Anda di halaman 1dari 35

Referat

Hepatitis Virus pada Anak

Disusun Oleh:
Senna Handoyo Tanujaya
11-2015-166

Pembimbing:
dr. Riza Mansyoer, Sp.A

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak


Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
RSUD KOJA Jakarta Utara
Periode 9 Mei 2016 – 16 Juli 2016

BAB I
PENDAHULUAN

Hepatitis virus adalah infeksi sistemik yang menyerang hati. Hepatitis virus masih
merupakan masalah kesehatan utama, baik di negara yang sedang berkembang maupun
negara maju. Virus penyebab adalah hepatitis virus A (HAV), hepatitis virus B (HBV),
hepatitis virus C (HCV), hepatitis virus D (HDV), hepatitis virus E (HEV), dan hepatitis virus
G (HGV).1

Infeksi virus hepatitis merupakan infeksi yang berupa inflamasi dan atau nekrosis
hepatosit serta infiltrasi panlobular oleh sel mononukleus (sel MN). Dengan kemajuan di
bidang biologi molekular, saat ini identifikasi dan pengertian patogenesis hepatitis virus
menjadi lebih baik. Semua memberi gejalan klinis yang sama, mulai dari asimptomatik
hingga ke hepatitis fulminan dan kematian adalah sama bagi. Kecuali hepatitis virus G yang
memberikan gejala sangat ringan, semua infeksi yang disebabkan oleh virus hepatitis dapat
berlanjut dalam bentuk subklinis atau penyakit hati yang progresif dengan komplikasi sirosis
atau timbulnya karsinoma hepatoselular, yang dikenal dengan hepatoma. Virus hepatitis A
dan virus hepatitis E tidak menyebabkan penyakit kronis sedangkan virus hepatitis B,D dan C
dapat menyebabkan infeksi kronis. Petanda adanya kerusakan hati (hepatocellular necrosis)
adalah meningkatnya transaminase dalam serum terutama peningkatan alanin
aminotransferase (ALT) yang umumnya berkorelasi baik dengan beratnya nekrosis pada sel
sel hati.1,2

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2
I. Hepatitis A
Virus Hepatitis A menyebar secara fecal-oral. Seseorang dapat terkena Hepatitis A saat
memakan sesuatu yang telah terkontaminasi oleh kotoran orang yang telah terinfeksi virus
ini. Hal ini bisa terjadi dengan berbagai cara. Misalnya saat orang yang telah terinfeksi
menyiapkan/memasak makanan untuk orang lain tanpa mencuci tangan terlebih dahulu
dengan baik. Seseorang pun bisa terkena Hepatitis A lewat minuman yang terkontaminasi
dengan virus ini. Virus Hepatitis A lebih mudah menyebar di area yang kebersihannya kurang
terjaga.3
a. Virologi
Hepatitis Virus A (HAV) adalah noneveloped virus berukuran 27nm dan merupakan RNA
virus rantai tunggal, dari famili picornavirus, terdiri dari satu serotipe, tiga atau lebih
genotipe, bereplikasi di sitoplasma hepatosit yang terinfeksi. Kerusakan hepar yang terjadi
disebabkan karena mekanisme imun yang diperantai sel-T.1
Host infeksi HAV sangat terbatas, hanya manusia dan beberapa primata yang dapat
menjadi host alamiah. Karena tidak ada keadaan karier, infeksi HAV terjadi melalui transmisi
serial dari individu yang terinfeksi ke individu lain yang rentan, melalui rute fekal-oral. Virus
yang tertelan bereplikasi di intestinum dan bermigrasi melalui vena porta ke hepar dengan
melekat pada reseptor viral yang ada di membran hepatosit. HAV matur yang sudah
bereplikasi kemudian diekskresikan bersama empedu dan keluar bersama feses. 1,2
Penyakit Hepatitis A ini merupakan penyakit endemis di beberapa negara berkembang.
Selain itu merupakan hepatitis yang ringan, bersifat akut, sembuh spontan/ sempurna tanpa
gejala sisa dan tidak menyebabkan infeksi kronik. Sumber penularan umumnya terjadi karena
pencemaran air minum, makanan yang tidak dimasak, makanan yang tercemar, sanitasi yang
buru, dan personal hygiene rendah.4
b. Epidemiologi
Di negara berkembang dimana HAV masih endemis (Afrika, Amerika Selatan, Asia
Tengah, dan Asia Tenggara) paparan terhadap HAV hampir 100% pada anak 10 tahun. Di
Indonesia prevalensi di Jakarta, Bandung, dan Makassar berkisar antara 35-45% pada usia 5
tahun, dan mencapai lebih dari 0% pada usia 30 tahun. Di Papua pada umur 5 tahun
prevalensi anti HAV mencapai hampir 100%. Pada tahun 2008 terjadi outbreak yang terjadi
disekitar kampus universitas Gadjah Mada yang menyerang lebih dari 500 penderita, yang
diduga berasal dari pedagang kaki lima yang berada sekitar kampus. Di negara maju

3
prevalensi anti HAV pada populasi umum di bawah 20% dan usia terjadinya infeksi lebih tua
daripada negara berkembang.2
c. Patofisiologi
Diawali dengan masuknya virus kedalam saluran pencernaan, kemudian masuk ke aliran
darah menuju hati melalui vena porta, lalu menginvasi ke hepatosit, dan bereplikasi sehingga
menyebabkan sel hepatosit menjadi rusak. Setelah itu virus akan keluar dan masuk kedalam
ductus biliaris yang akan dieksresikan bersama feses. Hepatosit yang telah rusak akan
merangsang reaksi inflamasi yang ditandai dengan adanya agregasi makrofag, pembesaran
sel kupfer yang akan menekan ductus biliaris sehingga aliran bilirubin direk terhambat,
kemudian terjadi penurunan ekskresi bilirubin ke usus. Keadaan ini menimbulkan ketidak
seimbangan antara uptake dan eksresi bilirubin dari sel hati sehingga bilirubin yang telah
mengalami proses konjugasi (direct) akan terus menumpuk dalam sel hati yang akan
menyebabkan refluks ke pembuluh darah sehingga akan bermanifestasi kuning (ikterus) pada
jaringan kulit terutama pada sklera, dan kadang disertai rasa gatal dan air kencing menjadi
berwarna teh pekat akibat partikel bilirubin direk berukuran kecil sehingga dapat masuk ke
ginjal dan dieksresikan melalui urin. Akibat bilirubin direk yang kurang dalam usus
mengakibatkan gangguan dalam produksi asam empedu, karena produksinya menurun,
sehingga proses pencernaan lemak terganggu, dan lemak akan bertahan dalam lambung
dengan waktu yang cukup lama, dan menyebabkan regangan pada lambung sehingga
merangsang saraf simpatis dan parasimpatis mengakibatkan teraktifasinya pusat muntah yang
berada di medula oblongata dan menyebabkan timbulnya gejala mual, muntah, dan menurun
nya nafsu makan.5
Jejas pada hepatitis akut disebabkan oleh beberapa mekanisme. Pertama merupakan
refleksi jejas pada hepatosit, yang melepaskan alanin aminotransferase (ALT, atau serum
glutamat piruvat transaminase) dan aspartat aminotransferase (AST, dahulu serum glutamat-
oksaloasetat transaminase) ke dalam aliran darah. ALT lebih spesifik pada hati daripada AST,
yang juga dapat naik sesudah cedera pada eritrosit, otot skelet, atau sel miokardium.
Tingginya kenaikan tidak berkorelasi dengan luasnya nekrosis hepatoseluler dan nilai
prognostik kecil. Pada beberapa kasus, penurunan kadar aminotransferase dapat meramalkan
hasil yang jelek jika penurunan terjadi bersama dengan kenaikan bilirubin dan waktu
protrombin yang memanjang (prothrombine time/PT). Kombinasi temuan ini menunjukkan
bahwa cedera hati masif telah terjadi, menyebabkan sedikit berfungsinya hepatosit. Enzim
lain, laktat dehidrogenase bahkan kurang spesifik terhadap hati daripada AST dan biasanya
tidak membantu dalam evaluasi cedera hati.

4
Hepatitis virus juga disertai dengan ikterus kolestatik, dimana kadar bilirubin direk
maupun indirek naik. Ikterus akibat obstruksi aliran saluran empedu dan cedera terhadap
hepatosit. Kenaikan alkali fosfatase serum, 5'-nukleotidase, ɣ-glutamil transpeptidase, dan
urobilinogen semua dapat merefleksikan cedera terhadap sistem biliaris. Kelainan sintesis
protein oleh hepatosit digambarkan oleh kenaikan PT. Karena protein ini waktu paruhnya
pendek, PT adalah indikator cedera pada hati yang sensitif. Albumin serum adalah protein
serum lain yang dibuat-hati, tetapi waktu paruhnya yang panjang membatasi relevansinya
untuk pemantauan cedera hati akut. Kolestasis menyebabkan penurunan kumpulan asam
empedu usus dan pengurangan penyerapan vitamin larut-lemak. Cedera hati dapat juga
menyebabkan perubahan pada karbohidrat, ammonia dan metabolisme obat.6
d. Manifestasi Klinis
Gejala muncul secara mendadak: panas, mual, muntah, anoreksia, dan nyeri perut. Pada
bayi dan balita, gejala-gejala ini sangat ringan dan jarang dikenali, jarang terjadi ikterus
(30%). Sebaliknya pada orang dewasa yang terinfeksi HAV, hampir semuanya (70%)
simtomatik dan dapat menjadi berat. Dibedakan menjadi 4 stadium yaitu: 2
1. Masa inkubasi, berlangsung selama 18-50 hari (±28 hari)
2. Masa prodomal, terjadi selama 4 hari - 1 minggu atau lebih. Gejala: fatigue, malaise,
nafsu makan berkurang, mual, muntah, rasa tidak nyaman di daerah kanan atas,
demam (biasanya < 39°C). Merasa dingin, sakit kepala, gejala seperti flu. Tanda yang
ditemukan biasanya hepatomegali ringan dengan nyeri tekan.
3. Fase ikterik, dimulai dengan urin yang berwarna kuning tua, seperti teh, diikuti oleh
feses yang berwarna seperti dempul, kemudian warna sclera dan kulit perlahan-lahan
menjadi kuning. Gejala anoreksia, lesu, mual dan muntah bertambah berat.
4. Fase penyembuhan, ikterus menghilang dan warna feses kembali normal dalam 4
minggu setelah onset.
Gejala klinis terjadi tidak lebih dari 1 bulan, sebagian besar penderita sembuh total, tetapi
relaps dapat terjadi dalam beberapa bulan. Tidak dikenal adanya viremia persisten maupun
penyakit kronis. 2
Terdapat 5 macam gejala klinis: 2
1. Hepatitis A klasik
Penyakit timbul secara mendadak didahului gejala prodromal sekitar 1 minggu
sebelum jaundice. Diderita oleh ± 80% dari penderita simtomatis. IgG anti-HAV pada
bentuk ini mempunyai aktivitas yang tinggi, dan dapat memisahkan IgA dari
kompleks IgA-HAV, sehingga dapat dieliminasi oleh sistem imun, untuk mencegah
terjadinya relaps.

5
2. Hepatitis A relaps
Terjadi pada 4-20% penderita simtomatis. Timbul 6-10 minggu setelah dinyatakan
sembuh secara klinis. Kebanyakan terjadi pada umur 20-40 tahun. Gejala klinis dan
laboratoris dari serangan pertama bisa sudah hilang atau masih ada sebagian sebelum
timbulnya relaps. Gejala relaps lebih ringan daripada bentuk pertama.
3. Hepatitis kolestatik
Terjadi pada 10% penderita simtomatis. Ditandai dengan pemanjangan gejala hepatitis
dalam beberapa bulan disertai panas, gatal-gatal, dan jaundice. Pada saat ini kadar
AST, ALT, dan ALP secara perlahan turun ke arah normal tetapi kadar bilirubin serum
tetap tinggi.
4. Hepatitis A protracted
Pada bentuk protracted (8,5%), clearance dari virus terjadi perlahan sehingga
pulihnya fungsi hati memerlukan waktu yang lebih lama, dapat mencapai 120 hari.
Pada biopsi hepar ditemukan adanya inflamasi portal dengan piecemeal necrosis,
periportal fibrosis, dan lobular hepatitis.
5. Hepatitis A fulminan
Terjadi pada 0,35% kasus. Bentuk ini paling berat dan dapat menyebabkan kematian.
Ditandai dengan memberatnya ikterus, ensefalopati, dan pemanjangan waktu
protombin. Biasanya terjadi pada minggu pertama saat mulai timbulnya gejala.
Penderita usia tua yang menderita penyakit hati kronis (HBV dan HCV) berisiko
tinggi untuk terjadinya bentuk fulminan ini. 2
e. Diagnosis
Diagnosa hepatitis A dapat dilihat dari pemeriksaan laboratorium dari pemeriksaan
serologi IgM anti-HAV, antibodi ini ditemukan 1-2 minggu setelah terinfeksi dan bertahan
dalam waktu 3-6 bulan. Sedangkan untuk pemeriksaan IgG anti-HAV dapat dideteksi dalam
waktu 5-6 minggu setelah terinfeksi dan bertahan sampai beberapa dekade, bahkan memberi
proteksi terhadap HAV seumur hidup.
Pemeriksaan ALT dan AST tidak spesifik untuk hepatitis A. Kadar ALT dapat mencapai
5000 U/l, tetapi kenaikan ini tidak berhubungan dengan derajat penyakit. Pemanjangan waktu
protrombin mencerminkan nekrosis sel yang luas seperti pada bentuk fulminan.2

f. Pengobatan
Indeksi akut dapat dicegah dengan pemberian imunoglobulin dalam 2 minggu setelah
terinfeksi atau menggunakan vaksin. Penderita hepatitis A akut dirawat secara rawat jalan,
dengan indikasi muntah hebat, dehidrasi dengan kesulitan masukan per-oral, kadar SGOT-
SGPT> 10 kali nilai normal, koagulopati, dan ensefalopati.

