Anda di halaman 1dari 26

Referat

Enkopresis

Oleh:

Muhammad Fajariyanoor, S.Ked 1830912310092

Wulan Syafitri, S.Ked 1830912320114

Aulia Azahrah, S.Ked 1830912320021

Tasya Valiana B, S.Ked 1730912320011

Pembimbing:

dr. Yanti Fitria, Sp.KJ

BAGIAN/SMF ILMU KEDOKTERAN JIWA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNLAM/RSUD ULIN


BANJARMASIN

Januari, 2020
DAFTAR ISI

HALAMAN

JUDUL....................................................................................... ......................

DAFTAR ISI.................................................................................................... ii

BAB I. PENDAHULUAN......................................................................... 1

BAB II. TINJAUAN

PUSTAKA................................................................ .......................................

BAB III. PENUTUP...................................................................... ............... 39

DAFTAR PUSTAKA

2
3
BAB I

PENDAHULUAN

Menurut ICD-10 ( World Health Organization, WHO, 2008) and DSM-IV-


TR ( American Pscyhiatric Association, APA, 2000), enkopresis didefinisikan
sebagai pelepasan tinja secara langsung dan tidak langsung di tempar-tempat yang
kurang sesuai.1 Pola harus ditemukan sekurangnya tiga bulan dan usia kronologis
anak harus sekurangnya 4 tahun, atau anak harus mempunyai tingkat perkembangan
anak berusia 4 tahun.2
Pengendalian usus berkembang secara bertahap selama periode waktu
tertentu. Latihan ( toilet training ) dipengaruhi oleh banyak faktor seperti kapasitas
intelektual anak dan maturitas sosial, determinan kultural dan interaksi psikologis
antara anak dan orang tua. Urutan normal dari perkembangan pengendalian fungsi
khusus adalah perkembangan kontinensia fekal noktural dan perkembangan
kontinensia fekal diurnal.2
Prevalensi enkopresis biasanya dijumpai pada anak-anak berusia antara 7
hingga 8 tahun dimana sekitar 2,3% laki –laki mempunyai prevalensi lebih tinggi
berbanding perempuan yaitu sekitar 0,7%. Enkopresis bertambah seiring usia
sehingga umur 16 tahun dimana angka prevalensi sudah menujukkan hampir nol.3
Enkopresis biasanya terjadi pada pagi hari dan jika terjadi pada malam hari biasanya
berhubungan dengan faktor organik dan memerlukan pemeriksaan somatic secara
terperinci.1
Ciri diagnostik yang menentukan ialah pengeluaran tinja secara tak layak.
Kondisi ini dapat timbul dengan berbagai cara yaitu mungkin menggambarkan
kurang adekuatnya latihan kebersihan ( toilet training) atau kurang responsifnya
anak terhadap latihan itu dengan riwayat kegagalan terus menerus untuk
memperoleh kemampuan mengendalikan gerakan usus.4
Seterusnya, kondisi ini mungkin mencerminkan suatu gagasan psikologis
dengan pengendalian fisiologis buang air besar yang normal tetapi karena suatu
alasan terdapat keengganan, perlawanan, atau kegagalan untuk menyesuaikan diri

3
dengan norma sosial untuk buang air besar di tempat yang layak. Keadaan ini juga
disebabkan oleh akibat retensi fisiologis yang bertumpuk pada perlekatan tinja di
tempat yang tidak layak. Retensi seperti ini mungkin timbul sebagai akibat
pertentangan antara orang tua dengan anak mengenai latihan buang air besar atau
akibat menahan tinja karena nyeri saat buang air besar ( misalnya akibat fisura ani)
atau karena sebab lain.4
Stres dan masalah dari keluarga harus dikawal dengan baik. Orang tua harus
didik tentang memberi sokongan kepada anak secara psikologis dan tidak
meremehkan anak-anak. Penatalaksanaan untuk kondisi ini adalah dengan
mengurus perlakuan anak dengan baik.5

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Istilah ‘enkopresis’ berasal dari bahasa Yunani kuno ἐγκόπρησις/egkóprēsis,

yang berarti feses, pertama kali diperkenalkan pada tahun 1926 oleh Weissenberg

untuk menggambarkan keluarnya feses ke pakaian di mana kondisi ini ekuivalen

dengan enuresis. Enkopresis adalah suatu pola pengeluaran feses yang tidak

disadari atau disengaja di tempat yang tidak sesuai, seperti pakaian atau ke lantai

pada anak berusia 4 tahun ke atas tanpa sebab organik. Hal ini setidaknya terjadi

satu kali setiap bulan.6

Enkopresis adalah salah satu gangguan eliminasi yang dijelaskan dalam revisi

DSM-V (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fifth Edition).

