Anda di halaman 1dari 37

Laporan mini project

KEJADIAN DISPEPSIA PADA PASIEN RAWAT JALAN DI PUSKESMAS

SUKAMAJU KABUPATEN LUWU UTARA

DISUSUN OLEH :

Dr. Andi Althaf Zulfiqar

PENDAMPING :

dr. Made Agus

DIBAWAKAN DALAM RANGKA MENYELESAIKAN TUGAS PADA

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

WAHANA PENEMPATAN KABUPATEN LUWU UTARA

PROVINSI SULAWESI SELATAN

PERIODE FEBRUARI-NOVEMBER 2021

1
HALAMAN PENGESAHAN

Mini Project

KEJADIAN DISPEPSIA PADA PASIEN RAWAT JALAN DI PUSKESMAS


SUKAMAJU KABUPATEN LUWU UTARA

Dibawakan Dalam Rangka Menyelesaikan Tugas Pada

Program Internsip Dokter Indonesia

Wahana Penempatan Kabupaten Luwu Utara

Provinsi Sulawesi Selatan

Periode Februari-November 2021

Penyusun :

dr. Andi Althaf Zulfiqar

Telah Disetujui Oleh :

Pendamping,

dr. Made Agus

2
DAFTAR ISI

Halaman Sampul……………………………………………………….......…….1
HALAMAN PENGESAHAN……………………………………………………2
DAFTAR ISI ……………...………………………………………………...........3
BAB I
PENDAHULUAN...................................................................................................5
1.1 Latar Belakang……………………….…………………...…………………5
1.2 Rumusan Masalah…………………………………….……………………..6
1.3 Tujuan……………………………………….…...….………………………6
1.3.1 Tujuan Umum…………………………………………………………6
1.4 Manfaat…………………………………………………...…………….…...6
1.4.1 Manfaat Teoritis…………………………………………………….....6
1.4.2 Manfaat Praktis………………………………………………………..6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................8
2.1 Definisi Dispepsia…...…...…………...
………………………………………………8
2.2 Etiologi Dispepsia….………………………………………………………..8
2.3 Klasifikasi Dispepsia.…….……………………………………………….....9
2.4 Patofisiologi Dispepsia...…………………………………………………...10
2.5 Tanda dan Gejala Dispepsia..………………………………………………15
2.6 Kriteria dan Diagnostik Dispepsia..………………………………………..15
2.7 Penatalaksanaan Dispepsia……...…………………………………………18
BAB III
METODE PENELITIAN....................................................................................22
3.1 Perancangan Penelitian…………………………………………………….22
3.2 Populasi dan Sampel……………………………………………………….22
3.3 Instrumen Penelitian………………………………………………………..22
3.4 Variabel Penelitian…………………………………………………………22

3
3.5 Teknik Pengumpulan Data…………………………………………………22
3.6 Cara Analisis Data………………………………………………………….22
3.7 Waktu dan Tempat Penelitian……………………………………………...23
BAB IV
PROFIL UMUM PUSKESMAS SUKAMAJU……………………………….24
4.1 Profil Komunitas Umum………………………………………………….. 24
4.2 Data Geografis……………………………………………………………..24
4.3 Data Demografis…………………………………………………………...25
4.4 Sumber Daya Kesehatan…………………………………………………...25
4.5 Sarana Pelayanan Kesehatan………………………………………………27
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN…………………………………………………30
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………………………33
6.1 Kesimpulan………………………………………………………………..33
6.2 Saran………………………………………………………………………33
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………..34

