Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN KASUS

DYSPEPSIA

DISUSUN OLEH:

dr. Titi Yuliani

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PETALA BUMI

PEKANBARU

2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara berkembang yang dihadapkan pada dua masalah dalam
pembangunan kesehatan, yaitu penyakit menular yang masih banyak tertangani dan penyakit
tidak menular yang semakin meningkat kejadiannya. Perkembangan teknologi dan industri
serta perbaikan sosio-ekonomi menyebabkan perubahan perilaku dan gaya hidup masyarakat
serta situasi lingkungan, seperti pola makanan yang tidak seimbang, kurangnya aktivitas fisik
yang meningkatnya populasi lingkungan. Perubahan tersebut memberi pengaruh terhadap
terjadinya peningkatan kasus-kasus penyakit menular. Salah satu penyakit tidak menular
yang mempunyai angka kejadian yang tinggi di dunia adalah Dispepsia. Mahadeva (2015)
menyatakan bahwa secara global, prevalensi dari Dispepsia bervariasi antara 7-45%,
tergantung pada definisi yang digunakan dan lokasi geografis. Prevalensi di Asia sekita 8-
30%.
Dispepsia menurut American Society For Gastrointestinal Endoscopy adalah sindrom
yang ditandai dengan gangguan anatomi atau fungsional dari saluran pencernaan, dan di
defenisikan sebagai rasa nyeri atau tidak nyaman yang terutama dirasakan di daerah perut
bagian atas.
Angka kejadian Dispepsia di dunia seperti di Negara Inggris pada tahun 2014
sebanyak 38,2%-41% kasus. Di Nigeria sebanyak 45% kasus yang merupakan negara dengan
angka kejadian terbanyak tahun 2012. Angka kejadian Dispepsia di Indonesia seperti di
Tapanuli Utara tahun 2015 terdapat 4.74% menempati urutan keenam, di Sumatera Barat
tahun 2012 sebesar 1.2% menempati urutan pertama. di Makassar tahun 2011 sebanyak 55%
kasus Dispepsia. Menurut data Profil Kesehatan Indonesia tahun 2011, Dispepsia termasuk
dalam 5 besar penyakit rawat inap di rumah sakit tahun 2010 dengan angka kejadian kasus
sebesar 18,807 (39,8%) pada pria dan (60,2%) pada wanita. Menurut Dinas Kesehatan
Jakarta tahun 2016 angka kejadian di Jakarta pusat sebanyak 12.7% kasus dan menempati
urutan 10 besar.
BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : Tn. RAP
No RM : 770113
Tanggal masuk RS : 10-03-2022
Umur : 36 tahun
Status : Sudah menikah
Pekerjaan : Karyawan swasta
Agama : Islam
Alamat : Jl. Bambu kuning
2.2 ANAMNESIS
KELUHAN UTAMA :
Nyeri ulu hati
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG :
Nyeri ulu hati dirasakan sejak 3 jam yang SMRS, nyeri tidak menjalar, Pasien
merasakan rasa menyesak diperut, rasa mual (+) dan sebelum masuk RS pasien
muntah 1x dirumah berisi cairan dan ampas makanan, muntah berdarah (-), rasa
penuh di perut (+), kembung (-), nyeri pada dada kiri(-), rasa panas di dada (-), flatus
(+), BAB dalam batas normal, BAB hitam (-), BAK dalam batas normal. Pasien
belum ada mengkonsumsi obat sejak keluhan muncul. Nafsu makan berkurang,
badan terasa lemas dan nyeri kepala.
Riwayat kebiasaan:
Pasien sering makan tidak teratur, pasien jarang sarapan ketika pergi bekerja,
Pasien suka mengkonsumsi makanan pedas dan bersantan.
Konsumsi kopi (+), alkohol (-), obat anti nyeri atau anti radang (-), konsumsi jamu -
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU :
Riwayat penyakit kencing manis : Disangkal
Riwayat penyakit darah tinggi : ada
Riwayat penyakit jantung : Disangkal
Riwayat keluhan yang sama sebelumnya : Sering mengeluh keluhan yang sama jika
telat makan sejak 1 bulan yang lalu, dan selalu beli obat magh di warung.
RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA:
Riwayat penyakit kencing manis : Disangkal
Riwayat penyakit darah tinggi : Disangkal
Riwayat penyakit jantung : Disangkal
Riwayat penyakit ginjal : Disangkal

