Anda di halaman 1dari 37

GASTROESOPHAGEAL REFLUX DISEASE

Gastroesophageal reflux disease (GERD) adalah suatu gangguan dimana isi lambung
mengalami refluks secara berulang ke dalam esofagus, yang bersifat kronis dan menyebabkan
terjadinya gejala dan/atau komplikasi yang mengganggu (Simadibrata, 2009). Menurut Laporan
Konsensus Montreal tahun 2006, GERD adalah sebuah kondisi yang terjadi ketika refluks isi
lambung menyebabkan gejala yang mengganggu dan atau komplikasi (Vakil, 2006). Menurut
Konsensus Nasional tahun 2013, GERD adalah suatu kelainan yang menyebabkan cairan
lambung dengan berbagai kandungannya mengalami refluks ke dalam esofagus, dan
menimbulkan gejala khas seperti heartburn (rasa terbakar di dada yang kadang disertai rasa nyeri
dan pedih) dan gejala-gejala lain seperti regurgitasi (rasa asam dan pahit di lidah), nyeri
epigatrium, disfagia, dan odinofagia (PGI, 2013).

Beberapa faktor risiko terjadinya GERD yaitu usia lanjut, jenis kelamin laki-laki, ras,
riwayat keluarga, status ekonomi tinggi, peningkatan indeks massa tubuh, dan merokok. Masalah
heatburn dan regurgitasi didapatkan pada 6% dan 16% populasi. Rata-rata sekitar 30% pria dan
23% wanita mengalami keluhan GERD sekali dalam seminggu (Katz, 2013; PGI, 2013; Alipour,
2014).

Patofisiologi GERD

GERD dapat dibagi menjadi dua yaitu erosive esophagitis (EE) dan non-erosive reflux
disease (NERD). Pasien-pasien NERD tidak didapatkan lesi pada esofagus saat pemeriksaan
endoskopi (Singh, 2012). Beberapa hal yang berperan dalam patogenesis GERD, diantaranya
adalah peranan infeksi Helicobacter pylori (H. pylori), peranan kebiasaan/gaya hidup ala barat
dengan diet tinggi lemak, peranan motilitas, dan hipersensitivitas viseral. Peranan infeksi H.
Pylori dalam patogenesis GERD relatif kecil dan kurang didukung oleh data yang ada. Peranan
alkohol, diet serta faktor psikis tidak bermakna dalam patogenesis GERD, sedangkan rokok dan
berat badan berlebih dikatakan sebagai faktor risiko terjadinya GERD. Beberapa obat-obatan
bronkodilator dapat juga mempengaruhi GERD (PGI, 2013).

Pasien GERD, mekanisme predominan adalah transient lower esophageal spinchter


relaxation (TLESR), menurunnya bersihan esofagus, disfungsi sfingter esofagus, dan
pengosongan lambung yang lambat. Peranan refluks non-asam/gas dalam patogenesis GERD
didasarkan atas hipersensitivitas viseral yang memodulasi persepsi neural sentral dan perifer
terhadap rangsangan regangan maupun zat non-asam dari lambung. Secara teori ada tiga
mekanisme mukosa esofagus (Gambar 2.1) yaitu 1) mekanisme pre epitel yang terdiri dari
mukus, ion bikarbonat, dan faktor pertumbuhan epitel, 2) mekanisme pertahanan epitel yang
terdiri dari sel epitel dan kompleks intercelluler junctional, dan 3) mekanisme post epitelial yang
terdiri dari pembuluh darah. Mekanisme pertahanan superfisial pre-epitelial tidaklah terlalu kuat,
jadi sel epitel esofgus lebih mudah terpapar asam refluks dan cairan duodenum.

Inflamasi mukosa pada pasien GERD

Sitokin inflamasi, termasuk di dalamnya kemokin, memegang peranan penting sebagai


penyebab perubahan awal inflamasi pada pasien dengan GERD. Didapatkan kadar IL-8 mRNA
yang lebih tinggi pada pasien GERD, yang mana ekspresi IL-8 mRNA berada di lapisan basal
epitel esofagus. IL-8 adalah faktor yang mengaktifkan netrofil yang memproduksi lekosit-lekosit
dan sel endotel vaskular. Dalam hal ini pentingnya peranan sel epitel esofagus dalam
menyebabkan inflamasi mukosa dengan memproduksi IL-8. Pasien-pasien dengan pemberian
terapi dengan PPI selama 8 minggu, kadar IL-8 m-RNA menurun dengan cepat seiring dengan
perbaikan gejala dan gambaran endoskopi, namun tidak ada perubahan kadar MCP-1 (Monocyte
Chemoattractant Protein-1) mRNA. IL-8 adalah petanda sensitif untuk inflamasi esofagus. Pada
penelitian kultur sel-sel esofagus dan mukosa esofagus menunjukkan bahwa sitokin inflamasi
seperti IL-8, infiltrasi lekosit, dan stres oksidatif semuanya terlibat dalam patogenesis refluks
esofagitis (Waleleng, 2007).

Didapatkan peningkatan superoxide dismutase (SOD), enzim antioksidan dalam mukosa


esofagus pada pasien GERD. Hal ini mengindikasikan peningkatan kadar radikal bebas dan
peroxynitrite pada mukosa esofagus pasien. Inflamasi mukosa disebabkan oleh produksi
hidrogen peroksidase yang menstimulasi sintesis PAF (platelet activating factor) dan PGE2
(prostaglandin E2) dan terlibat dalam relaksasi LES (lower oesophageal sphincter). Para penulis
menunjukkan peranan penting stres oksidatif yang mempengaruhi refluks karena gangguan
fungsi LES (Gambar 2.2). Oksidatif stres disebabkan oleh refluks asam lambung dan cairan
duodenum (asam empedu dan cairan pankreas) ke esofagus yang dikaitkan dengan
berkembangnya inflamasi dan keganasan. Secara umum bahwa refluks asam lambung dan
refluks cairan duodenum yang membuat sulit kondisi pasien untuk diterapi (Yoshida, 2007).

Gejala Klinis GERD

Pasien-pasien GERD datang keluhan heartburn atau regurgitasi, wheezingatau dispneu,


batuk kronis, suara parau kronis atau sakit tenggorokan, throatclearing, nyeri dada, halitosis.
Gejala heartburn atau regurgitasi sering terjadi setelah makan, terutama makanan yang
berlemak. Posisi berbaring, membungkuk, atau aktivitas fisik akan memperberat gejala. Pasien-
pasien dengan gejala klasik heartburn atau regurgitasi jarang dilakukan uji konfirmasi untuk
menegakkan diagnosis karena nilai prediksinya positif tinggi ketika didapatkan heartburn
(spesifitas 89%, 81% nilai prediktif positif 81%) dan/atau regurgitasi (spesifitas 95%, nilai
prediktif positif 57%). Diagnosis banding GERD seringkali sulit karena intensitas dan frekuensi
heartburn dan gejala GERD yang lain tidak dapat dijadikan untuk memprediksi beratnya
manifestasi yang terjadi pada esofagus (Wilson, 2008).

Hampir 80% pasien-pasien dengan GERD disertai sedikitnya satu dari gejala
extraesophageal. Namun demikian tidaklah mudah menghubungkan penyebab GERD dan gejala
extraesophageal, dikarenakan GERD mungkin salah satu dari banyak penyebab gejala ini.
Gejala extraesophageal antara lain masalah pernapasan, nyeri dada, suara parau, keradangan pita
suara. Endoskopi saluran cerna atas pada pasien dengan gejala heartburn atau regurgitasi bukan
keharusan bagi pasien GERD, mengingat lebih dari 90% pasien GERD di Asia tidak
menunjukkan kelainan pada pemeriksaan endoskopi (Wilson, 2008).

Diagnosis GERD

Anamnesis yang cermat merupakan cara utama untuk menegakkan diagnosis GERD.
Gejala spesifik untuk GERD adalah heartburn dan/atau regurgitasi yang timbul setelah makan.
Orang Indonesia terdiri dari banyak suku dan bahasa sehingga sangat sulit untuk menerjemahkan
gejala GERD yang seragam karena banyaknya cara pengungkapan . Untuk mengatasi masalah
ini maka diciptakan konsep dan alat psikometrik berupa kuesioner untuk asesmen gejala GERD
yang disebut GERD Questionnaire (GERDQ). GERDQ adalah alat sederhana untuk
mengidentifikasi dan mengelola pasien GERD, yang mempunyai sensitifitasnya 65% dan
spesifitas 71%. Kuesioner ini dikembangkan berdasarkan data-data klinis, informasi yang
diperoleh dari studi-studi klinis berkualitas, dan wawancara kualitatif terhadap pasien. GERDQ
merupakan kombinasi kuesioner tervalidasi yang dgunakan dalam penelitian DIAMOND.
GERDQ dapat dinilai efektifitasnya untuk mendiagnosis GERD, validitasnya ditulis dalam
Bahasa Indonesia, untuk mengevaluasi reabilitas saat digunakan untuk pasien GERD dengan
Bahasa Indonesia, dan untuk mengases respon terapi terhadap pasien GERD (Jones, 2009;
Mouli, 2011; Simadibrata, 2011; PGI 2013; Tielemans, 2013).

