Anda di halaman 1dari 16

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN

KONSTIPASI

OLEH :
Nendy Floresta
C111 14 804

SUPERVISOR PEMBIMBING :
dr. Eka Yusuf Inra Kartika, Sp.A (K)

RESIDEN PEMBIMBING :
dr. Anggun Indrawaty
dr. Muhammad Farid Husein

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEH ATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018

1
H ALAMAN PENGESAHAN

Berikut nama dibawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Nendy Floresta


NIM : C111 14 804
Judul : Konstipasi

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Departemen


Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Mengetahui,

Residen Pembimbing Residen Pembimbing

dr. Anggun Indrawaty dr. Muhammad Farid Husein

Supervisor,

dr. Eka Yusuf Inra Kartika, Sp.A (K)

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...................................................................................... 1


HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................... 2
DAFTAR ISI .................................................................................................... 3
BAB 1. PENDAHULUAN ............................................................................. 4
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi ......................................................................................... 5
2.2. E|pidemiologi................................................................................. 5
2.3. E|tiologi ......................................................................................... 6
2.4. Patofisiologi .................................................................................. 7
2.5. Gejala dan tanda klinis .................................................................. 8
2.6. Faktor- faktor risiko konstipasi ...................................................... 8
2.7. Pemeriksaan penunjang ................................................................ 11
2.8. Penatalaksanaan ............................................................................ 12
2.10. Prognosis ..................................................................................... 14
BAB 3. KESIMPULAN ............................................................................. 15

3
BAB I
PENDAHULUAN

Perubahan pola diet merupakan salah satu penyebab utama tingginya kejadian
konstipasi . konstipasi umumnya memberikan gejala berupa rasa cemas sewaktu defekasi
karena nyeri yang dirasakan, nyeri perut berulang, sampai keadaan penurunan nafsu makan
dan gangguan pertumbuhan.
Konstipasi merupakan keadaan yang sering ditemukan pada anak dan dapat
menimbulkan masalah sosial dan psikologis. Konstipasi lebih merupakan suatu gejala klinis
dibandingkan sebagai suatu penyakit yang itu tersendiri. Berdasarkan patofisiologi konstipasi
dapat diklasifikasikan menjadi konstipasi akibat struktural dan konstipasi fungsional.
Sejumlah 97% kasus konstipasi anak disebabkan oleh konstipasi fungsional dengan kejadian
yang sama antara laki-laki dan perempuan. Bekkali NL mendapatkan usia anak yang
menderita konstipasi fungsional dan rectal fecal impaction (RFI) berkisar antara 4-16 tahun.
Prevalensi konstipasi diperkirakan 0,3% sampai 8%. Menurut Van den Berg MM ,
prevalensi konstipasi 0,7% sampai 26,9%. Pada studi retrospektif oleh Loening-Baucke tahun
2005 didapatkan prevalensi konstipasi pada ank usia 1 tahun mencapai 2,9% dan meningkat
pada tahun kedua, yaitu sekitar 10,1%.
Keluhan konstipasi sering menjadi alasan orang tua membawa anaknya berobat.
Keluhan yang berhubungan dengan konstipasi ditemukan pada 3% anak yang berobat ke
pusat pelayanan primer dan 25% berobat ke spesialis gastroenterologi.
(yusri dianne,2013)

