Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN PENDAHULUAN

GASTRO  ESOPHAGEAL REFLUX DISEASE (GERD)

Oleh :
MELA TRINUR KHOERIYAH
I4B020045

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU - ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEPERAWATAN
PURWOKERTO
2021
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit Refluks Gastro Esofagus (PRGE) atau yang lebih dikenal dengan
nama Gastro Esophageal Reflux Disease (GERD), merupakan kondisi yang terjadi bila aliran
balik isi lambung ke esofagus memberikan keluhan dan mengganggu kualitas hidup seseorang.
GERD merupakan salah satu jenis gangguan pencernaan yang cukup sering dijumpai di
masyarakat sehingga dapat menurunkan kualitas hidup. Angka prevalensi GERD di Amarika
Selatan yaitu 23,%, Amerika Utara yaitu 18,1%-27,8%, Australia 11,6%, Eropa yaitu 8,8%-
25,9%, Asia Timur 2,5%-7,8% dan Indonesia didapatkan peningkatan prevalensi GERD dari
5,7% pada tahun 1997 sampai 25,18% pada tahun 2002 (El-Serag, 2014 dalam Friyanto et al.,
2013). Jenis kelamin laki-laki dan perempuan mempunyai risiko yang sama, hal ini terjadi
akibat gejala GERD tidak mudah dibedakan dengan penyakit lambung lainnya sehingga
perbedaannya harus lebih dicermati.
Ciri khas gejala utama dari timbulnya GERD jika pasien mengalami heartburn (rasa
terbakar di dada yang kadang disertai rasa nyeri dan pedih) dan regurgitasi (rasa asam dan pahit
di lidah) (Chaidir, 2013). Perubahan gaya hidup berpengaruh terhadap stastus kesehatan.
Disamping itu, kurangnya pengetahuan masyarakat dalam memahami timbulnnya gejala
penyakit lambung menjadi salah satu penyebab meningkatnya angka pravalensinya di Indonesia
yang terus meningkat setiap tahunnya didukung dengan aktivitas padat yang dapat memicu
stress karena dapat menurunkan selera makan dan kadang membuat aktivitas makan
meningkat(Friyanto et al., 2013).

B. Tujuan
1. Mengetahui definisi Gastro Esophageal Reflux Disease (GERD)
2. Mengetahui etiologi Gastro  Esophageal Reflux Disease (GERD)
3. Memahami patofisiologi dan pathway Gastro Esophageal Reflux Disease (GERD)
4. Mengetahui klasifikasi Gastro Esophageal Reflux Disease (GERD)
5. Mengetahui manifestasi klinis dari Gastro Esophageal Reflux Disease (GERD)
6. Mengetahui penatalaksanaan Gastro Esophageal Reflux Disease (GERD)
7. Mengetahui diagnosis dan asuhan keperawatan pada Gastro  Esophageal Reflux
Disease (GERD)
PEMBAHASAN
A. DEFINISI
Gastroesophageal reflux disease adalah gerakan terbalik pada makanan dan asam lambung
menuju kerongkongan dan kadangkala menuju mulut. Reflux terjadi ketika otot berbentuk
cincin yang secara normal mencegah isi perut mengalir kembali menuju kerongkongan
(esophageal sphincter bagian bawah) tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
GERD adalah suatu kondisi di mana cairan lambung mengalami refluks ke esofagus
sehingga menimbulkan gejala khas berupa rasa terbakar, nyeri di dada, regurgitasi dan
komplikasi.
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) adalah suatu keadaan patologis yang
disebabkan oleh kegagalan dari mekanisme antireflux untuk melindungi mukosa esophagus
terhadap refluks asam lambung dengan kadar yang abnormal dan paparan yang berulang.

