Anda di halaman 1dari 33

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)


2.1.1 Definisi Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)
GERD (Gastroesofageal Reflux Disease) adalah suatu penyakit yang jarang
terdiagnosis oleh dokter di Indonesia karena bila belum menimbulkan keluhan yang
berat seperti refluks esofagitis, dokter belum bisa mendiagnosa. Refluks
gastroesofagus adalah masuknya isi lambung ke dalam esofagus yang terjadi secara
intermiten pada orang, terutama setelah makan (Hafizh, 2021). Penyakit refluks
gastroesofageal (Gastroesophageal Reflux Disease/GERD) didefinisikan sebagai
suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks kandungan lambung ke dalam
esofagus yang menimbulkan berbagai gejala yang mengganggu (troublesome) di
esofagus maupun ekstra esofagus dan atau komplikasi (Clarret & Hachem, 2018).

Pada orang normal, refluks ini terjadi pada posisi tegak sewaktu habis makan. Karena
sikap posisi tegak tadi dibantu oleh adanya kontraksi peristaltik primer, isi lambung
yang mengalir masuk ke esofagus segera dikembalikan ke lambung. Refluks sejenak
ini tidak merusak mukosa esofagus dan tidak menimbulkan keluhan atau gejala. Oleh
karena itu, dinamakan refluks fisiologis. Keadaan ini baru dikatakan patologis, bila
refluks terjadi berulang-ulang yang menyebabkan esofagus distal terkena pengaruh
isi lambung untuk waktu yang lama. Istilah esofagitis refluks berarti kerusakan
esofagus akibat refluks cairan lambung, seperti erosi dan ulserasi epitel skuamosa
esophagus (Clarret & Hachem, 2018). Jadi, GERD merupakan suatu keadaan
patologis akibat maksuknya isi lambung ke esofagus yang biasa terjadi setelah makan
dan dapat terjadi pada posisi tegak oleh adanya konstraksi peristaltik primer lambung.

2.1.2 Klasifikasi Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)


2.1.3 Menurut The Genval Workshop Report: 1999, terdapat dua kelompok GERD.
Pertama, adalah GERD erosif (esofagitis erosif), didefinisikan sebagai GERD dengan
gejala refluks dan kerusakan mukosa esofagus distal akibat refluks gastroesofageal.

5
6

Pemeriksaan baku emas untuk diagnosis GERD erosif adalah endoskopi saluran cerna
atas. Kedua, adalah penyakit refluks nonerosif (nonerosive reflux disease, NERD),
yang juga disebut endoscopic-negative GERD, didefinisikan sebagai GERD dengan
gejala-gejala refluks tipikal tanpa kerusakan mukosa esofagus saat pemeriksaan
endoskopi saluran cerna (Clarret & Hachem, 2018).

Selain itu, juga terdapat klasifikasi GERD lainnya berdasarkan derajat kerusakan
mukosa esofagus menurut Los Angles dalam Clarret & Hachem (2018) antara lain:
Tabel 2.1 Klasifikasi GERD berdasarkan Derajat Kerusakan Mukosa Esofagus
Derajat Kerusakan Gambaran Endoskopi

A Erosi kecil-kecil pada mukosa esophagus dengan diameter < 5 mm.

B Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter > 5 mm tanpa


saling berhubungan.
C Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai/mengelilingi seluruh
lumen

D Lesi mukosa esophagus yang bersifat sirkumferensial (mengelilingi


seluruh lumen esophagus).

2.1.4 Etiologi Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)


Beberapa penyebab terjadinya GERD (Hafizh, 2021), meliputi:
2.1.4.1 Menurunnya tonus LES (lower esophageal spinchter)
2.1.4.2 Bersihan asam dari lumen esophagus menurun
2.1.4.3 Ketahanan epitel esophagus menurun
2.1.4.4 Bahan refluksat mengenai dinding esophagus yaitu: PH<2, adanya pepsin,
garam empedu, dan HCl
2.1.4.5 Kelainan pada lambung (delayed gastric emptying)
2.1.4.6 Infeksi H. pylori dengan corpus predominan gastritis
2.1.4.7 Non acid refluks (refluks gas) menyebabkan hipersensitivitas visceral
2.1.4.8 Alergi makanan atau tidak bisa menerima makanan juga membuat refluks,
tetapi hal ini adalah penyebab yang kurang sering terjadi.
2.1.4.9 Mengonsumsi makanan berasam, coklat, minuman berkafein dan berkarbonat,
alkohol, merokok tembakau, dan obat-obatan yang bertentangan dengan
fungsi esophageal sphincter bagian bawah termasuk apa yang memiliki efek
7

antikolinergik (seperti berbagai antihistamin dan beberapa antihistamin),


penghambat saluran kalsium, progesteron, dan nitrat.
2.1.4.10 Alergi makanan atau tidak bisa menerima makanan juga membuat refluks,
tetapi
hal ini adalah penyebab yang kurang sering terjadi.
2.1.4.11 Kelainan anatomi, seperti penyempitan kerongkongan.

2.1.5 Manifestasi Klinis Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)


Menurut Clarret & Hachem (2018), menyebutkan beberapa manifestasi klinis dari
GERD, antara lain:
2.1.5.1 Rasa panas/tebakar pada esofagus (pirosis) dan muntah
2.1.5.2 Nyeri di belakang tulang payudara atau persis di bawahnya, bahkan menjalar
ke leher, tenggorokan, dan wajah, biasanya timbul setelah makan atau ketika
berbaring
2.1.5.3 Kesulitan menelan makanan (odinofagia) karena adanya penyempitan
(stricture) pada kerongkongan dari reflux.
2.1.5.4 Tukak esofageal peptik yaitu luka terbuka pada lapisan kerongkongan, bisa
dihasilkan dari refluks berulang. Bisa menyebabkan nyeri yang biasanya
berlokasi di belakang tulang payudara atau persis di bawahnya, mirip dengan
lokasi panas dalam perut.
2.1.5.5 Nafas yang pendek dan berbunyi mengik karena ada penyempitan pada saluran
udara dan suara parau dan ludah berlebihan (water brash)
2.1.5.6 Rasa bengkak pada tenggorokan (rasa globus) serta terjadi peradangan pada
sinus (sinusitis)
Gejala lainnya seperti, pertumbuhan yang buruk, kejang, nyeri telinga (pada anak).
Selain itu, peradangan pada kerongkongan (esophagitis) bisa menyebabkan
pendarahan yang biasanya ringan tetapi bisa jadi besar. Darah kemungkinan
dimuntahkan atau keluar melalui saluran pencernaan, menghasilkan kotoran berwarna
gelap, kotoran berwarna hitam (melena) atau darah merah terang, jika pendarahan
cukup berat. Adanya iritasi lama pada bagian bawah kerongkongan dari refluks
berulang, lapisan sel pada kerongkongan bisa berubah (menghasilkan sebuah kondisi
yang disebut kerongkongan Barrett).
8

2.1.6 Patofisiologi
Kondisi penyakit refluks gastroesofagus atau GERD (gastroesophageal reflux disease)
disebabkan aliran balik (refluks) isi lambung ke dalam esophagus. GERD sering kali
disebut nyeri ulu hati (heartburn) karena nyeri yang terjadi ketika cairan asam yang
normalnya hanya ada di lambung, masuk dan mengiritasi atau menimbulkan rasa
seperti terbakar di esophagus. Refluks gastroesofagus biasanya terjadi setelah
makandan disebabkan melemahnya tonus sfingter esophagus atau tekanan di dalam
lambung yang lebih tinggi dari esophagus. Dengan kedua mekanisme ini, isi lambung
yang bersifat asam bergerak masuk ke dalam esophagus (Clarret & Hachem, 2018).

Isi lambung dalam keadaan normal tidak dapat masuk ke esofagus karena adanya
kontraksi sfingter esofagus (sfingter esofagus bukanlah sfingter sejati, tetapi suatu area
yang tonus ototnya meningkat). Sfingter ini normalnya hanya terbuka jika gelombang
peristaltik menyalurkan bolus makanan ke bawah esofagus. Apabila hal ini terjadi, otot
polos sfingter melemas dan makanan masuk ke dalam lambung. Sfingter esofagus
seharusnya tetap dalam keadaan tertutup kecuali pada saat ini, karena banyak organ
yang berada dalam rongga abdomen, menyebabkan tekanan abdomen lebih besar
daripada tekanan toraks. Dengan demikian, ada kecenderungan isi lambung terdorong
ke dalam esophagus (Hafizh, 2021).

