Anda di halaman 1dari 16

GASTROESOPHAGEAL REFLUX

(GERD)

Disusun oleh :

MARISA SAHARA 102119049


DHIYA MARIYAH 102119026
AGUSRIMA KURNIATI .L 102119074
FITRATUL AZHNI 102119040
TRI WAITUL NOFRI SANDI 102119008

Pembimbing :
dr. Sukma Sahreni, M.Gizi

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


DINAS KESEHATAN KOTA BATAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BATAM
2021

1
BAB I

PENDAHULUAN

Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) atau penyakit refluks esophagus (PGRE)


merupakan suatu keadaan dimana terjadinya refluks isi lambung ke dalam esofagus dengan
akibat menimbulkan gejala klinik, Refluks dapat terjadi dalam keadaan normal yang biasanya
berhubungan dengan kondisi tertentu, seperti posisi berbaring setelah makan, pada saat
muntah. Bila terjadi refluks, esofagus akan segera berkontraksi untuk membersihkan lumen
dari refluksat tersebut sehingga tidak terjadi suatu kontak yang lama antara refluksat dan
mukosa esofagus.1,2
Penyakit ini frekuensinya cukup tinggi di negara maju. Di Indonesia sendiri kasus
GERD ini belum ada data epidemiologinya, namun kasus Penyakit ini seringkali tidak
terdiagnosis sebelum menimbulkan keluhan yang berat. 3,4
Penyebab GERD pada populasi ras kulit putih lebih tinggi dibanding dengan ras yang
lainnya dan dari segi geografis dijumpai bervariasi antar negara dan benua, di benua Afrika
dan Asia prevalensinya sangat rendah sedangkan di Amerika utara dan Eropa rasionya tinggi.
Peluang pada pria dan wanita yaitu dengan rasio laki-laki dan wanita untuk terjadinya GERD
adalah 2:1 sampai 3:15,6
Di Amerika serikat, dijumpai simptom heart burn pada individu dewasa muda terjadi
14% setiap minggunya, sedangkan di Jepang dan Philipina adalah 7,2% dan 7,1%. Di negara
barat sekitar 20-40% setiap individu pernah mengalami simptom heart burn yang
berkembang menjadi: esofagitis 25-25%, 12% jadi Barret’s esofagus dan 46%
adenokarsinoma. Sedangkan laporan kekerapan di Indonesia sampai saat ini masih rendah,
hal ini diduga karena kurangnya perhatian kita terhadap penyakit ini pada tahap awal proses
diagnosis.5,6

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesofageal refluks disease / GERD ) adalah
suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus,
dengan berbagai gejala yang timbul akibat keterlibatan esofagus, faring, laring dan saluran
nafas.4,7
Refluks gastroesofageal adalah fenomena biasa yang dapat timbul pada setiap orang
sewaktu-waktu, pada orang normal refluks ini terjadi pada posisi tegak sewaktu habis makan,
karena sikap posisi tegak tadi dibantu oleh adanya kontraksi peristaltik primer, isi lambung
yang mengalir ke esofagus segera kembali ke lambung, refluks sejenak ini tidak merusak
mukosa esofagus dan tidak menimbulkan keluhan. Keadaan ini dikatakan patologis bila
refluks terjadi berulang-ulang dan dalam waktu yang lama. 8

2.2 EPIDEMILOGI
Epidemiologi Penyakit ini umumnya ditemukan pada populasi negara–negara barat,
namun dilaporkan relatif rendah insidennya di negara Asia - Afrika. Di amerika di laporkan
satu dari lima orang dewasa mengalami gejala heartburn atau regurgutasi sekali dalam
seminggu serta lebih dari 40 % mengalaminya sekali dalam sebulan. Prevalensi esofagitis di
amerika sekitar 7%, sementara negara non-western prevalensinya lebih rendah (1,5% di
China dan 2,7% di Korea). Sementara di Indonesia belum ada data epidemiologinya
mengenai penyakit ini, namun di Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUIRSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta didapatkan kasus esofagitis sebanyak 22,8%
dari semua pasien yang menjalani pemeriksaan endoskopi atas indikasi dyspepsia.4,9

2.3 ETIOLOGI
Refluks gastroesofageal terjadi sebagai konsekuensi berbagai kelainan fisiologi dan
anatomi yang berperan dalam mekanisme antirefluks di lambung dan esofagus. Mekanisme
patofisiologis meliputi relaksasi transien dan tonus Lower Esophageal Sphincter (LES) yang
menurun, gangguan clearance esofagus, resistensi mukosa yang menurun dan jenis reluksat
dari lambung dan duodenum, baik asam lambung maupun bahan-bahan agresif lain seperti
pepsin, tripsin, dan cairan empedu serta faktor-faktor pengosongan lambung. Asam lambung
merupakan salah satu faktor utama etiologi penyakit refluks esofageal, kontak asam lambung

