Anda di halaman 1dari 19

Refluks Gastroesophageal pada Bayi

Abstrak

Refluks gastroesophageal atau gastroesophageal reflux (GER) adalah suatu keadaan


kembalinya isi lambung ke esophagus dengan atau tanpa regurgitasi dan muntah. GER
merupakan suatu keadaan fisiologis pada bayi, anak-anak dan orang dewasa sehat. Jika refluks
isi lambung menyebabkan gangguan atau komplikasi maka inilah yang di sebut dengan
gastroesophageal reflux disease (GERD). Melalui anamnesis kepada orang tuanya dan melihat
gejala klinis pada anak membantu dalam menegakkan diagnosis. Pemeriksaan penunjang dan
dan gejala klinis juga menyingkirkan beberapa diagnosis banding seperti stenosis pylorus,
atresia doudenum, dan atresia esofagus. Penatalaksanaan GER lebih kepada penatalaksanaan
non medika mentosa karena GER bukan merupakan suatu penyakit sedangkan penatalaksaan
GERD dapat berupa medika mentosa dan non medika mentosa. PPI dan atau antagonis reseptor
H2 menjadi pilihan terapinya. GERD memiliki prognosis yang baik apabila diobati dengan
benar dan tidak terjadi adanya komplikasi berat.

Kata Kunci: GER, gastroesophageal reflux

Abstract

Gastroesophageal reflux or gastroesophageal reflux (GER) is a condition of the return of


gastric contents to the esophagus with or without regurgitation and vomiting. GER is a
physiological state in infants, children and healthy adults. If the reflux of gastric contents leads
to disruption or complication then this is what is called gastroesophageal reflux disease
(GERD). Through anamnesis to parents and see clinical symptoms in children helps in making
the diagnosis. Investigations and clinical symptoms also exclude some differential diagnoses
such as pyloric stenosis, atresia doudenum, and esophageal atresia. Management of GER is
more to the management of non medic mentosa because GER is not a disease whereas GERD
management can be mentosa and non medica mentosa. PPI and / or H2 receptor antagonists
are the treatment options. GERD has a good prognosis when treated correctly and no severe
complications occur.

Keywords: GER, gastroesophageal reflux

Pendahuluan

Refluks gastroesophageal atau gastroesophageal reflux (GER) adalah suatu keadaan


kembalinya isi lambung ke esophagus dengan atau tanpa regurgitasi dan muntah. GER

1
merupakan suatu keadaan fisiologis pada bayi, anak-anak dan orang dewasa sehat. GER bisa
terjadi beberapa kali dalam sehari, dengan episode terbanyak kurang dari 3 menit, dan muncul
setelah makan dengan sedikit atau tanpa gejala. Berbeda dengan GER, jika refluks isi lambung
menyebabkan gangguan atau komplikasi maka inilah yang di sebut dengan GERD
(Gastroesophageal Reflux Disease).1

Pada bayi gejala berupa muntah yang berlebih yang terjadi pada 85% pasien selama
seminggu pertama kehidupan, sedangkan 10% lainnya baru timbul dalam waktu 6 minggu.
Tanpa pengobatan gejala akan menghilang pada 60% pasien sebelum umur 2 tahun pada posisi
anak sudah lebih tegak dan makan makanan padat, tetapi sisanya mungkin terus menerus
mempunyai gejala sampai sekurang-kurangnya berumur 4 tahun.1

Anamnesis

Anamnesis merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan dengan benar agar
dapat mengetahui tentang keluhan pasien secara terperinci. Anamnesis terbagi menjadi dua
yaitu autoanamnesis dan alloanamnesis. Autoanamnesis yaitu anamnesis yang dilakukan
kepada pasien itu sendiri sedangkan alloanamnesis adalah anamnesis yang dilakukan kepada
keluarga dari pasien. Alloanamnesis biasanya dilakukan pada pasien bayi/balita/anak-anak dan
biasa juga dilakukan pada pasien lansia yang sudah sulit mengingat hal-hal. Pada anamnesis
pertama yang dilakukan adalah menanyakan identitas seperti nama, usia, pekerjaan, dan alamat
tempat tinggal. Lalu tanyakan keluhan utama yaitu keluhan yang membuat pasien datang ke
dokter.2,3

Pada riwayat penyakit sekarang, tanyakan onset keluhannya yaitu sejak kapan,
bagaimana awal munculnya keluhan, apakah tiba-tiba atau progresif, jika keluhan sudah lama
dirasakan mengapa pasien mencari pertolongan sekarang. Tanyakan frekuensi keluhan apakah
keluhan terjadi terus menerus atau hilang timbul, jika hilang timbul, berapa lama waktu tiap
timbul, apa yang pasien lakukan saat keluhan muncul. Khusus GERD tanyakan apakah setelah
makan atau berbaring pasien mengalami regurgitasi dan rasa terbakar di dada atau tidak. Kalo
pada pasien bayi dapat ditanyakan ke keluarga apakah bayi tersebut hanya mengalami
regurgitasi saja atau juga mengalami gangguan nafsu makan, jadi lebih rewel, dan tidak aktif
bergerak lagi. Tanyakan perkembangan keluhan, apakah membaik atau memburuk seiring
dengan waktu. Tanyakan faktor yang memperbaiki atau memperburuk keluhan dan tanyakan
keluhan penyerta seperti demam, mual, sesak nafas, dan penurunan berat badan. Jika ada nyeri,
tanyakan lokasi, sejak kapan, karakter nyeri (tumpul, tajam, rasa terbakar, dll), keluhan

2
menyebar atau tidak, keluhan penyerta, durasi dan pola nyeri, faktor yang memperingan dan
memperburuk nyeri, serta derajat nyeri.2,3

Pada riwayat penyakit dahulu tanyakan apakah sebelum ini pernah mengalami keluhan
yang serupa. Selain itu juga tanyakan apakah ada riwayat alergi dan riwayat penyakit kronik
seperti diabetes, asma, gastritis, dan lain-lain. Pada riwayat penyakit keluarga tanyakan apakah
keluarga pasien ada yang mengalami keluhan sama. Selain itu juga tanyakan apakah ada
riwayat alergi dan riwayat penyakit kronik seperti diabetes, asma, gastritis, dan lain-lain. Pada
riwayat sosial dapat ditanyakan bagaimana kebiasaan makannya dan kebiasaan setelah
makannya seperti misalnya langsung tiduran setelah selesai makan. Pada bayi juga ditanyakan
bagaimana posisinya saat dan setelah menyusu.2,3

