Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN GASTROESOPHAGEAL

REFLUX DISEASE
A. KONSEP DASAR MEDIS
1. DEFINISI
Gastroesophageal reflux disease adalah suatu keadaan patologis
sebagai akibat refluks kandungan lambung kedalam esofagus, dengan
berbagai gejala yang timbul akibat keterlibatan esofagus,faring,laring dan
saluran nafas. (Aru W. Sudoyo, 2015 )
GERD adalah kembalinya isi lambung kedalam esofagus dengan cara
pasif yang disebabkan oleh hipotoni sfingter esofagus bagian bawah,posisi
abnormal sambungan esofagus dengan kardia. atau pengososngan isi
lambung yang lambat (Arief Mansjoer,2015 ).
Gastroesophageal reflux adalah masuknya isi lambung ke dalam
esofagus yang terjadi secara intermiten pada seseorang, terutama setelah
makan ( Asroel, 2016).
Refluks gastroesofagus merupakan kembalinya isi lambung ke
esophagus atau lebih proksimal. Isi lambung tersebut dapat berupa asam
lambung, udara maupun makanan ( Resto, 2015).
Jadi, dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Gastroesophageal
Reflux Disease (GERD) adalah suatu keadaan patologis yang disebabkan
oleh kegagalan dari mekanisme anti reflux ,hipotoni sfingter esophagus
bagian bawah, posisi abnormal sambungan esofagus dengan kardia atau
pengososngan isi lambung yang lambat untuk melindungi mukosa
eshopagus terhadap reflux asam lambung dengan kadar yang abnormal
dan paparan yang berulang dan dengan berbagai gejala yang timbul akibat
keterlibatan esofagus,faring,laring dan saluran nafas, yang terjadi secara
intermiten terutama setelah makan, dan isi lambung tersebut dapat berupa
asam lambung, udara maupun makanan.
2. ETIOLOGI

Beberapa penyebab terjadinya GERD meliputi:


