Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Nn. TM DENGAN GERD


(GASTROESOPHAGEAL REFLUX DISEASE)
DI RUANG RAWAT INAP RSU DAERAH
DOLOSANGGUL

NAMA MAHASISWA : BENNY MARIA LUMBANTORUAN


TEMPAT PRAKTIK : RSUD DOLOKSANGGUL
RUANGAN : RAWAT INAP
HARI/TANGGAL : 21 MARET 2022
STASE PRAKTEK : KMB
MINGGU KE :4
DIAGNOSA MEDIK : GERD (GASTROESOPHAGEAL REFLUX DISEASE)
PEMBIMBING : MARLON,Skep.Ns.,Mkep

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MEDAN


PROGRAM STUDI NERS
JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN 2022
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.1 Defenisi
Penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesophageal Reflux Disease/GERD) didefinisikan
sebagai suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus
yang menimbulkan berbagai gejala yang mengganggu (troublesome) di esofagus maupun ekstra
esofagus dan atau komplikasi (Susanto, 2012).
Pada orang normal, refluks ini terjadi pada posisi tegak sewaktu habis makan. Karena sikap
posisi tegak tadi dibantu oleh adanya kontraksi peristaltik primer, isi lambung yang mengalir
masuk ke esofagus segera dikembalikan ke lambung. Refluks sejenak ini tidak merusak mukosa
esofagus dan tidak menimbulkan keluhan atau gejala. Oleh karena itu, dinamakan refluks
fisiologis. Keadaan ini baru dikatakan patologis, bila refluks terjadi berulang-ulang yang
menyebabkan esofagus distal terkena pengaruh isi lambung untuk waktu yang lama. Istilah
esofagitis refluks berarti kerusakan esofagus akibat refluks cairan lambung, seperti erosi dan
ulserasi epitel skuamosa esofagus (Susanto, 2012).

2.1.2 Etiologi
Beberapa penyebab terjadinya GERD meliputi:
 Menurunnya tonus LES (Lower Esophageal Sphincter)
 Bersihan asam dari lumen esofagus menurun
 Ketahanan epitel esofagus menurun
 Bahan refluksat mengenai dinding esofagus yaitu Ph <2, adanya pepsin,
garam empedu, HCL
 Kelainan pada lambung
 Infeksi H. Pylori dengan corpus predominan gastritis
 Non acid refluks (refluks gas) menyebabkan hipersensitivitas
 Alergi makanan atau tidak bisa menerima makanan juga membuat refluks
 Mengkonsumsi makanan berasam, coklat, minuman berkafein dan
berkarbonat, alkohol, merokok, dan obat-obatan yang bertentangan
dengan fungsi esophageal sphincter bagian bawah termasuk yang memiliki efek antikolinergik
(seperti beberapa antihistamin), penghambat saluran kalsium, progesteron, dan nitrat
 Kelaianan anatomi, seperti penyempitan kerongkongan (Yusuf, 2015)

2.1.2 Klasifikasi
Manifestasi klinis GERD dapat berupa gejala yang tipikal (esofagus) dan gejala atipikal
(ekstraesofagus). Gejala GERD 70 % merupakan tipikal, yaitu
:
1. Heart Burn, yaitu sensasi terbakar di daerah retrosternal. Gejala heartburn adalah
gejala tersering.
2. Regurgitasi, yaitu kondisi dimana material lambung terasa di faring. Kemudian
mulut terasa asam dan pahit.
3. Disfagia. Biasanya terjadi oleh karena komplikasi berupa striktur (Yusuf, 2009)
Gejala Atipikal :
1. Batuk kronik dan kadang wheezing
2. Suara serak
3. Pneumonia
4. Fibrosis paru
5. Bronkiektasis
6. Nyeri dada nonkardiak (Yusuf, 2009). Gejala lain :
1. Penurunan berat badan
2. Anemia
3. Hematemesis atau melena
4. Odinofagia (Bestari, 2011).

