Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH SEMINAR

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN SKABIES

Disusun oleh :
Raras Utami
Rista Dian
M. Faelasup

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS WIDYA HUSADA SEMARANG
2022
Kata Pengantar

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Kami panjatkan puji syukur kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, serta
inayah-NyA kepada kami sehingga kami bisa menyelesaikan makalah ilmiah tentang Asuhan
Keperawatan Dengan Skabies. Makalah ini sudah kami susun dengan maksimal dan
mendapat bantuan dari berbagai pihak sehingga bisa memperlancar pembuatan makalah ini.
Untuk itu kami menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi
dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari segala hal tersebut, Kami sadar sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karenanya kami
dengan lapang dada menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat
memperbaiki makalah ilmiah ini. Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah tentang
limbah dan manfaatnya ini bisa memberikan manfaat maupun inspirasi untuk pembaca.

Pekalongan, 15 September 2022

Penyusun
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Skabies merupakan penyakit kulit yang endemis diwilayah beriklim tropis dan
subtropis, merupakan penyakit kulit yang menular. Skabies dalam bahasa indonesia
sering disebut ‟ kudis‟, orang jawa menyebutnya ‟gudig”, sedangkan orang sunda
menyebutnya ‟budug‟. Penyakit ini juga sering disebut dengan penyakit kutu
badan,budukan,gatas agogo,yang disebabkan oleh parasit Sarcoptes scabiei varian
hominis (sejenis kutu,atau tungau), ditandai dengan keluhan gatal,terutama pada
malam hari dan ditularkan melalui kontak langsung atau tidak langsung melalui alas
tempat tidur dan pakainan. Penyakit skabies bersifat menular dan umumnya
menyerang sekelompok orang dengan kondisi sosial ekonomi yang rendah, personal
hygiene dan sanitasi yang buruk. Infestasi skabies memang tidak membahayakan,
namun mengganggu aktivitas dan produktivitas penderitanya, menimbulkan kesan
kotor dan terbelakang serta efek psikologis bagi penderita dan masyarakat sekitarnya
(Purwanto, 2020).
Jumlah kejadian skabies yang tinggi masih ditemukan hampir pada semua
negara di seluruh dunia dengan angka prevalensi yang bervariasi. Angka prevalensi
yang terjadi di seluruh dunia diperkirakan mencapai 300 juta kasus setiap tahunnya.
Di beberapa negara berkembang penyakit skabies dilaporkan 6- 27% populasi umum
dan insiden tertinggi terjadi pada anak usia sekolah dan remaja. Angka kejadian
penyakit skabies sering terjadi pada anak-anak usia sekolah, prevalensi skabies
tertinggi dijumpai pada anak-anak berumur kurang dari 15 tahun. 6,8 Prevalensi
skabies di seluruh Indonesia antara 4,6- 12,95%. 9 Skabies menduduki peringkat ke-7
dari 10 penyakit utama di Puskesmas dan menempati urutan ke-3 dari penyakit kulit
tersering di Indonesia (Ihtiaringtyas, 2019).
Penyakit skabies bersifat menular dan umumnya menyerang sekelompok
orang dengan kondisi sosial ekonomi yang rendah, personal hygiene dan sanitasi yang
buruk. Infestasi skabies memang tidak membahayakan, namun mengganggu aktivitas
dan produktivitas penderitanya, menimbulkan kesan kotor dan terbelakang serta efek
psikologis bagi penderita dan masyarakat sekitarnya. Menurut penelitian (Purwanto,
2020) faktor risiko terjadinya penyakit skabies dari yang terbesar ke yang terkecil
adalah faktor lingkungan sosial, sanitasi, dan lingkungan fisik. Masyarakat yang
memiliki lingkungan sosial tidak baik mempunyai risiko sakit skabies 41,03 kali lebih
besar dibandingkan masyarakat yang lingkungan sosialnya baik, sanitasi yang tidak
memenuhi syarat mempunyai risiko 20,7 kali lebih besar dibandingkan yang sanitasi
yang memenuhi syarat, lingkungan fisik padat memiliki risiko 15,3 kali dibandingkan
dengan yang lingkungan fisik tidak padat.
Penularan skabies dapat dikurangi dengan menghindari kontak erat dengan
penderita, tidak saling bertukar pakaian atau barang pribadi lainnya dan tetap menjaga
kebersihan diri dengan mandi teratur menggunakan sabun.

