Anda di halaman 1dari 9

Gastroesophageal Refluks Disease (GERD)

Reza Rivaldy Aziz


Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jln. Arjuna Utara No 6, Jakarta-11510
reza.2017fk049@civitas.ukrida.ac.id

Abstrak

Pada gastroesophageal refluks disease (GERD) adalah kondisi di mana esophagus


mengalami iritasi atau inflamasi karena refluks asam dari lambung. Gejala yang
paling umum adalah rasa panas atau nyeri terbakar di sekitar dada. Diagnosa
tersebut didasarkan pada gejala-gejala. Asam lambung dan enzim yang mengalir ke
belakang (refluks) menuju esophagus secara rutin menyebabkan gejala-gejala dan
pada beberapa kasus esophagus mengalami kerusakan yang berat pada mukosa.
Kebiasaan membiarkan lambung dalam keadaan kosong dalam waktu lama, namun
bisa juga di akibatkan karena sering mengkonsumsi makanan pedas ataupun
makanan yang memicu peningkatan asam lambung.

Kata kunci: refluks, lambung , esophagus

Abstract

Gastroesophageal reflux disease (GERD) is a condition in which the esophagus


becomes irritated or inflamed due to acid reflux from the stomach. The most
common symptom is burning sensation or burning pain around the chest. The
diagnosis is based on symptoms. Gastric acid and backward flowing enzymes
(reflux) into the esophagus routinely cause symptoms and in some cases the
esophagus has severe damage to the mucosa. The habit of leaving the stomach
empty in a long time, but it can also be caused by frequent consumption of spicy
foods or foods that trigger an increase in stomach acid.

Keywords: reflux, stomach, esophagus

1
Pendahuluan

Pada gastroesophageal refluks disease (GERD) adalah kondisi di mana esophagus


mengalami iritasi atau inflamasi karena refluks asam dari lambung. Refluks terjadi
ketika otot berbentuk cincin yang secara normal mencegah isi lambung mengalir
kembali menuju esophagus disebabkan esophageal sphincter bagian bawah tidak
berfungsi sebagaimana mestinya. Gejala yang paling umum adalah rasa panas atau nyeri
terbakar di sekitar dada. Diagnosa tersebut didasarkan pada gejala-gejala.

Esophagus mengeluarkan lapisan pelindung tetapi akibat asam lambung dan enzim
yang mengalir ke belakang (refluks) menuju esophagus secara rutin menyebabkan
gejala-gejala dan pada beberapa kasus esophagus mengalami kerusakan yang berat pada
mukosa. Asam dan enzim mengalir kembali ketika esophageal sphincter bagian bawah
tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Ketika seseorang berdiri atau duduk, gravitasi
membantu untuk mencegah isi perut mengalir kembali menuju esophagus , hal ini
menjelaskan kenapa refluks bisa memburuk ketika seseorang sedang berbaring. Refluks
dapat terjadi segera setelah makan, ketika jumlah dan keasaman isi di dalam lambung
lebih tinggi dan otot sphincter tidak mungkin untuk bekerja sebagaimana mestinya.

Skenario

Seorang perempuan berusia 50 th datang berobat ke poliklinik umum dengan


keluhan bila makan cepat kenyang sejak 4 bulan lalu

Pembahasan

Anamnesis

Keluhan utama : Cepat merasa kenyang sejak 4 bulan yang lalu

Riwayat Penyakit Sekarang :


1. Suka Sendawa 4. Tidak nyaman di ulu hati
2. Perasaan Begah 5. Kembung
3. Muntah cairan asam

Riwayat Penyakit Dahulu :


1. Sudah mengalami keluhan sejak 4 bulan
2. Suka minum jamu dan soft drink

2
Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum : Sakit Ringan

Kesadaran Pasien : Compos Mentis

TTV : Dalam batas normal

 Pemeriksaan Heart Burn

 Pemeriksaan berat badan

 Pemeriksaan nyeri tekanan ulu hati dan abdomen

Pemeriksaan Penunjang

Disamping anamnesis dan pemeriksaan fisik yang seksama, beberapa


pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis GERD, yaitu :