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik pertama-tama lihat keadaan umum dan tingkat kesadaran
pasien. Kemudian, lakukan pemeriksaan tanda-tanda vital meliputi suhu, frekuensi pernapasan,
frekuensi nadi, dan tekanan darah. Pengukuran suhu pada anak bisa dilakukan melalui dua cara
yaitu lewat rectal (biasanya pada bayi) dan lewat oral. Setelah itu, lakukan pemeriksaan
abdomen untuk melihat apakah ada nyeri pada daerah abdomen untuk menegakkan diagnosis.
Setelah itu, lakukan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi pada pasien.4,5

Saat inspeksi, bagi abdomen menjadi beberapa kuadran atau regio. Untuk pasien
dewasa, yang kurus abdomen dibagi menjadi 4 kuadran (kuadran atas kanan, kuadran atas kiri,
kuadran bawah kanan, kuadran bawah kiri), sedangkan untuk pasien dewasa gemuk abdomen
dibagi menjadi 9 regio (hipokondria kanan, epigastrik, hipokondria kiri, lumbar kanan,
umbilikal, lumbar kiri, inguinal kanan, suprapubik, dan inguinal kiri). Lihat bentuk abdomen,
warna kulit, lesi kulit, bekas luka operasi, benjolan atau massa perut, ada atau tidak pembuluh
darah kolateral, caput medusa, hernia, dan striae. Perhatikan juga apakah terlihat adanya pulsasi
dan peristaltik yang terlihat pada dinding abdomen.4,5

Saat palpasi, kedua kaki pasien ditekuk sehingga otot abdomen rileks. Palpasi secara
acak dan terstruktur sesuai linea (axillaris anterior kanan, midclavicularis kanan, mediana,
midclavicularis kiri, axillaris anterior kiri) pada kuadran atau regio abdomen pasien dan
tanyakan apakah ada nyeri. Perhatikan juga apakah ada nyeri, rigiditas, massa atau benjolan
superficial dan dalam.

Perkusi dilakukan secara acak dan terstruktur seperti pada palpasi sesuai kuadran atau
regio abdomen pasien dari atas ke bawah dan perhatikan suara timpani dan pekak. Suara

3
timpani untuk organ yang berongga seperti lambung dan usus, sedangkan suara pekak untuk
organ solid seperti hepar.4,5

Auskultasi dilakukan secara acak dan terstruktur seperti pada palpasi dan perkusi sesuai
kuadran dan regio abdomen pasien dari atas ke bawah. Auskultasi juga pada umbilikus selama
satu menit untuk mendengarkan bising usus apakah normoperistaltik, meningkat, atau
menurun. Dengarkan juga apakah ada bunyi patologis pada abdomen seperti metalic sound,
bruit hepar, dan systolic aorta abdominal.4,5

Pemeriksaan Penunjang

Pemantauan pH6

Pemantauan pH esofagus adalah prosedur untuk mengukur refluks asam dari lambung
ke esofagus yang terjadi pada penyakit refluks gastroesophageal. Monitoring pH esofagus
digunakan untuk mendiagnosa efek GERD, untuk menentukan efektivitas obat yang diberikan
untuk mencegah refluks asam, dan untuk menentukan apakah episode
refluks asam yang menyebabkan episode nyeri dada. Pemantauan pH esofagus
juga dapat digunakan untuk menentukan apakah asam mencapai faring dan mungkin
bertanggung jawab atas gejala seperti batuk, suara serak, dan sakit tenggorokan. Pemantauan
pH esofagus merupakan pemeriksaan baku emas secara internasional.
Pemantauan pH esofagus dilakukan dengan melewatkan sebuah kateter plastik tipis
dengan diameter 1 / 16 inci melalui satu lubang hidung, terus ke belakang tenggorokan, dan
dan kedalam esofagus sejalan dengan gerakan menelan. Ujung kateter berisi sensor yang bisa
mendeteksi keadaan asam. Sensor diposisikan dalam esofagus tepat di atas sfingter esofagus
bagian bawah, sebuah area khusus pada otot esofagus yang terletak di persimpangan antara
esofagus dan lambung yang mencegah asam mengalami refluks ke esofagus.
Kateter yang keluar dari hidung dihubungkan ke perekam yang bisa mendeteksi refluks
asam. Pasien dikirim rumah dengan kateter dan perekam terpasang dan kembali keesokan
harinya untuk melepaskan alat tersebut. Selama 24 jam kateter terpasang, pasien bisa
melakukan kegiatan seperti biasanya, misalnya, makan, tidur, dan bekerja. Makanan, periode
tidur, dan gejala dicatat oleh pasien dalam buku harian dan atau dengan menekan tombol pada
perekam. Setelah kateter dilepaskan, perekam disambungkan ke komputer sehingga data yang
telah dikumpulkan bisa diunduh ke komputer untuk selanjutnya dianalisa dan dimasukkan ke
dalam bentuk grafis.

4
Gambar 1. pH monitoring6

Selain perangkat seperti tadi, ada juga perangkat yang baru-baru ini dikembangkan
untuk memantau pH esofagus yaitu dengan menggunakan kapsul. Kapsul tersebut berisi alat
pendeteksi asam, baterai, dan pemancar. Alat tersebut memantau asam di esofagus dna
mengirimkan informasi ke perekam yang dipasangkan pada ikat pinggang pasien. Kapsul ini
dimasukan ke dalam esofagus dengan kateter melalui hidung atau mulut dan melekat pada
lapisan esofagus dengan sebuah klip. Kateter kemudian dilepaskan dari kapsul sehingga tidak
ada kateter yang menonjol dari hidung. Kapsul tersebut bekerja selama dua atau tiga hari dan
kemudian baterai mati. Lima sampai tujuh hari kemudian kapsul akan jatuh dari esofagus dan
keluar dari tinja sebagai kapsul yang tidak dapat digunakan kembali.
Kelebihan dari perangkat kapsul terkait dengan tidak adanya kateter yang
menghubungkan alat ke perekam. Ada kenyamanan yang lebih besar tanpa kateter di bagian
belakang tenggorokan, dan pasien lebih mungkin untuk pergi bekerja dan melakukan lebih
banyak kegiatan normal. Kelemahan dari kapsul adalah tidak dapat digunakan dalam faring
dan, sejauh ini, belum pernah digunakan dalam lambung.