BAB 2
4
PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI

Pengertian konstipasi yaitu kesulitan buang air besar dengan konsistensi feses yang
padat dengan frekuensi buang air besar lebih atau sama dengan 3 hari sekali. Konstipasi
memiliki persepsi gejala yang berbeda-beda pada setiap anak tergantung pada konsistensi
tinja, frekuensi buang air besar dan kesulitan keluarnya tinja. Pada anak normal yang hanya
buang air besar setiap 2-3 hari dengan tinja yang lunak tanpa kesulitan bukan disebut
konstipasi. Namun, buang air besar setiap 3 hari dengan tinja yang keras dan sulit keluar,
sebaiknya dianggap konstipasi. Menurut World Gastroenterology Organization (WGO)
konstipasi adalah defekasi keras (52%), tinja seperti pil/butir (44%), tidak mampuan defekasi
saat diiginkan (34%) atau defekasi yang jarang (33%).
Menurut North American Society of Gastroenterology and Nutrition, konstipasi
adalah kesulitan atau lamanya defekasi, timbul selama 2 minggu atau lebih, dan
menyebabkan ketidaknyamanan pada pasien (Van den Berg dkk., 2007) . untuk praktisnya ,
seorang anak dikatakan menderita konstipasi apabila ia tidak berhasil melakukan defekasi
dengan kekuatan sendiri, sakit saat berdefekasi atau telah terjadi inkontensia akibat
penumpukan feses.
Menurut kriteria Rome III , konstipasi fungsional pada anak apabila dijumpai
setidaknya 1 kali dalam seminggu selama setidaknya 2 bulan dan meliputi 2 atau lebih gejala
berikut pada anak dengan usia perkembangan lebih dari 4 tahun, dan tidak memenuhi kriteria
diagnosis Irritable Bowel Syndrome, yaitu:
a. Buang air besar 2 kali seminggu atau kurang
b. Mengalami setidaknya 1 kali inkontensia feses setiap minggu
c. Riwayat perilaku menahan buang air besar yang berlebihan (retentive posturing)
d. Riwayat nyeri saat buang air besar atau feses yang keras
e. Terdapat massa feses yang besar direktum (herlina loka,2014)

2.2 EPIDEMIOLOGI
Tiga sampai lima persen anak-anak yang berobat ke klinik pediatrik dan 25% anak-
anak yang berobat ke klinik pediatrik gastroenterohepatologi menderita konstipasi.
Diperkirakan 0,3-28% anak-anak diseluruh dunia mengalami konstipasi. Lebih dari 90%
konstipasi pada anak bersifat fungsional tanpa ada kelainan organik dan 40% diantaranya

5
diawali sejak usia 1-4 tahun, hanya 5-10% yang mempunyai kelainan penyebab organik.
Sebanyak 84% anak dengan konstipasi fungsional mengalami retensi feses. Dilaporkan
sebanyak 3% anak prasekolah dan 1-34% anak sekolah mengalami masalah konstipasi.
(Herlina Loka ,dkk.2014)

2.3 ETIOLOGI
Penyebab tersering konstipasi pada anak adalah fungsional, fissura ani, infeksi virus
dengan ileus , diet dan obat. Sekitar 97% konstipasi pada anak disebabkan oleh fungsional.
Pada 137 anak di india 85% konstipasi disebabkan oleh fungsional dan 15% disebabkan oleh
kelainan organik.(kalbemed). Konstipasi pada umumnya terkait dengan perubahan kebiasaan
diet , kurangnya makanan mengandung serat , kurangnya asupan cairan, psikologis, takut atau
malu ke toilet. (Van Dijk dkk., 2010; Uguralp dkk., 2003; Ritterband dkk., 2003;
Devanarayana dan Rajindrajith 2011)

 MEKANISME DEFEKASI :
 Tahap 1. Rektum merenggang karena adanya tekanan dari feses yang
sudah mengumpul di rektum
 Tahap 2. Adanya regangan pada rektum akan memacu reseptor regangan
pada dinding rektum. Adanya pacuan pada reseptor ini akan menyebabkan
refleks pendek dan refleks panjang
 Tahap 3 a. Refleks pendek ini akan memacu pleksus mesenterikus di
sigmoid, kolon dan rektum sendiri
 Tahap 3 b. Refleks panjang akan memacu neuron motor parasimpatik di
medula spinalis sakrum
 Tahap 3 c. Refleks panjang juga akan memacu motor neuron somatik
 Tahap 4a. Rangsangan pada tahap 3a akan dilanjutkan dengan
peningkatan peristaltik direktum, kemudian berlanjut dengan lingkaran
umpan balik 1, dimana memperkuat tahap 1
 Tahap 4 b. Rangsangan pada tahap 3b berlanjut dengan peningkatan
peristaltik seluruh usus besar,
 kemudian diteruskan dengan lingkaran umpan balik 2, dimana akan
memperkuat tahap 1. Selain itu 3b akan memacu relaksasi sfingter ani
internus yang menyebabkan feces terdorong ke kanalis anorektal

