2. Etiologi
Beberapa penyebab terjadinya GERD meliputi:
3. Manifestasi klinis
a. asa panas/ tebakar pada esofagus (pirosis)
b. Muntah
c. Nyeri di belakang tulang payudara atau persis di bawahnya,
bahkan menjalar ke leher, tenggorokan, dan wajah, biasanya
timbul setelah makan atau ketika berbaring
d. Kesulitan menelan makanan (osinofagia) karena adanya
penyempitan (stricture) pada kerongkongan dari reflux.
e. Tukak esofageal peptik yaitu luka terbuka pada lapisan
kerongkongan, bisa dihasilkan dari refluks berulang.
f. Nafas yang pendek dan berbunyi mengik karena ada
penyempitan pada saluran udara
g. Suara parau
h. Ludah berlebihan (water brash)
i. Rasa bengkak pada tenggorokan (rasa globus)
j. Terjadi peradangan pada sinus (sinusitis)
k. Gejala lain : pertumbuhan yang buruk, kejang, nyeri telinga
(pada anak)
l. Peradangan pada kerongkongan (esophagitis) bisa
menyebabkan pendarahan yang biasanya ringan tetapi bisa
jadibesar.
m. Dengan iritasi lama pada bagian bawah kerongkongan dari
refluks berulang, lapisan sel pada kerongkongan bisa
berubah (menghasilkan sebuah kondisi yang disebut
kerongkongan Barrett).
4. Klasifikasi
Kalsifikasi Los Angeles
B Erosi pada
mukosa/lipatan mukosa
dengan diameter > 5
mm tanpa saling
berhubungan
8. Pemeriksaan penunjang
a. Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas
merupakan standar baku untuk diagnosis GERD dengan
ditemukannya mucosal break di esophagus (esofagitis
refluks). Jika tidak ditemukan mucosal break pada
pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas pada
pasien dengan gejala khas GERD, keadaan ini disebut non-
erosive reflux disease (NERD).
b. Esofagografi dengan barium
Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang
peka dan seringkali tidak menunjukkan kelainan, terutama
pada kasus esofagitis ringan. Pada keadaan yang lebih berat,
gambar radiology dapat berupa penebalan dinding dan
lipatan mukosa, ulkus, atau penyempitan lumen. Walaupun
pemeriksaan ini sangat tidak sensitive untuk diagnosis
GERD, namun pada keadaan tertentu pemeriksaan ini
mempunyai nilai lebih dari endoskopi, yaitu pada stenosis
esophagus derajat ringan akibat esofagitis peptic dengan
gejala disfagia, dan pada hiatus hernia.
c. Monitoring pH 24 jam
Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi
bagian distal esophagus. Episode ini dapat dimonitor dan
direkam dengan menempatkan mikroelektroda pH pada
bagian distal esophagus. Pengukuran pH pada esophagus
bagian distal dapat memastikan ada tidaknya refluks
gastroesofageal. pH dibawah 4 pada jarak 5 cm di atas LES
dianggap diagnostik untuk refluks gastroesofageal.
d. Tes Perfusi Berstein
Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang
selang transnasal dan melakukan perfusi bagian distal
esophagus dengan HCl 0,1 M dalam waktu kurang dari 1
jam. Tes ini bersifat pelengkap terhadap monitoring pH 24
jam pada pasien-pasien dengan gejala yang tidak khas. Bila
larutan ini menimbulkan rasa nyeri dada seperti yang
biasanya dialami pasien, sedangkan larutan NaCl tidak
menimbulkan rasa nyeri, maka test ini dianggap positif.
Test Bernstein yang negative tidak menyingkirkan adanya
nyeri yang berasal dari esophagus.
e. Manometri esofagus
Mengukuran tekanan pada katup kerongkongan bawah
menunjukan kekuatannya dan dapat membedakan katup
yang normal dari katup yang berfungsi buruk kekuatan
sphincter
B. KONSEP KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Menurut Muttaqin, (2008) anamnesa pada erithroderma
meliputi identitas klien, keluhan utama, riwayat penyakit
sekarang, riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga,
dan pengkajian psikososial.
a. Identitas Klien
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua),
jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku
bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor register, dan
diagnosis medis.
b. Keluhan utama
c. Riwayat penyakit sekarang
d. Riwayat penyakit dahulu
e. Riwayat penyakit keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi,
diabetes melitus, atau adanya riwayat stroke dari generasi
terdahulu.
f. Pengkajian psikososiospiritual
2. Diagnosa
Diagnosa keperawatan merupakan suatu penilaian klinis
mengenai respons klien terhadap suatu masalah kesehatan atau
proses kehidupan yang dialaminya baik yang berlangsung aktual
maupun potensial. Diagnosa keperawatan bertujuan untuk
mengidentifikasi respon klien individu, keluarga dan komunitas
terhadap yang berkaitan dengan kesehatan. Proses penegakan
diagnosa (diagnostic process) merupakan suatu proses yang
sistemasis yang terdiri atas tiga tahap yaitu analisa data,
identifikasi masalah dan perumusan diagnosa. Diagnosis
keperawatan memiliki dua komponen utama yaitu masalah
(problem) yang merupakan label diagnosis keperawatan yang
menggambarkan inti dari respons klien terhadap kondisi
kesehatan, dan indikator diagnostik. Indikator diagnostik terdiri
atas penyebab, tanda/gejala dan faktor risiko. Pada diagnosis
aktual, indikator diagnostik hanya terdiri atas penyebab dan
tanda/gejala. Diagnosa keperawatan yang diambil dalam
masalah ini adalah gangguan mobilitas fisik. Gangguan
mobilitas fisik merupakan keterbatasan dalam gerakan fisik dari
satu atau lebih ekstremitas secara mandiri. Gangguan mobilitas
fisik termasuk jenis kategori diagnosis keperawatan negatif.
