Anda di halaman 1dari 36

ASUHAN KEPERAWATAN GASTROESOPHAGEAL

REFLUX DISEASE (GERD) PADA ANAK

SGD 4

I GEDE WIRANATA (0802105008)


NI KADEK WIRA ADNYANI (0802105009)
NI LUH PUTRI SUWANDEWI (0802105013)
NI PUTU EVA JULI WIDIANTARI (0802105019)
NI MADE MEILAN PURNAMASARI B.W (0802105025)
I PUTU WIRA PRADANA (0802105027)
NI NYOMAN SRI WULANDARI (0802105029)
GUSTI AYU ARY ANTARI (0802105053)
NI PUTU WINDA IRMALIA DEWI (0802105062)
MADE ASRI MEINIYARI (0802105068)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
2010
Hari, Tanggal : Jumat, 23 April 2010
Topik : Asuhan keperawatan klien dengan penyakit
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)
Fasilitator : Ns. Cahya Utami, S.Kep
Ketua : Ni Putu Winda Irmalia D. (0802105062)
Sekretaris : Made Asri Meiniyari (0802105068)

SOAL :
Buatlah asuhan keperawatan pada klien dengan penyakit :
 (SGD 1)
 (SGD 2)
 (SGD 3)
 Gastroesophageal Reflux Disease pada anak (SGD 4)
 (SGD 5)
 (SGD 6)
 (SGD 7)
KONSEP DASAR PENYAKIT GASTROESOPHAGEAL REFLUX DISEASE
(GERD)

1. DEFINISI
1) Gastroesophageal reflux disease adalah gerakan terbalik pada makanan
dan asam lambung menuju kerongkongan dan kadangkala menuju mulut.
Reflux terjadi ketika otot berbentuk cincin yang secara normal mencegah
isi perut mengalir kembali menuju kerongkongan (esophageal sphincter
bagian bawah) tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
2) GERD adalah suatu kondisi di mana cairan lambung mengalami refluks ke
esofagus sehingga menimbulkan gejala khas berupa rasa terbakar, nyeri di
dada, regurgitasi dan komplikasi.
3) Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) adalah suatu keadaan patologis
yang disebabkan oleh kegagalan dari mekanisme antireflux untuk
melindungi mukosa esophagus terhadap refluks asam lambung dengan
kadar yang abnormal dan paparan yang berulang.

2. EPIDEMIOLOGI
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) umum ditemukan pada populasi di
negara-negara barat, namun dilaporkan relatif rendah insidennya di negara-
negara Asia-Afrika. Divisi Gastroenterohepatologi Departemen IPD FKUI-
RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, mendapatkan kasus esofagitis
sebanyak 22,8% dari semua pasien yang menjalani pemeriksaan endoskopi
atas indikasi dyspepsia, gastroesofageal reflux didapatkan pada 45-89%
penderita asma, hal ini mungkin disebabkan oleh refluks esofageal,
refluksesfagopulmoner dan bat relaksan otot polos yaitu golongan betha
adrenergik, aminofilin, inhibitr fosfodiesterase menyebabkan inkompetensi
LES esfagus. Pada Bayi mengalami refluks ringan, sekitar 1 : 300 hingga
1:1000. Gastroesofagus refluks paling banyak terjadi pada bayi sehat berumur
4 bulan, dengan > 1x episode regurgitas, Pada umur 6 – 7 bulan, gejala
berkurang dari 61% menjadi 21%. Hanya 5% bayi berumur 12 bulan yang
masih mengalami GERD.
3. ETIOLOGI
Beberapa penyebab terjadinya GERD meliputi:
1) Menurunnya tonus LES (lower esophageal spinchter)
2) Bersihan asam dari lumen esophagus menurun
3) Ketahanan epitel esophagus menurun
4) Bahan refluksat mengenai dinding esophagus yaitu : PH<2, adanya pepsin,
garam empedu, HCl
5) Kelainan pada lambung (delayed gastric emptying)
6) Infeksi H. pylori dengan corpus predominan gastritis
7) Non acid refluks (refluks gas) menyebabkan hipersensitivitas visceral
8) Alergi makanan atau tidak bisa menerima makanan juga membuat refluks,
tetapi hal ini adalah penyebab yang kurang sering terjadi.
9) Mengonsumsi makanan berasam, coklat, minuman berkafein dan
berkarbonat, alkohol, merokok tembakau, dan obat-obatan yang
bertentangan dengan fungsi esophageal sphincter bagian bawah termasuk
apa yang memiliki efek antikolinergik (seperti berbagai antihistamin dan
beberapa antihistamin), penghambat saluran kalsium, progesteron, dan
nitrat.
10) Alergi makanan atau tidak bisa menerima makanan juga membuat refluks,
tetapi hal ini adalah penyebab yang kurang sering terjadi.
11) Kelainan anatomi, seperti penyempitan kerongkongan

4. PATOFISIOLOGI
GERD terjadi karena beberapa factor seperti Hiatus hernia, pendeknya LES,
penggunaan obat-obatan, faktor hormonal yang menyebabkan penurunan
tonus LES dan terjadi relaksasi abnormal LES sehingga timbul GERD. Hiatus
hernia juga menyebabkan bagian dari lambung atas yang terhubung dengan
esophagus akan mendorong ke atas melalui diafragma sehingga terjadi
penurunan tekanan penghambat refluks dan timbul GERD. Selain itu, GERD
juga terjadi karena penurunan peristaltic esophagus dimana terjadi penurunan
kemampuan untuk mendorong asam refluks kembali ke lambung, kelemahan
kontraksi LES dimana terjadi penurunan kemampuan mencegah refluks,
penurunan pengosongan lambung dimana terjadi memperlambat distensi
lambung, dan infeksi H. Pilory dan korpus pedominas gastritis. GERD dapat
menimbulkan perangsangan nervus pada esophagus oleh cairan refluks
mengakibatkan nyeri akut. Selain itu GRED menyebabkan kerusakan sel
skuamosa epitel yang melapisi esophagus sehingga terjadi nyeri akut,
gangguan menelan, dan bersihan jalan nafas tidak efektif. Gangguan nervus
yang mengatur pernafasan juga disebabkan oleh GERD sehingga timbul pola
nafas tidak efektif. Disamping itu GERD menyebabkan refluks cairan masuk
ke laring dan tenggorokan, terjadi resiko aspirasi dan jika teraspirasi maka
timbul masalah bersihan jalan nafas tidak efektif. GERD dapat menyebabkan
refluks asam lambung dari lambung ke esophagus sehingga timbul odinofagia,
merangsang pusat mual di hipotalamus, cairan terasa pada mulut, aliran balik
dalam jumlah banyak sehingga terjadi penurunan nafsu makan dan timbul
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan.

Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high pressure
zone) yang dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal sphincter (LES). Pada
individu normal, pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada saat terjadinya
aliran antegrad yang terjadi pada saat menelan, atau aliran retrograd yang
terjadi pada saat sendawa atau muntah. Aliran balik dari gaster ke esophagus
melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak ada atau sangat rendah (< 3
mmHg). Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3
mekanisme:
a. Refluks spontan pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat
b. Aliran retrograde yang mendahului kembalinya tonus LES setelah
menelan
c. Meningkatnya tekanan intraabdominal

Dengan demikian dapat diterangkan bahwa patogenesis terjadinya GERD


menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari esophagus dan faktor
ofensif dari bahan refluksat. Yang termasuk faktor defensif esophagus, adalah
pemisah antirefluks (lini pertama), bersihan asam dari lumen esophagus (lini
kedua), dan ketahanan epithelial esophagus (lini ketiga). Sedangkan yang
termasuk faktor ofensif adalah sekresi gastrik dan daya pilorik.
a. Pemisah antirefluks
Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES. Menurunnya tonus
LES dapat menyebabkan timbulnya refluks retrograde pada saat terjadinya
peningkatan tekanan intraabdomen.

