Anda di halaman 1dari 15

Pendahuluan

Masalah pada pencernaan merupakan masalah yang sering sekali dihadapi oleh dokter di
masyarakat. Begitu banyak penyakit pencernaan yang menyebabkan pasien datang kepada dokter
untuk meminta diobati, dari yang sederhana bahkan sampai yang serius. Salah satu penyakit
yang cukup sering menyebabkan gangguan adalah Gastroesofageal reflux disease (GERD) yang
merupakan suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks kandungan lambung ke dalam
esophagus, yang mengakibatkan berbagai gejala seperti nyeri ulu hati (heartburn) dan
regurgitasi.

Skenario

Seorang ibu membawa bayinya usia 4 bulan dengan keluhan kalau bayinya sehabis minum susu
sering keluar kembali melalui mulut, kurang lebih 1-2 sendok makan dan ini terjadi setiap kali
bayi tersebut menyusu sejak 2 minggu yang lalu.

Rumusan masalah

Bayi 4 bulan dengan keluhan sehabis minum susu sering keluar kembali melalui mulut.

Analisis masalah
Hipotesis

Bayi 4 bulan tersebut mengalami gastroesofageal refluks disease

Anamnesis

Anamnesis adalah wawancara antara dokter dengan pasien dan atau keluarganya guna
memperoleh data-data pasien yang diperlukan untuk proses pengobatannya. Anamnesis dapat
dilakukan dengan dua cara yaitu auto anamnesis dimana data didapatkan dari pasien sendiri dan
allo anamnesis dimana data didapatkan dari keluarga atau orang yang mengantar pasien. pada
anamnesis data yang dibutuhkan berupa identitas, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang,
riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit keluarga, riwayat pribadi, dan riwayat sosial.1
Identitas
Data identitas sangat penting untuk membantu dokter dalam memberikan penanganan kepada
pasien. Ada beberapa penyakit yang berhubungan dengan usia, pekerjaan, keturunan, lingkungan
tempat tinggal dan lain-lain.1
Keluhan utama
Merupakan keluhan yang dirasakan pasien yang menjadi alasan pasien datang ke dokter. Penting
sekali bagi dokter untuk mendengarkan secara aktif apa yang diungkapkan pasien,
menelusurinya sehingga didapatkan data yang akurat mengenai masalah utama pasien. Data
hendaknya dirangkum secara jelas menyangkut kronologis yagn mencakup awitan masalah,
keadaan di mana hal tersebut terjadi, manifestasinya, serta semua pengobatannya.1
Riwayat penyakit sekarang
Riwayat perjalanan penyakit merupakan cerita yang kronologis, terinci dan jelas mengenai
keadaan kesehatan pasien sejak sebelum keluhan utama sampai pasien datang berobat.1
Keluhan yang menyertai keluhan utama. Setiap perubahan dan masalah atau gangguan kesehatan
yang dialami oleh usia lanjut akan disertai gejala – gejala yang khas.1
Riwayat penyakit dahulu
Mengetahui kemungkinan-kemungkinan adanya hubungan antara penyakit yang pernah diderita
dengan penyakitnya sekarang.1
Riwayat penyakit keluarga
Penting untuk mencari kemungkinan penyakit herediter, familial, atau penyakit infeksi.1
Anamnesis susunan sistem
Mengumpulkan data-data positif dan negatif yang berhubungan dengan penyakit yang diderita
pasien berdasarkan alat tubuh yang sakit.Ada atau tidaknya alergi pada pasien, baik terhadap
makanan maupun obat – obat tertentu. Penggunaan obat untuk penyakit yang dideritanya
maupun untuk penyakit lain.1

Berdasarkan skenario melalui alloanamnesis didapatkan bayi berusia 4 bulan sehabis minum
susu sering keluar kembali melalui mulut kurang lebih 1-2 sendok makan dan terjadi setiap kali
menyusu sejak 2 minggu yang lalu. Saat diberi ASI posisi bayi tiduran tegak kurang lebih 20o
dan terlihat susu yang masuk hanya sedikit seperti tertahan saat akan menelan. tidak mengalami
penurunan berat badan, bayi masih menangis dan masih aktif menyusu. Tidak ada demam, tidak
muntah, tidak diare.