2.1.3 Patofisiologi
Kondisi penyakit refluks gastroesofagus atau GERD (gastroesophageal reflux disease)
disebabkan aliran balik (refluks) isi lambung ke dalam esophagus.GERD sering kali disebut
nyeri ulu hati (heartburn) karena nyeri
yang terjadi ketika cairan asam yang normalnya hanya ada di lambung, masuk dan mengiritasi
atau menimbulkan rasa seperti terbakar di esophagus.

GERD terjadi akibat adanya ketidakseimbangan antara faktor ofensif dan defensif dari sistem
pertahanan esofagus dan bahan refluksat lambung. Yang termasuk faktor defensif sistem
pertahanan esofagus adalah LES, mekanisme bersihan esofagus, dan epitel esofagus. LES
merupakan strukur anatomi berbentuk sudut yang memisahkan esofagus dengan lambung. Pada
keadaan normal, tekanan LES akan menurun saat menelan sehingga terjadi aliran antegrade
dari esofagus ke lambung. Pada GERD, fungsi LES terganggu dan menyebabkan terjadinya
aliran retrograde dari lambung ke esofagus.

Terganggunya fungsi LES pada GERD disebabkan oleh turunnya tekanan LES akibat
penggunaan obat-obatan, makanan, faktor hormonal, atau kelainan struktural. Sedangkan yang
termasuk faktor ofensif adalah peningkatan asam lambung, dilatasi lambung atau obstruksi
gastric outlet, distensi lambung dan pengosongan lambung yang terlambat, tekanan intragastrik
dan intraabdomen yang meningkat. Beberapa keadaan yang mempengaruhi tekanan
intraabdomen antara lain hamil, obesitas, dan pakaian terlalu ketat.
Refluks gastroesofagus biasanya terjadi setelah makan dan disebabkan melemahnya tonus
sfingter esophagus atau tekanan di dalam lambung yang lebih tinggi dari esophagus.Dengan
kedua mekanisme ini, isi lambung yang bersifat asam bergerak masuk ke dalam esophagus.
Isi lambung dalam keadaan normal tidak dapat masuk ke esofagus karena adanya kontraksi
sfingter esofagus (sfingter esofagus bukanlah sfingter sejati, tetapi suatu area yang tonus
ototnya meningkat). Sfingter ini normalnya hanya terbuka jika gelombang peristaltik
menyalurkan bolus makanan ke bawah esofagus. Apabila hal ini terjadi, otot polos sfingter
melemas dan makanan masuk ke dalam lambung. Sfingter esofagus seharusnya tetap dalam
keadaan tertutup kecuali pada saat ini, karena banyak organ yang berada dalam rongga
abdomen, menyebabkan tekanan abdomen lebih besar daripada tekanan toraks. Dengan
demikian, ada kecenderungan isi lambung terdorong ke dalam esofagus. Akan tetapi, jika
sfingter melemah atau inkompeten, sfingter tidak dapat mnutup lambung. Refluks akan terjadi
dari daerah bertekanan tinggi (lambung) ke daerah bertekanan rendah (esofagus). Episode
refluks yang berulang dapat memperburuk kondisi karena menyebabkan inflamasi dan jaringan
parut di area bawah esofagus.
Pada beberapa keadaan, meskipun tonus sfingter dala keadaan normal, refluks dapat terjadi jika
terdapat gradien tekananyang sangat tinggi di sfingter. Tekanan abdomen yang tinggi
cenderung mendorong sfingter esofagus ke rongga toraks. Hal ini memperbesar gradien
tekanan antara esofagus dan rongga abdomen. Posisi berbaring, terutama setelah makan juga
dapat mengakibatkan refluks. Refluks isi lambung mengiritasi esofagus karena tingginya
kandungan asam dalam isi lambung. Walaupun esofagus memiliki sel penghasil mukus, namun
sel-sel tersebut tidak sebanyak atau seaktif sel yang ada di lambung (Corwin, 2009: 600).
2.1.4 Manifestasi Klinis
1. Rasa panas/ tebakar pada esofagus (pirosis)
2. Muntah
3. Nyeri di belakang tulang payudara atau persis di bawahnya, bahkan
menjalar ke leher, tenggorokan, dan wajah, biasanya timbul setelah makan atau ketika
berbaring
4. Kesulitan menelan makanan (osinofagia) karena adanya penyempitan
(stricture) pada kerongkongan dari reflux.
5. Tukak esofageal peptik yaitu luka terbuka pada lapisan
kerongkongan, bisa dihasilkan dari refluks berulang. Bisa menyebabkan nyeri yang biasanya
berlokasi di belakang tulang payudara atau persis di bawahnya, mirip dengan lokasi panas
dalam perut.
6. Nafas yang pendek dan berbunyi mengik karena ada penyempitan
pada saluran udara
7. Suara parau
8. Ludah berlebihan (water brash)
9. Rasa bengkak pada tenggorokan (rasa globus)
10. Terjadi peradangan pada sinus (sinusitis)
11. Gejala lain : pertumbuhan yang buruk, kejang, nyeri telinga (pada
anak)
12. Peradangan pada kerongkongan (esophagitis) bisa menyebabkan
pendarahan yang biasanya ringan tetapi bisa jadi besar. Darah kemungkinan dimuntahkan atau
keluar melalui saluran pencernaan, menghasilkan kotoran berwarna gelap, kotoran berwarna ter
(melena) atau darah merah terang, jika pendarahan cukup berat.
13. Dengan iritasi lama pada bagian bawah kerongkongan dari refluks
berulang, lapisan sel pada kerongkongan bisa berubah (menghasilkan sebuah kondisi yang
disebut kerongkongan Barrett). Perubahan bisa terjadi bahkan pada gejala-gejala yang tidak
ada. Kelainan sel ini adalah sebelum kanker dan berkembang menjadi kanker pada beberapa
orang.
2.1.5 Komplikasi
Komplikasi GERD antara lain :
1. Esofagus barret, yaitu perubahan epitel skuamosa menjadi kolumner
metaplastik.
2. Esofagitis ulseratif
3. Perdarahan
4. Striktur esofagus
5. Aspirasi