Sebagian besar pasien GERD ternyata mempunyai tonus LES yang normal.
Faktor-faktor yang dapat menurunkan tonus LES adalah adanya hiatus
hernia, panjang LES (makin pendek LES, makin rendah tonusnya), obat-
obatan (misal antikolinergik, beta adrenergik, teofilin, opiate, dll), dan
faktor hormonal. Selama kehamilan, peningkatan kadar progesteron dapat
menurunkan tonus LES.

Namun dengan perkembangan teknik pemeriksaan manometri, tampak


bahwa pada kasus-kasus GERD dengan tonus LES yang normal yang
berperan dalam terjadinya proses refluks ini adalah transient LES
relaxation (TLESR), yaitu relaksasi LES yang bersifat spontan dan
berlangsung lebih kurang 5 detik tanpa didahului proses menelan. Belum
diketahui bagaimana terjadinya TLESR ini, tetapi pada beberapa individu
diketahui ada hubungannya dengan pengosongan lambung yang lambat
(delayed gastric emptying) dan dilatasi lambung.

Peranan hiatus hernia pada patogenesis terjadinya GERD masih


kontroversial. Banyak pasien GERD yang pada pemeriksaan endoskopi
ditemukan hiatus hernia, namun hanya sedikit yang memperlihatkan gejala
GERD yang signifikan. Hiatus hernia dapat memperpanjang waktu yang
dibutuhkan untuk bersihan asam dari esophagus serta menurunkan tonus
LES.

b. Bersihan asam dari lumen esophagus

Faktor-faktor yang berperan dalam bersihan asam dari esophagus adalah


gravitasi, peristaltik, ekskresi air liur, dan bikarbonat.

Setelah terjadi refluks, sebagian besar bahan refluksat akan kembali ke


lambung dengan dorongan peristaltic yang dirangsang oleh proses menelan.
Sisanya akan dinetralisir oleh bikarbonat yang disekresi oleh kelenjar saliva
dan kelenjar esophagus.

Mekanisme bersihan ini sangat penting, karena makin lama kontak antara
bahan refluksat dengan esophagus (waktu transit esophagus) makin besar
kemungkinan terjadinya esofagitis. Pada sebagian besar pasien GERD
ternyata memiliki waktu transit esophagus yang normal sehingga kelainan
yang timbul disebabkan karena peristaltic esophagus yang minimal.

Refluks malam hari (nocturnal reflux) lebih besar berpotensi menimbulkan


kerusakan esophagus karena selama tidur sebagian besar mekanisme
bersihan esophagus tidak aktif.

c. Ketahanan epithelial esophagus

Berbeda dengan lambung dan duodenum, esophagus tidak memiliki lapisan


mukus yang melindungi mukosa esophagus. Mekanisme ketahanan
epithelial esophagus terdiri dari :

 Membran sel

 Batas intraselular (intracellular junction) yang membatasi difusi H+ ke


jaringan esophagus

 Aliran darah esophagus yang mensuplai nutrien, oksigen, dan


bikarbonat, serta mengeluarkan ion H+ dan CO2

 Sel-sel esophagus memiliki kemampuan untuk mentransport ion H+


dan Cl- intraseluler dengan Na+ dan bikarbonat ekstraseluler.

Nikotin dapat menghambat transport ion Na+ melalui epitel esophagus,


sedangkan alcohol dan aspirin meningkatkan permeabilitas epitel terhadap
ion H. Yang dimaksud dengan faktor ofensif adalah potensi daya rusak
refluksat. Kandungan lambung yang menambah potensi daya rusak
refluksat terdiri dari HCl, pepsin, garam empedu, dan enzim pancreas.

Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung dari bahan yang


dikandungnya. Derajat kerusakan mukosa esophagus makin meningkat pada
pH < 2, atau adanya pepsin atau garam empedu. Namun dari kesemuanya
itu yang memiliki potensi daya rusak paling tinggi adalah asam.
Faktor-faktor lain yang berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah
kelainan di lambung yang meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara
lain dilatasi lambung, atau obstruksi gastric outlet dan delayed gastric
emptying.

Peranan infeksi helicobacter pylori dalam patogenesis GERD relatif kecil


dan kurang didukung oleh data yang ada. Namun demikian ada hubungan
terbalik antara infeksi H. pylori dengan strain yang virulens (Cag A positif)
dengan kejadian esofagitis, Barrett’s esophagus dan adenokarsinoma
esophagus. Pengaruh dari infeksi H. pylori terhadap GERD merupakan
konsekuensi logis dari gastritis serta pengaruhnya terhadap sekresi asam
lambung. Pengaruh eradikasi infeksi H. pylori sangat tergantung kepada
distribusi dan lokasi gastritis. Pada pasien-pasien yang tidak mengeluh
gejala refluks pra-infeksi H. pylori dengan predominant antral gastritis,
pengaruh eradikasi H. pylori dapat menekan munculnya gejala GERD.
Sementara itu pada pasien-pasien yang tidak mengeluh gejala refluks pra-
infeksi H. pylori dengan corpus predominant gastritis, pengaruh eradikasi
H. pylori dapat meningkatkan sekresi asam lambung serta memunculkan
gejala GERD. Pada pasien-pasien dengan gejala GERD pra-infeksi H.
pylori dengan antral predominant gastritis, eradikasi H. pylori dapat
memperbaiki keluhan GERD serta menekan sekresi asam lambung.
Sementara itu pada pasien-pasien dengan gejala GERD pra-infeksi H. pylori
dengan corpus predominant gastritis, eradikasi H. pylori dapat
memperburuk keluhan GERD serta meningkatkan sekresi asam lambung.
Pengobatan PPI jangka panjang pada pasien-pasien dengan infeksi H. pylori
dapat mempercepat terjadinya gastritis atrofi. Oleh sebab itu, pemeriksaan
serta eradikasi H. pylori dianjurkan pada pasien GERD sebelum pengobatan
PPI jangka panjang.

Non-acid reflux turut berperan dalam patogenesis timbulnya gejala GERD.


