TINJAUAN PUSTAKA
Pada orang normal, refluks ini terjadi pada posisi tegak sewaktu habis makan. Karena
sikap posisi tegak tadi dibantu oleh adanya kontraksi peristaltik primer, isi lambung
yang mengalir masuk ke esofagus segera dikembalikan ke lambung. Refluks sejenak
ini tidak merusak mukosa esofagus dan tidak menimbulkan keluhan atau gejala. Oleh
karena itu, dinamakan refluks fisiologis. Keadaan ini baru dikatakan patologis, bila
refluks terjadi berulang-ulang yang menyebabkan esofagus distal terkena pengaruh
isi lambung untuk waktu yang lama. Istilah esofagitis refluks berarti kerusakan
esofagus akibat refluks cairan lambung, seperti erosi dan ulserasi epitel skuamosa
esophagus (Clarret & Hachem, 2018). Jadi, GERD merupakan suatu keadaan
patologis akibat maksuknya isi lambung ke esofagus yang biasa terjadi setelah makan
dan dapat terjadi pada posisi tegak oleh adanya konstraksi peristaltik primer lambung.
5
6
Pemeriksaan baku emas untuk diagnosis GERD erosif adalah endoskopi saluran cerna
atas. Kedua, adalah penyakit refluks nonerosif (nonerosive reflux disease, NERD),
yang juga disebut endoscopic-negative GERD, didefinisikan sebagai GERD dengan
gejala-gejala refluks tipikal tanpa kerusakan mukosa esofagus saat pemeriksaan
endoskopi saluran cerna (Clarret & Hachem, 2018).
Selain itu, juga terdapat klasifikasi GERD lainnya berdasarkan derajat kerusakan
mukosa esofagus menurut Los Angles dalam Clarret & Hachem (2018) antara lain:
Tabel 2.1 Klasifikasi GERD berdasarkan Derajat Kerusakan Mukosa Esofagus
Derajat Kerusakan Gambaran Endoskopi
2.1.6 Patofisiologi
Kondisi penyakit refluks gastroesofagus atau GERD (gastroesophageal reflux disease)
disebabkan aliran balik (refluks) isi lambung ke dalam esophagus. GERD sering kali
disebut nyeri ulu hati (heartburn) karena nyeri yang terjadi ketika cairan asam yang
normalnya hanya ada di lambung, masuk dan mengiritasi atau menimbulkan rasa
seperti terbakar di esophagus. Refluks gastroesofagus biasanya terjadi setelah
makandan disebabkan melemahnya tonus sfingter esophagus atau tekanan di dalam
lambung yang lebih tinggi dari esophagus. Dengan kedua mekanisme ini, isi lambung
yang bersifat asam bergerak masuk ke dalam esophagus (Clarret & Hachem, 2018).
Isi lambung dalam keadaan normal tidak dapat masuk ke esofagus karena adanya
kontraksi sfingter esofagus (sfingter esofagus bukanlah sfingter sejati, tetapi suatu area
yang tonus ototnya meningkat). Sfingter ini normalnya hanya terbuka jika gelombang
peristaltik menyalurkan bolus makanan ke bawah esofagus. Apabila hal ini terjadi, otot
polos sfingter melemas dan makanan masuk ke dalam lambung. Sfingter esofagus
seharusnya tetap dalam keadaan tertutup kecuali pada saat ini, karena banyak organ
yang berada dalam rongga abdomen, menyebabkan tekanan abdomen lebih besar
daripada tekanan toraks. Dengan demikian, ada kecenderungan isi lambung terdorong
ke dalam esophagus (Hafizh, 2021).
Akan tetapi, jika sfingter melemah atau inkompeten, sfingter tidak dapat mnutup
lambung. Refluks akan terjadi dari daerah bertekanan tinggi (lambung) ke daerah
bertekanan rendah (esofagus). Episode refluks yang berulang dapat memperburuk
kondisi karena menyebabkan inflamasi dan jaringan parut di area bawah esofagus.
Pada beberapa keadaan, meskipun tonus sfingter dala keadaan normal, refluks dapat
terjadi jika terdapat gradien tekanan yang sangat tinggi di sfingter. Sebagai contoh,
jika isi lambung berlebihan tekanan abdomen dapat meningkat secara bermakana.
Kondisi ini dapat disebabkan porsi makan yang besar, kehamilan atau obesitas
(Hafizh, 2021).
lambung. Walaupun esofagus memiliki sel penghasil mukus, namun sel-sel tersebut
tidak sebanyak atau seaktif sel yang ada di lambung (Clarret & Hachem, 2018).