6
 Tahap 3c akan berlanjut dengan kontraksi sfingter ani externus
 Jika ada relaksasi sengaja dari sfingter ani externus maka akan terjadi
defekasi

Konstipasi fungsional terjadi jika ada gangguan pada tahap tahap defekasi tersebut diatas

2.4 PATOFISIOLOGI
Frekuensi defekasi pada anak-anak bervariasi menurut umur. Pada anak umur 0-3
bulan dengan mengkonsumsi ASI frekuensi defekasi 3kali/hari, anak umur 0-3 bulan dengan
mengkonsumsi sus formula frekuensi defekasi 2 kali/hari, dan anak umur ≥ 1 tahun frekuensi
normal defekasi yaitu 1 kali/hari. (lacono dkk,2005)
Proses defekasi normal memerlukan keadaan anatomi dan inervasi normal dari
rektum, otot puborektal dan sfingter ani. Rektum adalah organ sensitif yang mengawali
proses defekasi. Tekanan pada dinding rektum akan merangsang sistem saraf intrinsik rektum
dan menyebabkan relaksasi sfingter ani interna, yang dirasakan sebagai keinginan untuk
defekasi. Sfingter ani eksterna kemudian menjadi relaksasi dan feses dikeluarkan mengikuti
peristaltik kolon melalui anus. Relaksasi sfingter tidak cukup kuat, maka sfingter ani eksterna
dibantu otot puborektal akan berkontraksi secara refleks dan refleks sfingter interna akan
menghilang, sehingga keinginan defekasi juga menghilang (Van Der Plas dkk., 2000; Degen
dkk., 2005; Bu LN dkk., 2007).

Gejala dan tanda klinis konstipasi pada anak dimulai dari rasa nyeri saat defekasi,
anak akan mulai menahan tinja agar tidak dikeluarkan untuk menghindari rasa tidak nyaman
yang berasal dari defekasi dan terus menahan defekasi maka keinginan defekasi akan
berangsur hilang oleh karena kerusakan sensorik di kolon dan rektum sehingga akan terjadi
penumpukan tinja (Degen dkk., 2005). Proses defekasi yang tidak lancar akan menyebabkan
feses menumpuk hingga menjadi lebih banyak dari biasanya dan dapat menyebabkan feses
mengeras yang kemudian dapat berakibat pada spasme sfingter ani. Feses yang terkumpul di
rektum dalam waktu lebih dari satu bulan menyebabkan dilatasi rektum yang mengakibatkan
kurangnya aktivitas peristaltik yang mendorong feses keluar sehingga menyebabkan retensi
feses yang semakin banyak. Peningkatan volume feses pada rektum menyebabkan
kemampuan sensorik rektum berkurang sehingga retensi feses makin mudah terjadi .

7
Refleks defekasi
hilang

Gambar 2.1. Patofisiologi defekasi (Van Der Plas dkk., 2000).

2.5 GEJALA DAN TANDA KLINIS


pada anamnesis didapatkan riwayat berkurangnya frekuensi defekasi.
Dengan terjadinya retensi feses, gejala dan tanda lain konstipasi berangsur muncul seperti
nyeri dan destensi abdomen , yang sering hilang setelah defekasi. Anak yang mengalami
konstipasi biasanya mengalami anoreksia dan kurangnya kenaikan berat badan yang akan
membaik jika konstipasinya diobati.(yusri diane,2013)

Gejala klinis konstipasi adalah frekuensi defekasi kurang dari tiga kali per
minggu, nyeri saat defekasi, tinja keras, sering mengejan pada saat defekasi, perasaan kurang puas
setelah defekasi. (Uguralp dkk., 2003; Rajindrajith dkk., 2010) Keluhan lain yang biasa timbul adalah
nyeri perut, kembung, perdarahan rektum (tinja yang keluar keras dan kehitaman). Keluhan tersebut
makin bertambah berat, bahkan sampai timbulnya gejala obstruksi intestinal (Van der Plas dkk.,
2010).