B. Tujuan
1. Tujuan
a. Tujuan Umum
Tujuan dari makalah ini adalah memberikan gambaran pelaksanaan asuhan
keperawatan pada pasien dengan Skabies.
b. Tujuan Khusus
1) Mampu mengetahui definisi dari Skabies
2) Mampu mengetahui etiologi dari Skabies
3) Mampu mengetahui manifestasi klinis dari Skabies
4) Mampu mengetahui patofisiologi Skabies
5) Mampu mengetahui penatalaksanaan Skabies
6) Mampu mengetahui pemeriksaan penunjang dari Skabies
7) Mampu mengetahui komplikasi dari Skabies
8) Mampu mengetahui pengajian, diagnosa keperawatan, serta intervensi
pada asuhan keperawatan dengan Skabies
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Pengertian
Skabies atau penyakit kudis adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh
infestasi dan sensitisasi S. Scabiei Varietas Hominis. Gejala klinis yang ditimbulkan
adalah gatal-gatal terutama pada malam hari (pruritus nocturna). Tanda klinis yang
muncul berupa papula atau vesikel yang puncaknya terdapat gambaran yang
sebenarnya merupakan terowongan. Penyakit ini merupakan penyakit zoonosis yang
menyerang kulit, mudah menular dari manusia ke manusia, dari hewan ke manusia
atau sebaliknya dan dapat mengenai semua ras dan golongan di seluruh dunia
(Ihtiaringtyas, 2019).
B. Etiologi

Gambar 1 Sarcoptes scabiei


Sumber : Buku Skabies (Etiologi, Patogenesis, Pengobatan, Pemberantasan, dan Pencegahan)
(Sungkar, 2016).

Menurut (Rahmadayani, 2021) Skabies disebabkan oleh parasit Sarcoptes


scabier varian hominis sejenis kutu,atau tungau. Nama Sarcoptes scabiei adalah
turunan dari kata yunani yaitu sarx yang berarti kulit dan koptein yang berarti
potongan dan kata latin scabere yang berarti menganggaruk.Secara harfiah skabies
berarti gatal pada kulit sehingga muncul aktivitas mengganruk kulit yang gatal
tersebut. Tungau Skabies dapat ditemukan di seluruhdunia dan dapat mengenai semua
ras dan sosial ekonomi di berbagai iklim (Rahmadayani, 2021).
C. Morfologi

Gambar 2 Siklus hidup S. scabiei (Rahmadayani, 2021)


Tungau S. scabiei berwarna putih krem dan berbentuk oval yang cembung
pada bagian dorsal dan pipih pada bagian ventral.Permukaan tubuh bersisik dan
dilengkapi dengan kutikula serta banyak dijumpai garis paralel transversal. Spesies
betina berukuran 300 x 350 µm, sedangkan jantan berukuran 150 x 200 µm. Stadium
dewasa mempunyai 4 pasang kaki, 2 pasang kaki depan dan 2 pasang kaki belakang.
Kaki depan pada betina dan jantan memiliki fungsi yang sama sebagai alat untuk
melekat, akan tetapi kaki belakangnya memiliki fungsi yang berbeda. Kaki belakang
betina berakhir dangan rambut, sedangkan pada jantan kaki ketiga berakhir dengan
rambut dan kaki keempat berakhir dengan alat perekat (Rahmadayani, 2021).
D. Manifestasi Klinis

Gambar 3 Anatomi kulit (Sungkar, 2016)


Kulit adalah pembatas antara manusia dan lingkungannya. Kulit mempunyai
berat rata-rata 4 kg dan meliputi area seluas 2m². Kulit berperan sebagai pembatas,
melindungi tubuh dari lingkungan luar dan mencegah hilangnya zat-zat tubuh yang
penting, terutama air (Sungkar, 2016). Kulit memiliki 3 lapisan, yaitu:
1. Epidermis adalah lapisan kulit manusia paling luar yang terdiri atas jutaan sel kulit
yang diikat oleh lipid. Secara umum, epidermis bertindak sebagai perlindungan
dari air, infeksi, dan hal-hal eksternal lainnya. Bagian terluar epidermis (stratum
korneum) terdiri atas sel gepeng dan di bawahnya ada lapisan basa yang
merupakan pabrik sel kulit baru.
2. Dermis adalah lapisan di bawah epidermis yang memegang berbagai fungsi. Pada
lapisan ini, terdapat berbagai komponen seperti akar rambut (folikel), tepi saraf,
pembuluh darah, dan kelenjar keringat.
3. Lapisan hipodermis merupakan lapisan terdalam kulit manusia yang terdiri atas
sel-sel lemak, ujung saraf tepi, pembuluh darah, dan pembuluh getah bening.