Non-acid reflux adalah berupa bahan refluksat yang tidak bersifat asam atau
refluks gas. Dalam keadaan ini, timbulnya gejala GERD diduga karena
hipersensitivitas visceral.
5. KLASIFIKASI
Kalsifikasi Los Angeles
Derajat Gambaran endoskopi
kerusakan
A Erosi kecil-kecil pada mukosa esophagus dengan diameter < 5
mm
B Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter > 5 mm
tanpa saling berhubungan
C Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai/mengelilingi seluruh
lumen
D Lesi mukosa esophagus yang bersifat sirkumferensial
(mengelilingi seluruh lumen esophagus)

6. MANIFESTASI KLINIS
1) Rasa panas/ tebakar pada esofagus (pirosis)
2) Muntah
3) Nyeri di belakang tulang payudara atau persis di bawahnya, bahkan
menjalar ke leher, tenggorokan, dan wajah, biasanya timbul setelah makan
atau ketika berbaring
4) Kesulitan menelan makanan (osinofagia) karena adanya penyempitan
(stricture) pada kerongkongan dari reflux.
5) Tukak esofageal peptik yaitu luka terbuka pada lapisan kerongkongan, bisa
dihasilkan dari refluks berulang. Bisa menyebabkan nyeri yang biasanya
berlokasi di belakang tulang payudara atau persis di bawahnya, mirip
dengan lokasi panas dalam perut.
6) Nafas yang pendek dan berbunyi mengik karena ada penyempitan pada
saluran udara
7) Suara parau
8) Ludah berlebihan (water brash)
9) Rasa bengkak pada tenggorokan (rasa globus)
10) Terjadi peradangan pada sinus (sinusitis)
11) Gejala lain : pertumbuhan yang buruk, kejang, nyeri telinga (pada anak)
12) Peradangan pada kerongkongan (esophagitis) bisa menyebabkan
pendarahan yang biasanya ringan tetapi bisa jadi besar. Darah
kemungkinan dimuntahkan atau keluar melalui saluran pencernaan,
menghasilkan kotoran berwarna gelap, kotoran berwarna ter (melena) atau
darah merah terang, jika pendarahan cukup berat.
13) Dengan iritasi lama pada bagian bawah kerongkongan dari refluks
berulang, lapisan sel pada kerongkongan bisa berubah (menghasilkan
sebuah kondisi yang disebut kerongkongan Barrett). Perubahan bisa terjadi
bahkan pada gejala-gejala yang tidak ada. Kelainan sel ini adalah sebelum
kanker dan berkembang menjadi kanker pada beberapa orang.

Tabel 1. Tanda dan Gejala PRGE pada Bayi dan Anak

Bayi Anak dan Remaja


Tidak mau makan/minum/menetek Nyeri perut
Muntah berulang Rasa terbakar di dada/ulu hati
(heartburn)
Gagal tumbuh (failure to thrive) Muntah berulang
Rewel terus-menerus Kesulitan menelan (disfagia)
Tersedak/apnea (henti napas sesaat) Batuk kronik/mengi
berulang
Posisi opistotonus Suara serak

Tabel diambil dari Medscape

7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan standar baku
untuk diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal break di esophagus
(esofagitis refluks). Jika tidak ditemukan mucosal break pada pemeriksaan
endoskopi saluran cerna bagian atas pada pasien dengan gejala khas GERD,
keadaan ini disebut non-erosive reflux disease (NERD).

2) Esofagografi dengan barium


Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka dan
seringkali tidak menunjukkan kelainan, terutama pada kasus esofagitis
ringan. Pada keadaan yang lebih berat, gambar radiology dapat berupa
penebalan dinding dan lipatan mukosa, ulkus, atau penyempitan lumen.
Walaupun pemeriksaan ini sangat tidak sensitive untuk diagnosis GERD,
namun pada keadaan tertentu pemeriksaan ini mempunyai nilai lebih dari
endoskopi, yaitu pada stenosis esophagus derajat ringan akibat esofagitis
peptic dengan gejala disfagia, dan pada hiatus hernia.
3) Monitoring pH 24 jam
Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal
esophagus. Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan
mikroelektroda pH pada bagian distal esophagus. Pengukuran pH pada
esophagus bagian distal dapat memastikan ada tidaknya refluks
gastroesofageal. pH dibawah 4 pada jarak 5 cm di atas LES dianggap
diagnostik untuk refluks gastroesofageal.
4) Tes Perfusi Berstein
Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang transnasal
dan melakukan perfusi bagian distal esophagus dengan HCl 0,1 M dalam
waktu kurang dari 1 jam. Tes ini bersifat pelengkap terhadap monitoring pH
24 jam pada pasien-pasien dengan gejala yang tidak khas. Bila larutan ini
menimbulkan rasa nyeri dada seperti yang biasanya dialami pasien,
sedangkan larutan NaCl tidak menimbulkan rasa nyeri, maka test ini
dianggap positif. Test Bernstein yang negative tidak menyingkirkan adanya
nyeri yang berasal dari esophagus.
5) Manometri esofagus : mengukuran tekanan pada katup kerongkongan bawah
menunjukan kekuatannya dan dapat membedakan katup yang normal dari
katup yang berfungsi buruk kekuatan sphincter

8. DIAGNOSTIK / KRITERIA DIAGNOSTIK

1) Gejala-gejala menunjukkan pada diagnosis, dan pengobatan bisa dimulai


tanpa tes diagnosa yang rinci. Tes khusus biasanya disiapkan untuk situasi
dimana diagnosa tersebut tidak jelas atau pengobatan tidak memiliki
gejala-gejala terkontrol. Penelitian pada kerongkongan menggunakan
endoskop (pipa pelihat elastis), penelitian sinar X, alat-alat penekan
(manometry) pada esophageal sphincter bagian bawah, dan tes pH
kerongkongan (keasaman) kadangkala diperlukan untuk membantu
memastikan diagnosa dan untuk memeriksa komplikasi.
2) Endoskopi bisa memastikan diagnosa tersebut jika dokter menemukan
bahwa orang tersebut mengalami esophagitis atau kerongkongan barrett.
Endoskopi juga membantu mengeluarkan kanker esophageal. Sinar-X
digunakan setelah minum carian barium (sebuah bahan yang menguraikan
secara singkat saluran pencernaan) dan kemudian berbaring pada
mencondongkan kepala lebih rendah dari kaki bisa menunjukkan reflux
pada barium dari perut menuju kerongkongan. Seorang dokter bisa
menekan perut untuk meningkatkan kemungkinan reflux. Sinar X
digunakan setelah barium ditelan juga bisa menampakkan borok
esophageal atau penyempitan kerongkongan.

3) Alat-alat penekan pada esophageal sphincter bagian bawah mengindikasi


kekuatan sphincter dan bisa membedakan sphincter normal dari yang
fungsinya buruk. Informasi yag diperoleh dari tes ini membantu dokter
memutuskan apakah operasi adalah pengobatan yang sesuai.

4) Beberapa dokter meyakini bahwa tes terbaik untuk gastroesophageal reflux


adalah tes pH esophageal. Pada tes ini, pipa tipis, elastis dengan sensor
pemeriksa pada ujung dipasang melalui hidung dan menuju kerongkongan
bagian bawah. Ujung lainnya pada pipa ini ditempelkan pada sebuah
monitor yang dipakai orang tersebut pada sabuknya, monitor tersebut
merekam kadar asam pada kerongkongan, biasanya untuk 24 jam.

5) Disamping memastikan seberapa banyak reflux terjadi, tes ini


mengidentifikasi hubungan antara gejala-gejala dan reflux dan terutama
sekali sangat membantu untuk orang yang mengalami gejala-gejala yang
tidak umum pada reflux. Tes pH kerongkongan diperlukan untuk semua
orang yang dipertimbangkan untuk operasi untuk memperbaiki
gadtroesophageal reflux. Sebuah alat baru (menggunakan sebuah pH
elektroda kecil yang ditanamkan yang mengirimkan sebuah sinyal)
tersedia untuk orang yang tidak dapat menggunakan pipa di hidung
mereka.

