Anda di halaman 1dari 19

Bayi dengan Keluhan Mengeluarkan Susu Ketika Habis Minum Susu

Dwi Vernia S Paranna

C4/ 102016221

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 1150

dwiisamuel@ymail.com

Abstrak

Refluks Gastroeosofagus merupakan suatu keadaan fisiologis yang sering ditemukan pada anak, namun
dapat berkembang menjadi patologis sehingga menimbulkan bagi anak. Esofagitis merupakan gambaran
patologi/komplikasi yang sering ditemukan akibat pajanan asam lamung pada dinding esophagus secara
berlebihan. Refluks Gastroesofagus yang ditatalaksanakan dengan baik dapat menurunkan kualitas hidup
anak dan menyebabkan komplikasi yang berat, seperti gagal tumbuh, striktur esophagus, atau esophagus
Barrets. Tatalaksana RGE pada anak perlu dipahami secara tepat agar penanganan dapat dilakukan sedini
mungkin untuk mencegah terjadinya komplikasi dikemudian hari. Pada RGE yang dicurigai telah terjadi
komplikasi( esofagitis), maka pemeriksaan endoskopi merupakan pilihan pertama. Pemantauan pH
esophagus dengan menggunakan pH-metri merupakan prosedur diagnostic baku emas saat ini untuk
diagnose RGE. Golongan prokinetik merupakan obat yang memberikan hasil efektif pada anak dengan
RGE.

Kata kunci: Gastro oespophageal refluks, oesophagitis, pH-metri endoscopy.

Abstract
Reflux Gastroeosophage is a physiological form that is often found in children, but can develop into
pathological. Eosophagitis is a common pathological disorder. Good Gastroesophageal Reflux Can be
Managed Reduce Life Quality and Heavy Children, such as Growing Failure, esophageal stricture, OR
Barret's esophagus. Management of RGE in children is needed so that the process can be done as early
as possible to prevent future disruption. In RGE with suspected complications (esophagitis), endoscopic
examination is the first choice. Monitoring the pH of the esophagus using pH meter is the procedure of
checking for this for the diagnosis of RGE. Prokinetics are drugs that produce effective results in children
with RGE.
Keywords: Gastroesophageal reflux, esophagitis, pH-metri endoscopy

Pendahuluan

Refluks gastro-esofagal merupakan kembalinya isi lambung ke esophagus, terjadinya secara


involunter ( tidak sengaja), untuk jumlahnya yang keluar itu sendiri lebih sedikit dari muntah.
RGE ( refluks gastr-esofagal) fisiologis normal yang banyak dialami orang sehat, terutama
sesudah orang tersebut makan, namun dalam batasan normal.1 Hal ini dapat terjadi dari anak-
anak sampai dewasa. Sebagian besar bayi memperlihatkan manifestasi klinis yang bervariasi.
Istilah regurgitasi digunakan sebagai manifestasi klinisnya, sedangkan sebagian lainnya bila
bahan refluks tersebut dikeluarkan melalui mulut.1,2 Dilaporkan 50% bayi sehat berumur 0-3
bulan mengalami regurgitas paling sedikit 1 kali setiap harinya, meningkat menjadi 70% pada
umur 6 bulan, dan selanjutnya menurun secara bertahap hingga mencapai 5-10% pada umur 12
bulan. Lebih kurang 25% orang tua bayi tersebut menganggap regurgitasi sebagai suatu masalah.
Refluks gastroesofagus dapat berupa RGE fisiologi(normal) atau RGE patologis yang dikenal
sebagai penyakit RGE. RGE dapat dikatakan patologis bila terjadi komplikasi.1 Esofagitis
merupakan komplikasi yang sering ditimbulkan akibat pajanan asam lambung pada dinding
esophagus secara berlebihan.3 RGE yang tidak ditatalaksanakan dengan baik dapat menurunkan
kualitas hidup anak dan menyebabkan komplikasi yang berat, seperti gagal tumbuh, striktur
esophagus, atau esophagus Barret’s. Para ahli telah membuat rekomendasi tatalaksana RGE pada
anak. Pemantauan pH esophagus (pH- metri) merupakan baku emas untuk diagnosis dan evaluasi
terapi RGE pada saat ini. Penggunaan obat untuk penyakit RGE pada anak harus
memeperhatikan keseimbangan antara keuntungan yang akan diperoleh dan kemungkinan efek
samping yang ditimbulkan.2

Anamnesis

Anamnesis merupakan wawancara terarah antara dokter dan pasien. Tujuan anamnesis adalah
dokter dapat memperoleh informasi mengenai keluhan dan gejala penyakit yang dirasakan oleh
pasien,hal-hal yang diperkirakan sebagai penyebab penyakit dan hal-hal lain yang akan
mempengaruhi perjalanan penyakit dan proses pengobatan. Pada anamnesis itu ada
autoanamnesis (wawancara anatara dokter langsung dengan pasien) dan alloanamnesis
(wawancara anatara dokter dengan orang tua pasien atau yang mendampingi pasien saat datang
melakukan pemeriksaan).4 Pada skenario 3 dilakukan alloanamnesis.

