samping. Efek samping dari
ivermectin yang dapat timbul antara lain nyeri mata atau mata merah hingga

9
gangguan penglihatan, lalu dapat menyebabkan skin rash yang berat hingga
menjadi pus, dapat juga timbul rasa gatal pada kulit.5


Mekanisme Kerja
Ivermectin adalah agen antiparasitik macrocyclic lactone semisintetis
spectrum luas, yang bekerja melawan nematoda dengan menghasilkan flaccid
paralysis melalui ikatan kanal ion glutamate-gated chloride. Obat ini terbukti
efektif mematikan larva yang sedang bermigrasi serta mengurangi rasa gatal.
Penyembuhan seluruh gejala terjadi setelah sekitar 1 minggu. Jika terapi gagal,
dosis dapat diulang sekali lagi dan umumnya akan memberikan respon terapi
yang baik.5
2.3 Pediculosis
a. Pediculosis Capitis
Pediculosis Capitis adalah infeksi kulit kepala dan rambut oleh kutu kepala.
Etiologinya termasuk subspesies Pediculus Humanus Capitis. Transmisi didapat dari
kontak kepala dengan kepala, topi, sisir yang dipakai bersama, hingga bantal.
Diperkirakan sekitar 6-12 juta orang di Amerika Serikat mengalami hal ini setiap
tahun. Di Amerika Serikat, lebih banyak terjadi pada orang kulit putih daripada orang
kulit hitam. Di Afrika relatif jarang terjadi.7,9

10
Gambar 2. Pediculosis capitis: Panah: kapsul telur putih keabu-abuan (nits) melekat erat pada
poros rambut, divisualisasikan dengan lensa.9

Gejala dapat berupa pruritus bagian belakang dan sisi kulit kepala. Tempat
predileksi terbatas pada kulit kepala, terutama daerah oksipital dan postauricular. Sangat
jarang menginfeksi jenggot. Kutu kepala juga dapat menyerang bulu mata (pediculosis
palpebrarum). Lesi kulit akibat reaksi gigitan dapat berupa urtikaria atau papula di leher.
Lesi sekunder dapat berupa eksim, eksoriasi, liken simpleks kronikus pada kulit kepala
oksipital dan leher sekunder akibat garukan kronis. Infeksi sekunder oleh S. aureus dapat
menyebabkan eksim atau eksoriasi yang meluas ke leher, dahi, wajah, dan telinga. Dapat
ditemukan limfadenopati oksipital posterior. 7,9

Diferensial diagnosis dapat berupa ketombe, pruritus kulit kepala, Dermatitis


Atopik, Impetigo, Lichen Simplex Chronicus. Diagnosis didapatkan dari temuan klinis,
dikonfirmasi oleh deteksi kutu. Telur kutu dalam jarak 4 mm dari kulit kepala
menunjukkan infeksi aktif. Pengobatan berupa insektisida topikal seperti Permethrin,
Malathion, Pyrethrin, Piperonyl, Butoxide. Obat sistemik dapat berupa Ivermectin oral
(200 mg/kg). 7,9

b. Pediculosis Corporis

Merupakan infeksi yang disebabkan oleh Pediculus Humanus Humanus. Kutu ini
hidup dalam lapisan pakaian, dapat bertahan hidup tanpa makan darah hingga 3 hari, dan
menempel pada rambut di tubuh untuk mencari makan. Faktor risiko termasuk
kemiskinan, perang, bencana alam, ketidakmampuan, tunawisma, dan populasi di
pengungsian. 7,9

11
Gambar 3. Lesi multipel sekunder akibat ekskoriasi, prurigo nodularis, dan lichen
simplex chronicus. Kutu dan telur kutu terlihat di lapisan pakaian. 9

Kutu badan merupakan vektor dari berbagai penyakit. Kutu badan


mentransmisikan banyak agen infeksius. Bartonella quintana menyebabkan demam
trench dan endokarditis. Rickettsia prowazekii menyebabkan tifus epidemi. Brill-Zinsser
Disease (demam berulang yang ditularkan melalui kutu) adalah kambuhnya demam tifus
epidemi. 7,9