Akan tetapi, jika sfingter melemah atau inkompeten, sfingter tidak dapat mnutup
lambung. Refluks akan terjadi dari daerah bertekanan tinggi (lambung) ke daerah
bertekanan rendah (esofagus). Episode refluks yang berulang dapat memperburuk
kondisi karena menyebabkan inflamasi dan jaringan parut di area bawah esofagus.
Pada beberapa keadaan, meskipun tonus sfingter dala keadaan normal, refluks dapat
terjadi jika terdapat gradien tekanan yang sangat tinggi di sfingter. Sebagai contoh,
jika isi lambung berlebihan tekanan abdomen dapat meningkat secara bermakana.
Kondisi ini dapat disebabkan porsi makan yang besar, kehamilan atau obesitas
(Hafizh, 2021).

Tekanan abdomen yang tinggi cenderung mendorong sfingter esophagus ke rongga


toraks. Hal ini memperbesar gradien tekanan antara esofagus dan rongga abdomen.
Posisi berbaring, terutama setelah makan juga dapat mengakibatkan refluks. Refluks
isi lambung mengiritasi esofagus karena tingginya kandungan asam dalam isi
9

lambung. Walaupun esofagus memiliki sel penghasil mukus, namun sel-sel tersebut
tidak sebanyak atau seaktif sel yang ada di lambung (Clarret & Hachem, 2018).

2.1.7 Pathway

Gambar 2.1 Pathway GERD


Sumber: Nurarif & Kusuma (2015)
2.1.8 Pemeriksaan Penunjang
Menurut Clarret & Hachem (2018) terdapat beberapa pemeriksaan penunjang yang
dapat dilakukan untuk memperkuat diagnose GERD, antara lain:
2.1.8.1 Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan standar baku
untuk diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal break di esophagus
(esophagitis refluks). Jika tidak ditemukan mucosal break pada pemeriksaan
10

endoskopi saluran cerna bagian atas pada pasien dengan gejala khas GERD,
keadaan ini disebut Nonerosive Reflux Disease (NERD).
2.1.8.2 Esofagografi dengan barium
Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali
tidak menunjukkan kelainan, terutama pada kasus esofagitis ringan. Pada
keadaan yang lebih berat, gambar radiology dapat berupa penebalan dinding
dan lipatan mukosa, ulkus, atau penyempitan lumen.
2.1.8.3 Monitoring pH 24 jam
Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal
esophagus. Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan
mikroelektroda pH pada bagian distal esophagus. Pengukuran pH pada
esophagus bagian distal dapat memastikan ada tidaknya refluks
gastroesofageal. pH dibawah 4 pada jarak 5 cm di atas LES dianggap
diagnostik untuk refluks gastroesofageal.
2.1.8.4 Tes Perfusi Berstein
Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang transnasal dan
melakukan perfusi bagian distal esophagus dengan HCl 0.1 mg dalam waktu
kurang dari 1 jam. Tes ini bersifat pelengkap terhadap monitoring pH 24 jam
pada pasienpasien dengan gejala yang tidak khas. Bila larutan ini menimbulkan
rasa nyeri dada seperti yang biasanya dialami pasien, sedangkan larutan NaCl
tidak menimbulkan rasa nyeri, maka test ini dianggap positif. Test Bernstein
yang negatif tidak menyingkirkan adanya nyeri yang berasal dari esophagus.

2.1.8.5 Manometri esophagus


Pengukuran tekanan pada katup kerongkongan bawah menunjukan
kekuatannya dan dapat membedakan katup yang normal dari katup yang
berfungsi buruk kekuatan sfingter.

2.1.9 Komplikasi
Menurut Hafizh (2021) komplikasi GERD yang dapat terjadi, antara lain:
2.1.9.1 Batuk dan asma
2.1.9.2 Erosif esofagus
2.1.9.3 Esofagus Barret, yaitu perubahan epitel skuamosa menjadi kolumner
metaplastik.
11

2.1.9.4 Esofagitis ulseratif


2.1.9.5 Perdarahan saluran cerna akibat iritasi
2.1.9.6 Peradangan esophagus
2.1.9.7 Aspirasi
Pada dasarnya, gejala GERD yang berkembang perlahan-lahan, menyebabkan
sangat jarangnya terjadi episode akut atau keadaan yang bersifat mengancam
nyawa (jarang menyebabkan kematian). Prognosis dari penyakit ini baik, jika
derajat kerusakan esofagus masih rendah dan pengobatan yang diberikan benar
pilihan dan pemakaiannya. Pada kasus-kasus dengan esofagitis grade D dapat
masuk tahap displasia sel sehingga menjadi Barret’s Esophagus dan pada
akhirnya Ca. Esofagus.

2.1.10 Pentalaksanaan
Pada prinsipnya, penatalaksanaan GERD terdiri dari modifikasi gaya hidup, terapi
medikamentosa, terapi bedah serta akhir-akhir ini mulai dilakukan terapi endoskopi
(Arini, 2012). Target penatalaksanaan GERD adalah menyembuhkan lesi esophagus,
menghilangkan gejala/keluhan, mencegah kekambuhan, memperbaiki kualitas hidup,
dan mencegah timbulnya komplikasi.
2.1.10.1 Modifikasi Gaya Hidup
Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu bagian dari penatalaksanaan
GERD, namun bukan merupakan pengobatan primer. Walaupun belum ada
studi yang dapat memperlihatkan kemaknaannya, namun pada dasarnya usaha
ini bertujuan untuk mengurangi frekuensi refluks serta mencegah
kekambuhan. Hal-hal yang perlu dilakukan dalam modifikasi gaya hidup
adalah meninggikan posisi kepala pada saat tidur serta menghindari makan
sebelum tidur dengan tujuan untuk meningkatkan bersihan asam lambung
selama tidur serta mencegah refluks asam dari lambung ke esophagus, berhenti
merokok dan mengkonsumsi alcohol karena keduanya dapat menurunkan
tonus LES sehingga secara langsung mempengaruhi sel-sel epitel, mengurangi
konsumsi lemak serta mengurangi jumlah makanan yang dimakan karena
keduanya dapat menimbulkan distensi lambung, menurunkan berat badan pada
pasien kegemukan serta menghindari pakaian ketat sehingga dapat
mengurangi tekanan intraabdomen, menghindari makanan/minuman seperti
coklat, teh, peppermint, kopi dan minuman bersoda karena dapat menstimulasi
12

sekresi asam, jikan memungkinkan menghindari obat-obat yang dapat


menurunkan tonus LES seperti antikolinergik, teofilin, diazepam, opiate,
antagonis kalsium, agonis beta adrenergic, progesteron (Clarret & Hachem,
2018).

2.1.10.2 Terapi Medikamentosa


Terdapat berbagai tahap perkembangan terapi medikamentosa pada
penatalaksanaan GERD ini. Dimulai dengan dasar pola pikir bahwa sampai
saat ini GERD merupakan atau termasuk dalam kategori gangguan motilitas
saluran cerna bagian atas. Namun dalam perkembangannya sampai saat ini
terbukti bahwa terapi supresi asam lebih efektif daripada pemberian obat-obat
prokinetik untuk memperbaiki gangguan motilitas.

Terdapat dua alur pendekatan terapi medikamentosa, yaitu step up dan step
down. Pada pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat-obat yang
tergolong kurang kuat dalam menekan sekresi asam (antagonis reseptor H2)
atau golongan prokinetik, bila gagal diberikan obat golongan penekan sekresi
asam yang lebih kuat dengan masa terapi lebih lama (penghambat pompa
proton/PPI). Sedangkan pada pendekatan step down pengobatan dimulai
dengan PPI dan setelah berhasil dapat dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan
dengan menggunakan dosis yang lebih rendah atau antagonis reseptor H2 atau
prokinetik atau bahkan antacid (Arini, 2012).