Gambar 4 Telapak tangan yang terinfeksi Skabies (Rahmadayani, 2021)

Seseorang mengalami gejala skabies ketika tungau masuk ke dalam lapisan


kulitnya. Gejala tersebut ditandai dengan keluhan gatal,terutama pada malam hari dan
ditularkan melalui kontak langsung atau tidak langsung melalui alas tempat tidur dan
pakainan. Lesi primer yang terbentuk akibat infeksi skabies pada umumnya berupa
terowongan yang berisi tungau, telur, dan hasil metabolisme. Terowongan berwarna
putih abu-abu, tipis dan kecil seperti benang dengan struktur linear atau berkelok-
kelok kurang lebih 1-10 mm yang merupakan hasil dari pergerakan tungau di dalam
stratum korneum. Di ujung terowongan dapat ditemukan vesikel atau papul kecil.
Terowongan dapat ditemukan bila belum terdapat infeksi sekunder Ketika
menggali terowongan, tungau mengeluarkan sekret yang dapat melisiskan stratum
korneum. Sekret dan eksret tersebut akan menyebabkan sensitisasi sehingga
menimbulkan lesi sekunder. Lesi sekunder berupa papul, vesikel, pustul, dan
terkadang bula. Selain itu dapat pula terbentuk lesi tersier berupa ekskoriasi,
eksematisasi, dan pioderma. Meskipun dapat terbentuk lesi sekunder dan tersier,
namun tungau hanya dapat ditemukan pada lesi primer. Lesi primer pada skabies
sangat menular melalui jatuhnya krusta yang berisi tungau. Krusta tersebut
menyediakan makanan dan perlindungan bagi tungau yang memungkinkan mereka
untuk bertahan hidup. Kelangsungan hidup Sarcoptes scabiei sangat bergantung pada
kemampuannya meletakkan telur, larva, dan nimfa di dalam stratum korneum. Oleh
karena itu, tungau ini sangat menyukai bagian kulit yang memiliki stratum korneum
yang relatif lebih longgar dan tipis seperti sela-sela jari tangan, telapak tangan bagian
lateral, pergelangan tangan bagian volar, siku bagian luar, lipat ketiak bagian depan,
areola mammae (wanita), umbilikus, bokong, genitalia eksterna (pria) (Rahmadayani,
2021).
E. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya Skabies
1. Penggunaan alat pribadi bersama
Dari penelitian (Parman, 2017) bahwa hasil analisis hubungan kebersihan kulit
dengan kejadian scabies menunjukkan bahwa dari 63 responden yang menderita
scabies terdapat 35 kasus dan 18 lainnya tidak menderita penyakit scabies karena
responden memiliki kebersihan kulit yang baik. Dan yang memiliki kebersihan
kulit kurang baik mempunyai 3,125 kali lebih besar menderita scabies jika
dibandingkan dengan responden yang memiliki kebersihan kulit yang baik.
Kerbersihan handuk, pakaian, tempat tidur juga salah satu kebiasaan yang harus
diperhatikan karena lebih berisiko lebih besar terkena penyakit scabies adalah
orang-orang yang tidak memperhatikan kebersihan handuk, pakian, dan tempat
tidurnya (Parman, 2017).
2. Kepadatan penghuni
Faktor utama risiko skabies adalah kepadatan penghuni rumah dan kontak yang
erat. Prevalensi skabies dua kali lebih tinggi di pemukiman kumuh perkotaan yang
padat penduduk dibandingkan di kampung nelayan yang tidak padat. Pada saat
migrasi manusia secara masal di Eropa pada Perang Dunia I dan II serta Perang
Vietnam, prevalensi skabies di masyarakat lebih dari 30% karena pada saat
perang, masyarakat tinggal bersama di pengungsian dengan kepadatan penghuni
yang tinggi (Parman, 2017).
3. Tingkat pendidikan dan pengetahuan tentang Skabies
Secara umum semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin bertambah
pengetahuannya termasuk pengetahuan kesehatan. Dengan meningkatnya
pendidikan, diharapkan pengetahuan mengenai skabies meningkat karena
seseorang yang berpendidikan lebih tinggi biasanya mempunyai inisiatif untuk
mencari informasi di luar pendidikan formal misalnya dari internet (Parman,
2017).
F. Dampak Skabies terhadap psikososial
Dalam buku (Sungkar, 2016) penyakit kulit dapat menyebabkan masalah
dalam hubungan personal dan pasangan seksual karena adanya lesi di area genital.
Oleh karena itu, konsekuensi psikososial penyakit kulit kronik merupakan aspek
penting yang perlu diperhatikan. Konsekuensi psikososial tersebut mempunyai efek
langsung terhadap kualitas hidup penderita. Kualitas hidup adalah multidimensi yang