Manifestasi klinis dapat berupa reaksi terhadap gigitan seperti urtikaria mirip
dengan kutu kepala. Perubahan sekunder akibat sering menggaruk termasuk eksoriasi,
eksim, liken simpleks, infeksi S. aureus, dan hiperpigmentasi pasca-inflamasi. Skabies,
Pedikulosis Kapitis, dan Pulex Irritnt dapat hidup berdampingan. Diagnosis banding
dapat berupa Dermatitis Atopik, Dermatitis Kontak, Skabies, reaksi obat yang merugikan.
Diagnosis didapat dari ditemukannya kutu dan telur pada pakaian. Tatalaksana berupa
dekontaminasi pakaian dan tempat tidur, menjaga kebersihan, membasmi kutu, obat-
obatan seperti Pyrethrin, Permethrin, Malathion. 7,9

12
c. Pediculosis Pubis
Infestasi daerah yang ditumbuhi rambut oleh kutu. Paling umum terjadi pada
daerah pubis, bagian dada dan aksila yang berbulu, bulu mata bagian atas. Manifestasi
klinis berupa pruritus ringan hingga sedang, urtikaria papula, dan eksoriasi. Paling sering
terjadi pada pria muda. Penularan terjadi akibat kontak fisik yang dekat seperti berbagi
ranjang. Dapat hidup berdampingan dengan penyakit menular seksual lainnya. 7,9

Gambar 4. a) Kutu kepiting (panah) pada kulit di daerah kemaluan. b) Kutu kepiting
(panah) dan nits pada bulu mata atas seorang anak; ini satu-satunya tempat infeksi. 9

Manifestasi klinis seringkali tanpa gejala, pruritus ringan sampai sedang selama
berbulan-bulan, eksoriasi dan infeksi sekunder. Lesi kulit berupa urtikaria papula (papula
eritematosa kecil) di daerah seperti periumbilikalis. Perubahan sekunder akibat
likenifikasi dan ekskoriasi. Infeksi S. aureus sekunder. Maculae ceruleae (taches bleues)
adalah makula abu-abu kebiruan dengan diameter 0,5-1 cm. Manifestasi pada kelopak
mata dapat terjadi kerak serosa bersama dengan kutu dan telur kutu dan edema kelopak
mata. Dapat terjadi limfadenopati regional. 7,9

Diagnosis banding berupa Dermatitis Atopik, Dermatitis Seboroik, Tinea Cruris,


Moluskum Kontagiosum, Skabies. Diagnosis didapatkan dari temuan kutu dewasa yang
hidup, nimfa, atau kutu di daerah kemaluan untuk mendiagnosis kutu aktif. Tatalaksana
sama dengan pedikulosis lainnya. Perlu dilakukan dekontaminasi tempat tidur dan
pakaian, dan mungkin mengobati pasangan seks juga. 7,9

13
Tabel 1. Tatalaksana Pedikulosis.9

2.4 Scabies

Merupakan infeksi epidermis superfisial oleh tungau Sarcoptes scabiei var.


hominis. Penularan menyebar melalui kontak kulit dan kulit. Manifestasi klinis berupa
pruritus seringkali dengan temuan kulit minimal, ditemukan Burrows di bawah stratum
korneum, Nodul Skabies. Dermatitis Eksema. Hiperinestasi (skabies berkrusta atau
hiperkeratotik atau Norwegia). 7,9

Gambar 5. Skabies dengan papula dan lokasi khas di sela jari. Burrows adalah lapisan
kulit berwarna kecokelatan linier dengan vesikel kecil atau papula di ujung saluran. 9

14
Sarcoptes scabiei var. hominis menetap ke dalam epidermis tak lama setelah
kontak, tidak lebih dalam dari stratum granulosum. Masa hidup tungau perempuan dapat
4-6 minggu, bertelur hingga 40-50 telur, telur menetas dalam 4 hari. Membuat Burrow 2-
3 mm setiap hari, biasanya di malam hari, dan bertelur di siang hari. Larva menetas
bermigrasi ke permukaan kulit dan menjadi dewasa. 7,9

Diperkirakan terjadi 300 juta kasus/tahun di seluruh dunia. Merupakan masalah


kesehatan masyarakat yang utama di banyak negara berkembang. Di beberapa daerah di
Amerika Selatan dan Tengah, prevalensi sekitar 100%. Di negara-negara di mana
penyakit leukemia/virus limfoma sel T manusia (HTLV-I) sering terjadi, skabies
hiperinfestasi adalah penanda infeksi ini. Penularan melalui kontak kulit ke kulit dan
fomites. Tungau dapat tetap hidup selama lebih dari 2 hari di pakaian atau di tempat tidur.
7,9