2.3 PEMERIKSAAN FISIK


1. Keadaan umum : tampak sakit sedang
2. Kesadaran : CM
3. Tanda-tanda vital
 TD : 170/96
 nadi : 92x/menit
 nafas : 20x/menit
 Spo2 : 99%
4. Status Gizi
 BB: 66 kg, TB: 168 cm
5. Pemeriksaan Fisik
 Kepala : normocephali
 Rambut : hitam
 Mata : Konjungtiva : anemis -/-
 Sklera : ikterik -/-
 Pupil : isokor
 Refleks cahaya : +/+
 Telinga : dalam batas normal
 Hidung : dalam batas normal
 Mulut &gigi : tak ada kelainan
 Leher : pembesaran KGB (-), kaku kuduk (-)
 Toraks :
o Paru :
 Inspeksi : gerakan dinding dada simetri kanan dan kiri
 Auskultasi : vesikuler+/+, wheezing -/-, ronkhi -/-
o Jantung : Auskultasi : S1 dan S2 reguler, murmur -, gallop –
 Abdomen :
 Inspeksi : perut datar,scar –
 Palpasi : soepel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan epigastrium
(+)
 Auskultasi : bising usus + normal
 Perkusi : timpani
 Ekstremitas : CRT <2detik, akral hangat, oedem –
6. Pemeriksaan penunjang : tidak dilakukan
7. Diagnosis : Syndrom Dispepsia
8. Deferential diagnosis : GERD, Gastritis, Ulkus Peptic

2.4 PENATALAKSANAAN
Pengobatan farmakologis yang diberikan di IGD :
-Injeksi ketorolac 1 ampul
-Injeksi Omeprazol 1 ampul
-Injeksi Ondansentron 1 ampul
( observasi sampai pasien merasa nyaman 1-2 jam)
Mual (-) tetapi berkurang, muntah (-), nyeri tekan epigastrium (-), pasien boleh
pulang.
Obat pulang :
- Sucralfat syrup 3 x 1 cth
- Omeprazole tab 40 mg 2 x1
- Domperidone tab 3x1
- Vitamin B complex tab 2 x1
- Paracetamol tab 3x1
- Amlodipin 5mg 1x1
Saran Edukasi :
- Atur pola makan seteratur mungkin.
- Olahraga teratur.
- Hindari makanan yang menimbulkan gas di lambung
- Hindari makanan yang terlalu pedas.
- Hindari minuman dengan kadar caffeine dan alkohol.
- Hindari obat yang mengiritasi dinding lambung
- Kelola stres psikologi se-efisien mungkin.
2.5 PROGNOSIS
Quo ad vitam: dubia ad bonam
Quo ad functionam: dubia ad bonam
Quo ad sanationam: dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Dispepsia merupakan sindrom atau kumpulan gejala atau keluhan yang terdiri dari nyeri
atau rasa tidak nyaman di ulu hati, kembung, mual, muntah, sendawa, rasa cepat kenyang,
perut rasa penuh atau begah. Dispepsia merupakan salah satu gangguan pada saluran
pencernaan, khususnya lambung. Dispepsia dapat berupa rasa nyeri atau tidak enak di perut
bagian tengah ke atas. Rasa nyeri tidak menentu, kadang menetap atau kambuh. Gejalanya
pun bervariasi mulai dari nyeri ulu hati, mual-muntah, rasa penuh di ulu hati, sebah, sendawa
yang berlebihan bahkan bisa menyebabkan diare dengan segala komplikasinya.1

3.2 Epidemiologi
Dispepsia merupakan salah satu masalah pencernaan yang paling umum ditemukan.
Dialami sekitar 20%-30% populasi di dunia setiap tahun. Data Depkes tahun 2004
menempatkan dispepsia di urutan ke 15 dari daftar 50 penyakit dengan pasien rawat inap
terbanyak di Indonesia dengan proporsi 1,3%. Dispepsia yang oleh orang awam sering
disebut dengan “sakit maag” merupakan keluhan yang sangat sering kita jumpai sehari hari.2