3
yang lama dapat mengakibatkan kematian sel, nekrosis, dan kerusakan mukosa pada pasien
GERD.
Ada 4 faktor penting yang memegang peran untuk terjadinya GERD 5:
1. Rintangan Anti-refluks (Anti Refluks Barrier)
Kontraksi tonus Lower Esofageal Sphincter (LES) memegang peranan penting untuk
mencegah terjadinya GERD, tekanan LES < 6 mmHg hampir selalu disertai GERD yang
cukup berarti, namun refluks bisa saja terjadi pada tekanan LES yang normal, ini dinamakan
inappropriate atau transient sphincter relaxation, yaitu pengendoran sfingter yang terjadi di
luar proses menelan. Akhir-akhir ini dikemukakan bahwa radang kardia oleh infeksi kuman
Helicobacter pylori mempengaruhi faal LES denagn akibat memperberat keadaan.Faktor
hormonal, makanan berlemak, juga menyebabkan turunnya tonus LES.5
2. Mekanisme pembersihan esofagus
Pada keadaan normal bersih diri esofagus terdiri dari 4 macam mekanisme, yaitu gaya
gravitasi, peristaltik, salivasi dan pembentukan bikarbonat intrinsik oleh esofagus. Proses
membersihkan esofagus dari asam (esophageal acid clearance) ini sesungguhnya berlangsung
dalam 2 tahap. Mula-mula peristaltik esofagus primer yang timbul pada waktu menelan
dengan cepat mengosongkan isi esofagus, kemudian air liur yang alkalis dan dibentuk
sebanyak 0,5 mL/menit serta bikarbonat yang dibentuk oleh mukosa esofagus sendiri,
menetralisasi asam yang masih tersisa. Sebagian besar asam yang masuk esofagus akan turun
kembali ke lambung oleh karena gaya gravitasi dan peristaltik. Refluks yang terjadi pada
malam hari waktu tidur paling merugikan oleh karena dalam posisi tidur gaya gravitasi tidak
membantu, salivasi dan proses menelan boleh dikatakan terhenti dan oleh karena itu
peristaltik primer dan saliva tidak berfungsi untuk proses pembersihan asam di esofagus.
Selanjutnya kehadiran hernia hiatal juga menggangu proses pembersihan tersebut.5
3. Daya perusak bahan refluks
Asam pepsin dan mungkin juga empedu yang ada dalam cairan refluks mempunyai daya
perusak terhadap mukosa esofagus. Beberapa jenis makanan tertentu seperti air jeruk nipis,
tomat dan kopi menambah keluhan pada pasien GERD.5
4. Isi lambung dan pengosongannya
Reluks gastroesofagus lebih sering terjadi sewaktu habis makan dari pada keadaan puasa,
oleh karena isi lambung merupakan faktor penentu terjadinya refluks. Lebih banyak isi
lambung lebih sering terjadi refluks. Selanjutnya pengosongan lambung yang lamban akan
menambah kemungkinan refluks tadi.5

4
Penyakit refluks gastroesofageal bersifat multifaktorial. Esofagitis dapat terjadi sebagai
akibat dari refluks gastroesofageal apabila1 :
a. Terjadi kontak dalam waktu yang cukup lama antara bahan refluksat dengan mukosa
esofagus
b. Terjadi penurunan resistensi jaringan mukosa esofagus, walaupun waktu kontak antara
bahan refluksat dengan esofagus tidak lama.