Enkopresis biasanya menyebabkan seseorang mengotori pakaian dalam dengan

feses oleh anak-anak yang melewati usia toilet training. Gangguan ini dianggap

setelah usia 4 tahun ketika anak-anak secara kronologis, diharapkan sudah dapat

menguasai keterampilan ini.7

B. EPIDEMIOLOGI

Enkopresis mempengaruhi sekitar 4% dari semua anak berusia 5 hingga 12

tahun di masyarakat Barat. Kejadian enkopresis pada anak berusia 4 tahun adalah

sebesar 3% dan 1,6% pada anak berusia 10 tahun. Enkopresis terjadi lebih sering

pada kelompok usia 5 hingga 10 tahun dan lebih jarang pada remaja. Enkopresis

lebih sering terjadi pada anak laki-laki. Enkopresis juga dapat terjadi pada remaja

5
dan bahkan di antara orang dewasa, namun prevalensinya tidak diketahui pada

kelompok usia tersebut. Konstipasi mempengaruhi 29,6% anak-anak di seluruh

dunia dan sering dikaitkan dengan kejadian enkopresis.8,9

C. ETIOLOGI

Enkopresis sebagian besar berkorelasi dengan konstipasi kronis dengan

survei terbaru yang melaporkan 80% anak-anak dengan enkopresis juga memiliki

konstipasi kronis. Christophersen dan Mortweet menggambarkan konstipasi

sebagai pengeluaran feses yang besar atau keras, sering disertai dengan keluhan

nyeri perut, jarang buang air besar (<3 kali per minggu), adanya massa perut pada

pemeriksaan fisik, dan adanya perasaan tidak nyaman sebelum, selama, dan setelah

defekasi. Namun, telah dicatat bahwa anak-anak yang sehat juga dapat mengalami

enkopresis tanpa adanya konstipasi. Kondisi ini dikenal sebagai functional

nonretentive encopresis (enkopresis tanpa konstipasi). Ada beberapa anak yang

selalu menahan BAB. Alasannya beragam, misalnya anak yang terlalu asyik

melakukan suatu kegiatan atau merasa jijik dengan toilet umum. Namun karena

rangsangan untuk BAB begitu kuat dan tak bisa ditahan lagi, akhirnya terjadilah

enkopresis.8,9

Penelitian yang mengevaluasi lingkungan keluarga pasien telah menunjukkan

bahwa keluarga anak-anak dengan enkopresis memiliki fungsi keluarga yang tidak

memadai dan kurang ekspresif. Beberapa faktor umum, seperti perpisahan serius

keluarga, toilet training yang tidak tepat dan tidak adekuat, dan gangguan

perkembangan anak juga telah dilaporkan mempengaruhi perkembangan gangguan

eliminasi.10

6
D. KLASIFIKASI

DSM-V membagi enkopresis menjadi 2 subtipe, yaitu enkopresis dengan

konstipasi (retentive encopresis) dan enkopresis tanpa konstipasi (nonretentive

encopresis). Ciri-ciri enkopresis dengan konstipasi adalah defekasi di kamar mandi

2 kali atau kurang dalam satu minggu, sekurangnya 1 fekal inkontinensia dalam

satu minggu, riwayat retensi feses, riwayat pengeluaran feses yang nyeri dan keras,

adanya jumlah feses yang banyak di rektum dan riwayat pengeluaran feses yang

berdiameter besar yang menyebabkan obstruksi. Jika terdapat dua atau lebih

daripada ciri ini pada anak 4 tahun dan keatas mengarahkan kepada kondisi ini.

Kriteria enkopresis bukan konstipasi adalah defekasi di tempat yang tidak sesuai

sekurangnya sekali sebulan, tidak ada tanda inflamasi, anatomik, metabolik dan

neoplastik untuk menjelaskan penyebab simptom subjektif, dan tidak ada fekal

inkontinensia. Kriteria ini harus dipenuhi selama dua bulan dan harus terjadi pada

umur 4 tahun.10,11

Enkopresis juga dapat dibedakan menjadi enkopresis primer dan sekunder.

