REFLUX DISEASE
A. KONSEP DASAR MEDIS
1. DEFINISI
Gastroesophageal reflux disease adalah suatu keadaan patologis
sebagai akibat refluks kandungan lambung kedalam esofagus, dengan
berbagai gejala yang timbul akibat keterlibatan esofagus,faring,laring dan
saluran nafas. (Aru W. Sudoyo, 2015 )
GERD adalah kembalinya isi lambung kedalam esofagus dengan cara
pasif yang disebabkan oleh hipotoni sfingter esofagus bagian bawah,posisi
abnormal sambungan esofagus dengan kardia. atau pengososngan isi
lambung yang lambat (Arief Mansjoer,2015 ).
Gastroesophageal reflux adalah masuknya isi lambung ke dalam
esofagus yang terjadi secara intermiten pada seseorang, terutama setelah
makan ( Asroel, 2016).
Refluks gastroesofagus merupakan kembalinya isi lambung ke
esophagus atau lebih proksimal. Isi lambung tersebut dapat berupa asam
lambung, udara maupun makanan ( Resto, 2015).
Jadi, dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Gastroesophageal
Reflux Disease (GERD) adalah suatu keadaan patologis yang disebabkan
oleh kegagalan dari mekanisme anti reflux ,hipotoni sfingter esophagus
bagian bawah, posisi abnormal sambungan esofagus dengan kardia atau
pengososngan isi lambung yang lambat untuk melindungi mukosa
eshopagus terhadap reflux asam lambung dengan kadar yang abnormal
dan paparan yang berulang dan dengan berbagai gejala yang timbul akibat
keterlibatan esofagus,faring,laring dan saluran nafas, yang terjadi secara
intermiten terutama setelah makan, dan isi lambung tersebut dapat berupa
asam lambung, udara maupun makanan.
2. ETIOLOGI
1) Membran sel
5. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan
standar baku untuk diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal
break di esophagus (esofagitis refluks). Jika tidak ditemukan mucosal
break pada pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas pada
pasien dengan gejala khas GERD, keadaan ini disebut non-erosive
reflux disease (NERD).
b. Esofagografi dengan barium
Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka dan
seringkali tidak menunjukkan kelainan, terutama pada kasus esofagitis
ringan. Pada keadaan yang lebih berat, gambar radiology dapat berupa
penebalan dinding dan lipatan mukosa, ulkus, atau penyempitan
lumen. Walaupun pemeriksaan ini sangat tidak sensitive untuk
diagnosis GERD, namun pada keadaan tertentu pemeriksaan ini
mempunyai nilai lebih dari endoskopi, yaitu pada stenosis esophagus
derajat ringan akibat esofagitis peptic dengan gejala disfagia, dan pada
hiatus hernia.
c. Monitoring pH 24 jam
Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian
distal esophagus. Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan
menempatkan mikroelektroda pH pada bagian distal esophagus.
Pengukuran pH pada esophagus bagian distal dapat memastikan ada
tidaknya refluks gastroesofageal. pH dibawah 4 pada jarak 5 cm di atas
LES dianggap diagnostik untuk refluks gastroesofageal.
d. Tes Perfusi Berstein
Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang
transnasal dan melakukan perfusi bagian distal esophagus dengan HCl
0,1 M dalam waktu kurang dari 1 jam. Tes ini bersifat pelengkap
terhadap monitoring pH 24 jam pada pasien-pasien dengan gejala yang
tidak khas. Bila larutan ini menimbulkan rasa nyeri dada seperti yang
biasanya dialami pasien, sedangkan larutan NaCl tidak menimbulkan
rasa nyeri, maka test ini dianggap positif. Test Bernstein yang negative
tidak menyingkirkan adanya nyeri yang berasal dari esophagus.
e. Manometri esofagus
Mengukuran tekanan pada katup kerongkongan bawah
menunjukan kekuatannya dan dapat membedakan katup yang normal
dari katup yang berfungsi buruk kekuatan sphincter
6. KOMPLIKASI
a. Esofagitis ulseratif
b. Esofagus barrett’s : yaitu perubahan epitel skuamosa menjadi
kolumner metaplastik.
c. Gagal tumbuh (failur to thrive)
d. Perdarahan saluran cerna akibat iritasi
e. Aspirasi.