2.1.6 Pemeriksaan Penunjang


1. Endoskopi
Dewasa ini endoskopi merupakan pemeriksaan pertama yang dipilih oleh evaluasi pasien
dengan dugaan PRGE. Namun harus diingat bahwa PRGE tidak selalu disertai kerusakan
mukosa yang dapat dilihat secara mikroskopik dan dalam keadaan ini merupakan biopsi.
Endoskopi menetapkan tempat asal perdarahan, striktur, dan berguna pula untuk pengobatan
(dilatasi endoskopi).

2. Radiologi
Pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali tidak menunjukkan kelainan, terutama pada kasus
esofagitis ringan. Di samping itu hanya sekitar 25 % pasien PRGE menunjukkan refluks barium
secara spontan pada pemeriksaan fluoroskopi. Pada keadaan yang lebih berat, gambar radiologi
dapat berupa penebalan dinding dan lipatan mukosa, tukak, atau penyempitan lumen.

3. Tes Provokatif
a. Tes Perfusi Asam (Bernstein) untuk mengevaluasi kepekaan
mukosa esofagus terhadap asam. Pemeriksaan ini dengan menggunakan HCL 0,1 % yang
dialirkan ke esofagus. Tes Bernstein yang negatif tidak memiliki arti diagnostik dan tidak bisa
menyingkirkan nyeri asal esofagus. Kepekaan tes perkusi asam untuk nyeri dada asal esofagus
menurut kepustakaan berkisar antara 80-90%.
b. Tes Edrofonium
Tes farmakologis ini menggunakan obat endrofonium yang disuntikan intravena. Dengan dosis
80 µg/kg berat badan untuk menentukan adanya komponen nyeri motorik yang dapat dilihat
dari rekaman gerak peristaltik esofagus secara manometrik untuk memastikan nyeri dada asal
esofagus.