Enkopresis primer terjadi pada anak-anak di atas usia empat tahun yang tidak

pernah mencapai otonomi dalam berkemih (anak yang belum pernah menjalani

toilet training). Sebaliknya, enkopresis sekunder terjadi pada anak-anak yang telah

mencapai otonomi dalam berkemih (anak yang sudah berhasil menjalani (toilet

training).9

E. PATOFISIOLOGI

Frekuensi buang air besar secara signifikan lebih tinggi pada anak-anak

yang berusia kurang dari 3 tahun dibandingkan pada usia 3 hingga 12 tahun tetapi

7
tidak terdapat perbedaan dalam total waktu transit gastrointestinal. Frekuensi

buang air besar yang normal pada kelompok usia yang lebih tua antara 4 - 9 kali per

minggu. Sedangkan pada dewasa muda 5 hingga 12 kali buang air besar per minggu

dapat dianggap normal dengan laki-laki buang air besar secara signifikan lebih

sering daripada perempuan.12

Pergerakan feses dari kolon sigmoid menuju rectum bagian distal terhambat

oleh dua angulasi lateral dan lipatan spiral. Resistensi terhadap gerakan melalui

anorektum disebabkan oleh angulasi anteroposterior yang tajam dan sphincter anal.

Sudut anorektal dipertahankan oleh otot panggul lurik, terutama puborectalis.

Sfingter anal membentuk zona tekanan tinggi yang terdiri dari dua otot yang

tumpang tindih: sfingter anal internal (IAS) yang terdiri dari otot polos, dan sfingter

anal eksternal (EAS) yang terdiri dari otot lurik. Perubahan tonik pada IAS

sepenuhnya refleks sementara pada EAS bersifat volunter. Kontraksi musculus

puborectalis bersamaan dengan kontraksi EAS dianggap membantu peran sphincter

ini. Namun kontraksi tersebut tidak memainkan peran penting dalam pengendalian

enkopresis seperti EAS.12

Defekasi volunter terjadi dalam tiga fase. Awalnya ada peningkatan tekanan

perut dan tekanan dubur yang diakibatkan oleh penutupan glotis, fiksasi diafragma

dan kontraksi otot perut, perianal, dan hamstring yang dikombinasikan dengan

kontraksi sling puborectalis dan kedua sphincter. Kemudian otot-otot panggul

mengendur memungkinkan pelurusan sudut rektoanal dan kedua sfingter. Sudut

anorektal normal saat istirahat adalah sekitar 90 ° dan meningkat hingga 125 °

selama penegangan. Pada saat yang sama, kontraksi kolorektal yang kuat

8
membantu pengeluaran tinja dan sphincter anal menjadi rileks. Aktivitas listrik di

EAS sangat berkurang pada tahap ini. Relaksasi ini terjadi ketika ambang batas

untuk defekasi otomatis tercapai. Saat defaecation berlangsung, tekanan rektal

secara bertahap turun. Tahap ketiga melibatkan kembalinya ke keadaan semula

setelah kontraksi rebound sphincter anal.12

Hal ini dapat dilihat dari sifat kompleks kontinuitas dan defekasi bahwa ada

banyak peluang untuk terjadinya masalah baik melalui defisit fisiologis dan proses

yang tidak teratur. Fase istirahat IAS atau EAS yang tidak mencukupi, respons EAS

yang tidak adekuat atau tertunda terhadap refleks penghambatan anus, ambang

batas sensasi yang hilang atau tidak ada distensi rektum dan perasaan urgensi yang

tumpul semuanya telah diusulkan sebagai penyebab yang mungkin atau setidaknya

berkontribusi terhadap terjadinya inkontinensia fecal. . Propulsi kolon yang tidak

adekuat, kegagalan IAS untuk rileks, kontraksi EAS dan puborectalis yang tidak

tepat, kegagalan levator untuk mengangkat dasar panggul, obstruksi luminal atau

gangguan pada kontrol pusat defekasi dapat secara tunggal atau bersama-sama

mengakibatkan defekasi terhambat. Kegagalan untuk mengendurkan otot lurik dari

dasar panggul selama mengejan telah disebut anismus dan mungkin mengakibatkan

evakuasi yang tidak lengkap, retensi feses, distensi kronis rektum, dan

kemungkinan penurunan bersamaan pada sensasi.12

9
Gambar 2.1. Ringkasan ilustrasi defekasi normal dan gangguan fisiologis yang mendasari
inkontinensia fekal. EAS, sfingter anal eksternal; IAS, sfingter anal
internal; PR, otot puborectalis.(Lee,Y.Y. 2014). 13