Endoskopi pada pasien GERD terutama ditujukan pada individu dengan alarm sign
(disfagia progresif, odinofagia, penurunan berat badan, anemia, hematemesis-melena, riwayat
keluarga dengan keganasan dan tidak berespon terhadap terapi empiris dengan PPI dua kali
sehari). Endoskopi pada GERD tidak selalu harus dilakukan pada saat pertama kali, oleh karena
GERD dapat ditegakkan berdasarkan gejala dan/atau terapi empirik. Pemeriksaan histopatologi
dalam diagnosis GERD adalah untuk menentukan adanya metaplasia, displasia, atau keganasan.
Pemeriksaan pH metri 24 jam atau kapsul 48 jam untuk mengevaluasi pasien-pasien GERD yang
tidak berespon dengan terapi PPI, pasien-pasien dengan gejala ekstra esofageal sebelum terapi
PPI atau setelah dinyatakan gagal dengan terapi PPI, dan memastikan diagnosis GERD sebelum
operasi anti-refluks (PGI, 2013).

Proton Pump Inhibitortest dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis pada pasien
dengan gejala tipikal dan tanpa adanya tanda bahaya atau risiko esofagus Barret. Tes ini
dilakukan dengan memberikan PPI ganda selama 1-2 minggu tanpa didahului dengan
pemeriksaan endoskopi. Jika gejala menghilang dengan pemberian PPI dan muncul kembali jika
terapi PPI dihentikan, maka diagnosis GERD dapat ditegakkan. Tes dikatakan positif, apabila
terjadi perbaikan klinis dalam 1 minggu sebanyak lebih dari 50%. PPI tes dinyatakan memiliki
sensitivitas sebesar 80% dan spesifitas sebesar 74% untuk penegakkan diagnosis pada pasien
GERD dengan nyeri dada non-kardiak (PGI, 2013).

Penatalaksanaan GERD
Pada dasarnya terdapat 5 target yang ingin dicapai yaitu menghilangkan gejala/keluhan,
menyembuhkan lesi esofagus, mencegah kekambuhan, memperbaik kualitas hidup, dan
mencegah timbulnya komplikasi.

Penatalaksanaan GERD :

1. Non farmakologik

2. Farmakologik

Penatalaksanaan non-farmakologi.

Penatalaksanaan non-farmakologi adalah modifikasi berat badan, meninggikan kepala


15-20 cm pada saat tidur, menghentikan merokok dan minum alkohol, mengurangi makanan dan
obat-obatan yang merangsang asam lambung dan menyebabkan refluks, makan tidak boleh
terlalu kenyang dan makan malam paling lambat 3 jam sebelum tidur (PGI, 2013).

Penataksanaan farmakologi

Berdasarkan etiologi dan gejala lesi esofagus dengan banyak faktor, maka ada beberapa
regimen terapi yang dapat dipertimbangkan. Penatalaksanaan adalah antasida, prokinetik,
antagonis reseptor H2, PPI, Baclofen, endoskopi, dan tindakan bedah.Pengobatan GERD tanpa
komplikasi regimen yang paling sering digunakan adalah histamine- H2 receptor for antagonist
(H2RAS) dan PPI (Katz, 2013; PGI 2013).

PPI dipilih karena dapat meredakan keluhan GERD esofageal dan extra esofageal
(Lpez-Alvarenga, 2014). Dosis inisial PPI adalah dosis tunggal per pagi hari 30 menit sebelum
makan (untuk mengontrol PH) selama 2 sampai 4 minggu. Apabila masih ditemukan gejala
sesuai GERD (PPI failure), sebaiknya PPI diberikan diberikan secara berkelanjutan dengan dosis
ganda sampai gejala menghilang. Umumnya terapi dosis ganda dapat diberikan sampai 4-8
minggu. Pasien-pasien dengan respon parsial terhadap suatu regimen PPI akan diganti dengan
regimen PPI yang lain atau dosisnya dinaikkan menjadi dua kali dalam sehari atau dosisnya
dinaikkan menjadi dua kali dosis standar. Pemberian PPI dengan dosis rumatan diberikan pada
pasien-pasien yang memberikan gejala atau pasien-pasien dengan komplikasi. Pasien-pasien
dengan gejala yang tidak terkontrol dengan dosis tunggal PPI, dapat diberikan dosis terbagi atau
diduakalikan dengan menambah dosis pada sore hari. Tindakan bedah dilakukan untuk pasien-
pasien GERD yang telah menjalani terapi jangka panjang (Katz, 2013). Efektifitas terapi obat
GERD dinilai dari meredanya gejala, menghilangnya gejala, dan penyembuhan erosif esofagitis
(Maton, 2003).

Mekanisme kerja Proton Pump Inhibitor (PPI)

PPI telah digunakan secara luas untuk pengobatan penyakit yang berhubungan dengan
gangguan asam, seperti penyakit GERD maupun terapi eradikasi H. pylori, karena efek inhibisi
kuat pada sekresi asam. Tujuan pemberian PPI pada pasien-pasien GERD adalah untuk
membantu proses penyembuhan esofagus dan untuk mengurangi komplikasi yang mungkin
terjadi. Pemberian PPI dikatakan berhasil bila asam lambung terkontrol dan menurunnya keluhan
heartburn. PPI tidak hanya menghambat sekresi asam, namun juga mengurangi inflamasi dan
stres oksidatif di mukosa lambung dan esofagus dengan menghambat aktivasi netrofil dan sel
endotelial. Pemberian PPI lebih cepat mengontrol gejala dan mempercepat penyembuhan pada
esofagitis dibandingkan dengan pemberian antasida dan antagonis resptor H2. Pemberian PPI
secara cepat menurunkan kadar IL-8 dalam mukosa esofagus manusia. PPI menghambat
produksi radikal bebas oleh netrofil dan mengeblok degranulasi netrofil, walaupun dalam
konsentrasi yang relatif tinggi (Yoshida, 2007; Scholten, 2007).

Telah dilaporkan bahwa bentuk inaktif dari lansoprazole dan omeprazole dalam sirkulasi
darah menekan aspek penting dari respon akut inflamasi seperti adesi dari netrofil pada
endotelium dan migrasi netrofil ekstravaskular, dengan inhibisi ekspresi CD 11b/CD18 ( a
neutrophil adhesion molecule) dan dengan menghambat sintesis IL-8 di sel epitel dan sel
endotelial mukosa lambung. Substansi ini diharapkan untuk mengurangi infiltrasi sel-sel
inflamasi (limfosit dan monosit) terkait dengan inflamasi kronis dengan menghambat ekspresi
ICAM-1 (intercelluler adhesion molecule-1) dan VCAM-1 (vascular cell adhesion molecule-1).
Lansoprazole menghambat terjadinya jejas pada usus halus terkait dengan peningkatan sitokin
dan netrofil yang disebabkan oleh iskemi/ reperfusi atau NSAID (non-steroidal anti-
inflammatory drugs), yang tidak terkait dengan dengan sekresi asam. Faktanya efek antiinflamasi
dan antioksidan dari PPI sebagian terkait dengan penekanan metabolisme kalsium intraseluler
dan untuk mengeblok aktivasi faktor transkripsi (Yoshida, 2007).
Mekanisme sekresi asam lambung dan PPI

PPI menyembuhkan luka dan mengkontrol gejala yang terkait dengan asam yang timbul
karena penyakitnya dengan menghambat sekresi asam lambung. PPI lebih efektif daripada H2RA
dan paling baik dalam mengkontrol asam lambung selama 24 jam. Untuk kasus-kasus ringan
semua PPI dapat menyembuhkan dengan baik, namun untuk kasus-kasus berat, esomeprazole
memberi keuntungan yang lebih karena dapat mengontrol PH lebih dari 24 jam (Cheng, 2002;
Olbe, 2003; Scholten, 2007).

Sekresi asam lambung terjadi untuk merespon sekresi endogen seperti histamin, gastrin,
dan asetilkolin. Substansi ini mengikat reseptor spesifik di sel parietal dan menstimulasi sekresi
asam. Tahap akhir di jalur sekretori adalah enzim H+/K+ATPase (proton pump) yang menukar
kalium dengan ion hidrogen. Pada pasien GERD sekresi H+ meningkat karena aktivitas yang
berlebihan proton pump. PPI mengeblok tahap akhir sekresi asam klorida dengan mengikat
H+/K+ATPase di adalah prodrug yang disebut mensubstitusi benzimidazole, yang diaktifkan oleh
asam untuk menghambat proton pump(Cheng, 2002; Olbe, 2003; Scholten, 2007).

Omeprazole mempunyai beberapa karakteristik, yang pertama bersifat lipofilik yang


artinya memudahkan penetrasi membran sel. Yang kedua omeprazole adalah basa yang lemah
yang terkonsentrai dalam suasana asam. Ketiga, omeprazole sangat tidak stabil dalam kondisi
larutan asam. Waktu paruh omprazole dalam PH 1 adalah 2 menit, sedangkan dalam PH 7,4
waktu paruhnya 20 jam. Jadi omeprazole adalah prodrug yang berakumulasi dengan suasana
asam dalam sel target yang mana akan ditransformasikan sebagai inhibitor aktif. Esomeprazole
secara klinis menunjukkan keunggulannya dibanding PPI yang lain. Didapatkan perbaikan klinis
yang cukup berarti dengan rata-rata penyembuhan pada esofagitis yang lebih tinggi dengan
pemberian esomeprazole(Cheng, 2002; Olbe, 2003; Scholten, 2007).