Pada anamnesis dapat dilakukan dengan menanyakan; (1) menanyakan identitas pasien, (2)
keluhan utama dan lamanya sakit, (3) riwayat penyakit sekarang dengan menanyakan karakter
keluhan utama,perkembangan keluhan utama seperti obat-obat yang telah diminum dan hasilnya,
(4) riwayat penyakit dahulu, (5) riwayat pribadi seperti kebiasaan makan, kebiasaan merokok,
alkohol, dan penggunaan narkoba, serta riwayat imunisasi, (6) riwayat sosial ekonomi seperti
lingkungan tempat tinggal dan hygiene, (7) riwayat kesehatan keluarga, dan (8) riwayat penyakit
menahun keluarga seperti alergi, asma, hipertensi, kencing manis, dll.

Kita harus ingat bahwa gejala tipical / khas (misalnya: heartburn, muntah, regurgitasi) pada
orang dewasa tidak dapat langsung dinilai pada bayi dan anak-anak. Pasien anak dengan refluks
gastroesophageal (RGE) biasanya menangis dan gangguan tidur serta penurunan nafsu makan.

Identitas Pasien

1. Nama lengkap pasien

2. Jenis kelamin

3. Umur pasien

4. Tempat dan tanggal lahir pasien

5. Status perkawinan

6. Agama

7. Suku bangsa

8. Alamat

9. Pendidikan

10. Pekerjaan

11. Riwayat keluarga yang meliputi kakek dan nenek sebelah ayah, kakek dan nenek sebelah
ibu, ayah, ibu, saudara kandung dan anak-anak

Keluhan utama

1. Anaknya ada keluhan apa?

Pada kasus keluhan yang dialaminya adalah bayinya sehabis minum susu sering
mengeluarkannya kembali melalui mulut

2. Sudah berapa lama?


Sejak 2 minggu yang lalu

3. Kira-kira,berapa banyak susu yang dikeluarkan kembali oleh anak ibu?

1-2 sendok makan

Riwayat penyakit sekarang

1. Apakah setelah makan atau berbaring pasien mengalami regurgitasi? (keluarnya susu atau
ASI dari mulut setelah diminum oleh bayi)
2. Apakah ada riwayat muntah ?
3. Bagaimana muntahnya? ( warna, apakah ada darah)
4. Seberapa sering bayi diberikan susu?
5. Apakah ada rasa terbakar?
6. Apakah disertai nyeri epigastrium? (faktor yang memperingan dan memperburuk nyeri,
serta derajat nyeri)
7. Apakah mulut bayi bau?
8. Apakah ada erosi pada gigi?
9. Apakah nafsu makanya baik atau berkurang ?
10. Apakah ada penurunan berat badan ?
11. Apa ibu mencoba untuk mengobatinya?
12. Bayi ibu minum obat apa?
13. Bila minum obat, apa obatnya memberikan efek?

Riwayat penyakit dahulu

 Pernah bayinya mengalami penyakit seperti ini tidak sebelumnya ?


 Apakah ada riwayat alergi?
 Apa ada riwayat penyakit seperti diabetes, miokard infark, asma, hepatitis, dan gastritis ?
 Apakah ada obat-obatan yang sedang dikonsumsi ? (khususnya obat yang digunakan
jangka panjang)

Riwayat Keluarga

 Apakah keluarga pasien ada yang mengalami keluhan sama?


 Apakah di keluarga ada yang memiliki riwayat alergi, diabetes, myocard infark, asma,
hepatitis, dan gastritis?

Riwayat Sosial

Pada riwayat sosial, tanyakan kebiasaan minum susu.

Pemeriksaan Fisik 3

Pemeriksaan fisik yang diperlukan meliputi survei umum keadaan pasien, tingkat
kesadaran, ekspresi wajah dan aktivitas motorik, tanda-tanda vital, pemeriksaan mata, dan yang
pasti adalah pemeriksaan abdomen, meliputi inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.

Inspeksi

Dilakukan pada pasien dengan posisi tidur terlentang dan diamati dengan seksama dinding
abdomen. Yang perlu diperhatikan adalah:

• Keadaan kulit; warnanya (ikterus, pucat, coklat, kehitaman), elastisitasnya (menurun pada
orang tua dan dehidrasi), kering (dehidrasi), lembab (asites), dan adanya bekas-bekas
garukan (penyakit ginjal kronik, ikterus obstruktif), jaringan parut (tentukan lokasinya),
striae (gravidarum/ cushing syndrome), pelebaran pembuluh darah vena (obstruksi vena
kava inferior & kolateral pada hipertensi portal).

• Besar dan bentuk abdomen; rata, menonjol, atau scaphoid (cekung).

• Simetrisitas; perhatikan adanya benjolan lokal (hernia, hepatomegali, splenomegali, kista


ovarii, hidronefrosis).

• Gerakan dinding abdomen pada peritonitis terbatas.

• Pembesaran organ atau tumor, dilihat lokasinya dapat diperkirakan organ apa atau tumor
apa.

• Peristaltik; gerakan peristaltik usus meningkat pada obstruksi ileus, tampak pada dinding
abdomen dan bentuk usus juga tampak (darm-contour).
• Pulsasi; pembesaran ventrikel kanan dan aneurisma aorta sering memberikan gambaran
pulsasi di daerah epigastrium dan umbilikal.

Palpasi

Beberapa pedoman untuk melakukan palpasi, ialah:

• Pasien diusahakan tenang dan santai dalam posisi berbaring terlentang. Sebaiknya
pemeriksaan dilakukan tidak buru-buru.

• Palpasi dilakukan dengan menggunakan palmar jari dan telapak tangan. Sedangkan untuk
menentukan batas tepi organ, digunakan ujung jari. Diusahakan agar tidak melakukan
penekanan yang mendadak, agar tidak timbul tahanan pada dinding abdomen.