2.1.7 Pathway
endoskopi saluran cerna bagian atas pada pasien dengan gejala khas GERD,
keadaan ini disebut Nonerosive Reflux Disease (NERD).
2.1.8.2 Esofagografi dengan barium
Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali
tidak menunjukkan kelainan, terutama pada kasus esofagitis ringan. Pada
keadaan yang lebih berat, gambar radiology dapat berupa penebalan dinding
dan lipatan mukosa, ulkus, atau penyempitan lumen.
2.1.8.3 Monitoring pH 24 jam
Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal
esophagus. Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan
mikroelektroda pH pada bagian distal esophagus. Pengukuran pH pada
esophagus bagian distal dapat memastikan ada tidaknya refluks
gastroesofageal. pH dibawah 4 pada jarak 5 cm di atas LES dianggap
diagnostik untuk refluks gastroesofageal.
2.1.8.4 Tes Perfusi Berstein
Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang transnasal dan
melakukan perfusi bagian distal esophagus dengan HCl 0.1 mg dalam waktu
kurang dari 1 jam. Tes ini bersifat pelengkap terhadap monitoring pH 24 jam
pada pasienpasien dengan gejala yang tidak khas. Bila larutan ini menimbulkan
rasa nyeri dada seperti yang biasanya dialami pasien, sedangkan larutan NaCl
tidak menimbulkan rasa nyeri, maka test ini dianggap positif. Test Bernstein
yang negatif tidak menyingkirkan adanya nyeri yang berasal dari esophagus.
2.1.9 Komplikasi
Menurut Hafizh (2021) komplikasi GERD yang dapat terjadi, antara lain:
2.1.9.1 Batuk dan asma
2.1.9.2 Erosif esofagus
2.1.9.3 Esofagus Barret, yaitu perubahan epitel skuamosa menjadi kolumner
metaplastik.
11
2.1.10 Pentalaksanaan
Pada prinsipnya, penatalaksanaan GERD terdiri dari modifikasi gaya hidup, terapi
medikamentosa, terapi bedah serta akhir-akhir ini mulai dilakukan terapi endoskopi
(Arini, 2012). Target penatalaksanaan GERD adalah menyembuhkan lesi esophagus,
menghilangkan gejala/keluhan, mencegah kekambuhan, memperbaiki kualitas hidup,
dan mencegah timbulnya komplikasi.
2.1.10.1 Modifikasi Gaya Hidup
Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu bagian dari penatalaksanaan
GERD, namun bukan merupakan pengobatan primer. Walaupun belum ada
studi yang dapat memperlihatkan kemaknaannya, namun pada dasarnya usaha
ini bertujuan untuk mengurangi frekuensi refluks serta mencegah
kekambuhan. Hal-hal yang perlu dilakukan dalam modifikasi gaya hidup
adalah meninggikan posisi kepala pada saat tidur serta menghindari makan
sebelum tidur dengan tujuan untuk meningkatkan bersihan asam lambung
selama tidur serta mencegah refluks asam dari lambung ke esophagus, berhenti
merokok dan mengkonsumsi alcohol karena keduanya dapat menurunkan
tonus LES sehingga secara langsung mempengaruhi sel-sel epitel, mengurangi
konsumsi lemak serta mengurangi jumlah makanan yang dimakan karena
keduanya dapat menimbulkan distensi lambung, menurunkan berat badan pada
pasien kegemukan serta menghindari pakaian ketat sehingga dapat
mengurangi tekanan intraabdomen, menghindari makanan/minuman seperti
coklat, teh, peppermint, kopi dan minuman bersoda karena dapat menstimulasi
12
Terdapat dua alur pendekatan terapi medikamentosa, yaitu step up dan step
down. Pada pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat-obat yang
tergolong kurang kuat dalam menekan sekresi asam (antagonis reseptor H2)
atau golongan prokinetik, bila gagal diberikan obat golongan penekan sekresi
asam yang lebih kuat dengan masa terapi lebih lama (penghambat pompa
proton/PPI). Sedangkan pada pendekatan step down pengobatan dimulai
dengan PPI dan setelah berhasil dapat dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan
dengan menggunakan dosis yang lebih rendah atau antagonis reseptor H2 atau
prokinetik atau bahkan antacid (Arini, 2012).