Dosis PPI untuk pengobatan GERD (PGI, 2013)

Jenis PPI Dosis Tunggal Dosis Ganda

Omeprazole 20 mg 20 mg 2 kali sehari

Pantoprazole 40 mg 40 mg 2 kali sehari

Lansoprazole 30 mg 30 mg 2 kali sehari


Esomeprazole 40 mg 40 mg 2 kali sehari

Rabeprazole 20 mg 20 mg 2 kali sehari

Penatalaksanaan endoskopik

Terapi endoskopi untuk GERD yang telah dikembangkan adalah radiofrequencyenergy


delivery dan endoscopic suturing. Namun demikian masih belum ada laporan mengenai terapi
endoskopi untuk GERD di Indonesia (PGI, 2013).

Penatalaksanaan bedah

Penatalaksanaan tindakan bedah mencakup tindakan pembedahan anti refluks (fundoplikasi


Nissen, perbaikan hiatus hernia, dll) dan pembedahan untuk mengatasi komplikasi (Cicala, 2013;
PGI, 2013).

Kualitas Hidup

Istilah kualitashidupatau sehat yang dikaitkan dengan kualitas hidup sering dihubungkan
dengan penelitian kesehatan yang mengacu pada berbagai macam pertanyaan untuk mengukur
kondisi dan pengalaman dalam berbagai macam kehidupan sebagai dasar pemeriksaan gangguan,
penyakit dan efektifitas oleh petugas kesehatan. Tolak ukur kesehatan yang spesifik seperti
gejala, status fungsional, status kesehatan, yang dikombinasikan dengan pengukuran kepuasaan
hidup, kesejahteraan, dan kebahagiaan sebagai alat untuk mengukur kualitas hidup. Dimensi
kualitas hidup terdiri dari fisik, psikis, sosial, ekonomi, lingkungan dan spiritual atau keberadaan
hidup (Sawatzky, 2007).

Kualitas hidup adalah konsep umum yang menggambarkan modifikasi dan peningkatan
atribut kehidupan seperti fisik, politik, moral, dan lingkungan sosial, dan semua kondisi
kehidupan manusia.WHOmendefinisikankualitas hidupsebagai individupersepsiposisi
merekadalam kehidupandalam konteksbudaya dansistem nilaidimana mereka hidupdandalam
hubungannya dengantujuan mereka, harapan, standar dankekhawatiran. Iniadalah konsepyang
luasmulaiterpengaruhdengan cara yangkompleks dengankesehatan seseorangfisik,
negarapsikologis, tingkatindependensi, magangsosial, keyakinan pribadidan hubungan mereka
denganfituryang menonjoldarilingkungan mereka(WHO, 1997).

Kualitas hidup telah menjadibagian pentingdansering dibutuhkandarihasil penilaian


kesehatan. Untuk populasi dengan penyakitkronis, pengukurankualitas hidupmenyediakan cara
yang berarti untuk menentukan dampak dariperawatan kesehatan, bila obat tidak mungkin.
Revicki dan rekan mendefinisikan kualitas hidup (Quality of Life) sebagai berbagai pengalaman
manusia yang berkaitan dengansalah satu kesejahteraan secara keseluruhan. Hal ini menyiratkan
nilai-nilai berdasarkan fungsi subjektif dibandingkan dengan harapan pribadi dan didefinisikan
oleh pengalaman subjektif negara dan persepsi. Kualitas Hidup, berdasarkan sifat, adalah
istimewabagi individu, tetapi secara intuitif berarti dan dipahami oleh kebanyakan orang
(Burckhardt, 2003).

Pasien-pasien dengan GERD yang diterapi dengan baik dapat memperbaiki kualitas
hidup. Kontrol heartburn adalah prediksi kuat berkembangnya kualitas hidup saat terapi GERD.
Baru-baru ini GERD spesifik, nyata, sensitif, tervalidasi dan quesioner untuk evaluasi kesehatan
yang berkaitan dengan kualitas hidup. GERDyzer mencakup 10 hal dimensi kualitas hidup
(general well-being, nyeri/ ketidaknyamanan, kesehatan fisik, energi, aktifitas, aktifitas yang
menyenangkan, kehidupan sosial, diet/makan/kebiasaan minum,suasana hati, dan tidur) dan
menunjukkan konsistensi internal yang tinggi, tes dan tes ulangan dengan realibilitas yang
tinggi. Heartburn yang menetapmenyebabkanpenurunanbesar dalamkualitas hidup. Penelitian
mengatakan bahwa pemberian Omeprazole dosis ganda dapat memperbaik kualitas hidup secara
signifikan (Scholten, 2007; Budzyski, 2011).

SRRS dan WHOQOL-BREF

Kesehatan adalah bagian yang paling penting dari kualitas hidup. Perubahan hidup
berkorelasi positif dengan skor sakit. Seseorang yang mengalami peristiwa kehidupan
meningkatkan kemungkinan terkait dengan stres gangguan kesehatan. SRRS (The Social
Readjustment Rating Scale) adalah skala penilaian penyesuaian sosial yang diciptakan oleh
Thomas Holmes dan Richard Rahe di Fakultas Kedokteran Universitas Washington pada akhir
tahun 1960, dalam ukuran standar dari dampak berbagai stres umum. Cara untuk mendapatkan
skornya adalah menambah nilai untuk semuaperistiwa kehidupanyang terdaftaryang telah terjadi
kepada Anda dalam satu tahun terakhir. Cara penilaian skor300+ berisiko sakit, skor 150-299
risiko sakit sedang, skor <150 risiko sakit ringan. Perubahan kehidupan merupakan unityang
berkorelasi positifdengan skorsakit, dan seseorang yang mengalami suatu peristiwa kehidupan
meningkatkan kemungkinan terkait dengan stresgangguan kesehatan. Seperti korelasi tidak
sempurna, peristiwa kehidupan tidak bisa menjadi satu-satunya faktor yang berkontribusi
terhadap penyakit (Rahe, 1978).

Secara umum, alat pengukur kualitas hidup yang digunakan dalam perawatan kesehatan
adalah fungsi fisik, kesejahteraan psikologis, gejalasubjektif, fungsi sosial, dan fungsi kognitif.
Terdapat beberapa instrumen yang dapat digunakan menganalisis kualitas hidup, seperti Sickness
Impact Profile, Kidney Disease Quality of Life (KDQL), World Healt Organization Quality of
Life (WHOQOL), dan Medical Outcomes Study 36-Item Short Form Health Survey (SF-36)
(Perwitasari, 2012).

Hal-hal yang mempengaruhi terjadinya GERD adalah obat-obatan, makanan, dan gaya
hidup (obesitas, konsumsi alkohol, aktifitas fisik). Patofisiologi GERD yang pertama dimulai
dari sekresi yang berlebihan (asam, garam empedu dan enzim-enzim) memicu terjadinya
oksidatif stres yang dapat menyebabkan inflamasi mukosa yang ditandai dengan Interleukin-6
(IL-6), Interleukin-8(IL-8), (Monocyte Chemoattractant Protein-1) MCP-1 yang meningkat,
inflamasi mukosa menyebabkan mucosa injury sehingga terjadi gangguan Lower Esophageal
Sphincter (LES). Gangguan LES ini dapat berupa penurunan tonus istirahat LES dan Transient
Lower Esophageal Sphincter Relaxation (TLESRs) yang dapat menyebabkan terjadi penurunan
clearance asam di esofagus,penurunan netralisasi asam, dan reflux. Penurunan netralisasi asam
dapat disebabkan oleh gangguan fungsi saliva. Dengan pemberian PPI diharapkan tidak terjadi
mucosa injury sehingga fungsi LES membaik sehingga clearance dan netralisasi asam di
esofagus meningkat akibatnya reflux menurun.Menurunnya reflux pada akhirnya menurunkan
keluhan pasien dan akan terjadi perbaikan kualitas hidup pasien GERD.

Patofisiologi GERD yang kedua melibatkan sekresi H+ yang meningkat di sel parietal
karena aktivitas yang berlebihan proton pump. Sekresi asam lambung terjadi untuk merespon
sekresi endogen seperti histamin, gastrin, dan asetilkolin. Substansi ini mengikat reseptor
spesifik di sel parietal dan menstimulasi sekresi asam. Saat sekresi asam lambung meningkat
maka keluhan pasien GERD yang utama adalah heartburn atau regurgitasi. Pemberian PPI
menurunkan sekresi asam lambung dengan mengeblok tahap akhir sekresi asam klorida dengan
mengikat H+/K+ ATPase di sel parietal mukosa gaster dan menyebabkan enzim tersebut tidak
aktif lagi. Dengan menurunnya asam lambung maka keluhan pasien akan menurun sehingga
kualitas hidup pasien akan membaik. Sementara kualitas hidup dapat dipengaruhi karakteristik
demografik dan masalah sosial.

Etiologi GERD

Penyakit gastroesofagealrefluks bersifat multifaktorial.Hal ini dapat terjadi oleh karena


perubahan yang sifatnyasementara ataupun permanen pada barrier diantara esophagusdan
lambung. Selain itu juga,dapat disebabkan oleh karenasfingter esophagus bagian bawahyang
inkompeten, relaksasi dari sfingter esophagus bagian bawah yang bersifatsementara,
terrganggunya ekspulsi dari refluks lambung dari esophagus, ataupun hernia hiatus.