3.3 Etiologi
 Gangguan atau penyakit dalam lumen saluran cerna : tukak gaster atau duodenum,
gastritis, tumor, infeksi
 Helicobacter pylori
 Obat – obatan seperti anti inflamasi non steroid (OAINS), aspirin, beberapa antibiotic,
digitalis, teofilin dan sebagainya.
 Penyakit pada hati, pankreas, system bilier, hepatitis, pancreatitis, kolesistetis kronik.

Berdasarkan penyebab dan keluhan gejala yang timbul maka dispepsia dibagi 2 yaitu :
1. dispepsia organik dan dispepsia fungsional. Dispepsia organik apabila penyebab
dispepsia sudah jelas, misalnya adanya ulkus peptikum, karsinoma lambung, dan
cholelithiasis yang bisa ditemukan secara mudah melalui pemeriksaan klinis, radiologi,
biokimia, laboratorium, maupun gastroentrologi konvensional (endoskopi).
2. dispepsia fungsional apabila penyebabnya tidak diketahui atau tidak didapati kelainan
pada pemeriksaan gastroenterologi konvensional atau tidak ditemukan adanya kerusakan
organik dan penyakit-penyakit sistemik.

3.4 Patofisiologi
Mekanisme patofisiologi timbulnya dispepsia fungsional masih belum seluruhnya
dapat diterangkan secara pasti. Hal ini menunjukan bahwa dispepsia fungsional
merupakan sekelompok gangguan yang heterogen, namun sudah terdapat banyak bukti
dari hasil penelitian para ahli yang dapat dijadikan pegangan. Beberapa studi
menghubungkan mekanisme patofisiologi dispepsia fungsional dengan terjadinya infeksi
H. Pylori, ketidaknormalan motilitas, gangguan sensori visceral, faktor psikososial, dan
perubahan-perubahan fisiologi tubuh yang meliputi gangguan pada sistem saraf otonom
vegetatif, sistem neuroendokrin, serta sistem imun tubuh. Sedangkan Patofisiologi ulkus
peptikum diperkirakan akibat ketidak seimbangan antara tekanan agresif (HCL dan
pepsin) yang menyebabkan ulserasi dan tekanan defensif yang melindungi lambung
( barier mukosa lambung, barier mukus lambung, sekresi HCO3).
Patoisiologi dyspepsia yang disebabkan oleh Hp dan obat-obatan anti-inlamasi non-
steroid (OAINS) telah banyak diketahui. Dispepsia fungsional disebabkan oleh beberapa
faktor utama, antara lain gangguan motilitas, infeksi Hp, asam lambung, hipersensitivitas
viseral, dan faktor psikologis. Faktor-faktor lainnya yang dapat berperan adalah genetik,
gaya hidup, lingkungan, diet dan riwayat infeksi gastrointestinal sebelumnya.
1. Infeksi H. Pylori
Peranan infeksi H. Pylori dengan timbulnya dispepsia fungsional sampai saat ini
masih terus diselidiki dan menjadi perdebatan dikalangan para ahli Gastrohepatologi.
Studi populasi yang besar telah menunjukan peningkatan insiden infeksi H. Pylori pada
pasien dengan dispepsia fungsional. Beberapa ahli berpendapat H. Pylori akan
menginfeksi lambung jika lambung dalam keadaan kosong pada jangka waktu yang
cukup lama. Infeksi H. Pylori menyebabkan 12 penebalan otot dinding lambung yang
selanjutnya meningkatkan massa otot sehingga kontraksi otot bertambah dan
pengosongan lambung akan semakin cepat. Pengosongan lambung yang cepat akan
membuat lambung kosong lebih lama dari biasanya dan H. Pylori akan semakin
menginfeksi lambung tersebut, dan bisa sebagai predictor timbulnya ulkus peptikum.
2. Ketidaknormalan Motilitas
Dengan studi Scintigraphic Nuclear dibuktikan lebih dari 50% pasien dispepsia