Endoskopi SCBA6

Meskipun pemeriksaaan pemantauan pH esofagus merupakan baku emas secara


internasional, namun karena keterbatasan alat dan keahlian khusus dari banyak pusat kesehatan
di Indonesia, konsensus nasional penatalaksanaan GERD 2004 menetapkan standar baku emas
di Indonesia menggunakan endoskopi saluran cerna bagian atas (SCBA). Positif GERD apabila

5
pada endoskopi SCBA didapatkan mucosal break. Berdasarkan klasifikasi Los Angeles, derajat
kerusakan A jika terdapat erosi kecil-kecil pada mukosa esophagus dengan diameter <5 mm,
derajat B jika terdapat erosi pada mukosa dengan diameter >5 mm tanpa saling berhubungan,
derajat C jika terdapat lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai atau mengelilingi seluruh
lumen, dan derajat D jika terdapat lesi mukosa esofagus yang bersifat sirkumferensial. Jika
penderita dengan keluhan GERD namun hasil endoskopi SCBA tidak didapatkan kelainan atau
lesi mukosa, maka diagnosis menjadi non erosive reflux disease (NERD).

Fluoroskopi dengan kontras barium6

Fluoroskopi dan kontras barium merupakan metode yang sudah lama digunakan untuk
mendiagnosis refluks gastroesofageal. Pemeriksaan dengan kontras ini sering mengalami
kegagalan dalam mendeteksi refluks gastroesofageal secara dini, oleh karena refluks yang
terjadi sering bersifat intermitten, jarang bersifat kontinyu. Pemeriksaan barium kontras
dilaksanakan secara seris dengan mengamati refluks barium dari lambung ke esofagus.

Dengan memakai fluoroskopi, refluks gasroesofageal lebih mudah dideteksi.cara


pemeriksaan dengan fluoroskopi : sebelum dilakukan pemeriksaan fluoroskopi pada bayi
pemberian makanan dan minuman dikurangi, sedangkan pada anak yang lebih dewasa harus
puasa, gerakana anak dikurangi. Dalam posisi tidur barium diberikan sedikit demi sedikit
dicampur dengan makanan atau diberikan dengan memakai nasogastric tube.

Pada bayi dapat diberikan dengan memakai botol susu. Pemberian barium untuk
mengevaluasi keadaan esofagus bagian atas terutama peristaltik esofagus dan regurgitasi pada
saat menelan. Setelah 1/3 dari total barium habis, dilakukan pemotretan dengan sinar rontgen
untuk mengevaluasi keadaan lambung dan duodenum, stenosis pilorus, malrotasi intestinal dan
melihat fungsi sfingter gastroesofageal dengan mengganti-ganti posisi miring ke kiri dan ke
kanan.

Biopsi esofagus6

Dengan esofagoskopi dan diperiksa PA. Pada GERD didapatkan proliferasi lapisan basal
esofagus yang meningkat.

Working Diagnosis

Diagnosis kerja pada skenario yang ada ialah gastroesophageal reflux (GER). GER
sendiri suatu keadaan kembalinya isi lambung ke esophagus dengan atau tanpa regurgitasi dan
muntah. GER merupakan hal yang fisiologis atau normal terjadi pada anak terutama yang

6
berusia kurang dari 12 bulan. GER sendiri tidak memiliki gejala lain selain regurgitasi.
Biasanya pada anak dengan GER, kondisinya tetap baik, aktif, dan tidak rewel. Bila GER
menimbulkan gejala lain dan mengakibatkan komplikasi maka hal ini disebut dengan
gastroesophageal reflux disease (GERD). Pada anak terutama bayi, karena tidak bisa
ditanyakan langsung kepada bayinya bagaimana rasanya, maka biasa jika terkena GERD, bayi
akan terlihat jauh lebih rewel dari biasanya yang menandakan bahwa ada nyeri atau rasa tidak
nyaman yang dirasakan oleh anak tersebut.1

Differential Diagnosis

Stenosis pylorus7

Stenosis pylorus hipertrofik congenital mengacu kepada keadaan hipertrofi atau


hyperplasia pada lamina propia muskularis pylorus. Dengan terjadi pada 1:300 hingga 1:900
kelahiran hidup, rasio laki-laki terhadap wanita adalah 4:1. Gejala regurgitasi dan muntah
proyektil terjadi pada usia 3 minggu pertama. Gejala lainnya meliputi peristalsis yang terlihat
kasat mata dan massa oval yang dapat dipalpasi serta teraba kenyal. Pewarisan genetiknya
bersifat multifaktoral, dengan insidens tinggi pada anak kembar. Stenosis pylorus di dapat
merupakan komplikasi pada gastritis daerah antrum yang kronik, ulkus peptikum di dekat
pylorus dan keganasan (misalnya, karsinoma, limfoma, karsinoma pankreas).

Atresia duodenum7

Atresia duodenum di duga timbul dari kegagalan rekanalisasi lumen setelah fase padat
pada perkembangan usus selama masa kehamilan minggu ke 4 dan ke 5. Insidens atresia
duodenum adalah 1 dalam 10.000 kelahiran dan meliputi sekitar 25-40% dari semua atresia
usus. Setengah dari penderita di lahirkan premature. Atresia duodenum mungkin mempunyai
beberapa bentuk, yang meliputi obstruksi lumen oleh membrane utuh, tali fibrosa yang
menghubungkan dua ujung kantong duodenum yang buntu pendek, atau suatu celah antara
ujung-ujung duodenum yang tidak bersambung. Penyebab obstruksi yang tidak lazim adalah
jaringan windsock, yakni suatu flap jaringan yang dapat mengembang yang terjadi karena
anomaly saluran empedu. Bentuk atresia membranosa adalah yang paling sering obstruksi
terjadi di sebelah distal ampul vateri pada kebanyakan penderita. Obstruksi duodenum dapat
juga di sebabkan oleh kompresi ekstrinsik seperti pankreas anulare atau oleh pita-pita laad pada
penderita dengan malrotasi. Sindrom down terjadi pada 20-30% penderita atresia duodenum.
Anomaly bawaan lain yang di sertai dengan atresia duodenum adalah malrotasi (20%), atresia