Manifestasi klinis dapat berupa gejala serupa pada anggota keluarga atau
pasangan seksual. Pruritus yang intens, menyebar, sering mengganggu tidur. Ruam
berkisar dari tanpa ruam hingga eritroderma menyeluruh. Beberapa orang mengalami
pruritus selama berbulan-bulan tanpa ruam. Dapat ditemukan Burrow intraepidermal,
panjang 0,5-1 cm, baik linier atau serpiginosa, dengan vesikel kecil atau papula di ujung
terowongan. Distribusi pada area dengan sedikit atau tanpa folikel rambut, biasanya di
mana stratum korneum tipis dan lunak seperti jaringan interdigital tangan, pergelangan
tangan, penis, siku, kaki, bokong, aksila. Pada bayi dapat terjadi di kepala dan leher. 7,9

Skabies dengan hiperinfestasi (sebelumnya disebut Norwegian Scabies) mungkin


dimulai sebagai skabies biasa. Gambaran klinis berupa eksim kronis, dermatitis
psoriasiformis, dermatitis seboroik, atau eritroderma. Lesi sangat hiperkeratotik dan/atau
berkrusta. Distribusi generalisata bahkan melibatkan kepala dan leher pada orang dewasa
atau dapat terlokalisasi. Tipe autosensitisasi ditandai oleh meluasnya papula edematosa
urtikaria kecil yang menyebar terutama pada tubuh anterior, paha, bokong, dan lengan
bawah. 7,9

Perubahan sekunder berupa ekskoriasi, lichen simplex chronicus, nodul prurigo.


Hiperpigmentasi dan hipopigmentasi pascainflamasi pada individu yang berpigmen lebih

15
dalam. Skabies bulosa dapat menterupai pemfigoid bulosa. Dapat terjadi infeksi sekunder
oleh S. aureus. Diagnosis banding Pruritus, lokal atau umum, ruam parasitosis, reaksi
obat yang merugikan, dermatitis atopik, dermatitis kontak alergi, pruritus metabolik.
Skabies nodular. urticaria pigmentosa (pada anak kecil), urtikaria papular (gigitan
serangga), prurigo nodularis, pseudolymphoma. Infestasi skabies. Psoriasis, dermatitis
eksema, dermatitis seboroik, eritroderma. 7,9

Tiga temuan untuk mendiagnosis skabies adalah dengan menemukan tungau S.


scabiei, telur, dan scybala. Hasil dermatopatologi ditemukan liang skabietik: terletak di
dalam stratum korneum; tungau betina dengan telur terletak di ujung burrow. Spongiosis
(edema epidermis) dekat tungau dengan pembentukan vesikel. Dermis menunjukkan
infiltrat dengan eosinofil. Nodul: infiltrat inflamasi kronik padat dengan eosinofil. Dalam
beberapa kasus, reaksi arthropoda persisten menyerupai limfoma dengan sel mononuklear
atipikal. Hyperinfestation: stratum korneum menebal yang penuh dengan tungau yang tak
terhitung jumlahnya. 7,9

Tatalaksana dengan merawat individu yang terinfeksi dan kurangi kontak fisik
(termasuk pasangan seksual) pada saat yang sama meskipun ada gejala atau tidak.
Pengobatan yang direkomendasikan yaitu krim Permethrin 5% diaplikasikan ke seluruh
area tubuh. Lindane 1% lotion atau krim dioleskan tipis ke semua area tubuh dari leher ke
bawah, cuci bersih setelah 8 jam. Lindane tidak boleh digunakan setelah mandi atau saat
mandi, atau oleh pasien dengan dermatitis luas, wanita hamil atau menyusui, atau anak-
anak di bawah 2 tahun. Terapi alternatif topikal berupa Crotamiton 10%, sulfur 2-10%
dalam petrolatum, benzyl benzoate 10% dan 25%, benzyl benzoate dengan sulfiram,
malathion 0,5%, sulfram 25%, ivermectin 0,8%. Terapi alternatif sistemik berupa
Ivermectin oral, 200 μg/kg dosis tunggal dilaporkan sangat efektif dalam 15-30 hari.
Tidak boleh digunakan pada bayi, anak kecil atau wanita hamil atau menyusui. 7,9

Pada skabies berkrusta. Ivermectin oral dikombinasikan dengan skalisida topikal.