Dari berbagai studi, dilaporkan bahwa pendekatan terapi step down ternyata
lebih ekonomis (dalam segi biaya yang dikeluarkan oleh pasien) dibandingkan
dengan pendekatan terapi step up. Menurut Genval Konsensus Asia Pasifik
tentang penatalaksanaan GERD (2003) dalam Hafizh (2021) telah disepakati
bahwa terapi lini pertama untuk GERD adalah golongan PPI dan digunakan
pendekatan terapi step down. Pada umumnya studi pengobatan
memperlihatkan hasil tingkat kesembuhan diatas 80% dalam waktu 6-8
minggu. Untuk selanjutnya dapat diteruskan dengan terapi pemeliharaan
(maintenance therapy) atau bahkan terapi “bila perlu” (on-demand therapy)
yaitu pemberian obatobatan selama beberapa hari sampai dua minggu jika ada
kekambuhan sampai gejala hilang.
13
e. Domperidon
Golongan obat ini adalah antagonis reseptor dopamine dengan efek
samping yang lebih jarang disbanding metoklopramid karena tidak melalui
sawar darah otak. Walaupun efektivitasnya dalam mengurangi keluhan dan
penyembuhan lesi esophageal belum banyak dilaporkan, golongan obat ini
diketahui dapat meningkatkan tonus LES serta mempercepat pengosongan
lambung.
f. Cisapride
Sebagai suatu antagonis reseptor 5 HT4, obat ini dapat mempercepat
pengosongan lambung serta meningkatkan tekanan tonus LES.
Efektivitasnya dalam menghilangkan gejala serta penyembuhan lesi
esophagus lebih baik dibandingkan dengan domperidon.
g. Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat)
Berbeda dengan antasid dan penekan sekresi asam, obat ini tidak memiliki
efek langsung terhadap asam lambung. Obat ini bekerja dengan cara
meningkatkan pertahanan mukosa esophagus, sebagai buffer terhadap HCl
di eesofagus serta dapat mengikat pepsin dan garam empedu. Golongan
obat ini cukup aman diberikan karena bekerja secara topikal (sitoproteksi).
h. Penghambat pompa proton (Proton Pump Inhhibitor/PPI)
Golongan obat ini merupakan drug of choice dalam pengobatan GERD.
Golongan obat-obatan ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal
dengan mempengaruhi enzim H, K ATP-ase yang dianggap sebagai tahap
akhir proses pembentukan asam lambung. Obat-obatan ini sangat efektif
dalam menghilangkan keluhan serta penyembuhan lesi esophagus, bahkan
pada esofagitis erosive derajat berat serta yang refrakter dengan golongan
antagonis reseptor H2. Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu
(terapi inisial) yang dapat dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan
(maintenance therapy) selama bulan atau on-demand therapy, tergantung
dari derajat esofagitisnya.
15
2.1.10.3 Pembedahan
Pembedahan dapat mengurangi peradangan berat, perdarahan, penyempitan,
tukak atau gejala yang tidak menunjukkan perbaikan dengan pengobatan
apapun. Namun tindakan pembedahan jarang dilakukan.
f. Nyeri/kenyamanan
Data Subjektif: Klien mengatakan mengalami nyeri pada daerah
epigastrium.
P: nyeri terjadi akibat perangsangan nervus pada esophagus oleh
cairan refluks.
Q: klien mengatakan nyeri terasa seperti terbakar
R: klien mengatakan nyeri terjadi pada daerah epigastrium.
S: klien mengatakan skala nyeri 1-10.
T: klien mengatakan nyerinya terjadi pada saat menelan makanan.
Nyeri pada dada menetap.
Data Objektif: Klien tampak meringis kesakitan. Klien tampak
memegang bagian yang nyeri. Tekanan darah klien meningkat Klien
tampak gelisah
g. Respirasi
Data Subjektif: Klien mengatakan bahwa ia mengalami sesak napas.
Klien mengatakan mengalami batuk.
Data objektif: Terlihat ada sesak napas. Terdapat penggunaan otot
bantu napas. Frekuensi tidak berada pada batas normal yaitu pada
bayi >30 40 x/mnt dan pada anak-anak >20-26 x/menit. Klien
terlihat batuk.
h. Keamanan
Data Subjektif: Klien mengatakan merasa cemas.
Data objektif: Klien tampak gelisah
i. Interaksi sosial
Data Subjektif: Klien mengatakan suaranya serak Klien mengatakan
agak susah berbicara dengan orang lain karena suaranya tidak jelas
terdengar.
Data objektif: Suara klien terdengar serak Suara klien tidak
terdengar jelas.
2.2.1.6 Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum: Keadaan umum ini dapat meliputi kesan keadaan
sakit termasuk ekspresi wajah dan posisi pasien, kesadaran yang
dapat meliputi penilaian secara kualitatif seperti compos mentis,
apathis, somnolen, sopor, koma dan delirium.