Pemeriksaan fisik

1. Pemeriksaan Umum
Pada pemeriksaan umum sama seperti pada pasien dewasa dengan melihat Keadaan Umum,
Kesan sakit, dan Kesadaran
2. Tanda Vital
Tekanan Darah
Pengukuran seperti pada dewasa, tetapi memakai manset khusus untuk anak, yang ukurannya
lebih kecil dari manset dewasa. Besar manset antara setengah sampai dua per tiga lengan atas.
Tekanan darah waktu lahir 60 – 90 mmHg sistolik, dan 20 – 60 mmHg diastolik. Setiap tahun
biasanya naik 2 –3 mmHg untuk kedua-duanya dan sesudah pubertas mencapai tekanan darah
dewasa.2
Nadi
Perlu diperhatikan, frekuensi/laju nadai (N: 60-100 x/menit), irama, isi/kualitas nadi dan
ekualitas (perabaan nadi pada keempat ekstrimitas.2
Nafas
Perlu diperhatikan laju nafas, irama, kedalaman dan pola pernafasan.2
Suhu
Pengukuran suhu tubuh dapat dilakukan dengan beberapa cara :
1. Rectal
Anak tengkurap di pangkuan ibu, ditahan dengan tangan kiri, dua jari tangan kiri memisahkan
dinding anus kanan dengan kiri, dan termometer dimasukkan anus dengan tangan kanan ibu.2
2. Oral
Termometer diletakkan di bawah lidah anak. Biasanya dilakukan untuk anak  6 tahun.
Pemeriksaan fisik pada anak berbeda dengan dewasa, ada beberapa hal yang tidak boleh
diabaikan dan cara pemeriksaan harus disesesuaikan dengan umur anak/bayi. Suasana harus
tenang dan nyaman karena jika anak ketakutan, kemungkinan dia akan menolak untuk diperiksa.
Untuk anak usia 1 –3 tahun, kebanyakan diperiksa dalam pelukan ibu, sedangkan pada bayi
usia 6 bulan, biasanya bisa diperiksa di atas meja periksa.Tata cara dan urutan pemeriksaan
fisik pada anak tetap dimulai dengan inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.2
1. Inspeksi, ditujukan untuk melihat perubahan yang terjadi secara umum dengan
membandingkan tempat yang diperiksa dengan daerah sekitarnya atau organ yang sama pada sisi
yang berbeda.2
2. Palpasi, dilakukan dengan telapak tangan dan atau jari-jari tangan. Palpasi diperlukan untuk
menentukan bentuk, ukuran, tepi, permukaan dan untuk mengetahui intensitas nyeri serta
konsistensi. Palpasi dapat dilakukan dengan kedua tangan, terutama untuk mengetahui adanya
cairan atau ballottement.2
3. Perkusi, ditujukan untuk mengetahui perbedaan suara ketukan sehingga dapat ditentukan
batas-batas organ atau massa abnormal. Suara perkusi dibagi menjadi 3 macam yaitu sonor
(perkusi paru normal), timpani (perkusi abdomen), dan pekak (perkusi otot). Suara lain yang
terdapat diantara dua suara tersebut seperti redup (antara sonor dan pekak) dan hipersonor
(antara sonor dan timpani).2
4. Auskulatasi, pemeriksaan dengan menggunakan stetoskop untuk mendengar suara pernafasan,
bunyi dan bising jantung, peristaltic usus dan aliran darah dalam pembuluh darah.2
Berdasarkan skenario pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien sakit sedang,
kesadaran kompos mentis, tanda-tanda vital dalam batas normal.
Pemeriksaan penunjang

Pemantauan pH esofagus
Sampai saat ini pemantauan pH merupakan standar baku untuk mendiagnosis refluks
gastroesofagus dan untuk menentukan hubungan episode refluks dengan gejala klinis. Dalam
keadaan normal pH esophagus antara 6 sampai 7, dengan ditemukannya penurunan pH di
bawah 4 pada jarak 5 cm diatas lower esofageal sphincter (LES) merupakan petanda
terjadinya episode refluks. Pemantauan pH esophagus yang paling baik dengan hasil yang
dapat dipercaya adalah selama 24 jam. Untuk tes ini, tabung kecil (kateter/mikroelektroda)
melewati hidung dan diposisikan di esofagus. Di ujung kateter terdapat sensor yang
mendeteksi asam. Ujung kateter yang satu lagi akan keluar dari hidung dan diletakkan ke
perekam (recorder). Setiap kali asam refluks ke esofagus dari perut, sensor akan dirangsang
dan perekam mencatat episode refluks ini. Setelah 20 hingga 24 jam waktu, kateter
dikeluarkan dan catatan refluks dari perekam dianalisis.Episode refluks gastroesofageal
menimbulkan asidifikasi bagian distal esophagus.3