• Palpasi dimulai dari daerah superficial, lalu ke bagian dalam. Bila ada daerah yang
dikeluhkan nyeri, sebaiknya bagian ini diperiksa paling akhir.

• Bila dinding abdomen tegang, untuk mempermudah palpasi maka pasien diminta untuk
menekuk lututnya. Bedakan spasme volunteer & spasme sejati; dengan menekan daerah
muskulus rektus, minta pasien menarik napas dalam, jika muskulus rectus relaksasi, maka
itu adalah spasme volunteer. Namun jika otot kaku tegang selama siklus pernapasan, itu
adalah spasme sejati.

• Palpasi bimanual; palpasi dilakukan dengan kedua telapak tangan, dimana tangan kiri
berada di bagian pinggang kanan atau kiri pasien sedangkan tangan kanan di bagian depan
dinding abdomen.

• Setiap ada perabaan massa, dicari ukuran/ besarnya, bentuknya, lokasinya, konsistensinya,
tepinya, permukaannya, fiksasi/ mobilitasnya, nyeri spontan/ tekan, dan warna kulit di
atasnya. Sebaiknya digambarkan skematisnya.

Perkusi

Perkusi berguna untuk mendapatkan orientasi keadaan abdomen secara keseluruhan, menentukan
besarnya hati, limpa, ada tidaknya asites, adanya massa padat atau massa berisi cairan (kista),
adanya udara yang meningkat dalam lambung dan usus, serta adanya udara bebas dalam rongga
abdomen. Suara perkusi abdomen yang normal adalah timpani (organ berongga yang berisi
udara), kecuali di daerah hati (redup; organ yang padat).

Aukultasi

Kegunaan auskultasi ialah untuk mendengarkan suara peristaltik usus dan bising pembuluh
darah.Dilakukan selama 2-3 menit.

Mendengarkan suara peristaltik usus.

Diafragma stetoskop diletakkan pada dinding abdomen, lalu dipindahkan ke seluruh bagian
abdomen.Suara peristaltik usus terjadi akibat adanya gerakan cairan dan udara dalam
usus.Frekuensi normal berkisar 5-34 kali/ menit.Bila terdapat obstruksi usus, peristaltik
meningkat disertai rasa sakit (borborigmi).Bila obstruksi makin berat, abdomen tampak
membesar dan tegang, peristaltik lebih tinggi seperti dentingan keeping uang logam (metallic-
sound).Bila terjadi peritonitis, peristaltik usus akan melemah, frekuensinya lambat, bahkan
sampai hilang.

Mendengarkan suara pembuluh darah.

Bising dapat terdengar pada fase sistolik dan diastolic, atau kedua fase.Misalnya pada aneurisma
aorta, terdengar bising sistolik (systolic bruit). Pada hipertensi portal, terdengar adanya bising
vena (venous hum) di daerah epigastrium.

Pemeriksaan Penunjang

Radiologis : OMD ( eosofagus maag duodenum).

Pemeriksaan OMD adalah pemeriksaan dari saluran pencernaan bagian atas yang meliputi

esophagus, lambung, dan duodenum dengan menggunakan bahan kontras yang dimasukkan

melalui mulut atau disebut juga dengan barium meal.5 Pemeriksaan ini dapat dibagi menjadi 2

metode yaitu : metode single contrast dan metode double contrast. Dimana pada metode single

contrast, pasien diinstruksikan untuk meminum suspense barium sulfat sebanyak 60 ml dengan

perbandingan kekentalan 1:1, pemberian suspensi barium sulfat ini dilakukan untuk melihat
kelainan yang terjadi pada oesofagus dan mukosa lambung dengan menggunakan teknik

flourscopy. Sedangkan pada metode double contrast Pemeriksaan dimulai dengan peminuman

suspense barium sulfat yang telah dicampur dengan ez-gas. Pasien akan merasa lambungnya

terisi oleh gas, pasien diinstruksikan untuk tidak bersendawa selama pemeriksaan. Kemudian

pasien disuntikkan busopan atau glucagon sebanyak 1 ampul secara intra vena yang bertujuan

untuk mengurangi gerak peristaltic lambung. Langkah berikutnya, pasien dipersilahkan untuk

tiduran diatas meja pemeriksaan dan diinstruksikan untuk merubah posisi dari supine – oblique –

prone. Tujuan dari gerakan ini agar suspense barium sulfat melapisi seluruh mukosa lambung.

Pengukuran pH Esophagus

Adanya variasi sekresi asam lambung selama 24 jam merupakan alasan utama mengapa perlu
dilakukan pemantauan atau pemeriksaan pH esophagus ( pH-metri). Selain dapat melakukan
pemantauan dalam waktu yang lama ( 24 jam), pemantauan juga dilakukan dalam keadaan
normal, pH esophagus antara 5-7 dan kalau di bawah 4 merupakan pertanda adanya episode
RGE. Pemantauan pH mentri, dapat menghitung jumlah refluks yang berlangsung lebih dari 5
menit, durasi terlama dari episode refluks, dan persentase durasi total pH kurang dari 4,0 ( indeks
refluks). Cara itu memiliki sensitivitas sebesar 90%-93%.6 Dimana pemeriksaan ini
menggunakan kateter yang dilengkapi dengan elektroda pada ujungnya yang dihubungkan
dengan pencatat di atas portable Digitraper yang dapat merekam pH esophagus di sekelilingnya.
Kateter dimasukkan ke esophagus melalui hidung sampai elektroda menempati sepertiga distal
esophagus atau lebih kurang 3 vertebra di atas diagfragma yang dapat diketahui dengan bantuan
fluoroskopi. Maka untuk evaluasi yang lebih sistematis, maka beberapa aktifitas pada saat
pemeriksaan harus dicatat seperti makan/ minuman termaksud jenisnya, posisi dan gejala-gejala
lainnya yang ada.5,6