7
esophagus (10-20%), penyakit jantung bawaan (10-20%), dan anomaly anorektal serta ginjal
(5%).

tanda obstruksi duodenum adalah muntah yang mengandung empedu tanpa perut kembung,
biasanya terjadi pada hari pertama setelah lahir. Gelombang peristaltik mungkin terlihat pada
awal proses penyakit ini. Ada riwayat polihidramnion pada pertengahan kehamilan dan ini
disebabkan oleh kegagalan penyerapan cairan amnion di bagian distal usus. Ikterik tampak
pada sepertiga bayi. Diagnosa terkesankan dari adanya gambaran tanda gelembung ganda
pada rontgen polos abdomen. Gambaran ini disebabkan oleh karena lambung dan duodenum
proksimal mengembang dan terisi udara. Pemeriksaan dengan kontras biasanya tidak di
perlukan dan jika di kerjakan mungkin menimbulkan aspirasi. Diagnosa prenatal atresia
duodenum di buat dengan menambahkan frekuensi pemeriksaan ultrasonografi janin.

Atresia esofagus7

Atresia esofagus merupakan keadaan dimana terjadi abnormalitas ujung distal esofagus
yang berhubungan dengan gaster. Atresia esofagus disebabkan oleh gangguan saat diferensiasi
dari foregut primitif menjadi esofagus, trakea, dan paru-paru pada minggu ke 4 sampai ke 6
masa gestasi. Diagnosa dapat diberikan dari waktu bayi masih di kandungan dengan antenatal
ultrasound atau saat bayi tidak dapat menelan makanan pertama atau bahkan saliva sendiri.

Etiologi

Inflamasi esofagus bagian distal terjadi ketika cairan lambung dan duodonum, termasuk
asam lambung, pepsin, tripsin, dan asam empedu mengalami regurgitasi ke dalam esofagus.
Penurunan tonus sfingter esophagus bagian bawah dan gangguan motilitas meningkatkan
waktu pengosongan esofagus dan menyebabkan GER. Inflamasi esofagus nantinya dapat
mengakibatkan kedua mekanisme di atas, seperti lingkaran setan.8

Walaupun penurunan tonus sfingter bagian bawah terjadi pada bayi dengan GER,
GERD, dan kelainan dismotilitas, akan tetapi ada satu faktor yang belakangan diakui sebagai
patogenesis terpenting pada GERD adalah terjadinya relaksasi transien sfingter esofagus
bawah secara berulang. Faktor yang meningkatkan waktu pengosongan esofagus termasuk di
dalamnya interaksi antara postur dan gravitasi, ukuran dan isi makanan yang dimakan,
pengosongan lambung abnormal, dan kelainan peristalsis esofagus.8

Epidemiologi

8
Data yang ditemukan mengenai prevalensi dan insidensi GERD pada anak di dunia
masih sedikit. Di USA sendiri dilaporkan prevalensi GERD adalah 1139 pasien berusia 3-17
tahun yang datanya didapatkan melalui kuesioner sebuah studi. Selain itu, sebuah studi di UK
juga pada tahun 2000-2005 ditemukan 1700 anak dengan diagnosis awal GERD dengan angka
kejadiannya yaitu sekitar 0,84 per 1000 anak per tahun. Insiden ini menurun pada anak umur
1-12 tahun dan meningkat kejadiannya pada anak hingga berumur 16-17 tahun.9

GERD terdapat hampir lebih dari 75 % pada anak dengan kelainan neurologi. Hal ini
dihubungkan dengan kurangnya koordinasi antara peristaltik esophagus dan peningkatan
tekanan intraabdominal yang berasal dari hipertonus otot yang dihubungkan dengan spastisitas.
Di Indonesia sendiri insidens GER sampai saat ini belum diketahui, tetapi menurut beberapa
ahli, GER terjadi pada 50% bayi baru lahir dan merupakan suatu keadaan yang normal.9

Patofisiologi

Gastroesophageal reflux adalah suatu proses fisiologis normal yang mucul beberapa
kali sehari pada bayi, anak dan dewasa yang sehat. Pada umumnya berlangsung kurang dari 3
menit, terjadi setelah makan, dan menyebabkan beberapa gejala atau tanpa gejala. Hal ini
disebabkan oleh relaksasi sementara pada sfingter esofagus bawah atau in adekuatnya adaptasi
tonus sfingter terhadap perubahan tekanan abdominal. Gastroesophageal reflux terjadi secara
pasif karena katup antara lambung dan esofagus tidak berfungsi baik, baik karena hipotonia
sfingter esofagus bawah, maupun karena posisi sambungan esofagus dan kardia yang tidak
sebagaimana lazimnya yang berfungsi sebagai katup. Kemungkinan terjadinya refluks juga
dipermudah oleh memanjangnya waktu pengosongan lambung. Jika sfingter esophagus bagian
bawah tidak berfungsi baik, dapat timbul refluks yang hebat dengan gejala yang menonjol.
Meskipun dilaporkan bahwa tekanan intra abdominal yang meninggi dapat menyebabkan
refluks, tetapi mekanisme yang lebih penting adalah peran tonus sfingter yang berkurang, baik
dalam keadaan akut maupun menahun.8, 10

Sedangkan pada gastroesophageal Reflux Disease (GERD) terjadi jika isi lambung
refluks ke esofagus atau orofaring dan menimbulkan gejala. Petogenesis GERD ini multi
faktorial dan kompleks, melibatkan frekuensi refluks, asiditas lambung, pengosongan
lambung, mekanisme klirens esofagus, barier mukosa esofagus, hipersensitivitas visceral, dan
respon jalan napas. Refluks paling sering terjadi saat relaksasi sementara dari sfingter esofagus
bawah tidak bersamaan dengan menelan, yang memungkinkan isi lambung mengalir ke
esofagus. Proporsi minor episode refluks terjadi ketika tekanan sfingter esofagus bawah gagal

9
meningkat saat peningkatan mendadak tekanan intraabdominal atau ketika tekanan sfingter
esofagus bawah saat istirahat berkurang secara kronis.8,10