B. ETIOLOGI
Beberapa penyebab terjadinya GERD meliputi:
1) Menurunnya tonus LES (lower esophageal spinchter)
2) Bersihan asam dari lumen esophagus menurun
3) Ketahanan epitel esophagus menurun
4) Bahan refluksat mengenai dinding esophagus: PH<2, adanya pepsin, garam empedu, HCl
5) Kelainan pada lambung (delayed gastric emptying)
6) Infeksi H. pylori dengan corpus predominan gastritis
7) Non acid refluks (refluks gas) menyebabkan hipersensitivitas visceral
8) Alergi makanan atau tidak bisa menerima makanan juga membuat refluks, tetapi hal ini
adalah penyebab yang kurang sering terjadi.
9) Mengonsumsi makanan berasam, coklat, minuman berkafein dan berkarbonat, alkohol,
merokok tembakau, dan obat-obatan yang bertentangan dengan fungsi esophageal sphincter
bagian bawah termasuk apa yang memiliki efek antikolinergik (seperti berbagai
antihistamin dan beberapa antihistamin), penghambat saluran kalsium, progesteron.
10) Alergi makanan atau tidak bisa menerima makanan juga membuat refluks, tetapi hal ini
adalah penyebab yang kurang sering terjadi.
11) Kelainan anatomi, seperti penyempitan kerongkongan

C. PATOFISIOLOGI
GERD terjadi karena beberapa factor seperti Hiatus hernia, pendeknya LES, penggunaan
obat-obatan, faktor hormonal yang menyebabkan penurunan tonus LES dan terjadi relaksasi
abnormal LES sehingga timbul GERD. Hiatus hernia juga menyebabkan bagian dari lambung
atas yang terhubung dengan esophagus akan mendorong ke atas melalui diafragma sehingga
terjadi penurunan tekanan penghambat refluks dan timbul GERD. Selain itu, GERD juga terjadi
karena penurunan peristaltic esophagus dimana terjadi penurunan kemampuan untuk
mendorong asam refluks kembali ke lambung, kelemahan kontraksi LES dimana terjadi
penurunan kemampuan mencegah refluks, penurunan pengosongan lambung dimana terjadi
memperlambat distensi lambung, dan infeksi H. Pilory dan korpus pedominas gastritis. GERD
dapat menimbulkan perangsangan nervus pada esophagus oleh cairan refluks mengakibatkan
nyeri akut. Selain itu GRED menyebabkan kerusakan sel skuamosa epitel yang melapisi
esophagus sehingga terjadi nyeri akut, gangguan menelan, dan bersihan jalan nafas tidak efektif.
Gangguan nervus yang mengatur pernafasan juga disebabkan oleh GERD sehingga timbul pola
nafas tidak efektif. Disamping itu GERD menyebabkan refluks cairan masuk ke laring dan
tenggorokan, terjadi resiko aspirasi dan jika teraspirasi maka timbul masalah bersihan jalan
nafas tidak efektif. GERD dapat menyebabkan refluks asam lambung dari lambung ke
esophagus sehingga timbul odinofagia, merangsang pusat mual di hipotalamus, cairan terasa
pada mulut, aliran balik dalam jumlah banyak sehingga terjadi penurunan nafsu makan dan
timbul ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan.
Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high pressure zone) yang
dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal sphincter (LES). Pada individu normal, pemisah ini
akan dipertahankan kecuali pada saat terjadinya aliran antegrad yang terjadi pada saat menelan,
atau aliran retrograd yang terjadi pada saat sendawa atau muntah. Aliran balik dari gaster ke
esophagus melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak ada atau sangat rendah (< 3
mmHg). Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme:
a. Refluks spontan pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat

b. Aliran retrograde yang mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan

c. Meningkatnya tekanan intraabdominal

Dengan demikian dapat diterangkan bahwa patogenesis terjadinya GERD menyangkut


keseimbangan antara faktor defensif dari esophagus dan faktor ofensif dari bahan refluksat.
Yang termasuk faktor defensif esophagus, adalah pemisah antirefluks (lini pertama), bersihan
asam dari lumen esophagus (lini kedua), dan ketahanan epithelial esophagus (lini ketiga).
Sedangkan yang termasuk faktor ofensif adalah sekresi gastrik dan daya pilorik.
a. Pemisah antirefluks
Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES. Menurunnya tonus LES
dapat menyebabkan timbulnya refluks retrograde pada saat terjadinya peningkatan tekanan
intraabdomen. Sebagian besar pasien GERD ternyata mempunyai tonus LES yang normal.
Faktor-faktor yang dapat menurunkan tonus LES adalah adanya hiatus hernia, panjang LES
(makin pendek LES, makin rendah tonusnya), obat-obatan (misal antikolinergik, beta
adrenergik, teofilin, opiate, dll), dan faktor hormonal. Selama kehamilan, peningkatan kadar
progesteron dapat menurunkan tonus LES. Namun dengan perkembangan teknik
pemeriksaan manometri, tampak bahwa pada kasus-kasus GERD dengan tonus LES yang
normal yang berperan dalam terjadinya proses refluks ini adalah transient LES relaxation
(TLESR), yaitu relaksasi LES yang bersifat spontan dan berlangsung lebih kurang 5 detik
tanpa didahului proses menelan. Belum diketahui bagaimana terjadinya TLESR ini, tetapi
pada beberapa individu diketahui ada hubungannya dengan pengosongan lambung yang
lambat (delayed gastric emptying) dan dilatasi lambung. Peranan hiatus hernia pada
patogenesis terjadinya GERD masih kontroversial. Banyak pasien GERD yang pada
pemeriksaan endoskopi ditemukan hiatus hernia, namun hanya sedikit yang memperlihatkan
gejala GERD yang signifikan. Hiatus hernia dapat memperpanjang waktu yang dibutuhkan
untuk bersihan asam dari esophagus serta menurunkan tonus LES.

