DISUSUN OLEH :
Laporan pendahuluan dan konsep asuhan keperawatan stroke non hemoragic ini
diajukan sebagai tugas Praktik Keperawatan Masyarakat Desa (PKMD) dan dinyatakan telah
mendapatkan persetujuan pada tanggal
Banyuwangi, 2022
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
1. Definisi
2. Etiologi
Menurut Smeltzer (2010) penyebab stroke non hemoragik yaitu:
1) Trombosis (bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher)
Stroke terjadi saat trombus menutup pembuluh darah, menghentikan aliran
darah ke jaringan otak yang disediakan oleh pembuluh dan menyebabkan
kongesti dan radang. Trombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang
mengalami oklusi sehingga menyebabkan iskemia jaringan otak yang dapat
menimbulkan oedema dan kongesti di sekitarnya. Trombosis biasanya terjadi
pada orang tua yang sedang tidur atau bangun tidur. Hal ini dapat terjadi
karena penurunan aktivitas simpatis dan penurunan tekanan darah yang dapat
menyebabkan iskemia serebral. Tanda dan gejala neurologis seringkali
memburuk pada 48 jam setelah trombosis.
2) Embolisme cerebral Emboli serebral (bekuan darah atau material lain yang
dibawa ke otak dari bagian tubuh yang lain) merupakan penyumbatan
pembuluh darah otak oleh bekuan darah, lemak dan udara. Pada umumnya
emboli berasal dari thrombus di jantung yang terlepas dan menyumbat sistem
arteri serebral. Emboli tersebut berlangsung cepat dan gejala timbul kurang
dari 10-30 detik
3) Iskemia Suplai darah ke jaringan tubuh berkurang karena penyempitan atau
penyumbatan pembuluh darah.
3. Manifestasi klinik
Manifestasi klinis Stroke Non Hemoragik menurut Misbach (2011) antara
lain :
1. Hipertensi
2. Gangguan motorik (kelemahan otot, hemiparese)
3. Gangguan sensorik
4. Gangguan visual
5. Gangguan keseimbangan
6. Nyeri kepala (migran, vertigo)
7. Muntah
8. Disatria (kesulitan berbicara)
9. Perubahan mendadak status mental (apatis, somnolen, delirium,
suppor, koma)
4. Patofisiologi
Adanya stenosis arteri dapatmenyebabkan terjadinya turbulensi aliran darah.
Energi yang diperlukan untuk menjalankankegiatan neuronal berasal dari
metabolisme glukosa dan disimpan di otak dalam bentuk glukosa atau glikogen
untuk persediaan pemakaian selama 1 menit. Bila tidak ada alirandarah lebih dari
30 detik gambaran EEG akan mendatar, bila lebih dari 2 menit aktifitasjaringan
otak berhenti, bila lebih dari 5 menit maka kerusakan jaringan otak dimulai, dan
bila lebih dari 9 menit manusia dapat meninggal. Bila aliran darah jaringan otak
berhenti maka oksigen dan glukosa yang diperlukanuntuk pembentukan ATP akan
menurun, akan terjadi penurunan Na+ K+ ATP-ase, sehingga membran potensial
akan menurun.13 K+ berpindah ke ruang ekstraselular, sementara ion Nadan Ca
berkumpul di dalam sel. Hal ini menyebabkan permukaan sel menjadi lebih
negatif sehingga terjadi membran depolarisasi. Saat awal depolarisasi membran
sel masih reversibel,tetapi bila menetap terjadi perubahan struktural ruang
menyebabkan kematian jaringan otak. Keadaan ini terjadi segera apabila perfusi
menurun dibawah ambang batas kematian jaringan,yaitu bila aliran darah
berkurang hingga dibawah 10 ml / 100 gram / menit.
Pengurangan aliran darah yang disebabkan oleh sumbatan akan menyebabkan
iskemia disuatu daerah otak. Terdapatnya kolateral di sekitarnya disertai
mekanisme kompensasi fokalberupa vasodilatasi, memungkinkan terjadinya
beberapa keadaan berikut ini (Wijaya, 2013):
1. Pada sumbatan kecil, terjadi daerah iskemia yang dalam waktu singkat
dikompensasi dengan mekanisme kolateral dan vasodilatasi lokal. Secara
klinis gejala yang timbuladalah transient ischemic attack (TIA) yang timbul
dapat berupa hemiparesis yang menghilang sebelum 24 jam atau amnesia
umum sepintas.
2. Bila sumbatan agak besar, daerah iskemia lebih luas. Penurunan CBF regional
lebih besar, tetapi dengan mekanisme kompensasi masih mampu memulihkan
fungsi neurologik dalam waktu beberapa hari sampai dengan 2 minggu.
Mungkin padapemeriksaan klinik ada sedikit gangguan. Keadaan ini secara
klinis disebut RIND (Reversible Ischemic Neurologic Deficit).
3. Sumbatan yang cukup besar menyebabkan daerah iskemia yang luas sehingga
mekanisme kolateral dan kompensasi tak dapat mengatasinya. Dalam keadaan
ini timbuldefisit neurologi yang berlanjut.
5. Pathway
Arteri carotis
Arteri cerebri Gangguan rasa
Disfungsi NII Arteri vertebrata media nyaman
(optikus)
Gangguan
mobilitas fisik
Gangguan integritas
kulit/jaringan
Defisit nutrisi
6. Komplikasi
Komplikasi pada stroke non hemoragik adalah (Firdayanti, 2014):
1. Berhubungan dengan imobilisasi: infeksi pernafasan, nyeri pada daerah
tertekan, konstipasi.
2. Berhubungan dengan paralise: nyeri punggung, dislokasi sendi, deformitas,
terjatuh.
