Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

LAPORAN KEGIATAN
KEPANITERAAN KLINIK SENIOR (KKS) ILMU
KESEHATAN MASYARAKAT

SCABIES DI PUSKESMAS SAMBAU

PERIODE :
28 Juni 2021 – 07 Agustus 2021

Disusun Oleh:
Fitratul Azni
102119010

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


DINAS KESEHATAN KOTA BATAM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BATAM
2021
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR................................................................................................ i
DAFTAR ISI............................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang.............................................................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi ............................................................................................................... 2
2.2 Etiologi............................................................................................................... 3
2.3 Epidemiologi...................................................................................................... 4
2.4 Faktor resiko....................................................................................................... 4
2.5 Diagnosis
2.5.1 Anamnesis................................................................................................ 6
2.5.2 Pemeriksaan Fisik..................................................................................... 6
2.5.3 Pemeriksaan Penunjang............................................................................ 8
2.6 Patogenesis.......................................................................................................... 9
2.7 Patofisiologi........................................................................................................ 10
2.8 Diagnosis banding.............................................................................................. 11
2.9 Penatalaksanaan
2.9.1 Non Farmakologi...................................................................................... 11
2.9.2 Farmakologi.............................................................................................. 12
2.10 Komunikasi dan Edukasi................................................................................... 12
2.11 Komplikasi......................................................................................................... 14
2.12 Prognosis........................................................................................................... 15
2.13 Profesionalisme................................................................................................. 15
BAB III KESIMPULAN............................................................................................ 16
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Skabies merupakan penyakit kulit yang disebabkan parasit Sarcoptes scabiei


varietas hominis. Penyakit ini sering diabaikan, sehingga menjadi salah satu masalah di
dunia, termasuk Indonesia. Gejala klinisnya adalah rasa gatal akibat respons alergi tubuh
terhadap tungau terutama di kulit dengan stratum korneum tipis. (Kurniawan, et al., 2020)
Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi
Sarcoptes scabiei var. hominis. Sarcoptes scabiei termasuk filum Arthropoda, kelas
Arachnida, ordo Acarina, famili Sarcoptidae. Skabies dapat menjangkiti semua orang pada
semua umur, ras, dan tingkat ekonomi sosial. Sekitar 300 juta kasus skabies di seluruh
dunia dilaporkan setiap tahunnya. Menurut Depkes RI, berdasarkan data dari puskesmas
seluruh Indonesia pada tahun 2008, angka kejadian skabies adalah 5,6%-12,95%. Skabies
di Indonesia menduduki urutan ke tiga dari dua belas penyakit kulit tersering. (Mutiara &
Firza, 2016)
Lesi pada skabies menimbulkan rasa tidak nyaman karena sangat gatal sehingga
penderita seringkali menggaruk dan mengakibatkan infeksi sekunder terutama oleh bakteri
Grup A Streptococcus dan Staphylococcus aureus. Banyak faktor yang menunjang
perkembangan penyakit ini, antara lain keadaan sosial ekonomi yang rendah, kebersihan
yang buruk, hubungan seksual yang sifatnya promiskuitas, kesalahan diagnosis, dan
perkembangan demografik seperti keadaan penduduk dan ekologi. Keadaan tersebut
memudahkan transmisi dan infestasi Sarcoptes scabiei. Oleh karena itu, prevalensi skabies
yang tinggi umumnya ditemukan di lingkungan dengan kepadatan penghuni dan kontak
interpersonal yang tinggi seperti asrama, panti asuhan, dan penjara. (Mutiara & Firza,
2016)
Kelainan klinis pada kulit yang ditimbulkan oleh infestasi Sarcoptes scabiei sangat
bervariasi. Meskipun demikian, terdapat gambaran subyektif dan obyektif yang dikenal
dengan 4 tanda utama atau tanda kardinal pada infestasi skabies. Tanda tersebut antara lain
adalah pruritus nokturna, menyerang sekelompok orang, terdapat terowongan, dan
ditemukannya parasit. (Mutiara & Firza, 2016).