Selain itu dilakukan dekontaminasi terhadap lingkungan. Gatal-gatal yang bertahan
seminggu atau lebih mungkin disebabkan oleh hipersensitivitas terhadap tungau yang
mati dan produk-produk tungau. Untuk pruritus yang berat dan persisten, terutama pada
individu dengan riwayat gangguan atopik, diindikasikan pemberian prednison selama 14

16
hari (70 mg pada hari 1). Apabila terjadi infeksi bakteri sekunder, obati dengan salep
mupirocin atau agen antimikroba sistemik. Pada Nodul Scabietic diberikan Triamcinolone
intralesi 5-10 mg/ml ke dalam setiap lesi, ulangi setiap 2 minggu jika perlu. 7,9

Tabel 2. Tatalaksana Skabies9

2.5 Obat untuk Pedikulosis dan Skabies.


a. Permethrin

Indikasi10,11,12
1. Pengobatan Pediculosis Capitis
Dapat diberikan pada pasien dewasa, remaja, anak-anak, dan bayi lebih
dari 2 bulan. Sediaan topikal berupa lotion permethrin 1% yang dioleskan ke
seluruh rambut dan kulit kepala (biasanya 25 hingga 30 mL), terutama di
belakang telinga dan di tengkuk.
2. Pengobatan Pediculosis Pubis
Dapat diberikan pada orang dewasa. CDC merekomendasikan penggunaan
permethrin 1% krim bilas topikal ke daerah yang terkena dan dibilas setelah 10
menit. Pasien harus dievaluasi 1 minggu setelah terapi.

3. Profilaksis Pedikulosis.
Profilaksis hanya direkomendasikan untuk individu yang tinggal di daerah
epidemi dimana setidaknya 20% populasi terinfeksi dan apabila tinggal di satu
rumah dengan individu yang terinfeksi.

17
4. Pengobatan skabies, termasuk skabies berkrusta (Norwegia).
Dosis topikal digunakan Permethrin 5% krim. Dapat diberikan pada orang
dewasa. remaja, anak-anak, dan bayi 2 bulan ke atas. Biasanya 30 gram sudah
cukup untuk rata-rata orang dewasa. Bersihkan krim setelah 8 hingga 14 jam.
Satu kali pemberian umumnya sudah bersifat kuratif. Meskipun pruritus dapat
bertahan setelah pengobatan, ini jarang merupakan tanda kegagalan pengobatan
dan bukan merupakan indikasi untuk pengobatan ulang. Pengobatan ulang
diindikasikan jika tungau bertahan hidup setelah 7 sampai 14 hari pengobatan
awal.
Pada skabies berkrusta (Norwegia), CDC merekomendasikan aplikasi
seluruh tubuh (semua bagian tubuh dari leher ke bawah) dari permethrin 5%
krim topikal setiap hari selama 7 hari dan kemudian 2 kali seminggu sampai
terlepas dari perawatan atau penyembuhan dalam kombinasi dengan oral
ivermectin. Ivermectin (200 mcg/kgBB) diberikan dalam 5 dosis (sekitar hari 1,
2, 8, 9, dan 15), dengan pertimbangan 2 dosis tambahan (sekitar hari 22 dan 29)
untuk infeksi berat. Krim keratolitik topikal juga dapat digunakan untuk
membantu mengurangi pengerasan kulit. Pengobatan ulang 2 minggu setelah
rejimen pengobatan awal dapat dipertimbangkan untuk pasien yang masih
bergejala. Penggunaan rejimen alternatif direkomendasikan untuk pasien yang
tidak menanggapi pengobatan yang direkomendasikan.


Efek Samping:

Permethrin menunjukkan efek samping yang meliputi sensasi terbakar, iritasi,


kesemutan dan gatal. Efek samping lainnya adalah reaksi alergi dan dermatitis
kontak. Di daerah tropis dengan tingkat keringat yang tinggi, aplikasi seluruh tubuh
sering menyebabkan rasa tidak nyaman dan lengket.12


Mekanisme Kerja:

Permethrin aktif terhadap berbagai parasit, termasuk kutu, tungau, dan arthropoda
lainnya. Permethrin bekerja pada membran sel saraf untuk mengganggu aliran

18
saluran natrium yang mengatur polarisasi membran. Hal ini menyebabkan
repolarisasi tertunda dan menyebabkan kelumpuhan dan kematian parasit.11

Gambar 6. Struktur Voltage-gated sodium channels. Saluran ini terdiri dari 4 domain
homolog (domain I hingga IV), dengan masing-masing 6 segmen transmembran (S1
hingga S6).11