4
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dispepsia adalah kumpulan gejala penyakit saluran cerna bagian atas yang
mengenai lebih dari 29% individu dalam suatu komunitas dan gejalanya
bervariasi pada setiap individu.
Kumpulan gejala ini dikenal dengan istilah sindroma dispepsia yang terdiri
atas keluhan rasa tidak nyaman di perut bagian atas, mual, muntah, kembung,
cepat merasa kenyang, rasa perut penuh, dan sendawa.
Data dari pustaka Negara Barat prevalensi dispepsia sekitar 7-41%, tetapi
hanya 10-20% yang mencari pertolongan medis.
Populasi Amerika Serikat yang terkena dispepsia adalah 25% dari total
penduduknya per tahun dan hanya 5% dari jumlah penderita tersebut yang
mengunjungi dokter layanan primer.
Berdasarkan profil data kesehatan Indonesia tahun 2006 yang diterbitkan
Depkes RI pada tahun 2007, dispepsia menempati urutan ke-10 dengan
proporsi 1,52% (34.029 kasus) dari 10 kategori jenis penyakit terbanyak
dirawat inap di seluruh rumah sakit yang ada Indonesia (Kementerian
Kesehatan, 2007) dan pada tahun 2010 kasus dispepsia mengalami
peningkatan yaitu menduduki peringkat ke-5 dari 10 besar penyakit rawat
inap di rumah sakit dengan jumlah kasus laki-laki 9.594 (38,82%) dan
perempuan 15.122 (61,18%), sedangkan untuk penyakit rawat jalan dispepsia
menduduki peringkat ke-6 dengan jumlah kasus laki-laki 34.981 dan
perempuan 53.618 serta didapatkan 88.599 kasus baru dan 163.428
kunjungan.
Dispepsia merupakan kelainan yang tidak mengancam jiwa, namun gejala

yang sering timbul seperti nyeri perut dan gangguan pencernaan

5
membutuhkan kunjungan medis berulang, yang akan meningkatkan biaya

kesehatan dan mempengaruhi kualitas hidup pasien.

1.2 Rumusan Masalah

Untuk mengetahui kejadian dispepsia pada pasien rawat jalan di Puskesmas

Sukamaju Kabupaten Luwu Utara.

1.3 Tujuan Penulisan

 Tujuan Umum

Mengetahui gambaran tentang kejadian dispepsia pada pasien rawat jalan

di Puskesmas Sukamaju Kabupaten Luwu Utara.

1.4 Manfaat

 Manfaat teoritis

Memberikan gambaran tentang kejadian dispepsia pada pasien rawat jalan

di Puskesmas Sukamaju Kabupaten Luwu Utara.

 Manfaat Praktis

1. Bagi tenaga Kesehatan

Sebagai bahan informasi yang lebih terperinci terhadap kejadian

dispepsia di Puskesmas Sukamaju Kabupaten Luwu Utara.

2. Bagi Puskesmas

Sebagai masukan guna meningkatkan mutu dalam bidang

pemberian pelayanan Kesehatan terhadap kejadian dispepsia di

Puskesmas Sukamaju Kabupaten Luwu Utara.

6
3. Bagi Penulis

Menjadikan data awal maupun panduan untuk penelitian

selanjutnya.

4. Bagi masyarakat

Sebagai bahan informasi bagi masyarakat agar dapat terhindar dari

penyakit dispepsia, sehingga dapat membantu menurunkan

kejadian dispepsia di Puskesmas Sukamaju Kabupaten Luwu

Utara.

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Dispepsia

Dispepsia adalah perasaan tidak nyaman atau nyeri pada abdomen bagian

atas atau dada bagian bawah. Salah cerna (indigestion) mungkin digunakan oleh

pasien untuk menggambarkan dispepsia, gejala regurgitasi atau flatus. Dispepsia

merupakan kumpulan gejala berupa keluhan nyeri, perasaan tidak enak perut

bagian atas yang menetap atau episodik disertai dengan keluhan seperti rasa penuh

saat makan, cepat kenyang, kembung, sendawa, anoreksia, mual, muntah,

heartburn, regurgitasi.

2.2 Etiologi Dispepsia

Beberapa perubahan dapat terjadi pada saluran cerna atas akibat proses

penuaan, terutama pada ketahanan mukosa lambung. Kadar asam lambung lansia

biasanya mengalami penurunan hingga 85%.