2.5. PATOFISIOLOGI
Penyakit GERD bersifat multifactorial.3,4 GERD dapat merupakan gangguan
fungsional (90%) dan gangguan struktural (10%).7 Gangguan fungsional lebih pada disfungsi
SEB dan gangguan struktural pada kerusakan mukosa esophagus.7 Esofagitis dapat terjadi
sebagai akibat dari GERD apabila terjadi kontak yang cukup lama dengan bahan yang
refluksat dengan mukosa esofagus. Selain itu juga akibat dari resistensi yang menurun pada
jaringan mukosa esofagus walaupun kontak dengan refluksat tidak terlalu lama. 4 Selain itu
penurunan tekanan otot sfingter esofagus bawah oleh karena coklat, obat-obatan, kehamilan
dan alkohol juga ditengarai sebagai penyebab terjadinya refluks.3
Esofagus dan gaster terpisah oleh suatu zona tekanan tinggi yang dihasilkan oleh
kontraksi Sfingter esofagus bawah. Pada orang normal, pemisah ini akan dipertahankan,
kecuali pada saat terjadinya aliran antergrard (menelan) atau retrogard (muntah atau
sendawa).4
Aliran balik gaster ke esofagus hanya terjadi bila terdapat hipotoni atau atoni sfingter
esofagus bawah.3,4 Beberapa keadaan seperti obesitas dan pengosongan lambung yang
terlambat dapat menyebabkan hipotoni pada sfingter esofagus bawah.3 Tonus SEB dikatakan
rendah bila berada pada < 3 mmHg.4 Sedangkan pada orang normal 25-35 mmHg.7
Episode refluks bervariasi tergantung kandungan isinya, volume, lamanya, dan
hubungannya dengan makan. Pada proses terjadinya refluks, sfingter esofagus bawah dalam
keadaan relaksasi atau melemah oleh peningkatan tekanan intraabdominal atau sebab lainnya
sehingga terbentuk rongga diantara esofagus dan lambung. Isi lambung mengalir atau
terdorong kuat ke dalam esofagus. Jika isi lambung mencapai esofagus bagian proksimal dan
sfingter esofagus atas berkontraksi, maka isi lambung tersebut tetap berada di esofagus dan
peristaltik akan mengembalikannya ke dalam lambung. Jika sfingter esofagus atas relaksasi
sebagai respon terhadap distensi esofagus maka isi lambung akan masuk ke faring, laring,
mulut atau nasofaring.3
Refluks yang terjadi pada pasien penderita GERD melalui 3 mekanisme.4

5
a. Refluks spontan pada saat relaksasi SEB yang tidak adekuat,
b. Aliran retrogard yang mendahului kembalinya tonus SEB setelah menelan,
c. Meningkatnya tekanan intraabdomen.
Patofisiologi Refluks Ekstraesofagus (7)
Dua mekanisme dianggap sebagai penyebab
Refluks ekstraesofagus. Mekanisme tersebut antara lain.
a. Kontak langsung refluksat (asam lambung dan pepsin) ke esofagus proximal dan SEA
yang berlanjut dengan kerusakan mukosa faring, laring dan paru.
b. Pajanan esofagus distal akan merangsang vagal refleks yang menyebabakan spasme
bonkus, batuk, sering meludah dan menyebabkan inflamasi pada faring dan laring.

2.6. MANIFESTASI KLINIK


Heart burn merupakan gejala khas dari GERD yang paling sering dikeluhkan oleh
penderita 5,11
Heart burn adalah sensasi nyeri esofagus yang sifatnya panas membakar atau
mengiris dan umumnya timbul dibelakang bawah ujung sternum. Penjalarannya umunya
keatas hingga kerahang bawah dan ke epigastrium, punggung belakang bahkan kelengan kiri
yang menyerupai pada angina pektoris. Timbulnya keluhan ini akibat ransangan
kemoreseptor pada mukosa. Rasa terbakar tersebut disertai dengan sendawa, mulut terasa
masam dan pahit dan merasa cepat kenyang. Keluhan heart burn dapat diperburuk oleh posisi
membungkuk kedepan berbaring terlentang dan berbaring setelah makan. Keadaan ini dapat
ditanggulangi terutama dengan pemberian antasida.7
Refluks yang sangat kuat dapat memunculkan regurgitasi yang berupa bahan yang
terkandung dari esofagus dan lambung yang sampai kerongga mulut. Bahan regurgitasi yang
terasa asam atau sengit dimulut merupakan gambaran sudah terjadinya GERD yang berat dan
dihubungkan dengan inkompetensi sfingter bagian atas dan LES. Regurgitasi dapat
mengakibatkan aspirasi laringeal, batuk yang terus-menerus, keadaan tercekik waktu bangun
dari tidur dan aspirasi pneumoni. Peningkatan tekanan intraabdomal yang timbul karena
posisi membungkuk, cekukan dan bergerak cepat dapat memprovokasi terjadinya
regurgitasi.7
Regurgitasi yang berat dapat dihubungkan dengan gejala-gejala berupa serangan
tercekik, batuk kering, mengi, suara serak,mulut rasa bauk pada pagi hari, sesak nafas, karies
gigi dan aspirasi hidung. Beberapa pasien mengeluh sering terbangun dari tidur karena rasa
tercekik, batuk yang kuat tapi jarang menghasilkan sputum.6
Disfagia (kesulitan dalam menelan) yaitu suatu gangguan transport aktip bahan yang
dimakan, merupakan keluhan utama yang dijumpai pada penyakit faring dan esofagus.