4. Pengukuran pH dan tekanan esofagus


Pengukuran pH pada esofagus bagian bawah dapat memastikan ada tidaknya RGE, pH dibawah
4 pada jarak 5 cm diatas SEB dianggap diagnostik untuk RGE. Cara lain untuk memastikan
hubungan nyeri dada dengan RGE adalah menggunakan alat yang mencatat secara terus
menerus selama 24 jam pH intra esofagus dan tekanan manometrik esofagus. Selama rekaman
pasien dapat memeberi tanda serangan dada yang dialaminya, sehingga dapat dilihat hubungan
antara serangan dan pH esofagus/gangguan motorik esofagus. Dewasa ini tes tersebut dianggap
sebagai gold standar untuk memastikan adanya PRGE.

5. Tes Gastro-Esophageal Scintigraphy


Tes ini menggunakan bahan radio isotop untuk penilaian pengosongan esofagus dan sifatnya
non invasif (Djajapranata, 2001).
6. Pemeriksaaan Esofagogram
Pemeriksaan ini dapat menemukan kelainan berupa penebalan lipatan mukosa esofagus, erosi,
dan striktur.
7. Tes PPI
Diagnosis ini menggunakan PPI dosis ganda selama 1-2 minggu pada pasien yang diduga
menderita GERD. Tes positif bila 75% keluhan hilang selama satu minggu. Tes ini mempunyai
sensitivitas 75%.
8. Manometri esofagus
Tes ini untuk menilai pengobatan sebelum dan sesudah pemberian terapi pada pasien NERD.
Pemeriksaan ini juga untuk menilai gangguan peristaltik/motilitas esofagus.
9. Histopatologi
Pemeriksaan untuk menilai adanya metaplasia, displasia atau keganasan. Tetapi bukan untuk
memastikan NERD (Yusuf, 2009).