1. Defensif dari Esofagus
a. Menurunnya tonus LES (lower esophageal spinchter)
b. Ketahanan epitel esophagus menurun
c. Bersihan asam dari lumen esophagus menurun
d. Kelainan pada lambung (delayed gastric emptying)
e. Kelainan anatomi, seperti penyempitan kerongkongan
2. Ofensif dari bahan refkluksan
a. Bahan refluksat mengenai dinding esophagus yaitu : PH<2, adanya
pepsin, garam empedu, HCl
b. Infeksi H. pylori dengan corpus predominan gastritis
c. Non acid refluks (refluks gas) menyebabkan hipersensitivitas
visceral
d. Mengonsumsi makanan berasam, coklat, minuman berkafein dan
berkarbonat, alkohol, merokok tembakau, dan obat-obatan yang
bertentangan dengan fungsi esophageal sphincter bagian bawah
termasuk apa yang memiliki efek antikolinergik (seperti berbagai
antihistamin dan beberapa antihistamin), penghambat saluran
kalsium, progesteron, dan nitrat.
3. PATOFISIOLOGI
GERD terjadi karena beberapa factor seperti Hiatus hernia, pendeknya
LES, penggunaan obat-obatan, faktor hormonal yang menyebabkan
penurunan tonus LES dan terjadi relaksasi abnormal LES sehingga timbul
GERD. Hiatus hernia juga menyebabkan bagian dari lambung atas yang
terhubung dengan esophagus akan mendorong ke atas melalui diafragma
sehingga terjadi penurunan tekanan penghambat refluks dan timbul
GERD. Selain itu, GERD juga terjadi karena penurunan peristaltic
esophagus dimana terjadi penurunan kemampuan untuk mendorong asam
refluks kembali ke lambung, kelemahan kontraksi LES dimana terjadi
penurunan kemampuan mencegah refluks, penurunan pengosongan
lambung dimana terjadi memperlambat distensi lambung, dan infeksi H.
Pilory dan korpus pedominas gastritis. GERD dapat menimbulkan
perangsangan nervus pada esophagus oleh cairan refluks mengakibatkan
nyeri akut. Selain itu GRED menyebabkan kerusakan sel skuamosa epitel
yang melapisi esophagus sehingga terjadi nyeri akut, gangguan menelan,
dan bersihan jalan nafas tidak efektif. Gangguan nervus yang mengatur
pernafasan juga disebabkan oleh GERD sehingga timbul pola nafas tidak
efektif. Disamping itu GERD menyebabkan refluks cairan masuk ke laring
dan tenggorokan, terjadi resiko aspirasi . GERD dapat menyebabkan
refluks asam lambung dari lambung ke esophagus sehingga timbul
odinofagia, merangsang pusat mual di hipotalamus, cairan terasa pahit
pada mulut, aliran balik dalam jumlah banyak sehingga terjadi penurunan
nafsu makan
Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high
pressure zone) yang dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal sphincter
(LES). Pada individu normal, pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada
saat terjadinya aliran antegrad yang terjadi pada saat menelan, atau aliran
retrograd yang terjadi pada saat sendawa atau muntah. Aliran balik dari
gaster ke esophagus melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak
ada atau sangat rendah (< 3 mmHg). Refluks gastroesofageal pada pasien
GERD terjadi melalui 3 mekanisme:
a) Refluks spontan pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat
b) Aliran retrograde yang mendahului kembalinya tonus LES setelah