6
Pengobatan meliputi istirahat dan pencegahan terhadap bahan hepatotoksik, misalnya
asetaminofen. Pada penderita tipe kolestatik dapat diberikan kortikosteroid dalam jangka
pendek. Pada tipe fulminan perlu perawatan di ruang perawatan intensif dengan evaluasi
waktu protombin secara periodik. Parameter klinis untuk prognosis yang kurang baik adalah:
1. Pemanjangan waktu protrombin lebih dari 30 detik
2. Umur penderita kurang dari 10 tahun atau lebih dari 40 tahun
3. Kadar bilirubin serum lebih dari 17mg/dl atau waktu sejak dari ikterus menjadi
ensefalopati lebih dari 7 hari.2,3
g. Pencegahan
Karena tidak ada pengobatan yang spesifik terhadap hepatitis A maka pencegahan lebih
diutamakan, terutama terhadap anak di daerah dengan endemisitas tinggi dan pada orang
dewasa dengan risiko tinggi seperti umur lebih dari 49 tahun yang menderita penyakit hati
kronis. Pencegahan umum meliputi nasehat kepada pasien yaitu : perbaikan higiene
makanan-minuman, perbaikan sanitasi lingkungan dan pribadi dan isolasi pasien (sampai
dengan 2 minggu sesudah timbul gejala). Pencegahan khusus dengan cara imunisasi.
Terdapat 2 bentuk imunisasi yaitu imunisasi pasif dengan immunoglobulin, dan imunisasi
aktif dengan inactivated vaccines (Havrix, Vaqta dan Avaxim).2
Imunisasi Pasif
Indikasi pemberian imunisasi pasif:2
1. Semua orang yang kontak serumah dengan penderita
2. Pegawai dan pengunjung tempat penitipan anak bila didapatkan seorang penderita
atau keluarganya menderita hepatitis A.
3. Pegawai jasa boga dimana salah satu diketahui menderita hepatitis A.
4. Individu dari negara dengan endemisitas rendah yang melakukan perjalanan ke negara
dengan endemisitas sedang sampai tinggi dalam waktu 4 minggu. IG juga diberikan
pada usia dibawah 2 tahun yang ikut bepergian sebab vaksin tidak dianjurkan untuk
anak dibawah 2 tahun.
Imunisasi pasif dengan immunoglobulin normal atau immune serum globulin
prophylaxis dapat efektif dan memberi perlindungan selama 3 bulan dengan dosis 0,02
ml/kgBB untuk memberikan perlindungan selama 5 bulan diberikan secara intramuskular
melalui otot deltoid dengan dosis 0,06 ml/kgBB pada anak usia 2-18 tahun dan tidak boleh
diberikan dalam waktu 2 minggu setelah pemberian live attenuated vaccines (measles,
mumps, rubella, varicella) sebab IG akan menurunkan imunogenitas vaksin. Akan tetapi,
dengan penemuan vaksin yang sangat efektif, immunoglobulin tersebut menjadi jarang
digunakan. Imunisasi pasif ini diindikasiskan untuk turis yang berkunjung ke daerah endemik
dalam waktu singkat, wanita hamil, orang yang lahir di daerah endemis HAV, orang dengan

7
immunocompromised yang memiliki resiko penyakit berat setelah kontak erat, dan pekerja
kesehatan setelah terpajan akibat pekerjaan. Ketika sumber infeksi HAV teridentifikasi,
contohnya makanan atau air yang terkontaminasi HAV, immune serum globulin prophylaxis
harus diberikan kepada siapa saja yang telah terpapar dari kontaminan tersebut. Hal ini
terutama berlaku untuk wabah dari HAV yang terjadi di sekolah, rumah sakit, penjara, dan
institusi lainnya.1,2
Normal human immunoglobulin (NIHG) mengandung 100 IU antiHAV, diberikan
sebagai upaya pencegahan setelah kontak (kontak serumah, kontak seksual, saat epidemi)
atau disebut profilaksis pasca paparan. Diberikan secara intramuskular dengan dosis 0,02
ml/kg berat badan pada anak yang lebih besar dan dewasa ≤5 ml, sedangkan pada anak kecil
atau bayi tidak melebihi 3 ml.7
Tabel 1. Rekomendasi profilaksis post exposure terhadap VHA7
Saat paparan (minggu) Usia (tahun) Rekomendasi
≤2 <2 IG
≥2 IG dan vaksin
>2 <2 IG
≥2 Vaksin

Tabel 2. Profilaksis pre exposure terhadap pengunjung dari daerah non endemis7
Umur Lama Kunjungan Rekomendasi Keterangan
tahun
<2 < 3 bulan IG 0.02m1/kg 1 kali
3 – 5 bulan IG 0.06 ml/kg 1 kali
Jangka panjang IG 0.06 ml/kg saat berangkat, diulang
setiap 5 bulan
≥2 <3 bulan Vaksin atau Ig 0.02 ml/kg Dosis dan jadwal
3 – 5 bulan Vaksin atau Ig 0.06 ml/kg
imunisasi aktif lihat
Jangka panjang Vaksin
perihal imunisasi aktif
Imunisasi Aktif
Vaksin yang beredar saat ini adalah Havrix dan Vaqta, Avaxime. Semuanya berasal dari
inaktivasi dengan formalin dari sel kultur HAV. Havrix mengandung preservatif sedangkan
Vaqta tidak. Vaksin disuntikkan secara intramuskular 2 kali dengan jarak 6 bulan dan tidak
diberikan pada anak dibawah 2 tahun karena transfer antibodi dari ibu tidak jelas pada usia
ini.
Efikasi dan imunogenisitas dari kedua produk adalah sama walaupun titer geometrik
rata-rata anti-HAV pada Vaqta™ lebih tinggi. Dalam beberapa studi klinis kadar 20 mIU/L
pada Havrix™ dan 10 mIU/L pada Vaqta™ mempunyai nilai protektif. Kadar protektif

8
antibodi mencapai 88% dan 99% pada Havrix™ dan 95% dan 100% pada Vaqta™ pada
bulan ke 1 dan ke 7 setelah imunisasi. Diperkirakan kemampuan proteksi bertahan antara 5-
10 tahun atau lebih. Tidak ditemukan kasus infeksi hepatitis A dalam waktu 6 tahun setelah
imunisasi. 2
Walaupun jarang, kemungkinan reaksi anafilaksis harus diperhitungkan. Seperti pada
vaksin HBV kemungkinan gejala sindroma demielinisasi pernah dilaporkan (sindroma
Guillain-Barre, transverse myelitis, dan multiple sclerosis), walaupun frekuensi kejadiannya
tidak berbeda dibandingkan dengan populasi yang tidak divaksinasi.2
Indikasi imunisasi aktif: 1
1. Individu yang akan bekerja ke negara lain dengan prevalensi HAV sedang sampai
tinggi
2. Anak-anak 2 tahun keatas pada daerah dengan endemisitas tinggi atau periodic
outbreak
3. Homoseksual
4. Pengguna obat terlarang, baik injeksi maupun noninjeksi, karena banyak golongan
ini yang mengidap hepatitis C kronis.
5. Peneliti HAV.
6. Penderita dengan penyakit hati kronis, dan penderita sebelum dan sesudah
transplantasi hati, karena kemungkinan mengalami hepatitis fulminan meningkat.
7. Penderita gangguan pembekuan darah (defisiensi faktor VIII dan IX).
Vaksinasi aktif memberikan kekebalan terhadap infeksi sekunder dari kontak penderita,
maupun pada saat timbul wabah. Efikasi mencapai 79% dan jumlah penderita yang
divaksinasi untuk didapatkan satu kasus infeksi sekunder adalah 18:1. Rasio ini dipengaruhi
oleh status imunologi dalam masyarakat.
Kombinasi imunisasi pasif dan aktif dapat diberikan pada saat yang bersamaan tetapi
berbeda tempat menyuntikkannya. Hal ini memberikan perlindungan segera tetapi dengan
tingkat protektif yang lebih rendah. Oleh karena kekebalan dari infeksi primer adalah seumur
hidup, dan lebih dari 70% orang dewasa telali mempunyai antibodi, maka imunisasi aktif
HAV pada orang dewasa sebaiknya didahului dengan pemeriksaan serologis. Pemeriksaan
kadar antibodi setelah vaksinasi tidak diperlukan karena tingginya angka serokonversi dan
pemeriksaan tidak dapat mendeteksi kadar antibodi yang rendah.2
Imunisasi menyebabkan terbentuknya serum-neutralizing antibodies terhadap epitop
permukaan virus. Kebijakan imunisasi hepatitis A lebih bersifat individual dan diberikan pada
anak berusia ≥2 tahun.7

9
Tabel 3. Kandidat Vaksinasi HVA3
Kandidat vaksinasi HVA
Imunisasi rutin Anak di daerah endemis HVA atau daerah dengan wabah
periodik
Risiko tinggi HVA  Staf bangsal neonatologi
 Pasien yang memerlukan konsentrat faktor VIII
 Staf TPA, staf dan penghuni institusi untuk cacat
mental
 Pekerja dengan primata
 Pelancong ke daerah endemis yang belum
mempunyai kekebalan terhadap HVA
 Kontak dengan kelompok yang berisiko
 Pria homoseksual dengan pasangan ganda
 IVDU
Risiko hepatitis fulminan Pasien penyakit hati kronis
Risiko menularkan HVA Penyaji makanan, anak usia 2-3 tahun di TPA

Vaksin dibuat dari virus yang dimatikan (inactivated vaccine). Dosis vaksin bervariasi
tergantung produk dan usia resipien.
 Monovalen
o Anak ≥ 2 tahun: 720 IU
o Dewasa: 1440 IU
 Kombinasi Hep A dan B: >1 tahun
 Kombinasi Hep A dan tifoid: 2 tahun
Vaksin diberikan 2 kali, suntikan kedua atau booster diberikan antara 6 - 18 bulan setelah
dosis pertama, tergantung produk. Vaksin hepatitis A terbukti imunogenisitasnya baik.
Diperkirakan anti-HAV protektif menetap selama > 20 tahun. Proteksi jangka panjang terjadi
akibat antibodi protektif yang menetap atau akibat anamnestic boosting infeksi alamiah.
Pemberian vaksin VHA bersamaan dengan vaksin lain (hepatitis B, tifoid) tidak mengganggu
respons imun masing-masing vaksin dan tidak meningkatkan frekuensi efek samping. Vaksin
VHA tidak boleh diberikan pada individu yang mengalami reaksi berat sesudah penyuntikan
dosis pertama. 7
Vaksin HVA aman dan jarang menimbulkan efek samping. Reaksi lokal merupakan efek
samping tersering (21-54%) tetapi umumnya ringan. Demam dialami 4% resipien.7
II. HEPATITIS B
a. Virologi
Virus hepatitis B (HBV) manusia termasuk golongan hepadnavirus tipe 1 dan merupakan
virus hepadna yang pertama kali ditemukan. Hepadnavirus juga ditemukan pada marmut,