9. PEMERIKSAAN FISIK
Inspeksi :
a) Klien tampak muntah
b) Klien tampak lemah
c) Klien tampak batuk-batuk
d) Klien tampak memegang daerah yang nyeri
Auskultasi :
a) Suara terdengar serak
b) Bising usus <12 detik per menit
c) Suara jantung S1/S2 reguler

10.THERAPI/TINDAKAN PENANGANAN

Pada prinsipnya, penatalaksanaan GERD terdiri dari modifikasi gaya hidup,


terapi medikamentosa, terapi bedah serta akhir-akhir ini mulai dilakukan terapi
endoskopik.

Target penatalaksanaan GERD adalah menyembuhkan lesi esophagus,


menghilangkan gejala/keluhan, mencegah kekambuhan, memperbaiki kualitas
hidup, dan mencegah timbulnya komplikasi.

1. Modifikasi gaya hidup

Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu bagian dari penatalaksanaan


GERD, namun bukan merupakan pengobatan primer. Walaupun belum ada
studi yang dapat memperlihatkan kemaknaannya, namun pada dasarnya
usaha ini bertujuan untuk mengurangi frekuensi refluks serta mencegah
kekambuhan.

Hal-hal yang perlu dilakukan dalam modifikasi gaya hidup adalah


meninggikan posisi kepala pada saat tidur serta menghindari makan
sebelum tidur dengan tujuan untuk meningkatkan bersihan asam selama
tidur serta mencegah refluks asam dari lambung ke esophagus, berhenti
merokok dan mengkonsumsi alkohol karena keduanya dapat menurunkan
tonus LES sehingga secara langsung mempengaruhi sel-sel epitel,
mengurangi konsumsi lemak serta mengurangi jumlah makanan yang
dimakan karena keduanya dapat menimbulkan distensi lambung,
menurunkan berat badan pada pasien kegemukan serta menghindari
pakaian ketat sehingga dapat mengurangi tekanan intraabdomen,
menghindari makanan/minuman seperti coklat, teh, peppermint, kopi dan
minuman bersoda karena dapat menstimulasi sekresi asam, jikan
memungkinkan menghindari obat-obat yang dapat menurunkan tonus LES
seperti antikolinergik, teofilin, diazepam, opiate, antagonis kalsium, agonis
beta adrenergic, progesterone.

2. Terapi medikamentosa

Terdapat berbagai tahap perkembangan terapi medikamentosa pada


penatalaksanaan GERD ini. Dimulai dengan dasar pola pikir bahwa
sampai saat ini GERD merupakan atau termasuk dalam kategori gangguan
motilitas saluran cerna bagian atas. Namun dalam perkembangannya
sampai saat ini terbukti bahwa terapi supresi asam lebih efektif daripada
pemberian obat-obat prokinetik untuk memperbaiki gangguan motilitas.

Terdapat dua alur pendekatan terapi medikamentosa, yaitu step up dan step
down. Pada pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat-obat yang
tergolong kurang kuat dalam menekan sekresi asam (antagonis reseptor
H2) atau golongan prokinetik, bila gagal diberikan obat golongan penekan
sekresi asam yang lebih kuat dengan masa terapi lebih lama (penghambat
pompa proton/PPI). Sedangkan pada pendekatan step down pengobatan
dimulai dengan PPI dan setelah berhasil dapat dilanjutkan dengan terapi
pemeliharaan dengan menggunakan dosis yang lebih rendah atau antagonis
reseptor H2 atau prokinetik atau bahkan antacid.

Dari berbagai studi, dilaporkan bahwa pendekatan terapi step down


ternyata lebih ekonomis (dalam segi biaya yang dikeluarkan oleh pasien)
dibandingkan dengan pendekatan terapi step up.

Menurut Genval Statement (1999) serta Konsensus Asia Pasifik tentang


penatalaksanaan GERD (2003) telah disepakati bahwa terapi lini pertama
untuk GERD adalah golongan PPI dan digunakan pendekatan terapi step
down.

Pada umumnya studi pengobatan memperlihatkan hasil tingkat


kesembuhan diatas 80% dalam waktu 6-8 minggu. Untuk selanjutnya
dapat diteruskan dengan terapi pemeliharaan (maintenance therapy) atau
bahkan terapi “bila perlu” (on-demand therapy) yaitu pemberian obat-
obatan selama beberapa hari sampai dua minggu jika ada kekambuhan
sampai gejala hilang.

Pada berbagai penelitian terbukti bahwa respons perbaikan gejala


menandakan adanya respons perbaikan lesi organiknya (perbaikan
esofagitisnya). Hal ini tampaknya lebih praktis bagi pasien dan cukup
efektif dalam mengatasi gejala pada tatalaksana GERD.

Berikut adalah obat-obatan yang dapat digunakan dalam terapi


medikamentosa GERD :

 Antasid

Golongan obat ini cukup efektif dan aman dalam menghilangkan


gejala GERD tetapi tidak menyembuhkan lesi esofagitis. Selain
sebagai buffer terhadap HCl, obat ini dapat memperkuat tekanan
sfingter esophagus bagian bawah. Kelemahan obat golongan ini adalah
rasanya kurang menyenangkan, dapat menimbulkan diare terutama
yang mengandung magnesium serta konstipasi terutama antasid yang
mengandung aluminium, penggunaannya sangat terbatas pada pasien
dengan gangguan fungsi ginjal.

 Antagonis reseptor H2

Yang termasuk dalam golongan obat ini adalah simetidin, ranitidine,


famotidin, dan nizatidin. Sebagai penekan sekresi asam, golongan obat
ini efektif dalam pengobatan penyakit refluks gastroesofageal jika
diberikan dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis untuk terapi ulkus.
Golongan obat ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat
ringan sampai sedang serta tanpa komplikasi.

 Obat-obatan prokinetik

Secara teoritis, obat ini paling sesuai untuk pengobatan GERD karena
penyakit ini lebih condong kearah gangguan motilitas. Namun, pada
prakteknya, pengobatan GERD sangat bergantung pada penekanan
sekresi asam.

 Metoklopramid
Obat ini bekerja sebagai antagonis reseptor dopamine. Efektivitasnya
rendah dalam mengurangi gejala serta tidak berperan dalam
penyembuhan lesi di esophagus kecuali dalam kombinasi dengan
antagonis reseptor H2 atau penghambat pompa proton. Karena melalui
sawar darah otak, maka dapat timbul efek terhadap susunan saraf pusat
berupa mengantuk, pusing, agitasi, tremor, dan diskinesia.

 Domperidon

Golongan obat ini adalah antagonis reseptor dopamine dengan efek


samping yang lebih jarang disbanding metoklopramid karena tidak
melalui sawar darah otak.

Walaupun efektivitasnya dalam mengurangi keluhan dan


penyembuhan lesi esophageal belum banyak dilaporkan, golongan obat
ini diketahui dapat meningkatkan tonus LES serta mempercepat
pengosongan lambung.

 Cisapride

Sebagai suatu antagonis reseptor 5 HT4, obat ini dapat mempercepat


pengosongan lambung serta meningkatkan tekanan tonus LES.
Efektivitasnya dalam menghilangkan gejala serta penyembuhan lesi
esophagus lebih baik dibandingkan dengan domperidon.

 Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat)

Berbeda dengan antasid dan penekan sekresi asam, obat ini tidak
memiliki efek langsung terhadap asam lambung. Obat ini bekerja
dengan cara meningkatkan pertahanan mukosa esophagus, sebagai
buffer terhadap HCl di eesofagus serta dapat mengikat pepsin dan
garam empedu. Golongan obat ini cukup aman diberikan karena
bekerja secara topikal (sitoproteksi).