Endoskopi atau Esofagoskopi

Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan pemeriksaan yang sering di
lakukan untuk mendiagnosis GER dengan ditemukannya mucosal break di esofagus (esofagitis
refluks). Dengan endoskopi, dapat dinilai perubahan makroskopik dari mukosa esofagus, serta
dapat menyingkirkan kelainan patologis lain yang dapat menimbulkan gejala GER.6

Skintigrafi Esofagus

Dimana prinsip pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan barium cairan. karena sensitivitasnya
yang lebih baik dari pemeriksaan barium peroral, juga mempunyai radiasi yang lebih rendah
sehingga aman bagi pasien.7 Prinsip utama pemeriksaan sintigrafi adalah untuk melihat
koordinasi mekanisme aktifitas mulai dari orofaring, esofagus, lambung dan waktu pengosongan
lambung. Kelemahan modalitas ini tidak dapat melihat struktur anatomi. Gambaran sintigrafi
yang terlihat pada refluks adalah adanya gambaran spike yang keluar dari lambung. Tinggi spike
menggambarkan derajat refluks sedangkan lebar spike menggambarkan lamanya refluks.5,7

Esofagus manometri

Merupakan teknik pemeriksaan dengan mengukur tekanan antara pertemuan abdomen dan thorak
atau sfingternya.5-7

Diagnosis Kerja

Refluks Gastroesophageal ( RGE) didefinisikan sebagai kembalinya isi lambung ke esofagus


atau lebih proksimal. Isi lambung tersebut bisa berupa asam lambung, udara maupun makanan.
RGE ini bisa murni akibat gangguan secara fungsional tanpa adanya kelainan lain. Bisa juga
akibat adanya gangguan struktural yang terdapat pada esofagus maupun gaster yang
mempengaruhi penutupan sfingter esofagus bawah (SEB), seperti kelainan anatomi kongenital,
tumor, komplikasi operasi, tertelan zat korosif dan lain-lain.4-6 Gejalanya normal, bisa terjadi
pada semua orang, dari anak-anak sampai dewasa. Pada bayi 20%-50% RGE dapat terjadi, akan
menjadi patologis apabila disertai gejala klinis lain. Pada RGE regurgitasi dengan berat badan
normal, gejala dan tanda esofagitis tidak ada, gejala gangguan pernafasan tidak ada, dan gejala
gangguan neurologis tidak ada.7

Etiologi

Penyebab dari RGE adalah kompleks. Mungkin ada berbagai penyebab-penyebab, dan berbeda
mungkin bekerja pada individu-individu yang berbeda, atau bahkan pada individu yang sama
pada waktu-waktu yang berbeda. Meskipun derajat gastroesopagheal reflux dicatat pada anak-
anak dan dewasa derajat dan tingkat episode refluks meningkat selama masa bayi. Dengan
demikian gastroesohageal reflux mewakili fisologis umum pafa tahu pertama kehidupan 60%-
70% bayi mengalami ini.8 Refluks gastroesophageal dapat disebabkan karena tekanan pada
lambung yang lebih tinggi daripada tekanan esophagus, tekanan lambung sama dengan tekanan
esophagus, faktor-faktor lain seperti penyakit gastrointestinal, eradikasi helicobacter pylori,
faktor genetic, respon imun berlebihan, obat-obat yang mempengaruhi asam lambung : NSAIDs,
calcium, channel blocker dan lain-lain.7,8

Epidemiologi

RGE paling sering terlihat pada masa bayi, dengan puncak pada usia 1-4 bulan. Namun, hal itu dapat
dilihat pada anak dari segala usia bahkan remaja yang sehat. Kejadian di Amerika Serikat sekitar 85%
bayi muntah selama minggu pertama kehidupan, dan 60-70% manifest RGE klinis pada usia 3-4 bulan
Gejala mereda tanpa pengobatan pada 60% bayi pada usia 6 bulan, ketika bayi ini mulai menganggap
posisi tegak dan makan makanan padat. Resolusi gejala terjadi pada sekitar 90% bayi pada usia 8-10
bulan.8

DIAGNOSA BANDING
Stenosis Pilorus

Stenosis pilorus terjadi pada bayi berusia antara 2-6 minggu. Pada bayi yang mengalami stenosis
pilorus akan merasa lapar dan tetap makan dengan baik, tetapi kemudian makanan itu akan
dimuntahkan dengan kuat (muntah proyektil). Pada kondisi normal, makanan yang masuk ke
lambung akan ditahan oleh cincin otot pilorus sehingga lambung sempat mencerna dan
mempersiapkan makanan ke proses selanjutnya. Kemudian, makanan yang telah diproses di
lambung akan disalurkan ke usus untuk pencernaan selanjutnya dan penyerapan oleh tubuh.9
Namun, pada pengidap stenosis pilorus, otot pilorus yang menjadi gerbang antara lambung dan
usus mengalami penebalan dan penyempitan, akibatnya makanan tidak bisa disalurkan. Jika
tidak ditangani secara seksama, stenosis pilorus berpotensi memicu kondisi serius pada bayi,
seperti berkali-kali muntah dan tidak adanya nutrisi yang terserap oleh tubuh.8
Bayi yang mengalami kondisi ini biasanya mulai menunjukkan gejala muntah-muntah pada usia
dua minggu hingga dua bulan. Di samping muntah, beberapa gejala lain yang umumnya dialami
oleh sang bayi meliputi:5,9

 Selalu merasa lapar.