menelan
c) Meningkatnya tekanan intraabdominal
Dengan demikian dapat diterangkan bahwa patogenesis terjadinya
GERD menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari esophagus
dan faktor ofensif dari bahan refluksat. Yang termasuk faktor defensif
esophagus, adalah pemisah antirefluks (lini pertama), bersihan asam dari
lumen esophagus (lini kedua), dan ketahanan epithelial esophagus (lini
ketiga). Sedangkan yang termasuk faktor ofensif adalah sekresi gastrik dan
daya pilorik.
a) Pemisah antirefluks
Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES.
Menurunnya tonus LES dapat menyebabkan timbulnya refluks
retrograde pada saat terjadinya peningkatan tekanan intraabdomen.
Sebagian besar pasien GERD ternyata mempunyai tonus LES yang
normal. Faktor-faktor yang dapat menurunkan tonus LES adalah
adanya hiatus hernia, panjang LES (makin pendek LES, makin rendah
tonusnya), obat-obatan (misal antikolinergik, beta adrenergik, teofilin,
opiate, dll), dan faktor hormonal. Selama kehamilan, peningkatan
kadar progesteron dapat menurunkan tonus LES.
Namun dengan perkembangan teknik pemeriksaan manometri,
tampak bahwa pada kasus-kasus GERD dengan tonus LES yang
normal yang berperan dalam terjadinya proses refluks ini adalah
transient LES relaxation (TLESR), yaitu relaksasi LES yang bersifat
spontan dan berlangsung lebih kurang 5 detik tanpa didahului proses
menelan. Belum diketahui bagaimana terjadinya TLESR ini, tetapi
pada beberapa individu diketahui ada hubungannya dengan
pengosongan lambung yang lambat (delayed gastric emptying) dan
dilatasi lambung.
Peranan hiatus hernia pada patogenesis terjadinya GERD masih
kontroversial. Banyak pasien GERD yang pada pemeriksaan
endoskopi ditemukan hiatus hernia, namun hanya sedikit yang
memperlihatkan gejala GERD yang signifikan. Hiatus hernia dapat
memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk bersihan asam dari
esophagus serta menurunkan tonus LES.
b) Bersihan asam dari lumen esophagus
Faktor-faktor yang berperan dalam bersihan asam dari esophagus
adalah gravitasi, peristaltik, ekskresi air liur, dan bikarbonat.
Setelah terjadi refluks, sebagian besar bahan refluksat akan
kembali ke lambung dengan dorongan peristaltic yang dirangsang oleh
proses menelan. Sisanya akan dinetralisir oleh bikarbonat yang
disekresi oleh kelenjar saliva dan kelenjar esophagus.
Mekanisme bersihan ini sangat penting, karena makin lama kontak
antara bahan refluksat dengan esophagus (waktu transit esophagus)
makin besar kemungkinan terjadinya esofagitis. Pada sebagian besar
pasien GERD ternyata memiliki waktu transit esophagus yang normal
sehingga kelainan yang timbul disebabkan karena peristaltic
esophagus yang minimal.
Refluks malam hari (nocturnal reflux) lebih besar berpotensi
menimbulkan kerusakan esophagus karena selama tidur sebagian
besar mekanisme bersihan esophagus tidak aktif.
c) Ketahanan epithelial esophagus
Berbeda dengan lambung dan duodenum, esophagus tidak
memiliki lapisan mukus yang melindungi mukosa esophagus.
Mekanisme ketahanan epithelial esophagus terdiri dari :

