DYSPEPSIA
DISUSUN OLEH:
PEKANBARU
2021
BAB I
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara berkembang yang dihadapkan pada dua masalah dalam
pembangunan kesehatan, yaitu penyakit menular yang masih banyak tertangani dan penyakit
tidak menular yang semakin meningkat kejadiannya. Perkembangan teknologi dan industri
serta perbaikan sosio-ekonomi menyebabkan perubahan perilaku dan gaya hidup masyarakat
serta situasi lingkungan, seperti pola makanan yang tidak seimbang, kurangnya aktivitas fisik
yang meningkatnya populasi lingkungan. Perubahan tersebut memberi pengaruh terhadap
terjadinya peningkatan kasus-kasus penyakit menular. Salah satu penyakit tidak menular
yang mempunyai angka kejadian yang tinggi di dunia adalah Dispepsia. Mahadeva (2015)
menyatakan bahwa secara global, prevalensi dari Dispepsia bervariasi antara 7-45%,
tergantung pada definisi yang digunakan dan lokasi geografis. Prevalensi di Asia sekita 8-
30%.
Dispepsia menurut American Society For Gastrointestinal Endoscopy adalah sindrom
yang ditandai dengan gangguan anatomi atau fungsional dari saluran pencernaan, dan di
defenisikan sebagai rasa nyeri atau tidak nyaman yang terutama dirasakan di daerah perut
bagian atas.
Angka kejadian Dispepsia di dunia seperti di Negara Inggris pada tahun 2014
sebanyak 38,2%-41% kasus. Di Nigeria sebanyak 45% kasus yang merupakan negara dengan
angka kejadian terbanyak tahun 2012. Angka kejadian Dispepsia di Indonesia seperti di
Tapanuli Utara tahun 2015 terdapat 4.74% menempati urutan keenam, di Sumatera Barat
tahun 2012 sebesar 1.2% menempati urutan pertama. di Makassar tahun 2011 sebanyak 55%
kasus Dispepsia. Menurut data Profil Kesehatan Indonesia tahun 2011, Dispepsia termasuk
dalam 5 besar penyakit rawat inap di rumah sakit tahun 2010 dengan angka kejadian kasus
sebesar 18,807 (39,8%) pada pria dan (60,2%) pada wanita. Menurut Dinas Kesehatan
Jakarta tahun 2016 angka kejadian di Jakarta pusat sebanyak 12.7% kasus dan menempati
urutan 10 besar.
BAB II
LAPORAN KASUS
2.4 PENATALAKSANAAN
Pengobatan farmakologis yang diberikan di IGD :
-Injeksi ketorolac 1 ampul
-Injeksi Omeprazol 1 ampul
-Injeksi Ondansentron 1 ampul
( observasi sampai pasien merasa nyaman 1-2 jam)
Mual (-) tetapi berkurang, muntah (-), nyeri tekan epigastrium (-), pasien boleh
pulang.
Obat pulang :
- Sucralfat syrup 3 x 1 cth
- Omeprazole tab 40 mg 2 x1
- Domperidone tab 3x1
- Vitamin B complex tab 2 x1
- Paracetamol tab 3x1
- Amlodipin 5mg 1x1
Saran Edukasi :
- Atur pola makan seteratur mungkin.
- Olahraga teratur.
- Hindari makanan yang menimbulkan gas di lambung
- Hindari makanan yang terlalu pedas.
- Hindari minuman dengan kadar caffeine dan alkohol.
- Hindari obat yang mengiritasi dinding lambung
- Kelola stres psikologi se-efisien mungkin.
2.5 PROGNOSIS
Quo ad vitam: dubia ad bonam
Quo ad functionam: dubia ad bonam
Quo ad sanationam: dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Dispepsia merupakan sindrom atau kumpulan gejala atau keluhan yang terdiri dari nyeri
atau rasa tidak nyaman di ulu hati, kembung, mual, muntah, sendawa, rasa cepat kenyang,
perut rasa penuh atau begah. Dispepsia merupakan salah satu gangguan pada saluran
pencernaan, khususnya lambung. Dispepsia dapat berupa rasa nyeri atau tidak enak di perut
bagian tengah ke atas. Rasa nyeri tidak menentu, kadang menetap atau kambuh. Gejalanya
pun bervariasi mulai dari nyeri ulu hati, mual-muntah, rasa penuh di ulu hati, sebah, sendawa
yang berlebihan bahkan bisa menyebabkan diare dengan segala komplikasinya.1
3.2 Epidemiologi
Dispepsia merupakan salah satu masalah pencernaan yang paling umum ditemukan.