belum dapat diukur secara langsung, tetapi dapat diperkirakan dari faktor-faktor yang
memengaruhi. Untuk membatasi masalah psikososial penderita dianjurkan memakai
baju yang menutupi lesi. Hal tersebut lebih sering dilakukan penderita perempuan
dibandingkan laki-laki.
Daerah Timur Laut Brazil. memiliki iklim yang panas dan kering sehingga
penduduk lebih menyukai pakaian terbuka. Laki-laki dan perempuan lebih sering
memakai baju tanpa lengan, celana pendek, dan sandal terbuka padahal bagian tubuh
yang tidak tertutup baju itulah yang sering menjadi lokasi lesi skabies. Kegiatan
aktivitas santai juga terganggu karena jika pergi ke pantai, pakaian yang dipakai
biasanya lebih terbuka sehingga memakai baju tertutup akan menarik perhatian orang
lain.
Penelitian di Sri Lanka menunjukkan bahwa penderita skabies sering
dikucilkan sehingga sering marah-marah dan depresi. Hampir seperempat dari
penderita skabies mengalami stigma yang membuat mereka malu dan merasa
terisolasi dari masyarakat. Cara terbaik pencegahan komplikasi tersebut adalah
dengan edukasi kepada penderita untuk mengurangi kecemasan dan meningkatkan
kepatuhan berobat agar lebih cepat sembuh. Komplikasi skabies bukan hanya
berhubungan dengan infeksi, tetapi juga berkaitan dengan kerugian ekonomi rumah
tangga terutama pada masyarakat yang kurang mampu. Penelitian di daerah rural
Meksiko menunjukkan bahwa terdapat pengeluaran rumah tangga yang signifikan
terhadap pengobatan skabies yang tidak efektif. Hal tersebut berdampak pada
kemampuan membeli kebutuhan pokok seperti makanan untuk keluarga menjadi
berkurang. Skabies di lingkungan yang buruk merupakan masalah morbiditas
potensial dan sumber beban finansial.
G. Penatalaksanaan
Menurut (Rahmadayani, 2021) penderita scabies dapat diobati secara langsung
dengan cara perendaman/dipping, disikat/brushing, penyemprotan/spraying, oral dan
paranteral pada kulit yang terinfeksi. Pengobatan sebaiknya diulang sampai 2-3 kali
dengan interval 1-2 minggu. Untuk memutuskan siklus hidup tungau. Dapat juga
memberikan obat secara langsung pada kulit yaitu larutan coumaphos 0,1 %, benzena
hexa chlorine (1 % larutan yang berisi BHC dengan kadar 0,625 %), emulasi benzyl
benzoate 25 %, Kombinasi benzyl berzoate dan BHC, phosmet 20 %, odylen 20 %
(dimenthyl-diphenylene disulphide), lindane 20 %,amitraz 0,1 %, malation,phoxim.
Mengigat lokasi tungau Sarcoptes berada di dalam kulit, maka pengobatan agak sulit
dan membutuhkan kesabaran. Pada kasus yang sudah lanjut, keropeng yang tebal
dapat menghambat penetrasi akarisida, Hasil yang baik baru diperoleh bila keropeng
tersebut dibersihkan terlebih dahulu. Tetapi ada juga obat yang bersifat sistemik dan
cukup ampuh untuk penyakit ini adalah ivermectin, diberikan secara subkutan dengan
dosis 200 mg/kg bb. Secara oral,ivermectin tablet diberikan dengan dosis 100-200
mg/kg bb setiap hari selama 7 hari.
BAB III
TINJAUAN ASKEP
A. Pengkajian (Rahmadayani, 2021)
a. Identitas
Mendapatkan data identitas pasien meliputi nama, umur, jenis kelamin,
pendidikan, pekerjaan, alamat, nomor registrasi, dan diagnosa medis.
b. Riwayat kesehatan
1) Keluhan utama : klien dengan scabies terdapat lesi kulit dibagian
punggung dan merasakan gatal terutama pada malam hari.
2) Riwayat penyakit sekarang : pasien mulai merasakan gatal yang memanas
dan kemudian menjadi edema karena garukan akibat rasa gatal yang sangat
hebat.
3) Riwayat penyakit dahulu : riwayat penyakit kulit yang pernah diderita.
4) Riwayat penyakit keluarga : mendapatkan data riwayat kesehatan keluarga
pasien terkait dengan penyakit kulit.
c. Pola kesehatan fungsional
Hal-hal yang dapat dikaji pada gangguan oksigenasi adalah :
1) Pola manajemen kesehatan – persepsi kesehatan
Bagaimana perilaku individu tersebut mengatasi masalah kesehatan,
adanya faktor risiko sehubungan dengan masalah kesehatan yang dialami.
2) Aktivitas – latihan
Pada klien dengan scabies masih mampu untuk melakukan aktivitas seperti
mandi, makan, berpakaian eliminasi dan mobilisasi.
3) Pola istirahat dan tidur
Pada pasien Skabies terjadi gangguan pola tidur akibat gatal yang hebat
pada malam hari.
4) Pola persepsi – kognitif