b. Bersihan asam dari lumen esophagus


Faktor-faktor yang berperan dalam bersihan asam dari esophagus adalah gravitasi,
peristaltik, ekskresi air liur, dan bikarbonat. Setelah terjadi refluks, sebagian besar bahan
refluksat akan kembali ke lambung dengan dorongan peristaltic yang dirangsang oleh proses
menelan. Sisanya akan dinetralisir oleh bikarbonat yang disekresi oleh kelenjar saliva dan
kelenjar esophagus. Mekanisme bersihan ini sangat penting, karena makin lama kontak
antara bahan refluksat dengan esophagus (waktu transit esophagus) makin besar
kemungkinan terjadinya esofagitis. Pada sebagian besar pasien GERD ternyata memiliki
waktu transit esophagus yang normal sehingga kelainan yang timbul disebabkan karena
peristaltic esophagus yang minimal. Refluks malam hari (nocturnal reflux) lebih besar
berpotensi menimbulkan kerusakan esophagus karena selama tidur sebagian besar
mekanisme bersihan esophagus tidak aktif.
c. Ketahanan epithelial esophagus
Berbeda dengan lambung dan duodenum, esophagus tidak memiliki lapisan mukus yang
melindungi mukosa esophagus. Mekanisme ketahanan epithelial esophagus terdiri dari :

 Membran sel

 Batas intraselular (intracellular junction) yang membatasi difusi H+ ke jaringan


esophagus

 Aliran darah esophagus yang mensuplai nutrien, oksigen, dan bikarbonat, serta
mengeluarkan ion H+ dan CO2