Diagnosis negatif menunjukkan bahwa klien dalam kondisi sakit
sehingga penegakkan diagnosis ini akan mengarah ke pemberian
intervensi keperawatan yang bersifat penyembuhan (Tim Pokja
SDKI PPNI, 2017)
Adapun diagnosa yang sering muncul:
1. Nyeri Akut berhubungan dengan agen cidera ditandai dengan
klien melaporkan nyeri secara verbal, klien tampak meringis
kesakitan, tampak gelisah, klien tampak nyeri,klien memegangi
bagian yang nyeri.
3. Rencana keperawatan
Setelah merumuskan diagnosa dilanjutkan dengan
perencanaan dan aktivitas keperawatan untuk mengurangi,
menghilangkan serta mencegah masalah keperawatan klien.
Intervensi keperawatan merupakan segala treatment yang
dikerjakan oleh perawat yang didasarkan pada pengetahuan dan
penilaian klinis untuk mencapai luaran (outcome) yang di
harapkan (Tim Pokja SIKI PPNI, 2018)
Luaran (Outcome) Keperawatan merupakan aspek-aspek
yang dapat diobservasi dan diukur meliputi kondisi, perilaku,
atau persepsi pasien, keluarga atau komunitas sebagai respon
terhadap intervensi keperawatan. Luaran keperawatan
menunjukkan status diagnosis keperawatan setelah dilakukan
intervensi keperawatan. Hasil akhir intervensi keperawatan yang
terdiri dari indikator-indikator atau kriteria-kriteria hasil
pemulihan masalah. Terdapat dua jenis luaran keperawatan yaitu
luaran positif (perlu ditingkatkan) dan luaran negatif (perlu
diturunkan) (Tim Pokja SLKI PPNI, 2018).
4. Implementasi keperawatan
Implementasi keperawatan merupakan sebuah fase dimana
perawat melaksanakan rencana atau intervensi yang sudah
dilaksanakan sebelumnya. Berdasarkan terminologi SIKI,
implementasi terdiri atas melakukan dan mendokumentasikan
yang merupakan tindakan khusus yang digunakan untuk
melaksanakan intervensi (Tim Pokja SIKI PPNI, 2018).
Implementasi keperawatan membutuhkan fleksibilitas dan
kreativitas perawat. Sebelum melakukan tindakan, perawat
harus mengetahui alasan mengapa tindakan tersebut dilakukan.
Implementasi keperawatan berlangsung dalam tiga tahap. Fase
pertama merupakan fase persiapan yang mencakup pengetahuan
tentang validasi rencana, implementasi rencana, persiapan
pasien dan keluarga. Fase kedua merupakan puncak
implementasi keperawatan yang berorientasi pada tujuan. Fase
ketiga merupakan transmisi perawat dan pasien setelah
implementasi keperawatan selesai dilakukan (Asmadi, 2008).
5. Evaluasi keperwatan
Evaluasi keperawatan merupakan tindakan akhir dalam
proses keperawatan (Tarwoto & Wartonah, 2015). Evaluasi
dapat berupa evaluasi struktur, proses dan hasil. Evaluasi terdiri
dari evaluasi formatif yaitu menghasilkan umpan balik selama
program berlangsung. Sedangkan evaluasi sumatif dilakukan
setelah program selesai dan mendapatkan informasi efektivitas
pengambilan keputusan (Deswani, 2011).
Evaluasi asuhan keperawatan didokumentasikan dalam
bentuk SOAP. Data Subjektif (S) dimana perawat menemui
keluhan pasien yang masih dirasakan setelah diakukan tindakan
keperawatan, O (Objektif) adalah data yang berdasarkan
hasilpengukuran atau observasi perawat secara langsung pada
pasien dan yangdirasakan pasien setelah tindakan keperawatan,
A (Assesment) yaitu interpretasi makna data subjektif dan
objektif untuk menilai sejauh mana tujuan yang telah ditetapkan
dalam rencana keperawatan tercapai. Dapat dikatakan tujuan
tercapai apabila pasien mampu menunjukkan perilaku sesuai
kondisi yang ditetapkan pada tujuan, sebagian tercapai apabila
perilaku pasien tidak seluruhnya tercapai sesuai dengan tujuan,
sedangkan tidak tercapai apabila pasien tidak mampu
menunjukkan perilaku yang diharapkan sesuai dengan tujuan,
dan yang terakhir adalah planning (P) merupakan rencana
tindakan berdasarkan analisis. Jika tujuan telah dicapai, maka
perawat akan menghentikan rencana dan apabila belum tercapai,
perawat akan melakukan modifikasi rencana untuk melanjutkan
rencana keperawatan pasien. Evaluasi ini disebut juga evaluasi
proses (Dinarti,2013).
Evaluasi yang diharapkan sesuai dengan masalah yang
pasien hadapi yang telah dibuat pada perencanaan tujuan dan
kriteria hasil. Evaluasi penting dilakukan untuk menilai status
kesehatan pasien setelah tindakan keperawatan. Selain itu juga
untuk menilai pencapaian tujuan, baik tujuan jangka panjang
maupun jangka pendek, dan mendapatkan informasi yang tepat
dan jelas untuk meneruskan, memodifikasi, atau menghentikan
asuhan keperawatan yang diberikan (Deswani, 2011)
DAFTAR PUSTAKA