PENYEBAB BERD PADA BAYI

Penyebab Refluks gastroesofagus/ gastroesophageal reflux (RGE/GER) adalah karena adanya


kelemahan pada katup esofagus bagian bawah. Katup esofagus bagian bawah ini seharusnya
membuka saat ada minuman atau makanan dari esofagus (pipa lambung) akan lewat katup dan
katup menutup setelah dilewati . Pada RGE katup tidak menutup sempurna setelah dilewati
minuman/makanan karena fungsi katup ini belum matang. Akibatnya isi lambung, termasuk
asam lambung akan naik dari lambung kembali ke esofagus(pipa lambung) selama atau setelah
makan. Asam lambung yang naik ini akan menyebabkan iritasi di esofagus dan dapat
menyebabkan peradangan. RGE yang sudah menimbulkan penyakit akan disebut
gastroesophageal reflux disease (GERD ).

Askep GERD (Gastroesophageal Reflux Disease)

BAB I

A. Latar Belakang
GERD (Gastroesofageal Reflux Disease) adalah suatu penyakit yang jarang terdiagnosis
oleh dokter di Indonesia karena bila belum menimbulkan keluhan yang berat seperti refluks
esofagitis dokter belum bisa mendiagnosa. Refluks gastroesofagus adalah masuknya isi lambung
ke dalam esofagus yang terjadi secara intermiten pada orang, terutama setelah makan (Asroel,
2002).
GERD adalah penyakit organ esofagus yang banyak ditemukan di negara Barat. Berbagai
survei menunjukkan bahwa 20-40% populasi dewasa menderita heartburn (rasa panas membakar
di daerah retrosternal), suatu keluhan klasik GERD. Di Indonesia, penyakit ini sepintas tidak
banyak ditemukan. Hanya sebagaian kecil pasien GERD datang berobat pada dokter karena pada
umumnya keluhannya ringan dan menghilang setelah diobati sendiri dengan antasida. Dengan
demikian hanya kasus yang berat dan disertai kelainan endoskopi dan berbagai macam
komplikasinya yang datang berobat ke dokter (Djajapranata, 2001).
Prevalensi PRG bervariasi tergantung letak geografis, tetapi angka tertinggi terjadi di
Negara Barat. Trend prevalensi GERD di Asia meningkat. Di Hongkong meningkat dari 29,8%
(2002) menjadi 35% (2003). Sedangkan berdasarkan data salah satu rumah sakit di Indonesi,
RSCM menunjukkan peningkatan signifikan dari 6% menjadi 26% dalam kurun waktu 5 tahun.
Asian Burning Desire Survey (2006) membuktikan bahwa pemahaman tentang GERD pada
populasi di Indonesia adalah yang terendah di Asia Pasifik, hanya sekitar 1%, sedangkan di
Taiwan mencapai 81% dan Hongkong 66%.
Antara laki-laki dan perempuan tidak terdapat perbedaan insidensi yang begitu jelas,
kecuali jika dihubungkan dengan kehamilan dan kemungkinan non-erosive reflux disease lebih
terlihat pada wanita. Walaupun perbedaan jenis kelamin bukan menjadi faktor utama dalam
perkembangan PRG, namun Barretts esophagus lebih sering terjadi pada laki-laki.
Gastroesophageal reflux disease (GERD) terdiri dari spektrum gangguan yang terkait,
termasuk hernia hiatus, reflux disease dengan gejala yang terkait, esofagitis erosif, striktur
peptikum, Barrett esofagus, dan adenokarsinoma esofagus. Selain beberapa patofisiologi dan
hubungan antara beberapa gangguan ini, GERD juga ditandai dengan terjadinya komorbiditas
pada pasien yang identik dan oleh epidemiologi perilaku yang serupa diantara mereka.
B. Tujuan
1. Mengetahui dan memahami definisi, etiologi, patofisiologi, tanda dan gejala, pemeriksaan
penunjang, terapi, dan komplikasi dari GERD.
2. Mengetahui dan memahami asuhan keperawatan pada pasien GERD.

BAB II

A. DEFINISI
Penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesophageal Reflux Disease/GERD) didefinisikan
sebagai suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus
yang menimbulkan berbagai gejala yang mengganggu (troublesome) di esofagus maupun ekstra
esofagus dan atau komplikasi (Susanto, 2002).
Pada orang normal, refluks ini terjadi pada posisi tegak sewaktu habis makan. Karena
sikap posisi tegak tadi dibantu oleh adanya kontraksi peristaltik primer, isi lambung yang
mengalir masuk ke esofagus segera dikembalikan ke lambung. Refluks sejenak ini tidak merusak
mukosa esofagus dan tidak menimbulkan keluhan atau gejala. Oleh karena itu, dinamakan
refluks fisiologis. Keadaan ini baru dikatakan patologis, bila refluks terjadi berulang-ulang yang
menyebabkan esofagus distal terkena pengaruh isi lambung untuk waktu yang lama. Istilah
esofagitis refluks berarti kerusakan esofagus akibat refluks cairan lambung, seperti erosi dan
ulserasi epitel skuamosa esofagus (Susanto, 2002).

B. ETIOLOGI
Beberapa penyebab terjadinya GERD meliputi :
1. Menurunnya tonus LES (Lower Esophageal Sphincter)
2. Bersihan asam dari lumen esofagus menurun
3. Ketahanan epitel esofagus menurun
4. Bahan refluksat mengenai dinding esofagus yaitu Ph <2, adanya pepsin, garam empedu, HCL.
5. Kelainan pada lambung
6. Infeksi H. Pylori dengan corpus predominan gastritis
7. Non acid refluks (refluks gas) menyebabkan hipersensitivitas
8. Alergi makanan atau tidak bisa menerima makanan juga membuat refluks
9. Mengkonsumsi makanan berasam, coklat, minuman berkafein dan berkarbonat, alkohol,
merokok, dan obat-obatan yang bertentangan dengan fungsi esophageal sphincter bagian bawah
termasuk yang memiliki efek antikolinergik (seperti beberapa antihistamin), penghambat saluran
kalsium, progesteron, dan nitrat.
10. Kelaianan anatomi, seperti penyempitan kerongkongan (Yusuf, 2009).

C. PATOFISIOLOGI
Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high pressure zone) yang
dihasilkan oleh kontraksi Lower esophageal sphincter. Pada individu normal, pemisah ini akan
dipertahankan kecuali pada saat terjadinya aliran antegrad yang terjadi pada saat menelan, atau
aliran retrograd yang terjadi pada saat sendawa atau muntah. Aliran balik dari gaster ke
esophagus melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak ada atau sangat rendah (<3
mmHg) (Aru, 2009).
Terjadinya aliran balik / refluks pada penyakit GERD diakibatkan oleh gangguan motilitas /
pergerakan esofagus bagian ujung bawah. Pada bagian ujung ini terdapat otot pengatur (sfingter)
disebut LES, yang fungsinya mengatur arah aliran pergerakan isi saluran cerna dalam satu arah
dari atas ke bawah menuju usus besar. Pada GERD akan terjadi relaksasi spontan otot tersebut
atau penurunan kekuatan otot tersebut, sehingga dapat terjadi arus balik atau refluks cairan atau
asam lambung, dari bawah ke atas ataupun sebaliknya (Hadi, 2002).
Patogenesis terjadinya GERD menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari
esophagus dan faktor efensif dari bahan reflukstat. Yang termasuk faktor defensif esophagus,
adalah pemisah antirefluks, bersihan asam dari lumen esophagus, dan ketahanan ephitelial
esophagus. Sedangkan yang termasuk faktor ofensif adalah sekresi gastrik dan daya pilorik.
a. Pemisah antirefluks
Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES. Menurunnya tonus LES dapat
menyebabkan timbulnya refluks retrograde pada saat terjadinya peningkatan tekanan
intraabdomen. Sebagian besar pasien GERD ternyata mempunyai tonus LES yang normal.
Faktor-faktor yang dapat menurunkan tonus LES adalah adanya hiatus hernia, panjang LES
(makin pendek LES, makin rendah tonusnya), obat-obatan (misal antikolinergik, beta
adrenergik), dan faktor hormonal. Selama kehamilan, peningkatan kadar progesteron dapat
menurunkan tonus LES.
b. Bersihan asam dari lumen esophagus
Faktor-faktor yang berperan dalam bersihan asam dari esophagus adalah gravitasi, peristaltik,
eksrkresi air liur, dan bikarbonat. Setelah terjadi refluks sebagian besar bahan refluksat akan
kembali ke lambung dengan dorongan peristaltik yang dirangsang oleh proses menelan.
c. Ketahanan epithelial esophagus
Berbeda dengan lambung dan duodenum, esophagus tidak memiliki lapisan mukus yang
melindungi mukosa esophagus. Mekanisme ketahanan ephitelial esophagus terdiri dari :
1. Membran sel
2. Batas intraseluler (intracellular junction) yang membatasi difusi H+ ke jaringan esophagus
3. Aliran darah esophagus yang mensuplai nutrien, oksigen, dan bikarbonat, serta mengeluarkan
ion H+ dan CO2
4. Sel-sel esophagus memiliki kemampuan untuk mentransport ion H+ .

Episode refluks bervariasi tergantung kandungan isinya, volume, lamanya, dan hubungannya
dengan makan. Pada proses terjadinya refluks, sfingter esofagus bawah dalam keadaan relaksasi
atau melemah oleh peningkatan tekanan intra abdominal sehingga terbentuk rongga diantara
esofagus dan lambung. Isi lambung mengalir atau terdorong kuat ke dalam esofagus. Jika isi
lambung mencapai esofagus bagian proksimal dan sfingter esofagus atas berkontraksi, maka isi
lambung tersebut tetap berada di esofagus dan peristaltik akan mengembalikannya ke dalam
lambung. Jika sfingter esofagus atas relaksasi sebagai respon terhadap distensi esofagus maka isi
lambung akan masuk ke faring, laring, mulut atau nasofaring (Hadi, 2002).

