Enkopresis
Oleh:
Pembimbing:
Januari, 2020
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL....................................................................................... ......................
DAFTAR ISI.................................................................................................... ii
BAB I. PENDAHULUAN......................................................................... 1
PUSTAKA................................................................ .......................................
DAFTAR PUSTAKA
2
3
BAB I
PENDAHULUAN
3
dengan norma sosial untuk buang air besar di tempat yang layak. Keadaan ini juga
disebabkan oleh akibat retensi fisiologis yang bertumpuk pada perlekatan tinja di
tempat yang tidak layak. Retensi seperti ini mungkin timbul sebagai akibat
pertentangan antara orang tua dengan anak mengenai latihan buang air besar atau
akibat menahan tinja karena nyeri saat buang air besar ( misalnya akibat fisura ani)
atau karena sebab lain.4
Stres dan masalah dari keluarga harus dikawal dengan baik. Orang tua harus
didik tentang memberi sokongan kepada anak secara psikologis dan tidak
meremehkan anak-anak. Penatalaksanaan untuk kondisi ini adalah dengan
mengurus perlakuan anak dengan baik.5
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
yang berarti feses, pertama kali diperkenalkan pada tahun 1926 oleh Weissenberg
dengan enuresis. Enkopresis adalah suatu pola pengeluaran feses yang tidak
disadari atau disengaja di tempat yang tidak sesuai, seperti pakaian atau ke lantai
pada anak berusia 4 tahun ke atas tanpa sebab organik. Hal ini setidaknya terjadi
Enkopresis adalah salah satu gangguan eliminasi yang dijelaskan dalam revisi
feses oleh anak-anak yang melewati usia toilet training. Gangguan ini dianggap
setelah usia 4 tahun ketika anak-anak secara kronologis, diharapkan sudah dapat
B. EPIDEMIOLOGI
tahun di masyarakat Barat. Kejadian enkopresis pada anak berusia 4 tahun adalah
sebesar 3% dan 1,6% pada anak berusia 10 tahun. Enkopresis terjadi lebih sering
pada kelompok usia 5 hingga 10 tahun dan lebih jarang pada remaja. Enkopresis
lebih sering terjadi pada anak laki-laki. Enkopresis juga dapat terjadi pada remaja
5
dan bahkan di antara orang dewasa, namun prevalensinya tidak diketahui pada
C. ETIOLOGI
survei terbaru yang melaporkan 80% anak-anak dengan enkopresis juga memiliki
sebagai pengeluaran feses yang besar atau keras, sering disertai dengan keluhan
nyeri perut, jarang buang air besar (<3 kali per minggu), adanya massa perut pada
pemeriksaan fisik, dan adanya perasaan tidak nyaman sebelum, selama, dan setelah
defekasi. Namun, telah dicatat bahwa anak-anak yang sehat juga dapat mengalami
selalu menahan BAB. Alasannya beragam, misalnya anak yang terlalu asyik
melakukan suatu kegiatan atau merasa jijik dengan toilet umum. Namun karena
rangsangan untuk BAB begitu kuat dan tak bisa ditahan lagi, akhirnya terjadilah
enkopresis.8,9
bahwa keluarga anak-anak dengan enkopresis memiliki fungsi keluarga yang tidak
memadai dan kurang ekspresif. Beberapa faktor umum, seperti perpisahan serius
keluarga, toilet training yang tidak tepat dan tidak adekuat, dan gangguan
eliminasi.10
6
D. KLASIFIKASI
2 kali atau kurang dalam satu minggu, sekurangnya 1 fekal inkontinensia dalam
satu minggu, riwayat retensi feses, riwayat pengeluaran feses yang nyeri dan keras,
adanya jumlah feses yang banyak di rektum dan riwayat pengeluaran feses yang
berdiameter besar yang menyebabkan obstruksi. Jika terdapat dua atau lebih
daripada ciri ini pada anak 4 tahun dan keatas mengarahkan kepada kondisi ini.
