2.1.1 Defenisi
Penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesophageal Reflux Disease/GERD) didefinisikan
sebagai suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus
yang menimbulkan berbagai gejala yang mengganggu (troublesome) di esofagus maupun ekstra
esofagus dan atau komplikasi (Susanto, 2012).
Pada orang normal, refluks ini terjadi pada posisi tegak sewaktu habis makan. Karena sikap
posisi tegak tadi dibantu oleh adanya kontraksi peristaltik primer, isi lambung yang mengalir
masuk ke esofagus segera dikembalikan ke lambung. Refluks sejenak ini tidak merusak mukosa
esofagus dan tidak menimbulkan keluhan atau gejala. Oleh karena itu, dinamakan refluks
fisiologis. Keadaan ini baru dikatakan patologis, bila refluks terjadi berulang-ulang yang
menyebabkan esofagus distal terkena pengaruh isi lambung untuk waktu yang lama. Istilah
esofagitis refluks berarti kerusakan esofagus akibat refluks cairan lambung, seperti erosi dan
ulserasi epitel skuamosa esofagus (Susanto, 2012).
2.1.2 Etiologi
Beberapa penyebab terjadinya GERD meliputi:
Menurunnya tonus LES (Lower Esophageal Sphincter)
Bersihan asam dari lumen esofagus menurun
Ketahanan epitel esofagus menurun
Bahan refluksat mengenai dinding esofagus yaitu Ph <2, adanya pepsin,
garam empedu, HCL
Kelainan pada lambung
Infeksi H. Pylori dengan corpus predominan gastritis
Non acid refluks (refluks gas) menyebabkan hipersensitivitas
Alergi makanan atau tidak bisa menerima makanan juga membuat refluks
Mengkonsumsi makanan berasam, coklat, minuman berkafein dan
berkarbonat, alkohol, merokok, dan obat-obatan yang bertentangan
dengan fungsi esophageal sphincter bagian bawah termasuk yang memiliki efek antikolinergik
(seperti beberapa antihistamin), penghambat saluran kalsium, progesteron, dan nitrat
Kelaianan anatomi, seperti penyempitan kerongkongan (Yusuf, 2015)
2.1.2 Klasifikasi
Manifestasi klinis GERD dapat berupa gejala yang tipikal (esofagus) dan gejala atipikal
(ekstraesofagus). Gejala GERD 70 % merupakan tipikal, yaitu
:
1. Heart Burn, yaitu sensasi terbakar di daerah retrosternal. Gejala heartburn adalah
gejala tersering.
2. Regurgitasi, yaitu kondisi dimana material lambung terasa di faring. Kemudian
mulut terasa asam dan pahit.
3. Disfagia. Biasanya terjadi oleh karena komplikasi berupa striktur (Yusuf, 2009)
Gejala Atipikal :
1. Batuk kronik dan kadang wheezing
2. Suara serak
3. Pneumonia
4. Fibrosis paru
5. Bronkiektasis
6. Nyeri dada nonkardiak (Yusuf, 2009). Gejala lain :
1. Penurunan berat badan
2. Anemia
3. Hematemesis atau melena
4. Odinofagia (Bestari, 2011).
2.1.3 Patofisiologi
Kondisi penyakit refluks gastroesofagus atau GERD (gastroesophageal reflux disease)
disebabkan aliran balik (refluks) isi lambung ke dalam esophagus.GERD sering kali disebut
nyeri ulu hati (heartburn) karena nyeri
yang terjadi ketika cairan asam yang normalnya hanya ada di lambung, masuk dan mengiritasi
atau menimbulkan rasa seperti terbakar di esophagus.