Voltage-gated sodium channels sangat penting untuk berfungsinya neuron


dan miosit secara normal. Terdiri dari subunit alfa yang terkait dengan 1 atau 2
subunit beta. Subunit alfa adalah kompleks yang terdiri dari 4 domain homolog (I-
IV). Setiap domain terdiri dari 6 segmen transmembran (S1-S6). S5 dan S6
membentuk pori-pori, sedangkan S1-S4 adalah bagian yang peka terhadap tegangan
dari saluran. Setelah perubahan tegangan transmembran, segmen ini mengubah
konfigurasinya untuk membuka saluran dan memungkinkan natrium memasuki sel.
Banyak obat bertindak dengan mengikat reseptor di dalam pori, sehingga
menghalangi aliran natrium. Anestesi lokal dan anti-epilepsi adalah contoh dari
obat-obatan tersebut. Neurotoksin lain, seperti permethrin, bertindak dengan
mengikat ke tempat yang jauh dari pori-pori. Tempat pengikatan permethrin terletak
di dalam rongga hidrofobik yang panjang antara penghubung IIS4/IIS5 dan heliks
IIS5/IIIS6. Setelah terikat, obat ini mencegah penutupan saluran. Aliran natrium
terus-menerus yang dihasilkan menyebabkan aktivitas akson berlebihan, dan

19
menempatkan tungau dalam keadaan yang disebut "keadaan knockdown". Keadaan
ini akan diikuti oleh kelumpuhan dan akhirnya kematian kutu.9,10,11

b. Ivermectin


Indikasi: 10,11,12

1. Pengobatan Onchocerciasis akibat infeksi Onchocerca volvulus


Diberikan dosis oral pada dewasa, remaja, dan anak-anak lebih dari 15 kg.
Dosis diberikan sekitar 150 mcg/kgBB sebagai dosis tunggal. Sebagai
alternatif, pabrikan merekomendasikan dosis berikut menggunakan tablet 3 mg
berdasarkan berat pasien: 1 tablet untuk pasien dengan berat 15-25 kg; 2 tablet
untuk pasien dengan berat 26-44 kg; 3 tablet untuk pasien dengan berat 45-64
kg; 4 tablet untuk pasien dengan berat 65-84 kg; dan 150 mcg/kg untuk pasien
dengan berat lebih dari 85 kg.
2. Pengobatan Strongyloidiasis akibat infeksi Strongyloides stercoralis.
Diberikan dosis oral pada dewasa, remaja, dan anak-anak lebih dari 15 kg.
Dosis diberikan sekitar 200 mcg/kgBB sebagai dosis tunggal. Sebagai
alternatif, pabrikan merekomendasikan dosis berikut menggunakan 3 mg tablet
berdasarkan berat pasien: 1 tablet untuk pasien dengan berat 15-24 kg; 2 tablet
untuk pasien dengan berat 25-35 kg; 3 tablet untuk pasien dengan berat 36-50
kg; 4 tablet untuk pasien dengan berat 51-65 kg; 5 tablet untuk pasien dengan
berat 66-79 kg; dan 200 mcg / kg untuk pasien dengan berat lebih dari 80 kg.
3. Pengobatan Pediculosis (pediculosis capitis, pediculosis corporis dan
pediculosis pubis)
Pada dewasa, bayi 6 bulan ke atas, anak-anak, dan remaja diberikan dosis
topikal (lotion) pada rambut kering dan kulit kepala secara menyeluruh untuk
pediculosis capitis. Tunggu 24 jam sebelum mengoleskan sampo ke rambut dan
kulit kepala setelah digunakan. Dosis oral pada orang dewasa 250 mcg/kg/dosis
untuk 2 dosis diberikan 2 minggu terpisah sebagai alternatif untuk pedikulosis
pubis direkomendasikan oleh CDC. Regimen 2 dosis 200 mcg/kg/dosis, setiap
dosis dipisahkan 10 hari, telah dilaporkan efektif untuk pengobatan Pediculus
corporis dan Pediculus capitis.
4. Pengobatan lesi inflamasi jerawat rosacea.
Diberikan dosis topikal (krim)

20

Efek Samping:

Ivermectin kontraindikasi pada anak-anak dengan berat badan kurang dari


15 kg, usia kurang dari 5 tahun, serta pada wanita hamil dan menyusui. Saat ini
sediaan topikal ivermectin juga mulai digunakan sebagai alternatif terapi oral
ivermectin yang dianggap memiliki banyak efek samping. Efek samping dari
ivermectin yang dapat timbul antara lain nyeri mata atau mata merah hingga
gangguan penglihatan, lalu dapat menyebabkan skin rash yang berat hingga
menjadi pus, dapat juga timbul rasa gatal pada kulit.5


Mekanisme Kerja:

Gambar 4. Mekanisme kerja Ivermectin pada Ligand-gated chloride channels.