Fluoroskopi dengan kontras barium

Fluoroskopi dan kontras barium merupakan metode yang sudah lama digunakan untuk
mendiagnosis refluks gastroesofageal.Pemeriksaan dengan kontras ini sering mengalami
kegagalan dalam mendeteksi refluks gastroesofageal secara dini, oleh karena refluks yang terjadi
sering bersifat intermitten, jarang bersifat kontinyu. Pemeriksaan barium kontras dilaksanakan
secara seris dengan mengamati refluks barium dari lambung ke esofagus.4

Dengan memakai fluoroskopi, refluks gasroesofageal lebih mudah dideteksi.cara pemeriksaan


dengan fluoroskopi : sebelum dilakukan pemeriksaan fluoroskopi pada bayi pemberian makanan
dan minuman dikurangi, sedangkan pada anak yang lebih dewasa harus puasa, gerakan anak
dikurangi. 4

Dalam posisi tidur barium diberikan sedikit demi sedikit dicampur dengan makanan atau
diberikan dengan memakai ‘nasogastric tube’.5 Pada bayi dapat diberikan dengan memakai botol
susu. Pemberian barium untuk mengevaluasi keadaan esofagus bagian atas terutama peristaltik
esofagus dan regurgitasi pada saat menelan. Setelah 1/3 dari total barium habis, dilakukan
pemotretan dengan sinar rontgen untuk mengevaluasi keadaan lambung dan duodenum, stenosis
pilorus, malrotasi intestinal dan melihat fungsi sfingter gastroesofageal dengan mengganti-ganti
posisi miring ke kiri dan ke kanan.4

Working diagnosis

Gastro Esophageal Reflux Disease (GERD) adalah keadaan yang patologis dimana sejumlah isi
lambung berbalik (refluks) ke arah esofagus melebihi jumlah normal, dan menimbulkan berbagai
keluhan.3Konsepsi sekarang tentang GERD adalah kumpulan gejala dengan persamaan
disebabkan refluks gastroesofageal menyebabkan gejala atau manifestasi potensial pada esofagus
dan extraesofagus.GERD dapat menyebabkan komplikasi yang berat seperti barret’s esophagus
bahkan adenokarsinoma.3

Differential diagnosis

Stenosis pilorus

Stenosis Pylorus adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan penyempitan dari sfingter
pylorus.Sfingter pylorus adalah bagian otot yang ada di bagian bawah lambung, yang berfungsi
untuk mengendalikan pengosongan lambung. .Kondisi ini juga dikenal sebagai stenosis pylorus
hipertrofik infantil.Hal ini merupakan penyebab penyumbatan usus yang paling umum pada
bayi.Hal ini terjadi ketika otot-otot pylorus menebal, yang dapat disebabkan oleh pengguanaan
eritromisin, suatu antibiotik.Hal ini mencegah makanan masuk ke usus halus.Bayi dapat muntah,
mengalami dehidrasi, dan kehilangan berat badan. Stenosis Pylorus memerlukan perawatan
medis secepatnya untuk mencegah dehidrasi yang mengancam jiwa dan ketidakseimbangan
elektrolit.3

Atresia duodenum

Atresia duodenum Atresia duodenum adalah suatu keadaan kegagalan kanalisasi pada masa
embrional disertai atresia di bagian usus lainnya. Gejala klinis yang sering terjadi adalah muntah-
muntah yang mengandung empedu. Bila atresia di bawah ampula vateri, muntahnya berupa
gumpalan susu atau muntahnya keruh. Gejala lainnya yaitu mekonium tidak keluar dalam waktu
lebih dari 24 jam.Pada penderita atresia duodenum, distensi abdomen terjadi pada bagian
atas.Bila penderita habis minum, tampak gerakan peristaltik melintasi garis tengah, dari kiri ke
kanan.Dengan foto abdomen polos, tampak adanya gambaran “Double buble” yaitu tidak adanya
gambaran udara di usus halus. Pengobatan definitif adalah operasi.5

Etiologi

Penyakit gastroesofageal refluks bersifat multifaktorial. Hal ini dapat terjadi oleh karena
perubahan yang sifatnya sementara ataupun permanen pada barrier diantara esophagus dan
lambung. Selain itu juga, dapat disebabkan oleh karena sfingter esophagus bagian bawah yang
inkompeten, relaksasi dari sfingter esophagus bagian bawah yang bersifat sementara,
terganggunya ekspulsi dari refluks lambung dari esophagus, ataupun hernia hiatus.Asam
lambung merupakan salah satu faktor utama etiologi penyakit refluks esofageal, kontak asam
lambung yang lama dapat mengakibatkan kematian sel, nekrosis, dan kerusakan mukosa
esofagus pada pasien GERD.3