18
2. Nyeri akut berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nyeri (NIC,
agens pencedera fisiologis keperawatan diharapkan status Hal. 285, kode: 1400)
(inflamasi) (NANDA, 2018, kenyamanan: fisik tercapai
Halaman 445, 00132) (NOC, Hal. 158, kode: 2008) - Identifikasi factor
dengan kriteria hasil: pencetus dan pereda
1. Melaporkan nyeri nyeri
terkontrol meningkat - Identifikasi sikap
2. Kemampuan mengenali nonverbal klien
onset nyeri meningkat terhadap nyeri yang
3. Kemampuan driasakannya.
menggunakan teknik - Monitor kualitas nyeri
nonfarmakologis - Monitor lokasi dan
meningkat. penyebaran nyeri
4. Keluhan nyeri penggunaan - Monitor intensitas
analgesik menurun nyeri dengan
5. Meringis menurun menggunakan skala
6. Frekuensi nadi membaik - Monitor durasi dan
7. Pola nafas membaik frekuensi nyeri.
8. Tekanan darah membaik - Ajarkan Teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
dengan kompres hangat
pada daerah
epigastrium.
- Fasilitasi istirahat dan
tidur.
- Anjurkan memonitor
nyeri secara mandiri
21
- Anjurkan
menggunakan analgetik
secara tepat
- Kolaborasi pemberian
obat analgetik.
5. Risiko aspirasi (NANDA, 2018, Setelah dilakukan tindakan Manajemen Mual dan
Halaman 385, 00031). keperawatan diharapkan Muntah (NIC, Hal. 413,
pencegahan aspirasi membaik kode: 1570)
(NOC, Hal. 95, kode: 1918)
dengan kriteria hasil: - Identifikasi faktor
1. Refluks lambung menurun penyebab muntah
2. Regurgitasi menurun - Monitor asupan nutrisi
3. Gelisah menurun dan kalori
- Identifikasi kerusakan
esophagus dan faring
posterior jika muntah
terlalu lama.
- Berikan makanan dalam
jumlah kecil dan dengan
tekstur yang lunak.
- Atur posisi makan untuk
mencegah aspirasi
- Berikan cairan yang
cukup dan pertahankan
jalan nafas.
- Anjurkan memotong
makanan menjadi
potongan kecil sebelum
makan.
- Anjurkan makanan
tinggi karbohidrat dan
rendah lemak
- Anjurkan
mempertahankan posisi
untuk mencegah
tersedak 30-60 menit
setelah makan.
- Kolaborasi pemberian
antiemetik, jika perlu.
23
b. Nyeri Kronis
Nyeri kronis merupakan nyeri yang terus berlangsung melebihi waktu
penyembuhan yang diharapkan untukcedera jaringan. Nyeri ini dapat
mengganggu pola tidur dan penampilan aktifitas anak yang
menyebabkan penurunan nafsu makan dan depresi.
2.3.4.2 Berdasarkan Etiologi
a. Nyeri Nosiseptif
Nyeri yang diakibatkan stimulant berbahaya yang merusak
jaringan normal jika nyeri bersifat lama.Rentang nyeri nosiseptif
dari nyeri tajam atau terbakar hingga tumpul, sakit, atau
menimbulkan kram dan juga sakit dalam atau nyeri tajam yang
menusuk.
b. Nyeri Neuropati
Nyeri akibat multifungsi system saraf perifer dan system saraf
pusat. Nyeri ini berlangsung terus menerus atau intermenin dari
biasanya dijelaskan seperti nyeri terbakar, kesemutan,
tertembak, menekan atau spasme.
2.3.4.3 Berdasarkan Lokasi
a. Nyeri Somatik
Nyeri yang terjadi pada jaringan. Nyeri somatik dibagi menjadi
dua yaitu superfisial dan profunda. Superfisial melibatkan
stimulasi nosiseptor di kulit, jaringan subkutan atau membrane
mukosa, biasanya nyeri terokalisir dengan baik sebagai sensasi
tajam, tertusuk atai terbakar. Profunda melibatkan otot, tendon
dan sendi, fasia, dan tulang. Nyeri ini terlokalisir dan biasanya
dijelaskan sebagai tumpul, nyeri atau kram.
b. Nyeri Viseral
Nyeri yang terjadi dalam organ, seperti hati, paru, saluran
gastrointestinal, pankreas, hati, kandung empedu, ginjal dan
kandung kemih. Nyeri ini biasanya dihasilkan oleh penyakit dan
terlokalisir buruk serta dijelaskan nyeri dalam dengan sensasi
tajam menusuk dan menyebar.
28
Keterangan:
0 : Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan (secara obyektif klien dapat ber- komunikasi dengan baik).
4-6 : Nyeri sedang (secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat
menunjukan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti.