Dari berbagai studi, dilaporkan bahwa pendekatan terapi step down ternyata
lebih ekonomis (dalam segi biaya yang dikeluarkan oleh pasien) dibandingkan
dengan pendekatan terapi step up. Menurut Genval Konsensus Asia Pasifik
tentang penatalaksanaan GERD (2003) dalam Hafizh (2021) telah disepakati
bahwa terapi lini pertama untuk GERD adalah golongan PPI dan digunakan
pendekatan terapi step down. Pada umumnya studi pengobatan
memperlihatkan hasil tingkat kesembuhan diatas 80% dalam waktu 6-8
minggu. Untuk selanjutnya dapat diteruskan dengan terapi pemeliharaan
(maintenance therapy) atau bahkan terapi “bila perlu” (on-demand therapy)
yaitu pemberian obatobatan selama beberapa hari sampai dua minggu jika ada
kekambuhan sampai gejala hilang.
13

Pada berbagai penelitian terbukti bahwa respons perbaikan gejala menandakan


adanya respons perbaikan lesi organiknya (perbaikan esofagitisnya). Hal ini
tampaknya lebih praktis bagi pasien dan cukup efektif dalam mengatasi gejala
pada tatalaksana GERD. Berikut adalah obat-obatan yang dapat digunakan
dalam terapi medikamentosa GERD:
a. Antasida
Golongan obat ini cukup efektif dan aman dalam menghilangkan gejala
GERD tetapi tidak menyembuhkan lesi esofagitis. Selain sebagai buffer
terhadap HCl, obat ini dapat memperkuat tekanan sfingter esofagus bagian
bawah. Kelemahan obat golongan ini adalah rasanya kurang
menyenangkan, dapat menimbulkan diare terutama yang mengandung
magnesium serta konstipasi terutama antasid yang mengandung
aluminium, penggunaannya sangat terbatas pada pasien dengan gangguan
fungsi ginjal.
b. Antagonis reseptor H2
Yang termasuk dalam golongan obat ini adalah simetidin, ranitidine,
famotidin, dan nizatidin. Sebagai penekan sekresi asam, golongan obat ini
efektif dalam pengobatan penyakit refluks gastroesofageal jika diberikan
dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis untuk terapi ulkus. Golongan obat ini
hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat ringan sampai sedang
serta tanpa komplikasi.
c. Obat-obatan prokinetik
Secara teoritis, obat ini paling sesuai untuk pengobatan GERD karena
penyakit ini lebih condong kearah gangguan motilitas. Namun, pada
praktiknya, pengobatan GERD sangat bergantung pada penekanan sekresi
asam.
d. Metoklopramid
Obat ini bekerja sebagai antagonis reseptor dopamine. Efektivitasnya
rendah dalam mengurangi gejala serta tidak berperan dalam penyembuhan
lesi di esophagus kecuali dalam kombinasi dengan antagonis reseptor H2
atau penghambat pompa proton. Karena melalui sawar darah otak, maka
dapat timbul efek terhadap susunan saraf pusat berupa mengantuk, pusing,
agitasi, tremor, dan diskinesia.
14

e. Domperidon
Golongan obat ini adalah antagonis reseptor dopamine dengan efek
samping yang lebih jarang disbanding metoklopramid karena tidak melalui
sawar darah otak. Walaupun efektivitasnya dalam mengurangi keluhan dan
penyembuhan lesi esophageal belum banyak dilaporkan, golongan obat ini
diketahui dapat meningkatkan tonus LES serta mempercepat pengosongan
lambung.
f. Cisapride
Sebagai suatu antagonis reseptor 5 HT4, obat ini dapat mempercepat
pengosongan lambung serta meningkatkan tekanan tonus LES.
Efektivitasnya dalam menghilangkan gejala serta penyembuhan lesi
esophagus lebih baik dibandingkan dengan domperidon.
g. Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat)
Berbeda dengan antasid dan penekan sekresi asam, obat ini tidak memiliki
efek langsung terhadap asam lambung. Obat ini bekerja dengan cara
meningkatkan pertahanan mukosa esophagus, sebagai buffer terhadap HCl
di eesofagus serta dapat mengikat pepsin dan garam empedu. Golongan
obat ini cukup aman diberikan karena bekerja secara topikal (sitoproteksi).
h. Penghambat pompa proton (Proton Pump Inhhibitor/PPI)
Golongan obat ini merupakan drug of choice dalam pengobatan GERD.
Golongan obat-obatan ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal
dengan mempengaruhi enzim H, K ATP-ase yang dianggap sebagai tahap
akhir proses pembentukan asam lambung. Obat-obatan ini sangat efektif
dalam menghilangkan keluhan serta penyembuhan lesi esophagus, bahkan
pada esofagitis erosive derajat berat serta yang refrakter dengan golongan
antagonis reseptor H2. Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu
(terapi inisial) yang dapat dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan
(maintenance therapy) selama bulan atau on-demand therapy, tergantung
dari derajat esofagitisnya.
15

2.1.10.3 Pembedahan
Pembedahan dapat mengurangi peradangan berat, perdarahan, penyempitan,
tukak atau gejala yang tidak menunjukkan perbaikan dengan pengobatan
apapun. Namun tindakan pembedahan jarang dilakukan.

2.1.10.4 Terapi Endoskopi


Walaupun laporannya masih terbatas serta msih dalam konteks penelitian,
akhir-akhir ini mulai dikembangkan pilihan terapi endoskopi pada GERD
yaitu:
a. Penggunaan energi radiofrekuensi
b. Plikasi gastric endoluminal
c. Implantasi endoskopis, yaitu dengan menyuntikkan zat implan di bawah
mukosa esophagus bagian distal, sehingga lumen esophagus bagian distal
menjadi lebih kecil.

2.2 Konsep Asuhan Keperawatan pada Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)


2.2.1 Pengkajian
Pengkajian keperawatan merupakan proses keperawatan yang meliputi usaha
untuk mengetahui permasalahan klien yaitu pengumpulan data tentang status
kesehatan klien secara sistematis, akurat, menyeluruh, singkat, dan
berkesinambungan yang dilakukan perawat. Komponen dari pengkajian
keperawatan meliputi anamnesa, pemeriksaan kesehatan, pengkajian,
pemeriksaan diagnostik serta pengkajian penatalaksanaan medis (Utami &
Kartika, 2018). Beberapa hal yang dapat dikaji pada pasien dengan GERD
(Nurarif & Kusuma, 2015), antara lain:
2.2.1.1 Identitas Klien
Meliputi: Nama, umur, jenis kelamin, agama, suku, pekerjaan, status
perkawinan tanggal mrs, pengkajian, penanggung jawab, No. regester,
diagnosa masuk, alamat.
2.2.1.2 Keluhan Utama
Pada pengkajian dilakukan wawancara dan pemeriksaan fisik dan
umumnya didapatkan data keluhan mual muntah yang terus menerus,
rasa terbakar di dada, dari 2 hari kemarin, terdapat tandatanda dehidrasi,
konjungtiva anemis, mukosa bibir kering, CRT 4 detik.
16

2.2.1.3 Riwayat Kesehatan Masa Lalu


Dikaji Awitan, durasi, kualitas dan karakteristik, tingkat keperahan.
Lokasi, faktor pencetus, manifestasi yang berhubungan: Keluhan tipikal
(esofagus): heartburn, regurgitasi, dan disfagia. Keluhan atipikal
(eskstraesofagus): batuk kronik, suara serak, pneumonia, fibrosis paru,
bronkiektasis, dan nyeri dada nonkardiak. Keluhan lain: penurunan berat
badan, anemia, hematemesis atau melena, odinofagia.
2.2.1.4 Riwayat Penyakit Keluarga
Genogram keluarga biasanya terdapat salah satu anggota keluarga yang
juga menderita GERD atau penyakit keturunan yang dapat
menyebabkan terjadinya defisiensi insulin misal hipertensi, jantung.
2.2.1.5 Pola Fungsi Keperawatan
a. Aktivitas dan istirahat
Data Subjektif: Klien mengatakan agak sulit beraktivitas karena
nyeri di daerah epigastrium, seperti terbakar.
Data objektif: Tidak terjadi perubahan tingkat kesadaran. Tidak
terjadi perubahan tonus otot.
b. Sirkulasi
Data Subjektif: Klien mengatakan bahwa ia tidak mengalami
demam.
Data Objektif: Suhu tubuh normal (36,5 oC-37,5oC). Kadar WBC
meningkat.
c. Eliminasi
Data Subjektif: Klien mengatakan tidak mengalami gangguan
eliminasi. Data objektif: Bising usus menurun (<12x/menit)
d. Makan/minum
Data Subjektif: Klien mengatakan mengalami mual muntah. Klien
mengatakan tidak nafsu makan. Klien mengatakan susah menelan.
Klien mengatakan ada rasa pahit di lidah.
Data Objektif: Klien tampak tidak memakan makanan yang
disediakan.
e. Sensori Neural
Data Subjektif: Klien mengatakan ada rasa pahit di lidah.
Data objektif: Status mental baik.
17