Penyebab dari Penyakit Refluks Gastro Esofageal (PRGE) atau Gastro Esophageal Reflux
Disease (GERD) pada bayi umumnya diakibatkan oleh sistem pencernaannya yang belum
berkembang secara maksimal atau belum dewasa sehingga menyebabkan kelainan pada Lower
Esophageal Sphincter (LES) dimana seharusnya membuka untuk membiarkan makanan lewat
dan menutup setelahnya, namun karena tonusnya yang lemah atau menutup yang tidak sempurna
atau relaksasi tonus LES yang tidak seharusnya menyebabkan LES terbuka kembali sehingga
makanan dapat keluar kembali. Namun juga ditemukan penyebab – penyebab lainnya yang
mungkin saja menyebabkan terjadinya GERD yaitu, obesitas, makan yang berlebihan, dan
pengobatan tertentu. GERD juga dapat diturunkan secara genetik, sehingga pentingnya
melakukan anamnesa perihal di dalam keluarga apakah ada yang pernah atau sedang mengalami
hal serupa.5

Epidemiologi

Sudah sejak lama prevalensi GERD di Asia dilaporkan lebih rendah dibandingkan dengan di
negara-negara Barat. Namun, banyak penelitian pada populasi umum yang baru-baru ini
dipublikasikan menunjukkan kecenderungan peningkatan prevalensi GERD di Asia. Prevalensi
di Asia Timur 5,2 %-8,5 % (tahun 2005-2010), sementara sebelum 2005 2,5%-4,8%; Asia
Tengah dan Asia Selatan 6,3%-18,3%, Asia Barat yang diwakili Turki menempati posisi puncak
di seluruh Asia dengan 20%. Asia Tenggara juga mengalami fenomena yang sama; di Singapura
prevalensinya adalah 10,5%, di Malaysia insiden GERD meningkat dari 2,7% (1991-1992)
menjadi 9% (2000-2001), sementara belum ada data epidemiologi di Indonesia. Di Divisi
Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI-RSUPN Cipto Mangunkusumo
didapatkan kasus esofagitis sebanyak 22,8 % dari semua pasien yang menjalani endoskopi atas
dasar dispepsia.3

Patafisiologi

Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme: 1). Refluks
spontan pada saat relaksasi LES yang tidak adekuat, 2). aliran retrograd yang mendahului
kembalinya tonus LES setelah menelan, 3). meningkatnya tekanan intra abdomen. Dengan
demikian dapat diterangkan bahwa patogenesis terjadinya GERD menyangkut keseimbangan
antara faktor defensif dari esofagus dan faktor ofensif dari bahan refluksat. Yang termasuk faktor
defensif esofagus adalah:
Pemisah Antirefluks
Pemeran terbesar pemisah antirefluks adalah tonus LES.Menurunnya tonus LES dapat
menyebabkan timbulnya refluks retrograd pada saat terjadinya peningkatan tekanan
intrabdomen. Sebagian besar pasien GERD ternyata mempunyai tonus LES yang normal. Faktor-
faktor yang dapat menurunkan tonus LES: 1). adanya hiatus hernia, 2). panjang LES (makin
pendek LES, makin rendah tonusnya), 3). obat-obatan seperti antikolinergik, beta adrenergik,
theofilin, opiat dan lain-lain, 4). faktor hormonal. Selama kehamilan, peningkatan kadar
progesteron dapat menurunkan tonus LES.3
Namun dengan berkembangnya teknik pemeriksaan manometri, tampak bahwa pada kasus-
kasus GERD dengan tonus LES yang normal yang berperan dalam terjadinya proses refluks ini
adalah transient LES relaxation (TLESR), yaitu relaksasi LES yang bersifat spontan dan
berlangsung lebih kurang 5 detik tanpa didahului proses menelan. Belum diketahui bagaimana
terjadinya TLESR ini, tetapi pada beberapa individu diketahui ada hubungannya dengan
pengosongan lambung lambat (delayedgastric emptying) dan dilatasi lambung.3
Peranan hiatus hernia pada patogenesis terjadinya GERD masih kontroversial.Banyak
pasien GERD yang pada pemeriksaan endoskopi ditemukan hiatus hernia, namun hanya sedikit
yang memperlihatkan gejala GERD yang signifikan. Hiatus hernia dapat memperpanjang waktu
yang dibutuhkan untuk bersihan asam dari esofagus serta menurunkan tonus LES.3

