Anda di halaman 1dari 17

Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan

GASTROESOPHAGEALREFLUX DISEASE (GERD)



KONSEP DASAR PENYAKIT GASTROESOPHAGEAL REFLUX
DISEASE (GERD)


DEFINISI
1) Gastroesophageal reflux disease adalah gerakan terbalik pada makanan dan
asam lambung menuju kerongkongan dan kadangkala menuju mulut. Reflux
terjadi ketika otot berbentuk cincin yang secara normal mencegah isi perut
mengalir kembali menuju kerongkongan (esophageal sphincter bagian bawah)
tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
2) GERD adalah suatu kondisi di mana cairan lambung mengalami refluks ke
esofagus sehingga menimbulkan gejala khas berupa rasa terbakar, nyeri di dada,
regurgitasi dan komplikasi.
3) Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) adalah suatu keadaan patologis yang
disebabkan oleh kegagalan dari mekanisme antireflux untuk melindungi mukosa
esophagus terhadap refluks asam lambung dengan kadar yang abnormal dan
paparan yang berulang.

2. ETIOLOGI
Beberapa penyebab terjadinya GERD meliputi:
1) Menurunnya tonus LES (lower esophageal spinchter)
2) Bersihan asam dari lumen esophagus menurun
3) Ketahanan epitel esophagus menurun
4) Bahan refluksat mengenai dinding esophagus yaitu : PH<2, adanya pepsin,
garam empedu, HCl
5) Kelainan pada lambung (delayed gastric emptying)
6) Infeksi H. pylori dengan corpus predominan gastritis
7) Non acid refluks (refluks gas) menyebabkan hipersensitivitas visceral
8) Alergi makanan atau tidak bisa menerima makanan juga membuat refluks,
tetapi hal ini adalah penyebab yang kurang sering terjadi.
9) Mengonsumsi makanan berasam, coklat, minuman berkafein dan berkarbonat,
alkohol, merokok tembakau, dan obat-obatan yang bertentangan dengan fungsi
esophageal sphincter bagian bawah termasuk apa yang memiliki efek
antikolinergik (seperti berbagai antihistamin dan beberapa antihistamin),
penghambat saluran kalsium, progesteron, dan nitrat.
10) Alergi makanan atau tidak bisa menerima makanan juga membuat refluks, tetapi
hal ini adalah penyebab yang kurang sering terjadi.
11) Kelainan anatomi, seperti penyempitan kerongkongan

3. PATOFISIOLOGI
GERD terjadi karena beberapa factor seperti Hiatus hernia, pendeknya LES,
penggunaan obat-obatan, faktor hormonal yang menyebabkan penurunan tonus
LES dan terjadi relaksasi abnormal LES sehingga timbul GERD. Hiatus hernia
juga menyebabkan bagian dari lambung atas yang terhubung dengan esophagus
akan mendorong ke atas melalui diafragma sehingga terjadi penurunan tekanan
penghambat refluks dan timbul GERD. Selain itu, GERD juga terjadi karena
penurunan peristaltic esophagus dimana terjadi penurunan kemampuan untuk
mendorong asam refluks kembali ke lambung, kelemahan kontraksi LES dimana
terjadi penurunan kemampuan mencegah refluks, penurunan pengosongan
lambung dimana terjadi memperlambat distensi lambung, dan infeksi H. Pilory
dan korpus pedominas gastritis. GERD dapat menimbulkan perangsangan nervus
pada esophagus oleh cairan refluks mengakibatkan nyeri akut. Selain itu GRED
menyebabkan kerusakan sel skuamosa epitel yang melapisi esophagus sehingga
terjadi nyeri akut, gangguan menelan, dan bersihan jalan nafas tidak efektif.
Gangguan nervus yang mengatur pernafasan juga disebabkan oleh GERD
sehingga timbul pola nafas tidak efektif. Disamping itu GERD menyebabkan
refluks cairan masuk ke laring dan tenggorokan, terjadi resiko aspirasi dan jika
teraspirasi maka timbul masalah bersihan jalan nafas tidak efektif. GERD dapat
menyebabkan refluks asam lambung dari lambung ke esophagus sehingga timbul
odinofagia, merangsang pusat mual di hipotalamus, cairan terasa pada mulut,
aliran balik dalam jumlah banyak sehingga terjadi penurunan nafsu makan dan
timbul ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan.

Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high pressure
zone) yang dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal sphincter (LES). Pada
individu normal, pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada saat terjadinya
aliran antegrad yang terjadi pada saat menelan, atau aliran retrograd yang terjadi
pada saat sendawa atau muntah. Aliran balik dari gaster ke esophagus melalui
LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak ada atau sangat rendah (< 3 mmHg).
Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme:
a. Refluks spontan pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat
b. Aliran retrograde yang mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan
c. Meningkatnya tekanan intraabdominal
Dengan demikian dapat diterangkan bahwa patogenesis terjadinya GERD
menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari esophagus dan faktor
ofensif dari bahan refluksat. Yang termasuk faktor defensif esophagus, adalah
pemisah antirefluks (lini pertama), bersihan asam dari lumen esophagus (lini
kedua), dan ketahanan epithelial esophagus (lini ketiga). Sedangkan yang
termasuk faktor ofensif adalah sekresi gastrik dan daya pilorik.

a. Pemisah antirefluks
Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES. Menurunnya tonus LES
dapat menyebabkan timbulnya refluks retrograde pada saat terjadinya
peningkatan tekanan intraabdomen.
Sebagian besar pasien GERD ternyata mempunyai tonus LES yang normal.
Faktor-faktor yang dapat menurunkan tonus LES adalah adanya hiatus hernia,
panjang LES (makin pendek LES, makin rendah tonusnya), obat-obatan (misal
antikolinergik, beta adrenergik, teofilin, opiate, dll), dan faktor hormonal. Selama
kehamilan, peningkatan kadar progesteron dapat menurunkan tonus LES.
Namun dengan perkembangan teknik pemeriksaan manometri, tampak bahwa
pada kasus-kasus GERD dengan tonus LES yang normal yang berperan dalam
terjadinya proses refluks ini adalah transient LES relaxation (TLESR), yaitu
relaksasi LES yang bersifat spontan dan berlangsung lebih kurang 5 detik tanpa
didahului proses menelan. Belum diketahui bagaimana terjadinya TLESR ini,
tetapi pada beberapa individu diketahui ada hubungannya dengan pengosongan
lambung yang lambat (delayed gastric emptying) dan dilatasi lambung.
Peranan hiatus hernia pada patogenesis terjadinya GERD masih kontroversial.
Banyak pasien GERD yang pada pemeriksaan endoskopi ditemukan hiatus
hernia, namun hanya sedikit yang memperlihatkan gejala GERD yang signifikan.
Hiatus hernia dapat memperpanjang waktu yang dibutuhkan untuk bersihan asam
dari esophagus serta menurunkan tonus LES.
b. Bersihan asam dari lumen esophagus
Faktor-faktor yang berperan dalam bersihan asam dari esophagus adalah
gravitasi, peristaltik, ekskresi air liur, dan bikarbonat.
Setelah terjadi refluks, sebagian besar bahan refluksat akan kembali ke lambung
dengan dorongan peristaltic yang dirangsang oleh proses menelan. Sisanya akan
dinetralisir oleh bikarbonat yang disekresi oleh kelenjar saliva dan kelenjar
esophagus.
Mekanisme bersihan ini sangat penting, karena makin lama kontak antara bahan
refluksat dengan esophagus (waktu transit esophagus) makin besar kemungkinan
terjadinya esofagitis. Pada sebagian besar pasien GERD ternyata memiliki waktu
transit esophagus yang normal sehingga kelainan yang timbul disebabkan karena
peristaltic esophagus yang minimal.
Refluks malam hari (nocturnal reflux) lebih besar berpotensi menimbulkan
kerusakan esophagus karena selama tidur sebagian besar mekanisme bersihan
esophagus tidak aktif.
c. Ketahanan epithelial esophagus