D. TANDA DAN GEJALA


Manifestasi klinis GERD dapat berupa gejala yang tipikal (esofagus) dan gejala atipikal
(ekstraesofagus). Gejala GERD 70 % merupakan tipikal, yaitu :
1. Heart Burn, yaitu sensasi terbakar di daerah retrosternal. Gejala heartburn adalah gejala
tersering.
2. Regurgitasi, yaitu kondisi dimana material lambung terasa di faring. Kemudian mulut terasa
asam dan pahit.
3. Disfagia. Biasanya terjadi oleh karena komplikasi berupa striktur (Yusuf, 2009)
Gejala Atipikal :
1. Batuk kronik dan kadang wheezing
2. Suara serak
3. Pneumonia
4. Fibrosis paru
5. Bronkiektasis
6. Nyeri dada nonkardiak (Yusuf, 2009).
Gejala lain :
1. Penurunan berat badan
2. Anemia
3. Hematemesis atau melena
4. Odinofagia (Bestari, 2011).

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Endoskopi
Dewasa ini endoskopi merupakan pemeriksaan pertama yang dipilih oleh evaluasi pasien dengan
dugaan PRGE. Namun harus diingat bahwa PRGE tidak selalu disertai kerusakan mukosa yang
dapat dilihat secara mikroskopik dan dalam keadaan ini merupakan biopsi. Endoskopi
menetapkan tempat asal perdarahan, striktur, dan berguna pula untuk pengobatan (dilatasi
endoskopi).

2. Radiologi
Pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali tidak menunjukkan kelainan, terutama pada kasus
esofagitis ringan. Di samping itu hanya sekitar 25 % pasien PRGE menunjukkan refluks barium
secara spontan pada pemeriksaan fluoroskopi. Pada keadaan yang lebih berat, gambar radiologi
dapat berupa penebalan dinding dan lipatan mukosa, tukak, atau penyempitan lumen.

3. Tes Provokatif
a. Tes Perfusi Asam (Bernstein) untuk mengevaluasi kepekaan mukosa esofagus terhadap asam.
Pemeriksaan ini dengan menggunakan HCL 0,1 % yang dialirkan ke esofagus. Tes Bernstein
yang negatif tidak memiliki arti diagnostik dan tidak bisa menyingkirkan nyeri asal esofagus.
Kepekaan tes perkusi asam untuk nyeri dada asal esofagus menurut kepustakaan berkisar antara
80-90%.
b. Tes Edrofonium
Tes farmakologis ini menggunakan obat endrofonium yang disuntikan intravena. Dengan dosis
80 g/kg berat badan untuk menentukan adanya komponen nyeri motorik yang dapat dilihat dari
rekaman gerak peristaltik esofagus secara manometrik untuk memastikan nyeri dada asal
esofagus.

4. Pengukuran pH dan tekanan esofagus


Pengukuran pH pada esofagus bagian bawah dapat memastikan ada tidaknya RGE, pH dibawah
4 pada jarak 5 cm diatas SEB dianggap diagnostik untuk RGE. Cara lain untuk memastikan
hubungan nyeri dada dengan RGE adalah menggunakan alat yang mencatat secara terus menerus
selama 24 jam pH intra esofagus dan tekanan manometrik esofagus. Selama rekaman pasien
dapat memeberi tanda serangan dada yang dialaminya, sehingga dapat dilihat hubungan antara
serangan dan pH esofagus/gangguan motorik esofagus. Dewasa ini tes tersebut dianggap sebagai
gold standar untuk memastikan adanya PRGE.

5. Tes Gastro-Esophageal Scintigraphy


Tes ini menggunakan bahan radio isotop untuk penilaian pengosongan esofagus dan sifatnya non
invasif (Djajapranata, 2001).
6. Pemeriksaaan Esofagogram
Pemeriksaan ini dapat menemukan kelainan berupa penebalan lipatan mukosa esofagus, erosi,
dan striktur.

7. Tes PPI
Diagnosis ini menggunakan PPI dosis ganda selama 1-2 minggu pada pasien yang diduga
menderita GERD. Tes positif bila 75% keluhan hilang selama satu minggu. Tes ini mempunyai
sensitivitas 75%.
8. Manometri esofagus
Tes ini untuk menilai pengobatan sebelum dan sesudah pemberian terapi pada pasien NERD.
Pemeriksaan ini juga untuk menilai gangguan peristaltik/motilitas esofagus.
9. Histopatologi
Pemeriksaan untuk menilai adanya metaplasia, displasia atau keganasan. Tetapi bukan untuk
memastikan NERD (Yusuf, 2009).

F. TERAPI
Terapi GERD ditujukan untuk mengurangi atau menghilangkan gejala-gejala pasien,
mengurangi frekuensi atau kekambuhan dan durasi refluks esofageal, mempercepat
penyembuhan mukosa yang terluka, dan mencegah berkembangnya komplikasi. Terapi
diarahkan pada peningkatan mekanisme pertahanan yang mencegah refluks dan atau mengurangi
faktor-faktor yang memperburuk agresifitas refluks atau kerusakan mukosa.
1. Modifikasi Gaya Hidup
a. Tidak merokok
b. Tempat tidur bagian kepala ditinggikan
c. Tidak minum alkohol
d. Diet rendah lemak
e. Hindari mengangkat barang berat
f. Penurunan berat badan pada pasien gemuk
g. Jangan makan terlalu kenyang
h. Hindari pakaian yang ketat, terutama di daerah pinggang
2. Terapi Endoskopik.
Terapi ini masih terus dikembangkan. Contohnya adalah radiofrekuensi, endoscopic suturing,
dan endoscopic emplatation. Radiofrekuensi adalah dengan memanaskan gastroesophageal
junction. Tujuan dari jenis terapi ini adalah untuk mengurangi penggunaan obat, meningkatkan
kualitas hidup, dan mengurangi reflux.
3. Terapi medika mentosa. Sampai pada saat ini dasar yang digunakan untuk terapi ini adalah
supresi pengeluaran asam lambung. Ada dua pendekatan yang biasa dilakukan pada terapi
medika mentosa:
a. Step up
Awal pengobatan pasien diberikan obat-obat yang kurang kuat menekan sekresi asam seperti
antacid, antagonis reseptor H2 ( simetidin, ranitidine, famotidin, nizatidin) atau golongan
prokinetik (metoklorpamid,domperidon,cisaprid) bila gagal berikan obat-obat supresi asam yang
lebih kuat dengan masa terapi lebih lama (PPI).
b. Step down
Pada terapi ini pasien langsung diberikan PPI dan setelah berhasil lanjutkan dengan supresi asam
yang lebih lemah untuk pemeliharaan.
4. Terapi terhadap Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi adalah perdarahan dan striktur. Bila terjadi rangsangan asam
lambung yang kronik dapat terjadi perubahan mukosa esophagus dari squamous menjadi
kolumnar yang metaplastik sebagai esophagus barrets (premaligna) dan dapat menjadi
karsinoma barrets esophagus
a. Striktur esophagus
Bila pasien mengeluh disfagia dan diameter strikturnya kurang dari 13 mm maka dapat
dilakukan dilatasi busi, bila gagal juga lakukanlah operasi.
b. Barrets esophagus
Bila pasien telah mengalami hal ini maka terapi yang dilakukan adalah terapi bedah
(fundoskopi). Selain terapi bedah dapat juga dilakukan terapi endoskopi (baik menggunakan
energy radiofrekuensi, plikasi gastric luminal atau dengan implantasi endoskopi) walapun cara
ini masih dalam penelitian.
(Djajapranata, 2001).

G. KOMPLIKASI
Komplikasi GERD antara lain :
1. Esofagus barret, yaitu perubahan epitel skuamosa menjadi kolumner metaplastik.
2. Esofagitis ulseratif
3. Perdarahan
4. Striktur esofagus
5. Aspirasi
(Asroel, 2002).

