Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN KASUS

SINDROM DISPEPSIA

Pembimbing :
Omar Akbar, dr.

Disusun oleh :
Redo Widhio M, dr.

PROGRAM DOKTER INTENSHIP


RSAU DR. M. SALAMUN
KOTA BANDUNG
2021
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. S
Tanggal lahir : 8 Oktober 1973
Umur : 47 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Suku bangsa : Sunda
Tanggal masuk : 11 Nov 2021

ANAMNESIS
(Autoanamnesis)

Keluhan Utama
Nyeri ulu hati

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan nyeri ulu hati sejak 4 hari yang lalu. Keluhan disertai
dengan mual dan muntah sebanyak 5x/ hari dan berisi cairan bening tidak bercampur
dengan makanan ataupun darah. Pasien mengeluh lemas tidak napsu makan karena
mulut terasa pahit. Keluhan tidak disertai batuk, pilek, demam, dan diare. BAK dalam
batas normal.

Riwayat Penyakit Dahulu


DM +, HT + dalam pengobatan rutin.

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan serupa

Riwayat Operasi
Pasien belum pernah menjalani operasi sebelumnya.
PEMERIKSAAN FISIK

A. Status Present

Keadaan umum : Tampak sakit sedang


Kesadaran : Compos mentis
GCS : E4M6V5
Tanda vital
Tekanan darah : 100/70 mmHg
Nadi : 100 x/menit
Pernafasan : 23 x/menit
Suhu : 36,3°C
SpO2 : 98%

B. Status Generalis

a. Kepala
Mata : Edema palpebra (-/-), konjungtiva anemis
(-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat isokor
(2 mm/2 mm), refleks cahaya (+/+)
Mulut : Mukosa mulut basah, hiperemis (-), edema (-
), Lidah Kotor (-), atrofi papil lidah (-),
deviasi lidah (-), stomatitis (-), gingivitis (-),
tonsil T1/T1
b. Leher
Pembesaran : Preauricular (-/-), postauricular (-/-),
KGB supraclavicular (-/-), submandibular (-/-)
submental (-/-), anterior cervical (-/-),
posterior cervical (-/-)
Pembesaran : (-)
tiroid
Trachea : Deviasi (-), kontraksi otot napas tambahan
(-), retraksi (-)
c. Thorax
Inspeksi
Bentuk thorax : Normochest, simetris
Retraksi : (-)

Jantung
Inspeksi : Ictus cordis terlihat (-)
Palpasi : Ictus cordis teraba (+), kuat angkat, volume
cukup
Perkusi : Batas jantung tidak melebar
Auskultasi : SI>S2 (reguler), murmur (-), gallops (-)

Paru-paru
Inspeksi : Pergerakan napas simetris (statis-dinamis)
Palpasi : Ekspansi simetris, nyeri tekan (-), fremitus
taktil Ka=Ki (normal)
Perkusi : Sonor +/+
Auskultasi : Vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-

d. Abdomen
Inspeksi : Datar
Auskultasi : BU (+) normal
Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (+), nyeri tekan
lepas (-), defans muscular (-), hepar dan lien
tidak teraba.
Perkusi : Timpani (+), batas hepar dan lien tidak
melebar

e. Ekstremitas
Superior : Lengkap, tanpa cacat, sianosis (-), CRT <2
detik, edema (-), akral hangat
Inferior : Lengkap, tanpa cacat, sianosis (-), CRT <2
detik, edema (-), akral hangat
RESUME

Ny. S, 43 datang dengan keluhan nyeri ulu hati sejak 4 hari yang lalu. Keluhan disertai
dengan mual dan muntah sebanyak 5x/ hari dan berisi cairan bening tidak bercampur
dengan makanan ataupun darah. Pasien mengeluh lemas tidak napsu makan karena
mulut terasa pahit. Keluhan tidak disertai batuk, pilek, demam, dan diare. BAK dalam
batas normal. Pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sakit sedang, tanda vital
dalam batas normal, nyeri tekan epigastrium +, turgor kembali cepat.