f. Nyeri/kenyamanan
Data Subjektif: Klien mengatakan mengalami nyeri pada daerah
epigastrium.
P: nyeri terjadi akibat perangsangan nervus pada esophagus oleh
cairan refluks.
Q: klien mengatakan nyeri terasa seperti terbakar
R: klien mengatakan nyeri terjadi pada daerah epigastrium.
S: klien mengatakan skala nyeri 1-10.
T: klien mengatakan nyerinya terjadi pada saat menelan makanan.
Nyeri pada dada menetap.
Data Objektif: Klien tampak meringis kesakitan. Klien tampak
memegang bagian yang nyeri. Tekanan darah klien meningkat Klien
tampak gelisah
g. Respirasi
Data Subjektif: Klien mengatakan bahwa ia mengalami sesak napas.
Klien mengatakan mengalami batuk.
Data objektif: Terlihat ada sesak napas. Terdapat penggunaan otot
bantu napas. Frekuensi tidak berada pada batas normal yaitu pada
bayi >30 40 x/mnt dan pada anak-anak >20-26 x/menit. Klien
terlihat batuk.
h. Keamanan
Data Subjektif: Klien mengatakan merasa cemas.
Data objektif: Klien tampak gelisah
i. Interaksi sosial
Data Subjektif: Klien mengatakan suaranya serak Klien mengatakan
agak susah berbicara dengan orang lain karena suaranya tidak jelas
terdengar.
Data objektif: Suara klien terdengar serak Suara klien tidak
terdengar jelas.
2.2.1.6 Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum: Keadaan umum ini dapat meliputi kesan keadaan
sakit termasuk ekspresi wajah dan posisi pasien, kesadaran yang
dapat meliputi penilaian secara kualitatif seperti compos mentis,
apathis, somnolen, sopor, koma dan delirium.
18

b. Pemeriksaan tanda vital: Meliputi nadi (frekuensi, irama, kualitas),


tekanan darah, pernafasan (frekuensi, irama, kedalaman, pola
pernafasan) dan suhu tubuh.
c. Pemeriksaan kulit, rambut dan kelenjar getah bening
Kulit: Warna (meliputi pigmentasi, sianosis, ikterus, pucat, eritema
dan lain-lain), turgor, kelembaban kulit dan ada/tidaknya edema.
Rambut: Dapat dinilai dari warna, kelebatan, distribusi dan
karakteristik lain.
Kelenjar getah bening: Dapat dinilai dari bentuknya serta tanda-
tanda radang yang dapat dinilai di daerah servikal anterior, inguinal,
oksipital dan retroaurikuler.
d. Pemeriksaan kepala dan leher
Kepala: Dapat dinilai daribentuk dan ukuran kepala, rambut dan
kulit kepala, ubun-ubun (fontanel), wajahnya asimetris atau
ada/tidaknya pembengkakan, mata dilihat dari visus, palpebrae, alis
bulu mata, konjungtiva, sklera, pupil, lensa, pada bagian telinga
dapat dinilai pada daun telinga, liang telinga, membran timpani,
mastoid, ketajaman pendengaran, hidung dan mulut ada tidaknya
trismus (kesukaran membuka mulut), bibir, gusi, ada tidaknya tanda
radang, lidah, salivasi.
Leher: Kaku kuduk, ada tidaknya massa di leher, dengan ditentukan
ukuran, bentuk, posisi, konsistensi dan ada tidaknya nyeri telan.
e. Pemeriksaan dada
Yang diperiksa pada pemeriksaan dada adalah organ paru dan
jantung. Secara umum ditanyakan bentuk dadanya, keadaan paru
yang meliputi simetris apa tidaknya, pergerakan nafas, ada/tidaknya
fremitus suara, krepitasi serta dapat dilihat batas pada saat perkusi
didapatkan bunyi perkusinya, bagaimana(hipersonor atau timpani),
apabila udara di paru atau pleura bertambah, redup atau pekak,
apabila terjadi konsolidasi jarngan paru, dan lain-lain serta pada saat
auskultasi paru dapat ditentukan suara nafas normal atau tambahan
seperti ronchi, basah dan kering, krepitasi, bunyi gesekan dan lain-
lai pada daerah lobus kanan atas, lobus kiri bawah, kemudian pada
pemeriksaan jantung dapat diperiksa tentang denyut apeks/iktus
19

kordis dan aktivitas ventrikel, getaran bising (thriil), bunyi jantung,


atau bising jantung dan lain-lain.
f. Pemeriksaan abdomen
Data yang dikumpulkan adalah data pemeriksaan tentang ukuran
atau bentuk perut, dinding perut, bising usus, adanya ketegangan
dinding perut atau adanya nyeri tekan serta dilakukan palpasi pada
organ hati, limpa, ginjal, kandung kencing yang ditentukan ada
tidaknya dan pembesaran pada organ tersebut, kemudian
pemeriksaan pada daerah anus, rektum serta genetalianya.
g. Pemeriksaan anggota gerak dan neurologis
Diperiksa adanya rentang gerak, keseimbangan dan gaya berjalan,
genggaman tangan, otot kaki, dan lain-lain.

2.2.2 Diagnosa Keperawatan


Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien GERD menurut Nurarif &
Kusuma (2015) dan NANDA Nursing Diagnoses (2018), antara lain:
2.2.2.1 Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan menelan makanan (NANDA Nursing Diagnoses, 2018).
2.2.2.2 Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis (inflamasi)
(NANDA Nursing Diagnoses, 2018).
2.2.2.3 Gangguan menelan berhubungan dengan refluks esophagus (NANDA Nursing
Diagnoses, 2018).
2.2.2.4 Nausea berhubungan dengan gangguan pada esophagus dan iritasi lambung
(NANDA Nursing Diagnoses, 2018).
2.2.2.5 Risiko aspirasi (NANDA Nursing Diagnoses, 2018).

2.2.3 Intervensi Keperawatan


No Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi
(NANDA Nursing Diagnoses) (NOC) (NIC)

1. Ketidakseimbangan nutrisi Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nutrisi


kurang dari kebutuhan tubuh keperawatan diharapkan (NIC, Hal. 274, kode: 1100)
berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan nutrisi
ketidakmampuan menelan pasien (status nutrisi: intake - Identifikasi status
(NANDA, 2018, Halaman 153, makanan dan minuman) nutrisi.
00002) tercukupi (NOC, Hal. 386, - Identifikasi makanan
kode: 1008) dengan kriteria yang disukai.
hasil:
20

1. Intake nutrisi tercukupi - Monitor asupan


2. Asupan makanan dan cairan makanan.
tercukupi - Monitor berat badan
- Lakukan oral hygiene
sebelum makan, jika
perlu.
- Sajikan makanan secara
menarik dan suhu yang
sesuai.
- Berikan makanan tinggi
serat untuk mencegah
konstipasi.
- Anjurkan posisi duduk,
jika mampu Ajarkan
diet yang diprogramkan.
- Monitor kalori dan
intake nutrisi
- Kolaborasi dengan ahli
gizi untuk menentukan
jumlah kalori dan jenis
nutrisi yang dibutuhkan,
jika perlu.
- Kolaborasi pemberian
medikasi sebelum
makan.