10
tupai, dan bebek; tetapi virus yang menginfeksi binatang tersebut tidak dapat menular pada
manusia. Selain manusia, Human HBV juga dapat menginfeksi simpanse. Virus hepatotropik
ini mengandung DNA dengan cincin ganda sirkular yang terdiri dari 3200 nuklotida dengan
diameter 42 nm dan terdiri dari 4 gen. HBV dapat ditemukan dalam 3 komponen yaitu
partikel lengkap berdiameter 42 nm, partikel bulat berdiameter 22 nm, dan partikel batang
dengan lebar 22 nm dengan panjang bervariasi sampai 200 nm. Pada sirkulasi, komponen
terbanyak adalah bentuk bulat dan batang yang terdiri atas protein, cairan, dan karbohidrat
yang membentuk hepatitis B surface antigen (HbsAg) dan antigen pre-S. Bagian dalam dari
virion adalah core. Core dibentuk oleh selubung hepatitis B core antigen (HbcAg) yang
membungkus DNA, DNA polimerase, transkriptase, dan protein kinase untuk replikasi virus.
Komponen antigen yang terdapat dalam core adalah hepatitis B e antigen (HbeAg). Antigen
ini menjadi petunjuk adanya replikasi virus yang terjadi pada limfosit, limpa, ginjal,
pankreas, dan terutama hati. HbeAg merupakan petanda tak langsung derajat beratnya
infeksi. Masa inkubasi HBV 60-90 hari.1,2

b. Epidemiologi
WHO memperkirakan adanya 400 juta orang sebagai pengidap HBV pada tahun 2000.
Pola prevalensi hepatitis B dibagi menjadi 3 golongan yaitu prevalensi rendah (HbsAg 0,2-
0,5% dan anti-HBs 4-6%), prevalensi sedang (HbsAg 2-7% dan anti-HBs 20-55%), dan
prevalensi tinggi (HbsAg 7-20% dan anti-HBs 70-95%). Di negara maju seperti Inggris,
Amerika Serikat, dan negara-negara Skandinavia prevalensi HbsAg bervariasi antara 0,1%-
0,2% sedangkan di Afrika dan Timur 10%-15%. Pada komunitas terisolasi seperti orang
Eskimo di Alaska prevalensi dapat mencapai 45% dan Aborigin di Australia mencapai 85%.2
Pada ibu yang melahirkan dengan HbeAg (+), bayi memiliki risiko tertular sebesar 90%,
sedangkan bila hanya HbsAg (+) maka risikonya 10% apabila tidak dilakukan tindakan
imunoprofilaksis. 90% bayi yang tertular akan berkembang menjadi infeksi kronis dan 25%
akan meninggal karena penyakit hati kronis.2
HBV tidak selalu didapatkan dalam ASI, namun yang dikhawatirkan adalah luka pada
puting susu sehingga bayi menelan ASI yang mengandung darah dan HBV.2
c. Patofisiologi
Virus hepatitis B merupakan virus nonsitopatik dan menyebabkan kerusakan jaringan
melalui reaksi imunologis. Beratnya kerusakan jaringan hati menggambarkan derajat
respons imunologis. Langkah pertama dalam proses hepatitis akut adalah infeksi hepatosit
oleh HBV, menyebabkan munculnya antigen virus pada permukaan sel. Yang paling penting

11
dari antigen virus ini adalah antigen nukleokapsid, HBcAg dan HBeAg, pecahan produk
HBcAg. Antigen-antigen ini, bersama dengan Protein histokompatibilitas (MHC) mayor
kelas I, membuat sel suatu sasaran untuk melisis sel-T sitotoksis. 1,2
Antigen tersebut akan bergabung dengan class I major histocompatibility complex (MHC
I) dan menjadi target dari sel T sitotoksik (CTL) untuk terjadinya proses lisis. Partikel virus
yang tidak utuh dan berasal dari sel yang lisis tidak menimbulkan infeksi, sedangkan virus
utuh yang keluar akan dinetralisir oleh antibodi penetral. Untuk memungkinkan hepatosit
terus terinfeksi, protein core atau protein MHC kelas I tidak dapat dikenali, limfosit sitotoksik
tidak dapat diaktifkan, atau beberapa mekanisme lain yang belum diketahui dapat
mengganggu penghancuran hepatosit. Agar infeksi dari sel ke sel berlanjut, beberapa
hepatosit yang sedang mengandung virus harus bertahan hidup. Mekanisme imunologis juga
berperan pada manifestasi ekstrahepatik. Kompleks imun yang mengandung HbsAg dapat
menimbulkan poliarteritis nodosa, glomerulonefritis membranosa, polimialgia, vaskulitis, dan
sindroma Guillain-Barre. 1,2
Mekanisme timbulnya infeksi kronis mungkin disebabkan oleh gangguan imunologis
yang menyebabkan gangguan produksi anti-HBs karena pada pasien Hepatitis B kronik anti-
HBs tidak lagi terdeteksi; sehingga HbcAg dan MCH I tidak dapat dieksposisi pada
permukaan sel, atau sel T sitotoksik tidak teraktivasi. Anak laki-laki lebih mudah mengalami
infeksi kronis daripada anak perempuan. Selain itu umur timbulnya infeksi sangat
berpengaruh terhadap kejadian infeksi kronis. Infeksi HBV < 3 tahun lebih sering
menimbulkan hepatitis kronis daripada infeksi >umur 3 tahun. 2
Mutasi HBV lebih sering daripada untuk virus DNA biasa, dan sederatan strain mutan
telah dikenali. Yang paling penting adalah mutan yang menyebabkan kegagalan
mengekspresikan HBeAg dan telah dihubungkan dengan perkembangan hepatitis berat dan
mungkin eksaserbasi infeksi HBV kronis yang lebih berat. 2
d. Gejala Klinis
- Hepatitis akut
Manifestasi klinis infeksi HBV cenderung ringan. Kondisi asimtomatis ini terbukti dari
tingginya angka pengidap tanpa adanya riwayat hepatitis akut. Apabila menimbulkan gejala
hepatitis, gejalanya menyerupai hepatitis virus lain tetapi dengan intensitas yang lebih berat.
Gejala yang muncul terdiri atas gejala seperti flu dengan malaise, lelah, anoreksia, mual dan
muntah, timbul kuning atau ikterus dan pembesaran hati; dan berakhir setelah 6-8 minggu.
Dari pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan kadar ALT dan AST sebelum
timbulnya gejala klinis, yaitu 6-7 minggu setelah terinfeksi. Pada beberapa kasus dapat

12
didahului gejala seperti serum sickness, yaitu nyeri sendi dan lesi kulit (urtikaria, purpura,
makula dan makulopapular). Ikterus terdapat pada 25% penderita, biasanya mulai timbul saat
8 minggu setelah infeksi dan berlangsung selama 4 minggu. Gejala klinis ini jarang terjadi
pada neonatus, 10% pada anak dibawah umur 4 tahun, dan 30% pada dewasa. Sebagian besar
penderita hepatitis B simtomatis akan sembuh tetapi dapat menjadi kronis pada 10% dewasa,
25% anak, dan 80% bayi. 2
Pada pemeriksaan fisik, kulit dan membrana mukosa adalah ikterik, terutama sklera dan
mukosa dibawah lidah. Hati biasanya membesar dan nyeri pada palpasi. Bila hati tidak dapat
teraba dibawah tepi kosta, nyeri dapat diperagakan dengan memukul iga dengan lembut
diatas hati dengan tinju menggenggam. Sering ada splenomegali dan limfadenopati.2
- Hepatitis kronis
Definisi hepatitis kronis adalah terdapatnya peningkatan kadar aminotransferase atau
HbsAg dalam serum, minimal selama 6 bulan. Perubahan histologis yang menetap pada
penderita dengan hepatitis B, C, atau D menunjukkan perkembangan penyakit kronis.
Sebagian besar penderita hepatitis kronis adalah asimtomatis atau bergejala ringan dan tidak
spesifik. Peningkatan kadar aminotransferase serum (bervariasi mulai dari minimal sampai 20
kali nilai normal) menunjukkan adanya kerusakan jaringan hati yang berlanjut. Fluktuasi
kadar aminotransferase serum mempunyai korelasi dengan respons imun terhadap HBV. Pada
saat kadar aminotransferase serum meningkat dapat timbul gejala klinis hepatitis dan IgM
anti-HBc. Namun gejala klinis ini tidak berhubungan langsung dengan beratnya penyakit,
tingginya kadar aminotransferase serum, atau kerusakan jaringan hati pada biopsi. Pada
penderita hepatitis kronis-aktif yang berat (pada pemeriksaan histopatologis didapatkan
bridging necrosis), 50% diantaranya akan berkembang menjadi sirosis hati setelah 4 tahun,
sedangkan penderita hepatitis kronis-aktif sedang akan menjadi sirosis setelah 6 tahun.
Kecepatan terjadinya sirosis mungkin berhubungan dengan beratnya nekrosis jaringan hati
yang dapat berubah dari waktu ke waktu sehingga untuk melakukan perkiraan kapan
timbulnya sirosis pada individu sukar untuk ditentukan.1,2
- Gagal hati fulminan
Gagal hati fulminan terjadi pada tidak lebih dari 1% penderita hepatitis B akut
simtomatik. Gagal hari fulminan ditandai dengan timbulnya ensefalopati hepatikum dalam
beberapa minggu setelah munculnya gejala pertama hepatitis, disertai ikterus, gangguan
pembekuan, dan peningkatan kadar aminotransferase serum hingga ribuan unit. Hal ini
mungkin disebabkan oleh adanya reaksi imunologis yang berlebihan dan menyebabkan
nekrosis jaringan hati yang luas.

13
- Pengidap sehat
Pada golongan ini tidak didapatkan gejala penyakit hati dan kadar aminotransferase
serum berada dalam batas normal. Dalam hal ini terjadi toleransi imunologis sehingga tidak
terjadi kerusakan pada jaringan hati. Kondisi ini sering terjadi pada bayi di daerah endemik
yang terinfeksi secara vertikal dari ibunya. Prognosis bagi pengidap sehat adalah: (1)
membaik (antiHbe positif) sebesar 10% setiap tahun, (2) menderita sirosis pada umur diatas
30 tahun sebesar 1%, (3) menderita karsinoma hati kurang dari 1%.2
e. Diagnosis
Dasar diagnosis hepatitis B adalah diagnosis klinis dan serologis. Pada saat awal infeksi
HBV terjadi toleransi imunologis, dimana virus masuk ke dalam sel hati melalui aliran darah
dan dapat melakukan replikasi tanpa adanya kerusakan jaringan hati dan tanpa gejala klinis.
Pada saat ini DNA HBV, HbsAg, HbeAg, dan anti-HBc terdeteksi dalam serum. Keadaan ini
berlangsung terus selama bertahun-tahun terutama pada neonatus dan anak yang dinamakan
sebagai pengidap sehat. Pada tahap selanjutnya terjadi reaksi imunologis dengan akibat
kerusakan sel hari yang terinfeksi. Pada akhirnya penderita dapat sembuh atau berkembang
menjadi hepatitis kronis. 2
Tabel 4. Penanda Serologis Infeksi HBV1
Antigen Interpretasi Bentuk Klinis
HBsAg Sedang infeksi Hepatitis akut, hepatitis
kornis, penanda kronis
HBeAg Proses replikasi dan sangat Hepatitis akut, hepatitis
menular kronis
Antibodi
Anti HBs Resolusi infeksi Kekebalan
Anti HBc total Sedang infeksi / pernah Hepatitis akut, hepatitis
infeksi kronis, penanda kronis,
kekebalan
IgM anti HBc Infeksi akut atau infeksi Hepatitis akut, hepatitis
kronis yang kambuh kronis
Anti Hbe Penurunan aktivitas replikasi Penanda kronis, kekebalan
Pemeriksaan Molekular
PCR DNA HBV Infeksi HBV Hepatitis akut, hepatitis
kronis, penanda kronis
Hibridisasi DNA HBV Replikasi aktif dan sangat Hepatitis akut, hepatitis
menular kronis