Berbeda dengan lambung dan duodenum, esophagus tidak memiliki lapisan
mukus yang melindungi mukosa esophagus. Mekanisme ketahanan epithelial
esophagus terdiri dari :
Membran sel
Batas intraselular (intracellular junction) yang membatasi difusi H+ ke jaringan
esophagus
Aliran darah esophagus yang mensuplai nutrien, oksigen, dan bikarbonat, serta
mengeluarkan ion H+ dan CO2
Sel-sel esophagus memiliki kemampuan untuk mentransport ion H+ dan Cl-
intraseluler dengan Na+ dan bikarbonat ekstraseluler.
Nikotin dapat menghambat transport ion Na+ melalui epitel esophagus,
sedangkan alcohol dan aspirin meningkatkan permeabilitas epitel terhadap ion H.
Yang dimaksud dengan faktor ofensif adalah potensi daya rusak refluksat.
Kandungan lambung yang menambah potensi daya rusak refluksat terdiri dari
HCl, pepsin, garam empedu, dan enzim pancreas.
Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung dari bahan yang dikandungnya.
Derajat kerusakan mukosa esophagus makin meningkat pada pH < 2, atau adanya
pepsin atau garam empedu. Namun dari kesemuanya itu yang memiliki potensi
daya rusak paling tinggi adalah asam.
Faktor-faktor lain yang berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah kelainan
di lambung yang meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara lain dilatasi
lambung, atau obstruksi gastric outlet dan delayed gastric emptying.
Peranan infeksi helicobacter pylori dalam patogenesis GERD relatif kecil dan
kurang didukung oleh data yang ada. Namun demikian ada hubungan terbalik
antara infeksi H. pylori dengan strain yang virulens (Cag A positif) dengan
kejadian esofagitis, Barretts esophagus dan adenokarsinoma esophagus.
Pengaruh dari infeksi H. pylori terhadap GERD merupakan konsekuensi logis
dari gastritis serta pengaruhnya terhadap sekresi asam lambung. Pengaruh
eradikasi infeksi H. pylori sangat tergantung kepada distribusi dan lokasi gastritis.
Pada pasien-pasien yang tidak mengeluh gejala refluks pra-infeksi H. pylori
dengan predominant antral gastritis, pengaruh eradikasi H. pylori dapat menekan
munculnya gejala GERD. Sementara itu pada pasien-pasien yang tidak mengeluh
gejala refluks pra-infeksi H. pylori dengan corpus predominant gastritis, pengaruh
eradikasi H. pylori dapat meningkatkan sekresi asam lambung serta
memunculkan gejala GERD. Pada pasien-pasien dengan gejala GERD pra-infeksi
H. pylori dengan antral predominant gastritis, eradikasi H. pylori dapat
memperbaiki keluhan GERD serta menekan sekresi asam lambung. Sementara itu
pada pasien-pasien dengan gejala GERD pra-infeksi H. pylori dengan corpus
predominant gastritis, eradikasi H. pylori dapat memperburuk keluhan GERD
serta meningkatkan sekresi asam lambung. Pengobatan PPI jangka panjang pada
pasien-pasien dengan infeksi H. pylori dapat mempercepat terjadinya gastritis
atrofi. Oleh sebab itu, pemeriksaan serta eradikasi H. pylori dianjurkan pada
pasien GERD sebelum pengobatan PPI jangka panjang.
Non-acid reflux turut berperan dalam patogenesis timbulnya gejala GERD. Non-
acid reflux adalah berupa bahan refluksat yang tidak bersifat asam atau refluks
gas. Dalam keadaan ini, timbulnya gejala GERD diduga karena hipersensitivitas
visceral.
5. KLASIFIKASI
Kalsifikasi Los Angeles
Derajat
kerusakan
Gambaran endoskopi
A Erosi kecil-kecil pada mukosa esophagus
dengan diameter < 5 mm
B Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan
diameter > 5 mm tanpa saling berhubungan
C Lesi yang konfluen tetapi tidak
mengenai/mengelilingi seluruh lumen
D Lesi mukosa esophagus yang bersifat
sirkumferensial (mengelilingi seluruh lumen
esophagus)