Dalam sebagian besar kasus, encopresis berkembang sebagai konsekuensi

dari konstipasi kronis dengan mengakibatkan inkontinensia overflow yang biasanya

disebut retentive encopresis; encopresis dengan tidak adanya riwayat konstipasi

atau buang air besar yang menyakitkan biasanya disebut sebagai non-retentive

encopresis. Banyak anak dengan encopresis memiliki riwayat sembelit atau buang

air besar yang menyakitkan atau menunjukkan evakuasi yang tidak lengkap selama

buang air besar pada pemeriksaan fisik atau penilaian radiografi.14,15,16

Konstipasi kronis akibat evakuasi yang tidak teratur dan tidak lengkap

mengakibatkan distensi rektum progresif dan peregangan kedua sfingter anal

internal dan sfingter anal eksternal (EAS). Ketika anak terbiasa dengan distensi

10
rektum kronis, ia tidak lagi merasakan keinginan normal untuk buang air besar.

Kotoran lunak atau cair akhirnya bocor di sekitar massa tinja yang tertahan, yang

mengakibatkan kotoran tinja.14

Gambar.2.2. Overflow Inkotinensia yang disebabkan oleh proses evakuasi buang air besar
yang tidak lengkap yang terjadi pada anak yang mengalami konstipasi.(Di
Lorenzo C, Benninga MA. 2004).

F. MANIFESTASI KLINIS

Anak-anak yang mengalami encopresis dengan konstipasi (atau konstipasi

fungsional) mengalami penurunan jumlah buang air besar dengan feses yang besar

dan perubahan konsistensi (terlalu lunak atau terlalu keras). Mereka sering

mengalami rasa sakit saat buang air besar. Nyeri perut dan nafsu makan berkurang

adalah gejala tipikal. Waktu transit usus besar meningkat, massa abdomen dan

dubur dapat diraba. Dalam sonografi, diameter rektal meningkat (> 25 mm).

Seringkali, inkontinensia urin siang hari dan bahkan enuresis terjadi bersamaan.

Gangguan emosi dan perilaku tambahan ditemukan pada 30% -50% dari mereka.

Penggunaan obat pencahar dapat membantu mengatasi gejala tersebut.17

11
Anak-anak dengan encopresis tanpa konstipasi (inkontinensia fekal non-

retensi) tidak memiliki banyak gejala ini. Mereka memiliki pergerakan usus harian

dengan ukuran dan konsistensi normal. Nyeri tidak sering dan nafsu makan baik.

Waktu transit usus adalah normal dan tidak ada massa tinja yang dapat dipalpasi.

Enuresis dan inkontinensia urin jarang terjadi, sedangkan komorbiditas dengan

gangguan psikologis serupa (30% -50%). Akhirnya, obat pencahar tidak

berpengaruh bahkan dapat memperburuk kekotoran.17

Berikut adalah tabel perbedaan antara enkopresis dengan konstipasi dan

enkopresis tanpa konstipasi

Tabel 2.1. Perbedaan antara encopresis dengan konstipasi dan inkontinensia fekal
non-retensi17
Enkopresis dengan Inkontinensia fekal
konstipasi non-retensi
Pergerakan Usus Jarang Setiap Hari
Ukuran feses yang besar Ya Tidak
Konsistensi feses normal Setengah Hampir semua
Nyeri saat BAB Setengah Jarang
Nyeri perut Sering Jarang
Nafsu makan Berkurang Baik
Waktu transis usus besar Panjang Normal
Teraba massa di perut Sering Tidak ada
Teraba massa di anus Sering Tidak pernah
Diameter rektal Meningkat (>25mm) Normal
(sonografi)
Inkotinensia urin di siang 1/10 Jarang
hari
Enuresis nocturnal Sepertiga Kesepuluh
Komorbiditas dengan 30-50% 30-50%
gangguan perilaku dan
emosi
Terapi pencahar Bermanfaat Tidak membantu, bahkan
memburuk

12
G. DIAGNOSIS

Penilaian pada anak-anak dengan encopresis sebisa mungkin dengan cara

non-invasif, dan harus selalu menyertakan orang tua atau pengasuh lainnya. Bagi

sebagian besar anak-anak, evaluasi dasar yang dapat dilakukan di banyak rangkaian

perawatan primer sudah cukup (Tabel 2.2).17

Tabel 2.2. Penilaian Standar dan lanjutan dari enkopresis

Penilaian Standar (cukup untuk sebagian besar kasus)


 Anamnesis
 Kuisioner dan Skala
 Pemeriksaan fisik
 Sonografi (tidak di semua pusat)
 Skrining gangguan perilaku atau penilaian penuh terkait kejiwaan anak
Penilaian Lanjutan (hanya apabila terdapat indikasi)
 Pemeriksaan bakteriologis feses
 Radiologi (foto polos abdomen, foto kontras colon, MRI colon)
 Manometri
 Endoskopi dan biopsy

Riwayat perjalanan penyakit adalah aspek penilaian yang paling penting.