6
Disfagia dapat terjadi pada gangguan non esofagus yang merupakan akibat dari penyakit otot
dan neurologis. Disfagia esofagus mungkin dapat bersifat obstruktif atau motorik. Obstruksi
disebabkan oleh striktur esofagus, tumor intrinsik atau ekstrinsik esofagus yang
mengakibatkan penyempitan lumen. Penyebab gangguan motorik pada disfagia berupa
gangguan motilitas dari esofagus atau akibat disfungsi sfingter bagian atas dan bawah.
Gangguan motorik yang sering menimbulkan disfagia adalah akalasia, skleroderma dan
spasme esofagus yang difus.5,6
GERD juga dapat berakibat manifestasi klinis non esofagus yang atipik seperti
laringitis, suara serak, batuk karena aspirasi sampai timbul asma 3 . Manifestasi non esofagus
pada GERD dapat disimpulkan antara lain gangguan pada Paru (Astma, pneumonia aspirasi),
Suara (Laringitis), Telinga (Otitis media), Gigi (Enamel decay). 6 Di lain pihak, penyakit paru
juga dapat memicu timbulnya GERD oleh karena penatalaksanaan berupa obat yang dapat
menurunkan tonus SEB. Misalnya theofilin.

2.7. DIAGNOSIS
Disamping anamnesis dan pemeriksaan fisik yang seksama, beberapa pemeriksaan
penunjang lainnya dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis GERD, yaitu :
a. Endoskopi saluran cerna bagian atas
Pemeriksaan ini merupakan standar baku untuk diagnosis GERD dengan ditemukannya
mucosal break di esofagus (esofagitis refluks).
Dengan endoskopik dapat dinilai perubahan makroskopik dari mukosa esofagus, serta
dapat menyingkirkan keadaan patologis lain yang dapat menimbulkan gejala GERD. Jika
tidak ditemukan muscosal break pada pasien GERD dengan gejala yang khas, keadaan ini
disebut non erosive reflux disease (NERD).7
Ditemukannya kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi yang dipastikan dengan
pemeriksaan histopatologi, dapat mengonfirmasi bahwa gejala heartburn atau regurgutasi
memang karena GERD. Pemeriksaan histopatologi juga dapat memastikan adanya Barrett’s
esophagus, displasia atau keganasan. Tidak ada bukti yang mendukung perlunya pemeriksaan
histopatologi/biopsi pada NERD.4
Ada beberapa klasifikasi kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi pasien GERD,
antara lain klasifikasi Los Angeles dan Savary-Miller.

7
1) Klasifikasi Los Angeles
Derajat kerusakan Endoskopi
A Erosi kecil pada mukosa esofagus dengan diameter
B Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter >5mm
tanpa saling berhubungan
C Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai atau mengelilingi
seuruh lumen
D Lesi mukosa esofagus yang bersifat sirkumferensial/
mengelilingi seluruh lumen esofagus.

2) Klasifikasi Savary-Miller
GRADE Deskripsi endoskopi
I Erosi sebagian dari satu lipatan mukosa esofagus
II Erosi sebagian dari beberapa lipatan mukosa esofagus. Erosi
dapat bergabung
III Erosi meluas pada sirkumferesnsia esofageal
IV Ulkus, striktura dan pemendekan esofagus
V Barrett’s ephitelium

b. Esofagografi dengan Barium


Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali tidak
menunjukan kelainan terutama pada kasus esofagitis ringan. Pada keadaan yang lebih berat,
gambar radiologi dapat berupa penebalan dinding dan lipatan mukosa, ulkus atau
penyempitan lumen. Pada beberapa kasus, pemeriksaan memiliki nilai lebih dari endoskopi,
misal pada stenosis esofagus dan hiatus henia.2,4
c. Pemantauan pH 24 jam
Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal esofagus. Episode
ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan mikroelektroda pH pada bagian distal
esofagus. Pengukuran pH pada esofagus distal dapat memastika ada tidaknya refluks
gastroesofageal. ph dibawah 4 pada jarak 5 cm diatas SEB dianggap diagnostik untuk refluks
gastroesofageal.3,4
d. Tes Bernstein
Tes ini ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang transnasal dan
melakukan perfusi bagian distal esofagus dengan HCl 0,1 M dalam waktu kurang dari satu
jam. Tes ini bersifat pelengkap dari pemantauan ph 24 jam pada pasien dengan gejala yang
tidka khas. Tes ini dianggap positif bila larutan ini menimbulkan rasa nyeri dada pada pasien,
sedangkan larutan NaCl tidak menimbulkan nyeri. Hasil negatif tidak menutup kemungkinan
adanya gangguan pada esofagus4