2.1.7 Penatalaksanaan Medis


Pada berbagai penelitian terbukti bahwa respons perbaikan gejala menandakan adanya respons
perbaikan lesi organiknya (perbaikan esofagitisnya).Hal ini tampaknya lebih praktis bagi pasien
dan cukup efektif dalam mengatasi gejala pada tatalaksana GERD.Berikut adalah obat-obatan
yang dapat digunakan dalam terapi medikamentosa GERD:
- Antasid. Golongan obat ini cukup efektif dan aman dalam
menghilangkan gejala GERD tetapi tidak menyembuhkan lesi esofagitis. Selain sebagai buffer
terhadap HCl, obat ini dapat memperkuat tekanan sfingter esophagus bagian bawah.
Kelemahan obat golongan ini adalah rasanya kurang menyenangkan, dapat menimbulkan diare
terutama yang mengandung magnesium serta konstipasi terutama antasid yang mengandung
aluminium, penggunaannya sangat terbatas pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
- Antagonis reseptor H2. Yang termasuk dalam golongan obat ini
adalah simetidin, ranitidine, famotidin, dan nizatidin. Sebagai penekan sekresi asam, golongan
obat ini efektif dalam pengobatan penyakit refluks gastroesofageal jika diberikan dosis 2 kali
lebih tinggi dan dosis untuk terapi ulkus. Golongan obat ini hanya efektif pada pengobatan
esofagitis derajat ringan sampai sedang serta tanpa komplikasi.
- Obat-obatan prokinetik. Secara teoritis, obat ini paling sesuai
untuk pengobatan GERD karena penyakit ini lebih condong kearah gangguan motilitas.
Namun, pada prakteknya, pengobatan GERD sangat bergantung pada penekanan sekresi asam.
- Metoklopramid. Obat ini bekerja sebagai antagonis reseptor
dopamine. Efektivitasnya rendah dalam mengurangi gejala serta
tidak berperan dalam penyembuhan lesi di esophagus kecuali dalam kombinasi dengan
antagonis reseptor H2 atau penghambat pompa proton. Karena melalui sawar darah otak, maka
dapat timbul efek terhadap susunan saraf pusat berupa mengantuk, pusing, agitasi, tremor, dan
diskinesia.
- Domperidon. Golongan obat ini adalah antagonis reseptor
dopamine dengan efek samping yang lebih jarang disbanding metoklopramid karena tidak
melalui sawar darah otak.Walaupun efektivitasnya dalam mengurangi keluhan dan
penyembuhan lesi esophageal belum banyak dilaporkan, golongan obat ini diketahui dapat
meningkatkan tonus LES serta mempercepat pengosongan lambung.
- Cisapride. Sebagai suatu antagonis reseptor 5 HT4, obat ini
dapat mempercepat pengosongan lambung serta meningkatkan tekanan tonus LES.
Efektivitasnya dalam menghilangkan gejala serta penyembuhan lesi esophagus lebih baik
dibandingkan dengan domperidon.
- Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat).
Berbeda dengan antasid dan penekan sekresi asam, obat ini tidak memiliki efek langsung
terhadap asam lambung. Obat ini bekerja dengan cara meningkatkan pertahanan mukosa
esophagus, sebagai buffer terhadap HCl di eesofagus serta dapat mengikat pepsin dan garam
empedu. Golongan obat ini cukup aman diberikan karena bekerja secara topikal (sitoproteksi).
- Penghambat pompa proton (Proton Pump Inhhibitor/PPI).
Golongan obat ini merupakan drug of choice dalam pengobatan GERD. Golongan obat-obatan
ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal dengan mempengaruhi enzim H, K ATP-
ase yang dianggap sebagai tahap akhir proses pembentukan asam lambung.
Obat-obatan ini sangat efektif dalam menghilangkan keluhan serta penyembuhan lesi
esophagus, bahkan pada esofagitis erosive derajat berat
serta yang refrakter dengan golongan antagonis reseptor H2.Umumnya pengobatan diberikan
selama 6-8 minggu (terapi inisial) yang dapat dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan
(maintenance therapy) selama 4 bulan atau on-demand therapy, tergantung dari derajat
esofagitisnya.

2.2 Manajemen Asuhan Keperawatan


2.2.1 Pengkajian
Pengkajian keperawatan merupakan proses keperawatan yang meliputi usaha untuk mengetahui
permasalahan klien yaitu pengumpulan data tentang status kesehatan klien secara sistematis,
akurat, menyeluruh, singkat, dan berkesinambungan yang dilakukan perawat. Komponen dari
pengkajian keperawatan meliputi anamnesa, pemeriksaan kesehatan, pengkajian, pemeriksaan
diagnostik serta pengkajian penatalaksanaan medis. Dalam pengkajian keperawatan
memerlukan keahlian dalam melakukan komunikasi, wawancara, observasi, dan pemeriksaan
fisik (Muttaqin, 2010 dalam Wibowo 2016 ).
2.2.1.1 Identitas Klien
Meliputi : Nama, umur, jenis kelamin, agama, suku,pekerjaan, status perkawinan tanggal mrs,
pengkajian, penanggung jawab, No. regester, diagnosa masuk, alamat.
2.2.1.2 Keluhan Utama
Pada pengkajian dilakukan wawancara dan pemeriksaan fisik dan didapatkan data : Tn. Y
datang ke IRD dengan keluhan mual muntah yang terus menerus, rasa terbakar di dada, dari 2
hari kemarin, terdapat tanda- tanda dehidrasi, konjungtiva anemis, mukosa bibir kering, CRT 4
detik
2.2.1.3 Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Dikaji Awitan, durasi, kualitas dan karakteristik, tingkat keperahan. Lokasi, faktor pencetus,
manifestasi yang berhubungan :
Keluhan tipikal (esofagus) : heartburn, regurgitasi, dan disfagia.
Keluhan atipikal (eskstraesofagus) : batuk kronik, suara serak, pneumonia, fibrosis paru,
bronkiektasis, dan nyeri dada nonkardiak.
Keluhan lain : penurunan berat badan, anemia, hematemesis atau melena, odinofagia.