H. PENGKAJIAN
a. Keadaan umum
Meliputi kondisi seperti tingkat ketegangan/kelelahan, tingkat kesadaran kualitatif atau GCS dan
respon verbal klien.
b. Tanda-tanda vital
Meliputi pemeriksaan :
1. Tekanan darah : sebaiknya diperiksa dalam posisi yang berbeda, kaji tekanan nadi, dan kondisi
patologis.
2. Pulse rate
3. Respiratory rate
4. Suhu
c. Keluhan utama
Dikaji Awitan, durasi, kualitas dan karakteristik, tingkat keperahan. Lokasi, faktor pencetus,
manifestasi yang berhubungan :
Keluhan tipikal (esofagus) : heartburn, regurgitasi, dan disfagia.
Keluhan atipikal (eskstraesofagus) : batuk kronik, suara serak, pneumonia, fibrosis paru,
bronkiektasis, dan nyeri dada nonkardiak.
Keluhan lain : penurunan berat badan, anemia, hematemesis atau melena, odinofagia.
d. Riwayat kesehatan dahulu
1) Penyakit gastrointestinal lain
2) Obat-obatan yang mempengaruhi asam lambung
3) Alergi/reaksi respon imun

e. Riwayat penyakit keluarga


f. Pola Fungsi Keperawatan
1. Aktivitas dan istirahat
Data Subyektif:
Klien mengatakan agak sulit beraktivitas karena nyeri di daerah epigastrium, seperti terbakar.
Data obyektif :
Tidak terjadi perubahan tingkat kesadaran.
Tidak terjadi perubahan tonus otot.
2. Sirkulasi
Data Subyektif:
Klien mengatakan bahwa ia tidak mengalami demam.
Data Obyektif:
Suhu tubuh normal (36,5-37,5 oC)
Kadar WBC meningkat.
3. Eliminasi
Data Subyektif:
Klien mengatakan tidak mengalami gangguan eliminasi.
Data obyektif:
Bising usus menurun (<12x/menit)
4. Makan/ minum
Data Subyektif:
Klien mengatakan mengalami mual muntah.
Klien mengatakan tidak nafsu makan.
Klien mengatakan susah menelan.
Klien mengatakan ada rasa pahit di lidah.
Data Obyektif:
Klien tampak tidak memakan makanan yang disediakan.
5. Sensori neural
Data Subyektif:
Klien mengatakan ada rasa pahit di lidah.
Data obyektif:
Status mental baik.
6. Nyeri / kenyamanan
Data Subyektif:
Klien mengatakan mengalami nyeri pada daerah epigastrium.
P : nyeri terjadi akibat perangsangan nervus pada esophagus oleh
cairan refluks.
Q : klien mengatakan nyeri terasa seperti terbakar
R : klien mengatakan nyeri terjadi pada daerah epigastrium.
S : klien mengatakan skala nyeri 1-10.
T : klien mengatakan nyerinya terjadi pada saat menelan
makanan. Nyeri pada dada menetap.
Data Obyektif:
Klien tampak meringis kesakitan.
Klien tampak memegang bagian yang nyeri.
Tekanan darah klien meningkat
Klien tampak gelisah
7. Respirasi
Data Subyektif :
Klien mengatakan bahwa ia mengalami sesak napas.
Klien mengatakan mengalami batuk
Data obyektif:
Terlihat ada sesak napas.
Terdapat penggunaan otot bantu napas.
Frekuensi tidak berada pada batas normal yaitu pada bayi >30 40 x/mnt dan pada anak-anak >
20-26 x/menit.
Klien terlihat batuk.
8. Keamanan
Data Subyektif :
Klien mengatakan merasa cemas
Data obyektif:
Klien tampak gelisah
9. Interaksi sosial
Data Subyektif:
Klien mengatakan suaranya serak
Klien mengatakan agak susah berbicara dengan orang lain karena suaranya tidak jelas terdengar.
Data obyektif:
Suara klien terdengar serak
Suara klien tidak terdengar jelas.
g. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum : Keadaan umum ini dapat meliputi kesan keadaan sakit termasuk ekspresi
wajah dan posisi pasien, kesadaran yang dapat meliputi penilaian secara kualitatif seperti compos
mentis, apathis, somnolent, sopor, koma dan delirium.
2. Pemeriksaan tanda vital : Meliputi nadi (frekuensi, irama, kualitas), tekanan darah, pernafasan
(frekuensi, irama, kedalaman, pola pernafasan) dan suhu tubuh.
3. Pemeriksaan kulit, rambut dan kelenjar getah bening. Kulit : Warna (meliputi pigmentasi,
sianosis, ikterus, pucat, eritema dan lain-lain), turgor, kelembaban kulit dan ada/tidaknya edema.
Rambut : Dapat dinilai dari warna, kelebatan, distribusi dan karakteristik lain. Kelenjar getah
bening : Dapat dinilai dari bentuknya serta tanda-tanda radang yang dapat dinilai di daerah
servikal anterior, inguinal, oksipital dan retroaurikuler.
4. Pemeriksaan kepala dan leher Kepala : Dapat dinilai dari bentuk dan ukuran kepala, rambut dan
kulit kepala, ubun-ubun (fontanel), wajahnya asimetris atau ada/tidaknya pembengkakan, mata
dilihat dari visus, palpebrae, alis bulu mata, konjungtiva, sklera, pupil, lensa, pada bagian telinga
dapat dinilai pada daun telinga, liang telinga, membran timpani, mastoid, ketajaman
pendengaran, hidung dan mulut ada tidaknya trismus (kesukaran membuka mulut), bibir, gusi,
ada tidaknya tanda radang, lidah, salivasi. Leher : Kaku kuduk, ada tidaknya massa di leher,
dengan ditentukan ukuran, bentuk, posisi, konsistensi dan ada tidaknya nyeri telan
5. Pemeriksaan dada : Yang diperiksa pada pemeriksaan dada adalah organ paru dan jantung.
Secara umum ditanyakan bentuk dadanya, keadaan paru yang meliputi simetris apa tidaknya,
pergerakan nafas, ada/tidaknya fremitus suara, krepitasi serta dapat dilihat batas pada saat
perkusi didapatkan bunyi perkusinya, bagaimana(hipersonor atau timpani), apabila udara di paru
atau pleura bertambah, redup atau pekak, apabila terjadi konsolidasi jarngan paru, dan lain-lain
serta pada saat auskultasi paru dapat ditentukan suara nafas normal atau tambahan seperti ronchi,
basah dan kering, krepitasi, bunyi gesekan dan lain-lai pada daerah lobus kanan atas, lobus kiri
bawah, kemudian pada pemeriksaan jantung dapat diperiksa tentang denyut apeks/iktus kordis
dan aktivitas ventrikel, getaran bising (thriil), bunyi jantung, atau bising jantung dan lain-lain
6. Pemeriksaan abdomen : data yang dikumpulkan adalah data pemeriksaan tentang ukuran atau
bentuk perut, dinding perut, bising usus, adanya ketegangan dinding perut atau adanya nyeri
tekan serta dilakukan palpasi pada organ hati, limpa, ginjal, kandung kencing yang ditentukan
ada tidaknya dan pembesaran pada organ tersebut, kemudian pemeriksaan pada daerah anus,
rektum serta genetalianya.
7. Pemeriksaan anggota gerak dan neurologis : diperiksa adanya rentang gerak, keseimbangan dan
gaya berjalan, genggaman tangan, otot kaki, dan lain-lain.

J. DIAGNOSA
1. Risiko aspirasi berhubungan dengan hambatan menelan, penurunan refluks laring dan glotis
terhadap cairan refluks.
2. Defisit volume cairan berhubungan dengan pemasukan yang kurang, mual dan muntah /
pengeluaran yang berlebihan.
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual,
muntah.
4. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi lapisan esofagus.
5. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan refluks cairan ke laring dan
tenggorokan.
6. Gangguan menelan berhubungan dengan penyempitan/striktur pada esophagus akibat
gastroesofageal reflux disease.
7. Ansietas berhubungan dengan proses penyakit.

K. INTERVENSI
Perencanaan
No. Diagnosa Rasional
Kriteria Hasil Intervensi
1. Risiko aspirasi Setelah dilakukan1. Monitor tingkat1. Meningkatkan ekspansi
berhubungan dengan tindakan kesadaran, reflek batuk paru maksimal dan alat
hambatan menelan, keperawatan dan kemampuan pembersihan jalan napas.
penurunan refleks selama ...x 24 jam menelan.
laring dan glotis masalah aspirasi
terhadap cairan refluks. pada klien dapat2. Naikkan kepala 30-452. Meningkatkan pengisian
diatasi dengan derajat setelah makan. udara seluruh segmen paru,
kriteria hasil: memobilisasi dan
mengeluarkan sekret.

Status hasil: 3. Potong makanan kecil3. Menghindari terjadinya


Klien dapat kecil. risiko aspirasi yang terlalu
bernafas dengan tinggi.
mudah, tidak irama,4. Hindari makan kalau4. Dapat membatasi ekspansi
frekuensi residu masih banyak gastroesofagus
pernafasan normal
skala 4

Pasien mampu
menelan,
mengunyah tanpa
terjadi aspirasi, dan
mampu melakukan
oral hygiene skala 4

Jalan nafas paten,


mudah bernafas,
tidak merasa
tercekik dan tidak
ada suara nafas
abnormal skala 4

2. Defisit volume cairan Setelah dilakukan1. Monitor status


1. Perubahan pada kapasitas
berhubungan dengan tindakan hidrasi. gaster dan mual sangat
pemasukan yang kurang, keperawatan mempengaruhi masukan
mual dan muntah / selama .....x 24 dan kebutuahan cairan,
pengeluaran yang jam, defisit volume peningkatan risiko
berlebihan. cairan pada klien dehidrasi.
dapat diatasi
Definisi: penurunan cairan dengan kriteria 2. Indikator
intravaskuler, interstisial hasil: 2. Kaji tanda vital, catat dehidrasi/hipovolemia,
dan atau interseluler. perubahan TD, keadekuatan penggantian
Mengarah ke dehidrasi Mempertahankan takikardi, turgor kulit cairan.
kehilangan cairan dengan urine output sesuai dan kelembaban
pengeluaran sodium. dengan usia BB, BJ membran mukosa.
urine normal skala
4 3. Berikan cairan
3. Menggantikan kehilangan
tambahan IV sesuai cairan dan memperbaiki
indikasi. keseimbangan cairan dalam
fase segera dan pasien
mampu memenuhi cairan
Tidak ada tanda- per oral.
tanda dehidrasi,
elastisitas turgor 4. Memungkinkan
kulit baik dan tidak penghentian tindakan
ada rasa haus yang4. Dorong masukan oral dukungan cairan infasif dan
berlebihan skala 4 bila mampu kembali ke normal.