Jika dilakukan dengan benar dan empatik, informasi yang paling relevan akan

dikumpulkan melalui sejarah. Penting untuk mengambil waktu yang cukup selama

konsultasi awal. Pertanyaan yang berguna untuk riwayat terperinci dapat ditemukan

di (Lampiran 1).17

Kuisioner dapat menjadi prosedur yang berguna dan menghemat waktu

untuk mendapatkan informasi dan untuk memeriksa apakah informasi yang

diperoleh melalui riwayat sudah lengkap. Kuisioner singkat ditunjukkan pada

(Lampiran 2).17

Bagan yang sangat berguna adalah Bagan Bristol. Tujuh jenis bentuk tinja

digambarkan mulai dari "gumpalan keras yang terpisah, seperti kacang (sulit untuk

13
dilewati)" (tipe 1) hingga "berair, tidak ada benda padat, seluruhnya cair" (tipe 7).

Skala ini memungkinkan orang tua dan anak-anak untuk mengidentifikasi jenis

tinja yang dominan dengan mudah dan tanpa deskripsi panjang.17

Gambar 2.3. Skala Tinja Bristol. Digunakan untuk mengidentifikasi jenis tinja
dengan mudah.
Setiap anak harus menjalani pemeriksaan fisik. Dianjurkan untuk

melakukan pemeriksaan pediatrik umum dan neurologis. Area perianal dan

perigenital harus diperiksa. Tulang belakang, perbedaan refleks dan asimetri

bokong harus diperhatikan. Pemeriksaan rektal harus dilakukan setidaknya sekali.

Jika sonografi tersedia, ini dapat menggantikan uji anus jika tidak ada dugaan

bentuk organik.17

Jika tersedia, sonografi abdomen, ginjal, kandung kemih dan daerah

retrovesikal sangat membantu. Temuan paling penting adalah diameter rektum

yang membesar> 25-30 mm pada anak-anak dengan konstipasi. Dalam kasus ini,

14
pemeriksaan dubur dapat dihindari. Jika sonografi tidak memungkinkan,

pemeriksaan rektal standar harus dilakukan dan massa rektum dapat diraba.17

Karena tingginya angka komorbiditas, penilaian psikiatrik anak

direkomendasikan dalam pengaturan psikiatrik anak. Dalam pengaturan lain,

skrining dengan kuesioner yang divalidasi (seperti Daftar Perilaku Anak;

Achenbach, 1991) direkomendasikan. Jika skor dalam kisaran klinis, penilaian

lebih lanjut atau rujukan psikiatrik anak direkomendasikan.17

Menurut DSM-5, ada 4 fitur yang harus ada untuk mendukung diagnosis

enkopresis:18

 Usia kronologis pasien harus minimal 4 tahun;

 Kotoran berulang-ulang ke tempat-tempat yang tidak pantas, misalnya,

pakaian atau lantai. Ini bisa disengaja atau tidak disengaja;

 Setidaknya satu peristiwa seperti itu harus terjadi setiap bulan selama

setidaknya 3 bulan;

 Perilaku ini tidak disebabkan oleh efek suatu zat, mis., Pencahar, atau

kondisi medis lainnya, dengan pengecualian mekanisme yang melibatkan

sembelit.

Dalam membuat diagnosis, sangat penting bagi dokter untuk menentukan

yang mana dari yang berikut ini:18

 Dengan konstipasi dan inkontinensia overflow: melalui pemeriksaan fisik

atau riwayat medis, ada bukti konstipasi.

 Tanpa konstipasi dan inkontinensia overflow: melalui pemeriksaan fisik

atau riwayat medis, tidak ada bukti konstipasi.