1
2

1.2 RUMUSAN MASALAH


Adapun Rumusan Masalah yang akan menjadi pembahasan dalam makalah ini yaitu :

1. Apakah yang dimaksud dengan Scabies?

2. Bagaimana Penatalaksanaan pada Scabies?

3. Bagaimana komunikasi dan Edukasi pada Scabies?

1.3. TUJUAN
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu untuk mengetahui terkait :
1. Pengertian Scabies

2. Penatalaksanaan pada Scabies

3. Komunikasi dan Edukasi pada Scabies


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Skabies atau dikenal juga dengan kudis, gudig, dan budug, adalah penyakit
kulit yang disebabkan oleh infeksi kutu Sarcoptes scabiei varietas hominis. Sarcoptes
scabiei termasuk filum Arthropoda, kelas Arachnida, ordo Acarina, famili
Sarcoptidae. Skabies dapat menjangkiti semua orang pada semua umur, ras, dan
tingkat ekonomi sosial. (Kurniawan et al., 2020; Mutiara & Firza, 2016)
Penyakit ini ditandai dengan gatal malam hari, mengenai sekelompok orang,
dengan tempat predileksi di lipatan kulit yang tipis, hangat dan lembab. Gejala klinis
dapat terlihat polimorfi tersebar di seluruh badan. (Djuanda et al., 2016)

Gambar 2.1.1 Tempat predileksi skabies

Gambar 2.1.2 Skabies pada tangan

2
3

2.2 Etiologi

Penyebab penyakit ini adalah spesies tungau yang tidak dapat dilihat oleh mata
telanjang. Spesies ini disebut sebagai Sarcoptes scabiei (var. hominis). Spesies Sarcoptes
scabiei (var. hominis) diklasifikasikan ke dalam filum Arthropoda yang masuk ke dalam
kelas Arachnida, sub kelas Acari (Acarina), ordo Astigmata, dan famili Sarcoptidae. (Griana,
2016)
Tungau Sarcoptes scabiei berwarna putih krem dan tubuhnya simetris bilateral
berbentuk oval yang cembung pada bagian dorsal dan pipih pada bagian ventral. Warna
tungau jantan lebih gelap daripada betina. Permukaan tubuhnya bersisik dan dilengkapi
dengan kutikula serta banyak dijumpai garisgaris paralel yang berjalan transversal.
Kepalanya terdapat mulut yang khas disebut capitulum, dan dibagian abdomen terdapat anus.
Spesies tungau ini tidak memiliki mata. Sarcoptes scabiei betina dewasa berukuran panjang
sekitar 0.3 – 0.5mm dan lebar sekitar 0,3mm, sedangkan yang jantan berukuran panjang
sekitar 0.25mm dan lebar 0,2mm. (Griana, 2016)
Ujung sepasang kaki pertama dan kedua pada jantan dewasa didapatkan alat
penghisap (pulvilli) sedangkan pada betina didapatkan setae yang panjang. Baik jantan
maupun betina memiliki berbentuk seperti cakar yang berguna untuk mencengkeram kulit
inang yang ditinggalinya. Sarcoptes scabiei memiliki sifat ectothermic, yaitu suhu tubuhnya
dapat berubah-ubah mengikuti suhu lingkungan tempat tinggalnya. (Griana, 2016)
Telur Sarcoptes scabiei berbentuk oval berukuran panjang 0.1 – 0.15mm. Sekitar 10 -
25 buah telur diletakkan memanjang membentuk garis horizontal sesuai jalur terowongan
yang digali oleh tungau betina. Dari sekian banyak telur yang dihasilkan tungau betina, tidak
lebih dari 10% yang akan menetas menjadi tungau dewasa. (Griana, 2016)

Gambar 2.2.1 A.Tungau Sarcoptes scabiei (var. hominis) betina dengan perbesaran 400x.
B.Telur, nimfa* Sarcoptes scabiei (var. hominis) dan skibala (butiran feses) pada kerokan
4

kulit yang ditetesi NaOH 10% . C. Histologi kulit : tampak infestasi sarcoptes
scabiei pada stratum korneum.