Manifestasi Klinik

Pada bayi dengan gastroesophageal reflux (GER), tidak ada manifestasi klinik atau
gejala yang muncul. Bayi hanya mengalami regurgitasi saja. Bila sudah ada berbagai macam
gejala maka disebut dengan gastroesophageal reflux disease (GERD). Gejala khas dari GERD
sendiri adalah heartburn (rasa terbakar di dada disertai nyeri), regurgitasi (rasa asam pahit dari
lambung yang terasa di lidah) terutama setelah makan dan berbaring, dan disfagia. Salah satu
dari keduanya cukup untuk mendiagnosis GERD secara klinis. Selain kedua gejala tersebut,
GERD dapat menimbulkan keluhan nyeri atau rasa tidak enak di epigastrium atau retrosternal
bawah, disfagia, odinofagia (sakit ketika menelan), mual, dan rasa pahit di lidah. Keluhan
ekstraesofageal yang dapat ditimbulkan GERD adalah nyeri dada non kardiak, suara serak,
laringitis, erosi gigi, batuk kronis, bronkiektasis, dan asma. Pasien yang menunjukkan gejala
tipikal dengan frekuensi minimal dua kali seminggu selama 4-8 minggu atau lebih diduga
mengalami GERD.8

Komplikasi

Ada beberapa komplikasi yang sering terjadi pada GERD yaitu esofagitis dan
sekuelenya (striktur, barret esofagus, adenocarcinoma), gangguan nutrisi, komplikasi pada
ekstra esofagus. Esofagitis bisa bermanifestasi sebagai iritabilitas, anak tidak mau makan, nyeri
pada dada atau epigastrium pada anak yang lebih tua, dan jarang terjadi hematemesis, anemia,
atau sindrom Sandifer. Esofagitis yang berkepanjangan dan parah dapat menyebabkan
pembentukan striktur, yang biasanya berlokasi di distal esofagus, yang menghasilkan disfagia,
dan membutuhkan dilatasi esofagus yang berulang dan fundoplikasi. Esofagitis yang
berlangsung lama juga bisa menyebabkan metaplasia epitel kolumnar yang menggantikan
epitel skuamosa yang disebut dengan Barret Esofagus, yang merupakan suatu pertanda atau
memiliki risiko yag cukup besar untuk terjadinya adenokarsinoma esofagus.11

Gangguan nutrisi yang terjadi disebabkan esofagitis dan regurgitasi yang cukup parah
bisa menimbulkan gagal tumbuh karena defisit kalori. Pemberian makanan melalui enteral
(nasogastrik atau nasoyeyunal atau perkutaneus gastric atau yeyunal) atau pemberian melalui
parenteral terkadang dibutuhkan untuk mengatasi deficit tersebut. Untuk komplikasi ekstra
esofagus, GERD dapat menimbulkan gejala pernapasan dengan kontak langsung terhadap
refluks dari isi lambung dengan saluran pernapasan (aspirasi atau mikroaspirasi). Seringnya,

10
terjadi interaksi antara GERD dan penyakit primer saluran pernapasan, dan terciptalah
lingkaran setan yang semakin memperburuk kedua kondisi tersebut.11

Penatalaksanaan

Non medikamentosa

Perubahan posisi

Posisi terlentang mengurangi jumlah paparan asam lambung pada esofagus yang bisa
dikteahui melalui pemeriksaan PH, dibandingkan dengan posisi telungkup. Akan tetapi, posisi
telentang dan posisi lateral berhubungan dengan meningkatnya angka kejadian sindrom bayi
mati mendadak atau sudden infant death syndrome (SIDS). Oleh karena resiko tersebut, maka
posisi telentang atau lateral tidak terlalu direkomendasikan untuk bayi dengan GERD, tetapi
sebagian besar bayi usia dibawah 12 bulan lebih disarankan untuk ditidurkan dengan posisi
telungkup.1, 12

Bayi dengan GERD berat harus ditidurkan telungkup dengan posisi kepala lebih tinggi
(30o). Setelah menetek atau minum susu formula bayi digendong setinggi payudara ibu, dengan
muka menghadap dada ibu (seperti metoda kangguru, hanya baju tidak perlu dibuka). Hal ini
menyebabkan bayi tenang sehingga mengurangi refluks.1, 12

Gambar 2. Posisi telungkup dengan kepala ditinggikan.1, 12

Cara menyusui :13

a. Bayi hanya menetek pada satu payudara sampai habis


b. Biarkan bayi terus menghisap (walaupun payudara telah kosong) sampai bayi
tertidur. Selama bayi mengisap payudara, gerakan mengisap lidah bayi merupakan
trigger terhadap kontraksi lambung, sehingga refluks tidak akan terjadi.

11
c. Hindari perlakuan yang kasar atau tergesa-gesa atau perlakuan yang tidak perlu.
d. Setelah menyusui, bayi jangan langsung ditidurkan. Bayi baru ditidurkan dengan
posisi kepala lebih tinggi dan miring ke sebelah kiri, paling cepat setengah jam
setelah menyusu atau minum susu formula.
e. Hindari paparan asap rokok dan konsumsi kopi pada ibu (caffein yang berlebihan
pada ibu mempengaruhi terjadinya GERD pada bayi).
f. Hindari pemakaian baju yang ketat.

Gambar 3. Posisi setelah menyusui pada bayi.12

Penambahan agen pengental seperti beras sereal pada susu formula tidak mengurangi
durasi pH < 4 (index refluks) yang terukur pada saat monitoring pH esofagus, tetapi bisa
menurunkan frekuensi dari kejadian regurgitasi. Studi dengan kombinasi pH/MII menunjukkan
bahwa tinggi refluks esofagus berkurang dengan pemberian susu formula yang lebih kental
meskipun dengan pemberian ini tidak akan mengurangi frekuensi dari refluks.1, 12
Di Amerika serikat, beras sereal adalah agen pengental yang paling sering ditambahkan
pada susu formula. Susu formula yang dikentalkan dengan beras sereal menurunkan volume
regurgitasi tetapi bisa menyebabkan batuk selama pemberian. Susu formula yang dikentalkan
dengan sereal bila diberikan melalui botol dot maka lubang pada dot harus dilebarkan sehingga
susu yang dikentalkan tersebut bisa keluar dengan lancar. Intake energi yang berlebih adalah
masalah yang sering terjadi pada pemberian susu formula yang dikentalkan dengan sereal.
Pengentalan 20 kcal/ons susu formula dengan 1 sendok makan beras sereal untuk setiap ons
nya bisa meningkatkan densitas energi hingga 34 kcal/oz (1,1 kcal/mL). Pengentalan dengan 1
sendok makan per 2 ons susu formula meningkatkan densitas energi hingga 27 kcal/oz (0,95
kcal/mL).1, 12