f. Pengobatan

14
Pada hepatitis virus akut, sebagian besar kasus akan sembuh dan sebagian kecil menjadi
kronis. Prinsipnya adalah suportif dan pemantauan gejala penyakit. Pasien dirawat bila ada
dehidrasi berat dengan kesulitan masukan per oral, kadar SGOT-SGPT > 10 kali nilai normal,
atau bila ada kecurigaan hepatitis fulminan. Namun tidak demikian pada neonatus, bayi, dan
anak dibawah 3 tahun dimana infeksi HBV tidak menimbulkan gejala klinis hepatitis akut
dan sebagian besar (80%) akan menjadi kronis. Pengobatan hepatitis B kronis merupakan
masalah yang sulit; sampai saat ini hasilnya tidak memuaskan, terutama pada anak. Tujuan
pengobatan hepatitis B kronis adalah penyembuhan total dari infeksi HBV sehingga virus
tersebut dieliminasi dari tubuh dan kerusakan yang ditimbulkan oleh reaksi imunologis
didalam hati terutama sirosis serta komplikasinya dapat dicegah. Hanya penderita dengan
replikasi aktif (ditandai dengan HbeAg dan DNA HBV serum positif) dan hepatitis kronis
dengan peningkatan kadar aminotransferase serum yang akan memberikan hasil baik
terhadap pengobatan. 2
1. Interferon alfa
Pengobatan dengan interferon-alfa-2b (IFN-a2b) adalah pengobatan standar untuk
penderita hepatitis B kronis dengan gejala dekompensasi hati (asites, ensefalopati,
koagulopati, dan hipoalbuminemia) dengan penanda replikasi aktif (HbeAg dan DNA HBV)
serta peningkatan kadar aminotransferase serum. Kontraindikasi penggunaan interferon
adalah neutropenia, trombositopenia, gangguan jiwa, adiksi terdahap alkohol, dan
penyalahgunaan obat. Dosis interferon adalah 3 MU/m3 secara subkutan tiga kali dalam
seminggu, diberikan selama 16 minggu.2
Efek samping interferon dapat berupa efek sistemik, autoimun, hematologis, imunologis,
nerologis, dan psikologis. Efek sistemik dapat berupa lelah, panas, nyeri kepala, nyeri otot,
nyeri sendi, anoreksia, penurunan berat badan, mual, muntah, diare, nyeri perut, dan rambut
rontok. Efek autoimun ditandai dengan timbulnya auto-antibodi, antibodi anti-interferon,
hipertiroidisme, diabetes, anemia hemolitik, dan purpura trombositopenik. Efek hematologis
berupa penurunan jumlah trombosit, jumlah sel darah putih dan kadar hemoglobin. Efek
imunologis berupa mudah terkena infeksi bakterial seperti bronkitis, sinusitis, abses kulit,
infeksi saluran kemih, peritonitis, dan sepsis. Efek nerologis berupa kesulitan konsentrasi,
kurang motivasi, gangguan tidur, delirium dan disorientasi, kejang, koma, penurunan
pendengaran, tinitus, vertigo, penurunan penglihatan, dan perdarahan retina. Sedangkan efek
psikologis berupa gelisah, iritabel, depresi, paranoid, penurunan libido, dan usaha bunuh diri.2
Penderita yang mendapat pengobatan interferon harus dievaluasi secara klinis dan
laboratoris (ALT dan AST, albumin, bilirubin, pemeriksaan darah tepi) setiap 4 minggu

15
selama pengobatan. Pemeriksaan HbsAg, HbeAg, dan DNA HBV dilakukan pada saat mulai,
selesai pengobatan dan 6 bulan paska pengobatan. Dosis interferon harus diturunkan atau
pengobatan dihentikan apabila didapatkan gejala dekompensasi hati, depresi sumsum tulang,
depresi kejiwaan berat, dan efek samping yang berat. Antara 10-40% penderita memerlukan
pengurangan dosis, dan 5-10% pengobatan harus dihentikan. Sekitar 2% timbul efek samping
berat termasuk infeksi bakteri, penyakit autoimun, depresi kejiwaan berat , kejang, gagal
jantung, gagal ginjal, dan pneumonia.2
Keberhasilan pengobatan dipengaruhi oleh tingginya kadar transaminase serum, relatif
rendahnya kadar DNA HBV serum, jenis kelamin perempuan, tidak berasal dari Asia, serta
adanya gambaran hepatitis kronis-aktif pada biopsi. Dari beberapa penelitian didapatkan 46%
penderita yang diobati mengalami serokonversi dengan timbulnya antibodi anti-Hbe dan 8%
dengan timbulnya antibodi anti-HBs. Timbulnya anti-Hbe dan hilangnya DNA HBV
menurunkan kejadian gagal hati dan angka kematian. Relaps terjadi pada 14% penderita pada
tahun pertama setelah pengobatan.
2. Analog nukleosida
Lamivudin, famsiklovir, dan adefovir adalah golongan nukleosida yang menghambat
replikasi HBV. Lamivudin efektif dan kurang menimbulkan efek samping daripada
interferon. Dosisnya 3 mg/kgBB sekali sehari selama 52 minggu atau 1 tahun. Terjadi
perbaikan gambaran histologis pada 52-67% kasus, sedangkan hilangnya HbeAg dan
timbulnya anti-Hbe sebesar 17-18%. Penelitian pada anak menunjukkan serokonversi HbeAg
menjadi anti-Hbe sebesar 23%. Pada penderita dekompensasi hati, lamivudin memperbaiki
skor Child-Pugh.2
Lamivudin adalah obat utama untuk penderita dengan replikasi aktif dan peningkatan
kadar aminotransferase serum dengan spesifikasi: kontraindikasi penggunaan interferon
terutama penderita yang mengalami dekompensasi hati. Penderita dengan mutasi precore
HBV mendapat imunosupresif dalam jangka lama dan kemoterapi. Pada penderita yang
mengalami kegagalan pengobatan dengan interferon dapat diberikan lamivudin. Apabila
dengan pemberian lamivudin terjadi mutasi YMDD pada HBV, maka dapat diberikan
adefovir atau gansiklovir. Penggunaan lamivudin pada anak selama 52 minggu dengan dosis
3 mg/kgBB memberi respons yang signifikan terhadap virus. Kombinasi terapi antara
interferon dengan lamivudine tidak lebih baik dibandingkan pengobatan dengan lamivudine
saja.2
g. Pencegahan
 Pencegahan Umum.

16
Meliputi uji tapis donor darah, upaya pencegahan umum mencakup sterilisasi instrumen
kesehatan, alat dialisis individual, membuang jarum disposable ke tempat khusus, dan
pemakaian sarung tangan oleh tenaga medis.7
Uji saring pravaksinasi dianjurkan pada kelompok khusus berisiko tinggi termasuk
pengguna obat secara intravena, homoseksual, multiple sex partner, dan kontak erat dengan
penderita HBV. Hasil uji saring sangat bervariasi antara 0,1-20% dengan anti-HBc positif dan
80% dari mereka memberi respons positif terhadap vaksinasi. Hal ini menyebabkan
direkomendasikannya vaksinasi hanya untuk penderita dengan anti-HBc positif. Bayi baru
lahir dengan risiko rendah (ibu HbsAg negatif saat melahirkan) dan anak-anak di luar Asia
atau Kepulauan Pasifik tidak memerlukan uji saring dan imunisasi dapat diselesaikan dalam
waktu 6-1 bulan.2
Secara luas, dalam program vaksinasi tidak dilakukan pemeriksaan paska vaksinasi.
Pemeriksaan ini biasanya hanya dilakukan pada pekerja kesehatan dengan risiko tinggi
tertular melalui darah maupun cairan tubuh. Pemeriksaan paska vaksinasi dilakukan satu atau
dua bulan setelah suntikan ketiga. Pada bayi dengan ibu HbsAg positif yang telah divaksinasi
sebaiknya dilakukan pemeriksaan penanda infeksi HBV pada umur 12 bulan.2
Untuk nonresponder dilakukan vaksinasi ulangan dengan 3 kali suntikan. Biasanya
setengah dari mereka akan mencapai kadar seroprotektif. Bagi yang anti-HBs nya tidak
muncul atau anti-HBs <10mlU/ml, tampaknya tidak akan memberikan hasil yang memuaskan
walaupun dilakukan penggantian jenis vaksin. Untuk masa mendatang, bagi para
nonresponder ini dapat dilakukan: (1) pemberian vaksin yang mengandung pre-S2 HbsAg,
(2) pemberian vaksin HBV bersama-sama T-helper cell peptide, (3) pemberian kombinasi
HbsAg dengan HbcAg, atau (4) transfer limfosit dari responder. Untuk penderita dengan
dialysis yang respon imunologisnya sangat rendah, hal diatas kurang bermanfaat. Sebaiknya
para penderita penyakit ginjal diberi vaksinasi sebelum penyakitnya lanjut dan menjalani
dialisis.2
Mencakup juga penyuluhan perihal safe sex, penggunaan jarum suntik disposable,
mencegah kontak mikrolesi (pemakaian sikat gigi, sisir), menutup luka. Selain itu, idealnya
skrining ibu hamil (trimester ke 1 dan ke 3 terutama ibu risiko tinggi) dan skrining populasi
risiko tinggi (lahir di daerah hiperendemis dan belum pernah imunisasi, homo-heteroseksual,
pasangan seks ganda, tenaga medis, pasien dialisis, keluarga pasien VHB, kontak seksual
dengan pasien VHB).7
 Pencegahan Khusus.

17
Cakupan imunisasi hepatitis B di Indonesia pada anak usia 12 - 23 bulan sebesar 62,8%.
Walaupun cakupan masih rendah, tetapi secara bermakna dapat menurunkan angka kesakitan
hepatits B baik akut maupun kronik. Hepatitis B di kalangan anak-anak dan remaja telah
berkurang hingga lebih dari 95% dan hingga 75% pada dewasa. Pemberian ketiga dosis
vaksin hep. B dengan jumlah dosis sesuai rekomendasi, akan menyebabkan terbentuknya
respons protektif (anti HBs ≥ 10 mlU/mL) pada > 90% dewasa, bayi, anak dan remaja.
Vaksin diberikan secara intramuskular dalam. Pada neonatus dan bayi diberikan anteroIateral
paha sedangkan pada anak besar dari dewasa diberikan di regio deltoid.7
Indikasi7
• Semua bayi baru lahir tanpa memandang status VHB ibu
• Individu yang karena pekerjaannya berisiko tertular VHB
• Karyawan di lembaga perawatan cacat mental
• Pasien hemodialisis
• Pasien koagulopati yang membutuhkan transfusi berulang
• Individu yang serumah dengan pengidap VHB atau kontak akibat hubungan seksual
• Drug users
• Homosexuals
Pada dasarnya, jadwal imunisasi hepatitis B sangat fleksibel sehingga tersedia berbagai
pilihan untuk menyatukannya ke dalam program imunisasi terpadu. Namun demikian ada
beberapa hal yang perlu diingat: 7
• Imunisasi minimal diberikan 3 kali
• Imunisasi pertama diberikan segera setelah lahir
• Jadwal imunisasi yang dianjurkan adalah 0,1,6 bulan karena respons antibodi paling
optimal
• Interval antara dosis pertama dan dosis kedua minimal 1 bulan. Memperpanjang
interval antara dosis pertama dan kedua tidak akan mempengaruhi imunogenisitas
atau titer antibodi sesudah imunisasi selesai (dosis ketiga).
• Dosis ketiga merupakan penentu respons antibodi karena merupakan dosis booster.
Semakin panjang jarak antara imunisasi kedua dengan imunisasi ketiga (4-12 bulan),
semakin tinggi titier antibodinya.
• Bila sesudah dosis pertama, imunisasi terputus, segera berikan imunisasi kedua.
Sedangkan imunisasi ketiga diberikan dengan jarak terpendek 2 bulan dari imunisasi
kedua.
• Bila dosis ketiga terlambat, diberikan segera setelah memungkinkan
• Pada anak yang berumur antara 6 minggu - 2 tahun dapat diberikan kombinasi vaksin
pentavalen (DTwP-HiB-Hep.B) atau hexavalen (DTaP-HiB-IPV-Hep.B)
• Vaksin kombinasi Hepatitis A dan B (catch-up immunization) dapat diberikan pada
anak berumur 18 bulan atau lebih, dengan jadwal 0,1,6 bulan.