 Perut bagian yang seperti membengkak setelah menyusu.
 Sakit perut.
 Bersendawa.
 Gerakan perut bagian atas seperti gelombang yang terlihat setelah bayi menyusu sesaat
sebelum muntah.
 Dehidrasi, misalnya air mata bayi yang tidak keluar saat menangis.
 Buang air besar yang sedikit dan keras melebihi biasa.
 Jarang buang air kecil.
 Berat badan yang tidak bertambah atau malah turun.
 Obstruksi / atresia duodenum.8

Alergi Susu Sapi


Alergi adalah reaksi hipersensitivitas yang dicetuskan melalui reaksi imunologi; salah satunya
oleh protein susu sapi. Sedangkan reaksi hipersensitivitas adalah gejala klinis akibat paparan zat
tertentu, yang pada anak normal paparan tersebut tidak menimbulkan gejala (dapat ditoleransi
oleh anak normal). Banyak faktor mengapa bayi mengalami alergi terhadap protein susu sapi,
antara lain (1) faktor genetik, 40% bayi yang lahir dari ibu penderita alergi kemungkinan akan
mengalami alergi pula di kemudian hari; (2) Terpapar bahan alergi, bahan tidak saja yang
dimakan oleh bayi secara langsung tetapi juga yang dimakan oleh ibu menyusui; (3) Faktor lain
yang ikut berkontribusi, seperti polusi udara, asap rokok, bintang piaraan, cuaca.10
Alergi protein susu sapi dapat mengenai berbagai organ tubuh anak, misalnya saluran napas
memperlihatkan gejala pilek dan batuk berulang, saluran cerna memperlihatkan muntah, sakit
perut berulang serta diare yang dapat disertai darah, kulit kemerahan dan biduran. Bahkan pada
reaksi yang berat dapat menimbulkan bengkak pada beberapa bagian tubuh, seperti mata, telinga,
bahkan sampai syok (meski jarang). Bila ditemukan gejala tersebut dan tidak respon terhadap
terapi standar apalagi disertai adanya riwayat alergi dalam keluarga, maka dapat dipikirkan
kemungkinan adanya reaksi alergi anak tersebut. Kejadian alergi susu sapi dilaporkan 5-7,5%
pada bayi yang mendapat susu sapi. Kejadian tersebut akan berkurang hingga tinggal 30-40%
dari bayi tersebut pada usia 12 bulan dan terus berkurang hingga 5% pada usia 3 tahun. Retriksi
makanan yang bersifat alergi selama ibu hamil tidak dianjurkan. Begitu pula saat ibu menyusui
tidak perlu meretriksi makanan ibu, selama bayi tidak memperlihatkan gejala alergi. Pencegahan
yang paling baik adalah memberikan ASI eksklusif sampai usia 6 bulan. Agar reaksi alergi
protein susu sapi tidak terjadi.5,9,10 Caranya adalah menghindarkan bayi dari protein susu sapi
(susu sapi dan produknya) sampai usia 12 bulan (sesuai dengan perjalanan penyakit alergi
protein susu sapi). Bila masih memperlihatkan gejala alergi dapat diteruskan sampai uisa 2 atau 3
tahun. Dapat terjadi reaksi silang dengan beberapa jenis makanan lainnya seperti soya (kedelai),
telur, ikan laut dan kacang tanah. Dilaporkan bahwa 10-30% bayi yang alergi terhadap protein
susu sapi juga alergi terhadap soya. Idealnya bila bayi sudah mendapat susu formula, maka susu
penggantinya adalah susu yang sebagian besar rantai proteinnya sudah dihidrolisis (dipecah)
menjadi rantai pendek atau diberikan susu yang mengandung asam amino pada keadaan klinis
yang berat. Apabila bayi tidak menyukai rasanya atau orangtua berkeberatan dengan harga yang
terlalu mahal, maka dapat dicoba susu soya, dengan catatan kita harus memperhatikan klinisnya
dengan ketat, mengingat masih ada kemungkinan 10-30% yang alergi terhadap soya.11 Hal yang
perlu diperhatikan oleh para orangtua agar bayi yang dilahirkan terhindar atau kemungkinan
kecil berkembang menjadi alergi terhadap protein susu sapi di kemudian hari, yaitu (1) berikan
ASI eksklusif sampai bayi beusia 6 bulan dan (2) Kendalikan lingkungan: cuaca, hindarkan
karpet, binatang peliharaan, dan asap rokok