Kriteria enkopresis bukan konstipasi adalah defekasi di tempat yang tidak sesuai
sekurangnya sekali sebulan, tidak ada tanda inflamasi, anatomik, metabolik dan
neoplastik untuk menjelaskan penyebab simptom subjektif, dan tidak ada fekal
inkontinensia. Kriteria ini harus dipenuhi selama dua bulan dan harus terjadi pada
umur 4 tahun.10,11
Enkopresis primer terjadi pada anak-anak di atas usia empat tahun yang tidak
pernah mencapai otonomi dalam berkemih (anak yang belum pernah menjalani
toilet training). Sebaliknya, enkopresis sekunder terjadi pada anak-anak yang telah
mencapai otonomi dalam berkemih (anak yang sudah berhasil menjalani (toilet
training).9
E. PATOFISIOLOGI
Frekuensi buang air besar secara signifikan lebih tinggi pada anak-anak
yang berusia kurang dari 3 tahun dibandingkan pada usia 3 hingga 12 tahun tetapi
7
tidak terdapat perbedaan dalam total waktu transit gastrointestinal. Frekuensi
buang air besar yang normal pada kelompok usia yang lebih tua antara 4 - 9 kali per
minggu. Sedangkan pada dewasa muda 5 hingga 12 kali buang air besar per minggu
dapat dianggap normal dengan laki-laki buang air besar secara signifikan lebih
Pergerakan feses dari kolon sigmoid menuju rectum bagian distal terhambat
oleh dua angulasi lateral dan lipatan spiral. Resistensi terhadap gerakan melalui
anorektum disebabkan oleh angulasi anteroposterior yang tajam dan sphincter anal.
Sfingter anal membentuk zona tekanan tinggi yang terdiri dari dua otot yang
tumpang tindih: sfingter anal internal (IAS) yang terdiri dari otot polos, dan sfingter
anal eksternal (EAS) yang terdiri dari otot lurik. Perubahan tonik pada IAS
ini. Namun kontraksi tersebut tidak memainkan peran penting dalam pengendalian
Defekasi volunter terjadi dalam tiga fase. Awalnya ada peningkatan tekanan
perut dan tekanan dubur yang diakibatkan oleh penutupan glotis, fiksasi diafragma
dan kontraksi otot perut, perianal, dan hamstring yang dikombinasikan dengan
anorektal normal saat istirahat adalah sekitar 90 ° dan meningkat hingga 125 °
selama penegangan. Pada saat yang sama, kontraksi kolorektal yang kuat
8
membantu pengeluaran tinja dan sphincter anal menjadi rileks. Aktivitas listrik di
EAS sangat berkurang pada tahap ini. Relaksasi ini terjadi ketika ambang batas
Hal ini dapat dilihat dari sifat kompleks kontinuitas dan defekasi bahwa ada
banyak peluang untuk terjadinya masalah baik melalui defisit fisiologis dan proses
yang tidak teratur. Fase istirahat IAS atau EAS yang tidak mencukupi, respons EAS
yang tidak adekuat atau tertunda terhadap refleks penghambatan anus, ambang
batas sensasi yang hilang atau tidak ada distensi rektum dan perasaan urgensi yang
tumpul semuanya telah diusulkan sebagai penyebab yang mungkin atau setidaknya
adekuat, kegagalan IAS untuk rileks, kontraksi EAS dan puborectalis yang tidak
tepat, kegagalan levator untuk mengangkat dasar panggul, obstruksi luminal atau
gangguan pada kontrol pusat defekasi dapat secara tunggal atau bersama-sama
dasar panggul selama mengejan telah disebut anismus dan mungkin mengakibatkan
evakuasi yang tidak lengkap, retensi feses, distensi kronis rektum, dan
9
Gambar 2.1. Ringkasan ilustrasi defekasi normal dan gangguan fisiologis yang mendasari
inkontinensia fekal. EAS, sfingter anal eksternal; IAS, sfingter anal
internal; PR, otot puborectalis.(Lee,Y.Y. 2014). 13
atau buang air besar yang menyakitkan biasanya disebut sebagai non-retentive
encopresis. Banyak anak dengan encopresis memiliki riwayat sembelit atau buang
air besar yang menyakitkan atau menunjukkan evakuasi yang tidak lengkap selama
Konstipasi kronis akibat evakuasi yang tidak teratur dan tidak lengkap
internal dan sfingter anal eksternal (EAS). Ketika anak terbiasa dengan distensi
10
rektum kronis, ia tidak lagi merasakan keinginan normal untuk buang air besar.
Kotoran lunak atau cair akhirnya bocor di sekitar massa tinja yang tertahan, yang
Gambar.2.2. Overflow Inkotinensia yang disebabkan oleh proses evakuasi buang air besar
yang tidak lengkap yang terjadi pada anak yang mengalami konstipasi.(Di
Lorenzo C, Benninga MA. 2004).