18
• Pasien hemodialisis membutuhkan dosis yang lebih besar atau penambahan jumlah
suntikan.
Tabel 5. Imunisasi hepatitis B pada Bayi Baru Lahir3
HBsAg Ibu Imunisasi Keterangan
Positif HBIg (0,5ml) & Vaksin Hep Dosis I: <12 jam pertama,
B setelah pemberian vit.K
Negatif atau tidak Vaksin hep B Dosis I: Segera setelah lahir
diketahui Status HBV ibu semua tidak
diketahui, tetapi bila dalam 7
hari terbukti ibu HBV, segera
beri HBIg

Untuk pencegahan penularan secara vertikal pada masa perinatal, terhadap seorang ibu
yang melahirkan dengan HbsAg positif dengan atau tanpa adanya HbeAg, maka kepada
bayinya diberikan vaksinasi pasif HBIg dan vaksinasi aktif. Pemberian HBIg saja tanpa
vaksinasi aktif hanya memberi perlindungan selama 6 bulan sehingga masih memungkinkan
terjadinya infeksi HBV. Faktor yang berpengaruh dalam reaksi imunologis adalah dosis
vaksin, umur, dan kondisi imunologis. Sebaiknya diberikan dosis sesuai dengan rekomendasi
yaitu antara 5-10 mcg. Bila dosis dikurangi maka milai titer antibodi juga turun. Lebih tua
umur, serokonversi makin berkurang. Biasanya nonresponder terdapat pada mereka yang
mengalami gangguan imunitas. Kadang terjadi nonresponder palsu karena kesalahan tempat
penyuntikan yaitu masuk ke subkutan bukan ke otot. 2
Imunisasi Pasif
Hepatitis B imunoglobulin (HBIg) dalam waktu singkat segera memberikan proteksi
meskipun hanya untuk jangka pendek 3-6 bulan. HBIg hanya diberikan pada kondisi pasca
paparan virus, hepatitis B (bayi dari ibu VHB), needle stick injury, kontak seksual, terciprat
darah ke mukosa atau ke mata. Sebaiknya HBIg diberikan bersama vaksin VHB sehingga
proteksinya berlangsung lama.7,8
Pada bayi dan ibu VHB, HBIg (0,5 ml) diberikan bersama vaksin di sisi tubuh berbeda,
dalam waktu 12 jam setelah lahir. Efektivitas proteksinya (85-95%) dalam mencegah infeksi
VHB dan kronisitas. Apabila yang diberikan hanya vaksin VHB, tingkat efektivitasnya
75%.7,8

19
Bayi prematur, termasuk bayi berat lahir rendah, tetap dianjurkan untuk diberikan
imunisasi, 6 sesuai dengan umur kronologisnya dengan dosis dan jadwal yang sama dengan
bayi cukup bulan.8
Pemberian vaksin HB pada bayi prematur dapat juga dilakukan dengan cara di bawah
ini:8
1. Bayi prematur dengan ibu HBsAg positif harus diberikan imunisasi HB bersamaan
dengan HBIG pada 2 tempat yang berlainan dalam waktu 12 jam. Dosis ke-2
diberikan 1 bulan kemudian, dosis ke- 3 dan ke-4 diberikan umur 6 dan 12 bulan.
2. Bayi prematur dengan ibu HBsAg negatif pemberian imunisasi dapat dengan :
a. Dosis pertama saat lahir, ke-2 diberikan pada umur 2 bulan, ke-3 dan ke-4
diberikan pada umur 6 dan 12 bulan. Titer anti Hbs diperiksa setelah imunisasi ke-4.

b. Dosis pertama diberikan saat bayi sudah mencapai berat badan 2000 gram atau
sekitar umur 2 bulan. Vaksinasi HB pertama dapat diberikan bersama-sama DPT,
OPV (IPV) dan Haemophylus influenzae B (Hib). Dosis ke-2 diberikan 1 bulan
kemudian dan dosis ke-3 pada umur 8 bulan. Titer antibodi diperiksa setelah
imunisasi ke-3.
Catch up immunization. Merupakan upaya imunisasi pada anak atau remaja yang
belum pernah diimunisasi atau terlambat > 1 bulan dari jadwal yang seharusnya. Khusus pada
imunisasi hepatitis B, imunisasi catch up ini diberikan dengan interval minimal 4 minggu
antara dosis pertama dan kedua, sedangkan interval antara dosis kedua dan ketiga minimal 8
minggu atau 16 minggu sesudah dosis pertama7
Efektivitas dan lama proteksi vaksin dalam mencegah infeksi VHB adalah 90-95%.
Memori sistem imun menetap minimal sampai 15 tahun pasca imunisasi namun secara
teoritis menetap seumur hidup sehingga pada anak normal, tidak diperlukan untuk imunisasi
booster.7
Pada pasien hemodialisis, proteksi vaksin tidak sebaik individu normal dan mungkin
hanya berlangsung selama titer anti HBs >=10 mlU/ml. Pada kelompok ini dianjurkan untuk
melakukan pemeriksaan anti-HBs setiap tahun dan booster diberikan bila anti- HBs turun
menjadi <10 mIU/mL.7
Non responder. Mereka yang tidak memberikan respons terhadap imunisasi primer,
diberikan vaksinasi tambahan. Tambahan satu kali vaksinasi menyebabkan 15-25% non
responder memberikan respons antibodi yang adekuat. Bila vaksinasi diulang 3 kali, sampai
dengan 40% dapat membentuk antibodi yang adekuat. Bila sesudah 3 kali vaksinasi

20
tambahan tidak terjadi serokonversi, dapat dipertimbangkan untuk pemberian vaksin hepatitis
B dosis ganda.7
Uji serologis. Pada bayi-anak, pemeriksaan anti-HBs pra dan pasca imunisasi tidak
dianjurkan. Uji serologis pra imunisasi hanya dilakukan pada yang akan memperoleh
profilaksis pasca paparan dan individu berisiko tinggi tertular infeksi HBV. Uji serologi pasca
imunisasi perlu dilakukan pada bayi dan ibu pengidap VHB, individu yang memperoleh
profilaksis pasca paparan, dan pasien imunokompromais. Uji serologis pasca imunisasi ini
dilakukan 1-2 bulan sesudah imunisasi HB lengkap.7
Reaksi KIPI. Efek samping yang terjadi umumnya berupa reaksi lokal yang ringan dan
bersifat sementara. Kadang-kadang dapat menimbulkan demam ringan untuk 1-2 hari.7
Kontra indikasi absolut vaksin hepatitis B adalah riwayat anafilaksis setelah vaksinasi
hepatitis B sebelumnya, terhadap komponen vaksin seperti yeast. Ikterus, kehamilan, dan
laktasi bukan indikasi kontra imunisasi VHB.7
III. Hepatitis C
Hepatitis C adalah penyakit hati yang serius yang disebabkan oleh infeksi dari Hepatitis C
virus (HCV). Biasanya hepatitis C disebut dengan silent disease karena seseorang bisa
terinfeksi dan tidak mengetahuinya. Beberapa orang bisa tidak bergejala, dan sembuh, tapi
kebanyakan orang mendapatkan infeksi yang berkembang menjadi keronik ataupun infeksi
seumur hidup. Kronik hepatitis C ini bisa menjadi masalah serius yang menyerang hati
menjadi gagal hati, dan sampai menjadi kanker hati.9,10
a. Virologi
HCV merupakan virus RNA dengan genom positif, termasuk famili Flaviviridae dan
Pestivirus karena organisasi genetikanya yang saling menyerupai. HCV berdiameter 30-
60nm, dengan panjang 9,4 kb atau 9413 nukleotida, mempunyai suatu open reading frame
(ORF) dapat melakukan mengkode suatu protein yang tersusun atas 3010 asam amino.2
Saat ini telah ditemukan 6 group HCV dengan 11 subtipe dan isolat yang sangat banyak,
terdiri dari 4 genotipe. Pemberian tatanama HCV adalah dengan cara membandingkan
persentase kesamaan nukleotida. Dikatakan adanya group atau tipe baru apabila terdapat
kesamaan susunan nukleotida kurang dari 72% daripada tipe atau group yang telah
diketahui.2
Heterogenitas tersebut merupakan akibat dari mutasi selama proses replikasi, yang
merupakan mekanisme untuk menghindarkan diri dari sistem kekebalan tubuh sehingga
infeksi dapat terus terjadi. Ini berarti bahwa dalam tubuh seseorang penderita HCV dapat
ditemukan virus-virus yang berbeda susunan nukleotidanya. Masa inkubasi virus ini 30-60

21
hari. 2
Akibat dari heterogenitas tersebut adalah: 2
1. HCV mempunyai kemampuan untuk menghindarkan diri dari respon imunologis
menyebabkan kurangnya daya proteksi dan terjadinya persistensi virus.
2. Mempengaruhi patogenesis perjalanan penyakit, seperti genotipe I dan infeksi dengan
beberapa quasispecies menyebabkan penyakit hati yang berat.
3. Kemampuan host dalam hal respons terhadap pengobatan anti virus adalah rendah
seperti pada genotipe 1 dan 4.
4. Kesulitan menentukan region yang dipakai sebagai target dalam tes diagnosis.
5. Kesulitan dalam pembuatan vaksin karena respons imun diduga sangat spesifik
terhadap tipe.
b. Epidemiologi
Di Indonesia prevalensi HCV sangat bervariasi, sekitar 0,5% sampai 3,37%. Dari
pemeriksaan darah donor di kota-kota, yaitu Jakarta sebesar 2,5%, Surabaya 2,3%, Medan
1,5%, Bandung 2,7%, Yogyakarta 1%, Bali 13%, Mataram 0,5%, Manado 3,0%, Makassar
1,0%,dan Banjarmasin 1,0%.2
Secara umum, angka tertinggi prevalensi anti HCV didapatkan ada mereka yang
menggunakan obat bius dengan suntikan dan penerima transfusi berulang (antara 60-90%).
Pada pasien yang hemodialisis (20%) dan angka yang rendah pada kontak seksual (1-10%).
Penularan melalui transfusi darah, penggunaan obat-obatan intravena, hemodialisa,
tertusuk jarum suntik, tattoo, dan hubungan seksual lebih banyak pada orang dewasa.
Sedangkan pada anak biasanya disebabkan karena adanya penularan secara vertikal melalui
plasenta.2
Pada bayi yang lahir dari ibu dengan anti HCV (+), didapatkan angka 5%. Bila ibu
menderita HIV disertai dengan HCV, maka kemungkinan tertular akan lebih besar yaitu 14%.
Kemungkinan penularan in-utero dibuktikan dengan ditemukannya viremia pada bayi baru
lahir. Tetapi viremia mungkin saja tidak terjadi pada waktu lahir; dalam hal ini apabila
seorang bayi dicurigai tertular HCV maka sebaiknya uji anti HCV dilakukan pada usia 15
bulan dimana antibodi ibu sudah sangat turun. Selain pemeriksaan anti HCV, pemeriksaan
fungsi hati juga penting pada bayi walaupun RNA HCV negatif waktu lahir, tetapi bila terjadi
peningkatan hasil uji fungsi hati, yaitu ALT setelah umur 3 bulan, diduga kuat bahwa bayi
tersebut tertular secara perinatal. Gejala klinis hepatitis akan terlihat pada usia diatas 3 bulan,
apabila bayi berumur 3 - 18 bulan tidak terjadi gejala hepatitis, maka kemungkinan tidak
terjadi penularan secara perinatal.2

c. Patofisiologi

22
HCV mempunyai kemampuan menimbulkan infeksi kronis yang tergantung pada infeksi
non-sitopatik terhadap sel hati dan respons imunologis dari host. Seperti pada infeksi virus
lainnya, eradikasi HCV melibatkan antibodi penetral (neutralising antibodies) terhadap virus
yang beredar dalam sirkulasi dan aktivasi sel T sitotoksik untuk merusak sel yang terinfeksi
dan menghambat replikasi intraseluler melalui pelepasan sitokin. HCV dapat menghindar dari
aktivitas antibodi penetral dengan cara mutasi komposisi antigeniknya. Mekanisme ini dapat
menyebabkan timbulnya kuasi spesies (quasi-species) yakni dalam sirkulasi seorang
penderita terdapat virus yang homogen tetapi mempunyai variasi imunologis yang
menyebabkan efikasi dari antobodi penetral turun. HCV mungkin juga menurunkan respons
imun antivirus dengan cara infeksi langsung pada sel limfoid dan menggangu produksi
interferon. Kerusakan hepatoselular masih menjadi pertanyaan. Diduga terjadi melalui efek
sitopatik dengan ditemukannya perubahan degeneratif yang disertai infiltrasi sel radang.
Genotip HCV 1b mungkin lebih bersifat sitopatik daripada genotip lain. Mekanisme
sitotoksisitas yang diperantarai sel diduga juga berperan dalam kerusakan sel hati, yang
ditunjukkan dengan ditemukannya sel T sitotoksik yang bereaksi dengan HLA kelas 1 dan
core beserta antigen envelope HCV pada serum penderita HCV kronis. Infeksi HCV juga
berhubungan dengan gangguan imunologis seperti vaskulitis, glomerulonefritis, artritis, dan
tiroiditis. Kejadian ini tergantung pada lamanya stimulasi virus terhadap sistem imun yang
menyebabkan timbulnya reaksi antibodi monoklonal dan pembentukan kompleks imun dari
IgG dan IgM atau karena HCV langsung menyerang jaringan limfoid. Reaksi ini mungkin
juga menimbulkan limfoma.2
d. Manifestasi Klinis
1. Hepatitis C akut
Infeksi HCV merupakan 20% bagian dari hepatitis akut di Amerika Serikat.
Perkiraan masa inkubasi sekitar 7 minggu (2-30 minggu). Anak maupun dewasa yang terkena
infeksi biasanya asimtomatik atau gejala tidak spesifik yaitu rasa lelah, lemah, anoreksia, dan
penurunan berat badan. Sehingga dapat dikatakan bahwa diagnosis hepatitis C pada fase akut
sangat jarang. Pada penderita dewasa dengan gejala klinis, 30% menunjukkan adanya ikterus.
Pada pemeriksaan LFT, ALT dapat meningkat sampai 10 kali harga normal. Antibodi
terhadap HCV (antiHCV) mungkin belum terdeteksi, dan didapatkan setelah beberapa
minggu atau bulan setelah infeksi akut. Kadar transaminase serum meningkat selama fase
akut, dan pada 40% penderita akan menjadi normal walaupun tidak berhubungan dengan
status virologis. Hanya 15% penderita sembuh secara spontan dengan pembuktian
menggunakan metode PCR, dan 85% akan menjadi kronis. Tidak seperti HAV maupun HBV,