6. MANIFESTASI KLINIS
1) Rasa panas/ tebakar pada esofagus (pirosis)
2) Muntah
3) Nyeri di belakang tulang payudara atau persis di bawahnya, bahkan menjalar ke
leher, tenggorokan, dan wajah, biasanya timbul setelah makan atau ketika
berbaring
4) Kesulitan menelan makanan (osinofagia) karena adanya penyempitan (stricture)
pada kerongkongan dari reflux.
5) Tukak esofageal peptik yaitu luka terbuka pada lapisan kerongkongan, bisa
dihasilkan dari refluks berulang. Bisa menyebabkan nyeri yang biasanya
berlokasi di belakang tulang payudara atau persis di bawahnya, mirip dengan
lokasi panas dalam perut.
6) Nafas yang pendek dan berbunyi mengik karena ada penyempitan pada saluran
udara
7) Suara parau
8) Ludah berlebihan (water brash)
9) Rasa bengkak pada tenggorokan (rasa globus)
10) Terjadi peradangan pada sinus (sinusitis)
11) Gejala lain : pertumbuhan yang buruk, kejang, nyeri telinga (pada anak)
12) Peradangan pada kerongkongan (esophagitis) bisa menyebabkan pendarahan
yang biasanya ringan tetapi bisa jadi besar. Darah kemungkinan dimuntahkan
atau keluar melalui saluran pencernaan, menghasilkan kotoran berwarna gelap,
kotoran berwarna ter (melena) atau darah merah terang, jika pendarahan cukup
berat.
13) Dengan iritasi lama pada bagian bawah kerongkongan dari refluks berulang,
lapisan sel pada kerongkongan bisa berubah (menghasilkan sebuah kondisi yang
disebut kerongkongan Barrett). Perubahan bisa terjadi bahkan pada gejala-gejala
yang tidak ada. Kelainan sel ini adalah sebelum kanker dan berkembang menjadi
kanker pada beberapa orang.

7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan standar baku untuk
diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal break di esophagus (esofagitis
refluks). Jika tidak ditemukan mucosal break pada pemeriksaan endoskopi
saluran cerna bagian atas pada pasien dengan gejala khas GERD, keadaan ini
disebut non-erosive reflux disease (NERD).

2) Esofagografi dengan barium
Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali
tidak menunjukkan kelainan, terutama pada kasus esofagitis ringan. Pada keadaan
yang lebih berat, gambar radiology dapat berupa penebalan dinding dan lipatan
mukosa, ulkus, atau penyempitan lumen. Walaupun pemeriksaan ini sangat tidak
sensitive untuk diagnosis GERD, namun pada keadaan tertentu pemeriksaan ini
mempunyai nilai lebih dari endoskopi, yaitu pada stenosis esophagus derajat
ringan akibat esofagitis peptic dengan gejala disfagia, dan pada hiatus hernia.
3) Monitoring pH 24 jam
Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal esophagus.
Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan mikroelektroda
pH pada bagian distal esophagus. Pengukuran pH pada esophagus bagian distal
dapat memastikan ada tidaknya refluks gastroesofageal. pH dibawah 4 pada jarak
5 cm di atas LES dianggap diagnostik untuk refluks gastroesofageal.
4) Tes Perfusi Berstein
Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang transnasal dan
melakukan perfusi bagian distal esophagus dengan HCl 0,1 M dalam waktu
kurang dari 1 jam. Tes ini bersifat pelengkap terhadap monitoring pH 24 jam
pada pasien-pasien dengan gejala yang tidak khas. Bila larutan ini menimbulkan
rasa nyeri dada seperti yang biasanya dialami pasien, sedangkan larutan NaCl
tidak menimbulkan rasa nyeri, maka test ini dianggap positif. Test Bernstein yang
negative tidak menyingkirkan adanya nyeri yang berasal dari esophagus.
5) Manometri esofagus : mengukuran tekanan pada katup kerongkongan bawah
menunjukan kekuatannya dan dapat membedakan katup yang normal dari katup
yang berfungsi buruk kekuatan sphincter