2.2.1.4 Riwayat Penyakit Keluarga


Genogram keluarga biasanya terdapat salah satu anggota keluarga yang juga menderita Gerd
atau penyakit keturunan yang dapat menyebabkan terjadinya defisiensi insulin misal hipertensi,
jantung (Bararah, 2013: 40).
2.2.1.5 Pemeriksaan Fisik
2.2.1.5.1 Keadaan umum
2.2.1.5.2 Kesadaran
Meliputi kondisi seperti tingkat ketegangan/kelelahan, tingkat kesadaran kualitatif atau GCS
dan respon verbal klien.
2.2.1.5.3 Tanda-Tanda Vital
Didapatkan tanda-tanda vital, menurun suhu meningkat dan kadang menurun, respiraton rate
(RR) meningkat lebih dari 20x/menit (Doengoes, 2014:727).

2.2.1.5.4 Pemeriksaan Fisik Persistem


1. Rambut
Mengamati kondisi rambut , meliputi :
a. Keadaan kesuburan rambut
b. Keadaan rambut yang mudah rontok
c. Keadaan rambut yang kusam
d. Keadaan tekstur
2. Kepala
Mengamati dengan seksama kebersihan kulit kepala, meliputi :
a. Botak/alopesia
b. Ketombe
c. Berkutu
d. Adakah eritema
e. Kebersihan
3. Mata
Mengamati adanya tanda-tanda ikterus, konjungtiva pucat, sekret pada kelopak mata,
kemerahan atau gatal-gatal pada mata.
4. Hidung
Kaji kebersihan hidung, kaji adanya sinusitis, perdarahan hidung, tanda- tanda pilek, tanda-
tanda alergi, adakah perubahan penciuman, dan bagaimana membran mukosa.
5. Mulut
Amati kondisi mukosa mulut dan kaji kelembapannya. Perhatikan adanya lesi, tanda-tanda
radang gusi/sariawan, kekeringan atau pecah-pecah.
6. Gigi
Amati adanya tanda-tanda karang gigi, karies, gigi pecah-pecah, tidak lengkap atau gigi palsu.
7. Telinga
Perhatikan adanya serumen atau kotoran pada telinga, lesi, infeksi atau perubahan daya
pendengaran.
8. Kulit
Amati kondisi kulit (tekstur, turgor, kelembapan) dan kebersihannya. Perhatikan adanya
warna kulit, stria, kulit keriput, lesi atau pruritus.
9. Kuku dan Kulit
Amati bentuk dan kebersihan kuku. Perhatikan adanya kelainan atau luka.
10. Genetalia
Amati kondisi dan kebersihan genetalia berikut area perinium. Perhatikan pola pertumbuhan
rambut pubis. Pada laki-laki perhatikan kondisi skrotum dan testisnya.
11. Tubuh Secara Umum
Amati kondisi dan kebersihan tubuh secara umum. Perhatikan adanya kelainan pada kulit atau
bentuk tubuh.
2.2.2 Diagnosa Keperawatan
1) Risiko aspirasi berhubungan dengan hambatan menelan, penurunan
refluks laring dan glotis terhadap cairan refluks. SDKI (D.0006, Hal. 28)
2) Defisit volume cairan berhubungan dengan pemasukan yang kurang,
mual dan muntah / pengeluaran yang berlebihan. SDKI (D.0019, Hal. 56)
3) Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi lapisan esofagus. SDKI
(D.0077, Hal 172)
2.2.3 Intervensi Keperawatan