15
H. DIAGNOSIS BANDING
 Dementia

DELIRIUM DEMENTIA
Onset akut Onset perlahan-lahan
Berfluktuasi Satbil atau progresif
Gangguan kesadaran Kesadaran normal
Organisasi pikiran terganggu Organisasi pikiran kurang
Sering terjadi gangguan persepsi Jarang terjadi gangguan persepsi
Kewaspadaan selalu terganggu Kewaspadaan normal
 Gangguan psikotik akut dan sementara2,4

 Schizophrenia2,4

Beberapa pasien dengan schizophrenia atau episode manik mungkin pada

satu keadaan menunjukkan perilaku yang sangat kacau yang sulit dibedakan

dengan delirium. Secara umum, halusinasi dan waham pada pasien

skizofrenia lebih konstan dan lebih terorganisasi dibandingkan dengan

kondisi pasien delirium. 2,4

 Gangguan mood (afektif)

Sindrom delirium dengan gejala yang hiperaktif sering keliru dianggap

sebagai pasien yang cemas (anxietas), sedangkan hipoaktif dianggap

sebagai depresi. Keduanya dapat dibedakan dengan pengamatan yang

cermat. Pada depresi terdapat perubahan yang bertahap dalam beberapa hari

atau minggu. Sedangkan pada delirium biasanya gejala berkembang dalam

beberapa jam. 2,4

X. PENATALAKSANAAN

16
Dalam mengobati delirium, hal yang paling utama adalah mengobati

penyebabnya. Bila penyebabnya akibat toksisitas antikolinergik, maka digunakan

pisostigmin salisilat 1-2 mg intravena atau intramuscular dan dapat diulangi 15-30

menit bila diperlukan. 2,4,5

Tujuan pengobatan yang penting lainnya adalah memberikan bantuan fisik,

sensorik, dan lingkungan. Bantuan fisik diperlukan pasien delirium agar tidak

masuk ke dalam situasi dimana mereka dapat mencelakakan diri sendiri. Pasien

delirium tidak boleh dalam lingkungan tanpa stimulus sensorik atau dengan

stimulus yang berlebihan. Biasanya pasien delirium di bantu dengan meminta

teman keluarga di dalam ruangan. 2,4,5

Pengobatan etiologis harus sedini-dininya dan di samping ini faal otak

dibantu agar tidak terjadi kerusakan otak yang tetap. Peredaran darah harus

diperhatikan (nadi, jantung, tekanan darah), bila perlu diberi stimulansia.

Pemberian cairan harus cukup, sebab tidak jarang terjadi dehidrasi. Penderita harus

dijaga terus, lebih-lebih bila ia sangat gelisah, sebab ia berbahaya untuk diri sendiri

(jatuh, lari, loncat keluar dari jendela dan sebagainya) ataupun orang lain. 2,4,5

Terhadap gejala-gejala psikiatrik, bila sangat menganggu, dapat diberikan

neroleptika terutama yang mempunyai dosis efektif tinggi.

a) Farmakoterapi

Dua gejala utama delirium yang memerlukan terapi obat yaitu

psikosis dan insomnia. Obat yang dianggap cocok untuk psikosis adalah

haloperidol. Pemberian dosis obat tergantung umur, berat badan, dan

kondisi pasien tersebut. Pemberian haloperidol berkisar antara 2-10 mg

17
intramuscular dan dapat diulang satu jam kemudian bila pasien masih

menunjukkan agitasi. Segera bila pasien sudah tenang dapat diberikan obat

secara peroral yang terbagi atas dua dosis yaitu sepertiganya diberikan pada

pagi hari dan dua pertiganya pada saat tidur. Untuk mencapai dosis yang

sama seperti suntikan. Maka jumlah dosis yang diberikan peroral satu

setengah kali dari dosis suntik. Dosis efektif halolperidol pada kebanyakan

penderita delirium berkisar antara5-50 mg. 2,4,5

Droperidol (inapsine) adalah suatu butyrophenon yang tersedia

sebagai suatu formula intravena alterbative, walaupun monitoring

elektrokardiogram adalah sangat penting untuk pengobatan ini. Golongan

phenothiazine harus dihindari pada pasien delirium, karena obat tersebut

disertai dengan aktivitas anti kolinergik yang bermakna. 2,4,5

Insomnia paling baik diobati dengan golongan benzodiazepine

dengan waktu paruh pendek atau hydroxizine (vistaril) 25 – 100 mg.