 Penghambat pompa proton (Proton Pump Inhhibitor/PPI)

Golongan obat ini merupakan drug of choice dalam pengobatan


GERD. Golongan obat-obatan ini bekerja langsung pada pompa proton
sel parietal dengan mempengaruhi enzim H, K ATP-ase yang dianggap
sebagai tahap akhir proses pembentukan asam lambung.
Obat-obatan ini sangat efektif dalam menghilangkan keluhan serta
penyembuhan lesi esophagus, bahkan pada esofagitis erosive derajat
berat serta yang refrakter dengan golongan antagonis reseptor H2.

Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial)


yang dapat dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan (maintenance
therapy) selama 4 bulan atau on-demand therapy, tergantung dari
derajat esofagitisnya.

3. Pembedahan dapat mengurangi peradangan berat, perdarahan,


penyempitan, tukak atau gejala yang tidak menunjukkan perbaikan dengan
pengobatan apapun. Namun tindakan pembedahan jarang dilakukan.
4. Terapi endoskopi :
Walaupun laporannya masih terbatas serta msih dalam konteks penelitian,
akhir-akhir ini mulai dikembangkan pilihan terapi endoskopi pada GERD
yaitu :
1. penggunaan energi radiofrekuensi
2. plikasi gastric endoluminal
3. implantasi endoskopis, yaitu dengan menyuntikkan zat implan di
bawah mukosa esophagus bagian distal, sehingga lumen esophagus
bagian distal menjadi lebih kecil.
5. Pada anak :
1) Bayi dengan refluks harus diberi makan pada posisi tegak atau
setengah tegak dan kemudian dijaga pada posisi tegak untuk 30
menit setelah makan
2) Untuk anak yang lebih tua, kepala pada tempat tidur bisa diangkat 6
inci (kira-kira 15 ¼ cm) untuk membantu mengurangi refluks di
waktu malam, menghindari makan 2 sampai 3 jam sebelum waktu
tidur, minum minuman berkarbonat atau apa yang mengandung
kafein, menjauhi asap tembakau.
3) Pada bayi dengan ASI Eksklusif, jangan mengganti/menambahkan
ASI dengan susu formula, dan pada bayi dengan konsumsi susu
formula, tidak perlu mengganti ke jenis susu formula khusus.
4) Tabel 2. Pengaturan Kebiasaan/Perilaku pada Bayi/Anak dengan
PRGE
Bayi Anak dan Remaja
Makanan/minuman dibuat Mengurangi berat badan
lebih kental jika overweight
Makan/minum sedikit tapi Modifikasi diet/pola makan
sering
Posisi tegak setelah Menghindari merokok
makan/minum
Menghindari paparan asap
rokok

Tabel diambil dari Medscape

5) Baik antagonis reseptor histamin (H2) dan penghambat pompa


proton (proton pump inhibitors) dapat mengurangi gejala dan
memulihkan mukosa (selaput lendir) saluran cerna.

Tabel 3. Dosis Obat pada PRGE dengan Indikasi


Obat Dosis Frekuensi
Antagonis H2
Cimetidine 40 mg/kg/hari 3 – 4 x/hari
Famotidine 1 mg/kg/hari 2 x/hari
Ranitidine 5-10 2 – 3 x/hari
mg/kg/hari
Penghambat Pompa Proton (PPI)
Lansoprazole 0.4-2.8 Sekali sehari
mg/kg/hari
Omeprazole 0.7-3.3 Sekali sehari
mg/kg/hari

Tabel diambil dari Medscape

11.KOMPLIKASI
1) Erosif esofagus
2) Esofagus barrett’s
3) Striktur esofagus
4) Gagal tumbuh (failur to thrive)
5) Perdarahan saluran cerna akibat iritasi
6) mukosa (selaput lendir)
7) Aspirasi

12.PROGNOSIS
Gejala GERD biasanya berjalan perlahan-lahan, sangat jarang terjadi
episode akut atau keadaan yang bersifat mengancam nyawa (jarang
menyebabkan kematian). Prognosis dari penyakit ini baik jika derajat
kerusakan esofagus masih rendah dan pengobatan yang diberikan benar
pilihan dan pemakaiannya. Pada kasus-kasus dengan esofagitis grade D
dapat masuk tahap displasia sel sehingga menjadi Barret’s Esofagus dan
pada akhirnya Ca Esofagus.

KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN GASTROESOPHAGEAL


REFLUX DISEASE

1. PENGKAJIAN
Pada pengkajian dilakukan wawancara dan pemeriksaan fisik untuk
memperoleh informasi dan data yang nantinya akan digunakan sebagai dasar
untuk membuat rencana asuhan keperawatan klien.
a. Keadaan Umum
Meliputi kondisi seperti tingkat ketegangan/kelelahan, tingkat kesadaran
kualitatif atau GCS dan respon verbal klien.

b. Tanda-tanda Vital
Meliputi pemeriksaan:
 Tekanan darah: sebaiknya diperiksa dalam posisi yang berbeda, kaji
tekanan nadi, dan kondisi patologis.
 Pulse rate
 Respiratory rate
 Suhu

c. Riwayat penyakit sebelumnya


Ditanyakan apakah sebelumnya klien pernah menderita penyakit paru yang
dapat menjadi predisposisi GERD.

d. Pola Fungsi Keperawatan


1. Aktivitas dan istirahat
Data Subyektif:
 Klien mengatakan agak sulit beraktivitas karena nyeri di daerah
epigastrium, seperti terbakar.
Data obyektif :
 Tidak terjadi perubahan tingkat kesadaran.
 Tidak terjadi perubahan tonus otot.
2. Sirkulasi
Data Subyektif:
 Klien mengatakan bahwa ia tidak mengalami demam.
Data Obyektif:
 Suhu tubuh normal (36,5-37,5 oC)
 Kadar WBC meningkat.
3. Eliminasi
Data Subyektif:
 Klien mengatakan tidak mengalami gangguan eliminasi.
Data obyektif
 Bising usus menurun (<12x/menit)
4. Makan/ minum
Data Subyektif:
 Klien mengatakan mengalami mual muntah.
 Klien mengatakan tidak nafsu makan.
 Klien mengatakan susah menelan.
 Klien mengatakan ada rasa pahit di lidah.
Data Obyektif:
 Klien tampak tidak memakan makanan yang disediakan.
5. Sensori neural
Data Subyektif:
 Klien mengatakan ada rasa pahit di lidah.
Data obyektif:
 Status mental baik.
6. Nyeri / kenyamanan
Data Subyektif:
 Klien mengatakan mengalami nyeri pada daerah epigastrium.
P : nyeri terjadi akibat perangsangan nervus pada esophagus oleh
cairan refluks.
Q : klien mengatakan nyeri terasa seperti terbakar
R : klien mengatakan nyeri terjadi pada daerah epigastrium.
S : klien mengatakan skala nyeri 1-10.
T : klien mengatakan nyerinya terjadi pada saat menelan
makanan. Nyeri pada dada menetap.
Data Obyektif:
 Klien tampak meringis kesakitan.
 Klien tampak memegang bagian yang nyeri.
 Tekanan darah klien meningkat
 Klien tampak gelisah
7. Respirasi
Data Subyektif :
 Klien mengatakan bahwa ia mengalami sesak napas.
 Klien mengatakan mengalami batuk
Data obyektif:
 Terlihat ada sesak napas.
 Terdapat penggunaan otot bantu napas.
 Frekuensi tidak berada pada batas normal yaitu pada bayi >30-40
x/mnt dan pada anak-anak > 20-26 x/menit..
 Klien terlihat batuk.
8. Keamanan
Data Subyektif :
 Klien mengatakan merasa cemas
Data obyektif:
 Klien tampak gelisah
9. Interaksi sosial
Data Subyektif:
 Klien mengatakan suaranya serak
 Klien mengatakan agak susah berbicara dengan orang lain karena
suaranya tidak jelas terdengar.
Data obyektif:
 Suara klien terdengar serak
 Suara klien tidak terdengar jelas.

e. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi :
 Klien tampak muntah
 Klien tampak lemah
 Klien tampak batuk-batuk
 Klien tampak memegang daerah yang nyeri
Auskultasi :
 Suara terdengar serak
a. Bising usus menurun <12x/menit
b. Suara jantung S1/S2 reguler

f. Pemeriksaan Diagnostik dan Penunjang


1. Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan standar
baku untuk diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal break di
esophagus (esofagitis refluks). Jika tidak ditemukan mucosal break
pada pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas pada pasien
dengan gejala khas GERD, keadaan ini disebut non-erosive reflux
disease (NERD).
2. Esofagografi dengan barium
Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka dan
seringkali tidak menunjukkan kelainan, terutama pada kasus esofagitis
ringan. Pada keadaan yang lebih berat, gambar radiology dapat berupa
penebalan dinding dan lipatan mukosa, ulkus, atau penyempitan
lumen. Walaupun pemeriksaan ini sangat tidak sensitive untuk
diagnosis GERD, namun pada keadaan tertentu pemeriksaan ini
mempunyai nilai lebih dari endoskopi, yaitu pada stenosis esophagus
derajat ringan akibat esofagitis peptic dengan gejala disfagia, dan pada
hiatus hernia.
3. Monitoring pH 24 jam
Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal
esophagus. Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan
menempatkan mikroelektroda pH pada bagian distal esophagus.
Pengukuran pH pada esophagus bagian distal dapat memastikan ada
tidaknya refluks gastroesofageal. pH dibawah 4 pada jarak 5 cm di atas
LES dianggap diagnostik untuk refluks gastroesofageal.
4. Tes Perfusi Berstein
Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang
transnasal dan melakukan perfusi bagian distal esophagus dengan HCl
0,1 M dalam waktu kurang dari 1 jam. Tes ini bersifat pelengkap
terhadap monitoring pH 24 jam pada pasien-pasien dengan gejala yang
tidak khas. Bila larutan ini menimbulkan rasa nyeri dada seperti yang
biasanya dialami pasien, sedangkan larutan NaCl tidak menimbulkan
rasa nyeri, maka test ini dianggap positif. Test Bernstein yang negative
tidak menyingkirkan adanya nyeri yang berasal dari esophagus.
5. Manometri esofagus
Mengukuran tekanan pada katup kerongkongan bawah menunjukan
kekuatannya dan dapat membedakan katup yang normal dari katup
yang berfungsi buruk kekuatan sphincter

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri Akut berhubungan dengan inflamasi ditandai dengan klien
melaporkan nyeri secara verbal pada ulu hatinya, klien tampak meringis
kesakitan, tampak gelisah, klien tampak nyeri (skala ouncher lima wajah
dari sangat senang (1) sampai menangis (5) ), klien memegangi bagian
yang nyeri.
2. Risiko aspirasi berhubungan dengan hambatan menelan, penurunan
refleks laring dan glotis terhadap cairan refluks.
3. Gangguan Menelan berhubungan dengan penyempitan/strikture pada
esophagus akibat gastroesophegal reflux disease ditandai dengan klien
tampak susah untuk menelan.
4. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukkan
sekret dan batuk tak efektif ditandai dengan adanya batuk takefektif,
ketidakmampuan untuk mengeluarkan sekresi jalan nafas, adanya mengi,
frekuenssi, irama dan kedalaman napas abnormal.
5. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan perubahan fungsi
persarafan yang melayani pernapasan akibat gastrointestinal refluks
disease ditandai dengan sesak nafas, pernapasan disritmik, frekuensi nadi
meningkat.
6. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan anoreksia, mual muntah ditandai dengan penurunan
nafsu makan, asupan makanan tidak adekuat kurang dari yang dianjurkan,
penurunan BB 10% dari berat badan ideal untuk tinggi dan kerangka
tubuh.
7. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan hambatan
kemampuan untuk menghasilkan suara sekunder akibat edema laring
ditandai dengan suara klien serak, suara klien tidak terdengar jelas.
3. PERENCANAAN
a) Penyusunan Prioritas
1. Nyeri Akut berhubungan dengan inflamasi ditandai dengan klien
melaporkan nyeri secara verbal pada ulu hatinya, klien tampak meringis
kesakitan, tampak gelisah, klien tampak nyeri (skala ouncher lima wajah
dari sangat senang (1) sampai menangis (5) ), klien memegangi bagian
yang nyeri.
2. Risiko aspirasi berhubungan dengan hambatan menelan, penurunan
refleks laring dan glotis terhadap cairan refluks.
3. Gangguan Menelan berhubungan dengan penyempitan/strikture pada
esophagus akibat gastroesophegal reflux disease ditandai dengan klien
tampak susah untuk menelan.
4. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukkan
sekret dan batuk tak efektif ditandai dengan adanya batuk takefektif,
ketidakmampuan untuk mengeluarkan sekresi jalan nafas, adanya mengi,
frekuenssi, irama dan kedalaman napas abnormal.
5. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan perubahan fungsi persarafan
yang melayani pernapasan akibat gastrointestinal refluks disease ditandai
dengan sesak nafas, pernapasan disritmik, frekuensi nadi meningkat.
6. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia, mual muntah ditandai dengan penurunan nafsu makan,
asupan makanan tidak adekuat kurang dari yang dianjurkan, penurunan
BB 10% dari berat badan ideal untuk tinggi dan kerangka tubuh.
7. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan hambatan kemampuan
untuk menghasilkan suara sekunder akibat edema laring ditandai dengan
suara klien serak, suara klien tidak terdengar jelas.

b) Intervensi
1. Nyeri Akut berhubungan dengan inflamasi ditandai dengan klien
melaporkan nyeri secara verbal pada ulu hatinya, klien tampak
meringis kesakitan, tampak gelisah, klien mengatakan skala nyeri (1-
10), klien memegangi bagian yang nyeri.
Tujuan :
Setelah dilaksakan asuhan keperawatan selama .. x 24 jam diharapkan
klien melaporkan nyeri hilang, dapat dikontrol atau berkurang dengan
kriteria hasil:
 Nyeri berkurang (skala nyeri 1-2), hilang (skala nyeri 0), atau dapat
dikontrol
 Klien tampak rileks.
 TTV dalam rentang normal (RR pada bayi =30-40 x/menit & pada
anak-anak =20-26x/menit, nadi = 80-100 x/menit, suhu 36-37 derajat
celcius, tekanan darah pada bayi = 70-90/50 mmHg & pada anak-
anak = 80-100/60 mmHg)
 Klien tampak tidak meringis kesakitan

Intervensi :
a) Kaji pengalaman nyeri anak. Tentukan konsep nyeri anak (bila
mungkin), minta anak menunjuk area yang sakit, untuk anak usia 4-5
tahun gunakan skala ouncher lima wajah dari sangat senang (1)
sampai menangis (5), minta anak untuk membuat peringkat nyeri dan
tanyakan pada anak apa yang meredakan nyeri dan apa yang
membuatnya menjadi lebih buruk.
Rasional :
Membantu dalam mengevaluasi rasa nyeri anak.
b) Bantu klien melakukan tehnik relaksasi
Rasional :
Membantu mengurangi rasa nyeri.
c) Berikan aktivitas hiburan yang tepat.
Rasional:
Mengarahkan kembali perhatian, memberikan distraksi dalam tingkat
aktivitas individu.
d) Tingkatkan rasa aman dengan penjelasan yang jujur dan kesempatan
untuk memilih. Jelaskan pada anak tentang cara untuk mengurangi
rasa nyeri yang dirasakan.
Rasional:
Meningkatkan rasa aman dan nyaman klien dan membantu klien
dalam memanajemen nyeri yang dirasakannya.
Kolaboratif:
a. Berikan analgetik sesuai indikasi
Rasional :
Untuk mengurangi/menghilangkan rasa nyeri.