2.3 Epidemiologi

Skabies memberikan masalah kesehatan secara global, karena 300 juta kasus
terjadi setiap tahunnya di dunia. World Health Organization (WHO) menyatakan
skabies merupakan salah satu dari enam penyakit parasit epidermal kulit yang terbesar
angka kejadiannya di dunia. (Paramita , 2017)
Prevalensi skabies di Indonesia menurut Departemen Kesehatan RI pada
tahun 2009 adalah 4,6%-12,95% dan skabies menduduki urutan ketiga dari 12
penyakit kulit tersering, dijumpai 704 kasus scabies yang merupakan 5,77 % dari
seluruh kasus baru. Pada tahun 2011 dan 2013 prevalensi scabies adalah 6 % dan 3,9
%. Skabies di Indonesia menduduki urutan ke tiga dari 12 penyakit kulit tersering.
Saat ini angka kejadian skabies meningkat lebih tinggi dari 20 tahun yang lalu, dan
banyak ditemukan pada panti asuhan, asrama (pondok pesantren), penjara, rumah
sakit, serta tempat-tempat dengan sanitasi buruk. (Parman et al., 2017)
Kelompok yang paling sering terkena yaitu kelompok 15 – 24 tahun. Hal ini
dikarenakan pada usia 15-24 tahun berisiko tinggi, bukan saja karena tingkat
kerentanannya, melainkan juga karena pengalaman terhadap penyakit skabies. Selain
kegiatan di luar rumah serta aktivitas sosial yang semakin meluas, kemungkinan
untuk terjadi kontak dengan penderita skabies akan semakin besar. Kelompok usia ini
juga sering dikarenakan banyak anak-anak yang tinggal di asrama. Oleh karena itu,
kelompok usia ini menempati jumlah tertinggi dibandingkan dengan kelompok usia
lainnya. Penderita skabies pada laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan
perempuan. Hal ini dapat disebabkan karena aktivitas laki-laki lebih banyak
dibandingkan dengan perempuan. Selain itu laki-laki lebih sering mengabaikan
kebersihan diri daripada perempuan yang tentunya berpengaruh pada kejadian
skabies. (Gabriel et al., 2016)

2.4 Faktor Risiko

Keberadaan skabies dipengaruhi oleh berbagai hal yaitu usia, jenis kelamin,
tingkat kebersihan, penggunaan alat-alat pribadi bersama-sama, kepadatan penghuni,
5

tingkat pendidikan dan pengetahuan tentang skabies, budaya setempat, serta sosio-
ekonomi. (Sungkar, 2016)
o Usia : Skabies dapat ditemukan pada semua usia tetapi lebih sering menginfestasi
anak-anak dibandingkan orang dewasa. Skabies juga mudah menginfestasi orang
usia lanjut karena imunitas yang menurun dan perubahan fisiologi kulit menua.
(Sungkar, 2016)
o Jenis Kelamin : Skabies dapat menginfestasi laki-laki maupun perempuan, tetapi
laki-laki lebih sering menderita skabies. Hal tersebut disebabkan laki-laki kurang
memerhatikan kebersihan diri dibandingkan perempuan. (Sungkar, 2016)
o Tingkat Kebersihan : Anak-anak dengan kebersihan kurang baik memiliki risiko 6
kali lipat untuk terinfestasi skabies dibandingkan anak-anak dengan kebersihan
diri yang baik. (Sungkar, 2016)
o Penggunaan alat pribadi bersama-sama : Tungau dewasa dapat keluar dari stratum
korneum, melekat di pakaian dan dapat hidup di luar tubuh manusia sekitar tiga
hari; masa tersebut cukup untuk menularkan skabies. (Sungkar, 2016)
o Kepadatan Penghuni : Prevalensi skabies dua kali lebih tinggi di pemukiman
kumuh perkotaan yang padat penduduk dibandingkan di kampung nelayan yang
tidak padat. (Sungkar, 2016)
o Tingkat Pendidikan dan Pengetahuan tentang Skabies : di daerah yang sering
mengalami wabah atau endemis skabies, pengetahuan masyarakat mengenai
skabies umumnya rendah. (Sungkar, 2016)
o Budaya : Budaya masyarakat dapat mempengaruhi prevalensi penyakit di suatu
daerah. Di daerah tertentu, orang sakit tidak boleh dimandikan karena kuatir akan
memperparah penyakitnya. Oleh karena itu, jika seseorang menderita skabies,
maka tidak boleh mandi dan cuci tangan bahkan tidak boleh terkena air sama
sekali. Budaya seperti itu perlu dihentikan dengan memberikan penyuluhan
kepada masyarakat. (Sungkar, 2016)
o Tingkat sosio-ekonomi : Kualitas hidup penderita yang tinggal di daerah kumuh
sangat memprihatinkan. Kondisi rumah buruk, infrastruktur sanitasi tidak
memadai, dan padat penduduk sehingga skabies tidak menjadi prioritas karena
banyak hal lain yang perlu diutamakan. (Sungkar, 2016)

2.5 Diagnosis
6

Diagnosis dari Skabies ini ditegakkan berdasarkan anamnesa dan


pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang.