 Sel-sel esophagus memiliki kemampuan untuk mentransport ion H+ dan Cl- intraseluler
dengan Na+ dan bikarbonat ekstraseluler.
Nikotin dapat menghambat transport ion Na+ melalui epitel esophagus, sedangkan alcohol
dan aspirin meningkatkan permeabilitas epitel terhadap ion H. Yang dimaksud dengan faktor
ofensif adalah potensi daya rusak refluksat. Kandungan lambung yang menambah potensi daya
rusak refluksat terdiri dari HCl, pepsin, garam empedu, dan enzim pancreas. Faktor ofensif dari
bahan refluksat bergantung dari bahan yang dikandungnya. Derajat kerusakan mukosa esophagus
makin meningkat pada pH < 2, atau adanya pepsin atau garam empedu. Namun dari kesemuanya
itu yang memiliki potensi daya rusak paling tinggi adalah asam. Faktor-faktor lain yang berperan
dalam timbulnya gejala GERD adalah kelainan di lambung yang meningkatkan terjadinya refluks
fisiologis, antara lain dilatasi lambung, atau obstruksi gastric outlet dan delayed gastric emptying.
Peranan infeksi helicobacter pylori dalam patogenesis GERD relatif kecil dan kurang
didukung oleh data yang ada. Namun demikian ada hubungan terbalik antara infeksi H. pylori
dengan strain yang virulens (Cag A positif) dengan kejadian esofagitis, Barrett’s esophagus dan
adenokarsinoma esophagus. Pengaruh dari infeksi H. pylori terhadap GERD merupakan
konsekuensi logis dari gastritis serta pengaruhnya terhadap sekresi asam lambung. Pengaruh
eradikasi infeksi H. pylori sangat tergantung kepada distribusi dan lokasi gastritis. Pada pasien-
pasien yang tidak mengeluh gejala refluks pra-infeksi H. pylori dengan predominant antral
gastritis, pengaruh eradikasi H. pylori dapat menekan munculnya gejala GERD. Sementara itu
pada pasien-pasien yang tidak mengeluh gejala refluks pra-infeksi H. pylori dengan corpus
predominant gastritis, pengaruh eradikasi H. pylori dapat meningkatkan sekresi asam lambung
serta memunculkan gejala GERD. Pada pasien-pasien dengan gejala GERD pra-infeksi H. pylori
dengan antral predominant gastritis, eradikasi H. pylori dapat memperbaiki keluhan GERD serta
menekan sekresi asam lambung. Sementara itu pada pasien-pasien dengan gejala GERD pra-
infeksi H. pylori dengan corpus predominant gastritis, eradikasi H. pylori dapat memperburuk
keluhan GERD serta meningkatkan sekresi asam lambung. Pengobatan PPI jangka panjang pada
pasien-pasien dengan infeksi H. pylori dapat mempercepat terjadinya gastritis atrofi. Oleh
sebab itu, pemeriksaan serta eradikasi H. pylori dianjurkan pada pasien GERD sebelum
pengobatan PPI jangka panjang. Non-acid reflux turut berperan dalam patogenesis timbulnya
gejala GERD. Non- acid reflux adalah berupa bahan refluksat yang tidak bersifat asam atau
refluks gas. Dalam keadaan ini, timbulnya gejala GERD diduga karena hipersensitivitas visceral.
D. KLASIFIKASI
Kalsifikasi Los Angeles
Derajat kerusakan Gambaran endoskopi
A Erosi kecil-kecil pada mukosa esophagus dengan diameter
< 5 mm
B Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter > 5 mm tanpa
saling berhubungan
C Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai/
mengelilingi seluruh lumen
D Lesi mukosa esophagus yang bersifat sirkumferensial
(mengelilingi seluruh lumen esophagus)
E. MANIFESTASI KLINIS
1) Rasa panas/ tebakar pada esofagus (pirosis)
2) Muntah
3) Nyeri di belakang tulang payudara atau persis di bawahnya, bahkan menjalar ke leher,
tenggorokan, dan wajah, biasanya timbul setelah makan atau ketika berbaring
4) Kesulitan menelan makanan (osinofagia) karena adanya penyempitan (stricture) pada
kerongkongan dari reflux.
5) Tukak esofageal peptik yaitu luka terbuka pada lapisan kerongkongan, bisa dihasilkan dari
refluks berulang. Bisa menyebabkan nyeri yang biasanya berlokasi di belakang tulang payudara
atau persis di bawahnya, mirip dengan lokasi panas dalam perut.
6) Nafas yang pendek dan berbunyi mengik karena ada penyempitan pada saluran udara
7) Suara parau
8) Ludah berlebihan (water brash)
9) Rasa bengkak pada tenggorokan (rasa globus)
10) Terjadi peradangan pada sinus (sinusitis)
11) Gejala lain : pertumbuhan yang buruk, kejang, nyeri telinga (pada anak)
12) Peradangan pada kerongkongan (esophagitis) bisa menyebabkan pendarahan yang biasanya
ringan tetapi bisa jadi besar. Darah kemungkinan dimuntahkan atau keluar melalui saluran
pencernaan, menghasilkan kotoran berwarna gelap, kotoran berwarna ter (melena) atau
darah merah terang, jika pendarahan cukup berat.
13) Dengan iritasi lama pada bagian bawah kerongkongan dari refluks berulang, lapisan sel pada
kerongkongan bisa berubah (menghasilkan sebuah kondisi yang disebut kerongkongan
Barrett). Perubahan bisa terjadi bahkan pada gejala-gejala yang tidak ada. Kelainan sel ini
adalah sebelum kanker dan berkembang menjadi kanker pada beberapa orang.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan standar baku untuk
diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal break di esophagus (esofagitis refluks). Jika
tidak ditemukan mucosal break pada pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas pada
pasien dengan gejala khas GERD, keadaan ini disebut non-erosive reflux disease (NERD).
2) Esofagografi dengan barium
Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali tidak
menunjukkan kelainan, terutama pada kasus esofagitis ringan. Pada keadaan yang lebih berat,
gambar radiology dapat berupa penebalan dinding dan lipatan mukosa, ulkus, atau
penyempitan lumen. Walaupun pemeriksaan ini sangat tidak sensitive untuk diagnosis GERD,
namun pada keadaan tertentu pemeriksaan ini mempunyai nilai lebih dari endoskopi, yaitu
pada stenosis esophagus derajat ringan akibat esofagitis peptic dengan gejala disfagia, dan
pada hiatus hernia.
3) Monitoring pH 24 jam
Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal esophagus.
Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan mikroelektroda pH pada
bagian distal esophagus. Pengukuran pH pada esophagus bagian distal dapat memastikan ada
tidaknya refluks gastroesofageal. pH dibawah 4 pada jarak 5 cm di atas LES dianggap
diagnostik untuk refluks gastroesofageal.
4) Tes Perfusi Berstein
Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang transnasal dan
melakukan perfusi bagian distal esophagus dengan HCl 0,1 M dalam waktu kurang dari 1
jam. Tes ini bersifat pelengkap terhadap monitoring pH 24 jam pada pasien-pasien dengan
gejala yang tidak khas. Bila larutan ini menimbulkan rasa nyeri dada seperti yang biasanya
dialami pasien, sedangkan larutan NaCl tidak menimbulkan rasa nyeri, maka test ini dianggap
positif. Test Bernstein yang negative tidak menyingkirkan adanya nyeri yang berasal dari
esophagus.
5) Manometri esofagus : mengukuran tekanan pada katup kerongkongan bawah menunjukan
kekuatannya dan dapat membedakan katup yang normal dari katup yang berfungsi buruk
kekuatan sphincter
G. PEMERIKSAAN FISIK
Inspeksi :