3. Berhubungan dengan kerusakan otak: epilepsy, sakit kepala.
4. Hidrosefalus
Sedangkan komplikasi yang paling umum dan penting dari stroke non
hemoragik meliputi edema serebral, transformasi hemoragik, dan kejang (Jauch,
2016).
1. Edema serebral yang signifikan setelah stroke non hemoragi kini terjadi
meskipun agak jarang (10-20%).
2. Indikator awal stroke non hemoragik yang tampak pada CT scan tanpa kontras
adalah intrakranin dependen untuk potensi pembengkakan dan kerusakan.
Manitol dan terapi lain untuk mengurangi tekanan intracranial dapat
dimanfaatkan dalam situasi darurat, meskipun kegunaannya dalam
pembengkakan sekunder stroke non hemoragik lebih lanjut belum diketahui.
Beberapa pasien mengalami transformasi hemoragik pada infark mereka. Hal
ini diperkirakan terjadi pada 5% dari stroke non hemoragik yang tidak rumit,
tanpa adanya trombolitik. Transformasi hemoragik tidak selalu dikaitkan
dengan penurunan neurologis dan berkisar dari peteki kecil sampai perdarahan
hematoma yang memerlukan evakuasi.
3. Insiden kejang berkisar 2-23% pada pasca-stroke periode pemulihan. Post-
stroke non hemoragik biasanya bersifat fokal tetapi menyebar. Beberapa pasien
yang mengalami serangan stroke berkembang menjadi chronic seizure
disorders. Kejang sekunder dari stroke stroke non hemoragik harus dikelola
dengan cara yang sama seperti gangguan kejang lain yang timbul sebagai
akibat neurologis injury.
7. Pemeriksaan penunjang
Menurut Firdayanti (2014), pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu
sebagai berikut :
1. Angiografi serebral
Membantu menentukan penyebab dari stroke secara spesifik seperti perdarahan
arteriovena atau adanya ruptur dan untuk mencari sumber perdarahan seperti
aneurisma atau malformasi vaskular. Angiografi otak adalah penyuntikan suatu
bahan yang tampak dalam citra sinar-X kedalam arteri-arteri otak. Pemotretan
dengan sinar-X kemudian dapat memperlihatkan pembuluh-pembuluh darah di
kepala dan leher. Angiografi otak menghasilkan gambar paling akurat mengenai
arteri dan vena dan digunakan untuk mencari penyempitan atau perubahan
patologis lain, misalnya aneurisma. Namun, tindakan ini memiliki resiko
kematian pada satu dari setiap 200 orang yang diperiksa (Simangunsong, 2011).
Proses dari angiografi serebral yaitu pasien akan diinfus pada bagian lengan
sehingga dokter dapat memberikan obat atau cairan kepada bila diperlukan. Alat
yang disebut pulse oximeter, yang berfungsi mengukur tingkat oksigen dalam
darah, akan diselipkan pada jari atau telinga Anda. Cakram kecil (elektorda)
ditempatkan pada lengan, dada, atau kaki Anda untuk merekam denyut serta
irama jantung. Pasien akan berbaring telentang pada meja sinar-X. Sebuah tali,
perban, atau kantong pasir mungkin akan digunakan untuk membuat pasien
tetap diam tidak bergerak. Bagian selangkangan pasien akan disterilkan dan
akan dimasukkan katerer melalui pembuluh darah dan menuju ke dalam arteri
karotis, yang berada di leher. Pewarna kontras akan mengalir melalui kateter ke
dalam arteri, di mana kemudian akan bergerak ke pembuluh darah di otak.
Ketika pewarna kontras mengalir dalam tubuh pasien maka pasien akan merasa
hangat. Kemudian beberapa pencitraan sinar-X pada kepala dan leher akan
diambil. Setelahnya, katerer akan diangkat dan penjahitan akan dilakukan pada
bagian terinjeksi tersebut. Seluruh prosedur membutuhkan waktu antara satu
hingga tiga jam (Samiadi, 2017).
2. Lumbal Pungsi
Lumbal pungsi adalah tindakan memasukkan jarum pungsi ke dalam ruang sub
arachnoid meninges medula spinalis pada daerah cauda equina melalui daerah
segmen lumbalis columna vertebralis dengan teknik yang ketat dan aseptik.
Posisi pasien yaitu posisi tidur miring dengan fleksi maksimal dari lutut, paha,
dan kepala semua mengarah ke perut, kepala dapat diberi bantal tipis. Hasil dari
pemeriksaan lumbal pungsi yaitu tekanan yang meningkat dan disertai bercak
darah pada cairan lumbal menunjukkan adanya hemoragi pada subaraknoid atau
perdarahan pada intrakranial. Peningkatan jumlah protein menunjukkan adanya
proses inflamasi. Hasil pemeriksaan likuor merah biasanya dijumpai pada
perdarahan yang masif, sedangkan perdarahan yang kecil biasanya warna likuor
masih normal (xantokrom) sewaktu hari-hari pertama.
3. CT Scan (Computerized Tomography Scanning)
Pemindaian ini memperlihatkan secara spesifik letak edema, posisi hematoma,
adanya jaringan otak yang infark atau iskemia, dan posisinya secara pasti. Hasil
pemeriksaan biasanya didapatkan hiperdens fokal, kadang pemadatan terlihat di
ventrikel, atau menyebar ke permukaan otak. Pada CT, pasien diberi sinar X
dalam dosis sangat rendah yang digunakan menembus kepala. Sinar X yang
digunakan serupa dengan pada pemeriksaan dada, tetapi dengan panjang ke
radiasi yang jauh lebih rendah. Pemeriksaan memerlukan waktu 15 – 20 menit,
tidak nyeri, dan menimbulkan resiko radiasi minimal keculi pada wanita hamil.