8. PEMERIKSAAN FISIK
Inspeksi :
a) Klien tampak muntah
b) Klien tampak lemah
c) Klien tampak batuk-batuk
d) Klien tampak memegang daerah yang nyeri
Auskultasi :
a) Suara terdengar serak
b) Bising usus <12 detik per menit
c) Suara jantung S1/S2 reguler


9. TERAPI/TINDAKAN PENANGANAN
Pada prinsipnya, penatalaksanaan GERD terdiri dari modifikasi gaya hidup,
terapi medikamentosa, terapi bedah serta akhir-akhir ini mulai dilakukan terapi
endoskopik.
Target penatalaksanaan GERD adalah menyembuhkan lesi esophagus,
menghilangkan gejala/keluhan, mencegah kekambuhan, memperbaiki kualitas
hidup, dan mencegah timbulnya komplikasi.
1. Modifikasi gaya hidup
Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu bagian dari penatalaksanaan GERD,
namun bukan merupakan pengobatan primer. Walaupun belum ada studi yang
dapat memperlihatkan kemaknaannya, namun pada dasarnya usaha ini bertujuan
untuk mengurangi frekuensi refluks serta mencegah kekambuhan.
Hal-hal yang perlu dilakukan dalam modifikasi gaya hidup adalah meninggikan
posisi kepala pada saat tidur serta menghindari makan sebelum tidur dengan
tujuan untuk meningkatkan bersihan asam selama tidur serta mencegah refluks
asam dari lambung ke esophagus, berhenti merokok dan mengkonsumsi alkohol
karena keduanya dapat menurunkan tonus LES sehingga secara langsung
mempengaruhi sel-sel epitel, mengurangi konsumsi lemak serta mengurangi
jumlah makanan yang dimakan karena keduanya dapat menimbulkan distensi
lambung, menurunkan berat badan pada pasien kegemukan serta menghindari
pakaian ketat sehingga dapat mengurangi tekanan intraabdomen, menghindari
makanan/minuman seperti coklat, teh, peppermint, kopi dan minuman bersoda
karena dapat menstimulasi sekresi asam, jikan memungkinkan menghindari obat-
obat yang dapat menurunkan tonus LES seperti antikolinergik, teofilin, diazepam,
opiate, antagonis kalsium, agonis beta adrenergic, progesterone.
2. Terapi medikamentosa
Terdapat berbagai tahap perkembangan terapi medikamentosa pada
penatalaksanaan GERD ini. Dimulai dengan dasar pola pikir bahwa sampai saat
ini GERD merupakan atau termasuk dalam kategori gangguan motilitas saluran
cerna bagian atas. Namun dalam perkembangannya sampai saat ini terbukti
bahwa terapi supresi asam lebih efektif daripada pemberian obat-obat prokinetik
untuk memperbaiki gangguan motilitas.
Terdapat dua alur pendekatan terapi medikamentosa, yaitu step up dan step down.
Pada pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat-obat yang tergolong
kurang kuat dalam menekan sekresi asam (antagonis reseptor H2) atau golongan
prokinetik, bila gagal diberikan obat golongan penekan sekresi asam yang lebih
kuat dengan masa terapi lebih lama (penghambat pompa proton/PPI). Sedangkan
pada pendekatan step down pengobatan dimulai dengan PPI dan setelah berhasil
dapat dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan dengan menggunakan dosis yang
lebih rendah atau antagonis reseptor H2 atau prokinetik atau bahkan antacid.
Dari berbagai studi, dilaporkan bahwa pendekatan terapi step down ternyata lebih
ekonomis (dalam segi biaya yang dikeluarkan oleh pasien) dibandingkan dengan
pendekatan terapi step up.
Menurut Genval Statement (1999) serta Konsensus Asia Pasifik tentang
penatalaksanaan GERD (2003) telah disepakati bahwa terapi lini pertama untuk
GERD adalah golongan PPI dan digunakan pendekatan terapi step down.
Pada berbagai penelitian terbukti bahwa respons perbaikan gejala menandakan
adanya respons perbaikan lesi organiknya (perbaikan esofagitisnya). Hal ini