2.5.1 Anamnesis

Pasien dengan skabies selalu mengeluh gatal, terutama pada malam


hari. Kelainan kulit mula-mula berupa papula, vesikel. Akibat garukan timbul
infeksi sekunder sehingga terjadi pustula. (Siregar, 2017)
Rasa gatal biasa memburuk pada malam hari disebabkan aktivitas
tungau lebih tinggi pada suhu lebih lembap dan panas. (Kurniawan, et al.,
2020)
Sensasi gatal yang hebat seringkali mengganggu tidur dan penderita
menjadi gelisah. Pada infeksi inisial, gatal timbul setelah 3 sampai 4 minggu,
tetapi paparan ulang menimbulkan rasa gatal hanya dalam waktu beberapa
jam. Studi lain menunjukkan pada infestasi rekuren, gejala dapat timbul dalam
4-6 hari karena telah ada reaksi sensitisasi sebelumnya. (Mutiara & Firza,
2016)

2.5.2 Pemeriksaan Fisik


 Lokalisasi : Sela jari tangan, pergelangan tangan, ketiak, sekitar pusat,
paha bagian dalam, genitalia pria, dan bokong. Pada bayi : kepala, telapak
tangan dan kaki. (Siregar, 2017)
 Efloresensi/ sifat-sifatnya : Papula dan vesikel miliar sampai lentikuler
disertai ekskoriasi (scratch mark). Jika terjadi infeksi sekunder tampak
pustula lentikuler. Lesi yang khas adalah terowongan (kanalikulus) miliar,
tampak berasal dari salah satu papula atau vesikel, panjang kira-kira 1 cm,
berwarna putih abu-abu. Akhir/ ujung kanalikuli adalah tempat
persembunyian dan bertelur Sarcoptes scabiei betina. Tungau betina
bertelur 3-5 telur/ hari. Sesudah 3-4 hari, telur menetas menjadi larva,
dalam 3-5 hari menjadi nimfa, selanjutnya menjadi tungau dewasa.
Tungau jantang dewasa mati diatas permukaan kulit sesudah mengadakan
kopulasi, sedang yang betina membuat terowongan baru, bertelur dan mati
sesudah 2-3 minggu. (Siregar, 2017)
7

Gambar 2.5.2.1 Skabies: Terowongan (kunikulus) pada sela jari. Papul dan terowongan
terdapat pada sela-sela jari tangan. Terowongan berwarna putih, berupa garis lurus, dengan
vesikel atau papul di ujung terowongan

Gambar 2.5.2.2 Skabies : Papul dan kunikulus pada area lateral punggung tangan

Gambar
2.5.2.3
Lesi
skabies di telapak dan jari tangan
8

2.5.3 Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan Laboratorium
Walaupun tungau dan produk tungau sulit ditemukan, pemeriksaan
laboratorium sebaiknya tetap dilakukan terutama pada kasus yang diduga
skabies atipik. Pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan sebagai berikut.
 Kerokan Kulit : Papul atau terowongan ditetesi minyak mineral lalu
dikerok dengan skalpel steril yang tajam untuk mengangkat bagian
atas papul atau terowongan. Hasil kerokan diletakkan di kaca objek,
ditetesi KOH, ditutup dengan kaca penutup kemudian diperiksa
dengan mikroskop. Positif jika teridentifikasi tungau atau bagian dari
tungau. (Sungkar, 2016)
 Mengambil Tungau dengan Jarum : jarum ditusukkan di
terowongan di bagian yang gelap lalu diangkat ke atas. Pada saat
jarum ditusukkan biasanya tungau akan memegang ujung jarum
sehingga dapat diangkat keluar. (Sungkar, 2016)
 Usap (Swab) Kulit : selotip transparan dipotong sesuai ukuran gelas
objek (25x50mm), kemudian bagian kulit dibersihkan dengan eter
lalu dilekatkan selotip di atas papul atau terowongan kemudian
diangkat dengan cepat. Setelah itu, selotip dilekatkan di gelas objek,
ditetesi KOH, ditutup dengan kaca tutup, dan diperiksa dengan
mikroskop. (Sungkar, 2016)
 Burrow Ink Test : Papul skabies diolesi tinta India menggunakan
pena lalu dibiarkan selama 20-30 menit kemudian dihapus dengan
alkohol. Burrow ink test menunjukkan hasil positif apabila tinta
masuk ke dalam terowongan dan membentuk gambaran khas berupa
garis zig zag. (Sungkar, 2016)