8
e. Pemeriksaan manometri
Tes ini akan memberi manfaat yang berarti jika pada pasien dengan gejala nyeri
epigastrium dan regurgitasi yang nyata didapatkan esofagografi barium dan endoskopi yang
normal.3,4
f. Scintigrafi Gastroesofageal
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai pengosongan esofagus dengan menggunakan
cairan atau makanan yang dilabel dengan radioisotop (biasanya technetium) dan bersifat non
invasif. Selanjutnya sebuah penghitung gamma eksternal akan memonitor transit dari cairan
atau makanan yang dilabel tersebut. Sensitivitas dan spesifisitas tes ini masih diragukan.3,4
g. Tes supresi asam
Pada dasarnya tes ini merupakan terapi empiris untuk menilai gejala dari GERD. Dengan
memberikan PPI dosis tinggi selama 1-2 minggu sambil melihat respon yang terjadi. Tes ini
terutama dilakukan jika modalitas lainya seperti endoskopi dan ph metri tidak tersedia. Tes
ini dianggap positif jika terdapat perbaikan dari 50&-75% gejala yang terjadi. Dewasa ini tes
ini merupakan salah satu langkah yang dianjurkan dalam algoritme tatalaksana GERD Pada
pelayanan kesehatan lini pertama pada pasien yang tidak memiliki alarm symptom (BB turun,
anemia, hematemesis, melena, disfagia, odinofagia, riwayat keluarga dengan keganasan
esofagus atau lambung dan umur diatas 40 tahun.4
Diagnosis REE dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis terarah mengenai riwayat
penyakit GERD, pemeriksaan fisik, pemeriksaan hipofaring, laring dan tes diagnosis.
Memonitor ph 24 jam dengan double/trople probe pada esofagus bagian atas (minimal 1
probe). Pemeriksaan laringoskopi fleksible fiberoptik, videolaringoskopi, video stroboskopi
dan laringoskopi kaku merupakan pemeriksaan yang sensitif terhadap refluks
ekstraesofagus.4

2.8. KOMPLIKASI
Dengan penanganan yang tidak adekuat, beberapa komplikasi dapat terjadi pada
GERD. Komplikasi yang kerap terjadi pada GERD antara lain Esofagitis, Striktura esofagus
dan esofagus Barret7,9 .
1. Esofagitis
Merupakan peradangan pada mukosa esofagus, ini terdapat pada lebih dari 50%
pasien GERD. Dapat menyebabkan ulkus pada daerah perbatasan antara lambung dan
esophagus.9

9
2. Striktura Esofagus
Suatu penyempitan lumen oleh karena inflamasi yang timbul akibat refluks.9 Hal ini
ditimbulkan karena terbentuk jaringan parut pada gastroesophageal junction. Striktur
timbul pada 10-15% pasien esofagitis yang bermanifestasi sulit menelan atau disfagia
pada makanan padat. Seringkali keluhan heartburn berkurang oleh karena striktura
berperan sebagai barier refluks. Biasanya striktur terjadi dengan diameter kurang dari 13
mm. Komplikasi ini dapat diatasi dengan dilakukan dilatasi bougie, bila gagal dapat
dilakukan operasi.7
3. Barrett’s Esophagus
Pada keadaan ini terjadi perubahan dimana epitel skuamosa berganti menjadi epitel
kolumnar metaplastik.9 Keadaan ini merupakan prekursor Adenokarsinoma esophagus.11
Esofagus Barrett ini terjadi pada 10% pasien GERD dan adenokarsinoma timbul pada
10% pasien dengan esofagus Barrett. Gejala dari kelainan ini adalah gejala dari GERD
yaitu heartburn dan regurgutasi. Pada 1/3 kasus, gejala GERD tidak tampak atau
minimal, hal ini diduga karena sensitivitas epitel Barrett terhadap asam yang menurun.
Pada endoskopi kelainan ini dapat dikenaldengan mudah dengan tampaknya segmen
yang panjang dari epitel kolumnar yang berwarna kemerahan meluas ke proksimal
melampaui “gastroesophageal junction” dan tampak kontras sekali dengan epitel
skuamosa yang pucat dan mengkilat dari esofagus. Penyakit ini dapat ditatalaksana
dengan medikamentosa.7

2.9. TATALAKSANA
Pada prinsipnya terapi GERD ini dibagi beberapa tahap, yaitu terapi modifikasi gaya
hidup, terapi medikamentosa dan terapi pembedahan serta akhirakhir ini mulai dipekenalkan
terapi endoskopik.3,4,5 Target penatalaksanaan GERD ini antara lain, menyembuhkan lesi
esofagus, menghilangkan gejala, mencegah kekambuhan, memperbaiki kualitas hidup, dan
mencegah timbulnya komplikasi.4,5 .
1. Modifikasi gaya hidup
Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu penatalaksanaan GERD,namun demikian
bukan merupakan pengobatan primer(3). Usaha ini bertujuan untuk mengurangi refluks serta
mencegah kekambuhan.4,5.