fungsional mempunyai keterlambatan pengosongan makanan dalam lambung. Demikian
pula pada studi Monometrik didapatkan gangguan motilitas antrum postprandial.
Penelitian terakhir menunjukan bahwa fundus lambung yang “kaku” bertanggung jawab
terhadap sindrom dispepsia. Pada keadaan normal seharusnya fundus lambung relaksasi,
baik saat mencerna makanan maupun bila terjadi distensi duodenum. Pengosongan
makanan bertahap dari corpus lambung menuju ke bagian fundus lambung dan
duodenum diatur oleh refleks vagal.
3. Gangguan Sensori Visceral
Lebih 50% pasien dispepsia fungsional menunjukan sensitifitas terhadap distensi
lambung atau intestinum, oleh karena itu mungkin akibat : makanan yang sedikit
mengiritasi seperti makanan pedas, distensi udara, gangguan kontraksi lambung
intestinum atau distensi dini bagian antrum postprandial dapat menginduksi nyeri pada
bagian ini.
4. Gangguan Keseimbangan Neuroendokrin
Gangguan sekresi pada lambung dapat terjadi karena gangguan jalur endokrin melalui
poros hipotalamus – pituitary – adrenal ( HPA axis). Pada keadaan ini terjadi
peningkatan kortisol dari korteks adrenal akibat rangsangan dari korteks serebri
diteruskan ke hipofisis anterior sehingga terjadi pengeluaran hormone kortikotropin.
Peningkatan kortisol ini akan merangsang produksi asam lambung.
5. Perubahan Dalam Sistem Imun dan Peranan faktor psikososial
Faktor psikis dan stresor akan mempengaruhi sistem imun dengan menerima berbagai
input, termasuk input dari stresor yang mempengaruhi neuron bagian Medial
Paraventriculer Hypothalamus melalui pengaktifan sistem endokrin hypothalamus-
pituitary axis (HPA), bila terjadi stres yang berulang atau kronis, maka akan terjadi
disregulasi dari sistem endokrin hypothalamus-pituitary axis (HPA ) melalui kegagalan
dari mekanisme umpan balik negative. Faktor psikis dan stres juga mempengaruhi sistem
imun melalui mengaktivasi sistem noradrenergik di otak, tepatnya di locus cereleus yang
menyebabkan peningkatan pelepasan ketekolamin dari sistem saraf otonom. Selain itu
akibat pelepasan neuropeptida dan adanya reseptor neuropeptida pada limfosit B dan
Limfosit T, dan terjadi ketidakcocokan neuropeptida dan reseptornya akan menyebabkan
stres dan dapat mempengaruhi kualitas sistem imun seseorang, yang pada akhirnya akan
muncul keluhan-keluhan psikosomatik salah satunya pada organ lambung dengan
manifestasi klinis berupa keluhan dispepsia.
6. Post Infeksi
Salmonella gastroenteritis adalah salah satu faktor untuk terjadinya IBS dan juga
untuk dispepsia. Dalam satu tahun follow-up setelah terjadinya akut infeksi 1 dari 7
pasien berkembang menjadi dispepsia (Mearin et al. 2005). Penelitian yang lain setelah
infeksi Giardia lamblia terjadi peningkatan prevalensi dispepsia fungsional.
7. Intoleransi makanan
Pasien dengan dispepsia fungsional sering melaporkan pengaruh makanan terhadap
keluhan yang timbul. Namun data yang ada hubungan ini masih kontroversial (Carvalho
et al. 2009; Pilichiewicz et al ,2009). Intoleransi terhadap makanan ini menguatkan
dugaan peranan hipersensitif mukosa lambung yang memang sudah ada dan bukan
karena efek dari komponen makanan terhadap semua individu.