2.6 FAKTOR-FAKTOR RISIKO KONSTIPASI

Pengenalan dini faktor risiko terjadinya konstipasi dapat membantu untuk mencegah
konstipasi. Beberapa faktor risiko yang berhubungan dengan konstipasi pada anak telah diteliti yaitu
ketidakcukupan asupan serat dan cairan harian, riwayat penyakit kronis, riwayat keluarga konstipasi,
psikologis, alergi susu sapi dan riwayat asupan susu sapi pada usia awal kehidupan, kelainan yang

8
berhubungan kolon dan rektum seperti irritable bowel syndrome, hirschsprung disease, dan fisura ani
(Borowizt dkk., 2003).

1.Asupan serat harian

Asupan serat merupakan faktor penting penyebab konstipasi pada anak. Asupan serat
harus ditingkatkan secara bertahap di masa kanak-kanak, karena diet serat penting bagi
kesehatan anak terutama dalam hal menormalkan BAB. Penelitian yang dilakukan oleh Ip
dkk. (2005) menunjukkan bahwa gejala konstipasi pada anak sangat berkaitan dengan asupan
serat makanan yang rendah. Penelitian serupa dilakukan oleh Lee dkk. (2008) yang
menyatakan bahwa asupan serat yang rendah berhubungan dengan kejadian konstipasi pada
anak sekolah taman kanak-kanak di Hongkong. Penelitian di Hong Kong dan Maldives
(India) menunjukkan bahwa konsumsi serat pada anak lebih rendah dari nilai yang dianjurkan
(Lee dkk., 2008).

Serat adalah bahan makanan nabati yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan
dalam tubuh. Berdasarkan analisis kimia, serat dalam makanan digolongkan menjadi dua
kelompok. Kelompok pertama adalah selulosa yang merupakan polisakarida. Selulosa adalah
serat yang paling banyak dijumpai pada sayuran dan buah-buahan. Kelompok kedua adalah
pektin, gum dan mucilago, yang merupakan polisakarida non-selulosa. Pektin mempunyai
sifat membentuk gel jika bergabung dengan air. Gum pada tanaman biasanya diproduksi saat
kulit tanaman tergores, dan ditemukan juga dalam biji-bijian, seperti buncis, kacang polong
dan kapri (Gremse dkk., 2002).

Berdasarkan sifat larutan, serat dibedakan menjadi dua golongan yaitu serat yang larut
dalam air, seperti pektin, gum, mucilago, dan serat yang tidak larut dalam air seperti selulosa,
hemi-selulosa dan lignin (Pashankar dkk., 2003). Serat makanan bersifat hidrofilik atau
pembentuk masa. Kemampuan serat makanan sebagai laksansia tergantung dari
kemampuannnya menghindari pencernaan dan absorpsi di usus halus dan menghindari
metabolisme bakteri di kolon. Peningkatan volume di usus yang berkaitan dengan bahan padat
dan air diduga menstimulasi motilitas dan peningkatan transit isi usus melalui kolon, sehingga
meningkatkan feses yang dikeluarkan. Konsistensi feses juga dipengaruhi oleh serat makanan
sehingga mempermudah defekasi. Efektivitas serat makanan sebagai bahan pembentuk masa
tergantung pada jumlah, kemampuan mengikat air, banyaknya penghancuran oleh proses
fermentasi bakteri dan efektivitas produk fermentasi yang dapat meningkatkan efek laksatif
(Pijpers dkk., 2010).