Perencanaan
No. Diagnosa Kriteria Hasil Intervensi
1. Risiko aspirasi Setelah dilakukan tindakan - Monitor
berhubungan keperawatan selama ...x 24 tingka1t . kesadaran,
dengan jam masalah aspirasi pada reflek batuk dan
hambatan klien dapat diatasi dengan kemampuan menelan.
menelan, kriteria hasil: - Naikkan kepala
penurunan refleks Status hasil: 30-45 derajat
laring dan glotis - Klien dapat bernafas setelah makan. 2.
terhadap cairan dengan mudah, tidak irama, - Potong makanan
refluks. frekuensi pernafasan kecil kecil.
normal skala 4 - Hindari makan
- Pasien mampu kalau residu
menelan, mengunyah tanpa masih banyak
terjadi aspirasi, dan mampu
melakukan oral
hygiene skala 4
- Jalan nafas paten,
mudah bernafas, tidak merasa
tercekik dan tidak ada suara 4.
nafas
abnormal skala 4

2. Defisit volume Setelah dilakukan tindakan - Monitor statu1s.


cairan keperawatan selama .....x 24 hidrasi.
berhubungan jam, defisit volume cairan - Kaji tanda vital,
dengan pemasukan pada klien dapat diatasi catat perubahan TD,
yang kurang, mual dengan kriteria hasil: takikardi, turgor
dan muntah / kulit dan kelembaban
pengeluaran yang - Mempertahankan urine membran mukosa.
berlebihan. output sesuai dengan usia - Berikan cairan
BB, BJ urine normal skala 4 tambahan IV sesuai
Definisi: penurunan - Tidak ada tanda-tanda indikasi.
cairan intravaskuler, dehidrasi, elastisitas turgor - Dorong masukan
interstisial dan atau kulit baik dan tidak ada rasa oral bila mampu
interseluler. haus yang berlebihan skala 4
Mengarah ke - Berat badan stabil skala 4
dehidrasi kehilangan - Hematokrit menurun
cairan dengan skala 4
pengeluaran sodium. - Tidak ada ascites skala 4

3 Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan - Kurangi faktor


berhubungan keperawatan selama ......x 24 presipitasi nyeri
dengan inflamasi jam, pasien tidak mengalami - Tingkatkan
lapisan esofagus nyeri, dengan kriteria hasil: istirahat
- Berikan informasi
Mampu mengontrol nyeri tentang nyeri
(tahu penyebab nyeri, mampu seperti penyebab nyeri,
menggunakan tehnik berapa
nonfarmakologi untuk lama nyeri akan
mengurangi nyeri, mencari
bantuan) berkurang, dan antisipasi
ketidaknyamana n prosedur.
Melaporkan bahwa nyeri - Ajarkan tentang teknik
berkurang dengan nonfarmakologi seperti
menggunakan manajemen teknik relaksasi
nyeri nafas dalam, distraksi dan
kompres hangat/dingin.
Mampu mengenali nyeri - Berikan analgesik untuk
(skala, intensitas, frekuensi mengurangi nyeri
dan tanda

Tanda vital dalam rentang


normal

2.2.4 Implementasi Keperawatan


Pelaksanaan adalah dari rencana tindakan yang spesifik untuk membantu klien mencapai tujuan
yang diharapkan (nursalam, 2014).
Implementasi atau tindakan adalah pengelolaan dan perwujudan dan rencana keperawatan yang
telah disusun pada tahap perencanaan. Pada tahap ini, perawat sebaiknya tidak bekerja sendiri,
tetapi perlu melibatkan secara integrasi semua profesi kesehatan yang menjadi tim perawatan
(Setiadi, 2010).
2.2.5 Evaluasi Keperawatan
Tahap terakhir dari proses keperawatan adalah evaluasi. Tahap penilaian atau evaluasi adalah
perbandingan yang sistematis dan terencana tentang kesehatan keluarga dengan tujuan yang
telah ditetapkan, dilakukan dengan cara berkesinambungan dengan melibatkan pasien dengan
tenaga kesehatan lainnya.

Anda mungkin juga menyukai