Sebagai suatu gejala atau sindrom, dispepsia dapat disebabkan oleh berbagai

penyakit:

a. Kelainan struktural pada saluran cerna

b. Ulkus peptikum, ulkus duodenum, esophagitis refluks, gastritis kronis,

gastritis OAINS, penggunaan obat-obatan seperti teofilin, digitalis, dan

antibiotik, atau adenokarsinoma lambung dan esophagus

c. Penyakit hepatobilier

8
d. Kolesisitis kronik, pankreatitis kronik, hepatitis, hepatoma, steatohepatitis,

keganasan

e. Penyakit sistemik

f. Diabetes mellitus, hiperkalsemia, keracunan logam berat, penyakit tiroid,

gagal ginjal

g. Non-organik atau fungsional

2.3 Klasifikasi Dispepsia

Berdasarkan ada tidaknya penyebab dan kelompok gejala maka dispepsia

dibagi atas dispepsia organik dan dispepsia fungsional. Dispepsia organik adalah

apabila penyebab dispepsia sudah jelas, misalnya ada ulkus peptikum, karsinoma

lambung, kholelithiasis, yang bisa ditemukan secara mudah. Dispepsia fungsional

adalah apabila penyebab dispepsia tidak diketahui atau tidak didapati kelainan

pada pemeriksaan gastroenterologi konvensional, atau tidak ditemukannya adanya

kerusakan organik dan penyakit-penyakit sistemik (Tarigan, 2003). Menurut

Calcaneus (2010), klasifikasi klinis praktis didasarkan atas keluhan/gejala yang

dominan. Dengan demikian, dispepsia dapat dibagi menjadi 3 tipe, yaitu:

1. Dispepsia dengan keluhan seperti ulkus (ulcus-like dyspepsia) dengan gejala

yang dominan adalah nyeri ulu hati.

2. Dispepsia dengan gejala seperti dismotilitas (dysmotility-like dyspepsia)

dengan gejala yang dominan adalah kembung, mual, cepat kenyang.

3. Dispepsia nonspesifik yaitu dispepsia yang tidak bisa digolongkan dalam

satu kategori diatas

9
Dispepsia terbagi atas dua subklasifikasi, yakni dispepsia organik dan

dispepsia fungsional, jika kemungkinan penyakit organik telah berhasil dieksklusi

(Montalto, 2004). Dispepsia fungsional dibagi menjadi 2 kelompok, yakni

postprandial distress syndrome dan epigastric pain syndrome. Postprandial

distress syndrome mewakili kelompok dengan perasaan“begah” setelah makan

dan perasaan cepat kenyang, sedangkan epigastric pain syndrome merupakan rasa

nyeri yang lebih konstan dirasakan dan tidak begitu terkait dengan makan seperti

halnya postprandial distress syndrome.

2.4 Patofisiologi Dispepsia

Mekanisme patofisiologi timbulnya dispepsia fungsional atau ulkus

peptikum masih belum seluruhnya dapat diterangkan secara pasti. Hal ini

menunjukan bahwa dispepsia fungsional merupakan sekelompok gangguan yang

heterogen, namun sudah terdapat banyak bukti dari hasil penelitian para ahli yang

dapat dijadikan pegangan. Beberapa studi menghubungkan mekanisme

patofisiologi dispepsia fungsional dengan terjadinya infeksi H. Pylori,

ketidaknormalan motilitas, gangguan sensori visceral, faktor psikososial, dan

perubahan-perubahan fisiologi tubuh yang meliputi gangguan pada sistem saraf

otonom vegetatif, sistem neuroendokrin, serta sistem imun tubuh. Sedangkan

patofisiologi ulkus peptikum diperkirakan akibat ketidak seimbangan antara

tekanan agresif (HCL dan pepsin) yang menyebabkan ulserasi dan tekanan

defensif yang melindungi lambung ( barier mukosa lambung, barier mukus

lambung, sekresi HCO3).

10
Patofisiologi dispepsia fungsional dapat diterangkan melalui beberapa teori

dibawah ini:

1. Infeksi H. Pylori

Peranan infeksi H. Pylori dengan timbulnya dispepsia fungsional sampai

saat ini masih terus diselidiki dan menjadi perdebatan dikalangan para

ahli Gastrohepatologi. Studi populasi yang besar telah menunjukan

peningkatan insiden infeksi H. Pylori pada pasien dengan dispepsia

fungsional. Beberapa ahli berpendapat H. Pylori akan menginfeksi

lambung jika lambung dalam keadaan kosong pada jangka waktu yang

cukup lama. Infeksi H. Pylori menyebabkan penebalan otot dinding

lambung yang selanjutnya meningkatkan massa otot sehingga kontraksi

otot bertambah dan pengosongan lambung akan semakin cepat.