Patofisiologi

Penyakit RGE terjadi bila terdapat ketidakseimbangan antara faktor yang mencegah RGE
(defence mechanisms) dan menyebabkan RGE (aggressive factors). Isi cairan lambung yang
masuk ke dalam lumen esophagus dapat berupa air liur, makanan-minuman, dan cairan sekresi
lambung, pancreas, atau empedu. Peningkatan frekuensi dan durasi episode refluks, serta
bertambahnya zat toksik yang masuk ke dalam esophagus merupakan hal yang berperan pada
patofisiologi penyakit RGE. Sfingter esophagus bagian bawah (SEB) ang tersusun oleh oto polos
merupakan barier antirefluks terpenting. Pada keadaan normal SEB akan mengalami relaksasi
sebagi respon terhadap proses menelan sehingga makanan atau minuman akan masuk ke dalam
lambugn. Peristaltik berikutnya akan membatasi jumlah refluks akibat relaksasi tersebut,
sehingga mencegah terjadinya kerusakan mukosa esophagus akibat kontak yang lama dengan
asam, pepsin, atau asam empedu.8,10

Relaksasi sementara SEB (transient LES relaxation = TLSR ) yaitu relaksasi sfingter esophagus
yang tidak berhubungan dengan proses menelan merupakan mekanisme utama yang
menyebabkan kembalinya isi lambung ke dalam esophagus. Gangguan pengosongan lambung
(delayed gastric emptying) adalah mekanisme lain yang dapat menyebabkan distensi lambugn,
peningkatan sekresi asam lambung, dan dapat meningkatkan TLSR. Bagian esophagus yang
berasa di rongga abdomen berperan terhadap frekuensi refluks. Pada neonates, bagian tersebut
hampir tidak berkembang sehingga mempermudah masuknya isi lambung kedalam esophagus
akibat adanya perbedaan tekanan negative antara rongga abdomen dan toraks. Sudut yang
dibentuk antara esophagus dengan fundus juga berperan dalam membentukkompetisi sfingter.
Lengkung diafragma juga berpengaruh terhadap kompetisi SEB. Kontraksi diafragma akan
meningkatkan tekanan SEB (sfingter esophagus bagian bawah).10,11

Klirens esophagus merupakan rangkaian proses dari pengeluaran asam di dalam esophagus oleh
gerakan peristaltic esophagus sehingga sisa asam yang tertinggal sangat sedikit dan netralisasi
sisa asam yang tertinggal oleh air liur yang tertelan. Semakin lam durasi episode refluks
berlangsung, semakin terganggu mekanisme klirens esophagus. Selain itu gaya grafitasi juga
memegang peranan dalam mekanisme klirens esophagus.9

Gambar 1. Gastroesphagus Refluks3

Manifestasi Klinik
Gejala RGE dapat ditemukan secara insidentil pada anak normal, sedangkan pada keadaan
patologis gejala tersebut akan terlihat lebih sering dan berat. Regurgitasi merupakan gejala klinis
yang paling sering dijumai pada bayi. Gejala ini merupakan gejala awal RGE dan sering
digunakan sebagai pertanda RGE pada bayi. Sekitar 70% bayi yang diperiksa terhadap
kemungkinan adanya RGE datang dengan keluhan regurgitasi.12 Sekitar 25% bayi dengan
regurgitasi dikeluhkan oleh orang tua sebagai suatu hal yang bermasalah, baik itu dalm frekuensi
maupun volume refluks, dan merupakanalasan untuk membawa bayi untuk ke dokter berobat.
Regurgitasi umumnya jarang ditemukan di atas umur 1 tahun. Pada beberapa bayi dapat
ditemukan keadaan silient gastroesophageal refluksd diseases (GERD), yaitu bayi yang
berdasarkan pemeriksaan pH-metri jelas memperlihatkan adanya RGE tetapi tidak
memeperlihatkan gejala klinis. Kejadian RGE patologis tidak hanya ditentukan oleh frekuensi
dan intensitas refluks yang terjadi tetapi juga oleh adanya gejala klinis lainnya yang berhubungan
dengan komplikasi RGE. Gejala nyeri pada umumnya timbul pada pajanan asam yang berlebihan
dan berlangsung lama. Bayi akan rewel, cengeng, dan kadang-kadang menjerit. Bayi juga sering
memperlihatkan posisi hiperekstensi tuang belakang pada saat atau setelah makan (back
arching). Pada esofagitis berat mungkin dijumpai darah pada isi muntahan pada, nyeri atau
gangguan menelan, dan darah pada tinjanya. RGE yang terjadi secara terus-menerus dapat
menyebabkan gangguan pertumbuhan. Gagal tumbuh terjadi apabila jumlah masukan kalori
lebih sedikit dibandingkan jumlah yang keluar . Pada gangguan respirasi berulang ( batuk kronik,
hiperaktivitas bronkus , asma, bronchitis, stridor berulang) yang tidak respon terhadap terapi
yang biasa diberikan untuk kelainan tersebut. Perlu dipikirkan adanya RGE yang mendasari
gangguan tersebut.

Penatalaksanaan

Non- medikamentosa

Perubahan posisi

Posisi terlentang mengurangi jumlah paparan asam lambung pada esofagus yang bisa dikteahui
melalui pemeriksaan PH, dibandingkan dengan posisi telungkup. Akan tetapi, posisi telentang
dan posisi lateral berhubungan dengan meningkatnya angka kejadian sindrom bayi mati
mendadak atau sudden infant death syndrome (SIDS). Oleh karena resiko tersebut, maka posisi
telentang atau lateral tidak terlalu direkomendasikan untuk bayi dengan GER, tetapi sebagian
besar bayi usia dibawah 12 bulan lebih disarankan untuk ditidurkan dengan posisi telungkup.10

Bayi dengan GER harus ditidurkan telungkup dengan posisi kepala lebih tinggi (30o). Setelah
menetek atau minum susu formula bayi digendong setinggi payudara ibu, dengan muka
menghadap dada ibu (seperti metoda kangguru, hanya baju tidak perlu dibuka). Hal ini
menyebabkan bayi tenang sehingga mengurangi refluks.