23
infeksi HCV jarang menyebabkan kegagalan hati fulminan. 1
2. Hepatitis C kronis
Pola klinis infeksi kronis biasanya serupa dengan pola klinis virus hepatitis yang lain.
HCV merupakan hepatitis virus yang paling mungkin menyebabkan infeksi kronis. Tidak
kurang dari 85% penderita hepatitis C akut berkembang menjadi kronis. Mekanisme
mengenai mengapa virus masih tetap ada setelah infeksi akut belum diketahui. Data
menunjukkan adanya diversitas dan kemampuan virus untuk melakukan mutasi secara cepat.
Sebagian besar penderita tidak sadar akan penyakitnya, selain gejala minimal dan tidak
spesifik seperti rasa lelah, mual, mialgia, rasa tidak enak pada perut kanan atas, gatal-gatal
dan penurunan berat badan. Beberapa penderita menunjukkan gejala-gejala ekstrahepatik
yang dapat mengenai organ lain seolah-olah tidak berhubungan dengan penyakit hati. Gejala
ekstrahepatik bisa meliputi gejala hematologis, autoimun, mata, persendian, kulit, ginjal,
paru, dan sistem saraf.
Sekitar 30% penderita menunjukkan kadar ALT serum yang normal sedangkan yang
lainnya meningkat sekitar 3 kali harga normal. Khas, pola fluktuasi kenaikan
aminotransferase terjadi pada sekitar 80% dari mereka yang berkembang HCV kronis.
Walaupun kenaikan kadar aminotransaminase kronis lazim. Khas Kadar bilirubin dan
fosfatase alkali serum biasanya normal kecuali pada fase lanjut. 2
3. Sirosis hati
Perkembangan dari hepatitis C kronis menjadi sirosis berlangsung dalam dua atau tiga
dekade. Prevalensi terjadinya sirosis pada penderita hepatitis C kronis bervariasi antara 20-
30% bahkan ada yang dilaporkan mencapai 76%. Gejala klinis sangat minimal sampai
timbulnya komplikasi akibat sirosis. Terdapat beberapa faktor prediktif terjadinya
progresifitas penyakit yaitu: 1
1. Umur lebih dari 40 tahun saat terinfeksi
2. Laki-laki
3. Derajat fibrosis pada saat biopsi awal
4. Status imunologi
5. Ko-infeksi dengan virus hepatotropik lainnya atau dengan virus HIV
6. Infeksi genotip 1
7. Adanya quasi-spesies
8. Overload besi
9. Konsumsi alkohol
Prognosis penderita sirosis dengan infeksi HCV secara umum adalah baik sampai
terjadinya dekompensasi. Apabila terjadi dekompensasi hati, maka memiliki 5 year survival
rate kurang dari 50%. Ini merupakan suatu indikasi untuk dilakukan transplantasi hati.

24
Dengan adanya resiko terjadinya karsinoma hepatoselular, maka secara berkala setiap 6 bulan
perlu dilakukan USG dan pemeriksaan alfa-fetoprotein.2
4. Karsinoma hepatoselular
Karsinoma hepatoseluler primer dapat berkembang pada penderita dengan sirosis,
tetapi HCV kurang efektif daripada HBV dalam menyebabkan karsinoma hepatoselulare
primer. Karsinoma hepatoselular akibat HCV mungkin akibat dari radang kronis dan nekrosis
bukannya pengaruh onkogenik virus. Perkiraan insidens karsinoma hepatoselular karsinoma
sekitar 0,25-1,2 juta kasus baru setiap tahun, sebagian besar berasal dari penderita dengan
sirosis. Resiko terjadinya karsinoma hepatoselular pada penderita sirosis karena hepatitis C
kronis diperkirakan sekitar 1-4%. Perkembangan sejak terjadinya infeksi HCV sampai
timbulnya karsinoma hepatoselular berkisar antara 10-50 tahun.2,10
e. Diagnosis
Secara garis besar diagnosis terhadap infeksi HCV dibagi dalam 2 golongan besar yaitu: 2
1. Uji saring
Uji saring merupakan uji terhadap antibodi. Uji ini mempunyai beberapa keuntungan
yaitu mudah tersedia, mudah dilakukan dan murah. Negatif palsu didapatkan pada penderita
dengan gangguan imunologi yang tidak mampu membentuk antibodi, misalnya pada
penderita transplantasi organ, hemodialisis, penderita HIV, dan juga pada awal perjalanan
penyakit dengan adanya window period yakni belum terbentuknya antibodi.2
2. Uji konfirmasi
Oleh karena uji saring kurang sensitif dan spesifik, diperlukan uji konfirmasi walaupun
perbaikan pemeriksaan serologis EIA (Enzyme Immuno Assay) generasi ketiga dapat
menyamai atau tidak memerlukan uji konfirmasi. Tes konfirmasi digunakan juga pada
mereka dengan hasil pemeriksaan yang rendah tetapi dicurigai tertular HCV seperti pada
donor darah, uji konfirmasi ini meliputi:
a. Recombinant immunoblot assay (RIBA-1, RIBA-2, RIBA-3)
b. Deteksi virologis
c. Biopsi hati
Tes konfirmasi dan genotip rutin dilakukan sebelum memulai pengobatan dengan obat-
obat anti virus. Pembagian lain untuk pemeriksaan HCV dapat digolongkan dalam 2
golongan besar, yaitu pemeriksaan serologis dan pemeriksaan molekular. 2,11
 Pemeriksaan serologis
Pemeriksaan serologis dilakukan untuk menemukan antibodi dari berbagai bagian dari
antigen HCV serta untuk menemukan adanya IgG anti HCV. IgM anti HCV tidak digunakan
secara rutin. Pemeriksaan paling populer adalah dengan cara Enzyme Immuno Assays (EIA).

25
EIA generasi pertama ditujukan untuk menemukan antibodi terhadap protein nonstruktural
(C100) NS-4 dari HCV. EIA generasi kedua merupakan kombinasi antara protein struktural
yaitu antigen core atau C-22 dengan protein nonstruktural dari NS-3 yaitu C-33c dan NS-4
yaitu C-100 dan C5-1-1 dengan cara mencari antibodi yang spesifik. EIA generasi kedua jauh
lebih sensitif dan spesifik daripada EIA generasi pertama, dimana generasi kedua ini dapat
menemukan timbulnya serokonversi antiHCV dengan lebih cepat yaitu antara 4-6 minggu
paska infeksi.2,11
Pemeriksaan IgM anti HCV kurang bermanfaat karena IgM anti HCV tidak timbul pada
core semua penderita hepatitis C akut, tetapi ada pada penderita hepatitis C kronis ( 50%
penderita infeksi kronis). Sedangkan titer IgG anti HCV berhubungan erat dengan viremia,
sehingga mungkin titer IgG tersebut tidak terdapat pada penderita dengan viremia yang
rendah.2,11
EIA generasi ketiga merupakan peningkatan sensitifitas dari generasi kedua, sebab selain
antibodi terhadap protein yang berasal dari core, NS-3 dan NS-4, masih ditambah dengan
protein rekombinan dari daerah NS-5. Penggunaan protein daerah NS-5 ini dapat
menyebabkan hasil positif palsu.2,11
Pemeriksaan serologis untuk konfirmasi dari EIA adalah RIBA yang melakukan deteksi
antibodi monospesifik HCV oleh protein rekombinan yang diikat lapisan nitroselulosa.
Pemeriksaan ini bukan merupakan konfirmasi yang sebenarnya karena menggunakan antigen
yang sama, dan dapat terjadi kesalahan interpretasi dalam pembacaan hasil. RIBA 3
merupakan perbaikan dari RIBA 2 dengan cara mengurangi hasil yang meragukan
(endeterminate).2,11
Aoyagi dkk menggunakan pemeriksaan terhadap HCV-c antigen dengan metoda EIA dan
menyatakan bahwa dengan cara ini dapat dideteksi adanya viremia pada fase akut, di mana
antibodi terhadap antigen-c belum berbentuk (window period). Pemeriksaan ini juga dapat
digunakan pada penderita HCV dengan gangguan imunitas seperti infeksi HIV,
sensitivitasnya mendekati pemeriksaan RNA HCV. 2
 Pemeriksaan molekular
Pemeriksaan secara molekular bertujuan untuk menemukan nukleotida virus, dan juga
dapat untuk melakukan penghitungan densitas virus. Pemeriksaan ini juga disebut diagnosis
molekular.2,11
Ada 4 cara diagnosis molekular terhadap HCV:2,11
1. PCR
2. Nucleic acid sequence based amplification (NASBA)

26
3. Ligase chain reaction (LCR)
4. Branched DNA assay (b DNA assay)
PCR, NASBA, dan LCR merupakan pemeriksaan yang berdasar pada teknik target
amplification, sedangkan branched DNA assay berdasar pada teknik signal amplification.
Kelebihan lain dari b DNA assay adalah prosedur ekstraksi RNA yang mudah dilakukan dan
seperti deteksi signal pada ELISA reader, pemeriksaan ini lebih toleran terhadap adanya
kontaminasi.2
f. Pengobatan
Tujuan utama terapi pada hepatitis C adalah mencapai eradikasi hepatitis C yang
menetap yang disebut sustain virological response (SVR) yaitu RNAHCV yang tidak
terdeteksi dengan PCR pada 24 minggu setelah selesai terapi. Terapi standar yang umumnya
digunakan adalah pegylated interferon alfa- 2a atau alfa-2b dikombinasikan dengan
ribavirin.12
Kombinasi pegylated interferon dan ribavirin walaupun ditoleransi dengan baik oleh
anak, obat ini memiliki efek samping yang signifikan dan beberapa kontraindikasi yang perlu
diketahui sebelum memutuskan terapi.Pasien berusia kurang dari satu tahun tidak boleh
menggunakan terapi ini karena risiko terjadinya neurotoksitas yang berat berupa spastik
displegia. Di Amerika Serikat regimen ini dianjurkan digunakan pada anak berusia 3 tahun
atau lebih, mengunakan regimen pegylated interferon alfa-2b dan ribavirin. Pasien dengan
depresi perlu diawasi oleh psikiater. Pada sekitar 21% pasien yang mendapat terapi ini
mengalami efek samping yang lebih berat sehingga pemeriksaan status kesehatan sebelum
terapi dan selama terapi diperlukan. Efek samping pegylated interferon sama dengan
interferon standar yaitu pireksia, sakit kepala, gejala gastrointestinal, depresi, penurunan berat
badan dan perlambatan pertumbuhan linier dan neutropenia selama terapi. Sedangkan efek
samping ribavirin adalah anemia hemolitik dan teratogenisitas. Pasien dengan sirosis
kompensasi atau dekompensasi ringan masih dapat diberikan terapi ini tetapi di senter yang
tersedia transplantasi hati karena bisa dengan cepat memburuk. Dosis pegylated interferon
alfa-2b adalah 60 mcg/m2 sekali seminggu (disetujui digunakan pada usia 3 tahun atau lebih),
dosis maksimal 1,5 mcg/ kg) dikombinasi dengan ribavirin 15 mg/kg/hari dibagi menjadi 2
dosis. Bila digunakan pegylated interferon alfa-2a dosisnya 180 mcg/1,73 m2, dosis
maksimum 180 mcg) dikombinasi dengan ribavirin pada anak berusia 5 tahun atau lebih.
Dapat juga diberikan interferon (3 MU/m2 tiga kali dalam seminggu) dan dikombinasi ribavirin. 12
Tabel 5. Indikasi dan Kontraindikasi Pengobatan Hepatitis C Kronis2
Indikasi Kontraindikasi pada Kontraindikasi pada