Berat badan stabil


skala 4

Hematokrit
menurun skala 4

Tidak ada ascites


skala 4

3. Ketidakseimbangan Setelah dilakukan1. Diskusikan pada


1. Dengan memilih
nutrisi kurang dari tindakan pasien makanan yang makanan yang disukai
kebutuhan tubuh keperawatan disukainya dan pasien maka selera makan
berhubungan dengan selama .....x 24 makanan yang tidak si pasien akan bertambah
intake kurang akibat jam, nutrisi pada disukainya. dan dapat mengurangi rasa
mual dan muntah. klien dapat diatasi mual dan muntah.
dengan kriteria
Definisi: intake nutrisi hasil: 2. Setelah tindakan
tidak cukup untuk 2. Buat jadwal masukan pembagian, kapasitas gaster
keperluan metabolisme Status hasil: tiap jam. Anjurkan menurun kurang dari 50 ml,
tubuh Peningkatan berat mengukur sehingga perlu makan
badan sesuai cairan/makanan dan sedikit/sering.
dengan tujuan skala minum sedikit demi
4 sedikit atau makan
secara perlahan.
Tidak ada tanda-
tanda malnutrisi3. Beritahu pasien untuk
skala 4 duduk saat
3. Menurunkan
makan/minum. kemungkinan aspirasi.
Tidak ada
penurunan berat4. Tekankan pentingnya
4. Makan berlebihan dapat
badan yang berarti menyadari kenyang mengakibatkan mual dan
skala 4 dan menghentikan muntah
masukan.
Mengidentifikasi
skala nutrisi skala 45. Timbang berat badan
tiap hari. Buat jadwal
Stamina dan energi teratur setelah pulang. 5. Pengawasan kehilangan
ada skala 4 dan alat pengkajian
6. Kolaborasi dengan kebutuhan nutrisi
ahli gizi

6. Perlu bantuan dalam


perencanaan diet yang
memenuhi kebutuhan
nutrisi
4 Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan1. Kurangi faktor1. Dengan berkurangnya
dengan inflamasi lapisan tindakan presipitasi nyeri faktor pencetus nyeri maka
esofagus keperawatan pasien tidak terlalu
selama ......x 24 merasakan intensitas nyeri.
jam, pasien tidak 2. Menurunkan tegangan
mengalami nyeri,2. Tingkatkan istirahat abdomen dan meningkatkan
dengan kriteria rasa kontrol.
hasil:
3. Pemberian informasi yang
Mampu mengontrol3. Berikan informasi berulang dapat mengurangi
nyeri (tahu tentang nyeri seperti rasa kecemasan pasien
penyebab nyeri, penyebab nyeri, berapa terhadap rasa nyerinya.
mampu lama nyeri akan
menggunakan berkurang, dan
tehnik antisipasi
nonfarmakologi ketidaknyamanan
untuk mengurangi prosedur. 4. Meningkatkan relaksasi,
nyeri, mencari memfokuskan kembali
bantuan) 4. Ajarkan tentang perhatian dan
teknik nonfarmakologi meningkatkan kemampuan
Melaporkan bahwa seperti teknik relaksasi koping.
nyeri berkurang nafas dalam, distraksi
dengan dan kompres
menggunakan hangat/dingin.
manajemen nyeri 5. Perlu penanganan obat
5. Berikan analgesik untuk memudahkan
Mampu mengenali untuk mengurangi istirahat adekuat dan
nyeri (skala, nyeri penyembuhan
intensitas, frekuensi
dan tanda

Tanda vital dalam


rentang normal
5 Bersihan jalan nafas Setelah dilakukan1. Posisikan pasien1. Peninggian kepala tempat
tidak tindakan untuk memaksimalkan tidur mempermudah fungsi
efektif berhubungan keperawatan ventilasi pernapasan dengan
dengan refluks cairan ke selama ......x 24 jam menggunakan gravitasi.
laring dan tenggorokan klien dapat
menunjukkan 2. Fisioterapi dada dapat
kriteria hasil: 2. Lakukan fisioterapi mengeluarkan sisa sekret
dada jika perlu yang masih tertinggal.
Status hasil:
jalan nafas yang 3. Keseimbangan akan stabil
paten (tidak3. Atur intake untuk apabila antara pemasukan
tercekik, irama cairan mengoptimalkan dan pengeluaran diatur
nafas dan pola keseimbangan.
nafas dalam rentang
normal) skala 4

6. Gangguan Menelan Setelah dilakukan1. Bantu pasien dengan1. Menetralkan hiperekstensi


berhubungan dengan tindakan mengontrol kepala , membantu mencegah
penyempitan/striktur keperawatan aspirasi dan meningkatkan
e pada esophagus selama .....x 24 jam kemampuan untuk
akibat maka gangguan menelan.
gastroesophegal menelan pada klien
reflux disease dapat diatasi 2. Menggunakan gravitasi
dengan kriteria2. Letakkan pasien pada untuk memudahkan proses
hasil: posisi duduk/tegak menelan.
selama dan setelah
Status hasil: makan.
Klien dapat
menelan makanan3. Berikan makan3. Pasien dapat
dengan sempurna perlahan pada berkonsentrasi pada
skala 4 lingkungan yang mekanisme makan tanpa
tenang adnya gangguan distraksi
dari luar
7. Ansietas berhubungan Setelah dilakukan
1. Dorong pasien untuk
1. Memberikan kesempatan
dengan proses penyakit tindakan mengungkapkan untuk memeriksa rasa takut
keperawatan pikiran dan perasaan. realistis serta kesalahan
selama .....x 24 konsep tentang diagnosis.
jam, ansietas pada
klien dapat diatasi
2. Berikan informasi
2. Memungkinkan untuk
dengan kriteria yang dapat dipercaya interaksi interpersonal lebih
hasil: dan konsisten dan baik dan menurunkan rasa
dukungan untuk orang ansietas dan rasa takut.
Menyingkirkan terdekat.
tanda kecemasan
skala 4 3. Tingkatkan rasa
3. Memudahkan istirahat,
tenang dan lingkungan menghemat energi dan
tenang. meningkatkan kemampuan
Merencanakan koping.
strategi koping
skala 4 4. Pertahankan kontak
4. Memberikan keyakinan
sering dengan pasien, bahwa pasien tidak sendiri
bicara dengan atau ditolak,
Intensitas menyentuh bila tepat. mengembangkan
kecemasan kepercayaan.
skala4
Mencari informasi
untuk menurunkan
cemas skala 4

L. Evaluasi
a. Risiko aspirasi pada klien dapat diatasi
b. Defisit volume cairan dapat diatasi.
c. Ketidakseimbangan nutrisi pada pasien GERD dapat ditangani.
d. Nyeri akut pada pasien dapat diatasi.
e. Bersihan jalan nafas efektif.
f. Gangguan menelan pada klien dapat diatasi
g. Ansietas pada pasien dapat diatasi.

BAB III

A. KESIMPULAN
1. Gastroesofageal reflux disease (GERD) adalah suatu kondisi dimana cairan lambung
mengalami refluks ke esofagus sehingga menimbulkan gejala khas berupa rasa terbakar, nyeri di
dada, regurgitasi, dan komplikasi. Manifestasi klinis GERD meliputi gejala tipikal (esofagus)
dan atipikal (ekstraesofagus). Faktor yang berperan untuk terjadinya GERD yaitu mekanisme
antirefluks, kandungan cairan lambung, mekanisme bersihan oleh esofagus, dan resistensi sel
epitel esofagus. Untuk menegakkan diagnosis GERD dapat ditegakkan berdasarkan analisa
gejala klinis dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
diantaranya endoskopi, radiologi, pengukuran pH, tes perfusi Berstein, tes gastro-esophageal
scintigraphy.
Komplikasi penyakit GERD diantaranya Esofagus barret, esofagitis ulseratif, perdarahan,
striktur esofagus, dan aspirasi. GERD merupakan penyakit kronik yang memerlukan pengobatan
jangka panjang. Pengobatan yang dapat diberikan pada klien GERD meliputi modifikasi gaya
hidup, terapi endoskopi, terapi medikamentosa, dan terapi komplikasi.
2. Diagnosa keperawatan yang dapat ditegakkan pada klien dengan GERD yaitu :
a. Risiko aspirasi berhubungan dengan hambatan menelan, penurunan refluks laring dan glotis
terhadap cairan refluks.
b. Defisit volume cairan berhubungan dengan pemasukan yang kurang, mual dan muntah /
pengeluaran yang berlebihan.
c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual,
muntah
d. Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi lapisan esofagus.
e. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan refluks cairan ke laring dan
tenggorokan.
f. Gangguan menelan berhubungan dengan penyempitan/striktur pada esophagus akibat
gastroesofageal reflux disease.
g. Ansietas berhubungan dengan proses penyakit.

B. SARAN
1. Individu yang mengalami keluhan-keluhan refluks gastroesofagus perlu mencari pengobatan
sedini mungkin sehingga keluhan berat dan komplikasi dapat dicegah.
2. Bagi tenaga kesehatan maupun tenaga pengajar perlu memberikan sumbangsih penelitian
maupun referensi mengenai penyakit Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) mengingat
sedikit dijumpai referensi penunjang mengenai penyakit ini.
3. Makalah ini dapat digunakan sebagai penunjang mahasiswa keperawatan ketika praktik di
klinik dan sebaiknya perlu disempurnakan lagi dengan referensi yang terbaru.