1) Membran sel

2) Batas intraselular (intracellular junction) yang membatasi difusi


H+ ke jaringan esophagus

3) Aliran darah esophagus yang mensuplai nutrien, oksigen, dan


bikarbonat, serta mengeluarkan ion H+ dan CO2

4) Sel-sel esophagus memiliki kemampuan untuk mentransport ion


H+ dan Cl- intraseluler dengan Na+ dan bikarbonat ekstraseluler.

Nikotin dapat menghambat transport ion Na+ melalui epitel


esophagus, sedangkan alcohol dan aspirin meningkatkan permeabilitas
epitel terhadap ion H. Yang dimaksud dengan faktor ofensif adalah
potensi daya rusak refluksat. Kandungan lambung yang menambah
potensi daya rusak refluksat terdiri dari HCl, pepsin, garam empedu,
dan enzim pancreas.

Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung dari bahan yang


dikandungnya. Derajat kerusakan mukosa esophagus makin
meningkat pada pH < 2, atau adanya pepsin atau garam empedu.
Namun dari kesemuanya itu yang memiliki potensi daya rusak paling
tinggi adalah asam.

Faktor-faktor lain yang berperan dalam timbulnya gejala GERD


adalah kelainan di lambung yang meningkatkan terjadinya refluks
fisiologis, antara lain dilatasi lambung, atau obstruksi gastric outlet
dan delayed gastric emptying.

Peranan infeksi helicobacter pylori dalam patogenesis GERD


relatif kecil dan kurang didukung oleh data yang ada. Namun
demikian ada hubungan terbalik antara infeksi H. pylori dengan strain
yang virulens (Cag A positif) dengan kejadian esofagitis, Barrett’s
esophagus dan adenokarsinoma esophagus. Pengaruh dari infeksi H.
pylori terhadap GERD merupakan konsekuensi logis dari gastritis
serta pengaruhnya terhadap sekresi asam lambung. Pengaruh eradikasi
infeksi H. pylori sangat tergantung kepada distribusi dan lokasi
gastritis. Pada pasien-pasien yang tidak mengeluh gejala refluks pra-
infeksi H. pylori dengan predominant antral gastritis, pengaruh
eradikasi H. pylori dapat menekan munculnya gejala GERD.
Sementara itu pada pasien-pasien yang tidak mengeluh gejala refluks
pra-infeksi H. pylori dengan corpus predominant gastritis, pengaruh
eradikasi H. pylori dapat meningkatkan sekresi asam lambung serta
memunculkan gejala GERD. Pada pasien-pasien dengan gejala GERD
pra-infeksi H. pylori dengan antral predominant gastritis, eradikasi H.
pylori dapat memperbaiki keluhan GERD serta menekan sekresi asam
lambung. Sementara itu pada pasien-pasien dengan gejala GERD pra-
infeksi H. pylori dengan corpus predominant gastritis, eradikasi H.
pylori dapat memperburuk keluhan GERD serta meningkatkan sekresi
asam lambung. Pengobatan PPI jangka panjang pada pasien-pasien
dengan infeksi H. pylori dapat mempercepat terjadinya gastritis atrofi.
Oleh sebab itu, pemeriksaan serta eradikasi H. pylori dianjurkan pada
pasien GERD sebelum pengobatan PPI jangka panjang.

Non-acid reflux turut berperan dalam patogenesis timbulnya gejala


GERD. Non-acid reflux adalah berupa bahan refluksat yang tidak
bersifat asam atau refluks gas. Dalam keadaan ini, timbulnya gejala
GERD diduga karena hipersensitivitas visceral.
4. MANIFESTASI KLINIS

a) Rasa panas/ tebakar pada esofagus (pirosis)