2. Risiko aspirasi berhubungan dengan hambatan menelan, penurunan


refleks laring dan glotis terhadap cairan refluks.
Tujuan:
Setelah dilaksakan asuhan keperawatan selama ... x 24 jam diharapkan
aspirasi tidak terjadi.
Kriteria hasil :
 Tidak mengalami aspirasi

Intervensi:
a) Kaji posisi lidah, pastikan bahwa lidah tidak jatuh ke belakang.
Rasional :
Mencegah penyumbatan jalan nafas.
b) Jaga bagian kepala tempat tidur tetap tinggi jika tidak ada
kontraindikasi.
Rasional :
Membantu mencegah cairan refluks agak tidak teraspirasi ke saluran
pernapasan.
c) Kaji kembali adanya obstruksi benda-benda dalam mulut dan
tenggorokan.
Rasional :
Benda-benda tersebut dapat teraspirasi dan menyumbat jalan napas
d) Beri tahu makanan yang harus dihindari anak kecil seperti buah
dengan biji, kacang, permen karet, anggur dan lain-lain
Rasional:
Makanan-makanan tersebut cenderung mudah teraspirasi
e) Ajarkan penatalaksanaan kedaruratan obstruksi jalan napas seperti
memukul punggung dan dorongan dada (bayi), maneuver Heimlich
(anak-anak)
Rasional:
Dengan mengajarkan kedaruratan medic pada orang tua/keluarga
maka diharapkan dapat memberikan pertolongan penyelamatan awal
pada bayi atau anak untuk mengatasi obstruksi jalan napas.

3. Gangguan Menelan berhubungan dengan penyempitan/strikture pada


esophagus akibat gastroesophegal reflux disease ditandai dengan
klien tampak susah untuk menelan.
Tujuan :
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ... x 24 jam diharapkan
gangguan menelan dapat teratasi dengan kriteria hasil:
 Tidak teramati adanya kesulitan saat menelan.
 Tidak terjadi statis makanan di rongga mulut klien.
 Klien tidak tersedak setelah makan/minum.

Intervensi
a. Kaji apakah individu cukup sadar dan responsif, dapat mengontrol
mulut, dapat batuk refleks/muntah, posisi klien sudah nyaman, dan
dapat menelan salivanya sendiri.
Rasional:
untuk mengetahui kemampuan menelan klien sehingga dapat
diberikan intervensi yang tepat dan mencegah terjadinya aspirasi.
b. Berikan diet lunak pada klien.
Rasional:
makanan lunak lebih mudah ditelan sehingga tidak menimbulkan
nyeri di tenggorokan sehingga memudahkan dalam memberikan
asupan nutrisi.
c. Berikan makanan dengan pelan, pastikan makanan dikunyah sebelum
ditelan.
Rasional:
makanan yang dikunyah menjadi lebih halus teksturnya sehingga
lebih mudah untuk ditelan.
4. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan
penumpukkan sekret dan batuk tak efektif ditandai dengan adanya
batuk takefektif, ketidakmampuan untuk mengeluarkan sekresi jalan
nafas, adanya mengi, frekuenssi, irama dan kedalaman napas
abnormal.
Tujuan :
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama .. x 24 jam diharapkan
ketidakefektifan bersihan jalan nafas teratasi dengan kriteria hasil :
 Tidak adanya penumpukan secret di jalan napas
 Mengi tidak ada
 RR dalam rentang normal (pada bayi =30-40x/menit dan pada anak-
anak = 20-26x/menit), irama dan kedalaman napas normal
 Batuk efektif

Intervensi :
Mandiri
a) Kaji frekuensi pernafasan anak dan iramanya setiap jam. Jika anak
mengalami gangguan pernafasan, auskultasi bunyi nafas, lakukan
fisioterapi dada, dan informasikan pengobatan pernafasan
Rasional :
Pengkajian yang sering akan menjamin fungsi pernafasan yang
adekuat.
b) Posisikan anak dengan kepala dan dada lebih tinggi dan leher agak
ekstensi.
Rasional :
Posisi ini mempertahankan terbukanya jalan nafas dan memudahkan
respirasi oleh karena menurunnya tekanan diaphragm.
c) Berikan posisi untuk mencegah terjadinya aspirasi
Rasional :
Posisi yang tidak benar dapat mengakibatkan anak mengalami
aspirasi sehingga terjadi obtruksi jalan napas
d) Lakukan pengisapan sekresi dari jalan napas sesuai kebutuhan
Rasional :
Mengurangi secret stastis di jalan napas dan melegakan jalan napas.
5. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan perubahan fungsi
persarafan yang melayani pernapasan akibat gastrointestinal refluks
disease ditandai dengan sesak nafas, pernapasan disritmik, frekuensi
nadi meningkat.
Tujuan :
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama …x24 jam diharapkan
ketidakefektifan pola napas teratasi dengan kriteria hasil:
 Irama, frekuensi dan kedalaman pernafasan dalam batas normal.
 RR dalam rentang normal (pada bayi =30-40x/menit dan pada anak-
anak = 20-26x/menit)
 Pada pemeriksaan sinar X dada tidak ditemukan adanya akumulasi
cairan.
 Bunyi napas vaskuler, ronchi tidak ada, wheezing tidak ada.
 Tidak ada sesak napas
 Frekuensi nadi dalam rentang normal (60-100x/menit)
 Tidak ada retraksi otot bantu pernapasan
 Pernapasan cuping hidung tidak ada

Intervensi :
a. Identifikasi faktor penyebab sesak napas
Rasional :
Dengan mengidentifikasikan penyebab kita dapat mengambil
tindakan yang tepat.
b. Kaji kualitas, frekuensi dan kedalaman pernafasan, laporkan setiap
perubahan yang terjadi.
Rasional :
Dengan mengkaji kualitas, frekuensi dan kedalaman pernafasan, kita
dapat mengetahui sejauh mana perubahan kondisi pasien.
c. Baringkan pasien dalam posisi yang nyaman, dalam posisi duduk,
dengan kepala tempat tidur ditinggikan 60 – 90 derajat.
Rasional :
Penurunan diafragma memperluas daerah dada sehingga ekspansi
paru bisa maksimal.
d. Observasi tanda-tanda vital (suhu, nadi, tekanan darah, RR dan
respon pasien).
Rasional :
Peningkatan RR dan tachcardi merupakan indikasi adanya penurunan
fungsi paru.