9
Pada anak asupan serat makanan harian yang direkomendasikan oleh American
Academy of Pediatrics Committee On Nutrition adalah 0,5 gram/kilogram berat badan sampai
dengan 35 gram per hari. Kebutuhan serat berdasarkan rekomendasi tersebut terlalu besar bagi
anak usia muda sehingga diperbaharui kembali berdasarkan usia, namun beberapa penelitian
menyatakan saat ini asupan serat makanan pada anak di negara maju dan berkembang tidak
sesuai dengan rekomendasi, sedangkan menurut American Health Foundation untuk anak di
atas usia 2 tahun minimal diberi diet serat dengan formula usia + 5 g/hari dan maksimal usia +
10 g/hari (Lee dkk., 2008).

Diet serat harus dilakukan bertahap yaitu dengan mulai menambah satu atau lebih
jenis makanan tiap harinya. Jenis makanan yang dapat diberikan berupa buah segar yang
tinggi serat (seperti apel, blueberry, pisang, kurma, pir, jeruk), sayuran segar atau telah
diproses (seperti brokoli, tauge, wortel, jagung, kacang polong dan kentang dengan kulitnya,
atau salad dalam jumlah banyak. Setiap sediaan buah segar memberikan serat sebanyak 2-3
gram dan sayuran memberikan serat 2-2,5 gram. Diet serat akan menyebabkan retensi air
dalam kolon yang mengakibatkan masa feses bertambah dan lebih lunak sehingga asupan air
juga ditingkatkan (Van Der Plas dkk., 2000).

2. Asupan cairan harian


Jumlah cairan yang dibutuhkan pada anak agar feses bertambah lunak diperkirakan 6-
8 gelas per hari (Tabel 2.2). Jumlah cairan yang dikonsumsi mempengaruhi konsistensi tinja.
Penambahan cairan pada kolon dan masa tinja membuat pergerakan usus menjadi lebih
lembut dan mudah dilalui. Oleh karena ini penderita yang mengalami konstipasi sebaiknya
mengkonsumsi banyak cairan setiap hari yaitu sekitar 6-8 gelas setiap hari. (Lee dkk., 2008).

10
3. Riwayat keluarga dengan konstipasi

Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa riwayat konstipasi pada keluarga


merupakan salah satu faktor risiko terjadinya konstipasi. Hal ini selain karena faktor genetik,
perilaku orang tua mengajarkan toilet training merupakan hal penting. Toilet training dapat
terabaikan atau bahkan orangtua terlalu berlebihan mengajarkan pada anak sehingga terdapat
sikap menolak dari anak ketika diajak defekasi (Ip dkk., 2005; Rajindrajith dkk., 2010).

4. Riwayat Penyakit Kronis

Hubungan antara riwayat penyakit kronis dengan konstipasi belum diketahui secara
pasti dari beberapa tinjauan pustaka. Penelitian Firmansyah (2007) didapatkan hubungan
riwayat penyakit kronis seperti tuberkulosis dan penyakit neurologis (cerebral palsy, epilepsi).
Penelitian lainnya didapatkan anak dengan penyakit kronis seperti asma dan neoplasma,
berhubungan dengan konstipasi (Devanarayana dkk., 2010; Van Dijk dkk., 2007).

5. Psikologis

Penelitian Inan dkk. (2007) didapatkan bahwa trauma fisik dan psikologis
berhubungan dengan kejadian konstipasi pada anak usia sekolah. Penelitian di Sri Lanka yang
mengambil sampel pada anak sekolah usia 10-16 tahun didapatkan bahwa stres yang
berhubungan dengan sekolah seperti kegagalan ujian, orangtua kehilangan pekerjaan dan
hukuman yang sering oleh orang tua merupakan faktor risiko yang menyebabkan konstipasi
(Van Der Plas dkk., 2000; Voskuilj dkk., 2004).