Modifikasi gaya hidup :


a. Setelah menyusui, bayi jangan langsung ditidurkan. Bayi baru ditidurkan dengan
posisi kepala lebih tinggi dan miring ke sebelah kiri, paling cepat setengah jam
setelah menyusu atau minum susu formula
b. Hindari paparan asap rokok dan konsumsi kopi pada ibu (caffein yang berlebihan
pada ibu mempengaruhi terjadinya GER pada bayi).
c. Tempat tidur bagian kepala ditinggikan.
d. Menghindari pakaian ketat sehingga dapat mengurang tekanan intra abdomen
e. Menghindarkan pemberian obat-obatan yang dapat menurunkan tonus LES seperti
anti kolinergik, teofilin, diazepam,progesteron, opiat.12
Medikamentosa

Antagonis Reseptor H2

Yang termasuk golongan obat ini adalah simetidine,ranitidine, famotidine, nizatidine. Sebagai
penekan sekresi asam, golongan obat iniefektif dalam pengobatan penyakit refluks
gastroesofageal jika diberikan dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis untuk terapi ulkus. Golongan
obat ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat ringan sampai sedang serta tanpa
komplikasi. Antagonis reseptor H2 adalah lini pertama untuk pasien dengan gejala ringan sampai
sedang dan kelas I-II esofagitis. Pilihan meliputi ranitidine (Zantac), cimetidine (Tagamet),
famotidine (Pepcid). 6,11

Para antagonis reseptor H2 blocker kompetitif reversibel pada reseptor histamin H2, khususnya
di sel parietal lambung, di mana mereka menghambat sekresi asam. Obat golongan ini sangat
selektif, tidak mempengaruhi reseptor H1, dan antikolinergik. Pemberian intravena blocker H2
dapat digunakan untuk mengobati komplikasi akut (misalnya, perdarahan gastrointestinal),
imbalan tersebut belum terbukti. 6,9,10

Agen ini efektif untuk penyembuhan hanya esofagitis ringan pada 70-80% pasien dengan GER
dan untuk menyediakan terapi pemeliharaan untuk mencegah kambuh. Tachyphylaxis telah
diamati, menunjukkan bahwa toleransi farmakologik dapat mengurangi khasiat jangka panjang
obat ini. 6,7

Tambahan H2 blocker terapi telah dilaporkan berguna pada pasien dengan penyakit berat
(terutama mereka dengan esofagus Barrett) yang memiliki terobosan asam nokturnal.

 Ranitidine (Zantac) Ranitidine menghambat rangsangan dari reseptor histamin H2


pada sel parietal lambung, yang, pada gilirannya, mengurangi sekresi asam lambung,
volume lambung, dan konsentrasi hidrogen.
 Cimetidine (Tagamet) Simetidin menghambat histamin pada reseptor H2 sel parietal
lambung, yang menghasilkan sekresi asam lambung berkurang, volume lambung,
dan konsentrasi hidrogen.
 Famotidine (Pepcid) Famotidin kompetitif menghambat histamin pada reseptor H2
sel parietal lambung, sehingga sekresi asam lambung berkurang, volume lambung,
dan konsentrasi hidrogen. 6,11

Obat-obatan Prokinetik. Secara teoritis obat ini paling sesuai untuk pengobatan GER karena
penyakit ini dianggap lebig condong ke arah gangguan motilitas. Namun, pada prakteknya,
pengobatan GER sangat bergantung kepada penekanan sekresi asam. 6,11

Beberapa contoh obat-obatan pro kinetik :

Metoklopramid, bekerja sebagai antagonis reseptor dopamin. Efektivitasnya rendah dalam


mengurangi gejala serta tidak berperan dalam penyembuhan lesi di esofagus kecuali dalam
kombinasi dengan antagonis reseptor H2 atau penghambat pompa proton. Karena melalui sawar
darah otak, maka dapt tumbuh efek terhadap susunan saraf pusat berupa mengantuk, pusing,
agitasi, tremor.

 Domperidon. Golongan obat ini adalah antagonis reseptor dopamin dengan efek
samping yang lebih jarang dibanding metoklopramid karena tidak melalu sawar
darah otak. Golongan obat ini diketahui dapat meningkatkan tonus LES serta
mempercepat pengosongan lambung.
 Cisapride. Sebagai suatu antagonis reseptor 5 HT4, obat ini dapat mempercepat
pengosongan lambung serta meningkatkan tekanan tonus LES. Efektifitasnya dalam
menghilangkan gejala serta penyembuhan lesi esofagus lebih baik dibandingkan
domperidon.
 Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat). Berbeda dengan antasida dan
penekan sekresi asam, obat ini tidak memiliki efek langsung terhadap asam lambung.
Obat ini bekerja dengan cara meningkatkan pertahanan mukosa esofagus, sebagai
buffer terhadap HCl di esofagus serta dapat mengikat pepsin dangaram empedu.
Golongan opat ini cukup aman diberikan karena bekerja secara topikal (sitoproteksi).
6,11

Tindakan Operasi

Bayi yang memiliki komplikasi berat atau bayi yang tidak respon terhadap terapi farmakologi
atau bayi yang respon terhadap terapi farmakologi namun selalu timbul kembali setelah
pengobatan dihentikan merupakan kandidat untuk tindakan bedah. Tindakan bedah yang paling
sering dilakukan ialah fundouplikasi. Bagian paling atas dari lambung ( daerah fundus) dibuat
melingkari bagian bawah dari esophagus. Tonus otot lambung diharapkan nantinya dapat
membantu menguatkan penutupan bagian atas lambung. Tindakan bedah ini hanya dilakukan
pada sebagian kecil kasus, terutama pada anak dengan usia lebih dari 2 tahun dengan
kemungkinan resolusi spontan refluks sangat kecil.