Bersihan asam dari lumen esophagus


Faktor-faktor yang berperan pada bersihan asam dari esofagus adalah gravitasi, peristaltik, ekresi
air liur dan bikarbonat. Setelah terjadi refluks, sebagian besar bahan refluksat akan kembali ke
lambung dengan dorongan peristaltik yang dirangsang oleh proses menelan. Sisanya akan
dinetralisir oleh bikarbonat yang disekresi oleh kelenjar saliva dan kelenjar esofagus.3
Mekanisme bersihan ini sangat penting, karena makin lama kontak antara bahan refluksat
dengan esofagus (waktu transit esofagus) makin besar kemungkinan terjadinya esofagitis.Pada
sebagian pasien GERD ternyata memiliki waktu transit esofagus yang normal sehingga kelainan
yang timbul disebabkan karena peristaltik esofagus yang minimal.Refluks malam hari (nocturnal
reflux) lebih besar berpotensi menimbulkan kerusakan esofagus karena selama tidur sebagian
besar mekanisme bersihan esofagus tidak aktif.3
Ketahanan epitelial esofagus
Berbeda dengan lambung dan duodenum, esofagus tidak memiliki lapisan mukus yang
melindungi mukosa esofagus.Mekanisme ketahanan epitelial esofagus terdiri dari:4
 Membran sel.
 Batas intraselular (intracellular junction) yang membatasi difusi H+ ke jaringan esofagus.
 Aliran darah esofagus yang mensuplai nutrien, oksigen dan bikarbonat, serta mengeluarkan
ion H+ dan CO2.
 Sel-sel esofagus mempunyai kemampuan untuk mentransport ion H+ dan CI" intraseluler
dengan Na+ dan bikarbonat ekstraselular.
Nikotin dapat menghambat transport ion Na+ melalui epitel esofagus, sedangkan alkohol
dan aspirin meningkatkan permeabilitas epitel terhadap ion H. Yang dimaksud dengan faktor
ofensif adalah potensi daya rusak refluksat. Kandungan lambung yang menambah potensi daya
rusak refluksat terdiri dari HC1, pepsin, garam empedu, enzim pankreas.3
Faktor ofensif dari bahan refluksat bergantung pada bahan yang dikandungnya.Derajat kerusakan
mukosa esofagus makin meningkat pada pH <2, atau adanya pepsin atau garam empedu. Namun
dari kesemuanya itu yang memiliki potensi daya rusak paling tinggi adalah asam.3
Faktor-faktor lain yang turut berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah kelainan di
lambung yang meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, antara lain: dilatasi lambung atau
obstruksi gastric outlet dan delayed gastric emptying.3
Peranan infeksi Helicobacter pylori dalam patogenesis GERD relatif kecil dan kurang
didukung oleh data yang ada. Namun demikian ada hubungan terbalik antara infeksi H. pylori
dengan strain yang virulens (Cag A positif) dengan kejadian esofagitis, Barrett's esophagus dan
adenokarsinoma esofagus. Pengaruh dari infeksi H.pylori terhadap GERD merupakan
konsekuensi logis dari gastritis serta pengaruhnya terhadap sekresi asam lambung.Pengaruh
eradikasi infeksi H.pylori sangat tergantung kepada distribusi dan lokasi gastritis.Pada pasien-
pasien yang tidak mengeluh gejala refluks pra-infeksi H. pylori dengan predominant antral
gastritis, pengaruh eradikasi H.pylori dapat menekan munculnya gejala GERD.Sementara itu
pada pasien-pasien yang tidak mengeluh gejala refluks pra-infeksi H.pylori dengan corpus
predominant gastritis.Pengaruh eradikasi H.pylori dapat meningkatkan sekresi asam lambung
serta memunculkan gejala GERD. Pada pasien-pasien dengan gejala GERD pra infeksi H. pylori
dengan antral predominant gastritis, eradikasi H.pylori dapat memperbaiki keluhan GERDserta
menekan sekresi asam lambung.Sementara itu pada pasien-pasien dengan gejala GERDpra-
infeksi H.pylori dengan corpus predominant gastritis, eradikasi H.pylori dapat memperburuk
keluhan GERD serta meningkatkan sekresi asam lambung.Pengobatan PPI jangka panjang pada
pasien-pasien dengan infeksi H. pylori dapat mempercepat terjadinya gastritis atrofi. Oleh sebab
itu, pemeriksaan serta eradikasi H. pylori dianjurkan pada pasien GERDsebelum pengobatan PPI
jangka panjang.3
Walaupun belum jelas benar, akhir-akhir ini telah diketahui bahwa non-acid reflux turut berperan
dalam patogenesis timbulnya gejala GERD.Yang dimaksud dengan non-acid reflux antara lain
berupa bahan refluksat yang tidak bersifat asam atau refluks gas. Dalam keadaan ini, timbulnya
gejala GERD diduga karena hipersensitivitas viseral.3
Gejala klinis