CT sangat handal mendeteksi perdarahan intrakranium, tetapi kurang peka
untuk mendeteksi stroke iskemik ringan, terutama pada tahap paling awal. CT
dapat memberi hasil negatif - semu (yaitu, tidak memperlihatkan adanya
kerusakan) hingga separuh dari semua kasus stroke iskemik (Simangunsong,
2011).
4. MRI
MRI (Magnetic Resonance Imaging) menggunakan gelombang magnetik untuk
menentukan posisi dan besar / luas terjadinya perdarahan otak. Hasil
pemeriksaan biasanya didapatkan area yang mengalami lesi dan infark akibat
dari hemoragik. Mesin MRI menggunakan medan magnetik kuat untuk
menghasilkan dan mengukur interaksi antara gelombang-gelombang magnet
dan nukleus di atom yang bersangkutan (misalnya nukleus Hidrogen) di dalam
jaringan kepala. Pemindaian dengan MRI biasanya berlangsung sekitar 30
menit. Alat ini tidak dapat digunakan jika terdapat alat pacu jantung atau alat
logam lainnya di dalam tubuh. Selain itu, orang bertubuh besar mungkin tidak
dapat masuk ke dalam mesin MRI, sementara sebagian lagi merasakan
ketakutan dalam ruangan tertutup dan tidak tahan menjalani prosedur meski
sudah mendapat obat penenang. Pemeriksaan MRI aman, tidak invasif, dan
tidak menimbulkan nyeri. MRI lebih sensitif dibandingkan CT dalam
mendeteksi stroke iskemik, bahkan pada stadium dini. Alat ini kurang peka
dibandingkan CT dalam mendeteksi perdarahan intrakranium
ringan (Simangunsong, 2011).
5. USG Doppler
Untuk mengidentifikasi adanya penyakit arteriovena (masalah sistem karotis).
6. EEG
Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat masalah yang timbul dan dampak dari
jaringan yang infark sehingga menurunnya impuls listrik dalam jaringan otak.
7. EKG
EKG digunakan untuk mencari tanda-tanda kelainan irama jantung atau
penyakit jantung sebagai kemungkinan penyebab stroke. Prosedur EKG
biasanya membutuhkan waktu hanya beberapa menit serta aman dan tidak
menimbulkan nyeri (Simangunsong, 2011).
8. Pemeriksaan darah dan urine
Pemeriksaan ini dilakukan secara rutin untuk mendeteksi penyebab stroke dan
untuk menyingkirkan penyakit lain yang mirip stroke. Pemeriksaan yang
direkomendasikan:
a. Hitung darah lengkap
Merupakan tes rutin untuk menentukan jumlah sel darah merah, sel darah
putih, trombosit dalam darah. Hematokrit dan hemoglobin adalah ukuran
jumlah sel darah merah. Hitung darah lengkap dapat digunakan untuk
mendiagnosis anemia atau infeksi. Hitung darah lengkap digunakan untuk
melihat penyebab stroke seperti trombositosis, trombositopenia, polisitemia,
anemia (termasuk sikle cell disease).
b. Tes koagulasi
Tes ini mengukur seberapa cepat bekuan darah. Tes yang paling penting
dan evaluasi darurat stroke adalah glukosa (atau gula darah), karena tingkat
glukosa darah yang tinggi atau terlalu rendah dapat menyebabkan gejala
yang ungkin keliru untuk stroke. Sebuah glukosa darah puasa digunakan
untuk membantu dalam diagnosis diabetes yang merupakan faktor risiko
untuk stroke. Tes kimia darah lainnya untuk mengukur serum elektrolit, ion
– ion dalam darah (natrium, kalium, kalsium) atau memeriksa fungsi hati
atau ginjal.
c. Serologi untuk sifilis.
1) Glukosa darah untuk melihat DM, hipoglikemia, atau hiperglikemia.
2) Lipid serum untuk melihat faktor risiko stroke (Greenberg, 2002 dalam
Simangunsong, 2011).
3) Analisis urine mencakup penghitungan sel dan kimia urine untuk
mengidentifikasi infeksi dan penyakit ginjal (Simangunsong, 2011).
8. Penatalaksanaan
1) Penatalaksanaan medis
Terapi pada penderita stroke non hemoragik menurut Esther (2010) dalam
Setyadi (2014) bertujuan untuk meningkatkan perfusi darah ke otak,
membantu lisis bekuan darah dan mencegah trombosis lanjutan,
melindungi jaringan otak yang masih aktif dan mencegah cedera sekunder
lain, beberapa terapinya adalah :
a. Terapi trombolitik : menggunakan recombinant tissue plasminogen
activator (rTPA) yang berfungsi memperbaiki aliran darah dengan
menguraikan bekuan darah, tetapi terapi ini harus dimulai dalam
waktu 3 jam sejak manifestasi klinis stroke timbul dan hanya
dilakukan setelah kemungkinan perdarahan atau penyebab lain
disingkirkan.
b. Terapi antikoagulan : terapi ini diberikan bila penderita terdapat
resiko tinggi kekambuhan emboli, infark miokard yang baru terjadi,
atau fibrilasi atrial.
c. Terapi antitrombosit : seperti aspirin, dipiridamol, atau klopidogrel
dapat diberikan untuk mengurangi pembentukan trombus dan
memperpanjang waktu pembekuan.
d. Terapi suportif : yang berfungsi untuk mencegah perluasan stroke
dengan tindakannya meliputi penatalaksanaan jalan nafas dan
oksigenasi, pemantauan dan pengendalian tekanan darah untuk 13
mencegah perdarahan lebih lanjut, pengendalian hiperglikemi pada
pasien diabetes sangat penting karena kadar glukosa yang
menyimpang akan memperluas daerah infark.