 Endoskopi saluran cerna bagian atas

Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan standar


baku untuk diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal break di
esophagus (esofagitis refluks).
Dengan melakukan pemeriksaan endoskopi dapat dinilai perubahan
makroskopik dari mukosa esophagus, serta dapat menyingkirkan keadaan
patologis lain yang dapat menimbulkan gejala GERD. Jika tidak ditemukan
mucosal break pada pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas pada
pasien dengan gejala khas GERD, keadaan ini disebut non-erosive reflux
disease (NERD).
Ditemukannya kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi yang
dipastikan dengan pemeriksaan histopatologi (biopsi), dapat
mengkonfirmasikan bahwa gejala heartburn atau regurgitasi tersebut
disebabkan oleh GERD.
Pemeriksaan histopatologi juga dapat memastikan adanya Barrett’s
esophagus, displasia, atau keganasan. Tidak ada bukti yang mendukung
perlunya pemeriksaan histopatologi/biopsy pada NERD.
Terdapat beberapa klasifikasi kelainan esofagitis pada pemeriksaan
endoskopi pada pasien GERD, antara lain klasifikasi Los Angeles dan
klasifikasi Savarry-Miller.

3
Klasifikasi Los Angeles

Derajat
Gambaran endoskopi
kerusakan

Erosi kecil-kecil pada mukosa esophagus


A
dengan diameter < 5 mm

Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan


B
diameter > 5 mm tanpa saling berhubungan

Lesi yang konfluen tetapi tidak


C
mengenai/mengelilingi seluruh lumen

Lesi mukosa esophagus yang bersifat


D sirkumferensial (mengelilingi seluruh lumen
esophagus)

 Esofagografi dengan barium

Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka dan


seringkali tidak menunjukkan kelainan, terutama pada kasus esofagitis ringan.
Pada keadaan yang lebih berat, gambar radiology dapat berupa penebalan
dinding dan lipatan mukosa, ulkus, atau penyempitan lumen. Walaupun
pemeriksaan ini sangat tidak sensitive untuk diagnosis GERD, namun pada
keadaan tertentu pemeriksaan ini mempunyai nilai lebih dari endoskopi, yaitu
pada stenosis esophagus derajat ringan akibat esofagitis peptic dengan gejala
disfagia, dan pada hiatus hernia.

 Pemantauan pH 24 jam

Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal


esophagus. Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan
mikroelektroda pH pada bagian distal esophagus. Pengukuran pH pada
esophagus bagian distal dapat memastikan ada tidaknya refluks
gastroesofageal. pH dibawah 4 pada jarak 5 cm di atas LES dianggap
diagnostik untuk refluks gastroesofageal.

4
Working diagnosis

Berdasarkan gejala yang ada, seperti jika makan sedikit saja perut terasa penuh,
dadanya terasa panas, dan terasa asam di mulut. Maka diagnosis kerjanya adalah
GERD.

Differential Diagnosis

1. NERD
2. Dispepsia Fungsional

Etiologi

Penyakit gastroesofageal refluks bersifat multifaktorial. Hal ini dapat terjadi


oleh karena perubahan yang sifatnya sementara ataupun permanen pada barrier
diantara esophagus dan lambung. Selain itu juga, dapat disebabkan oleh karena
sfingter esophagus bagian bawah yang inkompeten, relaksasi dari sfingter esophagus
bagian bawah yang bersifat sementara, terrganggunya ekspulsi dari refluks lambung
dari esophagus, ataupun hernia hiatus.

Patogenesis
Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi yang
dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal sphincter (LES). Pada individu normal,
pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada saat terjadinya aliran antegrad yang
terjadi pada saat menelan, atau aliran retrograd yang terjadi pada saat sendawa atau
muntah. Aliran balik dari gaster ke esophagus melalui LES hanya terjadi apabila
tonus LES tidak ada atau sangat rendah.

Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme :


a. Refluks spontan pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat
b. Aliran retrograde yang mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan
c. Meningkatnya tekanan intraabdominal

Dengan demikian dapat diterangkan bahwa patogenesis terjadinya GERD


menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari esophagus dan faktor ofensif
dari bahan refluksat. Yang termasuk faktor defensif esophagus, adalah pemisah
antirefluks (lini pertama), bersihan asam dari lumen esophagus (lini kedua), dan
ketahanan epithelial esophagus (lini ketiga). Sedangkan yang termasuk faktor
ofensif adalah sekresi gastrik dan daya pilorik.