DIAGNOSIS BANDING
Sindrom Dispepsia
-Organik
-Fungsional

DIAGNOSIS KERJA
Sindrom Dispepsia Fungsional

PENATALAKSANAAN

Non medikamentosa :
o Edukasi pasien
o Diet lunak
o Menjaga waktu makan. Makan sedikit sedikit namun sering.
o Mengurangi makanan pedas dan asam.

Medikamentosa :
o Lansoprazole 2x1 caps
o Antacida doen 3x1
o Ondancentron 4mg 2x1

PROGNOSIS

Ad vitam : ad bonam
Ad fungsionam : ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
PEMBAHASAN

I. DEFINISI

Dispepsia merupakan rasa tidak nyaman yang berasal dari daerah abdomen bagian
atas. Rasa tidak nyaman tersebut dapat berupa salah satu atau beberapa gejala
berikut yaitu: nyeri epigastrium, rasa terbakar di epigastrium, rasa penuh setelah
makan, cepat kenyang, rasa kembung pada saluran cerna atas, mual, muntah, dan
sendawa. Untuk dispepsia fungsional, keluhan tersebut di atas harus berlangsung
setidaknya selama tiga bulan terakhir dengan awitan gejala enam bulan sebelum
diagnosis ditegakkan.

II. EPIDEMIOLOGI

Prevalensi pasien dispepsia di pelayanan kesehatan mencakup 30% dari


pelayanan dokter umum dan 50% dari pelayanan dokter spesialis
gastroenterologi. Di Indonesia, data prevalensi infeksi Helicobacteri pylori pada
pasien ulkus peptikum (tanpa riwayat pemakaian obat-obatan anti-inflamasi
non- steroid/OAINS) bervariasi dari 90-100% dan untuk pasien dispepsia
fungsional sebanyak 20-40% .

III. PATOFISOLOGI

Patofisiologi ulkus peptikum yang disebabkan oleh Helicobacteri pylori dan


obat- obatan anti-inflamasi non-steroid (OAINS) telah banyak diketahui.
Dispepsia fungsional disebabkan oleh beberapa faktor utama, antara lain
gangguan motilitas gastroduodenal, infeksi Helicobacteri pylori , asam lambung,
dan faktor psikologis. Faktor-faktor lainnya yang dapat berperan adalah genetik,
gaya hidup, lingkungan, diet dan riwayat infeksi gastrointestinal sebelumnya.

1. Peranan gangguan motilitas gastroduodenal :

Gangguan motilitas gastroduodenal terdiri dari penurunan kapasitas lambung


dalam menerima makanan. berkaitan dengan perasaan begah setelah makan,
yang dapat berupa distensi abdomen, kembung, danrasa penuh
2. Peranan faktor psikososial
Gangguan psikososial merupakan salah satu faktor pencetus yang berperan
dalam dispepsia fungsional. Derajat beratnya gangguan psikososial sejalan
dengan tingkat keparahan dispepsia. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa
depresi dan ansietas berperan pada terjadinya dispepsia fungsional.
3. Peranan asam lambung
Asam lambung dapat berperan dalam timbulnya keluhan dispepsia fungsional.
Hal ini didasari pada efektivitas terapi anti-sekretorik asam dari beberapa
penelitian pasien dispepsia fungsional. Data penelitian mengenai sekresi asam
lambung masih kurang, dan laporan di Asia masih kontroversial
Peranan infeksi Hp
4. Prevalensi infeksi Hpylori
pasien dispepsia fungsional bervariasi dari 39% sampai 87%. Hubungan infeksi
Hp dengan ganggguan motilitas tidak konsisten namun eradikasi Hp
memperbaiki gejala-gejala dispepsia fungsional.

IV.KLASIFIKASI

1. Dispepsia Fungsional: tidak ditemukan kerusakan mukosa, terapi dapat diberikan


sesuai dengan gangguan fungsional yang ada.
2. Dispepsia Organik: : lesi mukosa (mucosal damage) sesuai hasil endoskopi, terapi
dilakukan berdasarkan kelainan yang ditemukan. Kelainan yang termasuk ke
dalam kelompok dispepsia organik antara lain gastritis, gastritis hemoragik,
duodenitis, ulkus gaster, ulkus duodenum, atau proses keganasan.