2. Penalaksanaan Keperawatan
a. Terapi Non Farmakologi
1) Perubahan Gaya Hidup Terapeutik Modifikasi diet, pengendalian
berat badan, dan peningkatan aktivitas fisik merupakan perubahan
gaya hidup terapeutik yang penting untuk semua pasien yang
berisiko aterotrombosis. Pada pasien yang membutuhkan terapi
obat untuk hipertensi atau dislipidemia, obat tersebut harus
diberikan, bukannya digantikan oleh modifikasi diet dan
perubahan gaya hidup lainnya (Goldszmidt et al., 2011 dalam
Agustina, 2014 ). Diet tinggi buah-buahan sitrus dan sayuran hijau
berbunga terbukti memberikan perlindungan terhadap stroke
iskemik pada studi Framingham (JAMA 1995;273:1113) dalam
Agustian (2014) dan studi Nurses Health (JAMA 1999;282:1233)
dalam Agustina (2014), setiap peningkatan konsumsi per kali per
hari mengurangi risiko stroke iskemik sebesar 6%. Diet rendah
lemak trans dan jenuh serta tinggi lemak omega-3 juga
direkomendasikan. Konsumsi alkohol ringan-sedang (1 kali per
minggu hingga 1 kali per hari) dapat mengurangi risiko stroke
iskemik pada laki-laki hingga 20% dalam 12 tahun (N Engl J Med
1999;341:1557) dalam Agustina (2014), namun konsumsi alkohol
berat (> 5 kali/ hari) meningkatkan risiko stroke.
2) Aktivitas fisik Inaktivasi fisik meningkatkan risiko penyakit
jantung dan stroke setara dengan merokok, dan lebih dari 70%
orang dewasa hanya melakukan sedikit latihan fisik atau bahkan
tidak sama sekali, semua pasien harus diberitahu untuk melakukan
aktivitas aerobik sekitar 30- 45 menit setiap hari (Goldszmidt et
al., 2011 dalam Agustina, 2014). Latihan fisik rutin seperti
olahraga dapat meningkatkan metabolisme karbohidrat,
sensitivitas insulin dan fungsi kardiovaskular (jantung). Latihan
juga merupakan komponen yang berguna dalam memaksimalkan
program penurunan berat badan, meskipun pengaturan pola makan
lebih efektif dalam menurunkan berat badan dan pengendalian
metabolisme (Sweetman, 2009 dalam Agustina, 2014).
b. Rehabilitasi Pemberian Stimulasi Dua Dimensi
Pengertian rehabilitasi Rehabilitasi merupakan dasar dari program
pemulihan penderita stroke (Wang, 2014 dalam Fitriani, 2016).
Rehabilitasi stroke merupakan sebuah program komprehensif yang
terkoordinasi antara medis dan rehabilitasi yang bertujuan untuk
mengoptimalkan dan memodifikasi keampuan fungsional yang ada
(Stein, 2009 dalam Fitriani 2016).
B. KONSEP DASAR KELUARGA
1. Pengertian Keluarga
Keluarga adalah sekumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama
melalui ikatan perkawinan dan kedekatan emosi yang masing-masing
mengidentifikasi diri sebagai bagian dari keluarga (Ekasari, 2011).
Menurut Duval, 2009 (dalam Supartini, 2010) mengemukakan bahwa
keluarga adalah sekumpulan orang yang dihubungkan oleh ikatan perkawinan,
adopsi, dan kelahiran yang bertujuan menciptakan dan mempertahankan budaya
yang umum, meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional dan sosial
setiap anggota.
Bailon, 2008 (dalam Achjar, 2010) berpendapat bahwa keluarga sebagai dua atau
lebih individu yang berhubungan karena hubungan darah, ikatan perkawinan atau
adopsi, hidup dalam satu rumah tangga, berinteraksi satu sama lain dalam
peranannya dan menciptakan serta mempertahankan budaya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa keluarga adalah sekumpulan dua orang atau
lebih yang dihubungkan oleh ikatan perkawinan, adopsi, hubungan darah, hidup
dalam satu rumah tangga, memiliki kedekatan emosional, dan berinteraksi satu
sama lain yang saling ketergantungan untuk menciptakan atau mempertahankan
budaya, meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional, dan sosial setiap
anggota dalam rangka mencapai tujuan bersama.
b. Tahap II : Keluarga sedang mengasuh anak (anak tertua bayi sampai umur 30
bulan)
Tugas perkembangan keluarga pada tahap II, yaitu membentuk keluarga muda
sebagai sebuah unit, mempertahankan hubungan perkawinan yang
memuaskan, memperluas persahabatan dengan keluarga besar dengan
menambahkan peran orang tua kakek dan nenek dan mensosialisasikan dengan
lingkungan keluarga besar masing-masing pasangan.
c. Tahap III : Keluarga dengan anak usia pra sekolah (anak tertua berumur 2-6
tahun)
d. Tahap IV : Keluarga dengan anak usia sekolah (anak tertua usia 6 -13tahun)
Tugas perkembangan keluarga tahap IV, yaitu mensosialisasikan anak
termasuk meningkatkan prestasi sekolah dan mengembangkan hubungan
dengan teman sebaya, mempertahankan hubungan perkawinan yang
memuaskan, memenuhi kebutuhan kesehatan fisik anggota keluarga,
membiasakan belajar teratur, memperhatikan anak saat menyelesaikan tugas
sekolah.
e. Tahap V : Keluarga dengan anak remaja (anak tertua umur 13-20 tahun)
f. Tahap VI :
Tahap ini adalah tahap keluarga melepas anak dewasa muda dengan tugas
perkembangan keluarga antara lain : memperluas siklus keluarga dengan
memasukkan anggota keluarga baru yang didapat dari hasil pernikahan anak-
anaknya, melanjutkan untuk memperbaharui dan menyelesaikan kembali
hubungan perkawinan, membantu orang tua lanjut usia dan sakit-sakitan dari
suami dan istri.
g. Tahap VII :
Orang tua usia pertengahan (tanpa jabatan atau pensiunan) Tahap keluarga
pertengahan dimulai ketika anak terakhir meninggalkan rumah dan berakhir
atau kematian salah satu pasangan. Tahap ini juga dimulai ketika orang tua
memasuki usia 45-55 tahun dan berakhir pada saat pasangan pensiun. Tugas
perkembangannya adalah menyediakan lingkungan yang sehat,
mempertahankan hubungan yang memuaskan dan penuh arah dengan lansia
dan anak-anak, memperoleh hubungna perkawinan yang kokoh.