Kolaboratif:
a. Kolaborasi dengan tim medis lain untuk pemberian O2.
Rasional :
Pemberian oksigen dapat menurunkan beban pernafasan dan
mencegah terjadinya sianosis.
b. Bila anak cenderung mengalami bronkospasme, obat-obatan dapat
diindikasikan
Rasional:
Untuk mengatasi bronkospasme dan mengefektifkan pernapasan.

6. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh


berhubungan dengan anoreksia, mual muntah ditandai dengan
penurunan nafsu makan, asupan makanan tidak adekuat kurang dari
yang dianjurkan, penurunan BB 10% dari berat badan ideal untuk
tinggi dan kerangka tubuh.
Tujuan :
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama ... x 24 jam diharapkan
ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh teratasi dengan
kriteria hasil:
 Tidak terjadi penurunan berat badan sebesar 10% dari berat badan
ideal untuk tinggi dan kerangka tubuh
 Tidak adanya mual-muntah.
 Tidak adanya penurunan nafsu makan

Intervensi :
a) Pertahankan kebersihan mulut dengan baik sebelum dan sesudah
mengunyah makanan.
Rasional:
Mulut yang tidak bersih dapat mempengaruhi rasa makanan dan
menimbulkan mual.
b) Tawarkan makanan porsi kecil tetapi sering untuk mengurangi
perasaan tegang pada lambung.
Rasional :
Makan dalam porsi kecil tetapi sering dapat mengurangi beban
saluran pencernaan.
c) Atur agar mendapatkan nutrien yang berprotein/ kalori yang disajikan
pada saat individu ingin makan.
Rasional:
Agar asupan nutrisi dan kalori klien adeakuat.
d) Timbang berat badan pasien saat ia bangun dari tidur dan setelah
berkemih pertama.
Rasional :
Menimbang berat badan saat baru bangun dan setelah berkemih untuk
mengetahui berat badan mula-mula sebelum mendapatkan nutrient.

Kolaborasi
a) Konsultasikan dengan ahli gizi mengenai kebutuhan kalori harian
yang realistis dan adekuat.
Rasional:
Konsultasi ini dilakukan agar klien mendapatkan nutrisi sesuai
indikasi dan kebutuhan kalorinya.

7. Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan hambatan


kemampuan untuk menghasilkan suara sekunder akibat edema laring
ditandai dengan suara klien serak, suara klien tidak terdengar jelas.

Tujuan:
Setelah diberikan askep selama…x24 jam, diharapkan gangguan
komunikasi klien berkurang.
Kriteria hasil:
 Pasien mampu memahami problem komunikasi
 Klien dapat menentukan metode komunikasi untuk berekspresi
 Klien dapat menggunakan sumber bantuan dengan tepat

Intervensi:
a) Sediakan metode komunikasi alternatif
Rasional:
Metode alternatif dapat membantu klien dalam mengkomunikasikan
kebutuhan dasarnya
b) Berikan lingkungan yang tenang dan kurangi kebisingan.
Rasional:
Lingkungan yang tenang membantu dalam meningkatan komunikasi
klien
c) Dengarkan dengan cermat, berbicara dengan pelan dan minta klien
mengulangi kata-kata yang tidak jelas diucapkan
Rasional:
Meningkatkan pemahaman dalam proses komunikasi.

4. EVALUASI
1. Klien melaporkan nyeri hilang, dapat dikontrol atau berkurang, klien
mengatakan nyeri berkurang (skala nyeri 1-2), hilang (skala nyeri 0), atau
dapat dikontrol, klien tampak rileks, TTV dalam rentang normal ( RR pada
bayi =30-40x/menit dan pada anak-anak = 20-26x/menit, nadi = 80-100
x/menit, suhu 36-37 derajat celcius, tekanan darah pada bayi = 70-90/50
mmHg dan pada anak-anak = 80-100/60 mmHg), Klien tampak tidak meringis
kesakitan.
2. Aspirasi tidak terjadi, klien tidak mengalami aspirasi.
3. Gangguan menelan dapat teratasi, tidak teramati adanya kesulitan saat
menelan, tidak terjadi statis makanan di rongga mulut klien, klien tidak
tersedak setelah makan/minum.
4. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas teratasi, tidak adanya penumpukan secret
di jalan napas, mengi tidak ada, RR dalam rentang normal (RR pada bayi =30-
40x/menit dan pada anak-anak = 20-26x/menit), irama dan kedalaman napas
normal, batuk efektif.
5. Ketidakefektifan pola napas teratasi, Irama, frekuensi dan kedalaman
pernafasan dalam batas normal, RR dalam rentang normal (RR pada bayi =30-
40x/menit dan pada anak-anak = 20-26x/menit), pada pemeriksaan sinar X
dada tidak ditemukan adanya akumulasi cairan, bunyi napas vaskuler, ronchi
tidak ada, wheezing tidak ada, tidak ada sesak napas, Frekuensi nadi dalam
rentang normal (60-100x/menit, tidak ada retraksi otot bantu pernapasan,
pernapasan cuping hidung tidak ada.
6. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh teratasi, tidak terjadi
penurunan berat badan sebesar 10% dari berat badan ideal untuk tinggi dan
kerangka tubuh, tidak adanya mual-muntah, tidak adanya penurunan nafsu
makan.
7. Gangguan komunikasi klien berkurang, pasien mampu memahami problem
komunikasi, klien dapat menentukan metode komunikasi untuk berekspresi,
klien dapat menggunakan sumber bantuan dengan tepat.

IDENTIFIKASI PENDIDIKAN YANG PERLU DIBERIKAN PADA PASIEN


DAN KELUARGA :
 Berikan penjelasan kepada keluarga mengenai penyakitnya, apa yang
menyebabkan, tanda gejala, bagaimana cara pengobatan, dan prognosis
penyakit yang diderita.
 Menginstruksikan untuk menghindari factor yang menurunkan tekanan
sfingter esofagus
 Menginstruksikan untuk menghindari factor yang dapat menyebabkan
iritasi esofagus
 Menginstruksikan untuk makan diet rendah lemak, tinggi serat
 Menghindari kafein, tembakau, dan pepermin
 Menghindari makan atau minum 2 jam sebelum tidur
 Hindari berat badan berlebihan (obesites)
 Meninggikan kepala tempat tidur 6-8 inci (15-20 cm)

DAFTAR PUSTAKA

1. Price, Sylvia Anderson. Pathophysiology : Clinical Concepts Of Disease


Processes. Alih Bahasa Peter Anugrah. Ed. 4. Jakarta : EGC; 1994
2. Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Alih bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8.
Jakarta : EGC; 2001.
3. Carpenito – moyet,L.J. 2004. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta :
EGC.
4. Doenges, Marilyn E, dkk.(1999).Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman
untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, 3 th ed. Jakarta
: EGC.
5. Gastroesophageal Reflux in Infants.
http://www.rch.org.au/clinicalguide/cpg.cfm?doc_id=9746 Diakses tanggal 10
Juli 2007
6. Gastroesophageal Reflux in Infants.
http://digestive.niddk.nih.gov/ddiseases/pubs/gerdinfant/index.htm Diakses
tanggal 10 Juli 2007
7. Gastroesophageal Reflux in Children and Adolescents
http://digestive.niddk.nih.gov/ddiseases/pubs/gerinchildren/index.htm Diakses
tanggal 10 Juli 2007

Anda mungkin juga menyukai