Golongan benzodiazepine dengan waktu paruh panjang dan barbiturat harus

dihindari pada pasien delirium karena obat tersebut telah digunakan sebagai

bagian dari pengobatan untuk gangguan dasar ( sebagai contoh : putus

alkohol). 2,4,5

 Pengobatan termasuk pengobatan pada penyakit yang mendasari dan

identifikasi medikasi yang mempengaruhi derajat kesadaran

 Olanzapine (zyprexa) : adalah obat neuroleptic atipikal, dengan efek

ekstrapiramidal yang ringan, efektif untuk pengobatan delirium yang

disertai agitasi. Dosisnya dimulai dengan 2,5 mg dan meningkat

18
sampai 20 mg per oral jika dibutuhkan. Olanzapine dapat

menurunkan ambang kejang, namun sisanya dapat ditoleransi

dengan cukup baik.

 Risperidone (risperidal) juga efektif dan dapat ditoleransi dengan

baik, dimulai dengan 0,5 mg 2x sehari atau 1 mg sebelum tidur,

meningkat sampai 3 mg 2x sehari jika dibutuhkan.

 Haloperido (haldol) dapat digunakan dengan dosis rendah (0,5 mg –

2 mg 2x sehari), jika dibutuhkan secara intravena. Efek samping

ekstrapiramidal dapat terjadi,dapat ditambahkan dengan sedatif

misalnya lorezepam diawali 0,5 mg – 1 mg setiap 3 – 8 jam jika

dibutuhkan.

b) Non farmakologis (pencegahan)

Berbagai literatur menyebutkan bahwa pengobatan sindrom

delirium sering tidak tuntas. 96 % pasien yang dirawat pulang dengan gejala

sisa. Hanya 20 % dari kasus-kasus tersebut yang tuntas dalam 6 bulan

setelah pulang. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya prevalensi

sindrom delirium dimasyarakat lebih tinggi dari yang diduga sebelumnya.

Pemeriksaan penapisan oleh dokter umum atau dokter keluarga di

masyarakat menjadi penting dalam rangka menemukan kasus dini dan

mencegah penyulit yang fatal. 2,4,5

Rudolph (2003) melaporkan bahwa separuh dari kasus yang

diamatinya mengalami delirium saat dirawat di rumah sakit.berarti ada

karakteristik pasien tertentu dan suasana / situasi rumah sakit sedemikian

19
rupa yang dapat mencetuskan delirium. Beberapa obat juga dapat

mencetuskan delirium, terutama yang mempunyai efek anti kolinergik dan

gangguan faal kognitif. Beberapa obat yang diketahui meningkatkan resiko

delirium antara lain : benzodiazepine, kodein, amitriptilin (antidepresan)

difenhidramid, ranitidin, digoxin, amiodaron, metildopa, procainamid,

levodopa, fenitoin, siproflolsasin, beberapa tindakan sederhana yang dapat

dilakukan di rumah sakit (di ruang rawat akut geriatric) terbukti cukup

efektif mampu mencegah delirium. 2,4,5

XI. PENCEGAHAN

Diperkirakan 30-40% kasus delirium dapat dicegah, dan pencegahan adalah

strategi yang paling efektif untuk meminimalkan terjadinya delirium dan hasil yang

merugikan. Obat-obatan seperti benzodiazepine, antikolinergik dan alkohol harus

dihindari. 6

The Hospital elder life Program (HELP) adalah strategi inovatif perawatan

rumah sakit untuk pasien usia lanjut yang menggunakan strategi pencegahan

delirium teruji untuk meningkatkan kualitas keseluruhan perawatan di rumah sakit.

Program ini meliputi yang berikut: mempertahankan orientasi ke lingkungan;

memenuhi kebutuhan nutrisi, cairan dan tidur; mempromosikan mobilitas dalam

keterbatasan kondisi fisik; dan menyediakan adaptasi visual dan pendengaran untuk