3. Tipe Keluarga
Menurut Maclin, 2011 (dalam Achjar, 2013) pembagian tipe keluarga, yaitu :
a. Keluarga Tradisional
1) Keluarga inti adalah keluarga yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak
yang hidup dalam rumah tangga yang sama.
2) Keluarga dengan orang tua tunggal yaitu keluarga yang hanya dengan satu
orang yang mengepalai akibat dari perceraian, pisah, atau ditinggalkan.
3) Pasangan inti hanya terdiri dari suami dan istri saja, tanpa anak atau tidak
ada anak yang tinggal bersama mereka.
4) Bujang dewasa yang tinggal sendiri
5) Pasangan usia pertengahan atau lansia, suami sebagai pencari nafkah, istri
tinggal di rumah dengan anak sudah kawin atau bekerja.
6) Jaringan keluarga besar, terdiri dari dua keluarga inti atau lebih atau
anggota yang tidak menikah hidup berdekatan dalam daerah geografis.
b. Keluarga non tradisional
1) Keluarga dengan orang tua yang mempunyai anak tetapi tidak menikah
(biasanya terdiri dari ibu dan anaknya).
2) Pasangan suami istri yang tidak menikah dan telah mempunyai anak.
3) Keluarga gay/ lesbian adalah pasangan yang berjenis kelamin sama hidup
bersama sebagai pasangan yang menikah.
4) Keluarga kemuni adalah rumah tangga yang terdiri dari lebih satu
pasangan monogamy dengan anak-anak, secara bersama menggunakan
fasilitas, sumber dan mempunyai pengalaman yang sama.
3) Keluarga dyad yaitu rumah tangga yang terdiri dari suami istri
tanpa anak.
4) Single parent yaitu rumah tangga yang terdiri dari satu orang tua
dengan anak kandung atau anak angkat, yang disebabkan karena
perceraian atau kematian.
5) Single adult yaitu rumah tangga yang hanya terdiri dari seorang
dewasa saja
6) Keluarga usia lanjut yaitu rumah tangga yang terdiri dari suami
istri yang berusia lanjut.
b. Keluarga non tradisional
1) Commune family yaitu lebih dari satu keluarga tanpa pertalian
darah hidup serumah
2) Orang tua (ayah/ ibu) yang tidak ada ikatan perkawinan dan anak
hidup bersama dalam satu rumah
3) Homoseksual yaitu dua individu yang sejenis kelamin hidup
bersama dalam satu rumah tangga
a. Keluarga berantai (sereal family) yaitu keluarga yang terdiri dari wanita dan pria
yang menikah lebih dari satu kali dan merupakan satu keluarga inti.
b. Keluarga berkomposisi yaitu keluarga yang perkawinannya berpoligami dan
hidup secara bersama-sama.
c. Keluarga kabitas yaitu keluarga yang terbentuk tanpa pernikahan.
4. Fungsi Keluarga
Fungsi keluarga merupakan hasil atau konsekuensi dari struktur keluarga atau
sesuatu tentang apa yang dilakukan oleh keluarganya :
a. Fungsi afektif
Fungsi afektif merupakan fungsi keluarga dalam memenuhi kebutuhan
pemeliharaan kepribadian anggota keluarga.
b. Fungsi sosialisasi
Fungsi sosialisasi bercermin dalam melakukan pembinaan sosialisasi pada
anak, membentuk nilai dan norma yang diyakini anak, memberikan batasan
perilaku yang boleh dan tidak boleh pada anak, meneruskan nilai-nilai budaya
anak.
d. Fungsi ekonomi
Fungsi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan keluarga seperti sandang, pangan,
dan papan, dan kebutuhan lainnya melalui keefektifan sumber daya keluarga.
e. Fungsi biologis
Fungsi biologis bukan hanya ditujukan untuk meneruskn keturunan tetapi
untuk memelihara dan membesarkan anak untuk kelanjutan generasi
selanjutnya.
f. Fungsi psikologis
Fungsi psikologis terlihat bagaimana keluarga memberikan kasih saying dan
rasa aman/ memberikan perhatian diantara anggota keluarga, membina
pendewasaan kepribadian anggota keluarga dan memberikan identitas
keluarga.
5. Tugas Keluarga
a) Keadaan Umum
Klien yang mengalami gangguan muskuloskelatal keadaan umumnya lemah.
Timbang berat badan klien, adakah gangguan penyakit karena obesitas atau
malnutrisi.
b) Kesadaran
Biasanya pada pasien stroke mengalami tingkat kesadaran somnolen, apatis,
spoor, sporos coma dengan GCS <2 pada awal terserang stroke. Sedangkan
pada saat pemulihan biasanya memiliki tingkat kesadaran lateragi dan
compos metis dengan GCS 13-15.
c) Tanda-tanda Vital
1) Tekanan darah biasanya pasien dengan stroke hemoragik memiliki darah
tinggi dengan tekanan systole > 140 dan diastole > 80
2) Nadi: Nadi biasanya normal
3) Pernafasan : biasanya pasien stroke hemoragik mengalami gangguan
pada bersihan jalan napas
4) Suhu : biasanya tidak ada masalah suhu pada pasien dengan stroke
hemoragik.
d) Pemeriksaan Head to toe menurut Tarwoto (2013) :
1) Pemeriksaan kepala dan muka
Umumnya kepala dan wajah simetris, wajah pucat. Pada pemeriksaan
Nervus V (Trigeminal) : biasanya pasien bisa menyebutkan lokasi
usapan dan pada pasien koma, ketika diusap kornea mata dengan kapas
halus, klien akan menutup kelopak mata. Sedangkan pada Nervus VII
(facialis) : biasanya alis mata simetris, dapat mengangkat alis,
mengerutkan dahi, mengernyitkan hidung, menggembungkan pipi, saat
pasien menggembungkan pipi tidak simetris kiri dan kanan tergantung
lokasi lemah dan saat diminta mengunyah pasien kesulitan untuk
mengunyah.