a)Klien tampak muntah

b)Klien tampak lemah

c)Klien tampak batuk-batuk

d) Klien tampak memegang daerah yang nyeri

Auskultasi :
a) Suara terdengar serak
b) Bising usus <12 detik per menit
c) Suara jantung S1/S2 reguler

H. TERAPI/TINDAKAN PENANGANAN
Pada prinsipnya, penatalaksanaan GERD terdiri dari modifikasi gaya hidup, terapi
medikamentosa, terapi bedah serta akhir-akhir ini mulai dilakukan terapi endoskopik. Target
penatalaksanaan GERD adalah menyembuhkan lesi esophagus, menghilangkan gejala/keluhan,
mencegah kekambuhan, memperbaiki kualitas hidup, dan mencegah timbulnya komplikasi.
1. Modifikasi gaya hidup
Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu bagian dari penatalaksanaan GERD, namun
bukan merupakan pengobatan primer. Walaupun belum ada studi yang dapat memperlihatkan
kemaknaannya, namun pada dasarnya usaha ini bertujuan untuk mengurangi frekuensi refluks
serta mencegah kekambuhan. Hal-hal yang perlu dilakukan dalam modifikasi gaya hidup
adalah meninggikan posisi kepala pada saat tidur serta menghindari makan sebelum tidur
dengan tujuan untuk meningkatkan bersihan asam selama tidur serta mencegah refluks asam
dari lambung ke esophagus, berhenti merokok dan mengkonsumsi alkohol karena keduanya
dapat menurunkan tonus LES sehingga secara langsung mempengaruhi sel-sel epitel,
mengurangi konsumsi lemak serta mengurangi jumlah makanan yang dimakan karena
keduanya dapat menimbulkan distensi lambung, menurunkan berat badan pada pasien
kegemukan serta menghindari pakaian ketat sehingga dapat mengurangi tekanan intraabdomen,
menghindari makanan/minuman seperti coklat, teh, peppermint, kopi dan minuman bersoda
karena dapat menstimulasi sekresi asam, jikan memungkinkan menghindari obat- obat yang
dapat menurunkan tonus LES seperti antikolinergik, teofilin, diazepam, opiate, antagonis
kalsium, agonis beta adrenergic, progesterone.
2. Terapi medikamentosa
Terdapat berbagai tahap perkembangan terapi medikamentosa pada penatalaksanaan GERD
ini. Dimulai dengan dasar pola pikir bahwa sampai saat ini GERD merupakan atau termasuk
dalam kategori gangguan motilitas saluran cerna bagian atas. Namun dalam perkembangannya
sampai saat ini terbukti bahwa terapi supresi asam lebih efektif daripada pemberian obat-obat
prokinetik untuk memperbaiki gangguan motilitas. Terdapat dua alur pendekatan terapi
medikamentosa, yaitu step up dan step down. Pada pendekatan step up pengobatan dimulai
dengan obat-obat yang tergolong kurang kuat dalam menekan sekresi asam (antagonis reseptor
H2) atau golongan prokinetik, bila gagal diberikan obat golongan penekan sekresi asam yang
lebih kuat dengan masa terapi lebih lama (penghambat pompa proton/PPI). Sedangkan pada
pendekatan step down pengobatan dimulai dengan PPI dan setelah berhasil dapat dilanjutkan
dengan terapi pemeliharaan dengan menggunakan dosis yang lebih rendah atau antagonis
reseptor H2 atau prokinetik atau bahkan antacid.