5
 Pemisah antirefluks

Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES. Menurunnya tonus


LES dapat menyebabkan timbulnya refluks retrograde pada saat terjadinya
peningkatan tekanan intraabdomen. Sebagian besar pasien GERD ternyata
mempunyai tonus LES yang normal. Faktor-faktor yang dapat menurunkan tonus
LES adalah adanya hiatus hernia, panjang LES (makin pendek LES, makin rendah
tonusnya), obat-obatan (misal antikolinergik, beta adrenergik, teofilin, opiate, dll),
dan faktor hormonal. Selama kehamilan, peningkatan kadar progesteron dapat
menurunkan tonus LES.
Namun dengan perkembangan teknik pemeriksaan manometri, tampak
bahwa pada kasus-kasus GERD dengan tonus LES yang normal yang berperan
dalam terjadinya proses refluks ini adalah transient LES relaxation (TLESR), yaitu
relaksasi LES yang bersifat spontan dan berlangsung lebih kurang 5 detik tanpa
didahului proses menelan. Belum diketahui bagaimana terjadinya TLESR ini, tetapi
pada beberapa individu diketahui ada hubungannya dengan pengosongan lambung
yang lambat (delayed gastric emptying) dan dilatasi lambung.
Peranan hiatus hernia pada patogenesis terjadinya GERD masih
kontroversial. Banyak pasien GERD yang pada pemeriksaan endoskopi ditemukan
hiatus hernia, namun hanya sedikit yang memperlihatkan gejala GERD yang
signifikan. Hiatus hernia dapat memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk
bersihan asam dari esophagus serta menurunkan tonus LES.
 Bersihan asam dari lumen esophagus
Faktor-faktor yang berperan dalam bersihan asam dari esophagus adalah
gravitasi, peristaltik, ekskresi air liur, dan bikarbonat.
Setelah terjadi refluks, sebagian besar bahan refluksat akan kembali ke
lambung dengan dorongan peristaltic yang dirangsang oleh proses menelan. Sisanya
akan dinetralisir oleh bikarbonat yang disekresi oleh kelenjar saliva dan kelenjar
esophagus.
Mekanisme bersihan ini sangat penting, karena makin lama kontak antara
bahan refluksat dengan esophagus (waktu transit esophagus) makin besar
kemungkinan terjadinya esofagitis. Pada sebagian besar pasien GERD ternyata
memiliki waktu transit esophagus yang normal sehingga kelainan yang timbul
disebabkan karena peristaltic esophagus yang minimal.
Refluks malam hari (nocturnal reflux) lebih besar berpotensi menimbulkan
kerusakan esophagus karena selama tidur sebagian besar mekanisme bersihan
esophagus tidak aktif.

6
 Ketahanan epithelial esophagus
Berbeda dengan lambung dan duodenum, esophagus tidak memiliki lapisan
mukus yang melindungi mukosa esophagus.
Mekanisme ketahanan epithelial esophagus terdiri dari :
- membran sel
- batas intraselular (intracellular junction) yang membatasi difusi H+ ke jaringan
esophagus
- aliran darah esophagus yang mensuplai nutrien, oksigen, dan bikarbonat, serta
mengeluarkan ion H+ dan CO2
- sel-sel esophagus memiliki kemampuan untuk mentransport ion H+ dan Cl-
intraseluler dengan Na+ dan bikarbonat ekstraseluler.
Nikotin dapat menghambat transport ion Na+ melalui epitel esophagus,
sedangkan alcohol dan aspirin meningkatkan permeabilitas epitel terhadap ion H.
Yang dimaksud dengan faktor ofensif adalah potensi daya rusak refluksat.
Kandungan lambung yang menambah potensi daya rusak refluksat terdiri dari HCl,
pepsin, garam empedu, dan enzim pancreas.
Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung dari bahan yang
dikandungnya. Derajat kerusakan mukosa esophagus makin meningkat pada pH < 2,
atau adanya pepsin atau garam empedu. Namun dari kesemuanya itu yang memiliki
potensi daya rusak paling tinggi adalah asam.

Faktor-faktor lain yang berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah


kelainan di lambung yang meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara lain
dilatasi lambung, atau obstruksi gastric outlet dan delayed gastric emptying.