6. Riwayat alergi susu sapi dan pemberian susu formula berlebihan

Beberapa penelitian tentang alergi susu sapi menunjukan bahwa anak yang
mengkonsumsi susu sapi atau susu formula pada usia pertama kehidupan memiliki konsistensi
tinja yang padat dan merupakan salah satu faktor risiko terjadinya konstipasi. Hal ini
disebabkan susu sapi mengandung mineral dan lemak yang lebih banyak dan lebih sedikit
mengandung karbohidrat, serta mengandung asam palmitat pada posisi Sn1 dan Sn3 sehingga
asam palmitat membutuhkan hidrolisis oleh lipase pankreas. Proses hidrolisis ini
menghasilkan asam palmitat bebas yang akan bereaksi dengan kalsium sehingga membentuk
calcium fatty acid soaps yang sulit diserap. Pembentukan calsium soaps ini berhubungan
bermakna dengan tingkat kepadatan feses sehingga anak yang mengkonsumsi susu formula
memiliki tinja yang lebih padat dan dapat menimbulkan konstipasi (Iacono dkk., 2005; Daher
dkk., 2001).

2.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG

11
pemeriksaan penunjang diperlukan untuk menegskksn diagnosis konstipasi dan mencari
penyebabnya.pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu:

 Pengukuran kadar tiroksin dan Thyroid Stimularing Hormon (TSH) untuk menyingkirkan
hipotiroid
 tes serologi (antied-omysial/antigliadin antibody) untuk menyingkirkan Celiac disease
 pemeriksaan foto polos abdomen untuk melihat kaliber kolon dan massa tinja dalam
kolon( pemeriksaan ini dilakukan bila pemeriksaan colok dubur tidak dapat dilakukan atau
pada pemeriksaan colok dubur tidak teraba adanya distensi rektum oleh massa tinja)
 barium enema untuk screening penyakit hirchsprung
 manomettri anorektal mendiagnosis Hirschprung disease atau akalasia anal, dengan
karakteristik tidak ada relaksasi sfingter ani interna pada rektum yang distensi (yusri
dianne,2013)

2.7 PENATALAKSANAAN

Dalam memulai tata laksana konstipasi, perlu digarisbawahi pentingnya penjelasan kepada
orangtua maupun pasien mengenai dasar fisiologis terjadinya konstipasi dan soiling. Hal ini perlu
untuk menjalin kerjasama antara dokter, orangtua dan pasien serta untuk mengurangi rasa bersalah
dan saling menyalah- kan. Edukasi yang tepat dapat meningkatkan kepatuhan pasien terhadap rencana
terapi.Keberhasilan tata laksana konstipasi fungsional bergantung kepada kemampuan dokter
mengajak anak dan keluarganya membentuk ikatan terapetik yang baik. Mereka harus masuk ke
dalam suatu ikatan informal dan dokter memberi bimbingan dan pengobatan, sedangkan orangtua
bertanggung jawab terhadap kepatuhan anak, menyediakan rasa aman bagi anak, serta menyediakan
waktu untuk anak berdefekasi dengan nyaman. Anak sendiri harus mempunyai rasa tanggung jawab
untuk menjalankan pengobatan dan harus selalu melakukan usaha untuk b.a.b. Catatan harian tentang
b.a.b pasien merupakan salah satu tahapan tata laksana yang penting. Catatan mengenai frekuensi dan
konsistensi b.a.b dibuat oleh pasien setiap hari. Dengan melihat catatan harian, anak dapat melakukan
penilaian secara obyektif terhadap keluhan yang dialami dan progresifitas terapi. Disamping itu, cara
ini dapat menimbulkan motivasi anak untuk melakukan b.a.b lebih sering dan mengurangi soiling.

Latihan b.a.b (toilet training) sering dianjurkan sebagai salah satu terapi konstipasi pada anak.
Anak diminta untuk duduk di toilet sedikitnya dua kali sehari setengah jam setelah makan, selama 5-
10 menit setiap kalinya dan sebaiknya diberi pujian untuk setiap usahanya mencoba melakukan b.a.b.