F. MANIFESTASI KLINIS
fungsional) mengalami penurunan jumlah buang air besar dengan feses yang besar
dan perubahan konsistensi (terlalu lunak atau terlalu keras). Mereka sering
mengalami rasa sakit saat buang air besar. Nyeri perut dan nafsu makan berkurang
adalah gejala tipikal. Waktu transit usus besar meningkat, massa abdomen dan
dubur dapat diraba. Dalam sonografi, diameter rektal meningkat (> 25 mm).
Seringkali, inkontinensia urin siang hari dan bahkan enuresis terjadi bersamaan.
Gangguan emosi dan perilaku tambahan ditemukan pada 30% -50% dari mereka.
11
Anak-anak dengan encopresis tanpa konstipasi (inkontinensia fekal non-
retensi) tidak memiliki banyak gejala ini. Mereka memiliki pergerakan usus harian
dengan ukuran dan konsistensi normal. Nyeri tidak sering dan nafsu makan baik.
Waktu transit usus adalah normal dan tidak ada massa tinja yang dapat dipalpasi.
Tabel 2.1. Perbedaan antara encopresis dengan konstipasi dan inkontinensia fekal
non-retensi17
Enkopresis dengan Inkontinensia fekal
konstipasi non-retensi
Pergerakan Usus Jarang Setiap Hari
Ukuran feses yang besar Ya Tidak
Konsistensi feses normal Setengah Hampir semua
Nyeri saat BAB Setengah Jarang
Nyeri perut Sering Jarang
Nafsu makan Berkurang Baik
Waktu transis usus besar Panjang Normal
Teraba massa di perut Sering Tidak ada
Teraba massa di anus Sering Tidak pernah
Diameter rektal Meningkat (>25mm) Normal
(sonografi)
Inkotinensia urin di siang 1/10 Jarang
hari
Enuresis nocturnal Sepertiga Kesepuluh
Komorbiditas dengan 30-50% 30-50%
gangguan perilaku dan
emosi
Terapi pencahar Bermanfaat Tidak membantu, bahkan
memburuk
12
G. DIAGNOSIS
non-invasif, dan harus selalu menyertakan orang tua atau pengasuh lainnya. Bagi
sebagian besar anak-anak, evaluasi dasar yang dapat dilakukan di banyak rangkaian
Jika dilakukan dengan benar dan empatik, informasi yang paling relevan akan
dikumpulkan melalui sejarah. Penting untuk mengambil waktu yang cukup selama
konsultasi awal. Pertanyaan yang berguna untuk riwayat terperinci dapat ditemukan
di (Lampiran 1).17
(Lampiran 2).17
Bagan yang sangat berguna adalah Bagan Bristol. Tujuh jenis bentuk tinja
digambarkan mulai dari "gumpalan keras yang terpisah, seperti kacang (sulit untuk
13
dilewati)" (tipe 1) hingga "berair, tidak ada benda padat, seluruhnya cair" (tipe 7).
Skala ini memungkinkan orang tua dan anak-anak untuk mengidentifikasi jenis
Gambar 2.3. Skala Tinja Bristol. Digunakan untuk mengidentifikasi jenis tinja
dengan mudah.
Setiap anak harus menjalani pemeriksaan fisik. Dianjurkan untuk
Jika sonografi tersedia, ini dapat menggantikan uji anus jika tidak ada dugaan
bentuk organik.17
yang membesar> 25-30 mm pada anak-anak dengan konstipasi. Dalam kasus ini,
14
pemeriksaan dubur dapat dihindari. Jika sonografi tidak memungkinkan,
pemeriksaan rektal standar harus dilakukan dan massa rektum dapat diraba.17
Menurut DSM-5, ada 4 fitur yang harus ada untuk mendukung diagnosis
enkopresis:18
Setidaknya satu peristiwa seperti itu harus terjadi setiap bulan selama
setidaknya 3 bulan;
Perilaku ini tidak disebabkan oleh efek suatu zat, mis., Pencahar, atau
sembelit.