Perubahan pola hidup pada anak dan dewasa

12
Pada anak yang lebih besar, tidak ada bukti yang jelas tentang pengurangan konsumsi
makanan-makanan tertentu. Pada dewasa, obesitas, makan berlebih, dan makan pada malam
hari sebelum tidur berhubungan dengan timbulnya gejala GERD. Posisi tidur telentang atau
posisi tidur pada sisi kiri dan atau peninggian kepala tempat tidur, bs mengurangi gejala
refluks.1, 12

Medika mentosa

Agen farmakologi utama yang biasanya digunakan untuk mengatasi GERD pada anak
adalah agen buffering asam lambung, pertahanan mukosa, dan agen anti-sekretorik lambung.
Potensi efek samping dari penekanan sekresi asam lambung, termasuk peningkatan resiko
pneumonia community-acquired dan infeksi saluran pencernaan, perlu diimbangi dengan
manfaat terapi. Pada bayi yang didiagnosa GERD, diperlukan manajemen pengobatan yang
tepat. Obat penekan asam lambung berguna dalam mengobati esofagitis yang disebabkan oleh
refluks asam, bisa digunakan sebagai terapi tunggal maupun kombinasi dengan agen
prokinetik. Antagonis reseptor H2 (H2RAs; eg, ranitidine, cimetidine, famotidine, nizatidine)
dan penghambat pompa proton inhibitors (PPIs; eg, omeprazole, esomeprazole, lansoprazole)
terbukti efektif dalam penatalaksanaan GERD. Sejumlah studi telah mendemonstrasikan
efektivitas dari H2RA pada orang dewasa dengan reflux, dan 3 uji coba acak terkontrol pada
anak menunjukkan bahwa H2RA efektif dalam mengurangi gejala dan menyembuhkan
esofagitis.1, 8, 14

Antagonis reseptor histamin H2 secara kompetitif menghambat aksi histamin pada


reseptor histamin H2 pada sel parietal lambung. Obat ini sangat selektif pada reseptor histamin
H2 dan memiliki sedikit atau tanpa efek pada reseptor histamin H1. Sel parietal memiliki
reseptor untuk histamin, asetilkolin, dan gastrin, yang semuanya dapat merangsang sekresi
asam hidroklorida ke dalam lumen gaster. Antagonis reseptor histamin H2 menghambat sekresi
asam yang dihasilkan oleh reseptor histamin, tapi tidak memiliki efek pada sekresi asam yang
dihasilkan oleh asetilkolin atau gastrin. Obat yang termasuk golongan ini adalah Cimetidin,
Ranitidine, Famotidine, dan Nizatidine. Antagonis reseptor histamin H2 dapat menurunkan
penyerapan obat yang memerlukan suasana asam (ketokonasol, itrakonasol). Simetidin
menghambat enzim sitrokom P-450 dan memiliki potensi untuk berinteraksi dengan obat lain
yang dimetabolisme oleh isoenzim ini (misalnya fenitoin, propanolol, teofilin, warfarin).1, 8, 14

Inhibitor pompa proton terikat dengan hydrogen/potassium adenosine triphospatase,


suatu enzim yang berperan sebagai pompa proton pada sel parietal, karena itu dapat

13
menghambat pertukaran ion yang merupakan langkah akhir pada sekresi asam hidroklorida.
Obat ini menghambat sekresi asam tanpa memandang apakah distimulasi oleh histamine,
asetilkolin, atau gastrin. Untuk sekresi dari sel parietal inhibitor pompa proton memerlukan
aktivasi dalam lingkungan. Supaya makanan tidak dapat mempengaruhi absorpsi dan
konsentrasi puncak obat dalam plasma, obat ini paling baik diminum sekitar 30 menit sebelum
makan. Obat ini kurang efektif selama kondisi puasa saat kondisi asam lebih rendah.1, 8, 14
Inhibitor pompa proton dinonaktifkan oleh asam lambung. Oleh karena itu obat ini
diformulasi dengan enteric coating, sehingaa obat ini mampu melewati lambung dalam
keadaan utuh dan memasuki usus, dimana PH nya kurang asam dan obat diserap. Inhibitor
pompa proton memiliki elimanis waktu paruh yang pendek namun durasi aksi yang panjang
karena ikatan dengan pompa proton irreversibel dan penghentian aktifitas farmakologi
memerlukan sintesis enzim yang baru. Inhibitor pompa proton tidak mempengaruhi motilitas
lambung atau sekresi enzim lambung yang lainnya. Inhibitor pompa proton dapat berinteraksi
dengan obat yang memerlukan lingkungan asam untuk penyerapan (misalnya ketokonazol,
itrakonazol). Inhibitor pompa proton dimetabolisme oleh sitokrom P-450 2C19 dan 3A4 secara
bervariasi dan dapat berinteraksi dengan obat lain yang dimetabolisme oleh enzim ini. 1, 8, 14
Omeprasol dan lansoprasol golongan inhibitor pompa proton telah diijinkan
penggunaanya oleh FDA pada pasien anak. Keduanya tersedia dalam bentuk kapsul yang
mengandung granula salut enteric. Lansoprasol juga tersedia dalam bentuk granual untuk
penggunaanya dalam suspense oral dan secara oral dalam betuk talet yang mengandung
mikrogranula salut enteric. Oleh karena itu obat ini tidak boleh dikunyah, harus ditelan dalam
bentuk utuh karena akan menurunkan efektifitasnya. Esomeprasol (bentuk isomer S dari
omeprasol) tersedia sebagai kapsul yang mengandung enteric coated pellet, dan rabeprasol,
sedangkan pantoprasol tersedia dalam bentuk enteric coated tablets. Pantoprasol, rabeprasol,
dan esomeprasol tidak dibenarkan penggunaanya oleh FDA pada anak-anak. Saat ini percobaan
klinis pada pasien anak-anak sedang dilaksanakan. Omeprasol dan lansoprasol sebaiknya
diminum dengan sedikit jus buah yang agak asam (jus apel, jeruk) atau yoghurt. Pada penelitian
yang dilakukan pada pasien anak-anak yang menderita esofagitis yang resisten terhadap
antagonis reseptor histamin H2, omeprasol efektif dalam memeperbaiki gejala dan
menyembuhkan esofagitis.1, 8, 14
Inhibitor pompa proton lebih efektif daripada antagonis reseptor histamine H2 dalam
mengurangi sekresi asam, mengurangi gejala RGE, dan menyembuhkan esofagitis. Inhibitor
pompa proton juga lebih efektif daripada antagonis reseptor histamine H2 dalam
mempertahankan remisi.1