pasien dengan gangguan sensorik.6

XII. PROGNOSIS
Awitan delirium yang akut, gejala prodormalnya seperti gelisah dan

perasaan takutmungkin muncul pada awal awitan. Bila penyebabnya tidak

20
diketahui dan dapat dihilangkanmaka gejala-gejalanya akan menghilang dalam

waktu 3-7 hari dan akan seluruhnya dalam waktu2 minggu. Jika delirium telah

berakhir, biasanya hilang timbul, dan pasien mungkinmenganggapnya sebagai

mimpi buruk atau pengalaman yang mengerikan yang hanya diingatsecara samar-

samar. 2,4,5

21
BAB III

KESIMPULAN

Sindroma delirium sering tidak terdiagnosis dengan baik karena berbagai


sebab. Keterlambatan diagosis memperpanjang masa rawat dan meningkatkan
mortalitas. Defisiensi asetilkolin yang berhubungan dengan beberapa faktor
predisposisi dan faktor pencetus merupakan mekanisme dasar yang harus selalu
diingat. Pencetus tersering pneumonia dan ISK.
Gangguan fisik global, perubahan aktivitas psikomotor, perubahan siklus
tidur, serta perubahan kesadaran yang terjadi akut dan berfluktuatif merupakan
gejala yang sering ditemukan. Beberapa peneliti menggolongkan delirium ke
dalam beberapa tipe. Kriteria diagnosis baku menggunakan DSM V; instrument
baku yang digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis.
Beberapa penyakit mempunyai gejala dan tanda mirip sehingga diperlukan
kewaspadaan serta pemeikiran kemungkinan diferential diagnositik. Pengelolahan
pasien terutama ditujukan untuk mengidentifikasi serta menatalaksana faktor
predisposisi dan pencetus. Penatalaksanaan non farmakologik dan farmakologik
sama pentingnya dan diperlukan kerjasama dengan psikiater geriatric terutama
dalam pengelolahan dalam pengelolahan pasien yang gelisah.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Alexander von Gontard, Developmental Disorders:Encopresis:International


Association for Child and Adolescent Psychiatry and Allied Professions 2012.
2. Sadock B., Sadock V. Gangguan Eliminasi: Kaplan & Sadock Buku Ajar
Psikiatri Klinis.Edisi 2. Jakarta: EGC, 2012.hal 799-802.
3. Jerald Kay., Allan Tasman. Essentials of Psychiatry. Childhood Disorders:
Elimination disorders and Childhood Anxiety Disorders. England: John Wiley
& Sons Ltd. Hal 358 – 361.
4. Maslim, Rusdi ., Diagnosis Gangguan Jiwa: PPDGJ-IIl, 2001. hal 495 – 497.
5. David Semple., Roger Smyth, Jonathan Burns, Rajan Darjee, Andrew
McIntosh. Oxyford Handbook Of Psychiatry. hal 588.
6. Vuletic B. Encopresis in children: an overview of recent findings. Ser J Exp
Clin Res. 2017; 18(2): 157-61.
7. Sadock B., Sadock V. Elimination disorder: Kaplan & Sadock's Synopsis of
Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry, 10th Edition. Ebook:
Lippincott Williams & Wilkins. 2007.
8. Anderson B. Physical therapy for a child with encopresis: a case report. Pediatr
Phys Ther. 2019; 31: 1-7.
9. Chinawa JM, Obu HA, Manyike P, et al. Prevalence of encopresis in children
aged 5-12 years attending government primary schools in South East Nigeria.
Afr J Med Health Sci. 2015; 14(1): 13-17.
10. Kultur SEC, Akdemir D, Temizel INS. Comparison of familial and
psychological factors in groups of encopresis patients with constipation and
without constipation. The Turkish Journal of Pediatrics. 2014: 56(5): 524-31.
11. Von GA. Encopresis. IACAPAP e-Textbook of Child and Adolescent Mental
Health. Geneva: International Association for Child and Adolescent Psychiatry
and Allied Professions. 2012.

23
12. Coffey.C, Catto-Smith.AG . Childhood Encopresis: Pathophysiology,
Evaluation and Treatment. Dept of Gastroenterology, Royal Children’s
Hospital Melbourne. Australia. 2016
13. Di Lorenzo C, Benninga MA. Pathophysiology of pediatric fecal incontinence.
Gastroenterology. 2004
14. Partin JC, Hamill SK, Fischel JE, Partin JS. Painful defecation and fecal soiling
in children. Pediatrics. 1992
15. Borowitz SM, Cox DJ, Sutphen JL. Differences in toileting habits between
children with chronic encopresis, asymptomatic siblings, and asymptomatic
nonsiblings. J Dev Behav Pediatr. 1999. 20(3):145-9.
16. Lee, Y.Y. What’s new in the toolbox for constipation and fecal incontinence.
Frountiers in Medicine. 2014. 5(1):3-5
17. Gontard, Av. Encopresis. In Rey JM (ed), IACAPAP e-Textbook of Child and
Adolescent Mental Health. Geneva: International Association for Child and
Adolescent Psychiatry and Allied Professions 2012.
18. American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical manual of mental
disorders (5th ed.). Arlington, VA: American Psychiatric Publishing. 2013.

24
LAMPIRAN

25

Anda mungkin juga menyukai