12
Peran latihan fisis dalam meningkatkan peristaltik kolon dan frekuensi b.a.b masih kontroversi.
Kejadian konstipasi lebih besar ditemukan pada kelompok orang dengan gaya hidup sedentary. Oleh
sebab itu, stimulasi dalam bentuk olah raga sangat dianjurkan pada anak yang kurang aktif Makanan
berserat sangat dianjurkan pada anak yang menderita konstipasi. Berdasarkan kemudahan serat yang
dikandungnya dihancurkan oleh bakteri di dalam usus, makanan berserat dapat dibedakan menjadi 2
bentuk, yaitu insoluble fibre dan soluble fibre. Serat dapat meningkatkan retensi air sehingga dapat
melunakkan tinja, mempercepat waktu singgah di dalam kolon, dan meningkatkan frekuensi b.a.b.

Terapi laksatif diberikan karena obat tersebut mempunyai efek terhadap peningkatan sekresi
elektrolit, penurunan absorpsi air dan elektrolit, peningkatan osmolaritas intraluminal, dan
peningkatan tekanan hidrostatik usus.12 Secara garis besar laksatif oral dapat dibagi menjadi beberapa
kelompok, yaitu laksatif pembentuk tinja atau serat (psyllium, methycellulose, polycarbophil), laksatif
osmotik (mono dan disakarida misalnya sorbitol, laktulosa), laksatif salin (magnesium sulfat, natrium
fosfat, polietilen glikol), stool softener (pelunak feses), laksatif emolien (ducosate, mineral oil),
laksatif stimulant (bisacodyl, phenolphthalein), prokinetik dan lainnya.

Pada dasarnya, terapi konstipasi pada anak terbagi dalam dua fase, yaitu (1) pengeluaran masa
tinja dan (2) terapi pemeliharaan.3 Konsistensi masa tinja dapat dikurangi dengan pemberian mineral
oil atau laksatif osmotik untuk mempermudah pengeluaran tinja.9 Pada kasus dengan impaksi rektal,
tinja sebaiknya segera dikeluarkan dengan menggunakan enema paling tidak setiap hari selama 3 hari
sebelum diberikan laksatif oral. Salah satu metode konvensional untuk mengeluarkan masa tinja
adalah dengan menggunakan suposutoria atau enema. Bila usaha pengeluaran masa tinja tersebut
gagal, maka dapat diupayakan pengeluaran tinja secara manual. Apabila masa tinja telah berhasil
dikeluarkan, maka harus segera dimulai dengan fase terapi pemeliharaan. Pasien perlu diberikan
pengertian dan keyakinan bahwa b.a.b tidak akan terasa sakit selama ia patuh pada petunjuk
pengobatan, mengkonsumsi obat yang diberikan secara teratur, dan tidak menahan setiap keinginan
untuk b.a.b. Lama terapi pemeliharaan dapat berlangsung selama 3 sampai 6 bulan, bahkan pada
kasus konstipasi berat dapat berlangsung sampai 12 bulan. Beberapa penelitian melaporkan
penggunaan cisaprid pada kasus konstipasi dan memperlihatkan keberhasilan yang lebih tinggi
dibanding plasebo.Penelitian lain melaporkan penggunaan polietilen glikol pada konstipasi dengan
hasil memuaskan.

Pengeluaran tinja dilakukan dengan obat baik secara oral maupun rectal. Pengeluaran tinja ini
dilakukan sebelum terapi rumatan selama 2 sampai 5 hari sampai dijumpai pengeluaran tinja secara
menyeluruh. Obat yang digunakan adalah minyak mineral (paraffin liquid) 15-30 ml/usia(tahun)
dengan dosis maksimal 240 ml dalam sehari kecuali pada bayi. Larutan polietilen glikol (PEG) dapat
diberikan dengan dosis 20ml/kgBB/jam dengan dosis maksimal 1000ml/jam, obat ini diberikan
melalui pipa nasogastrik selama 4 jam dalam sehari. Pengeluaran tinja dengan obat yang diberikan

13
melalui rectum berupa enema fosfat hipertonik (dosis 3 ml/kgBB 2 kali dalam sehari dengan dosis
pemberian maksimal 6 kali sehari), enema garam fisiologis (dosis 600-1000ml), minyak mineral
dengan dosis 120 ml.