DAFTAR PUSTAKA
Aru, Sudoyo. 2007. Buku Ajar Ilmu Bedah Jilid I Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia.
Asroel, Harry. 2002. Penyakit Refluks Gastroesofagus . Universitas Sumatera Utara :
Fakultas Kedoketeran Bagian Tenggorokan Hidung dan Telinga.
Bestari, Muhammad Begawan. 2011. Penatalaksanaan Gastroesofa geal Reflux Disease
(GERD). Divisi Gastroentero-Hepatologi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran / RS Dr. Hasan Sadikin Bandung CDK 188 / vol. 38 no. 7 /
November 2011.
Djajapranata, Indrawan. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Ketiga. Jakarta : FKUI.
Sujono, Hadi. 2002. Gastroenterologi Edisi VII. Bandung: Penerbit PT Alumni.
Susanto, Agus dkk. 2002. Gambaran Klinis dan Endoskopi Penyakit Refluks
Gastroesofagus. Jakarta : FKUI.
Yusuf, Ismail. 2009. Diagnosis Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) Secara Klinis. PPDS Ilmu
Penyakit Dalam FKUI/RSCM Vol. 22, No.3, Edition September - November 2009.

DEFENISI GERD
Gastroesophageal reflux adalah fenomena biasa yang dapat
timbul pada setiap orang sewaktu-waktu. Pada orang normal refluk ini terjadi pada posisi tegak
sewaktu habis makan.
GERD kronis disebabkan oleh sfingter esophagus yang bekerja dengan kurang baik dan reflux
asam lambung dan getah alkali usus ke dalam esophagus yang berlangsung yang berlangsung
dalam waktu yang lama.

B. ETIOLOGI
Beberapa penyebab terjadinya GERD meliputi :
1. Menurunnya tonus LES (Lower Esophageal Sphincter)
2. Bersihan asam dari lumen esofagus menurun
3. Ketahanan epitel esofagus menurun
4. Bahan refluksat mengenai dinding esofagus yaitu Ph <2, adanya pepsin, garam empedu, HCL.
5. Kelainan pada lambung
6. Infeksi H. Pylori dengan corpus predominan gastritis
7. Non acid refluks (refluks gas) menyebabkan hipersensitivitas
8. Alergi makanan atau tidak bisa menerima makanan juga membuat refluks
9. Mengkonsumsi makanan berasam, coklat, minuman berkafein dan berkarbonat, alkohol,
merokok, dan obat-obatan yang bertentangan dengan fungsi esophageal sphincter bagian bawah
termasuk yang memiliki efek antikolinergik (seperti beberapa antihistamin), penghambat saluran
kalsium, progesteron, dan nitrat.
10. Kelaianan anatomi, seperti penyempitan kerongkongan (Yusuf, 2009).

C. PATOFISIOLOGI
refluks gastrosafagus adalah jumlah abnormal isi lambung dalam
esfagus,jalan nafas atas dan daerah trakeobronkial. Refluks isi labung dapat menyebabkan infasi
dan striktura esophagus. Efek yang di akibatkan termasuk aspirasi isi lambung, pneumonia
kambuhan, penyakit pulmoner, esofagistis, dan striktura esophagus.
Factor-factor yang dapat mempengaruhi terjadinya refluks
gastroesofagus pada bayi dan anak adalah :
1. Tekanan sfingter esophagus bawah
2. Volume materi refluk dalam Esophagus
3. Kecepatan sekresi lambung
4. Ketidakmampuan lambung untuk melakukan pengosongan.
Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi
(high pressure zone) yang dihasilkan oleh kontraksi Lower esophageal sphincter. Pada individu
normal, pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada saat terjadinya aliran antegrad yang terjadi
pada saat menelan, atau aliran retrograd yang terjadi pada saat sendawa atau muntah. Aliran
balik dari gaster ke esophagus melalui LES hanya terjadi apabila tonus LES tidak ada atau sangat
rendah (<3 mmHg) (Aru, 2009).
Terjadinya aliran balik / refluks pada penyakit GERD diakibatkan
oleh gangguan motilitas / pergerakan esofagus bagian ujung bawah. Pada bagian ujung ini
terdapat otot pengatur (sfingter) disebut LES, yang fungsinya mengatur arah aliran pergerakan isi
saluran cerna dalam satu arah dari atas ke bawah menuju usus besar. Pada GERD akan terjadi
relaksasi spontan otot tersebut atau penurunan kekuatan otot tersebut, sehingga dapat terjadi arus
balik atau refluks cairan atau asam lambung, dari bawah ke atas ataupun sebaliknya (Hadi,
2002).
Patogenesis terjadinya GERD menyangkut keseimbangan antara
faktor defensif dari esophagus dan faktor efensif dari bahan reflukstat. Yang termasuk faktor
defensif esophagus, adalah pemisah antirefluks, bersihan asam dari lumen esophagus, dan
ketahanan ephitelial esophagus. Sedangkan yang termasuk faktor ofensif adalah sekresi gastrik
dan daya pilorik.
1. Pemisah antirefluks
Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES. Menurunnya tonus LES dapat
menyebabkan timbulnya refluks retrograde pada saat terjadinya peningkatan tekanan
intraabdomen. Sebagian besar pasien GERD ternyata mempunyai tonus LES yang normal.
Faktor-faktor yang dapat menurunkan tonus LES adalah adanya hiatus hernia, panjang LES
(makin pendek LES, makin rendah tonusnya), obat-obatan (misal antikolinergik, beta
adrenergik), dan faktor hormonal. Selama kehamilan, peningkatan kadar progesteron dapat
menurunkan tonus LES.
2. Bersihan asam dari lumen esophagus
Faktor-faktor yang berperan dalam bersihan asam dari esophagus adalah gravitasi, peristaltik,
eksrkresi air liur, dan bikarbonat. Setelah terjadi refluks sebagian besar bahan refluksat akan
kembali ke lambung dengan dorongan peristaltik yang dirangsang oleh proses menelan.
3. Ketahanan epithelial esophagus
Berbeda dengan lambung dan duodenum, esophagus tidak memiliki lapisan mukus yang
melindungi mukosa esophagus. Mekanisme ketahanan ephitelial esophagus terdiri dari :
a. Membran sel
b. Batas intraseluler (intracellular junction) yang membatasi difusi H+ ke jaringan esophagus
c. Aliran darah esophagus yang mensuplai nutrien, oksigen, dan bikarbonat, serta mengeluarkan
ion H+ dan CO2
d. Sel-sel esophagus memiliki kemampuan untuk mentransport ion H+ .
Episode refluks bervariasi tergantung kandungan isinya, volume, lamanya, dan hubungannya
dengan makan. Pada proses terjadinya refluks, sfingter esofagus bawah dalam keadaan relaksasi
atau melemah oleh peningkatan tekanan intra abdominal sehingga terbentuk rongga diantara
esofagus dan lambung. Isi lambung mengalir atau terdorong kuat ke dalam esofagus. Jika isi
lambung mencapai esofagus bagian proksimal dan sfingter esofagus atas berkontraksi, maka isi
lambung tersebut tetap berada di esofagus dan peristaltik akan mengembalikannya ke dalam
lambung. Jika sfingter esofagus atas relaksasi sebagai respon terhadap distensi esofagus maka isi
lambung akan masuk ke faring, laring, mulut atau nasofaring (Hadi, 2002).

D. INSIDENT
1. Muntah-muntah terjadi pada anak 2-3 kali pada anak yang mengalami refluks gastroesofagus
2. Gagal tumbuh pada 34% anak yang mengalami Ini
3. Pendarahan terjadi pada 28% anak yang mengalami ini
4. Komplikasi paru terjadi pada 12% anak yang menderita penyakit ini

E. MANIFESTASI KLINIS
Muntah-muntah kronik (palinh sering)
Berat badan turun, gagal tumbuh
Apnea (pada bayi0 karena aspirasi
Hematemesis atau melena akibat pendarahan esophagus

Gejala yang timbul kadang-kadang sukar dibedakan dengan kelainan fungsional lain dari
traktus gastrointestinal, antara lain:
a. Heartburn
Heartburn kadang-kadang dapat dijumpai pada orang sehat, namun bila terjadi setiap hari dan
berulang-ulang, hal ini mempunyai nilai ramal diagnostik 60%. Yang dimaksud dengan
heartburn adalah rasa panas atau membakar yang dirasakan didaerah epigastrium dan bergerak
naik ke daerah retrostrernal sampai ke tenggorok. Keluhan ini terutama timbul pada malam hari
pada waktu berbaring atau setelah makan. Keluhan bertambah pada waktu membungkuk atau
setelah minum minuman beralkohol, sari buah, kopi, minuman panas atau dingin. Sebaliknya
antasida dapat mengurangi rasa sakit tadi.
b. Regurgitasi asam
c. Bersendawa
d. Cepat kenyang
e. Nyeri retrosternal serupa angina
f. Nausea
g. Disfagia
h. Dapat pula timbul keluhan saluran nafas seperti serangan sesak tengah malam (noctural
choking), bronkitis, pneumonia berulang-ulang, fibrosis paru atau asma.
F. KOMPLIKASI
Pneumonia aspirasi
Apnea dan sianosis
Esofagitis
Nyeri dada
Fistula lambung
Herniasi
Esofagus barret, yaitu perubahan epitel skuamosa menjadi kolumner metaplastik.
Esofagitis ulseratif
Perdarahan
Striktur esophagus
Aspirasi

Anda mungkin juga menyukai