2) Mata
Biasanya konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik, pupil isokor,
kelopak mata tidak oedema.Pada pemeriksaan Nervus II (optikus):
biasanya luas pandang baik 90 derajat . Pada pemeriksaan Nervus III
(okulomotoris): Biasanya reflek kedip dapat dinilai jika pasien bisa
membuka mata. Nervus IV (troklearis) : biasanya pasien dapat
mengikuti arah tangan perawat ke atas dan bawah. Nervus VI (abdusen)
biasanya pasien dapat mengikuti arah tangan perawat ke kiri dan ke
kanan.
3) Hidung
Biasanya simetris kiri dan kanan, tidak ada pernafasan cuping hidung.
Pada pemeriksaan Nervus 1 (olfaktorius) : kadang ada yang bisa
menyebutkan bau yang diberikan perawat namun ada juga yang tidak,
dan biasanya ketajaman penciuman antara kiri dan kanan berbeda dan
pada Nervus VIII (akustikus) : biasanya pada pasien yang tidak lemah
anggota gerak atas dapat melakukan keseimbangan gerak tangan-
hidung.
4) Mulut dan gigi
Biasanya pada pasien apatis, spoor, spoors koma hingga koma akan
mengalami masalah bau mulut, gigi kotor,mukosa bibir kering. Pada
pemeriksaan Nervus VII (fasialis) : biasanya lidah mendorong pipi kiri
dan kanan, bibir simetris, dan dapat menyebutkan rasa manis dan asin.
Pada Nervus IX
5) Pengkajian Fungsi Serebral Pengkajian ini meliputi status mental,
fungsi (glossofaringeal) : biasanya ovula yang terangkat tidak
simetris,mencong kearah bagian tubuh yang lemah dan pasien dapat
merasakan rasa asam dan pahit. Pada Nervus XII (hipoglasus): biasanya
pasien dapat menjulurkan lidah dan dapat dipencongkan ke kiri dan
kanan namun artikulasi kurang jelas saat bicara.
6) Telinga
Biasanya daun telinga sejajar kiri dan kanan. Pada pemeriksaan Nervus
VIII (akustikus): biasanya pasien kurang bisa mendengar gesekan jari
dari perawat tergantung dimana lokasi kelemahan dan pasien hanya
dapat mendengar jika suara keras dan dengan artikulasi yang jelas.
7) Leher
Bentuk leher, ada atau tidak pembesaran kelenjar thyroid, tidak
ada pembesaran vena jugularis. Biasanya keadaan leher normal
8) Dada thorax
Pemeriksaan yang dilakukan pemeriksaan bentuk dada, retraksi, suara
nafas, sura tambahan, suara jantung tambahan, ictus cordis, dan keluhan
yang di rasakan. Umumnya tidak ada gangguan
9) Abdomen
Pemeriksaan bentuk perut, ada atau tidak nyeri tekan, supel, kembung,
keadaan bising usus, keluhan yang dirasakan.
10) Genetalia
Kebersihan genetalia, terdapat rambut pubis atau tidak, terdapat
hemoroid atau tidak. Umumnya tidak ada gangguan pada genetalia.
11) Ekstermitas
Keadaan rentang gerak biasanya terbatas, tremor, edema, nyeri tekan,
penggunaan alat bantu, biasanya mengalami penurunan kekuatan otot
(skala 1-5):
Kekuatan otot :
0 : Lumpuh
1 : Ada kontraksi
2 : Melawan gravitasi dengan sokongan
3 : Melawan gravitasi tapi tidak ada lawanan
4 : Melawan gravitasi dengan tahanan sedikit
5 : Melawan gravitasi dengan kekuatan penuh
12) Integumen
Warna kulit sawo matang/putih/pucat, kulit kering/lembab, terdapat lesi
atau tidak, kulit kotor atau bersih, CRT < 2 detik, keadaan turgor.
a) Pengkajian Saraf Kranial Menurut Wijaya & Putri (2013) Pemeriksaan ini
meliputi pemeriksaan saraf kranial I - XII.
a) Saraf I: Biasanya pada klien stroke tidak ada kelainan pada fungsi
penciuman.
b) Saraf II. Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras sensori primer di
antara mata dan korteks visual. Gangguan hubungan visual-spasial
(mendapatkan hubungan dua atau lebih objek dalam area spasial) sering
terlihat pada Mien dengan hemiplegia kiri. Klien mungkin tidak dapat
memakai pakaian tanpa bantuan karena ketidakmampuan untuk
mencocokkan pakaian ke bagian tubuhh.
c) Saraf III, IV, dan VI. Jika akibat stroke mengakibatkan paralisis pada
tubuhh.
d) Satu sisi otot-otot okularis didapatkan penurunan kemampuan gerakan
konjugat unilateral di sisi yang sakit.
e) Saraf V. Pada beberapa keadaan stroke menyebabkan paralisis saraf
trigenimus, penurunan kemampuan koordinasi gerakan mengunyah,
penyimpangan rahang bawah ke sisi ipsilateral, serta kelumpuhan satu sisi
otot pterigoideus internus dan eksternus.
f) Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris, dan
otot wajah tertarik ke bagian sisi yang sehat.
g) Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi.
h) Saraf IX dan X. Kemampuan menelan kurang baik dan kesulitan membuka
mulut.
i) Saraf XI. Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius.
j) Saraf XII. Lidah simetris, terdapat deviasi pada satu sisi dan fasikulasi, serta
indra pengecapan normal.
i. Pengkajian Sistem Motorik Stroke adalah penyakit saraf motorik atas (UMN)
dan mengakibatkan kehilangan kontrol volunter terhadap gerakan motorik. Oleh
karena UMN bersilangan, gangguan kontrol motor volunter pada salah satu sisi
tubuhh dapat menunjukkan kerusakan pada UMN di sisi berlawanan dari otak.