Biofeedback training pernah dilaporkan sebagai salah satu upaya tata laksana konstipasi pada
anak. Anak dilatih untuk meningkatkan sensasi rektum, menguatkan dan mengontrol sfingter anus,
serta meningkatkan koordinasi kontraksi dan relaksasi otot secara benar. Beberapa penulis
mengemukakan bahwa latihan ini berguna untuk konstipasi kronis dan enkopresis, namun berapa
laporan terakhir meragukan keefektifan cara ini, karena mereka tidak menemukan hasil yang berbeda
dengan terapi konvensional. Pada anak dengan soiling akibat nonretensi tinja, penambahan laksatif
pada terapi biofeedback training juga tidak memperlihatkan hasil yang berbeda dibanding terapi
biofeedback training saja. Peran pembedahan pada kasus konstipasi pada anak hanya pada kasus
tertentu, seperti obstruksi pelvic outlet, inersia kolon, atau kombinasi keduanya.

Toilet training yang dilakukan secara teratur akan melatih reflex gastrokolik yang pada
akhirnya akan menimbulkan reflex defekasi.

Dalam menghadapi kasus dengan konstipasi fungsional harus pula dipertimbangkan


pendekatan secara psikologis maupun psikiatris. Beberapa kriteria untuk merujuk seorang anak
dengan konstipasi ke psikologis atau psikiater antara lain (1) kecurigaan kearah psikopatologi primer,
(2) psikopatologi sekunder yang berhubungan dengan konstipasi, dan (3) tidak responsif terhadap
terapi yang telah diberikan dengan alasan yang tidak jelas.

Terapi modifikasi perilaku dilakukan dengan cara latihan kebiasaan pola buang air besar anak
dan toilet training. Anak dianjurkan untuk membuang air besar segera setelah makan pagi dan malam.
Latihan ini dilakukan secara perlahan-lahan dalam waktu 10 sampai 15 menit, agar anak tidak merasa
tertekan.

2.8 PROGNOSIS

Konstipasi biasanya remisi 60-90% setelah pengobatan selama 1 tahun. Bila onset
awal konstipasi (<1 tahun) dan terdapat riwayat keluarga yang menderita konstipasi, maka
dapat diperkirakan gejala konstipasi ini persisten.

14
BAB 3

KESIMPULAN

Konstipasi adalah kesulitan buang air besar dengan konsistensi feses yang
padat dengan frekuensi buang air besar lebih atau sama dengan 3 hari sekali.
Konstipasi memiliki persepsi gejala yang berbeda-beda pada setiap anak tergantung
pada konsistensi tinja, frekuensi buang air besar dan kesulitan keluarnya tinja.

Konstipasi merupakan masalah yang sering terjadi pada anak. Riwayat


penyakit dan pemeriksaan fisik sangat penting untuk menegakkan diagnosis
konstipasi. Penyebab tersering konstipasi pada anak adalah fungsional konstipasi.
Penanganan konstipasi pada anak melibatkan kerjasama antara dokter, orangtua dan
anak

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Van den Berg MM, Beningga MA, Di Lorenzo C. Epidemiology of childhood constipation:
systematic review. Am J Gastroenterol. 2006;101 (10):2401-9.
2. Loka Herlina. Konstipasi Fungsional Pada Anak:Majalah Kedokteran Nusantara.2014
3. Rahhal R. Functional constipation. In: Kleinman RE, Goulet OJ, Vergani GM, Snderson IR,
Sherman P, Shneider BL. Pediatric gastrointestinal disease; 5th ed. Vol.1. Hamilton: BC
Decker,2008; p.675-81
4. Yusri Dianne.Konstipasi pada anak:Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas.2013
5. Hamadi KA, Hamadi T. Constipation in infants and children: evaluation and management.
SBuletin of the Kuwait Institute for Medical Specialization. 2005;4. p. 8-16

16

Anda mungkin juga menyukai