b) Muntah
c) Nyeri di belakang tulang payudara atau persis di bawahnya, bahkan
menjalar ke leher, tenggorokan, dan wajah, biasanya timbul setelah
makan atau ketika berbaring
d) Kesulitan menelan makanan (osinofagia) karena adanya penyempitan
(stricture) pada kerongkongan dari reflux.
e) Tukak esofageal peptik yaitu luka terbuka pada lapisan kerongkongan,
bisa dihasilkan dari refluks berulang. Bisa menyebabkan nyeri yang
biasanya berlokasi di belakang tulang payudara atau persis di
bawahnya, mirip dengan lokasi panas dalam perut.
f) Nafas yang pendek dan berbunyi mengik karena ada penyempitan
pada saluran udara
g) Suara parau
h) Ludah berlebihan (water brash)
i) Rasa bengkak pada tenggorokan (rasa globus)
j) Terjadi peradangan pada sinus (sinusitis)
k) Gejala lain : pertumbuhan yang buruk, kejang, nyeri telinga (pada
anak)
l) Peradangan pada kerongkongan (esophagitis) bisa menyebabkan
pendarahan yang biasanya ringan tetapi bisa jadi besar. Darah
kemungkinan dimuntahkan atau keluar melalui saluran pencernaan,
menghasilkan kotoran berwarna gelap, kotoran berwarna ter (melena)
atau darah merah terang, jika pendarahan cukup berat.
m) Dengan iritasi lama pada bagian bawah kerongkongan dari refluks
berulang, lapisan sel pada kerongkongan bisa berubah (menghasilkan
sebuah kondisi yang disebut kerongkongan Barrett). Perubahan bisa
terjadi bahkan pada gejala-gejala yang tidak ada. Kelainan sel ini
adalah sebelum kanker dan berkembang menjadi kanker pada
beberapa orang.

Tabel 1. Tanda dan Gejala GERD pada Bayi dan Anak


Bayi Anak dan Remaja
Tidak mau Nyeri perut
makan/minum/menetek
Muntah berulang Rasa terbakar di dada/ulu
hati (heartburn)
Gagal tumbuh (failure to Muntah berulang
thrive)
Rewel terus-menerus Kesulitan menelan
(disfagia)
Tersedak/apnea (henti napas Batuk kronik/mengi
sesaat) berulang
Posisi opistotonus Suara serak

5. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan
standar baku untuk diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal
break di esophagus (esofagitis refluks). Jika tidak ditemukan mucosal
break pada pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas pada
pasien dengan gejala khas GERD, keadaan ini disebut non-erosive
reflux disease (NERD).
b. Esofagografi dengan barium
Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka dan
seringkali tidak menunjukkan kelainan, terutama pada kasus esofagitis
ringan. Pada keadaan yang lebih berat, gambar radiology dapat berupa
penebalan dinding dan lipatan mukosa, ulkus, atau penyempitan
lumen. Walaupun pemeriksaan ini sangat tidak sensitive untuk
diagnosis GERD, namun pada keadaan tertentu pemeriksaan ini
mempunyai nilai lebih dari endoskopi, yaitu pada stenosis esophagus
derajat ringan akibat esofagitis peptic dengan gejala disfagia, dan pada
hiatus hernia.
c. Monitoring pH 24 jam
Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian
distal esophagus. Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan
menempatkan mikroelektroda pH pada bagian distal esophagus.
Pengukuran pH pada esophagus bagian distal dapat memastikan ada
tidaknya refluks gastroesofageal. pH dibawah 4 pada jarak 5 cm di atas
LES dianggap diagnostik untuk refluks gastroesofageal.
d. Tes Perfusi Berstein
Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang
transnasal dan melakukan perfusi bagian distal esophagus dengan HCl
0,1 M dalam waktu kurang dari 1 jam. Tes ini bersifat pelengkap
terhadap monitoring pH 24 jam pada pasien-pasien dengan gejala yang
tidak khas. Bila larutan ini menimbulkan rasa nyeri dada seperti yang
biasanya dialami pasien, sedangkan larutan NaCl tidak menimbulkan
rasa nyeri, maka test ini dianggap positif. Test Bernstein yang negative
tidak menyingkirkan adanya nyeri yang berasal dari esophagus.
e. Manometri esofagus
Mengukuran tekanan pada katup kerongkongan bawah
menunjukan kekuatannya dan dapat membedakan katup yang normal
dari katup yang berfungsi buruk kekuatan sphincter
6. KOMPLIKASI
a. Esofagitis ulseratif
b. Esofagus barrett’s : yaitu perubahan epitel skuamosa menjadi
kolumner metaplastik.
c. Gagal tumbuh (failur to thrive)
d. Perdarahan saluran cerna akibat iritasi
e. Aspirasi.
7. PENATALAKSANAAN
Pada prinsipnya, penatalaksanaan GERD terdiri dari modifikasi gaya
hidup, terapi medikamentosa, terapi bedah serta akhir-akhir ini mulai
dilakukan terapi endoskopik.
Target penatalaksanaan GERD adalah menyembuhkan lesi esophagus,
menghilangkan gejala/keluhan, mencegah kekambuhan, memperbaiki
kualitas hidup, dan mencegah timbulnya komplikasi.
a. Modifikasi gaya hidup
Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu bagian dari
penatalaksanaan GERD, namun bukan merupakan pengobatan primer.
Walaupun belum ada studi yang dapat memperlihatkan kemaknaannya,
namun pada dasarnya usaha ini bertujuan untuk mengurangi frekuensi
refluks serta mencegah kekambuhan.
Hal-hal yang perlu dilakukan dalam modifikasi gaya hidup adalah
meninggikan posisi kepala pada saat tidur serta menghindari makan
sebelum tidur dengan tujuan untuk meningkatkan bersihan asam
selama tidur serta mencegah refluks asam dari lambung ke esophagus,
berhenti merokok dan mengkonsumsi alkohol karena keduanya dapat
menurunkan tonus LES sehingga secara langsung mempengaruhi sel-
sel epitel, mengurangi konsumsi lemak serta mengurangi jumlah
makanan yang dimakan karena keduanya dapat menimbulkan distensi
lambung, menurunkan berat badan pada pasien kegemukan serta
menghindari pakaian ketat sehingga dapat mengurangi tekanan
intraabdomen, menghindari makanan/minuman seperti coklat, teh,
peppermint, kopi dan minuman bersoda karena dapat menstimulasi
sekresi asam, jikan memungkinkan menghindari obat-obat yang dapat
menurunkan tonus LES seperti antikolinergik, teofilin, diazepam,
opiate, antagonis kalsium, agonis beta adrenergic, progesterone.