V . DIAGNOSIS

Dispepsia yang telah diinvestigasi terdiri dari dispepsia organik dan fungsional.
Dispepsia organik terdiri dari ulkus gaster, ulkus duodenum, gastritis erosi,
gastritis, duodenitis dan proses keganasan. Dispepsia fungsional mengacu
kepada kriteria Roma III.Kriteria Roma III belum divalidasi di Indonesia.
Konsensus Asia- Pasifik (2012) memutuskan untuk mengikuti konsep dari
kriteria diagnosis Roma III dengan penambahan gejala berupa kembung pada
abdomen bagian atas yang umum ditemui sebagai gejaladispepsia fungsional.
Dispepsia menurut kriteria Roma III adalah suatu penyakit dengan satu atau lebih
gejala yang berhubungan dengan gangguan di gastroduodenal:
 Nyeri epigastrium
 Rasa terbakar di epigastrium
 Rasa penuh atau tidak nyaman setelah makan
 Rasa cepat kenyang
Gejala yang dirasakan harus berlangsung setidaknya selama tiga bulan terakhir dengan
awitan gejala enam bulan sebelum diagnosis ditegakkan

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Endoskopi
Endoskopi diindikasikan pada :
a. Pasien >55 tahun dengan dispepsia awitan baru, atau
b. Pasien <55 tahun namun memiliki tanda bahaya, yaitu anemia,
perdarahan, muntah terus menerus, penurunan berat badan>105
tanpa sebab yang jelas, disfagia yang memberat, odinofagia,
riwayat keganasan lambung atau duodenum pada keluarga,
riwayat keganasan esophagus, riwayat ulkus peptikum
sebelumnya yang terdokumentasi, massa abdomen, atau
limfadenopati.
2. Ultrasonografi
USG dilakukan untuk menilai kelainan pankreatobilier.

3. Pencitraan
Pencitraan dilakukan dengan barium meal untuk menilai adanya kelainan
struktur mukosa.
4. Laboratorium
5. Urea Breath Test : UBT dilakukan segabai standar baku emas untuk
evaluasi infeksi H. pylori.
VII. PENATALAKSANAAN

Obat terpilih berupa antasida, antisekresi asam lambung,prokineti atau sitoprotektif.


Obat-obatan anti seksresi asam lambung yang dapat digunakan misalnya golongan
PPI seperti Omeprazole, Lansoprazole, Pantoprazole, Esomeprazole. Golongan anti
H2 reseptor seperti Ranitidin, Famotidin, simetidin. Golongan Antasid juga dapat
menjadi pilihan terapi. Obat-obatan prokinetik untuk mengatasi mual seperti
domperidone atau metoclopramide. Obat-obatan mukoprotektor seperti sukralfat dan
bismuth salisilat. Modifikasi gaya hidup, dengan mengatur jam makan, mengurangi
stressor psikologis, mengurangi makanan yang dapat mempengaruhi asam lambung.

Untuk infeksi H. pylori dapat diberikan regimen seperti berikut:


- Lini pertama
o PPI tiap 12 jam + amoksisilin 1gr tiap 12 jam + klaritromisin 500mg tiap
12 jam selama 7 hari,
- Lini kedua
o PPI + bismuth salisilat tiap 6 jam +metronidazole 250mg tiap 6 jam + 14
hari tetrasiklin 500mg tiap 6 jam
- Lini ketiga
o PPI + Levofloksasin 500mg tiap 12 jam + amoksisilin 1 gr tiap 12 jam
selama 10 hari.

Jika terdapat resistensi klaritromisin tinggi, disarankan untuk melakukan kultur dan
tes resistensi (melalui sampel endoskopi) sebelum memberikan terapi. Tes
molekular juga dapat dilakukan untuk mendeteksi Hp dan resistensi klaritromisin
dan/atau fluorokuinolon secara langsung melaluibiopsi lambung.
3.1. PROGNOSIS

Prognosis adalah bonam, ad sanationam dubia ad bonam,


DAFTAR PUSTAKA

KONSENSUS NASIONAL, PENATALAKSAAN DISPEPSIA DAN INFEKSI


HELICOBACTER PILORI, 2014

Anda mungkin juga menyukai