7-10 : Nyeri berat (Secara obyektif terkadang tidak dapat mengikuti perintah
tapi masih responterhadap tindakan, dapat menunjukan lokasi nyeri,
tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi
nafas panjangdan distraksi).
Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan
tidak mengkonsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila klien
dapat membaca dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih
akurat. Skala deskripstif bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji
tingkat keparahan nyeri, tapi juga mengevaluasi perubahan kondisi klen.
Perawat dapat menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih
memburuk atau menilai apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan
(Potter& Perry, 2012)
Keterangan:
0 : Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan (secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik).
4-6 : Nyeri sedang (secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat
menunjukan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti
perintah dengan baik).
7-9 : Nyeri berat (Secara obyektif terkadang tidak dapat mengikuti perintah
tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukan lokasi nyeri,
tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi
nafas panjang dan distraksi).
10 : Nyeri berat tidak terkontrol (Pasien tidak mampu lagi berkomunikasi,
memukul).
Keterangan:
0 : Tidak nyeri.
1-3 : Nyeri ringan (secara obyektif klien dapatberkomunikasi dengan baik).
4-6 : Nyeri sedang (secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat
menunjukan lokasi nyeri,dapat mendeskripsikannya,dapat mengikuti
perintah dengan baik).
7-9 : Nyeri berat (Secara obyektif terkadang tidak dapat mengikuti perintah
tapi masih respon terhadap tindakan dapat menunjukan lokasi nyeri,
tidak dapat nafas panjang dan distraksi).
10 : Nyeri berat tidak terkontrol (Pasien tidak mampuberkomunikasi,
memukul).
2.3.2 Mekanisme Fisiologis Kompres Hangat Warm Water Zak (WWZ) terhadap
Nyeri Salah satu penanganan nyeri yaitu pemberian kompres hangat.
Pemberian kompres hangat dapat menyebabkan pelepasan endorfin tubuh
sehingga menghambat transmisi stimulasi nyeri (Khomariyah et al., 2021).
Penurunan tingkat nyeri yang terjadi setelah diberikan terapi kompres hangat
dengan WWZ sesuai dengan mekanisme Gate Control Theory oleh Melzack
dan Wall (1965) dalam Cantika et al., (2020), yang menyatakan bahwa
impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls
dihambat saat pertahanan ditutup. Upaya menutup pertahanan tersebut
terjadi saat dilakukan kompres panas yang dapat menghambat impuls nyeri
yang akan disampaikan ke otak untuk dipersepsikan.
33
2.3.7 Analisis Jurnal tentang Kompres Hangat Warm Water Zak (WWZ) terhadap
Nyeri
Judul Jurnal Validity Important Applicable
Pengaruh Desain: Hasil: Teknik kompres
Terapi Penelitian ini Hasil penelitian hangat dengan WWZ
Kompres menggunakan didapatkan bahwa ini merupakan salah
Hangat dengan desain Pre intensitas nyeri sebelum satunya teknik
WWZ (Warm eksperimental dilakukan intervensi kompres yang dapat
Water Zak) dengan tipe the one sebagian besar dilakukan dengan
terhadap Nyeri group pretest responden mengalami mudah dan hemat
pada Pasien posttest design. nyeri berat 7 - 10 biaya. Teknik
Dyspepsia (66,66%) dan intensitas kompres ini dinilai
nyeri setelah dilakukan mampu diterapkan
35
Pengukuran:
Pengukuran dalam
penelitian ini
menggunakan
instrument
pengukuran skala
nyeri yaitu Numeric
Rating Scale (NRS)
dan lembar ceklist.
Tujuan:
Untuk mengetahui
pengaruh terapi
kompres hangat
dengan WWZ
(Warm Water Zack)
terhadap nyeri pada
pasien dyspepsia di
RSIA Pala Raya
Kabupaten Tegal
Tahun 2020.
Pengukuran:
Instrumen
penerapan dalam
pengumpulan data
menggunakan
kuesioner dan NRS.
Pengumpulan data
menggunakan
pengkajian dan
intervensi.
Tujuan:
Untuk mengetahui
efektifitas
pemberian kompres
hangat pada nyeri
perut yang dirasakan
oleh pasien gastritis.
penelitian studi
kasus.
Sampel &
Sampling:
Tidak ada sampel
yang dilibatkan
dalam penelitian ini
karena penelitian ini
bersifat literature
review.
Pengukuran:
Penelitian ini tidak
memiliki instrument
pengukuran yang
digunakan.
Tujuan:
Untuk untuk
mengetahui
pengaruh pemberian
terapi kompres
hangat untuk
relaksasi pasien
gastritis.