2. Nyeri akut berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nyeri (NIC,
agens pencedera fisiologis keperawatan diharapkan status Hal. 285, kode: 1400)
(inflamasi) (NANDA, 2018, kenyamanan: fisik tercapai
Halaman 445, 00132) (NOC, Hal. 158, kode: 2008) - Identifikasi factor
dengan kriteria hasil: pencetus dan pereda
1. Melaporkan nyeri nyeri
terkontrol meningkat - Identifikasi sikap
2. Kemampuan mengenali nonverbal klien
onset nyeri meningkat terhadap nyeri yang
3. Kemampuan driasakannya.
menggunakan teknik - Monitor kualitas nyeri
nonfarmakologis - Monitor lokasi dan
meningkat. penyebaran nyeri
4. Keluhan nyeri penggunaan - Monitor intensitas
analgesik menurun nyeri dengan
5. Meringis menurun menggunakan skala
6. Frekuensi nadi membaik - Monitor durasi dan
7. Pola nafas membaik frekuensi nyeri.
8. Tekanan darah membaik - Ajarkan Teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
dengan kompres hangat
pada daerah
epigastrium.
- Fasilitasi istirahat dan
tidur.
- Anjurkan memonitor
nyeri secara mandiri
21

- Anjurkan
menggunakan analgetik
secara tepat
- Kolaborasi pemberian
obat analgetik.

3. Gangguan menelan Setelah dilakukan tindakan Manajemen Nutrisi


berhubungan dengan refluks keperawatan diharapkan status (NIC, Hal. 285, kode: 1400)
esophagus ((NANDA, 2018, menelan membaik (NOC, Hal.
Halaman 170, 00103). 529, kode: 1010) dengan - Identifikasi status
kriteria hasil: nutrisi.
1. Refluks lambung menurun - Identifikasi makanan
2. Regurgitasi menurun yang disukai.
3. Gelisah menurun - Monitor asupan
makanan.
- Monitor berat badan
- Lakukan oral hygiene
sebelum makan, jika
perlu.
- Sajikan makanan secara
menarik dan suhu yang
sesuai.
- Berikan makanan tinggi
serat untuk mencegah
konstipasi.
- Anjurkan posisi duduk,
jika mampu Ajarkan
diet yang diprogramkan.
- Ajarkan makan dalam
porsi kecil namun
sering.
- Kolaborasi dengan ahli
gizi untuk menentukan
jumlah kalori dan jenis
nutrisi yang dibutuhkan,
jika perlu.
- Kolaborasi pemberian
medikasi sebelum
makan.

4. Nausea berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan Manajemen Mual dan


gangguan pada esophagus dan keperawatan diharapkan tingkat Muntah (NIC, Hal. 272,
iritasi lambung (NANDA , 2018, nausea menurun (NOC, Hal. kode: 1450)
Halaman 444, 00134). 371, kode: 1618) dengan
kriteria hasil: - Identifikasi faktor
1. Nafsu makan meningkat penyebab muntah
2. Keluhan mual menurun - Monitor asupan nutrisi
3. Perasaan ingin muntah dan kalori
menurun - Identifikasi kerusakan
4. Perasaan asam di mulut esophagus dan faring
menurun posterior jika muntah
5. Sensasi panas di ulu hati terlalu lama
menurun. - Monitor mual
22

- Berikan makanan dalam


jumlah kecil dan
menarik.
- Berikan cairan yang
cukup dan pertahankan
jalan nafas.
- Anjurkan istirahat dan
tidur yang cukup.
- Anjurkan makanan
tinggi karbohidrat dan
rendah lemak
- Anjurkan menggunakan
teknik nonfarmakologis
untuk mengatasi mual
dan muntah. Misalnya:
biofeedback, relaksasi,
hypnosis, terapi music
atau akupresur).
- Kolaborasi pemberian
antiemetik, jika perlu.

5. Risiko aspirasi (NANDA, 2018, Setelah dilakukan tindakan Manajemen Mual dan
Halaman 385, 00031). keperawatan diharapkan Muntah (NIC, Hal. 413,
pencegahan aspirasi membaik kode: 1570)
(NOC, Hal. 95, kode: 1918)
dengan kriteria hasil: - Identifikasi faktor
1. Refluks lambung menurun penyebab muntah
2. Regurgitasi menurun - Monitor asupan nutrisi
3. Gelisah menurun dan kalori
- Identifikasi kerusakan
esophagus dan faring
posterior jika muntah
terlalu lama.
- Berikan makanan dalam
jumlah kecil dan dengan
tekstur yang lunak.
- Atur posisi makan untuk
mencegah aspirasi
- Berikan cairan yang
cukup dan pertahankan
jalan nafas.
- Anjurkan memotong
makanan menjadi
potongan kecil sebelum
makan.
- Anjurkan makanan
tinggi karbohidrat dan
rendah lemak
- Anjurkan
mempertahankan posisi
untuk mencegah
tersedak 30-60 menit
setelah makan.
- Kolaborasi pemberian
antiemetik, jika perlu.
23

2.2.4 Implementasi Keperawatan


Implementasi keperawatan adalah realisasi rencana tindakan untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kegiatan dalam implementasi juga
meliputi pengumpulan data berkelanjutan, mengobservasi respon klien
selama dan sesudah pelaksaan tindakan, serta menilai data yang baru
(Minannisa, 2019). Implementasi digunakan untuk membantu klien dalam
mencapai tujuan yang sudah ditetapkan melalui penerapan rencana asuhan
keperawatan dalam bentuk intervensi. Pada tahap ini perawat harus memiliki
kemampuan
dalam berkomunikasi yang efektif, mampu menciptakan hubungan saling
percaya dan saling bantu, observasi sistematis, mampu memberikan
pendidikan kesehatan, kemampuan dalam advokasi dan evaluasi.
Implementasi adalah tindakan yang sudah direncanakan dalam rencana
perawatan. Tindakan ini mncangkup tindakan mandiri dan kolaborasi
(Budiono, 2016). Sedangkan menurut Erita et al., (2019), menjelaskan
bahwa implementasi adalah pengelolaan dari perwujudan intervensi
meliputi kegiatan yang di validasi, rencana keperawatan,
mendokumentasikan rencana memberikan askep dalam pengumpulan data
serta melaksanakan kolaborasi dengan dokter dan ketentuan rumah sakit.

2.2.5 Evaluasi Asuhan Keperawatan


Evaluasi keperawatan adalah penilaian dengan cara membandingkan
perubahan keadaan pasien (hasil yang diamati) dengan tujuan dan kriteria
hasil yang perawat buat pada tahap perencanaan. Tujuan dari evaluasi antara
lain: mengakhiri rencana tindakan keperawatan, memodifikasi rencana
tindakan keperawatan serta meneruskan rencana tindakan keperawatan.
Evaluasi dilakukan secara berkesinambungan dengan melibatkan klien dan
tenaga kesehatan lainnya. Secara umum evaluasi ditujuankan untuk melihat
dan menilai kemampuan klien dalam mencapai tujuan serta mengkaji
penyebab jika tujuan asuhan keperawatan belum tercapai (Minannisa, 2019).
24

2.3 Konsep Dasar Nyeri


2.3.1 Definisi Nyeri
Nyeri menurut The International Association for the study of Pain merupakan
pengalaman sensori dan emosional yang tidak menenangkan yang disertai oleh
keruskan jaringan secara potensial dan aktual. Nyeri merupakan suatu kondisi
yang lebih dari sekedar sensasi tunggal yang disebabkan oleh stimulus tertentu.
Nyeri merupakan kondisi yang lebih dari sekedar respon tunggal yang
disebabkan oleh stimulus tertentu dan mekanisme fisiolois yang memiliki tujuan
untuk melindungi diri (Potter & Perry, 2012).