15
H. DIAGNOSIS BANDING
Dementia
DELIRIUM DEMENTIA
Onset akut Onset perlahan-lahan
Berfluktuasi Satbil atau progresif
Gangguan kesadaran Kesadaran normal
Organisasi pikiran terganggu Organisasi pikiran kurang
Sering terjadi gangguan persepsi Jarang terjadi gangguan persepsi
Kewaspadaan selalu terganggu Kewaspadaan normal
Gangguan psikotik akut dan sementara2,4
Schizophrenia2,4
satu keadaan menunjukkan perilaku yang sangat kacau yang sulit dibedakan
cermat. Pada depresi terdapat perubahan yang bertahap dalam beberapa hari
X. PENATALAKSANAAN
16
Dalam mengobati delirium, hal yang paling utama adalah mengobati
pisostigmin salisilat 1-2 mg intravena atau intramuscular dan dapat diulangi 15-30
sensorik, dan lingkungan. Bantuan fisik diperlukan pasien delirium agar tidak
masuk ke dalam situasi dimana mereka dapat mencelakakan diri sendiri. Pasien
delirium tidak boleh dalam lingkungan tanpa stimulus sensorik atau dengan
dibantu agar tidak terjadi kerusakan otak yang tetap. Peredaran darah harus
Pemberian cairan harus cukup, sebab tidak jarang terjadi dehidrasi. Penderita harus
dijaga terus, lebih-lebih bila ia sangat gelisah, sebab ia berbahaya untuk diri sendiri
(jatuh, lari, loncat keluar dari jendela dan sebagainya) ataupun orang lain. 2,4,5
a) Farmakoterapi
psikosis dan insomnia. Obat yang dianggap cocok untuk psikosis adalah
17
intramuscular dan dapat diulang satu jam kemudian bila pasien masih
menunjukkan agitasi. Segera bila pasien sudah tenang dapat diberikan obat
secara peroral yang terbagi atas dua dosis yaitu sepertiganya diberikan pada
pagi hari dan dua pertiganya pada saat tidur. Untuk mencapai dosis yang
sama seperti suntikan. Maka jumlah dosis yang diberikan peroral satu
setengah kali dari dosis suntik. Dosis efektif halolperidol pada kebanyakan
dihindari pada pasien delirium karena obat tersebut telah digunakan sebagai
alkohol). 2,4,5
18
sampai 20 mg per oral jika dibutuhkan. Olanzapine dapat
dibutuhkan.
delirium sering tidak tuntas. 96 % pasien yang dirawat pulang dengan gejala
19
rupa yang dapat mencetuskan delirium. Beberapa obat juga dapat
dilakukan di rumah sakit (di ruang rawat akut geriatric) terbukti cukup
XI. PENCEGAHAN
strategi yang paling efektif untuk meminimalkan terjadinya delirium dan hasil yang
dihindari. 6
The Hospital elder life Program (HELP) adalah strategi inovatif perawatan
rumah sakit untuk pasien usia lanjut yang menggunakan strategi pencegahan
keterbatasan kondisi fisik; dan menyediakan adaptasi visual dan pendengaran untuk
XII. PROGNOSIS
Awitan delirium yang akut, gejala prodormalnya seperti gelisah dan
20
diketahui dan dapat dihilangkanmaka gejala-gejalanya akan menghilang dalam
waktu 3-7 hari dan akan seluruhnya dalam waktu2 minggu. Jika delirium telah
mimpi buruk atau pengalaman yang mengerikan yang hanya diingatsecara samar-
samar. 2,4,5
21
BAB III
KESIMPULAN
22
DAFTAR PUSTAKA
23
12. Coffey.C, Catto-Smith.AG . Childhood Encopresis: Pathophysiology,
Evaluation and Treatment. Dept of Gastroenterology, Royal Children’s
Hospital Melbourne. Australia. 2016
13. Di Lorenzo C, Benninga MA. Pathophysiology of pediatric fecal incontinence.
Gastroenterology. 2004
14. Partin JC, Hamill SK, Fischel JE, Partin JS. Painful defecation and fecal soiling
in children. Pediatrics. 1992
15. Borowitz SM, Cox DJ, Sutphen JL. Differences in toileting habits between
children with chronic encopresis, asymptomatic siblings, and asymptomatic
nonsiblings. J Dev Behav Pediatr. 1999. 20(3):145-9.
16. Lee, Y.Y. What’s new in the toolbox for constipation and fecal incontinence.
Frountiers in Medicine. 2014. 5(1):3-5
17. Gontard, Av. Encopresis. In Rey JM (ed), IACAPAP e-Textbook of Child and
Adolescent Mental Health. Geneva: International Association for Child and
Adolescent Psychiatry and Allied Professions 2012.
18. American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical manual of mental
disorders (5th ed.). Arlington, VA: American Psychiatric Publishing. 2013.
24
LAMPIRAN
25