7. PENATALAKSANAAN
Pada prinsipnya, penatalaksanaan GERD terdiri dari modifikasi gaya
hidup, terapi medikamentosa, terapi bedah serta akhir-akhir ini mulai
dilakukan terapi endoskopik.
Target penatalaksanaan GERD adalah menyembuhkan lesi esophagus,
menghilangkan gejala/keluhan, mencegah kekambuhan, memperbaiki
kualitas hidup, dan mencegah timbulnya komplikasi.
a. Modifikasi gaya hidup
Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu bagian dari
penatalaksanaan GERD, namun bukan merupakan pengobatan primer.
Walaupun belum ada studi yang dapat memperlihatkan kemaknaannya,
namun pada dasarnya usaha ini bertujuan untuk mengurangi frekuensi
refluks serta mencegah kekambuhan.
Hal-hal yang perlu dilakukan dalam modifikasi gaya hidup adalah
meninggikan posisi kepala pada saat tidur serta menghindari makan
sebelum tidur dengan tujuan untuk meningkatkan bersihan asam
selama tidur serta mencegah refluks asam dari lambung ke esophagus,
berhenti merokok dan mengkonsumsi alkohol karena keduanya dapat
menurunkan tonus LES sehingga secara langsung mempengaruhi sel-
sel epitel, mengurangi konsumsi lemak serta mengurangi jumlah
makanan yang dimakan karena keduanya dapat menimbulkan distensi
lambung, menurunkan berat badan pada pasien kegemukan serta
menghindari pakaian ketat sehingga dapat mengurangi tekanan
intraabdomen, menghindari makanan/minuman seperti coklat, teh,
peppermint, kopi dan minuman bersoda karena dapat menstimulasi
sekresi asam, jikan memungkinkan menghindari obat-obat yang dapat
menurunkan tonus LES seperti antikolinergik, teofilin, diazepam,
opiate, antagonis kalsium, agonis beta adrenergic, progesterone.
b. Terapi medikamentosa
Terdapat berbagai tahap perkembangan terapi medikamentosa pada
penatalaksanaan GERD ini. Dimulai dengan dasar pola pikir bahwa
sampai saat ini GERD merupakan atau termasuk dalam kategori
gangguan motilitas saluran cerna bagian atas. Namun dalam
perkembangannya sampai saat ini terbukti bahwa terapi supresi asam
lebih efektif daripada pemberian obat-obat prokinetik untuk
memperbaiki gangguan motilitas.
Terdapat dua alur pendekatan terapi medikamentosa, yaitu step up
dan step down. Pada pendekatan step up pengobatan dimulai dengan
obat-obat yang tergolong kurang kuat dalam menekan sekresi asam
(antagonis reseptor H2) atau golongan prokinetik, bila gagal diberikan
obat golongan penekan sekresi asam yang lebih kuat dengan masa
terapi lebih lama (penghambat pompa proton/PPI). Sedangkan pada
pendekatan step down pengobatan dimulai dengan PPI dan setelah
berhasil dapat dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan dengan
menggunakan dosis yang lebih rendah atau antagonis reseptor H2 atau
prokinetik atau bahkan antacid.
Dari berbagai studi, dilaporkan bahwa pendekatan terapi step down
ternyata lebih ekonomis (dalam segi biaya yang dikeluarkan oleh
pasien) dibandingkan dengan pendekatan terapi step up.
Menurut Genval Statement (2015) serta Konsensus Asia Pasifik
tentang penatalaksanaan GERD (2016) telah disepakati bahwa terapi
lini pertama untuk GERD adalah golongan PPI dan digunakan
pendekatan terapi step down.
Pada umumnya studi pengobatan memperlihatkan hasil tingkat
kesembuhan diatas 80% dalam waktu 6-8 minggu. Untuk selanjutnya
dapat diteruskan dengan terapi pemeliharaan (maintenance therapy)
atau bahkan terapi “bila perlu” (on-demand therapy) yaitu pemberian
obat-obatan selama beberapa hari sampai dua minggu jika ada
kekambuhan sampai gejala hilang.
Pada berbagai penelitian terbukti bahwa respons perbaikan gejala
menandakan adanya respons perbaikan lesi organiknya (perbaikan
esofagitisnya). Hal ini tampaknya lebih praktis bagi pasien dan cukup
efektif dalam mengatasi gejala pada tatalaksana GERD.