Pada bayi, GERD dapat timbul berupa regurgitasi, tanda – tanda esofagitis (iritasi, tersedak,
tidak mau makan, dan lain – lain), dan ketidakmampuan untuk membaik. Namun gejala-gejala
yang timbul ini dapat hilang secara spontan secara mayoritas di umur 12-24 bulan.4

Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri/rasa tidak enak di epigastrium atau retrosternal
bagian bawah. Rasa nyeri biasanya dideskripsikan sebagai rasa terbakar (heartburn), kadang-
kadang bercampur dengan gejala disfagia (kesulitan menelan makanan), mual atau regurgitasi
dan rasa pahit di lidah. Walau demikian derajat berat ringannya keluhan heartburn ternyata tidak
berkorelasi dengan temuan endoskopik. Kadang-kadang timbul rasa tidak enak retrosternal yang
mirip dengan keluhan pada serangan angina pektoris. Disfagia yang timbul saat makan makanan
padat mungkin terjadi karena striktur atau keganasan yang berkembang dari Barrett's esophagus.
Odinofagia (rasa sakit pada waktu menelan makanan) bisa timbul jika sudah terjadi ulserasi
esofagus yang berat.6

Penatalaksanaan GERD
Non medika mentosa
Perubahan posisi

Posisi terlentang mengurangi jumlah paparan asam lambung pada esofagus yang bisa
dikteahui melalui pemeriksaan PH, dibandingkan dengan posisi telungkup. Akan tetapi, posisi
telentang dan posisi lateral berhubungan dengan meningkatnya angka kejadian sindrom bayi
mati mendadak atau sudden infant death syndrome (SIDS). Oleh karena resiko tersebut, maka
posisi telentang atau lateral tidak terlalu direkomendasikan untuk bayi dengan GERD, tetapi
sebagian besar bayi usia dibawah 12 bulan lebih disarankan untuk ditidurkan dengan posisi
telungkup.5
Bayi dengan GERD berat harus ditidurkan telungkup dengan posisi kepala lebih tinggi
(30o). Setelah menyusu atau minum susu formula bayi digendong setinggi payudara ibu, dengan
muka menghadap dada ibu . Hal ini menyebabkan bayi tenang sehingga mengurangi refluks.1
Cara menyusui : 5
a. Bayi hanya menyusu pada satu payudara sampai habis
b. Biarkan bayi terus menghisap (walaupun payudara telah kosong) sampai bayi tertidur.
Selama bayi mengisap payudara, gerakan mengisap lidah bayi merupakan trigger
terhadap kontraksi lambung, sehingga refluks tidak akan terjadi.
c. Setelah menyusui, bayi jangan langsung ditidurkan. Bayi baru ditidurkan dengan
posisi kepala lebih tinggi dan miring ke sebelah kiri, paling cepat setengah jam
setelah menyusu atau minum susu formula.
d. Hindari pemakaian baju yang ketat.
Penambahan agen pengental seperti beras sereal pada susu formula tidak mengurangi durasi pH
< 4 (index refluks) yang terukur pada saat monitoring pH esofagus, tetapi bisa menurunkan
frekuensi dari kejadian regurgitasi. Studi dengan kombinasi pH/MII menunjukkan bahwa tinggi
refluks esofagus berkurang dengan pemberian susu formula yang lebih kental meskipun dengan
pemberian ini tidak akan mengurangi frekuensi dari refluks.5

Medika Mentosa
Terdapat berbagai tahap perkembangan terapi medikamentosa pada penatalaksanaan GERD ini.
Dimulai dengan dasar pola pikir bahwa sampai saat ini GERD merupakan atau termasuk dalam
kategori gangguan motilitas saluran cerna bagian atas. Namun dalam perkembangannya sampai
saat ini terbukti bahwa terapi supresi asam lebih efektif daripada pemberian obat-obat prokinetik
untuk memperbaiki gangguan motilitas.6
Terdapat dua alur pendekatan terapi medikamentosa, yaitu step up dan step down. Pada
pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat-obat yang tergolong kurang kuat dalam
menekan sekresi asam (antagonis reseptor H2) atau golongan prokinetik, bila gagal diberikan
obat golongan penekan sekresi asam yang lebih kuat dengan masa terapi lebih lama (penghambat
pompa proton/PPI). Sedangkan pada pendekatan step down pengobatan dimulai dengan PPI dan
setelah berhasil dapat dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan dengan menggunakan dosis yang
lebih rendah atau antagonis reseptor H2 atau prokinetik atau bahkan antacid.3
Antasid
Golongan obat ini cukup efektif dan aman dalam menghilangkan gejala GERD tetapi tidak
menyembuhkan lesi esofagitis. Selain sebagai buffer terhadap HCl, obat ini dapat memperkuat
tekanan sfingter esophagus bagian bawah. Kelemahan obat golongan ini adalah rasanya kurang
menyenangkan, dapat menimbulkan diare terutama yang mengandung magnesium serta
konstipasi terutama antasid yang mengandung aluminium, penggunaannya sangat terbatas pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal.Dosis: sehari 4 x 1 sendok makan.3