GERD terjadi akibat adanya ketidakseimbangan antara faktor ofensif dan defensif dari sistem
pertahanan esofagus dan bahan refluksat lambung. Yang termasuk faktor defensif sistem
pertahanan esofagus adalah LES, mekanisme bersihan esofagus, dan epitel esofagus. LES
merupakan strukur anatomi berbentuk sudut yang memisahkan esofagus dengan lambung. Pada
keadaan normal, tekanan LES akan menurun saat menelan sehingga terjadi aliran antegrade
dari esofagus ke lambung. Pada GERD, fungsi LES terganggu dan menyebabkan terjadinya
aliran retrograde dari lambung ke esofagus.
Terganggunya fungsi LES pada GERD disebabkan oleh turunnya tekanan LES akibat
penggunaan obat-obatan, makanan, faktor hormonal, atau kelainan struktural. Sedangkan yang
termasuk faktor ofensif adalah peningkatan asam lambung, dilatasi lambung atau obstruksi
gastric outlet, distensi lambung dan pengosongan lambung yang terlambat, tekanan intragastrik
dan intraabdomen yang meningkat. Beberapa keadaan yang mempengaruhi tekanan
intraabdomen antara lain hamil, obesitas, dan pakaian terlalu ketat.
Refluks gastroesofagus biasanya terjadi setelah makan dan disebabkan melemahnya tonus
sfingter esophagus atau tekanan di dalam lambung yang lebih tinggi dari esophagus.Dengan
kedua mekanisme ini, isi lambung yang bersifat asam bergerak masuk ke dalam esophagus.
Isi lambung dalam keadaan normal tidak dapat masuk ke esofagus karena adanya kontraksi
sfingter esofagus (sfingter esofagus bukanlah sfingter sejati, tetapi suatu area yang tonus
ototnya meningkat). Sfingter ini normalnya hanya terbuka jika gelombang peristaltik
menyalurkan bolus makanan ke bawah esofagus. Apabila hal ini terjadi, otot polos sfingter
melemas dan makanan masuk ke dalam lambung. Sfingter esofagus seharusnya tetap dalam
keadaan tertutup kecuali pada saat ini, karena banyak organ yang berada dalam rongga
abdomen, menyebabkan tekanan abdomen lebih besar daripada tekanan toraks. Dengan
demikian, ada kecenderungan isi lambung terdorong ke dalam esofagus. Akan tetapi, jika
sfingter melemah atau inkompeten, sfingter tidak dapat mnutup lambung. Refluks akan terjadi
dari daerah bertekanan tinggi (lambung) ke daerah bertekanan rendah (esofagus). Episode
refluks yang berulang dapat memperburuk kondisi karena menyebabkan inflamasi dan jaringan
parut di area bawah esofagus.
Pada beberapa keadaan, meskipun tonus sfingter dala keadaan normal, refluks dapat terjadi jika
terdapat gradien tekananyang sangat tinggi di sfingter. Tekanan abdomen yang tinggi
cenderung mendorong sfingter esofagus ke rongga toraks. Hal ini memperbesar gradien
tekanan antara esofagus dan rongga abdomen. Posisi berbaring, terutama setelah makan juga
dapat mengakibatkan refluks. Refluks isi lambung mengiritasi esofagus karena tingginya
kandungan asam dalam isi lambung. Walaupun esofagus memiliki sel penghasil mukus, namun
sel-sel tersebut tidak sebanyak atau seaktif sel yang ada di lambung (Corwin, 2009: 600).
2.1.4 Manifestasi Klinis
1. Rasa panas/ tebakar pada esofagus (pirosis)
2. Muntah
3. Nyeri di belakang tulang payudara atau persis di bawahnya, bahkan
menjalar ke leher, tenggorokan, dan wajah, biasanya timbul setelah makan atau ketika
berbaring
4. Kesulitan menelan makanan (osinofagia) karena adanya penyempitan
(stricture) pada kerongkongan dari reflux.
5. Tukak esofageal peptik yaitu luka terbuka pada lapisan
kerongkongan, bisa dihasilkan dari refluks berulang. Bisa menyebabkan nyeri yang biasanya
berlokasi di belakang tulang payudara atau persis di bawahnya, mirip dengan lokasi panas
dalam perut.