Prognosis

Selama masa bayi, prognosis untuk resolusi gastroesophageal reflux sangat baik (meskipun cacat
perkembangan merupakan pengecualian diagnostik yang penting) kebanyakan pasien
menanggapi perawatan konservatif, nonfarmakologis. Ada, sebagian besar kasus
gastroesophageal reflux pada bayi dan anak-anak yang sangat muda jinak, dan 80% sembuh pada
usia 18 bulan (55% sembuh pada usia 10 bulan), Meskipun beberapa pasien memerlukan "Step
up" untuk obat-obat pengurang asam. Gejala yang menetap setelah usia 18 bulan menunjukkan
kemiripan yang lebih tinggi dari gastroesophageal reflux kronis dalam kasus seperti itu, risiko
jangka panjang dari kondisi tersebut meningkat.12 Dalam kasus refraktori gastroesophageal
reflux atau ketika komplikasi terkait dengan penyakit refluks diidentifikasi, esophagus barrett,
perawatan bedah (fundoplication) biasanya diperlukan. Prognosis dengan morbiditas dan
mortalitas bedah lebih tinggi pada pasien yang memiliki masalah medis kompleks selain
gastroesophageal reflux. Seperti disebutkan sebelumnya, anak-anak dengan ketidakmampuan
perkembangan syaraf, inculding cerebral palsy, sindrom down, dan sindrom turun-temurun
lainnya yang terkait dengan keterlambatan perkembangan, memiliki peningkatan prevalensi
gastroesophageal reflux.10 Bayi dengan disfungsi neurologis yang menunjukkan masalah
menelan pada usia 4-6 bulan mungkin memiliki kemungkinan sangat tinggi mengembangkan
gangguan makan jangka panjang. Meskipun volume data yang sangat besar menunjukkan
diagnosis, manajemen dan prognosis terkait, manegemenent dan prognosis yang berkaitan
dengan refluks gastroesophageal pediatrik, ulasan terbaru dari 46 artikel (dari lebih dari 2400
publikasi diidentifikasi) menunjukkan variasi yang luas dan pendekatan dan dalam ukuran
keluar.1,12

Kesimpulan

Refluks gastroesofagus merupakan suatu keadaan fisiologi yang sering ditemukan pada anak,
namun dapat berkembang menjadi patologis sehingga menimbulkan masalah bagi anak.
Tatalaksana RGE pada anak perlu dipahami secara tepat agar penanganan dapat dilakukan sedini
mungkin untuk mencegah terjadinya komplikasi dikemudian hari. Untuk tatalaksana dari refluks
gastroesofagus sendiri disarankan dengan terapi konservatif seperti posisi, diet, dan obat.
Golongan prokinetik merupakan obat yang memberikan hasil efektif pada anak dengan RGE.

Daftar Pustaka

1. Ndraha S. Penyakit refluks gastroesophageal. Vol.1. Jakarta : Medicinus; 2014: h.5


2. Gleadle J. At a Glance: anamnesis dan pemeriksaan. edisi bahasa indonesia, ahli bahasa:
anisa rahmalia. Jakarta: Erlangga Medical Series; 2006: h.10-21
3. Swartz HM. Buku Ajar Diagnostik Fisik. Jakarta: EGC; 2006: h.239-56
4. NIH. Gastroesophageal Reflux (GER) and Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) in
Infants. Edisi 8 April 2015. http://www.niddk.nih.gov/health-information/health-
topics/digestive-diseases/ger-and-gerd-in-infants/Pages/diagnosis.aspx. 14 Mei 2018
5. Rudolph A, Hoffman J, Rudolph C. Buku ajar pediatri Rudolph. Vol 2.
Jakarta:EGC;2006:h.1168-70
6. Makmun D. Ilmu penyakit dalam. Edisi ke-6. Jakarta: Interna Publishing; 2015: h.1750.
7. Corwin E. Buku saku patofisiologi.Edisi ke-3. Jakarta:EGC; 2009: h.601-602
8. Eliastam M, Sternbach G, Bresler M. Penuntun kedaruratan medis. Edisi ke-5. Jakarta:
EGC;2007: h.319-320
9. Suandi I. Diit pada anak sakit. Jakarta:EGC; 2008: h.69
10. Lowry A, Bhakta Y, Nag P. Buku saku pediatri dan neonatalogi. Jakarta:EGC;2014:
h.528
11. The Royal Childern’s Hospital Melbourne. Gastrooesophageal Reflux in infants.Edisi
2014.http://www.rch.org.au/clinicalguide/guideline_index/Gastrooesophageal_Reflux_in
_infants/. 14 Mei 2018
12. Mitchell, Kumar, Abbas & Fausto. Buku saku dasar patologis penyakit. Jakarta: EGC;
2008: h.470-1

Anda mungkin juga menyukai