Antagonis reseptor H2
Yang termasuk dalam golongan obat ini adalah simetidin, ranitidine, famotidin, dan nizatidin.
Sebagai penekan sekresi asam, golongan obat ini efektif dalam pengobatan penyakit refluks
gastroesofageal jika diberikan dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis untuk terapi ulkus. Golongan
obat ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat ringan sampai sedang serta tanpa
komplikasi.3 Dosis pemberian:
 Simetidin: 2 x 800 mg atau 4 x 400 mg
 Ranitidin: 4xl50mg
 Famotidin: 2 x 20 mg
 Nizatidin: 2xl50mg

Obat-obatan prokinetik
Secara teoritis, obat ini paling sesuai untuk pengobatan GERD karena penyakit ini lebih condong
kearah gangguan motilitas. Namun, pada prakteknya, pengobatan GERD sangat bergantung pada
penekanan sekresi asam.4
 Metoklopramid
Obat ini bekerja sebagai antagonis reseptor dopamine. Efektivitasnya rendah dalam
mengurangi gejala serta tidak berperan dalam penyembuhan lesi di esophagus kecuali
dalam kombinasi dengan antagonis reseptor H2 atau penghambat pompa proton. Karena
melalui sawar darah otak, maka dapat timbul efek terhadap susunan saraf pusat berupa
mengantuk, pusing, agitasi, tremor, dan diskinesia.Dosis: 3x10 mg.3
 Domperidon
Golongan obat ini adalah antagonis reseptor dopamine dengan efek samping yang lebih
jarang dibanding metoklopramid karena tidak melalui sawar darah otak.Walaupun
efektivitasnya dalam mengurangi keluhan dan penyembuhan lesi esophageal belum banyak
dilaporkan, golongan obat ini diketahui dapat meningkatkan tonus LES serta mempercepat
pengosongan lambung.Dosis: 3 x 10-20 mg sehari.3
 Cisapride
Sebagai suatu antagonis reseptor 5 HT4, obat ini dapat mempercepat pengosongan
lambung serta meningkatkan tekanan tonus LES.Efektivitasnya dalam menghilangkan
gejala serta penyembuhan lesi esophagus lebih baik dibandingkan dengan
domperidon.Dosis 3 x 10 mg sehari.3
Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat)
Berbeda dengan antasid dan penekan sekresi asam, obat ini tidak memiliki efek langsung
terhadap asam lambung. Obat ini bekerja dengan cara meningkatkan pertahanan mukosa
esophagus, sebagai buffer terhadap HCl di eesofagus serta dapat mengikat pepsin dan garam
empedu. Golongan obat ini cukup aman diberikan karena bekerja secara topikal (sitoproteksi).
Dosis: 4 x 1 gram.3

Penghambat pompa proton (Proton Pump Inhhibitor/PPI)


Golongan obat ini merupakan drug of choice dalam pengobatan GERD. Golongan obat-obatan
ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal dengan mempengaruhi enzim H, K ATP-ase
yang dianggap sebagai tahap akhir proses pembentukan asam lambung.Obat-obatan ini sangat
efektif dalam menghilangkan keluhan serta penyembuhan lesi esofagus, bahkan pada esofagitis
erosiva derajat berat serta yang refrakter dengan golongan antagonist reseptor H 2.Dosis yang
diberikan untuk GERDadalah dosis penuh, yaitu:3
 Omeprazole: 2 x 20 mg
 Lansoprazole: 2 x 30 mg
 Pantoprazol: 2 x 40 mg
 Rabeprazole: 2 x 10 mg
 Esomeprazol: 2 x 40 mg
Umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial) yang dapat dilanjutkan
dengan dosis pemeliharaan (maintenance therapy) selama 4 bulan atau on-demand therapy,
tergantung dari derajat esofagitisnya.3
Efektivitas golongan obat ini semakin bertambah jika dikombinasi dengan golongan prokinetik.
Terapi bedah