10
Hal yang perlu dilakukann dalam modifikasi gaya hidup antara lain3,4,5:
a. Meninggikan posisi kepala pada saat tidur dan menghindari makan sebelum tidur,
dengan tujuan meningkatkan bersihan asam lambung selama tidur serta mencegah
refluks asam lambung ke esofagus.
b. Berhenti merokok dan mengonsumsi alkohol karena berpengaruh pada tonus SEB.
c. Mengurangi konsumsi lemak dan mengurangi jumlah makanan yang di makan karena
dapat menimbulkan distensi lambung.
d. Menurunkan berat badan dan menghindari memakai pakaian ketat untuk mengurangi
tekanan intrabdomen.
e. Menghindari makanan dan minuman seperti coklat, tehm kopi dan minuman soda karena
dapat merangsang aam lambung.
f. Jika memugkinkan, hindari pemakaian obat yang dapat meningkatkan menurunkan tonus
SEB, antara lain antikolinergik, tefilin, diazepam, antagonis kalsium, progesteron.
Modifikasi gaya hidup merupakan penatalaksanaan lini pertama bagi wanita hamil
dengan GERD.5.

2. Terapi Medikamentosa
Terdapat dua alur penatalaksanaan GERD, yaitu step up dan step down. Pada pendekatan
step up pengobatan dimulai dengan obat yang kurang kuat dalam menekan sekresi asam
(antagonis reseptor H2) atau golongan prokinetik. Bila gagal baru diberikan yang lebih kuat
menekan sekresi asam dengan masa terapi lebih lama yaitu penghambat pompa proton.
Sedangkan untuk pendekatan step down diberikan tatalaksana berupa PPI terlebih dahulu,
setelah terjadi perbaikan,baru diberi obat dengan kerja yang kurang kuat dalam menekan
sekresi asam lambung, yaitu antagonis H2 atau prokinetik atau bahkan antasid.
a. Antasid
Pengobatan ini digunakan untuk gejala ringan GERD sejak tahun 1971, dan masih
dinilai efektif hingga sekarang dan tidak menimbulkan esofagitis 3,4,5 . Selain sebagai
penekan asam lambung, obat ini dapat memperkuat tekanan SEB. 4,5 Kelemahan obat
golongan ini adalah. Rasanya kurang enak. Dapat menimbulkan diare terutama yang
mengandung magnesium serta konstipasi terutama antasid yang mengandung aluminium,
Selain itu penggunaannya sangat terbatas untuk pasien dengan ganghuan fungsi ginjal.
Dosis sehari 4x1 sendok makan.
b. Antagonis Reseptor H2

11
Obat ini dilaporkan berhasil pada 50% kasus GERD. Yang termasuk obat golongan ini
adalah ranitidin, simetidin, famotidin dan nizatidin. Sebagai penekan sekresi asam, golongan
obat ini efektif dalam pengobatan penyakit refluks gastroesofageal jika diberikan dosis 2 kali
lebih tinggi dan dosis untuk terapi ulkus(2,3). Pengguanaan obat ini dinilai efektif bagi keadaan
yang berat, misalnya dengan barrett’s esophagus.5 Golongan obat ini hanya efektif pada
pengobatan esofagitis derajat ringan sampai sedang serta tanpa komplikasi. Dosis rantidin
4x150 mg.4
c. Obat prokinetik
Secara teoritis, obat ini dianggap paling sesuai untuk pengobatan GERD karena penyakit
ini dianggap lebih condong kearah gangguan motilitas. Namun praktiknya, pengobatan
GERD sangat bergantung pada penekanan sekresi asam.4 Obat ini berfungsi untuk
memperkuat tonus SEB dan mempercepat pengosongan gaster.
1) Metoklopramid4
a) Efektifitasnya rendah dalam mengurangi gejala, serta tidak berperan dalam
penyembuhan lesi di esofagus kecuali dikombinasikan dengan antagonis reseptor H2
atau PPI.
b) Karena melalui sawar darah otak, maka dapat tumbuh efek terhadap saraf pusat
berupa mengantuk, pusing, agitasi, tremor, dan diskinesia
c) Dosis 3x 10 mg sebelum makan dan sebelum tidur.3
2) Domperidon4
a) Obat ini antagonis reseptor dopamin (sama dengan metoklopramid) hanya saja obat
ini tidak melewati sawar darah otak, sehingga efek sampingnya lebih jarang.
b) Walaupun efektifitasnya belum banyak dilaporkan, namun obat ini diketahui dapat
menigkatkan tonus SEB dan percepat pengosongan lambung.
c) Dosis 3x10-20 mg sehari
3) Cisapride4
a) Obat ini merupakan suatu antagonis reseptor 5HT4, obat ini dapat memperkuat tonus
SEB dan mempercepat pengosongan lambung.
b) Efektivitasnya dalam menghilangkan gejala serta penyembuhan lesi lebih bagus dari
domperidon.
c) Dosis 3x10 mg
4) Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat)
Obat ini tidak memiliki efek langsung terhadapa asam lambung, melainkan berefek pada
meningkatkan pertahanan mukosa esofagus, sebagai buffer terhadap HCl di esofagus