Dialami sekitar 20%-30% populasi di dunia setiap tahun. Data Depkes tahun 2004
menempatkan dispepsia di urutan ke 15 dari daftar 50 penyakit dengan pasien rawat inap
terbanyak di Indonesia dengan proporsi 1,3%. Dispepsia yang oleh orang awam sering
disebut dengan “sakit maag” merupakan keluhan yang sangat sering kita jumpai sehari hari.2
3.3 Etiologi
Gangguan atau penyakit dalam lumen saluran cerna : tukak gaster atau duodenum,
gastritis, tumor, infeksi
Helicobacter pylori
Obat – obatan seperti anti inflamasi non steroid (OAINS), aspirin, beberapa antibiotic,
digitalis, teofilin dan sebagainya.
Penyakit pada hati, pankreas, system bilier, hepatitis, pancreatitis, kolesistetis kronik.
Berdasarkan penyebab dan keluhan gejala yang timbul maka dispepsia dibagi 2 yaitu :
1. dispepsia organik dan dispepsia fungsional. Dispepsia organik apabila penyebab
dispepsia sudah jelas, misalnya adanya ulkus peptikum, karsinoma lambung, dan
cholelithiasis yang bisa ditemukan secara mudah melalui pemeriksaan klinis, radiologi,
biokimia, laboratorium, maupun gastroentrologi konvensional (endoskopi).
2. dispepsia fungsional apabila penyebabnya tidak diketahui atau tidak didapati kelainan
pada pemeriksaan gastroenterologi konvensional atau tidak ditemukan adanya kerusakan
organik dan penyakit-penyakit sistemik.
3.4 Patofisiologi
Mekanisme patofisiologi timbulnya dispepsia fungsional masih belum seluruhnya
dapat diterangkan secara pasti. Hal ini menunjukan bahwa dispepsia fungsional
merupakan sekelompok gangguan yang heterogen, namun sudah terdapat banyak bukti
dari hasil penelitian para ahli yang dapat dijadikan pegangan. Beberapa studi
menghubungkan mekanisme patofisiologi dispepsia fungsional dengan terjadinya infeksi
H. Pylori, ketidaknormalan motilitas, gangguan sensori visceral, faktor psikososial, dan
perubahan-perubahan fisiologi tubuh yang meliputi gangguan pada sistem saraf otonom
vegetatif, sistem neuroendokrin, serta sistem imun tubuh. Sedangkan Patofisiologi ulkus
peptikum diperkirakan akibat ketidak seimbangan antara tekanan agresif (HCL dan
pepsin) yang menyebabkan ulserasi dan tekanan defensif yang melindungi lambung
( barier mukosa lambung, barier mukus lambung, sekresi HCO3).
Patoisiologi dyspepsia yang disebabkan oleh Hp dan obat-obatan anti-inlamasi non-
steroid (OAINS) telah banyak diketahui. Dispepsia fungsional disebabkan oleh beberapa
faktor utama, antara lain gangguan motilitas, infeksi Hp, asam lambung, hipersensitivitas
viseral, dan faktor psikologis. Faktor-faktor lainnya yang dapat berperan adalah genetik,
gaya hidup, lingkungan, diet dan riwayat infeksi gastrointestinal sebelumnya.
1. Infeksi H. Pylori
Peranan infeksi H. Pylori dengan timbulnya dispepsia fungsional sampai saat ini
masih terus diselidiki dan menjadi perdebatan dikalangan para ahli Gastrohepatologi.
Studi populasi yang besar telah menunjukan peningkatan insiden infeksi H. Pylori pada
pasien dengan dispepsia fungsional. Beberapa ahli berpendapat H. Pylori akan
menginfeksi lambung jika lambung dalam keadaan kosong pada jangka waktu yang
cukup lama. Infeksi H. Pylori menyebabkan 12 penebalan otot dinding lambung yang
selanjutnya meningkatkan massa otot sehingga kontraksi otot bertambah dan
pengosongan lambung akan semakin cepat. Pengosongan lambung yang cepat akan
membuat lambung kosong lebih lama dari biasanya dan H. Pylori akan semakin
menginfeksi lambung tersebut, dan bisa sebagai predictor timbulnya ulkus peptikum.