Setelah obat terikat pada saluran, pori saluran tetap terbuka sehingga
memungkinkan Cl untuk memasuki sel. Saluran ini juga merespons ligan endogen
seperti GABA dan glutamat.11

Ligand-gated chloride channels adalah superfamili protein yang penting


untuk fungsi neuron dan otot. Ikatan ligan menghasilkan aliran klorida ke bagian
dalam sel, yang menyebabkan hiperpolarisasi. Ivermectin bekerja pada saluran ini,
terutama saluran glutamat dan GABA. Setelah pengikatan obat, pori tetap terbuka,
menghasilkan aliran klorida yang terus menerus sehingga mengakibatkan
kelumpuhan dan kematian tungau. 10,11,12

21
22
BAB III

KESIMPULAN

Pada obat yang digunakan sebagai tatalaksana Cutaneus Larva Migran seperti
Albendazole, Tiabendazole dan Ivermectin, obat-obat ini bekerja membunuh telur dan larva
cacing penyebab dengan cara mengganggu ambilan glukosa dan agregasi mikrotubulus sehingga
telur dan larva tidak bisa bertahan. Sedangkan pada tatalaksana Pedikulosis maupun Skabies
dengan menggunakan obat Phermetrin maupun Ivermectin, obat-obat ini dapat melumpuhkan
dan membunuh kutu maupun tungau penyebab dengan cara mempengaruhi saluran kanal ion
baik sodium maupun klorida yang menyebabkan aktivitas polarisasi yang berlebihan.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda,A., Hamzah, M., Aisah S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 2007. Edisi 5.
Cetakan 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
2. Caumes, E. Treatment of Cutaneous Larva. 2000. Infectious Disease Society of Amerika.
2000;30:811-14.
3. Borda, L. J., J. K. Penelope., D. G. Robert., A. Giubellino., and J. H. Cho-Vega.
Hookworm-related Cutaneous Larva Migrans with Exceptional Multiple Cutaneous
Entries. 2017. Clinical & Investigative Dermatology. 5(1): 1-4.
4. Sudjari., Mayashita, DK., and Brahmanti, H. Creeping Eruption. 2014. SMF Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Universitas Brawijaya/ RSUD Dr. Saiful Anwar
Malang.
5. Maxfield, L.,and Crane, JS. Cutaneous Larva Migrans. 2019. (Available at :
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK507706/ ) Accessed on 27 Juli 2019.
6. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia. Panduan Praktik Klinis Bagi
Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di Indonesia. 2017. Perdoski.
7. Goldsmith, LA., Katz, SI., Gilchrest, BA., Paller, AS., Leffel, DJ., and Wolff, K.
Fitzpatrick: Dermatology in General Medicine. 2012. The Mc Graw-Hill Companies.
8. Bagheri, H., Simiand, E., Montastruc, JL., and Magnaval, JF. Adverse Drug Reactions to
Antehelmintics. 2004. (Available at: https://www.researchgate.net/publication/8896854 )
Accessed on 28 Juli 2019.
9. Wolff, Klaus, Richard A. Johnson, and Thomas B. Fitzpatrick. Fitzpatrick's Color Atlas
and Synopsis of Clinical Dermatology. New York: McGraw-Hill Medical, 2009.
10. R Scott, G., and Chosidow, O. (2011). European guideline for the management of
scabies,. International journal of STD & AIDS. 2010. 22. 301-3. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/28639722
11. Khalil S, Abbas O, Kibbi AG, Kurban M. Scabies in the age of increasing drug resistance.
PLoS Negl Trop Dis. 2017;11(11):e0005920. Published 2017 Nov 30. Available at:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5708620/
12. Sungkar, Saleha & Agustin, Triana & L. Menaldi, Sri & Fuady, Ahmad & Herqutanto,
Herqutanto & Angkasa, Hansen & Santawi, Victor Prana & Zulkarnain, Hirzi.
Effectiveness of permethrin standard and modified methods in scabies treatment. Medical

24
Journal of Indonesia. 23. 93. 2014. Available at:
https://mji.ui.ac.id/journal/index.php/mji/article/view/594.

25

Anda mungkin juga menyukai