Dari berbagai studi, dilaporkan bahwa pendekatan terapi step down ternyata lebih ekonomis
(dalam segi biaya yang dikeluarkan oleh pasien) dibandingkan dengan pendekatan terapi step
up. Menurut Genval Statement (1999) serta Konsensus Asia Pasifik tentang penatalaksanaan
GERD (2003) telah disepakati bahwa terapi lini pertama untuk GERD adalah golongan PPI dan
digunakan pendekatan terapi step down. Pada berbagai penelitian terbukti bahwa respons
perbaikan gejala menandakan adanya respons perbaikan lesi organiknya (perbaikan
esofagitisnya). Hal ini tampaknya lebih praktis bagi pasien dan cukup efektif dalam mengatasi
gejala pada tatalaksana GERD.

Berikut adalah obat-obatan yang dapat digunakan dalam terapi medikamentosa GERD :

 Antasid

Golongan obat ini cukup efektif dan aman dalam menghilangkan gejala GERD tetapi tidak
menyembuhkan lesi esofagitis. Selain sebagai buffer terhadap HCl, obat ini dapat memperkuat
tekanan sfingter esophagus bagian bawah. Kelemahan obat golongan ini adalah rasanya kurang
menyenangkan, dapat menimbulkan diare terutama yang mengandung magnesium serta
konstipasi terutama antasid yang mengandung aluminium, penggunaannya sangat terbatas pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
 Antagonis reseptor H2

Yang termasuk dalam golongan obat ini adalah simetidin, ranitidine, famotidin, dan nizatidin.
Sebagai penekan sekresi asam, golongan obat ini efektif dalam pengobatan penyakit refluks
gastroesofageal jika diberikan dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis untuk terapi ulkus. Golongan
obat ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat ringan sampai sedang serta tanpa
komplikasi.
 Obat-obatan prokinetik
Secara teoritis, obat ini paling sesuai untuk pengobatan GERD karena penyakit ini lebih
condong kearah gangguan motilitas. Namun, pada prakteknya, pengobatan GERD sangat
bergantung pada penekanan sekresi asam.
 Metoklopramid
Obat ini bekerja sebagai antagonis reseptor dopamine. Efektivitasnya rendah dalam mengurangi
gejala serta tidak berperan dalam penyembuhan lesi di esophagus kecuali dalam kombinasi
dengan antagonis reseptor H2 atau penghambat pompa proton. Karena melalui sawar darah otak,
maka dapat timbul efek terhadap susunan saraf pusat berupa mengantuk, pusing, agitasi, tremor,
dan diskinesia.
 Domperidon
Golongan obat ini adalah antagonis reseptor dopamine dengan efek samping yang lebih jarang
disbanding metoklopramid karena tidak melalui sawar darah otak. Walaupun efektivitasnya
dalam mengurangi keluhan dan penyembuhan lesi esophageal belum banyak dilaporkan,
golongan obat ini diketahui dapat meningkatkan tonus LES serta mempercepat pengosongan
lambung.
 Cisapride
Sebagai suatu antagonis reseptor 5 HT4, obat ini dapat mempercepat pengosongan lambung
serta meningkatkan tekanan tonus LES. Efektivitasnya dalam menghilangkan gejala serta
penyembuhan lesi esophagus lebih baik dibandingkan dengan domperidon.
 Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat)
Berbeda dengan antasid dan penekan sekresi asam, obat ini tidak memiliki efek langsung
terhadap asam lambung. Obat ini bekerja dengan cara meningkatkan pertahanan mukosa
esophagus, sebagai buffer terhadap HCl di eesofagus serta dapat mengikat pepsin dan garam
empedu. Golongan obat ini cukup aman diberikan karena bekerja secara topikal (sitoproteksi).
 Penghambat pompa proton (Proton Pump Inhhibitor/PPI)
Golongan obat ini merupakan drug of choice dalam pengobatan GERD. Golongan obat-obatan
ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal dengan mempengaruhi enzim H, K ATP-ase
yang dianggap sebagai tahap akhir proses pembentukan asam lambung.