27
Interferon Ribavirin
Peningkatan AST/LST Depresi berat Anemia (Hb <11 g/dl)
Ditemukan HCV RNA Dekompensasi hati Tidak tahan anemia
Fibrosis portal atau inflamasi Pengguna alcohol Penyakit jantung koroner
pada biopsi hati
Pengguna obat-obatan Kehamilan
Penyakit autoimun Tidak tahan kontrasepsi
Penyakit penyerta berat Penyakit vaskuler perifer
Hipertensi berat Gout

g. Pencegahan
1. Uji saring yang efektif terhadap donor darah, jaringan, maupun organ.
2. Uji saring terhadap individu yang berda pada daerah dengan prevalensi HCV yang
tinggi untuk mencegah penyebaran lebih lanjut.
3. Pendidikan kesehatan pada pekerja yang erat kerjanya dengan darah dan cairan tubuh.
4. Jangan pernah berbagi alat seperti jarum , alat cukur, sikat gigi dan gunting kuku
5. Bila melakukan manicure, pedicure, tattoo ataupun tindik pastikan alat yang dipakai
steril
6. Jika mengalami luka karena jarum suntik maka harus melakukan test ELISA atau
RNA HCV setelah 4 sampai 6 bulan terjadinya luka untuk memastikan tidak terinfeksi
penyakit hepatitis C.2,11
IV. Hepatitis D
Hepatitis D adalah salah satu penyakit yang membahayakan jika tidak segera ditangani.
Penyakit yang menyerang hati atau liver ini semakin berbahaya karena gejalanya yang tidak
selalu tampak. Virus Hepatitis D hanya terjadi sebagai rekan-infeksi dari virus hepatitis B dan
virus hepatitis D ini menyebabkan infeksi hepatitis B menjadi lebih berat. Yang memiliki
resiko tinggi terhadap virus ini adalah pecandu obat. Biasanya para pengguna narkoba yang
kemungkinan terjangkit penyakit hepatitis D ini.13
Hepatitis D, juga disebut virus delta, adalah virus cacat yang memerlukan pertolongan
virus hepatitis B untuk berkembang biak sehingga hanya ditemukan pada orang yang
terinfeksi hepatitis B. Virus hepatitis D (HDV) adalah yang paling jarang tapi paling
berbahaya dari semua virus hepatitis.13
a. Virologi
HDV adalah virus RNA rantai tunggal dengan ukuran 36 nm. Lapisan luarnya adalah
HbsAg yang membungkus genom RNA dan antigen delta. HDAg adalah protein yang dikode
oleh RNA-HDV ditemukan pada serum dan sel hati penderita dengan massa molekul 27000
kD dan 24000 kD. Oleh karena dibungkus oleh HbsAg maka cara masuknya HDV ke dalam

28
sel hati kemungkinan besar menggunakan reseptor untuk HBV. Apabila sudah berada di
dalam sel hati maka HDV melakukan replikasi tanpa adanya HBV.2,13
b. Epidemiologi
Diperkirakan terdapat minimal 15 juta orang terinfeksi HDV di seluruh dunia dengan
asumsi 5% pengidap HBV terinfeksi oleh HDV. Di Amerika Serikat, infeksi HDV ditemukan
paling sering pada penyalahguna obat parenteral, hemofilia, dan orang-orang yang berpindah
dari Itali Selatan, bagian timur Eropa, Amerika Selatan. Afrika, dan Timur Tengah.2
Infeksi HDV dapat terjadi pada saat awal yang sama dengan infeksi HBV (koinfeksi) atau
menimbulkan infeksi pada penderita yang sudah terinfeksi HBV (superinfeksi). Masa
inkubasi pada superinfeksi antara 2-8 minggu sedangkan pada ko-infeksi sama dengan infeksi
HBV. HDV tidak menimbulkan infeksi tanpa adanya HBV sebagai virus pembantu. HDV
adalah virus blood born sehingga penularan terjadi secara parenteral. Ditemukan dua pola
infeksi. Penularan biasanya terjadi dengan kontak intrafamilial atau intim pada daerah
prevalensi yang tinggi, yang terutama adalah negara yang sedang berkembang. Penularan
biasanya terjadi melalui kontak yang erat dalam keluarga pada daerah dengan prevalensi
tinggi terutama di negara berkembang dengan cara inapparent parenteral. Sedangkan di
daerah dengan prevalensi rendah maka penularan melalui lesi pada kulit lebih sering terjadi
terutama pada penggunaan obat secara suntikan, transfusi pada penderita penyakit darah, dan
infeksi nosokomial.2,13
c. Patofisiologi
Oleh karena dibungkus HbsAg maka cara masuknya HDV ke dalam sel hati
kemungkinan besar juga menggunakan reseptor untuk HBV. HDV merupakan virus sitopatik
menyebabkan kerusakan langsung pada sel hati. Tidak ditemukan adanya gambaran spesifik
pada pemeriksaan histopatologi hati kecuali tingkat kerusakan yang lebih berat.2
Mekanisme bagaimana infeksi HDV menyebabkan kerusakan hati masih belum jelas.
Pada binatang percobaan tidak terbukti adanya efek sitopatik, namun pada penderita dengan
infeksi HDV kronis terjadi replikasi intraselular yang hebat dimana pada kondisi ini beban
replikasi virus yang tinggi dapat memberi efek langsung berupa kerusakan sel hati (sitopatik).
Peran sistem imun pada infeksi HDV tidak jelas. Terjadi infiltrasi sel radang kronis pada
portal trek yang menandakan peranan sistem imun, namun pengobatan kortikosteroid tidak
memberikan efek yang menguntungkan, terdapat beberapa auto-antibodi pada serum
penderita dan infeksi kronis HDV namun peranannya pada terjadinya kerusakan sel hati tidak
jelas.2,13
d. Manifestasi Klinis

29
Dari semua jenis penyakit / tingkatan penyakit hepatitis dapat diketahui bahwa gejala
awal yang dirasakan oleh penderita hampir sama diantaranya rasa lelah, demam, diare, mual,
muntah, sakit perut, mata kuning, sakit kepala dan hilangnya nafsu makan jika HDV
koinfeksi. Sedangkan pada superinfeksi jarang terjadi gejala klinis hepatitis akut namun
sering terjadi hepatitis kronis dan pada kejadian superinfeksi risiko terjadinya hepatitis
fulminan lebih tinggi. 1,2,13
e. Diagnosa
Diagnosa infeksi HDV ditegakkan dengan mendeteksi HDV RNA di darah maupun hepar
tepat sebelum dan di awal masa infeksi akut. IgM anti-HDV dapat menjadi indikator yang
diandalkan untuk pajanan terhadap HDV, timbul sekitar 2-4 minggu setelah infeksi secara
koinfeksi dan 10 minggu pada superinfeksi. Untuk menegakkan diagnosis pada kasus
koinfeksi HDV dan HBV, deteksi IgM HDAg dan HbcAg (infeksi akut) dapat dilakukan.
Sementara itu untuk kasus superinfeksi, HbsAg menetap di serum ditambah dengan antibodi
HDV (IgG maupun IgM).13
f. Pengobatan
Adanya infeksi secara bersamaan antara HBV dengan HDV menyebabkan pengobatan
lebih sukar daripada pengobatan pada infeksi kronis HBV. Penggunaan interferon-alfa pada
penderita HDV kronis minimal dilakukan selama satu tahun. Bila tidak ada hasil dimana
kadar ALT tetap tinggi dan RNA HDV tetap ada, maka pengobatan dihentikan. Bila terjadi
respons positif ditandai dengan hilangnya RNA HDV dan ALT menjadi normal, maka
pemberian interferon diteruskan sampai HbsAg hilang dari serum.2
g. Pencegahan
Tidak ada vaksin hepatitis D, namun dengan mendapatkan vaksinasi hepatitis B maka
otomatis Anda akan terlindungi dari virus ini karena HDV tidak mungkin hidup tanpa HBV.13
V. Hepatitis E
Hepatitis E ini dulu disebut sebagai hepatitis non-A non-B dengan transmisi secara enterik.
Jenis hepatitis ini ditemukan pertama kali di New Delhi, India pada tahun 1955 di mana
terdapat 29000 kasus ikterus yang diidentifikasi penyebarannya melalui air dari perusahaan
air minum kota yang tercemar tinja. Pada tahun 1980 ditemukan bahwa jenis hepatitis ini
secara pemeriksaan serologis bukan hepatitis A (HAV) dan juga bukan hepatitis B (HBV).2
a. Virologi
Hepatitis E Virus adalah RNA virus rantai tunggal dengan virion nonenveloped yang
mempunyai diameter 32-34nm, dalam pemeriksaan mikroskop elektron virus ini berbentuk
sferis, dan dulu termasuk golongan calcivirus seperti Norwalk virus, akan tetapi sekarang

30
termasuk family Hepeviridae. HEV terdiri dari 7500 pasangan nukleotida. Biasanya
menyerang usia lebih dewasa antara 15-40 tahun.14
b. Epidemiologi
Infeksi ditularkan secara enterik. Selain di India, epidemi juga terjadi di Republik Kirgir,
Uni Soviet pada tahun 1955-1956 yang menyerang 10800 penderita terutama anak muda
sampai usia pertengahan. Juga terjadi di Burma dan Nepal pada tahun 1976 dengan 200000
dan 10000 kasus. Epidemi juga terjadi di Afrika pada tahun 1980-1981. Di Indonesia terjadi
wabah hepatitis E di Kalimantan Tengah pada tahun 1987-1988 dengan jumlah penderita
2000 orang.2,14

c. Patofisiologi
HEV dianggap sebagai virus yang bersifat sitopatik. Gambaran histopatologinya
menyerupai hepatitis virus yang lain. Terdapat 2 macam gambaran histopatologis yaitu tipe
kolestatik dan tipe standar. Tipe standar ini sama dengan perubahan pada infeksi virus
hepatitis lain yaitu pembengkakan sel hati, degenerasi asidofilik serta infiltrasi leukosit PMN
pada daerah intralobular dan traktus portal. Sedangkan pada tipe kolestatik ditandai dengan
statis empedu pada kanalikuli dan parenkim sel. Respons imun humoral menimbulkan IgM
dan IgG anti HEV. IgM menurun dengan cepat dan hampir hilang pada masa konvalesens
sedangkan IgG anti HEV dapat bertahan sampai 10 tahun. Mekanisme kerusakan sel hati
pada infeksi HEV masih belum jelas; namun adanya infiltrasi limfosit di hati dan
ditemukannya cytotoxic supression immunophenotype menandakan bahwa kerusakan sel hati
disebabkan oleh mekanisme imunologis selular dan humoral.2
d. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis hepatitis E bervariasi antara bentuk ringan atau subklinis sampai kasus
fatal yang menyebabkan kematian. Masa inkubasinya sekitar 40 hari (15-60 hari). Bentuk
subklinisnya tidak dapat dikenali karena memberikan gejala seperti flu. Bentuk klinis yang
manifes dengan ikterus akan sembuh sendiri seperti hepatitis A. Perbaikan hiperbilirubinemia
dan ALT dicapai setelah 3 minggu sejak timbulnya sakit. Kasus yang ringan terutama terjadi
pada kelompok anak muda berupa gejala subklinis. Bentuk klinis dan simtomatis timbul pada
dewasa muda dan umur pertengahan. Kasus yang berat dan menyebabkan kematian terjadi
pada wanita hamil. Tidak pernah didapatkan bentuk kronis. HEV memiliki angka fatalitas
tinggi pada wanita hamil.2,14
e. Diagnosis
Diagnosis hepatitis E ditentukan dengan cara: 2

31
1. Mikroskop elektron imun (IEM); memeriksa virus pada tinja penderita
2. Deteksi antibodi spesifik terhadap virus menggunakan fluorescent antibody-blocking assay
3. IgM dan IgG anti HEV secara Western blot dan EIA; IgM anti HEV ditemukan satu minggu
timbulnya gejala klinis
4. PCR untuk mencari RNA HEV dari serum dan tinja
f. Pencegahan
Belum terdapat vaksin terhadap HEV. Imunoglobulin tidak efektif untuk mencegah HEV.
Karena tidak adanya vaksin pencegah hepatitis E, maka usaha utama untuk pencegahan
adalah penyediaan air yang bersih. Belum ada data yang menjelaskan efikasi pemberian klor
untuk mencegah infeksi HEV.2
VI. Hepatitis G
Walaupun diagnosis hepatitis A, B, C, D, dan E telah dapat dibuat namun masih ada
sekelompok penderita hepatitis pasca transfusi dan sporadik di masyarakat yang belum
diketahui penyebabnya. Dahulu hepatitis jenis ini dinamakan non A-E. Pada tahun 1996
ditemukan suatu virus baru penyebab hepatitis non A-E yang dinamakan dengan virus
hepatitis G dan isolat lainnya virus GB-C. Secara filogenetik berhubungan dengan virus
hepatitis C tetapi tidak menyebabkan gangguan yang serius pada hati.2
a. Virologi
Virus hepatitis G (HGV), virus GB-C merupakan virus RNA rantai tunggal yang terdiri
atas 9300 pasang nukleotida dan termasuk golongan flaviviridae, dengan ukuran 50-100nm,
ditularkan secara parenteral. Virus ini bereplikasi dalam sel mononuklear (MN cells),
termasuk CD4, CD8, sel T, dan sel B. 2,15