Berikut adalah obat-obatan yang dapat digunakan dalam terapi
medikamentosa GERD :
1) Antasid
Golongan obat ini cukup efektif dan aman dalam menghilangkan
gejala GERD tetapi tidak menyembuhkan lesi esofagitis. Selain
sebagai buffer terhadap HCl, obat ini dapat memperkuat tekanan
sfingter esophagus bagian bawah. Kelemahan obat golongan ini
adalah rasanya kurang menyenangkan, dapat menimbulkan diare
terutama yang mengandung magnesium serta konstipasi terutama
antasid yang mengandung aluminium, penggunaannya sangat
terbatas pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
2) Antagonis reseptor H2
Golongan obat ini adalah simetidin, ranitidine, famotidin, dan
nizatidin. Sebagai penekan sekresi asam, golongan obat ini efektif
dalam pengobatan penyakit refluks gastroesofageal jika diberikan
dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis untuk terapi ulkus. Golongan
obat ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat ringan
sampai sedang serta tanpa komplikasi.
3) Obat-obatan prokinetik
Secara teoritis, obat ini paling sesuai untuk pengobatan GERD
karena penyakit ini lebih condong kearah gangguan motilitas.
Namun, pada prakteknya, pengobatan GERD sangat bergantung
pada penekanan sekresi asam.
4) Metoklopramid
Obat ini bekerja sebagai antagonis reseptor dopamine.
Efektivitasnya rendah dalam mengurangi gejala serta tidak
berperan dalam penyembuhan lesi di esophagus kecuali dalam
kombinasi dengan antagonis reseptor H2 atau penghambat pompa
proton. Karena melalui sawar darah otak, maka dapat timbul efek
terhadap susunan saraf pusat berupa mengantuk, pusing, agitasi,
tremor, dan diskinesia.
5) Domperidon
Golongan obat ini adalah antagonis reseptor dopamine dengan
efek samping yang lebih jarang disbanding metoklopramid karena
tidak melalui sawar darah otak.
Walaupun efektivitasnya dalam mengurangi keluhan dan
penyembuhan lesi esophageal belum banyak dilaporkan,
golongan obat ini diketahui dapat meningkatkan tonus LES serta
mempercepat pengosongan lambung.
6) Cisapride
Sebagai suatu antagonis reseptor 5 HT4, obat ini dapat
mempercepat pengosongan lambung serta meningkatkan tekanan
tonus LES. Efektivitasnya dalam menghilangkan gejala serta
penyembuhan lesi esophagus lebih baik dibandingkan dengan
domperidon.
7) Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat)
Berbeda dengan antasid dan penekan sekresi asam, obat ini tidak
memiliki efek langsung terhadap asam lambung. Obat ini bekerja
dengan cara meningkatkan pertahanan mukosa esophagus,
sebagai buffer terhadap HCl di eesofagus serta dapat mengikat
pepsin dan garam empedu. Golongan obat ini cukup aman
diberikan karena bekerja secara topikal (sitoproteksi).
8) Penghambat pompa proton (Proton Pump Inhhibitor/PPI)
Golongan obat ini merupakan drug of choice dalam pengobatan
GERD. Golongan obat-obatan ini bekerja langsung pada pompa
proton sel parietal dengan mempengaruhi enzim H, K ATP-ase
yang dianggap sebagai tahap akhir proses pembentukan asam
lambung.
Obat-obatan ini sangat efektif dalam menghilangkan keluhan
serta penyembuhan lesi esophagus, bahkan pada esofagitis erosive
derajat berat serta yang refrakter dengan golongan antagonis
reseptor H2.
Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi
inisial) yang dapat dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan
(maintenance therapy) selama 4 bulan atau on-demand therapy,
tergantung dari derajat esofagitisnya.
Pembedahan dapat mengurangi peradangan berat, perdarahan,
penyempitan, tukak atau gejala yang tidak menunjukkan
perbaikan dengan pengobatan apapun. Namun tindakan
pembedahan jarang dilakukan
9) Terapi endoskopi :
Walaupun laporannya masih terbatas serta msih dalam konteks
penelitian, akhir-akhir ini mulai dikembangkan pilihan terapi
endoskopi pada GERD yaitu :
a) Penggunaan energi radiofrekuensi
b) Implantasi endoskopis, yaitu dengan menyuntikkan zat
implan di bawah mukosa esophagus bagian distal, sehingga
lumen esophagus bagian distal menjadi lebih kecil.