Pada pasien dengan Skabies rasa kecap lidah masih berfungsi, gambaran
indera pasien masih normal apabila tidak disertai dengan penyakit
penyerta.
5) Pola konsep diri – persepsi diri
Rasa kurang percaya diri yang timbul karena adanya luka pada bagian
kulit dapat mempengaruhi aktivitas individu dalam lingkup sosialnya. Hal
tersebut dapat berdampak pada gangguan citra tubuh.
6) Pola reproduksi – seksual
Pada pasien Skabies mengalami gangguan pada seksual reproduksinya.
7) Pola toleransi koping stress
Masalah utama pada Skabies yaitu adanya sensai gatal yang menjadikan
pasien malas untuk bekerja, adanya kehilangan/perubahan yang terjadi,
sehingga malas untuk melakukan aktivitas sehari-hari.
d. Pemeriksaan fisik (Rahmadayani, 2021)
1) Kesadaran
2) TTV
3) Head to toe
e. Pemeriksaan penunjang
Dalam buku (Sungkar, 2016) tentang pemeriksaan penunjang pada Skabies
meliputi :
1) Kerokan kulit; ini dicapai dengan menempatkan setetes minyak
2) mineral di atas liang dan kemudian menggoreskan longitudinal
3) menggunakan skapel no 15. Kerokan diletakkan pada kaca
objek,
4) diberi kaca penutup, dan dengan mikroskop pembesaran 20X
atau
5) 100X dapat dilihat tungau, telur atau skibala.
1) Kerokan Kulit
Sebelum melakukan kerokan kulit, perhatikan daerah yang diperkirakan
akan ditemukan tungau yaitu papul atau terowongan yang baru dibentuk
dan utuh. Selanjutnya papul atau terowongan ditetesi minyak mineral lalu
dikerok dengan skalpel steril yang tajam untuk mengangkat bagian atas
papul atau terowongan. Hasil kerokan diletakkan di kaca objek, ditetesi
KOH, ditutup dengan kaca penutup kemudian diperiksa dengan
mikroskop.
2) Mengambil Tungau dengan Jarum
Pengambilan tungau dengan jarum dapat meningkatkan ketepatan
diagnosis dari 5% menjadi 95%. Untuk mengambil tungau, jarum
ditusukkan di terowongan di bagian yang gelap lalu diangkat ke atas. Pada
saat jarum ditusukkan biasanya tungau akan memegang ujung jarum
sehingga dapat diangkat keluar. Mengambil tungau dengan jarum relatif
sulit bagi orang yang belum berpengalaman terutama pada penderita
skabies yang lesinya tidak khas lagi dan banyak infeksi sekunder oleh
bakteri.
3) Usap (Swab) Kulit
Pemeriksaan usap kulit dilakukan dengan selotip transparan yang dipotong
sesuai ukuran gelas objek (25x50mm). Cara melakukannya, mula-mula
ditentukan lokasi kulit yang diduga terinfestasi tungau. Kemudian bagian
kulit tersebut dibersihkan dengan eter lalu dilekatkan selotip di atas papul
atau terowongan kemudian diangkat dengan cepat. Setelah itu, selotip
dilekatkan di gelas objek, ditetesi KOH, ditutup dengan kaca tutup, dan
diperiksa dengan mikroskop. Dari setiap satu lesi, selotip dilekatkan
sebanyak enam kali dengan enam selotip untuk membuat enam sediaan.56
Sediaan dapat diperiksa dalam tiga jam setelah pengambilan sampel bila
disimpan pada suhu 10-14OC. Usap kulit relatif mudah digunakan dan
memiliki nilai prediksi positif dan negatif (positive and negative predictive
value) yang tinggi sehingga dapat digunakan untuk skrining di daerah
dengan keterbatasan fasilitas.
4) Burrow Ink Test
Papul skabies diolesi tinta India menggunakan pena lalu dibiarkan selama
20-30 menit kemudian dihapus dengan alkohol. Burrow ink test
menunjukkan hasil positif apabila tinta masuk ke dalam terowongan dan
membentuk gambaran khas berupa garis zig zag. Burrow ink test adalah
pemeriksaan untuk mendeteksi terowongan, bukan untuk mendeteksi
tungau dan produknya.
5) Dermoskopi
Dermoskopi, disebut juga dermatoskopi atau epiluminescence
microscopyadalah metode yang digunakan dermatolog untuk
mengevaluasi diagnosis banding lesi berpigmen dan melanoma, namun
pada perkembangannya dermoskopi juga dapat digunakan untuk
mendiagnosis skabies. Dermoskopi adalah teknik pengamatan lapisan kulit
dermis superfisial secara in vivo. Dermoskop menggunakan medium liquid
yaitu minyak, air atau alkohol atau cahaya terpolarisasi yang
memungkinkan observasi langsung ke kulit tanpa terganggu refleksi
cahaya di kulit sehingga dapat memberikan gambaran rinci setiap lapisan
epidermis sampai dermis papiler superfisial dan mengidentifikasi
keberadaan terowongan.