2. Ketidaknormalan Motilitas
Dengan studi Scintigraphic Nuclear dibuktikan lebih dari 50% pasien dispepsia
fungsional mempunyai keterlambatan pengosongan makanan dalam lambung. Demikian
pula pada studi Monometrik didapatkan gangguan motilitas antrum postprandial.
Penelitian terakhir menunjukan bahwa fundus lambung yang “kaku” bertanggung jawab
terhadap sindrom dispepsia. Pada keadaan normal seharusnya fundus lambung relaksasi,
baik saat mencerna makanan maupun bila terjadi distensi duodenum. Pengosongan
makanan bertahap dari corpus lambung menuju ke bagian fundus lambung dan
duodenum diatur oleh refleks vagal.
3. Gangguan Sensori Visceral
Lebih 50% pasien dispepsia fungsional menunjukan sensitifitas terhadap distensi
lambung atau intestinum, oleh karena itu mungkin akibat : makanan yang sedikit
mengiritasi seperti makanan pedas, distensi udara, gangguan kontraksi lambung
intestinum atau distensi dini bagian antrum postprandial dapat menginduksi nyeri pada
bagian ini.
4. Gangguan Keseimbangan Neuroendokrin
Gangguan sekresi pada lambung dapat terjadi karena gangguan jalur endokrin melalui
poros hipotalamus – pituitary – adrenal ( HPA axis). Pada keadaan ini terjadi
peningkatan kortisol dari korteks adrenal akibat rangsangan dari korteks serebri
diteruskan ke hipofisis anterior sehingga terjadi pengeluaran hormone kortikotropin.
Peningkatan kortisol ini akan merangsang produksi asam lambung.
5. Perubahan Dalam Sistem Imun dan Peranan faktor psikososial
Faktor psikis dan stresor akan mempengaruhi sistem imun dengan menerima berbagai
input, termasuk input dari stresor yang mempengaruhi neuron bagian Medial
Paraventriculer Hypothalamus melalui pengaktifan sistem endokrin hypothalamus-
pituitary axis (HPA), bila terjadi stres yang berulang atau kronis, maka akan terjadi
disregulasi dari sistem endokrin hypothalamus-pituitary axis (HPA ) melalui kegagalan
dari mekanisme umpan balik negative. Faktor psikis dan stres juga mempengaruhi sistem
imun melalui mengaktivasi sistem noradrenergik di otak, tepatnya di locus cereleus yang
menyebabkan peningkatan pelepasan ketekolamin dari sistem saraf otonom. Selain itu
akibat pelepasan neuropeptida dan adanya reseptor neuropeptida pada limfosit B dan
Limfosit T, dan terjadi ketidakcocokan neuropeptida dan reseptornya akan menyebabkan
stres dan dapat mempengaruhi kualitas sistem imun seseorang, yang pada akhirnya akan
muncul keluhan-keluhan psikosomatik salah satunya pada organ lambung dengan
manifestasi klinis berupa keluhan dispepsia.
6. Post Infeksi
Salmonella gastroenteritis adalah salah satu faktor untuk terjadinya IBS dan juga
untuk dispepsia. Dalam satu tahun follow-up setelah terjadinya akut infeksi 1 dari 7
pasien berkembang menjadi dispepsia (Mearin et al. 2005). Penelitian yang lain setelah
infeksi Giardia lamblia terjadi peningkatan prevalensi dispepsia fungsional.
7. Intoleransi makanan
Pasien dengan dispepsia fungsional sering melaporkan pengaruh makanan terhadap
keluhan yang timbul. Namun data yang ada hubungan ini masih kontroversial (Carvalho
et al. 2009; Pilichiewicz et al ,2009). Intoleransi terhadap makanan ini menguatkan
dugaan peranan hipersensitif mukosa lambung yang memang sudah ada dan bukan
karena efek dari komponen makanan terhadap semua individu.
3.5 Diagnosis
Jika pasien mengeluh mengenai dispepsia, tanyakan dengan lengkap seperti Berapa
sering terjadi keluhan dispepsia, sejak kapan terjadi keluhan, adakah berkaitan dengan
konsumsi makanan. Apakah minum obat tertentu dan aktivitas tertentu dapat menghilangkan
keluhan atau memperberat keluhan, apakah pasien mengalami nafsu makan menghilang,
muntah, muntah darah, BAB berdarah, batuk atau nyeri dada.