2. Pemeriksaan Histopatologi
Lesi primer skabies memberikan gambaran hiperkeratosis,
akantosis, spongiosis dan vesikulasi di epidermis. Perubahan di dermis
berupa infiltrat perivaskuler, terdiri atas sel limfosit T, sedikit histiosit dan
kadang-kadang eosinofil serta neutrofil. Di lesi primer, jumlah sel mast
9

lebih banyak apabila dibandingkan dengan lesi sekunder dan kulit normal.
(Sungkar, 2016)

Lesi sekunder pada umumnya berupa papul urtika yang mungkin


terjadi akibat kompleks imun yang beredar atau akibat respons imun
selular. Terdapatnya kompleks imun yang beredar terbukti dengan
meningkatnya C1q binding activity. Di lesi sekunder, infiltrasi sel-sel lebih
ringan daripada lesi primer dan tidak ditemukan eosinofil atau vaskulitis.
(Sungkar, 2016)

2.6 Patogenesis

Siklus hidup tungau ini adalah sebagai berikut; setelah kopulasi (perkawinan)
yang terjadi diatas kulit, tungau jantan akan mati, kadang-kadang masih dapat hidup
beberapa hari dalam terowongan yang digali oleh tungau betina. Tungau betina yang
telah dibuahi menggali terowongan dalam stratum korneum dengan kecepatan 2-3mm
sehari sambil meletakkan telurnya 2 hingga 50. Bentuk betina yang dibuahi ini dapat
hidup sebulan lamanya. Telur akan menetas biasanya dalam waktu 3-10 hari dan
menjadi larva yang mempunyai 3 pasang kaki. Larva ini dapat tinggal di dalam
terowongan tetapi dapat juga keluar. Setelah 2-3 hari larva akan menjadi nimfa yang
mempunyai 2 bentuk jantan dan betina dengan 4 pasang kaki. Seluruh siklus hidup
mulai dari telur sampai bentuk dewasa memerlukan waktu antara 8-12 hari. Aktivitas
S. Scabiei dalam kulit menyebabkan rasa gatal dan menimbulkan respons imunitas
seluler dan humoral serta mampu meningkatkan IgE baik di serum maupun di kulit.
Masa inkubasi berlangsung selama 4-6 minggu. Skabies sangat menular, transmisi
melalui kontak langsung dari kulit ke kulit, dan tidak langsung melalui berbagai
benda yang terkontaminasi (sprei, sarung bantal, handuk dsb). Tungau skabies dapat
hidup diluar tubuh manusia selama 24 sampai 36 jam. Tungau dapat ditransmisi
melalui kontak seksual, walaupun menggunakan kondom, karena kontak melalui kulit
diluar kondom. (Djuanda et al., 2016)
Kelainan kulit dapat tidak hanya disebabkan oleh tungau skabies, tetapi juga
oleh penderita sendiri akibat garukan. Gatal yang terjadi disebabkan oleh sensitisasi
terhadap sekreta dan eksreta tungau yang memerlukan waktu kira-kira sebulan setelah
infestasi. Pada saat itu, kelainan kulit menyerupai dermatitis dengan ditemukannya
10

papul, vesikel, urtika, dan lain-lain. Dengan garukan dapat timbul erosi, ekskoriasi,
krusta dan infeksi sekunder. (Djuanda et al., 2016).

2.7 Patofisiologi

Sumber : (Djuanda et al., 2016).


11

2.8 Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari Skabies ini yaitu:

1. Pomfoliks
Dermatitis dishidrotik atau lebih dikenal dengan pomfoliks merupakan
dermatitis tipe vesikular pada jari, telapak tangan dan kaki. Penyakit ini merupakan
dermatosis yang dapat dalam keadaan akut, rekuren, dan kronik, yang
dikarakteristikan dengan adanya vesikel “tapioca-like” yang gatal dengan onset
tiba-tiba, dan pada keadaan lanjut dapat ditemukan fisura dan likenifikasi.
(Amelia, 2016)
Penyebab pasti pompholyx masih belum diketahui secara pasti. Namun
demikian, penyakit ini diduga ada hubungannya dengan eksim atopik dan alergi.
(Willy, 2019)
Secara klinis, pomfoliks akut sering tampak gambaran vesikel-vesikel
dengan dasar dalam dengan warna seperti tepung tapioka, namun dapat pula
muncul gambaran bulla yang akan tampak pada telapak tangan dan sisi lateral jari-
jari. Dapat pula terjadi erupsi pada telapak kaki, namun 80% dari kasus sering
ditemukan pada daerah tangan. (Irawanto et al., 2016)
2. Dermatitis Kontak Alergi
Dermatitis kontak alergi merupakan dermatitis yang disebabkan bahan
kimia sederhana dengan berat molekul rendah ( < 1000 dallon), disebut sebagai
hapten, bersifat lipofilik, dan dapat menembus stratum korneum sehingga
mencapai sel epidermis bagian dalam yang hidup. Pasien umumnya mengeluh
gatal. Pada stadium akut dimulai dengan bercak eritematosa berbatas tegas
kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel, atau bula. Vesikel atau bula dapat
pecah menyebabkan erosi dan eksudasi (basah). Pada DKA kronis terlihat kulit
kering, berskuama, papul, likenifikasi dan kemungkinan juga fisur, berbatas tidak
tegas. (Djuanda et al., 2016)
12

2.9 Penatalaksanaan

2.9.1 Non Farmakologi


o Tea tree oil : Saat ini dikembangkan produk natural seperti tea tree oil
berasal dari tanaman Melaleuca alternifolia. Produk ini digunakan sebagai
terapi adjuvan untuk skabies di Rumah Sakit Royal Darwin Australia.
Studi di Australia pada tungau Sarcoptes scabiei var hominis mendapatkan
bahwa produk tea tree oil mematikan tungau lebih banyak dibandingkan
produk permethrin atau ivermectin (85% tungau mati setelah kontak 1 jam
dengan tea tree oil; 10% tungau mati setelah kontak dengan permethrin
dan ivermectin). (Kurniawan, et al., 2020)
o Pelembap emolient untuk mengurangi kulit kering dan gatal. (Kurniawan,
et al., 2020)

2.9.2 Farmakologi
1. Topikal
o Krim Permetrin 5%
Tatalaksana lini pertama adalah agen topikal krim permetrin
kadar 5%, aplikasi ke seluruh tubuh (kecuali area kepala dan leher
pada dewasa) dan dibersihkan setelah 8 jam dengan mandi. Permetrin
efektif terhadap seluruh stadium parasit dan diberikan untuk usia di
atas 2 bulan. Jika gejala menetap, dapat diulang 7-14 hari setelah
penggunaan pertama kali. Seluruh anggota keluarga atau kontak dekat
penderita juga perlu diterapi pada saat bersamaan. Permetrin memiliki
efektivitas tinggi dan ditoleransi dengan baik. Kegagalan terapi dapat
terjadi bila terdapat penderita kontak asimptomatik yang tidak diterapi,
aplikasi krim tidak adekuat, hilang karena tidak sengaja terbasuh saat
mandi sebelum 8 jam aplikasi. Pemakaian pada wanita hamil, ibu
menyusui, anak usia di bawah 2 tahun dibatasi menjadi dua kali
aplikasi (diberi jarak 1 minggu) dan segera dibersihkan setelah 2 jam
aplikasi (Kurniawan, et al., 2020)
o Krotamiton 10%
Krotamiton 10% dalam krim atau lotion merupakan obat
alternatif lini pertama untuk usia di bawah 2 bulan. Agen topikal ini
13

memiliki dua efek sebagai antiskabies dan antigatal. Aplikasi


dilakukan ke seluruh tubuh dan dibasuh setelah 24 jam dan diulang
sampai 3 hari. Penggunaan dijauhkan dari area mata, mulut, dan uretra.
Krotamiton dianggap kurang efektif dibanding terapi lain. (Kurniawan,
et al., 2020)

o Belerang Endap (Sulfur Presipitatum)


Belerang endap (sulfur presipitatum) dengan kadar 5-10%
dalam bentuk salep atau krim. Preparat ini tidak efektif untuk stadium
telur, digunakan 3 hari berturut-turut. Kekurangan preparat ini adalah
berbau, mengotori pakaian, dan terkadang dapat menimbulkan
dermatitis iritan, tetapi harga preparat ini murah dan merupakan pilihan
paling aman untuk neonatus dan wanita hamil (Kurniawan, et al.,
2020)
o Lindane (Gammexane) 1%
Lindane 1% dalam bentuk losion, efektif untuk semua stadium,
mudah digunakan, dan jarang mengiritasi. Selain itu, obat ini tidak
dianjurkan pada bayi, anak-anak, lanjut usia, individu dengan berat
kurang dari 50 kg karena risiko neurotoksisitas, dan individu yang
memiliki riwayat penyakit kulit lainnya seperti dermatitis dan psoriasis
(Kurniawan, et al., 2020)