12
serta dapat mengikat pepsin dan garam empedu. Golongan obat ini cukup aman karen
bersifat topikal. Dosis 4x1 gram.3,4
5) Penghambat Pompa Proton (Proton pump inhibitor/PPI)
Merupakan obat terkuat dalam penatalaksanaan GERD, sehingga dijadikan drug of
choice(3,4,5). Golongan ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal dengan
memperngaruhi enzim H, K ATP –ase yang dianggap sebagai tahap akhir proses
pembentukan asam lambung. Pengobatan ini sangat efektif dalam menghilangkan
keluhan serta penyembuhan lesi esofagus, bahkan pada esofagitis erosiva derajat berat
yang refrakter dengan antagonis reseptor H2.
Dosis untuk GERD adalah dosis penuh, yaitu :
 Omeprazole : 2x20 mg
 Lansoprazole: 2x30 mg
 Pantoprazole: 2x40 mg
 abeprazole : 2x10 mg
 Esomeprazole: 2x40 mg
Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial) berikutnya
dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan selama 4 bulan, tergantung esofagitisnya.
Efektivitas obat ini semakin bertambah jika dikombinasi golongan prokinetik.

4. Terapi Bedah
Beberapa keadaan dapat menyebabkan terjadinya kegagalan terapi medikamentosa pada
pasien GERD, antara lain : Diagnosa yang tidak benar, pasien GERD sering disertai gejala
lain seperti rasa kembung, cepet kenyang dan mual-mual yang lebih lama menyembuhkan
esofagitisnya. Pada kasus Barrett’s esofagus kadang tidak memberikan respon terhadap terapi
PPI, begitu pula dengan adenokarsinoma dan bila terjadi striktura. Pada disfungsi SEB juga
memiliki hasil yang tidak memuaskan dengan PPI.4
Terapi bedah merupakan terapi alternatif yang penting jika terapi modifikasi gaya hidup
dan medikmentosa tidak berhasil. Umumnya pembedahan yang dilakukan adalah
fundoplikasi,3,4,5
1) Fundoplikasi Nissen
Fundoplikasi Nissen adalah suatu tindakan bedah untuk tatalaksana penyakit GERD bila
tatalaksana Modifikasi gaya hidup dan medikamentosa tidak berhasil. Pada Hiatus hernia,
Fundoplikasi Nissen justru menjadi terapi lini pertama. Teknik operasi ini dilakukan dengan

13
laparoskopi. Tujuan dari teknik ini adalah memperkuat esofagus bagian bawah untuk
mencegah terjadinya refluks dengan cara membungkus bagian bawah esofagus dengan bagian
lambung atas.12
Indikasi Fundoplikasi
a) Kasus resisten dan kasus refluks esofagitis dengan komplikasi yang tidak
sepenuhnya responsif terhadap terapi medis atau pada pasien dengan terapi medis
jangka panjang yang tidak menguntungkan.
b) Pasien dengan gejala yang tidak sepenuhnya tekontrol oleh terapi PPI, Pada pasien
ini dipertimbangkan untuk dilakukan pembedahan. Pada pasien dengan penyakit
yang tekontrol dengan baik juga dapat dilakukan pertimbangan pembedahan.
c) Terjadinya esofagus barrret adalah indikasi untuk pembedahan. Asam lambung
meningkatkan terjadinya barrett esofagus berkembang kearah keganasan, tetapi
kebanyakan ahli menyarankan tindakan mensupresi asam lambung secara lengkap
untuk pencegahan pada pasien yang terbukti secara histologis menderita esofagus
barret.
2) Terapi Endoskopi
Walaupun laporannya masih terbatas serta masih dalam penelitian, akhir-akhir ini mulai
dikembangkan pilihan terapi endoskopi pada pasien GERD, yaitu, penggunaan energi
radiofrekuensi, plikasi gastrik endoluminal, implantasi endoskopik dengan menyuntikan zat
implan di bawah mukosa esofagus bagian distal sehingga lumennya menjadi lebih kecil. 4
Endoskopi bukan merupakan pemeriksaan rutin sebagai pemeriksaan awal pasien suspek
PRGE dengan manifestasi otolaringologi dan bukan prasyarat untuk terapi medic.10