Nissen fundoplication merupakan prosedur operasi yang paling umum dilakukan. Tindakan yang
dilakukan berupa pembungkusan fundus lambung 360o sekitar esofagus distal. Prosedur Nissen
dan prosedur terkait lainnya dapat dilakukan secara laparoskopi. Fundoplication laparoskopik
telah diteliti dengan baik dan telah disetarakan dengan prosedur terbuka pada dewasa.
Laparosopic Nissen Fundoplication (LNF) secara umum telah menggantikan prosedur nissen
fundoplication yang dilakukan secara terbuka (ONF), ini dikarenakan LNF menurunkan angka
kesakitan, memperpendek waktu perawatan di rumah sakit, dan kemungkinan komplikasi pasca
operasi yang lebih sedikit.6
Nissen fundoplication telah secara luas dilakukan sebagi terapi bedah untuk kasus GERD, namun
prosedur ini berhubungan dengan tingginya angka kejadian disfagia pasca operasi dan angka
kejadian rekuren yang tinggi pada anak dengan disability. Oleh karena itu, prosedur Thal
fundoplication pada kemudian mulai dipopulerkan dan digunakan oleh banyak ahli bedah hingga
saat ini.6

Komplikasi
Komplikasi yang sering ditumbulkan pada GERD, antara lain :
a. Esofagitis dan sekuelenya – striktur, Barret Esofagus, adenocarcinoma
Esofagitis bisa bermanifestasi sebagai irritabilitas, anak tidak mau makan, nyeri pada dada
atau epigastrium pada anak yang lebih tua, dan jarang terjadi hematemesis, anemia, atau
sindrom Sandifer. Esofagitis yang berkepanjangan dan parah dapat menyebabkan
pembentukan striktura, yang biasanya berlokasi di distal esophagus, yang menhasilkan
disfagia, dan membutuhkan dilatasi esophagus yang berulang dan fundoplikasi. Esofagitis
yang berlangsung lama juga bisa menyebabkan perubahan metaplasia dari epitel skuamosa
yang disebut dengan Barret Esofagus, suatu precursor untuk terjadinya adenocarcinoma
esophagus.6
b. Nutrisi
Esofagitis dan regurgitasi bisa cukup parah untuk menimbulkan gagal tumbuh karena deficit
kalori. Pemberian makanan melalui enteral (nasogastrik atau nasoyeyunal atau perkutaneus
gastric atau yeyunal) atau pemberian melalui parenteral terkadang dibutuhkan untuk
mengatasi deficit tersebut.6

Prognosis GERD pada anak


Sebagian besar pasien dengan GERD akan membaik dengan pengobatan, walaupun relaps
mungkin akan muncul setelah terapi dan memerlukan terapi medis yang lebih lama.
Identifikasi subgrup pasien yang kemungkinan besar berkembang mengalami komplikasi
GERD dan penting untuk dilakukan perawatan secara agresif. Pada pasien ini kemungkinan
besar diindikasikan untuk mendapatkan terapi pembedahan pada staium awal. Setelah
laparoskopi Nissen fundoplication, gejala teratasi pada sebagian besar pasien.5
Apabila kasus GERD ini disertai komplikasi (seperti striktur, aspirasi, penyakit saluran nafas,
Barrett esophagus), biasanya memerlukan terapi pembedahan. Prognosis untuk pembedahan
biasanya baik. 5

Kesimpulan
Gastro Esophageal Reflux Disease (GERD) adalah keadaan yang patologis dimana sejumlah isi
lambung berbalik (refluks) ke arah esofagus melebihi jumlah normal, dan menimbulkan berbagai
keluhan. Pada bayi penyakit ini bisa disebabkan oleh sistem pencernaan yang belum berkembang
dengan baik. Apabila ditangani dengan tepat maka prognosisnya akan baik.
Daftar pustaka

1. Gleadle J. Anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: EMS; 2007.h. 11-16.


2. Assoruddin M, Hartanto H, Darmaniah N. Buku ajar patologi. Jakarta: EGC;2007.h. 185-
208
3. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Setiati S. Ilmu penyakit dalam. h. Jakarta: FKUI; 2006
4. Kliegman R M, Stanton B F, Schor N F. Nelson textbook of pediatric ed.20.
Philadelphia: Elsevier; 2015.h. 1787
5. Suraatmaja, Sudaryat. Refluks Gastroesofageal. Dalam: Kapita Selekta Gastroenterologi
Anak. Jakarta: Sagung Seto; 2007.h.
6. Issebacher K J, Braunwald E, Wilson J D, Martin J B, Fauci A S, Kasper D L. Harrison
prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam ed 13. Jakarta: EGC;2015.h.1524-29

Anda mungkin juga menyukai