2.3.2 Fisiologis Nyeri


Sensasi nyeri merupakan fenomena yang kompleks melibatkan sekuens
kejadian fisiologis pada sistem saraf. Kejadian ini meliputi tranduksi,
transmisi dan persepsi (Kyle & Carman, 2015).
2.3.2.1 Transduksi
Serabut perifer yang memanjang dari berbagai lokasi di medula
spinalis dan seluruh jaringan tubuh, seperti kulit, sendi, tulang dan
membran yang menutupi membran internal. Di ujung serabut ini ada
reseptor khusus, disebut nosiseptor yang menjadi aktif ketika mereka
terpajan denganstimuli berbahaya, seperti bahan kimia mekanis atau
termal. Stimuli mekanis dapat berupa tekanan yang intens pada area
dengan kontraksi otot yang kuat, atau tekanan ektensif akibat
peregangan otot berlebihan.
2.3.2.2 Transmisi
Kornu dorsal medulla spinalis berisi serabut interneuronal atau
interkoneksi. Serabut berdiameter besar lebih cepat membawa
nosiseptif atau tanda nyeri. Serabut besar ketika terstimulasi, menutup
gerbang atau jaras ke otak, dengan demikian menghambat atau
memblok transmisi inmplus nyeri, sehingga implus tidak mencapai
otak tempat implus diinterpretasikan sebagai nyeri.
2.3.2.3 Persepsi
Ketika kornul dorsal medula spinalis, serabut saraf dibagi dan
kemudian melintasi sisi yang berlawanan dan naik ke hipotalamus.
Thalamus merespon secara tepat dan mengirimkan pesan korteks
25

somatesensori otak, tempat inpuls menginterpretasikan sebagai


sensasi fisik nyeri. Inpuls dibawa oleh serbit delta-A yang cepat
mengarah ke persepsi tajam, nyeri lokal menikam yang biasanya juga
melibatkan respons reflek meninggalkan dari stimulus. Inplus dibawa
oleh serabut C lambat yang menyebabkan persepsi nyeri yang
menyebar, tumpul, terbakar atau sakit.

2.3.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nyeri


2.3.3.1 Usia
Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri,
khususnya pada anak dan orang dewasa. Perbedaan perkembangan,
yang ditemukan di antara kelompok usia ini dapat mempengaruhi
bagaimana anak-anak dan orang dewasabereaksi terhadap nyeri. Anak
belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus mengkaji
respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri
jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi. Pada lansia
cenderung memendam nyeri yang dialami, karena mereka menganggap
nyeri adalah hal yang alamiah yang harus dijalani dan mereka takut
kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri diperiksakan
(Potter & Perry, 2012).
2.3.3.2 Jenis Kelamin
Secara umum, pria dan wanita tidak berbeda secara makna dalam
respon terhadap nyeri. Diragukan apakah hanya jenis kelamin saja yang
merupakan suatu faktor dalam mengekspresikan nyeri. Toleransi
terhadap nyeri dipengaruhi oleh faktor-faktor terapi biokimia dan
merupakan hal yang unik pada setiap individu tanpa memperhatikan
jenis kelamin (Potter & Perry, 2012).
2.3.3.3 Budaya
Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu
menyatakan atau mengekspresikan nyeri. Selain itu, latar belakang
budaya dan sosial mempengaruhi pengalaman serta penanganan nyeri
(Brunner & Suddart, 2013). Budaya dan etnisitas mempunyai pengaruh
pada bagaimana seseorang merespons terhadap nyeri, bagaimana nyeri
diuraikan atau seseorang berperilaku dalam beresponterhadap nyeri.
26

Namun budaya dan etnik tidak mempengaruhipersepsi nyeri (Brunner


& Suddart, 2013).
2.3.3.4 Perhatian
Bahwa tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri
dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat
diubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya
pengalihan dihubungkan dengan respon nyeri yang menurun (Potter &
Perry, 2012).
2.3.3.5 Ansietas
Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks. Ansietas
seringkali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi juga seringkali
menimbulkan suatu perasaan ansietas. Pola bangkitan otonom adalah
sama dalam nyeri dan ansietas (Potter & Perry, 2012). Sama hubungan
cemas meningkatkan persepsi nyeri dan nyeri bisa menyebabkan
seseorang cemas. Sulit untuk memisahkan dua sensasi, stimulus nyeri
mengaktifkan bagian sistem limbik yang diyakinkan (Brunner &
Suddart, 2013).
2.3.3.6 Dukungan keluarga dan support sosial
Faktor lain yang mempengaruhi respon terhadap nyeri adalah kehadiran
dari orang terdekat. Orang-orang yang sedang dalam keadaan nyeri
sering bergantung pada keluarga untuk mensupport, membantu atau
melindungi. Ketidakhadiran keluarga atau teman terdekat akan
membuat nyeri semakin bertambah (Potter & Perry, 2012).

2.3.4 Jenis Nyeri


Banyak system berbeda dapat digunakan untuk mengklasifikasikan nyeri, yang
paling umum nyeri diklasifikasikan berdasarkan durasi, etiologi, atau sumber
atau lokasi (Kyle & Carman, 2015).
2.3.4.1 Berdasarkan Durasi
a. Nyeri Akut
Nyeri akut merupakan nyeri yang berkaitan dengan awitan yang cepat
dengan intensitas yang bervariasi. Biasanya mengindikasikan
kerusakan jaringan dan berubah dengan penyembuhan cedera. Contoh
penyebab nyeri akut yaitu trauma, prosedur invasif, dan penyakit akut.
27

b. Nyeri Kronis
Nyeri kronis merupakan nyeri yang terus berlangsung melebihi waktu
penyembuhan yang diharapkan untukcedera jaringan. Nyeri ini dapat
mengganggu pola tidur dan penampilan aktifitas anak yang
menyebabkan penurunan nafsu makan dan depresi.
2.3.4.2 Berdasarkan Etiologi
a. Nyeri Nosiseptif
Nyeri yang diakibatkan stimulant berbahaya yang merusak
jaringan normal jika nyeri bersifat lama.Rentang nyeri nosiseptif
dari nyeri tajam atau terbakar hingga tumpul, sakit, atau
menimbulkan kram dan juga sakit dalam atau nyeri tajam yang
menusuk.
b. Nyeri Neuropati
Nyeri akibat multifungsi system saraf perifer dan system saraf
pusat. Nyeri ini berlangsung terus menerus atau intermenin dari
biasanya dijelaskan seperti nyeri terbakar, kesemutan,
tertembak, menekan atau spasme.
2.3.4.3 Berdasarkan Lokasi
a. Nyeri Somatik
Nyeri yang terjadi pada jaringan. Nyeri somatik dibagi menjadi
dua yaitu superfisial dan profunda. Superfisial melibatkan
stimulasi nosiseptor di kulit, jaringan subkutan atau membrane
mukosa, biasanya nyeri terokalisir dengan baik sebagai sensasi
tajam, tertusuk atai terbakar. Profunda melibatkan otot, tendon
dan sendi, fasia, dan tulang. Nyeri ini terlokalisir dan biasanya
dijelaskan sebagai tumpul, nyeri atau kram.
b. Nyeri Viseral
Nyeri yang terjadi dalam organ, seperti hati, paru, saluran
gastrointestinal, pankreas, hati, kandung empedu, ginjal dan
kandung kemih. Nyeri ini biasanya dihasilkan oleh penyakit dan
terlokalisir buruk serta dijelaskan nyeri dalam dengan sensasi
tajam menusuk dan menyebar.
28

2.3.5 Dampak Nyeri


Dampak nyeri adalah penurunan kualitas harapan hidup seperti kelelahan yang
hebat, menurunkan rentang gerak tubuh dan nyeripada gerakan. Keterbatasan
mobilitas fisik, dan efek sistemik yang ditimbulkan adalah kegagalan organ dan
kematian (Potter & Perry, 2012).

2.3.6 Penilaian Nyeri


Penilaian nyeri dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa skala. Menurut
Kyle & Carman (2015), terdapat beberapa skala yang dapat digunakan untuk
menilai nyeri seorang pasien, antara lain:
2.3.6.1 Pengukuran Intensitas Nyeri Secara Kategorikal
Pengukuran skala nyeri tipe ini disebut sebagai pengukuran satu
dimensi. Umumnya pengukuran kategorikal ini menepatkan klien pada
beberapa kategori umum yangdigambarkan dengan angka 0-4, yaitu:
0: Tidak nyeri (Normal)
1-3: Nyeri ringan (Dapat melakukan kegiatan sehari-hari dengan
sedikit rasa nyeri)
4-7: Nyeri sedang (Aktivitas terganggu tetapi tidak sampai
mengalami hambatan, kegiatan aktivitas sehari-hari normal (tidak
membutuhkan istirahat)
8-10: Nyeri berat dan tidak tertahankan (Tidak dapat melakukan atau
meneruskan aktivitas kerja normal sehari-harinya. Tidak mampu
lagi untuk menahan nyeri, memerlukan istirahat tidur, jika perlu
individu yang mengalami nyeri dirujuk kerumah sakit untuk
mendapatkan perawatan dan pemberian terapifarmakologi dan terapi
non farmakologi).