2.10. PROGNOSIS
Sebagian besar pasien dengan GERD akan mebaik dengan pengobatan, walaupun
relaps mungkin akan muncul setelah terapi dan memerlukan terapi medis yang lebih lama.
Apabila kasus GERD ini disertai komplikasi (seperti striktur, aspirasi, penyakit saluran nafas,
Barrett esophagus), biasanya memerlukan terapi pembedahan. Prognosis untuk pembedahan
biasanya baik. Meskipun begitu, mortaliti dan morbiditi adalah tinggi pada pasien
pembedahan dengan masalah medis yang kompleks.

14
BAB III
KESIMPULAN

Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) atau yang dikenal dengan Penyakit


Refluks Gastroesofageal (PRGE) merupakan suatu keadaan dimana terjadi gerakan retrogard
atau naiknya isi lambung sampai pada esofagus secara patologis. Keadaan berakibat
kandungan lambung yang asam dapat mengiritasi mukosa esofagus. Manifestasi klinis dari
PRGE adalah rasa nyeri dada retrosternal atau rasa panas (heartburn) di dada, regurgutasi,
disfagia, mual bahkan sampai suara serak karena mengiritasi laring, menyebabkan laringitis.
Penatalaksanaan pada kasus PRGE ini terdapat beberapa jenis yang dilakukan bertahap yaitu
modifikasi gaya hidup, medikamentosa dan terapi bedah. Pada sebagian besar kasus PRGE
pasien sembuh dengan terapi medikamentosa.

15
DAFTAR PUSTAKA
1. Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. EGC. : Jakarta
2. Susanto A, Sawitri N, Wiyono W, Yunus F, Prasetyo S. Gambaran klinis dan endoskopi
penyakit refluks gastroesofagus (PRGE) pada pasien asma persisten sedang di RS
Persahabatan, Jakarta. Jurnal Respirologi. 2005
3. Asroel H. Penyakit Refluks Gastroesofagus. Cited March 8 2016. Available :
http://library.usu.ac.id/download/fk/tht-hary.pdf
4. Makmun D. Penyakit Refluks Gastroesofageal. Dalam : Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1, Edisi keempat.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007.
5. Patti, Marco G. 2010. Gastroesophageal reflux disease: From pathophysiology to
treatment. World J Gastroenterol 2010 August 14; 16(30): 3745-3749.
6. Ndraha, Suzanna. 2014. Penyakit Refluks Gastroesofageal. Vol. 27, No. 1 April 2014
7. Sudoyo AW, Setiyohadi Bambang, Alwi Idrus, Simadibrata M, Setiati S, editor, Buku
ajar ilmu penyakit dalam, Jilid I, ed. IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam Universitas Indonesia. h. 1803;2007
8. Lelosutan HSAR, editor, Kapita Selekta Gastroentero-Hepatologi Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta : JC Institute h.1-7, 2009
9. Patti M, Kantz J,editor. Gastroesophageal Reflux Disease Treatment & Management.
June 8 2011 [cited March 7 2016]. Available:
http://emedicine.medscape.com/article/176595-treatment#aw2aab6b6b4aa
10. Iskandar N, Soepadrdi E, Bashiruddin J, Restuti R. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga
Hidung Tenggorokan Kepala Leher. Edisi keenam. Jakarta: Balai penerbit FKUI. 2007
11. Syam AF, Aulia C, Renaldi K, Simadibrata M, Abdullah M, Tedjasaputra.2013. Revisi
konsensus nasional penatalaksanaan penyakit refluks gastroesofageal (Gastro-esophageal
Reflux Disease/ GERD) di Indonesia 2013. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia.
12. Gastroesophageal reflux disease : Savary – Miller classification. Cited March 7 2016.
Available : http://www.gastrolab.net/pa-113.htm

16

Anda mungkin juga menyukai