Pasien juga ditanya, apakah mengkonsumsi obat – obat tertentu, minum minuman
yang mengandung alkohol dan jamu yang dijual bebas di masyarakat perlu ditanyakan dan
kalau mungkin harus dihentikan. Hubungan dengan jenis makanan tertentu perlu
diperhatikan. Tanda dan gejala "alarm"(peringatan) seperti disfagia, berat badan turun, nyeri
menetap dan hebat, nyeri yang menjalar ke punggung, muntah yang sangat sering,
hematemesis, melena atau jaundice kemungkinan besar adalah merupakan penyakit serius
yang memerlukan pemeriksaan seperti endoskopi dan / atau "USG" atau "CT Scan" untuk
mendeteksi struktur peptik, adenokarsinoma gaster atau esophagus, penyakit ulkus,
pankreatitis kronis atau keganasan pankreas empedu.
Perlu ditanyakan hal-hal yang berhubungan dengan stresor psikososial misalnya:
masalah anak (meninggal, nakal, sakit, tidak punya), hubungan antar manusia (orang tua,
mertua, tetangga, adik ipar, kakak), hubungan suami-istri (istri sibuk, istri muda, dimadu,
bertengkar, cerai), pekerjaan dan pendidikan (kegiatan rutin, penggusuran, pindah jabatan,
tidak naik pangkat). Hal ini berakibat eksaserbasi gejala pada beberapa orang.5
Harus diingat gambaran khas dari beberapa penyebab dispepsia. Pasien ulkus peptikum
biasanya berumur lebih dari 45 tahun, merokok dan nyeri berkurang dengan mencerna
makanan tertentu atau antasid. Nyeri sering membangunkan pasien pada malam hari banyak
ditemukan pada ulkus duodenum. Gejala esofagitis sering timbul pada saat berbaring dan
membungkuk setelah makan kenyang yaitu perasan terbakar pada dada, nyeri dada yang tidak
spesifik (bedakan dengan pasien jantung koroner), regurgitasi dengan gejala perasaan asam
pada mulut. Bila gejala dispepsia timbul segera setelah makan biasanya didapatkan pada
penyakit esofagus, gastritis erosif dan karsinoma. Sebaliknya bila muncul setelah beberapa
jam setelah makan sering terjadi pada ulkus duodenum. Pasien dispepsia non ulkus lebih
sering mengeluhkan gejala di luar GI, ada tanda kecemasan atau depresi, atau mempunyai
riwayat pemakaian psikotropik. 2, 6
3. Antagonis reseptor H2
Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia organik atau
esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk golongan antagonis reseptor H2
antara lain simetidin, roksatidin, ranitidin, dan famotidin.
4. Penghambat pompa asam (proton pump inhibitor = PPI).
Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir dari proses
sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan PPI adalah omeperazol,
lansoprazol, dan pantoprazol. Waktu paruh PPI adalah 18jam. Dan bisa dimakan
antara 2 dan 5 hari supaya sekresi asam lambung kembali kepada ukuran normal.
5. Sitoprotektif
Obat ini termasuk Prostoglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil
(PGE2). Selain bersifat sitoprotektif, juga menekan sekresi asam lambung oleh sel
parietal. Sukralfat berfungsi meningkatkan sekresi prostoglandin endogen, yang
selanjutnya memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mukus dan
meningkatkan sekresi bikarbonat mukosa, serta membentuk lapisan protektif (site
protective), yang bersenyawa dengan protein sekitar lesi mukosa saluran cerna bagian
atas. Obat ini Kontraindikasi pada pasien gagal ginjal kronik. Dosis standard adalah 1
g per hari.
6. Golongan prokinetik
Obat yang termasuk golongan ini, yaitu sisaprid, domperidon, dan
metoklopramid. Golongan ini cukup efektif untuk mengobati dispepsia fungsional dan
refluks esofagitis dengan mencegah refluks.
7. Antibiotik untuk infeksi Helicobacter pylori
Eradikasi bakteri Helicobacter pylori membantu mengurangi simptom pada
sebagian pasien dan biasanya digunakan kombinasi antibiotik seperti amoxicillin
(Amoxil), clarithromycin (Biaxin), metronidazole (Flagyl) dan tetracycline
(Sumycin). Kadang kala juga dibutuhkan psikoterapi dan psikofarmakoterapi (obat
anti-depresi dan cemas) pada pasien dengan dispepsia fungsional, karena tidak jarang
keluhan yang muncul berhubungan dengan faktor kejiwaan seperti cemas dan depresi.