Beberapa genotype GBV-C:15

 Genotype 1 umumnya ditemukan di Afrika Barat

 Genotype 2 ditemukan di Amerika Utara

 Genotype 3 ditemukan di Asia

 Genotype 4 ditemukan di Asia Tenggara

 Genotype 5 ditemukan di Afrika Selatan

 Genotype 6 ditemukan di Indonesia

b. Epidemiologi

32
HGV adalah virus ditularkan melalui darah, sering didapatkan pada penderita penyakit
darah yang mengalami transfusi berulang, juga pengguna obat secara intravena. Cara lain
adalah inapparent parenteral. Juga dikenal penularan secara vertikal dari ibu ke bayi yang
terjadi selama proses kelahiran dan perinatal. HGV tidak mampu menembus plasenta.
Prevalensi HGV pada donor darah dan populasi umum di negara maju antara 1-2%. Di
negara tropis dan subtropis prevalensi antara 5-10%. Tingginya prevalensi HGV di daerah
tropis dan subtropis mungkin disebabkan adanya serangga dan vektor lain. Sebagian besar
penderita yang terinfeksi di masyarakat mempunyai kadat ALT serum normal.2,15
c. Patogenesis
Sebagian besar penderita yang terinfeksi HGV/ virus GB-C mengalami viremia tetapi
tidak didapatkan perubahan gambaran histopatologis yang berarti dan kadar ALT dalam batas
normal. Sampai saat ini tidak didapatkan bukti bahwa HGV menyebabkan gejala klinis.
Replikasi virus terjadi pada sel mononuklear, termasuk CD4 dan CD8 sel T dan sel B. Karena
ditemukan di limfosit, virus ini dianggap mempunyai sifat biologis seperti virus Epstein-Barr
atau CMV.2
d. Manifestasi Klinis
Infeksi HGV/ virus GB-C tidak menimbulkan gejala peradangan pada hati. Koinfeksi
dengan virus lain tidak memperberat perjalanan penyakit HBV maupun HCV. Tidak
ditemukan kasus hepatitis kronis pada penderita yang terinfeksi HGV/ virus GB-C. Akan
tetapi pasien dengan GB-C virus akan meningkatkan resiko dari limfoma non-hodgkin akibat
replikasi dari GB-C virus ini yang menyebabkan kegagalan imunitas. Selain itu apabila
seseorang menderita HIV disertai Hepatitis G akan mengurangi mortalitas penderita infeksi
HIV, akibat dari Virus GB-C yang menghalangi penetrasi HIV kedalam limfosit.2,15
e. Diagnosis
Untuk mendiagnosis Hepatitis G, adalah dengan mengidentifikasi GBV-C RNA di dalam
darah penderita dengan PCR (polymerase chain reaction). Partikel virus ini terdapat dalam
sel hepatosit, endotel, monosit dan limfosit. Apabila infeksi telah hilang, terbentuk antibodi
terhadap kapsul glikoprotein E2 (anti-E2) dan dapat ditemukan didalam darah.15
f. Pencegahan
Tidak ada metode pencegahan terhadap infeksi ini.

KESIMPULAN
Hepatitis virus merupakan masalah kesehatan utama di negara sedang berkembang dan
negara maju. Penemuan baru dalam bidang biologi molekuler telah membantu identifikasi

33
dan pemahaman patogenesis keenam virus yang sekarang diketahui menyebabkan hepatitis.
Hepatitis disebabkan oleh infeksi dan non infeksi. Infeksi yang disebabkan virus, bakteri,
maupun parasit merupakan penyebab terbanyak hepatitis akut. Virus hepatitis merupakan
penyebab terbanyak dari infeksi tersebut. Terdapat sedikitnya 6 jenis virus hepatotropik
penyebab utama infeksi akut, yaitu virus hepatitis A, B, C, D, E, dan G. Semuanya memberi
gejala klinis hampir sama; bervariasi mulai dari asimtomatis, bentuk klasik, sampai hepatitis
fulminan yang dapat menyebabkan kematian.
Hepatitis A merupakan penyakit self limiting dan memberikan kekebalan seumur hidup.
Penyebaran terutama dengan rute fekal-oral. Mekanisme kerusakan sel hati oleh HAV belum
speenuhnya dapat dijelaskan, namun bukti secara langsung maupun tidak langsung
menyimpulkan adanya suatu mekanisme imunopatogenetik. Gejala klinisnya bedakan
menjadi 4 stadium yaitu: Masa inkubasi, masa prodomal, fase ikterik, fase penyembuhan.
Faktor risiko yang paling penting untuk mendapat infeksi hepatitis B pada anak adalah
pemajanan perinatal terhadap ibu positif HbsAg. Faktor risiko penting lain untuk infeksi
HBV pada anak adalah pemberian obat-obat atau produk-produk darah secara intravena,
kontak seksual, perawatan institusi dan kontak dengan pengidap. Pada pemeriksaan fisik,
kulit dan membrana mukosa adalah ikterik, terutama sklera dan mukosa dibawah lidah. Hati
biasanya membesar dan nyeri pada palpasi. Skrining untuk hepatitis B rutin memerlukan
assay sekurang- kurangnya dua pertanda serologis. Pencegahan merupakan upaya terpenting
karena paling efisien. Secara garis besar, upaya pencegahan terdiri dari preventif umum dan
khusus yaitu imunisasi VHB pasif maupun aktif.

DAFTAR PUSTAKA
1. Ndraha S. Bahan ajar gastroenterohepatologi. Jakarta: Bagian Ilmu Penyakit Dalam
FK UKRIDA; 2013. H.129-138.
2. Arief S. Hepatitis virus dalam Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi IDAI. Jilid 1.
Jakarta: IDAI; 2012. H.285-328.
3. Herdiana M, Arief S, Setyobudi B. Mengenal hepatitis a pada anak. 2015. Diunduh
dari: http://www.idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/mengenal-hepatitis-a-pada-
anak
4. Departemen Kesehatan RI. Situasi dan analisis hepatitis. Jakarta: Pusat Data dan
Informasi Kementrian Kesehatan RI; 2014. H. 2-7.
5. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi. Ed.7. Jakarta: EGC;2007. H.
673-680.

34
6. Crawford J, Liu C. Robbins and Cotran pathologic basis of disease. Edisi ke 8.
Saunders Elseifer, Philadelphia; 2010.h. 444-50
7. Ranuh G, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita C, Ismoedijanto, Soedjatmiko.
Pedoman imunisasi di Indonesia. Edisi ke 5. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2014.
h.247-53,335-40.
8. Ismalita. Sari pediatri: Pemberian Imunisasi Hepatitis B pada Bayi Prematur. Volume
5. Medan: Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK USU; 2006. H. 58-63.
9. CDC. Hepatitis C: Information on Testing & Diagnosis. Downloaded from:
http://www.cdc.gov/hepatitis/HCV/PDFs/HepCTesting-Diagnosis.pdf. 5 juni 2016.
10. CDC. Hepatitis C: General Information. Downloaded from:
http://www.cdc.gov/hepatitis/HCV/PDFs/HepCGeneralFactSheet.pdf. 5 Juni 2016.
11. Toni. Deteksi hepatitis c. Diunduh dari:
http://elib.fk.uwks.ac.id/asset/archieve/jurnal/Vol1.no2.Juli2008/DETEKSI
%20HEPATITIS%20C.pdf. 5 Juni 2016.
12. Djer M, Sekartini R, Handryastuti RAS, Hidayati EL, Juniar I. Current evidence in
pediatric practices. Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM; 2014.
H.12-13.
13. Wedemeyer H, Manns MP. Epidemiology, pathogenesis and management of hepatitis
D: update and challenges ahead. Ed.7. Vol.1. Nature Reviews Gastroenterology &
Hepatology; 2010. P. 31-40.
14. WHO. Hepatitis E. Downloaded from:
http://www.who.int/csr/disease/hepatitis/whocdscsredc200112/en/index2.html. 6 Juni
2016. 6 Juni 2016
15. Zetterman RK. Hepatitis G virus. Emedicine. May 4, 2012. Cited June 6, 2016.
Available at: http://www.medscape.com/viewarticle/763204_4.

35

Anda mungkin juga menyukai

  • JJ
    JJ
    Dokumen1 halaman
    JJ
    yoga karang
    Belum ada peringkat
  • Daftar Isi Sinusitis
    Daftar Isi Sinusitis
    Dokumen1 halaman
    Daftar Isi Sinusitis
    yoga karang
    Belum ada peringkat
  • Bojog
    Bojog
    Dokumen7 halaman
    Bojog
    yoga karang
    Belum ada peringkat
  • Kapita Selekta
    Kapita Selekta
    Dokumen17 halaman
    Kapita Selekta
    yoga karang
    Belum ada peringkat
  • JJ PDF
    JJ PDF
    Dokumen1 halaman
    JJ PDF
    yoga karang
    Belum ada peringkat
  • Minipro TB
    Minipro TB
    Dokumen86 halaman
    Minipro TB
    yoga karang
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen1 halaman
    Cover
    yoga karang
    Belum ada peringkat
  • Kuesioner Ta Yoga Juni2016
    Kuesioner Ta Yoga Juni2016
    Dokumen2 halaman
    Kuesioner Ta Yoga Juni2016
    yoga karang
    Belum ada peringkat
  • Bedah
    Bedah
    Dokumen2 halaman
    Bedah
    yoga karang
    Belum ada peringkat
  • Isi Bab I
    Isi Bab I
    Dokumen38 halaman
    Isi Bab I
    yoga karang
    Belum ada peringkat
  • Lampiran 1
    Lampiran 1
    Dokumen1 halaman
    Lampiran 1
    yoga karang
    Belum ada peringkat
  • Handout Ayling Uwks Imunisasi Kuliah
    Handout Ayling Uwks Imunisasi Kuliah
    Dokumen61 halaman
    Handout Ayling Uwks Imunisasi Kuliah
    Dewi Pradnya
    Belum ada peringkat
  • SGD Mitha
    SGD Mitha
    Dokumen2 halaman
    SGD Mitha
    yoga karang
    Belum ada peringkat
  • Halaman Pengesahan Kata Pengantar Daftar Isi
    Halaman Pengesahan Kata Pengantar Daftar Isi
    Dokumen6 halaman
    Halaman Pengesahan Kata Pengantar Daftar Isi
    yoga karang
    Belum ada peringkat
  • 5 Obesitas
    5 Obesitas
    Dokumen40 halaman
    5 Obesitas
    yoga karang
    Belum ada peringkat
  • Frmsi
    Frmsi
    Dokumen12 halaman
    Frmsi
    yoga karang
    Belum ada peringkat
  • Lampiran 1
    Lampiran 1
    Dokumen1 halaman
    Lampiran 1
    yoga karang
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen4 halaman
    Bab I
    yoga karang
    Belum ada peringkat
  • SGD Mitha
    SGD Mitha
    Dokumen2 halaman
    SGD Mitha
    yoga karang
    Belum ada peringkat
  • SGD Mitha
    SGD Mitha
    Dokumen2 halaman
    SGD Mitha
    yoga karang
    Belum ada peringkat
  • 17 Spina Bifida
    17 Spina Bifida
    Dokumen24 halaman
    17 Spina Bifida
    Mega Mulya Dwi Fitriyani
    Belum ada peringkat
  • 18-Hidrocephalus HJGJ
    18-Hidrocephalus HJGJ
    Dokumen17 halaman
    18-Hidrocephalus HJGJ
    yoga karang
    Belum ada peringkat
  • 4 Skrining Perkembangan
    4 Skrining Perkembangan
    Dokumen32 halaman
    4 Skrining Perkembangan
    yoga karang
    Belum ada peringkat
  • Jurnal Anestesi PDF
    Jurnal Anestesi PDF
    Dokumen6 halaman
    Jurnal Anestesi PDF
    dimasarya671
    Belum ada peringkat
  • Paragraf
    Paragraf
    Dokumen2 halaman
    Paragraf
    yoga karang
    Belum ada peringkat
  • Paragraf
    Paragraf
    Dokumen2 halaman
    Paragraf
    yoga karang
    Belum ada peringkat
  • I Gusti Ngurah Agung
    I Gusti Ngurah Agung
    Dokumen2 halaman
    I Gusti Ngurah Agung
    yoga karang
    Belum ada peringkat
  • Nideya Riani Putri
    Nideya Riani Putri
    Dokumen7 halaman
    Nideya Riani Putri
    yoga karang
    Belum ada peringkat
  • Putu Indra Iswara
    Putu Indra Iswara
    Dokumen4 halaman
    Putu Indra Iswara
    yoga karang
    Belum ada peringkat