Peranan infeksi helicobacter pylori dalam patogenesis GERD relatif kecil


dan kurang didukung oleh data yang ada. Namun demikian ada hubungan terbalik
antara infeksi H. pylori dengan strain yang virulens (Cag A positif) dengan kejadian
esofagitis, Barrett’s esophagus dan adenokarsinoma esophagus. Pengaruh dari
infeksi H. pylori terhadap GERD merupakan konsekuensi logis dari gastritis serta
pengaruhnya terhadap sekresi asam lambung. Pengaruh eradikasi infeksi H. pylori
sangat tergantung kepada distribusi dan lokasi gastritis. Pada pasien-pasien yang
tidak mengeluh gejala refluks pra-infeksi H. pylori dengan predominant antral
gastritis, pengaruh eradikasi H. pylori dapat menekan munculnya gejala GERD.
Sementara itu pada pasien-pasien yang tidak mengeluh gejala refluks pra-infeksi H.
pylori dengan corpus predominant gastritis, pengaruh eradikasi H. pylori dapat
meningkatkan sekresi asam lambung serta memunculkan gejala GERD. Pada pasien-
pasien dengan gejala GERD pra-infeksi H. pylori dengan antral predominant

7
gastritis, eradikasi H. pylori dapat memperbaiki keluhan GERD serta menekan
sekresi asam lambung. Sementara itu pada pasien-pasien dengan gejala GERD pra-
infeksi H. pylori dengan corpus predominant gastritis, eradikasi H. pylori dapat
memperburuk keluhan GERD serta meningkatkan sekresi asam lambung.
Pengobatan PPI jangka panjang pada pasien-pasien dengan infeksi H. pylori dapat
mempercepat terjadinya gastritis atrofi. Oleh sebab itu, pemeriksaan serta eradikasi
H. pylori dianjurkan pada pasien GERD sebelum pengobatan PPI jangka panjang.

Walaupun belum jelas benar, akhir-akhir ini telah diketahui bahwa non-acid
reflux turut berperan dalam patogenesis timbulnya gejala GERD. Yang dimaksud
dengan non-acid reflux adalah berupa bahan refluksat yang tidak bersifat asam atau
refluks gas. Dalam keadaan ini, timbulnya gejala GERD diduga karena
hipersensitivitas visceral.

Prognosis

GERD merupakan penyakit yang tidak terlalu berbahaya, GERD dapat


disembuhkan dengan menghindari hal-hal yang dapat memperberat. GERD
memiliki prognosis yang baik selama hal-hal memperberat dan rutin meminum
obat-obatan yang dapat melindungi lesi-lesi yang ada di esophagus.

Tatalaksana

Medikamentosa :

PPI (Proton Pump Inhibitor) = Omeprazole 2x20 mg

Sukralfat dosis 4x1 gram

Domperidone dosis 3x10 mg

R/ Omeprazole tab 20mg no. LXX

S 2 dd tab 2
R/ Sukralfat tab 1g no. LXX

S 4 dd tab 1
R/ Domperidone tab 10mg no. XXX

S 3 dd tab 1
Non-Medikamentosa

 Hindari makanan yang meningkatkan sekresi asam lambung

 Tidak membiarkan lambung kosong dalam waktu yang lama

Kesimpulan
8
Pada gastroesophageal refluks disease (GERD) adalah kondisi di mana esophagus
mengalami iritasi atau inflamasi karena refluks asam dari lambung. GERD biasanya
karena kebiasaan membiarkan lambung dalam keadaan kosong dalam waktu lama,
namun bisa juga di akibatkan karena sering mengkonsumsi makanan pedas ataupun
makanan yang memicu peningkatan asam lambung.

Daftar Pustaka

1. Fass R, Sifrim D. Management of heartburn not responding to proton


pump inhibitors. Gut. 2009 Feb. 58(2):295-309.
2. Galmiche JP, Hatlebakk J, Attwood S, et al. Laparoscopic antireflux
surgery vs esomeprazole treatment for chronic GERD: the LOTUS
randomized clinical trial. JAMA. 2011 May 18. 305(19):1969-77.
3. Kramer JR, Shakhatreh MH, Naik AD, Duan Z, El-Serag HB. Use and
yield of endoscopy in patients with uncomplicated gastroesophageal reflux
disorder. JAMA Intern Med. 2014 Mar. 174(3):462-5.
4. Ponce J, Garrigues V, Agreus L, et al. Structured management strategy
based on the Gastro-oesophageal Reflux Disease (GERD) Questionnaire
(GerdQ) vs. usual primary care for GERD: pooled analysis of five cluster-
randomised European studies. Int J Clin Pract. 2012 Sep. 66(9):897-905.
5. Rebecchi F, Allaix ME, Giaccone C, Ugliono E, Scozzari G, Morino M.
Gastroesophageal reflux disease and laparoscopic sleeve gastrectomy: a
physiopathologic evaluation. Ann Surg. 2014 Nov. 260(5):909-14;
discussion 914-5.

Anda mungkin juga menyukai