Gambar 2.2 Likert Pain Scale


29

2.3.6.2 Numerical Rating Scales (NRS)


Pasien menyebutkan intensitas nyeri berdasarkan angka 0-10. Titik 0
berarti tidak nyeri, 5 nyeri sedang, dan 10 adalah nyeri berat yang tidak
tertahankan. NRS digunakan jika ingin menentukan berbagai perubahan
pada skala nyeri, dan juga menilai respon turunnya nyeri pasien terhadap
terapi yang diberikan.

Gambar 2.3 Numeric Rating Scale

Keterangan:
0 : Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan (secara obyektif klien dapat ber- komunikasi dengan baik).
4-6 : Nyeri sedang (secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat
menunjukan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti.
7-10 : Nyeri berat (Secara obyektif terkadang tidak dapat mengikuti perintah
tapi masih responterhadap tindakan, dapat menunjukan lokasi nyeri,
tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi
nafas panjangdan distraksi).

2.3.6.3 Skala Wajah (Face Scale)


Gambar pertama tidak nyeri, kedua sedikit nyeri, dan selanjutnya lebih nyeri
dan gambar paling akhir, adalah Pasien disuruh melihat skala gambar wajah.
Orang dengan ekpresi nyeri yang sangat berat. Setelah itu, pasien disuruh
menunjuk gambar yang cocok dengan nyerinya. Metode ini digunakan untuk
pediatri, tetapi juga dapat digunakan pada geriatri dengan gangguan kognitif.

Gambar 2.4 Skala wajah


30

Karakteristik paling subjektif pada nyeri adalah tingkat keparahan atau


intensitas nyeri tersebut. Klien seringkali diminta untuk mendeskripsikan
nyeri sebagai yang ringan, sedang atau parah. Namun, makna istilah-istilah
ini berbeda bagi perawat dan klien. Dari waktu ke waktu informasi jenis ini
juga sulit untuk dipastikan.

Skala nyeri harus dirancang sehingga skala tersebut mudah digunakan dan
tidak mengkonsumsi banyak waktu saat klien melengkapinya. Apabila klien
dapat membaca dan memahami skala, maka deskripsi nyeri akan lebih
akurat. Skala deskripstif bermanfaat bukan saja dalam upaya mengkaji
tingkat keparahan nyeri, tapi juga mengevaluasi perubahan kondisi klen.
Perawat dapat menggunakan setelah terapi atau saat gejala menjadi lebih
memburuk atau menilai apakah nyeri mengalami penurunan atau peningkatan
(Potter& Perry, 2012)

2.3.6.4 Visual Analogue Scale (VAS)


Skala analogue visual adalah suatu garis lurus/horizontal sepanjang 10 cm,
yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan pendekripsian verbal
pada setiap ujungnya. Pasien diminta untuk menunukan titik garis tersebut.
Ujung kiri biasanya menandakan “tidak ada” atau “tidak nyeri” sedangkan
uung kanan biasanya mendakan “berat” atau “nyeri paling buruk”. Untuk
menilai hasil, sebuah penggaris diletakkan sepanjang garis dan jarak yang
dibuat pasien pada garis dari ”tidak ada nyeri” diukur dan ditulis dalam
sentimeter.

Gambar 2.5 Skala Analog Visual (VAS)


31

Keterangan:
0 : Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan (secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik).
4-6 : Nyeri sedang (secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat
menunjukan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti
perintah dengan baik).
7-9 : Nyeri berat (Secara obyektif terkadang tidak dapat mengikuti perintah
tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukan lokasi nyeri,
tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi
nafas panjang dan distraksi).
10 : Nyeri berat tidak terkontrol (Pasien tidak mampu lagi berkomunikasi,
memukul).

2.3.6.5 Skala Deskriptif


Skala nyeri deskriptif merupakan alat pengukuran tingkat keparahan nyeri
yang objektif. Skala ini juga disebut sebagai skala pendeskripsian
verbal/Verbal Descriptor Scale (VDS) merupakan garis yang terdiri tiga
sampai lima kata pendeskripsian yang tersusun dengan jarak yang sama
disepanjang garis. Pendeskripsian ini mulai dari “tidak terasa nyeri” sampai
“nyeri tak tertahankan”, dan pasien diminta untuk menunjukkan keadaan
yang sesuai dengan keadaan nyeri saat ini.

Gambar 2.6 Skala Intensitas Nyeri Deskriptif


32

Keterangan:
0 : Tidak nyeri.
1-3 : Nyeri ringan (secara obyektif klien dapatberkomunikasi dengan baik).
4-6 : Nyeri sedang (secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat
menunjukan lokasi nyeri,dapat mendeskripsikannya,dapat mengikuti
perintah dengan baik).
7-9 : Nyeri berat (Secara obyektif terkadang tidak dapat mengikuti perintah
tapi masih respon terhadap tindakan dapat menunjukan lokasi nyeri,
tidak dapat nafas panjang dan distraksi).
10 : Nyeri berat tidak terkontrol (Pasien tidak mampuberkomunikasi,
memukul).

2.4 Kompres Hangat Warm Water Zak (WWZ)


2.3.1 Definisi Kompres Hangat Warm Water Zak (WWZ)
WWZ adalah botol karet yang berisi air panas untuk mengkompres bagian
tubuh yang sakit. Kompres hangat dengan WWZ biasanya juga disebut
dengan kompres buli-buli panas atau kompres kering dan sering digunakan
untuk mengurangi nyeri yang berhubungan dengan ketegangan otot
walaupun dapat juga dipergunakan untuk mengatasi berbagai jenis nyeri
yang lain (Abdurakhman et al., 2020).

2.3.2 Mekanisme Fisiologis Kompres Hangat Warm Water Zak (WWZ) terhadap
Nyeri Salah satu penanganan nyeri yaitu pemberian kompres hangat.
Pemberian kompres hangat dapat menyebabkan pelepasan endorfin tubuh
sehingga menghambat transmisi stimulasi nyeri (Khomariyah et al., 2021).
Penurunan tingkat nyeri yang terjadi setelah diberikan terapi kompres hangat
dengan WWZ sesuai dengan mekanisme Gate Control Theory oleh Melzack
dan Wall (1965) dalam Cantika et al., (2020), yang menyatakan bahwa
impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls
dihambat saat pertahanan ditutup. Upaya menutup pertahanan tersebut
terjadi saat dilakukan kompres panas yang dapat menghambat impuls nyeri
yang akan disampaikan ke otak untuk dipersepsikan.
33

Kompres hangat merupakan salah satu pengobatan non farmakologi yang


dapat membantu meredakan rasa nyeri, kaku dan spasme otot. Efek
fisiologis terapi kompres hangat salah satunya dengan media WWZ terhadap
hemodinamik yaitu mampu meningkatkan aliran darah, vasodilatasi
meningkatkan penyerapan nutrisi, leukosit dan antibodi dan meningkatkan
pembuangan sisa metabolic dan sisa jaringan sehingga membantu resolusi
kondisi inflamasi (Abdurakhman et al., 2020).

Penggunaan terapi kompres hangat pada permukaan tubuh dapat


memperbaiki fleksibilitas tendon dan ligament, mengurangi spasme otot,
meredakan nyeri, meningkatkan aliran darah dan metabolisme. Kompres
tersebut dapat memberikan efek fisiologis dengan meningkatkan relaksasi
otot pergerakan sendi (Cantika et al., 2020). Kompres hangat meredakan
nyeri dengan mengurangi spasme otot, merangsang nyeri, menyebabkan
vasodilatasi dan peningkatan aliran darah. Pembuluh darah akan melebar
sehingga memperbaiki peredaran darah dalam jaringan tersebut. Manfaatnya
dapat memfokuskan perhatian pada sesuatu selain nyeri, atau dapat tindakan
penglihatan seseorang tidak terfokus pada nyeri lagi, dan dapat relaksasi
(Abdurakhman et al., 2020).

2.3.3 Indikasi Kompres Hangat Warm Water Zak (WWZ)


Menurut Kusumawati & Satria (2017), kompres hangat dengan WWZ dapat
diberikan pada pasien dengan kondisi kedinginan, demam, perut kembung,
radang sendi, spasme otot, abses hematoma dan nyeri pada area tubuh
tertentu.