tampaknya lebih praktis bagi pasien dan cukup efektif dalam mengatasi gejala
pada tatalaksana GERD.
Berikut adalah obat-obatan yang dapat digunakan dalam terapi medikamentosa
GERD :
Antasid
Golongan obat ini cukup efektif dan aman dalam menghilangkan gejala GERD
tetapi tidak menyembuhkan lesi esofagitis. Selain sebagai buffer terhadap HCl,
obat ini dapat memperkuat tekanan sfingter esophagus bagian bawah. Kelemahan
obat golongan ini adalah rasanya kurang menyenangkan, dapat menimbulkan
diare terutama yang mengandung magnesium serta konstipasi terutama antasid
yang mengandung aluminium, penggunaannya sangat terbatas pada pasien
dengan gangguan fungsi ginjal.
Antagonis reseptor H2
Yang termasuk dalam golongan obat ini adalah simetidin, ranitidine, famotidin,
dan nizatidin. Sebagai penekan sekresi asam, golongan obat ini efektif dalam
pengobatan penyakit refluks gastroesofageal jika diberikan dosis 2 kali lebih
tinggi dan dosis untuk terapi ulkus. Golongan obat ini hanya efektif pada
pengobatan esofagitis derajat ringan sampai sedang serta tanpa komplikasi.
Obat-obatan prokinetik
Secara teoritis, obat ini paling sesuai untuk pengobatan GERD karena penyakit
ini lebih condong kearah gangguan motilitas. Namun, pada prakteknya,
pengobatan GERD sangat bergantung pada penekanan sekresi asam.
Metoklopramid
Obat ini bekerja sebagai antagonis reseptor dopamine. Efektivitasnya rendah
dalam mengurangi gejala serta tidak berperan dalam penyembuhan lesi di
esophagus kecuali dalam kombinasi dengan antagonis reseptor H2 atau
penghambat pompa proton. Karena melalui sawar darah otak, maka dapat timbul
efek terhadap susunan saraf pusat berupa mengantuk, pusing, agitasi, tremor, dan
diskinesia.
Domperidon
Golongan obat ini adalah antagonis reseptor dopamine dengan efek samping yang
lebih jarang disbanding metoklopramid karena tidak melalui sawar darah otak.
Walaupun efektivitasnya dalam mengurangi keluhan dan penyembuhan lesi
esophageal belum banyak dilaporkan, golongan obat ini diketahui dapat
meningkatkan tonus LES serta mempercepat pengosongan lambung.
Cisapride
Sebagai suatu antagonis reseptor 5 HT4, obat ini dapat mempercepat
pengosongan lambung serta meningkatkan tekanan tonus LES. Efektivitasnya
dalam menghilangkan gejala serta penyembuhan lesi esophagus lebih baik
dibandingkan dengan domperidon.
Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat)
Berbeda dengan antasid dan penekan sekresi asam, obat ini tidak memiliki efek
langsung terhadap asam lambung. Obat ini bekerja dengan cara meningkatkan
pertahanan mukosa esophagus, sebagai buffer terhadap HCl di eesofagus serta
dapat mengikat pepsin dan garam empedu. Golongan obat ini cukup aman
diberikan karena bekerja secara topikal (sitoproteksi).
Penghambat pompa proton (Proton Pump Inhhibitor/PPI)
Golongan obat ini merupakan drug of choice dalam pengobatan GERD.
Golongan obat-obatan ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal
dengan mempengaruhi enzim H, K ATP-ase yang dianggap sebagai tahap akhir
proses pembentukan asam lambung.
Obat-obatan ini sangat efektif dalam menghilangkan keluhan serta penyembuhan
lesi esophagus, bahkan pada esofagitis erosive derajat berat serta yang refrakter
dengan golongan antagonis reseptor H2.
Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial) yang dapat
dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan (maintenance therapy) selama 4 bulan
atau on-demand therapy, tergantung dari derajat esofagitisnya.