3.5 Diagnosis
Jika pasien mengeluh mengenai dispepsia, tanyakan dengan lengkap seperti Berapa
sering terjadi keluhan dispepsia, sejak kapan terjadi keluhan, adakah berkaitan dengan
konsumsi makanan. Apakah minum obat tertentu dan aktivitas tertentu dapat menghilangkan
keluhan atau memperberat keluhan, apakah pasien mengalami nafsu makan menghilang,
muntah, muntah darah, BAB berdarah, batuk atau nyeri dada.
Pasien juga ditanya, apakah mengkonsumsi obat – obat tertentu, minum minuman
yang mengandung alkohol dan jamu yang dijual bebas di masyarakat perlu ditanyakan dan
kalau mungkin harus dihentikan. Hubungan dengan jenis makanan tertentu perlu
diperhatikan. Tanda dan gejala "alarm"(peringatan) seperti disfagia, berat badan turun, nyeri
menetap dan hebat, nyeri yang menjalar ke punggung, muntah yang sangat sering,
hematemesis, melena atau jaundice kemungkinan besar adalah merupakan penyakit serius
yang memerlukan pemeriksaan seperti endoskopi dan / atau "USG" atau "CT Scan" untuk
mendeteksi struktur peptik, adenokarsinoma gaster atau esophagus, penyakit ulkus,
pankreatitis kronis atau keganasan pankreas empedu.
Perlu ditanyakan hal-hal yang berhubungan dengan stresor psikososial misalnya:
masalah anak (meninggal, nakal, sakit, tidak punya), hubungan antar manusia (orang tua,
mertua, tetangga, adik ipar, kakak), hubungan suami-istri (istri sibuk, istri muda, dimadu,
bertengkar, cerai), pekerjaan dan pendidikan (kegiatan rutin, penggusuran, pindah jabatan,
tidak naik pangkat). Hal ini berakibat eksaserbasi gejala pada beberapa orang.5
Harus diingat gambaran khas dari beberapa penyebab dispepsia. Pasien ulkus peptikum
biasanya berumur lebih dari 45 tahun, merokok dan nyeri berkurang dengan mencerna
makanan tertentu atau antasid. Nyeri sering membangunkan pasien pada malam hari banyak
ditemukan pada ulkus duodenum. Gejala esofagitis sering timbul pada saat berbaring dan
membungkuk setelah makan kenyang yaitu perasan terbakar pada dada, nyeri dada yang tidak
spesifik (bedakan dengan pasien jantung koroner), regurgitasi dengan gejala perasaan asam
pada mulut. Bila gejala dispepsia timbul segera setelah makan biasanya didapatkan pada
penyakit esofagus, gastritis erosif dan karsinoma. Sebaliknya bila muncul setelah beberapa
jam setelah makan sering terjadi pada ulkus duodenum. Pasien dispepsia non ulkus lebih
sering mengeluhkan gejala di luar GI, ada tanda kecemasan atau depresi, atau mempunyai
riwayat pemakaian psikotropik. 2, 6

Pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi kelainan intra-abdomen atau intra lumen


yang padat misalnya tumor, organomegali, atau nyeri tekan sesuai dengan adanya ransang
peritoneal/peritonitis. Pada pemeriksaan Inspeksi abdomen akan terlihat distensi, asites, parut,
hernia yang jelas, ikterus, dan lebam. Auskultasi akan bunyi usus dan karekteristik
motilitasnya. Palpasi dan perkusi abdomen, perhatikan akan tenderness, nyeri, pembesaran
organ dan timpani.11
Dispepsia melalui simptom-simptomnya saja tidak dapat membedakan antara
dispepsia fungsional dan dispepsia organik. Diagnosis dispepsia fungsional adalah diagnosis
yang telah ditetapkan, dimana pertama sekali penyebab kelainan organik atau struktural harus
disingkirkan melalui pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan yang pertama dan banyak
membantu adalah pemeriksaan endoskopi.