2.3.4 Kontraindikasi Kompres Hangat Warm Water Zak (WWZ)


Menurut Kusumawati & Satria (2017), kompres hangat dengan WWZ pada
dasarnya relatif aman dan tidak memiliki kontraindikasi yang mutlak, hanya
saja terapi ini dapat dikontraindikasikan secara mutlak pada pasien-pasien
yang mengalami perdarahan ataupun pasien-pasien dengan luka terbuka.
34

2.3.5 Manfaat Kompres Hangat Warm Water Zak (WWZ)


Menurut Kusumawati & Satria (2017), kompres hangat dengan WWZ dapat
bermanfaat untuk memperlancar aliran darah, mengurangi nyeri dan dapat
pula merangsang peristaltik usus yang memicu flatus pada pasien-pasien
post operasi.

2.3.6 Prosedur Kompres Hangat Warm Water Zak (WWZ)


Secara umum, menurut Abdurakhman et al., (2020) menjelaskan prosedur
singkat terkait dengan terapi kompres hangat dengan WWZ, yaitu:
2.3.6.1 Mempersiapkan posisi pasien senyaman mungkin
2.3.6.2 Mengisi WWZ dengan ½-¾ air panas, dimana WWZ diletakkan rata
dengan kepala dan WWZ ditekuk sampai permukaan air kelihatan
agar udara tidak masuk serta menutup rapat WWZ dan membalik
kepala WWZ untuk meyakinkan agar air di dalam WWZ tidak
tumpah.
2.3.6.3 Mengeringkan WWZ dengan lap dan membungkusnya dengan
lap/kain lain yang bersih.
2.3.6.4 Meletakkan pengalas di bawah daerah yang akan diletakkan WWZ.
2.3.6.5 Meletakkan WWZ pada bagian tubuh yang akan dikompres dengan
kepala WWZ mengarah keluar tempat tidur.
2.3.6.6 Memantau respon pasien
2.3.6.7 Merapikan pasien jika semua tindakan sudah selesai dilakukan
Sedangkan untuk prosedur lebih lengkapnya dari dokumen peneliti dapat
dilihat pada bagian lampiran.

2.3.7 Analisis Jurnal tentang Kompres Hangat Warm Water Zak (WWZ) terhadap
Nyeri
Judul Jurnal Validity Important Applicable
Pengaruh Desain: Hasil: Teknik kompres
Terapi Penelitian ini Hasil penelitian hangat dengan WWZ
Kompres menggunakan didapatkan bahwa ini merupakan salah
Hangat dengan desain Pre intensitas nyeri sebelum satunya teknik
WWZ (Warm eksperimental dilakukan intervensi kompres yang dapat
Water Zak) dengan tipe the one sebagian besar dilakukan dengan
terhadap Nyeri group pretest responden mengalami mudah dan hemat
pada Pasien posttest design. nyeri berat 7 - 10 biaya. Teknik
Dyspepsia (66,66%) dan intensitas kompres ini dinilai
nyeri setelah dilakukan mampu diterapkan
35

(Abdurakhman Sampel & intervensi adalah oleh klien ataupun


et al., 2020) Sampling: sebagian besar keluarganya secara
Populasi dalam responden mengalami mandiri untuk
penelitian ini adalah nyeri ringan 1 - 3 mengurangi nyeri
seluruh pasien yang (60%). Hasil uji disamping
didiagnosa statistik diperoleh nilai menggunakan terapi
dyspepsia sebanyak p = 0,000 dan jika α = farmakologis.
15 pasien pada 0,05 maka p <α (0.000
tanggal 12–14 Maret < 0,05).
2020. Pengambilan
sampel dengan Kesimpulan:
teknik total Implementasi kompres
sampling karena jika hangat dengan WWZ
jumlah populasi terdapat pengaruh yang
kurang dari 100 signifikan terhadap
maka seluruh nyeri pada pasien
populasi dijadikan dyspepsia.
sampel penelitian.

Kriteria inklusi &


ekslusi:
Penelitian ini tidak
memiliki kriteria
inklusi dn eksklusi
dalam penentuan
sampelnya.

Pengukuran:
Pengukuran dalam
penelitian ini
menggunakan
instrument
pengukuran skala
nyeri yaitu Numeric
Rating Scale (NRS)
dan lembar ceklist.

Tujuan:
Untuk mengetahui
pengaruh terapi
kompres hangat
dengan WWZ
(Warm Water Zack)
terhadap nyeri pada
pasien dyspepsia di
RSIA Pala Raya
Kabupaten Tegal
Tahun 2020.

Penerapan Desain: Hasil: Teknik kompres


Kompres Studi ini dilakukan Hasil penerapan hangat ini merupakan
Hangat dengan menunjukkan bahwa salah satunya teknik
terhadap Nyeri menggunakan setelah dilakukan kompres yang dapat
pada Pasien metode penelitian pemberian kompres dilakukan dengan
Gastritis studi kasus. Subyek hangat selama 1 hari mudah dan hemat
yang digunakan mengalami penurunan biaya. Teknik
(Khomariyah et sebanyak 1(satu) yaitu sebelum kompres ini dinilai
al., 2021) orang dengan dilakukan kompres mampu diterapkan
diagnosa medis hangat skala nyeri 6 dan oleh klien ataupun
gastritis. setelah dilakukan keluarganya secara
36

kompres hangat skala mandiri untuk


Kriteria inklusi & nyeri menjadi 3. mengurangi nyeri
ekslusi: disamping
Penelitian ini tidak Kesimpulan: menggunakan terapi
memiliki kriteria Terapi kompres hangat farmakologis.
inklusi dn eksklusi terbukti dapat
dalam penentuan menurunkan nyeri pada
sampelnya. pasien gastritis.

Pengukuran:
Instrumen
penerapan dalam
pengumpulan data
menggunakan
kuesioner dan NRS.
Pengumpulan data
menggunakan
pengkajian dan
intervensi.

Tujuan:
Untuk mengetahui
efektifitas
pemberian kompres
hangat pada nyeri
perut yang dirasakan
oleh pasien gastritis.

Teknik Desain: Hasil: Intervensi teknik


Relaksasi Air Penelitian ini Dari hasil pengkajian kompres hangat
Hangat pada merupakan intervensi dan merupakan intervensi
Pasien penelitian literature implementasi selama 3 yang sangat mudah
Gastritis review dengan hari pasien dan tinjauan diterapkan oleh
menggunakan literature, maka perawat di ruangan
(Dwi Putri et al., critical review hasilnya klien sudah maupun pada keluarga
2021) artikel fulltext tidak merasakan klien yang
sepuluh tahun nyeri lagi setelah mendampingi klien
terakhir yaitu dari dilakukan nya tindakan karena bahan/alat
tahun 2010-2020 teknik relaksasi yang digunakan
dalam bahasa kompres air hangat. sangatlah mudah
indonesia dan ditemukan dan
bahasa inggris yang Kesimpulan: intervensi ini
memenuhi kriteria Kesimpulan penelitian sangatlah murah untuk
PICO dan SPIDER. tentang kompres hangat diaplikasikan.
Karena keterbatasan yaitu terapi kompres
artikel maka hangat terbukti dapat
digunakan studi menurunkan nyeri
kuantitatif untuk pada pasien gastritis.
mendapatkan hasil
review yang lebih
akurat. Pencarian
database Google
Scholar,
Perpustakaan
Nasional Republik
Indonesia, dan
PubMed. Selain itu,
penelitian ini juga
merupakan jenis
37

penelitian studi
kasus.

Sampel &
Sampling:
Tidak ada sampel
yang dilibatkan
dalam penelitian ini
karena penelitian ini
bersifat literature
review.

Kriteria inklusi &


ekslusi:
Penelitian ini tidak
memiliki kriteria
inklusi dn eksklusi
dalam penentuan
sampelnya.

Pengukuran:
Penelitian ini tidak
memiliki instrument
pengukuran yang
digunakan.

Tujuan:
Untuk untuk
mengetahui
pengaruh pemberian
terapi kompres
hangat untuk
relaksasi pasien
gastritis.

Anda mungkin juga menyukai