B. Diagnosa keperawatan
Diagnosa yang mungkin muncul pada klien dengan gangguan Skabies menurut
(Rahmadayani, 2021) adalah :
1. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan faktor mekanis (gesekan/garukan)
(PPNI T. P., 2017)
2. Resiko infeksi berhubungan dengan jaringan kulit rusak (PPNI T. P., 2017).
3. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan gangguan pada perubahan sekunder
(PPNI T. P., 2017).
C. Intervensi keperawatan (PPNI T. P., 2017)

No Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


Keperawatan (SLKI) (PPNI T. P., 2017) (SIKI) (PPNI T. P., 2017)
(SDKI) (PPNI T. P.,
2017)

1 Kerusakan Intergritas Setelah dilakukan tindakan keperawatan Observasi


Kulit selama 3 x 24 jam diharapkan gangguan
(D. 0129) integritas kulit menurun dengan 1. Monitor karakteristik luka
menunjukkan KH : (mis: drainase, warna,
1. Tidak ada tanda-tanda infeksi ukuran, bau
2. Monitor tanda –tanda
inveksi

Terapiutik

1. Bersihkan dengan cairan


NACL atau pembersih non
toksik, sesuai kebutuhan
2. Bersihkan jaringan nekrotik
3. Berika salep yang sesuai di
kulit /lesi, jika perlu
4. Pasang balutan sesuai jenis
luka
5. Pertahan kan teknik seteril
saaat perawatan luka
6. Ganti balutan sesuai jumlah
eksudat dan drainase
7. Jadwalkan perubahan posisi
setiap dua jam atau sesuai
kondisi pasien

Edukasi

1. Jelaskan tanda dan gejala


infeksi
2. Anjurkan mengonsumsi
makan tinggi kalium dan
protein
3. Ajarkan prosedur perawatan
luka secara mandiri