2. Sistemik
o Ivermectin
Merupakan agen antiparasit golongan macrocyclic lactone yang
merupakan produk fermentasi bakteri Streptomyces avermitilis. Agen
ini dapat menjadi terapi lini ketiga pada usia lebih dari 5 tahun,
terutama pada penderita persisten atau resisten terhadap terapi topikal
seperti permethrin. Obat ini efektif untuk stadium tungau tetapi tidak
efektif untuk stadium telur, dan memiliki waktu paruh pendek yaitu 12-
56 jam. Dosis yang dianjurkan untuk skabies adalah 200 μg/kg dengan
pengulangan dosis 7-14 hari setelah dosis pertama. Penggunaan tidak
dianjurkan untuk anak dengan berat badan di bawah 15 kg, wanita
14

hamil, dan wanita menyusui, karena obat ini berinteraksi dengan sinaps
saraf memicu peningkatan glutamat dan dapat menembus sawar darah
otak (blood brain barrier) terutama pada anak di bawah 5 tahun yang
sistem sawar darah otak belum sempurna (Kurniawan, et al., 2020)
o Moxidectin
Moxidectin merupakan terapi alternatif yang sedang
dikembangkan. Moxidectin adalah obat yang biasa digunakan dokter
hewan untuk mengobati infeksi parasit terutama Sarcoptic mange.
Preparat ini memiliki mekanisme kerja yang sama dengan ivermectin,
tetapi lebih lipofilik sehingga memiliki penetrasi lebih tinggi ke
jaringan. Moxidectin memiliki toksisitas lebih rendah dibanding
ivermectin. Saat ini studi keamanan dosis pada manusia masih sedikit,
dosis terapeutik yang bertahan di kulit antara 3-36 mg (sampai 0,6
m/kg). Penelitian toleransi dan keamanan belum dilakukan pada wanita
hamil, ibu menyusui, dan anak-anak (Kurniawan, et al., 2020)

2.10 Komunikasi dan Edukasi

Komunikasi dan edukasi yang diberikan antara lain adalah (Mutiara & Firza, 2016) :

 Menjelaskan kepada pasien tentang skabies berupa penyebab penyakit,


faktor predisposisi, serta mengenai minum obat secara teratur.
 Menjelaskan kepada pasien untuk mandi dengan air hangat dan keringkan
badan seperti ganti pakaian, handuk, sprei yang digunakan, dan selalu cuci
dengan teratur, bila perlu direndam dengan air panas, karena tungau akan
mati pada suhu 130º.
 Memberikan edukasi untuk menghindari menyentuh mulut dan mata
dengan tangan dan setiap anggota keluarga serumah sebaiknya
mendapatkan pengobatan yang sama dan ikut menjaga kebersihan.

2.11 Komplikasi

Kerusakan epidermis pada infeksi skabies, memudahkan infeksi Streptococcus


pyogenes (Group A Streptococcus [GAS]) atau Staphylococcus aureus. Keduanya
dapat menyebabkan infeksi lokal jaringan seperti impetigo, selulitis, dan abses, serta
15

dapat menyebar sistemik lewat aliran darah dan limfe (terutama pada skabies
berkrusta dapat terjadi limfadenitis dan septikemia). Infeksi kulit pada GAS dapat
menimbulkan komplikasi akhir berupa post-streptococcalglomerulonephritis yang
dapat berkembang menjadi gangguan ginjal kronis. (Kurniawan, et al., 2020)
Komplikasi skabies lainnya adalah hiperpigmentasi atau hipopigmentasi
akibat inflamasi. Selain itu dapat pula terjadi pruritus pasca-skabies yaitu pruritus
yang terjadi beberapa hari sampai beberapa minggu setelah infestasi primer akibat
hipersensitivitas terhadap tungau dan produk tungau. (Sungkar, 2016)