Obat-obatan ini sangat efektif dalam menghilangkan keluhan serta penyembuhan lesi
esophagus, bahkan pada esofagitis erosive derajat berat serta yang refrakter dengan golongan
antagonis reseptor H2. Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial) yang
dapat dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan (maintenance therapy) selama 4 bulan atau on-
demand therapy, tergantung dari derajat esofagitisnya.

I. KOMPLIKASI
1) Erosif esofagus
2) Esofagus barrett’s
3) Striktur esofagus
4) Gagal tumbuh (failur to thrive)
5) Perdarahan saluran cerna akibat iritasi
6) Aspirasi

J. PENGKAJIAN
Pada pengkajian dilakukan wawancara dan pemeriksaan fisik untuk memperoleh informasi
dan data yang nantinya akan digunakan sebagai dasar membuat rencana asuhan keperawatan klien.
a. Keadaan Umum
Meliputi kondisi seperti tingkat ketegangan/kelelahan, tingkat kesadaran kualitatif atau GCS dan
respon verbal klien.
b. Tanda-tanda Vital
Meliputi pemeriksaan: Tekanan darah: sebaiknya diperiksa dalam posisi yang berbeda, kaji
tekanan nadi, dan kondisi patologis, Pulse rate, Respiratory rate, Suhu.
c. Riwayat penyakit sebelumnya
Ditanyakan apakah sebelumnya klien pernah menderita penyakit paru yang dapat menjadi
predisposisi GERD.
d. Pola Fungsi Keperawatan
Aktivitas dan istirahat
Data Subyektif: Klien mengatakan agak sulit beraktivitas karena nyeri di daerah epigastrium,
seperti terbakar.
Data obyektif : Tidak terjadi perubahan tingkat kesadaran dan tidak terjadi perubahan tonus
otot.

Sirkulasi

Obyektif: Suhu tubuh normal (36,5-37,5 oC) Kadar WBC meningkat.

Eliminasi

Data Subyektif: Klien mengatakan tidak mengalami gangguan eliminasi.

Data obyektif: Bising usus menurun (<12x/menit)

Makan/ minum

Data Subyektif: Klien mengatakan mengalami mual muntah, tidak nafsu makan, susah
menelan, rasa pahit di lidah.

Data Obyektif: Klien tampak tidak memakan makanan yang disediakan.

Sensori neural

Data Subyektif: Klien mengatakan ada rasa pahit di lidah.

Data obyektif: Status mental baik.

Nyeri / kenyamanan

Data Subyektif: Klien mengatakan mengalami nyeri pada daerah epigastrium.

P: nyeri terjadi akibat perangsangan nervus pada esophagus oleh cairan refluks.

Q: klien mengatakan nyeri terasa seperti terbakar

R: klien mengatakan nyeri terjadi pada daerah epigastrium.

S: klien mengatakan skala nyeri 1-10.

T: klien mengatakan nyerinya terjadi pada saat menelan makanan. Nyeri pada dada menetap.

Data Obyektif: Klien tampak meringis kesakitan, memegang bagian yang nyeri, tekanan darah
meningkat, tampak gelisah

Respirasi

Data Subyektif : Klien mengatakan bahwa ia mengalami sesak napas dan mengalami batuk

Data obyektif: Terlihat ada sesak napas, penggunaan otot bantu napas dan frekuensi tidak
normal yaitu pada bayi >30-40 x/mnt dan pada anak-anak > 20-26 x/menit, batuk.
Keamanan

Data Subyektif : Klien mengatakan merasa cemas

Data obyektif: tampak gelisah

Interaksi sosial

Data Subyektif: Klien mengatakan suaranya serak, susah berbicara dengan orang lain karena
suaranya tidak jelas terdengar.