1) Inspeksi Umum. Didapatkan hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi)
karena lesi pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan
salah satu sisi tubuhh adalah tanda yang lain.
2) Fasikulasi. Didapatkan pada otot-otot ekstremitas.
3) Tonus Otot. Didapatkan meningkat.
2. Diagnosa keperawatan
1) Gangguan komunikasi verbal b.d hambatan fisik d.d tidak mampu berbicara
atau mendengar
2) Gangguan mobilitas fisik b.d gangguan neuromaskular d.d kekuatan otot
menurun
3) Gangguan integritas kulit/jaringan b.d penurunan mobilitas d.d kerusakan
jaringan dan/atau lapisan kulit
4) Defisit nutrisi b.d ketidakmampuan mencerna makanan d.d anoreksia
5) Gangguan rasa nyaman b.d gejala penyakit d.d peningkatan TIK
6) Risiko perfusi perifer tidak efektif d.d penurunan duplai darah dan O2
7) Risiko jatuh d.d gangguan penglihatan
3. Luaran
Indikator IR-ER
Keluhan tidak nyaman 1 2 3 4 5
Gelisah 1 2 3 4 5
Keterangan :
IR : Initial Rate (Hasil/Skor yang didapat dari pasien pada saat pengkajian)
ER : Expectation Rate (target yang diinginkan setelah dilakukan intervensi)
1) Meningkat
2) Cukup meningkat
3) Sedang
4) Cukup menurun
5) Menurun
Indikator IR-ER
Kerusakan jaringan 1 2 3 4 5
Nyeri 1 2 3 4 5
Hematoma 1 2 3 4 5
Keterangan :
IR : Initial Rate (Hasil/Skor yang didapat dari pasien pada saat pengkajian)
ER : Expectation Rate (target yang diinginkan setelah dilakukan intervensi)
1) Meningkat
2) Cukup meningkat
3) Sedang
4) Cukup menurun
5) Menurun
Indikator IR-ER
Kerusakan jaringan 1 2 3 4 5
Nyeri 1 2 3 4 5
Hematoma 1 2 3 4 5
Keterangan :
IR : Initial Rate (Hasil/Skor yang didapat dari pasien pada saat pengkajian)
ER : Expectation Rate (target yang diinginkan setelah dilakukan intervensi)
1) Meningkat
2) Cukup meningkat
3) Sedang
4) Cukup menurun
5) Menurun
5) Defisit nutrisi
Status nutrisi (L.03030, SLKI hal 121)
1. Definisi: keadekuatan asupan nutrisi untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme
2. Ekspektasi : Membaik
3. Kriteria Hasil
Indikator IR-ER
Frekuensi makan 1 2 3 4 5
Nafsu makan 1 2 3 4 5
Bising usus 1 2 3 4 5
Membran mukosa 1 2 3 4 5
Keterangan :
IR : Initial Rate (Hasil/Skor yang didapat dari pasien pada saat pengkajian)
ER : Expectation Rate (target yang diinginkan setelah dilakukan intervensi)
1) Memburuk
2) Cukup memburuk
3) Sedang
4) Cukup membaik
5) Membaik
4. Intervensi
1) Gangguan rasa nyaman
Promosi Komunikasi Defisit Bicara
Observasi:
a. Monitor kecepatan, tekanan, kuantitas, volume, dan diksi bicara
b. Monitor proses kognitif, anatomis dan fisiologis yang berkaitan dengan
bicara (misalnya: memori, pendengaran, dan bahasa)
c. Monitor frustasi, marah, frustasi, atau hal lain yang mengganggu bicara
d. Identifikasi perilaku emosional dan fisik sebagai bentuk komuernikasi
Terapeutik
a. Gunakan metode komunikasi alternatif (misalnya: menulis, mata
berkedip, papan komunikasi dengan gambar dan huruf, isayarat tangan,
dan komputer)
b. Sesuaikan gaya komunikasi dengan kebutuhan (misalnya: berdiri di
depan pasien, den pergarkan dengan seksama, tunjukkan satu gagasan
atau pemikiran sekaligus, bicaralah dengan perlahan dan sambil
menghindari terlakan, gunakan komunikasi tertulis, dia meminta bantuan
keluarga untuk memahami ucapan pasien)
c. Modifikasi lingkungan untuk meminimalkan bantuan
d. Ulangi apa yang disampaikan pasien
e. Berikan dukungan psikologis
f. Gunakan juru bicara, jika perlu
Edukasi
a. Anjurkan berbicara perlahan
b. Anjurkan pasien dan keluarga proses kognitif, anatomis, dan fisiologis,
yang berhubungan dengan kemampuan berbicara Kolaborasi
c. Rujuk ke ahli patologi bicara atau terapis Promosi komunikasi: defisit
visual
Observasi
a. Periksa kemampuan klien
b. Monitor dampak gangguan penglihatan (misalnya: risiko cedera, depresi,
kegelisahan, kemampuan melaksanakan aktivitas sehari hari)
Terapeutik
a. Fasilitas peningkatan stimulus indra lainnya
b. Pastikan kacamata atau lensa kontak yang berfungsi secara baik
c. Sediakan pencahyaan cukup
d. Sediakan kaca pembesar, jika perlu
e. Sediakan alat bantu (misalnya: jam, telepon)
Edukasi
a. Jelaskan lingkungan pada pasien
b. Ajarkan keluarga cara membantu pasien berkomunikasi
Kolaborasi
a. Rujuk pasien pada terapis, jika perlu
2) Gangguan mobilitas fisik
Dukungan mobilisasi
Observasi
a. Identifikasi adanya nyeri atau keluhan fisik lainnya
b. Identifikasi tolerasi fisik melakukan pergerakan
c. Monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum memulai
mobilisasi