10. KOMPLIKASI
1) Erosif esofagus
2) Esofagus barretts
3) Striktur esofagus
4) Gagal tumbuh (failur to thrive)
5) Perdarahan saluran cerna akibat iritasi
6) Aspirasi


KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN GASTROESOPHAGEAL
REFLUX DISEASE
1. PENGKAJIAN
Pada pengkajian dilakukan wawancara dan pemeriksaan fisik untuk memperoleh
informasi dan data yang nantinya akan digunakan sebagai dasar untuk membuat
rencana asuhan keperawatan klien.
a. Keadaan Umum
Meliputi kondisi seperti tingkat ketegangan/kelelahan, tingkat kesadaran kualitatif
atau GCS dan respon verbal klien.
b. Tanda-tanda Vital
Meliputi pemeriksaan:
Tekanan darah: sebaiknya diperiksa dalam posisi yang berbeda, kaji tekanan nadi,
dan kondisi patologis.
Pulse rate
Respiratory rate
Suhu
c. Riwayat penyakit sebelumnya
Ditanyakan apakah sebelumnya klien pernah menderita penyakit paru yang dapat
menjadi predisposisi GERD.
d. Pola Fungsi Keperawatan
1. Aktivitas dan istirahat
Data Subyektif:
Klien mengatakan agak sulit beraktivitas karena nyeri di daerah epigastrium,
seperti terbakar.
Data obyektif :
Tidak terjadi perubahan tingkat kesadaran.
Tidak terjadi perubahan tonus otot.
2. Sirkulasi
Data Subyektif:
Klien mengatakan bahwa ia tidak mengalami demam.
Data Obyektif:
Suhu tubuh normal (36,5-37,5
o
C)
Kadar WBC meningkat.
3. Eliminasi
Data Subyektif:
Klien mengatakan tidak mengalami gangguan eliminasi.
Data obyektif
Bising usus menurun (<12x/menit)
4. Makan/ minum
Data Subyektif:
Klien mengatakan mengalami mual muntah.
Klien mengatakan tidak nafsu makan.
Klien mengatakan susah menelan.
Klien mengatakan ada rasa pahit di lidah.
Data Obyektif:
Klien tampak tidak memakan makanan yang disediakan.
5. Sensori neural
Data Subyektif:
Klien mengatakan ada rasa pahit di lidah.
Data obyektif:
Status mental baik.
6. Nyeri / kenyamanan
Data Subyektif:
Klien mengatakan mengalami nyeri pada daerah epigastrium.
P : nyeri terjadi akibat perangsangan nervus pada esophagus oleh
cairan refluks.
Q : klien mengatakan nyeri terasa seperti terbakar
R : klien mengatakan nyeri terjadi pada daerah epigastrium.
S : klien mengatakan skala nyeri 1-10.
T : klien mengatakan nyerinya terjadi pada saat menelan makanan. Nyeri pada dada
menetap.
Data Obyektif:
Klien tampak meringis kesakitan.
Klien tampak memegang bagian yang nyeri.
Tekanan darah klien meningkat
Klien tampak gelisah
7. Respirasi
Data Subyektif :
Klien mengatakan bahwa ia mengalami sesak napas.
Klien mengatakan mengalami batuk
Data obyektif:
Terlihat ada sesak napas.
Terdapat penggunaan otot bantu napas.
Frekuensi tidak berada pada batas normal yaitu pada bayi >30-40 x/mnt dan
pada anak-anak > 20-26 x/menit..
Klien terlihat batuk.
8. Keamanan
Data Subyektif :
Klien mengatakan merasa cemas
Data obyektif:
Klien tampak gelisah
9. Interaksi sosial
Data Subyektif:
Klien mengatakan suaranya serak
Klien mengatakan agak susah berbicara dengan orang lain karena suaranya
tidak jelas terdengar.
Data obyektif:
Suara klien terdengar serak
Suara klien tidak terdengar jelas.

e. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi :
Klien tampak muntah
Klien tampak lemah
Klien tampak batuk-batuk
Klien tampak memegang daerah yang nyeri
Auskultasi :
Suara terdengar serak
a. Bising usus menurun <12x/menit
b. Suara jantung S1/S2 reguler

f. Pemeriksaan Diagnostik dan Penunjang
1. Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan standar baku untuk
diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal break di esophagus (esofagitis
refluks). Jika tidak ditemukan mucosal break pada pemeriksaan endoskopi
saluran cerna bagian atas pada pasien dengan gejala khas GERD, keadaan ini
disebut non-erosive reflux disease (NERD).
2. Esofagografi dengan barium
Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali
tidak menunjukkan kelainan, terutama pada kasus esofagitis ringan. Pada keadaan
yang lebih berat, gambar radiology dapat berupa penebalan dinding dan lipatan
mukosa, ulkus, atau penyempitan lumen. Walaupun pemeriksaan ini sangat tidak
sensitive untuk diagnosis GERD, namun pada keadaan tertentu pemeriksaan ini
mempunyai nilai lebih dari endoskopi, yaitu pada stenosis esophagus derajat
ringan akibat esofagitis peptic dengan gejala disfagia, dan pada hiatus hernia.
3. Monitoring pH 24 jam
Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal esophagus.
Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan mikroelektroda
pH pada bagian distal esophagus. Pengukuran pH pada esophagus bagian distal
dapat memastikan ada tidaknya refluks gastroesofageal. pH dibawah 4 pada jarak
5 cm di atas LES dianggap diagnostik untuk refluks gastroesofageal.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri Akut berhubungan dengan agen cidera ditandai dengan klien melaporkan
nyeri secara verbal, klien tampak meringis kesakitan, tampak gelisah, klien
tampak nyeri,klien memegangi bagian yang nyeri.
2. Risiko aspirasi berhubungan dengan gangguan menelan, penurunan refleks
laring dan glotis terhadap cairan refluks.
3. Gangguan Menelan berhubungan dengan reflux disease ditandai dengan
terlihat bukti kesulitan dalam menelan.
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketidakmampuan menelan makanan ditandai dengan klien menghindari makan,
kurang minat terhadap makanan, mengeluh gangguan sensasi rasa, pasien mual
muntah


4. EVALUASI
1. Klien melaporkan nyeri hilang, dapat dikontrol atau berkurang, klien
mengatakan nyeri berkurang (skala nyeri 1-2), hilang (skala nyeri 0), atau dapat
dikontrol, klien tampak rileks, TTV dalam rentang normal ( RR pada bayi =30-
40x/menit dan pada anak-anak = 20-26x/menit, nadi = 80-100 x/menit, suhu 36-
37 derajat celcius, tekanan darah pada bayi = 70-90/50 mmHg dan pada anak-
anak = 80-100/60 mmHg), Klien tampak tidak meringis kesakitan.
2. Aspirasi tidak terjadi, klien tidak mengalami aspirasi.
3. Gangguan menelan dapat teratasi, tidak teramati adanya kesulitan saat menelan,
tidak terjadi statis makanan di rongga mulut klien, klien tidak tersedak setelah
makan/minum.



DAFTAR PUSTAKA

1. Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Alih bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8.
Jakarta : EGC; 2001.
2. Gastroesophageal Reflux in Infants.
http://www.rch.org.au/clinicalguide/cpg.cfm?doc_id=9746 Diakses tanggal 10
Juli 2007
3. Gastroesophageal Reflux in Infants.
http://digestive.niddk.nih.gov/ddiseases/pubs/gerdinfant/index.htm Diakses
tanggal 10 Juli 2007
4. Gastroesophageal Reflux in Children and Adolescents
http://digestive.niddk.nih.gov/ddiseases/pubs/gerinchildren/index.htm Diakses
tanggal 10 Juli 2007
5. Nanda international (2010). Nursing diagnosis; definition and classification 2009
2011. EGC, Jakarta
6. Nursing interventions classification (NIC) edisi 4. Mosby. United states of
America
7. Nursing Outcomes classification (NOC) edisi 4. Mosby. United states of America

Anda mungkin juga menyukai