6. Nafas yang pendek dan berbunyi mengik karena ada penyempitan
pada saluran udara
7. Suara parau
8. Ludah berlebihan (water brash)
9. Rasa bengkak pada tenggorokan (rasa globus)
10. Terjadi peradangan pada sinus (sinusitis)
11. Gejala lain : pertumbuhan yang buruk, kejang, nyeri telinga (pada
anak)
12. Peradangan pada kerongkongan (esophagitis) bisa menyebabkan
pendarahan yang biasanya ringan tetapi bisa jadi besar. Darah kemungkinan dimuntahkan atau
keluar melalui saluran pencernaan, menghasilkan kotoran berwarna gelap, kotoran berwarna ter
(melena) atau darah merah terang, jika pendarahan cukup berat.
13. Dengan iritasi lama pada bagian bawah kerongkongan dari refluks
berulang, lapisan sel pada kerongkongan bisa berubah (menghasilkan sebuah kondisi yang
disebut kerongkongan Barrett). Perubahan bisa terjadi bahkan pada gejala-gejala yang tidak
ada. Kelainan sel ini adalah sebelum kanker dan berkembang menjadi kanker pada beberapa
orang.
2.1.5 Komplikasi
Komplikasi GERD antara lain :
1. Esofagus barret, yaitu perubahan epitel skuamosa menjadi kolumner
metaplastik.
2. Esofagitis ulseratif
3. Perdarahan
4. Striktur esofagus
5. Aspirasi
2. Radiologi
Pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali tidak menunjukkan kelainan, terutama pada kasus
esofagitis ringan. Di samping itu hanya sekitar 25 % pasien PRGE menunjukkan refluks barium
secara spontan pada pemeriksaan fluoroskopi. Pada keadaan yang lebih berat, gambar radiologi
dapat berupa penebalan dinding dan lipatan mukosa, tukak, atau penyempitan lumen.
3. Tes Provokatif
a. Tes Perfusi Asam (Bernstein) untuk mengevaluasi kepekaan
mukosa esofagus terhadap asam. Pemeriksaan ini dengan menggunakan HCL 0,1 % yang
dialirkan ke esofagus. Tes Bernstein yang negatif tidak memiliki arti diagnostik dan tidak bisa
menyingkirkan nyeri asal esofagus. Kepekaan tes perkusi asam untuk nyeri dada asal esofagus
menurut kepustakaan berkisar antara 80-90%.
b. Tes Edrofonium
Tes farmakologis ini menggunakan obat endrofonium yang disuntikan intravena. Dengan dosis
80 µg/kg berat badan untuk menentukan adanya komponen nyeri motorik yang dapat dilihat
dari rekaman gerak peristaltik esofagus secara manometrik untuk memastikan nyeri dada asal
esofagus.
Perencanaan
No. Diagnosa Kriteria Hasil Intervensi
1. Risiko aspirasi Setelah dilakukan tindakan - Monitor
berhubungan keperawatan selama ...x 24 tingka1t . kesadaran,
dengan jam masalah aspirasi pada reflek batuk dan
hambatan klien dapat diatasi dengan kemampuan menelan.
menelan, kriteria hasil: - Naikkan kepala
penurunan refleks Status hasil: 30-45 derajat
laring dan glotis - Klien dapat bernafas setelah makan. 2.
terhadap cairan dengan mudah, tidak irama, - Potong makanan
refluks. frekuensi pernafasan kecil kecil.
normal skala 4 - Hindari makan
- Pasien mampu kalau residu
menelan, mengunyah tanpa masih banyak
terjadi aspirasi, dan mampu
melakukan oral
hygiene skala 4
- Jalan nafas paten,
mudah bernafas, tidak merasa
tercekik dan tidak ada suara 4.
nafas
abnormal skala 4