Kolaborasi

1. Kolaborasi prosedur
debridement (mis: enzimatik
biologis mekanis, autolotik),
jika perlu
2. Kolaborasi pemberian
antibiotik, jika perlu

2 Resiko Infeksi Tujuan : Setelah diberikan asuhan Observasi


(D.0142) keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan 1. Tinjau ulang kondisi dasar
klien tidak mengalami infeksi dengan kriteria atau faktor risiko yang ada
hasil : sebelumnya. Catat waktu
1. Tidak terjadi tanda-tanda infeksi pecah ketuban.
(kalor, rubor, dolor, tumor, fungsio 2. Kaji adanya tanda infeksi
laesea) (kalor, rubor, dolor, tumor,
2. Suhu dan nadi dalam batas normal. fungsio laesa).
Terapiutik
1. Lakukan perawatan luka
dengan teknik aseptik.
Edukasi
1. Anjurkan klien dan keluarga
untuk mencuci tangan
sebelum atau sesudah
menyentuh luka.
Kolaborasi
1. Kolaborasi penggunaan
antibiotik sesuai indikasi.

3 Gangguan citra tubuh Setelah dilakukan tindakan keperawatan Observasi:


(D. 0083) selama 3 x 24 jam diharapkan klien tidak 1. Kaji secara verbal dan
mengalami gangguan dalam cara penerapan nonverbal respon klien
citra diri dengan mununjukkan KH : terhadap tubuhnya
1. Body image positif 2. Monitor frekuensi
2. Mampu mengidentifikasi kekuatan mengkritik dirinya
personal Terapiutik
3. Mengungkapkan penerimaan atas 1. Dorong klien untuk
penyakit yang dialaminya mengungkapkan
perasaannya
2. Dorong klien
mengekspresikan perasaan
khususnya mengenai
pikiran, pandangan dirinya
Edukasi
1. Jelaskan tentang
pengobatan, perawatan,
kemajuan dan prognosis
penyakit
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Skabies atau penyakit kudis adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi
dan sensitisasi S. Scabiei Varietas Hominis. Gejala klinis yang ditimbulkan adalah gatal-
gatal terutama pada malam hari (pruritus nocturna). Tanda klinis yang muncul berupa
papula atau vesikel yang puncaknya terdapat gambaran yang sebenarnya merupakan
terowongan. Penyakit ini merupakan penyakit zoonosis yang menyerang kulit, mudah
menular dari manusia ke manusia, dari hewan ke manusia atau sebaliknya dan dapat
mengenai semua ras dan golongan di seluruh dunia.
B. Saran
Perlunya pendidikan kesehatan kepada masyarakat tentang penyakit Skabies agar
masyrakat dapat melakukan pencegahan secara dini.
DAFTAR PUSTAKA

Ihtiaringtyas, S. M. (2019). Faktor Risiko Penularan Penyakit Skabies pada Santri di Pondok
Pesantren An Nawawi Berjan Kecamatan Gebang Kabupaten Purworejo Jawa
Tengah. Balaba: Jurnal Litbang Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang
Banjarnegara, 83-90.

Parman, P. H. (2017). Faktor risiko hygiene perorangan santri terhadap kejadian penyakit
kulit skabies di pesantren Al-Baqiyatushshalihat Tanjung Jabung Barat tahun
2017. Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi. 17 (3), 243-252.

PPNI, T. P. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI), Edisi 1. Jakarta:


Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

PPNI, T. P. (2017). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI), Edisi 1. Jakarta:


Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

PPNI, T. P. (2017). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI), Edisi 1 . Jakarta:


Persatuan Perawat Nasional Indonesia .

Purwanto, H. &. (2020). Faktor Risiko Penyakit Skabies di Masyarakat. Jurnal Kesehatan,
11(1),, 145-150.

Rahmadayani. (2021). Gambaran Faktor Yang Mempengaruhi Tingginya Penularan


Penyakit Scabiespada Santri/Santriwati Dipondok Pesantren. Systematic Review.
Poltekkes Medan.

Sungkar, S. (2016). Skabies (Etiologi, Patogenesis, Pengobatan, Pemberantasan, dan


Pencegahan). Jakarta: FKUI.

Anda mungkin juga menyukai