3.6 Diagnosis Banding


 Gastro-oesophageal reflux disease.
 Ulkus peptikum.
 Obat-obatan: obat anti inflamasi non-steroid, antibiotik, besi, suplemen kalium,
digoxin
 Malabsorbsi Karbohidrat (lactose, fructose, sorbitol).
 Cholelithiasis dan choledocholithiasis.
 Penyakit sistemik (diabetes, thyroid, parathyroid, hypoadrenalism, connective tissue
disease).
 Keganasan abdomen (terutama kanser pancreas dan gastrik).
3.7 Penatalaksanaan
Pengobatan dispepsia mengenal beberapa golongan obat, yaitu:
1. Antasida
Golongan obat ini mudah didapat dan murah. Antasid akan menetralisir sekresi
asam lambung. Antasid biasanya mengandungi Na bikarbonat, Al(OH)3, Mg(OH)2,
dan Mg triksilat. Pemberian antasid jangan terus- menerus, sifatnya hanya simtomatis,
untuk mengurangi rasa nyeri. Antacid yang sering digunakan adalah seperti Mylanta,
Maalox, merupakan kombinasi Aluminium hidroksida dan magnesium hidroksida.
Magnesium kontraindikasi kepada pasien gagal ginjal kronik karena bisa
menyebabkan hipermagnesemia, dan aluminium bisa menyebabkan kronik
neurotoksik pada pasien tersebut.

3. Antagonis reseptor H2
Golongan obat ini banyak digunakan untuk mengobati dispepsia organik atau
esensial seperti tukak peptik. Obat yang termasuk golongan antagonis reseptor H2
antara lain simetidin, roksatidin, ranitidin, dan famotidin.
4. Penghambat pompa asam (proton pump inhibitor = PPI).
Golongan obat ini mengatur sekresi asam lambung pada stadium akhir dari proses
sekresi asam lambung. Obat-obat yang termasuk golongan PPI adalah omeperazol,
lansoprazol, dan pantoprazol. Waktu paruh PPI adalah 18jam. Dan bisa dimakan
antara 2 dan 5 hari supaya sekresi asam lambung kembali kepada ukuran normal.
5. Sitoprotektif
Obat ini termasuk Prostoglandin sintetik seperti misoprostol (PGE1) dan enprostil
(PGE2). Selain bersifat sitoprotektif, juga menekan sekresi asam lambung oleh sel
parietal. Sukralfat berfungsi meningkatkan sekresi prostoglandin endogen, yang
selanjutnya memperbaiki mikrosirkulasi, meningkatkan produksi mukus dan
meningkatkan sekresi bikarbonat mukosa, serta membentuk lapisan protektif (site
protective), yang bersenyawa dengan protein sekitar lesi mukosa saluran cerna bagian
atas. Obat ini Kontraindikasi pada pasien gagal ginjal kronik. Dosis standard adalah 1
g per hari.
6. Golongan prokinetik
Obat yang termasuk golongan ini, yaitu sisaprid, domperidon, dan
metoklopramid. Golongan ini cukup efektif untuk mengobati dispepsia fungsional dan
refluks esofagitis dengan mencegah refluks.
7. Antibiotik untuk infeksi Helicobacter pylori
Eradikasi bakteri Helicobacter pylori membantu mengurangi simptom pada
sebagian pasien dan biasanya digunakan kombinasi antibiotik seperti amoxicillin
(Amoxil), clarithromycin (Biaxin), metronidazole (Flagyl) dan tetracycline
(Sumycin). Kadang kala juga dibutuhkan psikoterapi dan psikofarmakoterapi (obat
anti-depresi dan cemas) pada pasien dengan dispepsia fungsional, karena tidak jarang
keluhan yang muncul berhubungan dengan faktor kejiwaan seperti cemas dan depresi.

Terapi Dispepsia Fungsional :