14
Perbaikan gejala bergantung pada dosis, dosis yang lebih tinggi dikaitkan dengan
perbaikan gejala yang lebih cepat. Namun, studi mengenai lansoprazol juga menunjukkan
bahwa bayi yang lebih muda dari 10 minggu mempunyai farmakokinetik yang berbeda dan
memerlukan dosis yang lebih rendah dan efek samping yang mungkin lebih umum terjadi
dibanding pada bayi yang lebih muda dari 28 hari. Beberapa studi melaporkan bahwa PPI
adalah pengobatan yang efektif untuk esophagitis akibat refluks, tetapi belum ada studi yang
menunjukkan keunggulan H2RA dengan dosis yang tinggi.1

Agen Prokinetik meningkatkan gerakan peristaltik esofagus, mempercepat


pengosongan lambung, dan meningkatkan tonus sfingter esofagus bagian distal. Cisapride
efektif dalam menurunkan refluks, namun obat tersebut telah ditarik dari pasaran karena efek
toksik pada jantung berpotensi menyebabkan kematian dan tersedia hanya dalam protokol
penggunaan yang terbatas. Metoclopramid adalah obat antidopaminergik dan kholinomimetik
yang telah digunakan. medis pengelolaan GERD. Cisaprid merupakan campuran agen
seratonergic yang memfasilitasi pelepasan asetilkolin pada sinaps dalam pleksus mienterikus
sehingga meningkatkan pengosongan lambung dan esofagus, serta gerakan peristaltik saluran
cerna. Setelah diketahui bahwa cisapride bisa menyebabkan pemanjangan inteval QT pada
EKG, sehingga meningkatkan angka kematian mendadak. Oleh karena itu obat ini
penggunaanya terbatas pada program-program yang diawasi oleh ahli gastroenterologi anak
untuk percobaan klinis. Antasid menetralisir asam lambung, dan sodium alginate melindungi
mukosa esophagus dengan membentuk suatu gel pada permukaan. Sukralfat (suatu kompleks
aluminium dari sucrose sulfat) terikat pada dan melindungi mukosa esofagus. Efikasi obat ini
pada anak-anak yang mengalami refluks estrofageal belum diketahui dengan pasti. Obat ini
tidak dibenarkan penggunaan pada bayi dan aank oleh FDA dalam pengobatan RGE.
Penggunaan antacid yang mengandung aluminium dalam jangka panjang harus dihindari
karena resiko toksisitas aluminium. Obat ini dapat digunakan secara intermitten untuk
meredakan gejala RGE pada anak yang berumur lebih besar.1, 8, 14

Jika bayi yang sering muntah dengan berat badan tidak bertambah, maka penting untuk
melakukan evaluasi dignostik lebih lanjut. Pemeriksaan untuk menemukan penyebab muntah
(seperti pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, bikarbonat, nitrogen urea, kreatinin, alanin
aminotransferase, amonia, glukosa, urinalisa, keton urin dan reduksi, dan skrining
galaktosemia dan penyakit maple sugar urine. Pemeriksaan anatomi saluran gastrointestinal
atas juga dianjurkan. Jika tidak ditemukan kelainan, tatalaksana termasuk terapi medis, rawat
inap dan biopsi endoskopi. Rawat inap untuk observasi interaksi orangtua-anak dan

15
mengoptimalkan tatalaksana. Biopsi endoskopi bermanfaat untuk menemukan adanya
esofagitis dan untuk menyingkirkan penyebab lain yang menimbulkan muntah dan tidak
bertambahnya berat badan. Untuk meningkatkan asupan kalori pada bayi dilakukan dengan
meningkatkan densitas formula, dan penggunaan tube nasogastrik atau transpilorik. Terapi
bedah jarang dilakukan. Follow-up diperlukan untuk memastikan penambahan berat badan
yang adekuat.14, 15

Pada anak yang lebih besar dan dewasa, gambaran klinis dan lokalisasi dari nyeri
esofagus lebih kurang sama, tapi pada anak yang lebih kecil gambaran klinis dan lokasi nyeri
mungkin atipik. Regurgitasi dari asam lambung ke mulut bisa terjadi. Intervesnsi awal dari
perubahan pola hidup, menghindari faktor pencetus, ditambah penggunaan terapi farmakologi
selama 2-4 minggu dengan H2RA atau PPI direkomendasikan. Jika tidak ada perbaikan, maka
selanjutnya anak bisa ditangani oleh ahli gastroenterologi untuk biopsi dengan endoskopi
saluran cerna atas. Jika terjadi perbaikan, terapi bisa dilanjutkan hingga 2-3 bulan, jika gejala
berulang ketika terapi dihentikan, sebaiknya dilakukan endoskopi untuk mengetahui tingkat
keparahan dari esofagitis.14, 15

Para ahli menyarankan bahwa pada bayi dan anak dengan esofagitis,efektivitas terapi
bisa dipantau dengan melihat perbaikan gejala, kecuali untuk pasien dengan esofagitis erosif,
endoskopi berulang dianjurkan untuk memastikan penyembuhan. Jika pasien tidak berespon
terhadap terapi, terdapat 2 kemungkinan yang bisa menjelaskan hal tersebut: diagnosis tidak
benar atau penatalaksanaan yang inadekuat. Kemungkinan adanya diagnosa lain, seperti
esofagitis eosinofilik harus dipertimbangkan.14, 15