Data obyektif: Suara klien terdengar serak dan tidak terdengar jelas.
e. Pemeriksaan Fisik
Inspeksi :
 Klien tampak muntah Klien tampak lemah
 Klien tampak batuk-batuk
 Klien tampak memegang daerah yang nyeri

Auskultasi :

 Suara terdengar serak


 Bising usus menurun <12x/menit
 Suara jantung S1/S2 reguler
f. Pemeriksaan Diagnostik dan Penunjang
1. Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan standar baku untuk
diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal break di esophagus (esofagitis refluks).
Jika tidak ditemukan mucosal break pada pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian
atas pada pasien dengan gejala khas GERD, keadaan ini disebut non-erosive reflux
disease (NERD).
2. Esofagografi dengan barium
Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali tidak
menunjukkan kelainan, terutama pada kasus esofagitis ringan. Pada keadaan yang lebih
berat, gambar radiology dapat berupa penebalan dinding dan lipatan mukosa, ulkus, atau
penyempitan lumen. Walaupun pemeriksaan ini sangat tidak sensitive untuk diagnosis
GERD, namun pada keadaan tertentu pemeriksaan ini mempunyai nilai lebih dari
endoskopi, yaitu pada stenosis esophagus derajat ringan akibat esofagitis peptic dengan
gejala disfagia, dan pada hiatus hernia.
3. Monitoring pH 24 jam
Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal esophagus.
Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan mikroelektroda pH pada
bagian distal esophagus. Pengukuran pH pada esophagus bagian distal dapat memastikan
ada tidaknya refluks gastroesofageal. pH dibawah 4 pada jarak 5 cm di atas LES
dianggap diagnostik untuk refluks gastroesofageal.

K. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri Akut berhubungan dengan agen cidera ditandai dengan klien melaporkan nyeri secara
verbal, klien tampak meringis kesakitan, tampak gelisah, klien tampak nyeri,klien memegangi
bagian yang nyeri.
2. Risiko aspirasi berhubungan dengan gangguan menelan, penurunan refleks laring dan glotis
terhadap cairan refluks.
3. Gangguan Menelan berhubungan dengan reflux disease ditandai dengan terlihat bukti
kesulitan dalam menelan.
4. Defisit nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan menelan
makanan ditandai dengan klien menghindari makan, kurang minat terhadap makanan,
mengeluh gangguan sensasi rasa, pasien mual muntah

L. EVALUASI
1. Klien melaporkan nyeri hilang, dapat dikontrol atau berkurang, klien mengatakan
nyeri berkurang (skala nyeri 1-2), hilang (skala nyeri 0), atau dapat dikontrol, klien tampak
rileks, TTV dalam rentang normal ( RR pada bayi =30- 40x/menit dan pada anak-anak = 20-
26x/menit, nadi = 80-100 x/menit, suhu 36- 37 derajat celcius, tekanan darah pada bayi =
70-90/50 mmHg dan pada anak- anak = 80-100/60 mmHg), Klien tampak tidak meringis
kesakitan.
2. Aspirasi tidak terjadi, klien tidak mengalami aspirasi.
3. Gangguan menelan dapat teratasi, tidak teramati adanya kesulitan saat menelan, tidak
terjadi statis makanan di rongga mulut klien, klien tidak tersedak setelah makan/minum.
DAFTAR PUSTAKA

1. Friyanto, D. et al. (2013) ‘Analisis Penggunaan Obat Gastroesophageal Reflux Disease


( Gerd ) Pada Pasien Rawat Jalan Di Rumah Sakit Umum Daerah Karawang Disease
( GERD ) pada Pasien Rawat Jalan di Rumah Sakit Umum Daerah’, pp. 240–247.
2. Gastroesophageal Reflux in Infants.
http://www.rch.org.au/clinicalguide/cpg.cfm?doc_id=9746
3. Gastroesophageal Reflux in Infants.
http://digestive.niddk.nih.gov/ddiseases/pubs/gerdinfant/index.htm

4. Gastroesophageal Reflux in Children and Adolescents


http://digestive.niddk.nih.gov/ddiseases/pubs/gerinchildren/index.htm XSmeltzer
Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Alih
bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC;
2018.
5.
6.

Anda mungkin juga menyukai