b. Terapi medikamentosa
Terdapat berbagai tahap perkembangan terapi medikamentosa pada
penatalaksanaan GERD ini. Dimulai dengan dasar pola pikir bahwa
sampai saat ini GERD merupakan atau termasuk dalam kategori
gangguan motilitas saluran cerna bagian atas. Namun dalam
perkembangannya sampai saat ini terbukti bahwa terapi supresi asam
lebih efektif daripada pemberian obat-obat prokinetik untuk
memperbaiki gangguan motilitas.
Terdapat dua alur pendekatan terapi medikamentosa, yaitu step up
dan step down. Pada pendekatan step up pengobatan dimulai dengan
obat-obat yang tergolong kurang kuat dalam menekan sekresi asam
(antagonis reseptor H2) atau golongan prokinetik, bila gagal diberikan
obat golongan penekan sekresi asam yang lebih kuat dengan masa
terapi lebih lama (penghambat pompa proton/PPI). Sedangkan pada
pendekatan step down pengobatan dimulai dengan PPI dan setelah
berhasil dapat dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan dengan
menggunakan dosis yang lebih rendah atau antagonis reseptor H2 atau
prokinetik atau bahkan antacid.
Dari berbagai studi, dilaporkan bahwa pendekatan terapi step down
ternyata lebih ekonomis (dalam segi biaya yang dikeluarkan oleh
pasien) dibandingkan dengan pendekatan terapi step up.
Menurut Genval Statement (2015) serta Konsensus Asia Pasifik
tentang penatalaksanaan GERD (2016) telah disepakati bahwa terapi
lini pertama untuk GERD adalah golongan PPI dan digunakan
pendekatan terapi step down.
Pada umumnya studi pengobatan memperlihatkan hasil tingkat
kesembuhan diatas 80% dalam waktu 6-8 minggu. Untuk selanjutnya
dapat diteruskan dengan terapi pemeliharaan (maintenance therapy)
atau bahkan terapi “bila perlu” (on-demand therapy) yaitu pemberian
obat-obatan selama beberapa hari sampai dua minggu jika ada
kekambuhan sampai gejala hilang.
Pada berbagai penelitian terbukti bahwa respons perbaikan gejala
menandakan adanya respons perbaikan lesi organiknya (perbaikan
esofagitisnya). Hal ini tampaknya lebih praktis bagi pasien dan cukup
efektif dalam mengatasi gejala pada tatalaksana GERD.
Berikut adalah obat-obatan yang dapat digunakan dalam terapi
medikamentosa GERD :
1) Antasid
Golongan obat ini cukup efektif dan aman dalam menghilangkan
gejala GERD tetapi tidak menyembuhkan lesi esofagitis. Selain
sebagai buffer terhadap HCl, obat ini dapat memperkuat tekanan
sfingter esophagus bagian bawah. Kelemahan obat golongan ini
adalah rasanya kurang menyenangkan, dapat menimbulkan diare
terutama yang mengandung magnesium serta konstipasi terutama
antasid yang mengandung aluminium, penggunaannya sangat
terbatas pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
2) Antagonis reseptor H2
Golongan obat ini adalah simetidin, ranitidine, famotidin, dan
nizatidin. Sebagai penekan sekresi asam, golongan obat ini efektif
dalam pengobatan penyakit refluks gastroesofageal jika diberikan
dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis untuk terapi ulkus. Golongan
obat ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat ringan
sampai sedang serta tanpa komplikasi.
3) Obat-obatan prokinetik
Secara teoritis, obat ini paling sesuai untuk pengobatan GERD
karena penyakit ini lebih condong kearah gangguan motilitas.
Namun, pada prakteknya, pengobatan GERD sangat bergantung
pada penekanan sekresi asam.
4) Metoklopramid
Obat ini bekerja sebagai antagonis reseptor dopamine.
Efektivitasnya rendah dalam mengurangi gejala serta tidak
berperan dalam penyembuhan lesi di esophagus kecuali dalam
kombinasi dengan antagonis reseptor H2 atau penghambat pompa
proton. Karena melalui sawar darah otak, maka dapat timbul efek
terhadap susunan saraf pusat berupa mengantuk, pusing, agitasi,
tremor, dan diskinesia.
5) Domperidon
Golongan obat ini adalah antagonis reseptor dopamine dengan
efek samping yang lebih jarang disbanding metoklopramid karena
tidak melalui sawar darah otak.
Walaupun efektivitasnya dalam mengurangi keluhan dan
penyembuhan lesi esophageal belum banyak dilaporkan,
golongan obat ini diketahui dapat meningkatkan tonus LES serta
mempercepat pengosongan lambung.
6) Cisapride
Sebagai suatu antagonis reseptor 5 HT4, obat ini dapat
mempercepat pengosongan lambung serta meningkatkan tekanan
tonus LES. Efektivitasnya dalam menghilangkan gejala serta
penyembuhan lesi esophagus lebih baik dibandingkan dengan
domperidon.
7) Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat)
Berbeda dengan antasid dan penekan sekresi asam, obat ini tidak
memiliki efek langsung terhadap asam lambung. Obat ini bekerja
dengan cara meningkatkan pertahanan mukosa esophagus,
sebagai buffer terhadap HCl di eesofagus serta dapat mengikat
pepsin dan garam empedu. Golongan obat ini cukup aman
diberikan karena bekerja secara topikal (sitoproteksi).
8) Penghambat pompa proton (Proton Pump Inhhibitor/PPI)
Golongan obat ini merupakan drug of choice dalam pengobatan
GERD. Golongan obat-obatan ini bekerja langsung pada pompa
proton sel parietal dengan mempengaruhi enzim H, K ATP-ase
yang dianggap sebagai tahap akhir proses pembentukan asam
lambung.
Obat-obatan ini sangat efektif dalam menghilangkan keluhan
serta penyembuhan lesi esophagus, bahkan pada esofagitis erosive
derajat berat serta yang refrakter dengan golongan antagonis
reseptor H2.
Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi
inisial) yang dapat dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan
(maintenance therapy) selama 4 bulan atau on-demand therapy,
tergantung dari derajat esofagitisnya.
Pembedahan dapat mengurangi peradangan berat, perdarahan,
penyempitan, tukak atau gejala yang tidak menunjukkan
perbaikan dengan pengobatan apapun. Namun tindakan
pembedahan jarang dilakukan
9) Terapi endoskopi :
Walaupun laporannya masih terbatas serta msih dalam konteks
penelitian, akhir-akhir ini mulai dikembangkan pilihan terapi
endoskopi pada GERD yaitu :
a) Penggunaan energi radiofrekuensi
b) Implantasi endoskopis, yaitu dengan menyuntikkan zat
implan di bawah mukosa esophagus bagian distal, sehingga
lumen esophagus bagian distal menjadi lebih kecil.