Jika manifestasi klinis dan histopatologi berhubungan dengan diagnosa refluks


esofagitis, maka sebaiknya dilakukan evaluasi terhadap kemanjuran terapi. Monitoring pH
esofagus pada saat pasien menjalani terapi bisa menginformasikan apakah diperlukan
penggunaan obat untuk menurunkan sekresi asam lambung. Jika diagnosa tidak jelas,
monitoring pH esofagus pada saat pasien tidak menerima terapi mungkin berguna karena
berdasarkan hasil studi esofagitis biasanya berkaitan dengan GER.14, 15

Terapi Bedah

Operasi anti refluks harus dipertimbangkan bila terapi medis gagal misalnya gejala
terus berlanjut atau timbul komplikasi GERD. Pembedahan biasanya diindikasikan untuk
pasien dengan refluks yang berlanjut dan komplikasi esophagitis meskipun sudah
diberi terapi medis. Nissen fundoplication merupakan prosedur operasi yang paling umum

16
dilakukan. Tindakan yang dilakukan berupa pembungkusan fundus lambung 3600 sekitar
esofagus distal.14

Alternatif dari nissen fundoplication adalah prosedur thal (fundoplication 1800


anterior), prosedur toupet (fundoplication 2700 posterior), prosedur boix-ochoa (pemulihan
esofagus intra-abdomen) dan watson (fundoplication 1200 anterior). Perbandingan berbagai
operasi ini telah menunjukkan tingkat setara dengan komplikasi, revisi, dan kepuasan jangka
panjang. Prosedur nissen dan prosedur terkait lainnya dapat dilakukan secara laparoskopi.14

Laparosopic Nissen Fundoplication (LNF) secara umum telah menggantikan prosedur


nissen fundoplication yang dilakukan secara terbuka (ONF), hal ini dikarenakan LNF
menurunkan angka kesakitan, memperpendek waktu perawatan di rumah sakit, dan
kemungkinan komplikasi pasca operasi yang lebih sedikit.14

Nissen fundoplication telah secara luas dilakukan sebagi terapi bedah untuk kasus
GERD, namun prosedur ini berhubungan dengan tingginya angka kejadian disfagia pasca
operasi dan angka kejadian rekuren yang tinggi pada anak dengan disability. Oleh karena itu,
prosedur Thal fundoplication pada kemudian mulai dipopulerkan dan digunakan oleh banyak
ahli bedah hingga saat ini.14

Gambar 4. A. Nissen fundoplication B. Thal fudoplication C. Toupet fundoplication14

Prognosis

Pada bayi dengan diagnosis GER prognosisnya sangan baik karena GER bukan
merupakan suatu kelainan atau penyakit. Sedangkan bila pada GERD, prognosisnya baik
dengan pengobatan yang tepat, walaupun relaps mungkin akan muncul kembali setelah terapi
selesai dan memerlukan terapi medis yang lebih lama.
Kebanyakan kasus GER pada bayi dan balita adalah berespon baik terhadap terapi non
farmakologi. 80% gejala berkurang pada umur 18 bulan. Beberapa pasien memerlukan terapi
menurunkan asam lambung dan hanya sekelompok kecil yang memerlukan tindakan

17
pembedahan karena gejala GER setelah usia 18 tahun menunjukkan gejala yang kronik. Resiko
jangka panjang juga meningkat. Untuk pasien yang mengalami GER secara persisten periode
akhir usia anak selalunya memerlukan terapi agen anti sekretori.

Kesimpulan

Gastroesophageal reflux (GER) merupakan hal fisiologis yang wajar terjadi pada bayi.
Bila GER berlanjut dan menimbulkan gejala serta komplikasi baik pada anak-anak maupun
orang dewasa, maka dinamakan gastroesophageal reflux disease (GERD).

Daftar Pustaka

1. Yvan V. Pediatric gastroesophageal reflux clinical practice guidelines. Journal of


Pediatric Gastroenterology and Nutrition Vol. 49, No. 4, October 2009 : 498547.

2. Makmun D. Penyakit refluks gastroesofageal. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW,


Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II. Edisi
ke-6. Jakarta: InternaPublishing; 2014.h. 1748-55.
3. Ndraha S. Bahan ajar gastroenterohepatologi. Jakarta: Fakultas Kedokteran Ukrida;
2013.h. 21-38.
4. Bickley LS. Bates : buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan. Edisi ke-8.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2013.h. 339-44.
5. Glynn M, Drake W. Hutchinsons clinical methods. 23rd Edition. London: Elsevier Ltd.;
2012.p. 224-6.
6. Suraatmaja, Sudaryat. Refluks Gastroesofageal. Dalam: Kapita Selekta
Gastroenterologi Anak. Jakarta: Sagung Seto; 2007; hal 229-35
7. Kliegman B. Ilmu kesehatan anak. Jakarta. EGC. Edisi 15; 2000. h. 1310
8. Makmun D. Penyakit refluks gastroesofageal. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi
I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-6. Jilid 2. Jakarta
: InternaPublishing; 2014. h. 1750-8

9. Ruigmez A, Wallander M, Lundborg P, Johansson S, Rodriguez L. Gastroesophageal


reflux disease in children and adolescents in primary care. Scandinavian Journal Of
Gastroenterology. 2010; 45(2): 139-146. Available from: MEDLINE with Full Text.

10. North American Society for Pediatric Gastroenterology and Nutrition. Pediatric GE
Reflux Clinical Practice Guideline. Journal of Pediatric Gastroenterology and
Nutrition, Vol. 32, Supplement 2, 2001; 1-31.

18
11. Orienstein SR, Peters J, Khan S, Youssef N, Hussain Z. The Esophagus. Dalam :
Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Nelson Textbook of pediatrics.edisi ke-17.
Philadelphia : Sounders ; 2004. h.1217-27.

12. Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Dalam: A. Aziz Rani,
Sidartawan Soegondo dkk. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2015. h. 99-104.

13. Suraatmaja, Sudaryat. Refluks Gastroesofageal. Dalam: Kapita Selekta


Gastroenterologi Anak. Jakarta: Sagung Seto; 2007; h. 229-35.
14. Rubenstein D, Wayne D, Bradley J. Kedokteran klinis. Jakarta. EMS. Edisi 6; 2015. h. 38-42.
15. Gunawan Gan S. Farmako dan terapi. Edisi ke 6. Jakarta: EGC; 2014. h. 78-81

19

Anda mungkin juga menyukai