Pengobatan terhadap dispepsia fungsional adalah bersifat terapi
simptomatik. Pasien dengan dispepsia fungsional lebih dominan gejala dan
keluhan seperti nyeri pada abdomen bagian atas, bisa diobati dengan PPI
(Proton Pump Inhibitors). Pasien dengan keluhan yang tidak jelas di bagian
abdomen atas di mana yang gagal dengan pengobatan PPI, bisa diobati dengan
tricyclic antidepressants.
3.8 Pencegahan
1. Makan secara benar. Hindari makanan yang dapat mengiritasi terutama makanan yang
pedas, asam, gorengan atau berlemak. Makanlah dengan jumlah yang cukup, pada
waktunya dan lakukan dengan santai.
2. Hindari alkohol. Penggunaan alkohol dapat mengiritasi dan mengikis lapisan mukosa
dalam lambung dan dapat mengakibatkan peradangan dan pendarahan.
3. Jangan merokok. Merokok mengganggu kerja lapisan pelindung lambung, membuat
lambung lebih rentan terhadap gastritis dan borok. Merokok juga meningkatkan asam
lambung, sehingga menunda penyembuhan lambung dan merupakan penyebab utama
terjadinya kanker lambung.
4. Lakukan olah raga secara teratur. Aerobik dapat meningkatkan kecepatan pernapasan
dan jantung, juga dapat menstimulasi aktifitas otot usus sehingga membantu
mengeluarkan limbah makanan dari usus secara lebih cepat.
5. Kendalikan stress. Stress juga meningkatkan produksi asam lambung dan
melambatkan kecepatan pencernaan.
6. Hindari penggunaan OAINS dalam waktu yang lama, obat-obat golongan ini akan
menyebabkan terjadinya peradangan pada lambung dan akan membuat peradangan
yang sudah ada menjadi lebih parah. Ganti dengan penghilang nyeri yang
mengandung acetaminophen.
3.9 Prognosis
prognosis dispepsia fungsional mungkin dipengaruhi beberapa hal yaitu kurang tidur dan
status pernikahan yang buruk dapat memiliki prognosis tidak baik, sedangkan
personalitas ekstrovert memiliki prognosis yang cukup baik. Meskipun dispepsia
fungsional berlangsung kronis dan mempengaruhi kualitas hidup, tetapi tak terbukti
menurunkan harapan hidup.
DAFTAR PUSTAKA

1. Djojoningrat D. Pendekatan klinis penyakit gastrointestinal. Sudoyo AW, Setiyohadi


B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke
– 4. FKUI; 2007.h.285.
2. Tack J, Nicholas J, Talley, Camilleri M, Holtmann G, Hu P, et al. Functional
Gastroduadenal. Gastroenterology 2006;130:1466-1479.
3. Karakteristik Penderita Dispepsia Rawat Inap Di RS Martha Friska Medan Tahun
2007. Edisi 2010. Diunduh dari, http://library.usu.ac.id/index.php/index.php?
option=com_journal_review&id.
4. Citra JT. Perbedaan depresi pada pasien dispepsia organik dan fungsional. Bagian
Psikiatri FK USU 2003.
5. Dyspepsia. Edition 2010. Available from: http://www.mayoclinic.org/dyspepsia/.
6. Talley N, Vakil NB, Moayyedi P. American Gastroenterological Association
technical review: evaluation of dyspepsia. Gastroenterology 2005;129:1754.
7. Indigestion (Dyspepsia, Upset Stomach). Edition 2010. Available from:
http://www.medicinenet.com/dyspepsia/article.htm, 5 Juni 2010.
8. Dyspepsia, What It Is and What to Do About It? Edition 2009. Available from:
http://familydoctor.org/online/famdocen/home/common/digestive/disorders/474.html.
9. Greenburger NJ. Dyspepsia. The Merck Manuals Online Medical Library. 2008
March. Available from: http://www.merck.com/mmpe/sec02/ch007/ch007c.html.
10. Delaney BC. 10 Minutes consultation dyspepsia. BMJ. 2001. Available from:
http://www.bmj.com/cgi/content/full/322/7289/776.
11. Ringerl Y. Functional dyspepsia. UNC Division of Gastroenterology and Hepatology.
2005;1:1-3.
12. Glenda NL. Gangguan lambung dan duodenum. Patofisiologi. Edisi ke-6. EGC;
2006.h.417-19.
13. Riza TC, Bushra S. Dyspepsia. Prim Care Clinical Office Pract 34 2007;1:99–108.
14. Fauci AS, Braunwald, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson LJ et al. Peptic
ulcer disease. Harrison’s Principle of Internal Medicine. 17th.Mc Graw-Hills;
2008.p.287.
15. David JB. Test and Treat or PPI Therapy for Dyspepsia? Journal Watch
Gastroenterology. April 18, 2008.

Anda mungkin juga menyukai