Tabel 3. Dosis Obat pada GERD dengan Indikasi


Obat Dosis Frekuensi
Antagonis H2
Cimetidine 40 mg/kg/hari 3 – 4 x/hari
Famotidine 1 mg/kg/hari 2 x/hari
Ranitidine 5-10 mg/kg/hari 2 – 3 x/hari
Penghambat Pompa Proton (PPI)
Lansoprazole 0.4-2.8 mg/kg/hari Sekali sehari
Omeprazole 0.7-3.3 mg/kg/hari Sekali sehari
Tabel diambil dari Medscape
B. KONSEP DASAR KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
a. Keluhan utama
1) Keluhan pirosis (nyeri dengan sensasi terbakar pada esophagus)
2) Dispepsia atau indigesti (makanan tidak terurai menjadi serpihan
kecil atau molekul sehingga sulit digerakkan ke sepanjang saluran
pencernaan.
3) Disfagia (gangguan menelan). Tentukan berapa lama keluhan
muncul dan apakah disertai dengan penurunan berat badan.
4) Odinofagia (nyeri saat menelan)
5) Regugirtasi (aliran balik). Keluhan material esophagus masuk ke
dalam jalan napas.
b. Pengkajian psikologis
Sering didapatkan kecemasan akan kondisi yang dialami. Perawat
juga mengkaji factor yang dapat menurunkan atau menambah
keluhan. Kaji mengenai pengetahuan pasien bagaimana cara pasien
untuk menurunkan keluhan, apakah dengan mengobati sendiri atau
meminta pertolongan kesehatan
c. Tanda-tanda vital
Meliputi pemeriksaan :
1) Tekanan darah : sebaiknya diperiksa dalam posisi yang berbeda,
kaji tekanan nadi, dan kondisi patologis
2) Respiratory rate
d. Pola Fungsi Keperawatan
1) Aktivitas dan istirahat
Data Subyektif:
Klien mengatakan agak sulit beraktivitas karena nyeri di daerah
epigastrium, seperti terbakar.
Data obyektif :
Tidak terjadi perubahan tingkat kesadaran.
Tidak terjadi perubahan tonus otot.
2) Eliminasi
Data Subyektif:
Klien mengatakan tidak mengalami gangguan eliminasi.
Data obyektif:
Bising usus menurun (<12x/menit)
3) Makan/ minum
Data Subyektif:
Klien mengatakan mengalami mual muntah.
Klien mengatakan tidak nafsu makan.
Klien mengatakan susah menelan.
Klien mengatakan ada rasa pahit di lidah.
Data Obyektif:
Klien tampak tidak memakan makanan yang disediakan.
4) Sensori neural
Data Subyektif:
Klien mengatakan ada rasa pahit di lidah.
Data obyektif:
Status mental baik.
5) Nyeri / kenyamanan
Data Subyektif:
Klien mengatakan mengalami nyeri pada daerah dada.
P : nyeri terjadi akibat adanya peradangan pada esofagus
(esofagitis).
Q : klien mengatakan nyeri terasa seperti terbakar
R : klien mengatakan nyeri terjadi pada daerah dada.
S : klien mengatakan skala nyeri 8 (1-10).
T : klien mengatakan nyerinya terjadi pada saat menelan
makanan. Nyeri pada dada menetap.
Data Obyektif:
Klien tampak meringis kesakitan.
Klien tampak memegang bagian yang nyeri.
Tekanan darah klien meningkat
Klien tampak gelisah
6) Respirasi
Data Subyektif :
Klien mengatakan bahwa ia mengalami sesak napas.
Klien mengatakan mengalami batuk
Data obyektif:
Terlihat ada sesak napas.
Terdapat penggunaan otot bantu napas.
Frekuensi tidak berada pada batas normal yaitu pada bayi >30 4
x/mnt
dan pada anak-anak > 20-26 x/menit.
Klien terlihat batuk.
7) Keamanan
Data Subyektif :
Klien mengatakan merasa cemas
Data obyektif:
Klien tampak gelisah
8) Interaksi sosial
Data Subyektif:
Klien mengatakan suaranya serak
Klien mengatakan agak susah berbicara dengan orang lain karena
suaranya tidak jelas terdengar.
Data obyektif:
Suara klien terdengar serak
Suara klien tidak terdengar jelas.
9) Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Keadaan umum ini dapat meliputi kesan
keadaan sakit termasuk ekspresi wajah dan posisi pasien,
kesadaran yang dapat meliputi penilaian secara kualitatif seperti
compos mentis, apathis, somnolent, sopor, koma dan delirium.
10) Pemeriksaan tanda vital : Meliputi nadi (frekuensi, irama,
kualitas), tekanan darah, pernafasan (frekuensi, irama, kedalaman,
pola pernafasan) dan suhu tubuh.
11) Pemeriksaan kulit, rambut dan kelenjar getah bening. Kulit :
Warna (meliputi pigmentasi, sianosis, ikterus, pucat, eritema dan
lain-lain), turgor, kelembaban kulit dan ada/tidaknya edema.
Rambut : Dapat dinilai dari warna, kelebatan, distribusi dan
karakteristik lain. Kelenjar getah bening : Dapat dinilai dari
bentuknya serta tanda-tanda radang yang dapat dinilai di daerah
servikal anterior, inguinal, oksipital dan retroaurikuler.
12) Pemeriksaan kepala dan leher Kepala : Dapat dinilai dari bentuk
dan ukuran kepala, rambut dan kulit kepala, ubun-ubun
(fontanel), wajahnya asimetris atau ada/tidaknya pembengkakan,
mata dilihat dari visus, palpebrae, alis bulu mata, konjungtiva,
sklera, pupil, lensa, pada bagian telinga dapat dinilai pada daun
telinga, liang telinga, membran timpani, mastoid, ketajaman
pendengaran, hidung dan mulut ada tidaknya trismus (kesukaran
membuka mulut), bibir, gusi, ada tidaknya tanda radang, lidah,
salivasi. Leher : Kaku kuduk, ada tidaknya massa di leher, dengan
ditentukan ukuran, bentuk, posisi, konsistensi dan ada tidaknya
nyeri telan
13) Pemeriksaan dada : Yang diperiksa pada pemeriksaan dada adalah
organ paru dan jantung. Secara umum ditanyakan bentuk
dadanya, keadaan paru yang meliputi simetris apa tidaknya,
pergerakan nafas, ada/tidaknya fremitus suara, krepitasi serta
dapat dilihat batas pada saat perkusi didapatkan bunyi perkusinya,
bagaimana(hipersonor atau timpani), apabila udara di paru atau
pleura bertambah, redup atau pekak, apabila terjadi konsolidasi
jarngan paru, dan lain-lain serta pada saat auskultasi paru dapat
ditentukan suara nafas normal atau tambahan seperti ronchi,
basah dan kering, krepitasi, bunyi gesekan dan lain-lai pada
daerah lobus kanan atas, lobus kiri bawah, kemudian pada
pemeriksaan jantung dapat diperiksa tentang denyut apeks/iktus
kordis dan aktivitas ventrikel, getaran bising (thriil), bunyi
jantung, atau bising jantung dan lain-lain
14) Pemeriksaan abdomen : data yang dikumpulkan adalah data
pemeriksaan tentang ukuran atau bentuk perut, dinding perut,
bising usus, adanya ketegangan dinding perut atau adanya nyeri
tekan serta dilakukan palpasi pada organ hati, limpa, ginjal,
kandung kencing yang ditentukan ada tidaknya dan pembesaran
pada organ tersebut, kemudian pemeriksaan pada daerah anus,
rektum serta genetalianya
15) Pemeriksaan anggota gerak dan neurologis : diperiksa adanya
rentang gerak, keseimbangan dan gaya berjalan, genggaman
tangan, otot kaki, dan lain-lain.
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Nyeri Akut
b. Ketidakefektifan pola nafas
c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
d. Kekurangan volume cairan
e. Intoleransi Aktivitas
f. Gangguan Pola Tidur
g. Ansietas

Anda mungkin juga menyukai