d. Monitor kondisi umum selama melakukan mobilisasi
Terapeutik
a. Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan alat bantu (mis.pagar tempat tidur)
b. Fasilitasi melakukan pergerakan, jika perlu
c. Libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan
pergerakan
Edukasi
a. Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi
b. Anjurkan melakukan mobilisasi dini
c. Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus dilakukan (mis.duduk di
tempat tidur, duduk di sisi tempat tidur, pindah dari tempat tidur ke
kursi)
3) Gangguan integritas kulit/jaringan
Perawatan luka (I.14564, SIKI hal 328)
Observasi:
a. Monitor karakteristik luka (mis.drainase, warna, ukuran, bau)
b. Monitor tanda-tanda infeksi
Terapeutik
a. Lepaskan balutan dan plester secara perlahan
b. Cukur rambut di sekitar daerah luka, jika perlu
c. Bersihkan dengan cairan NaCl atau pembersih nontoksik, sesuai
kebutuhan
d. Bersihkan jaringan nekrotik
e. Berikan salep yang sesuai ke kulit/lesi, jika perlu
f. Pasang balutan sesuai jenis luka
g. Pertahankan teknik steril saat melakukan perawatan luka
h. Ganti balutan sesuai jumlah eksudat dan drainase
i. Jadwalkan perubahan posisi setiap 2 jam atau sesuai kondisi pasien
j. Jadwalkan perubahan posisi setiap 2 jam atau sesuai kondisi pasien
Edukasi
a. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
b. Anjurkan mengkonsumsi makanan tinggi kalori dan protein
c. Ajarkan prosedur perawatan luka secara mandiri
Kolaborasi
a. Kolaborasi prosedur debridement (mis.enzimatik, biologis, mekanis,
autolitik), jika perlu
b. Kolaborasi pemberian antibiotik, jika perlu
4) Defisit nutrisi
Manajemen nutrisi (I.03119, SIKI hal 200)
Observasi
a. Identifikasi status nutrisi
b. Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
c. Identifikasi makanan disukai
d. Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis nutrien
e. Identifikasi perlunya penggunaan selang nasogastrik
f. Monitor asupan makanan
g. Monitor berat badan
h. Monitor hasil pemeriksaan labotorium
Terapeutik
a. Lakukan oral hygiene sebelum makan, jika perlu
b. Fasilitasi menentukan pedoman diet (mis. Piramida makanan)
c. Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai
d. Berikan makanan tinggi seraat untuk mencegah konstipasi
e. Berikan makanan tinggi kalori dan tinggi protein
f. Berikan suplemen makanan, jika perlu
g. Hentikan pemberian makan melalui selang nasogastrik jika asupan oral
dapat ditoleransi
Edukasi
a. Anjurkan posisi duduk, jika mampu\
b. Ajaekan diet yang diprogramkan
Kolaborasi
a. Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan (mis. Pereda nyeri,
antlemetik), jika perlu
b. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan jenis
nutrien yang dibutuhkan, jika perlu
5) Gangguan rasa nyaman
Terapi Relaksasi
Observasi
a. Identifikasi penurunan tingkat energi, ketidakmampuan berkonsentrasi,
atau gejala lain yang mengganggu kemampuan kognitif
b. Identifikasi teknik relaksai yang pernah efektif digunakan
c. Identifikasi kesediaan, kemampuan, dan penggunaan teknik sebelumnya
d. Periksa ketegangan otot, frekuensi nadi, tekanan darah, dan suhu
sebelum dan sesudah latihan
e. Monitor respon terhadap terapi relaksai
Terapeutik
a. Ciptakan lingkungan yang tenag dan tanpa gangguan dengan
pencahayaan dan suhu ruang nyaman, jika memungkinkan
b. Berikan informasi tertulis tentang persiapan dan prosedur teknik
relaksasi
c. Gunakan pakaian longgar
d. Gunakan nada suara lembut dengan irama lambat dan berirama
e. Gunakan relaksasi sebagai strategi penunjang dengan nalgesik atau
tindakan medis lain, jika sesuai
Edukasi
a. Jelaskan tujuan manfaat, batasan, dan jenis relaksasi yang tersedia (mis.
musik, meditasi, napas dalam, relaksasi otot progresif)
b. Jelaskan secara rinci intervensi relaksasi yang dipilih
c. Anjurkan mengambil posisi nyaman
d. Anjurkan rileks dan merasakan sensai relaksasi
e. Anjurkan sering mengulangi atau melatih teknik yang dipilih
f. Demonstrasikan dan latih teknik relaksasi (mis. napas dalam,
peregangan, atau imajinasi terbimbing)
DAFTAR PUSTAKA
Tim Pokja SDKI DPP PPNI, S. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia,
Definisi dan Tindakan Keperawatan 1st edn. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat
Persatuan Perawat Nasional Indonesia .
Tim Pokja SIKI DPP PPNI, S. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia, Definisi
dan Tindakan Keperawatan. 1st edn. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat Persatuan
Perawat Nasional Indonesia.