2.12 Prognosis

Prognosis skabies sangat baik jika diagnosis dan terapi tepat, namun pada
penderita immunocompromised atau penderita yang tinggal di panti asuhan atau
asrama, angka kejadian infestasi ulang tinggi khususnya pada penderita yang kembali
ke lingkungan asalnya yang belum dilakukan eradikasi skabies. (Sungkar, 2016)

2.13 Profesionalisme

 Membantu pasien dengan memberikan pengobatan yang sesuai dengan keparahan


gejala pasien
 Bila keluhan tidak membaik maka rujuk ke dokter spesialis kulit untuk dilakukan
tindakan lebih lanjut
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

Skabies memberikan masalah kesehatan secara global, karena 300 juta kasus
terjadi setiap tahunnya di dunia. World Health Organization (WHO) menyatakan
skabies merupakan salah satu dari enam penyakit parasit epidermal kulit yang terbesar
angka kejadiannya di dunia.(Paramita, 2017)
Pasien dengan skabies selalu mengeluh gatal, terutama pada malam hari.
Kelainan kulit mula-mula berupa papula, vesikel. Akibat garukan timbul infeksi
sekunder sehingga terjadi pustula. Rasa gatal biasa memburuk pada malam hari
disebabkan aktivitas tungau lebih tinggi pada suhu lebih lembap dan panas. (Siregar,
2017; Kurniawan et al., 2020) .
Diagnosis skabies dan intervensi yang dilakukan pada kasus ini disesuaikan
dengan telaah beberapa literatur. Terdapat beberapa faktor internal maupun eksternal
yang memicu terjadinya skabies yang ditemukan dan hal ini telah dinyatakan oleh
beberapa teori yang menjadi sumber acuan. Pilar penatalaksanaan skabies terdiri dari
edukasi mengenai penyebab penyakit, penularan, kebersihan lingkungan dan diri
sendiri serta cara pemakaian obat dan intervensi farmakologis semua anggota
keluarga yang terkena. Tanpa adanya perubahan perilaku berupa pola hidup bersih
dan sehat serta mengobati seluruh anggota keluarga yang sakit, skabies akan sulit
dihentikan dan berulang.
Adapun sarannya yaitu penatalaksanaan pelayanan kesehatan pada penderita
skabies perlu dilakukan secara menyeluruh, komprehensif, terpadu dan
kesinambungan. Perlu mengedukasi pasien mengenai penyakit, penularan dan cara
penggunaan obat yang benar.
DAFTAR PUSTAKA

1. Amelia, Kiki. 2016. Dermatitis Dishidrotik. Palembang: Fakultas Kedokteran


Universitas Sriwijaya
2. Djuanda, Adhi et al. 2016. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Ketujuh. Jakarta:
Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
3. Gabriel, JS et al. 2016. Profil skabies di poliklinik kulit dan kelamin RSUP Prof. Dr.
R. D. Kandou Manado periode Januari-Desember 2013. Jurnal e-Clinic (eCl)
Volume 4/Nomor 2/Juli-Desember 2016
4. Griana, TP. 2016. Scabies: Penyebab, Penanganan dan Pencegahannya. Jurnal El-
Hayah Vol. 4/No.1/September 2013
5. Irawanto, DP et al. 2016. Diagnosis Dan Penatalaksanaan Dishidrosis. Makassar:
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin
6. Kurniawan M, et al. 2020. Diagnosis dan Terapi Skabies. Jurnal CDK-283/ vol. 47/
no. 2/th. 2020
7. Mutiara H dan Firza Syailindra. 2016. Skabies. Jurnal Majority Volume 5/Nomor
2/April 2016
8. Paramita K, Sawitri. 2017. Profil Skabies pada Anak. Jurnal Berkala Ilmu Kesehatan
Kulit dan Kelamin Vol 27/ No. 1/ April 2015
9. Parman, et al. 2017. Faktor Risiko Hygiene Perorangan Santri Terhadap Kejadian
Penyakit Kulit Skabies di Pesantren Al-Baqiyatushshalihat Tanjung Jabung Barat
Tahun 2017. Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol.17/ No.3/ Tahun 2017
10. Siregar, R.S. 2017. Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit Edisi 3. Jakarta: EGC
11. Sungkar, Saleha. 2016. Skabies: Etiologi, Patogenesis, Pengobatan, Pemberantasan,
dan Pencegahan. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
12. Willy, Tjin. 2019. Pompholyx. Available at https://www.alodokter.com/pompholyx
Accessed on November 20th 2020

Anda mungkin juga menyukai