Pengosongan lambung yang cepat akan membuat lambung kosong lebih

lama dari biasanya dan H. Pylori akan semakin menginfeksi lambung

tersebut, dan bisa sebagai predictor timbulnya ulkus peptikum.

2. Ketidaknormalan Motilitas

Dengan studi Scintigraphic Nuclear dibuktikan lebih dari 50% pasien

dispepsia fungsional mempunyai keterlambatan pengosongan makanan

dalam lambung. Demikian pula pada studi Monometrik didapatkan

gangguan motilitas antrum postprandial. Penelitian terakhir menunjukan

bahwa fundus lambung yang “kaku” bertanggung jawab terhadap

sindrom dispepsia. Pada keadaan normal seharusnya fundus lambung

relaksasi, baik saat mencerna makanan maupun bila terjadi distensi

11
duodenum. Pengosongan makanan bertahap dari corpus lambung

menuju ke bagian fundus lambung dan duodenum diatur oleh refleks

vagal. Pada beberapa pasien dispepsia fungsional, refleks ini tidak

berfungsi dengan baik sehingga pengisian bagian antrum terlalu cepat.

Bila berlangsung lama bisa sebagai predictor ulkus peptikum.

3. Gangguan Sensori Visceral

Lebih 50% pasien dispepsia fungsional menunjukan sensitifitas terhadap

distensi lambung atau intestinum, oleh karena itu mungkin akibat

makanan yang sedikit mengiritasi seperti makanan pedas, distensi udara,

gangguan kontraksi lambung intestinum atau distensi dini bagian antrum

postprandial dapat menginduksi nyeri pada bagian ini.

4. Faktor Psikososial

Faktor psikis dan stresor seperti depresi, cemas, dan stres ternyata

memang dapat menimbulkan peningkatan hormon kortisol yang

berakibat kepada gangguan keseimbangan sistem saluran cerna, sehingga

terlihat bahwa pada hormon kortisol yang tinggi ternyata memberikan

manifestasi klinik dispepsia yang lebih berat. Jadi semakin tinggi nilai

kortisol akan menyebabkan semakin beratnya klinis dispepsia. Begitu

juga dengan perubahan gaya hidup seperti kurang olahraga, merokok,

dan gangguan tidur juga memiliki efek terhadap peningkatan asam

lambung dan perubahan aktivitas otot dinding lambung yang

meningkatkan kemungkinan terjadinya dyspepsia.

5. Gangguan Keseimbangan Neuroendokrin

12
Gangguan sekresi pada lambung dapat terjadi karena gangguan jalur

endokrin melalui poros hipotalamus – pituitary – adrenal ( HPA axis).

Pada keadaan ini terjadi peningkatan kortisol dari korteks adrenal akibat

rangsangan dari korteks serebri diteruskan ke hipofisis anterior sehingga

terjadi pengeluaran hormone kortikotropin. Peningkatan kortisol ini akan

merangsang produksi asam lambung.

6. Gangguan Keseimbangan Sistem Saraf Otonom Vegetatif

Pada keadaan ini konflik emosi yang timbul diteruskan melalui korteks

serebri ke sistem limbik kemudian ke hipotalamus dan akhirnya ke

sistem saraf otonom vegetatif. Sistem saraf otonom terdiri dari dua

subsistem yaitu sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis.

Konflik emosi akan meningkatkan pelepasan neurotransmitter

acetylcholine oleh sistem saraf simpatis yang mengakibatkan

peningkatan peristaltik dan sekresi asam lambung. Sedangkan sistem

saraf parasimpatis hampir 75% dari seluruh serabut sarafnya didominasi

oleh nervus vagus (saraf kranial X). saraf dari parasimpatik

meninggalkan sistem saraf pusat melalui nervus vagus menuju organ

yang dipersarafi secara langsung yaitu: mempersarafi lambung dengan

cara merangsang sekresi asetilkolin, gastrin, dan histamine yang

akhirnya memunculkan keluhan dispepsia bila terjadi disfungsi

persarafan vagal. Disfungsi nervus vagal akan menimbulkan kegagalan

relaksasi bagian proksimal lambung sewaktu menerima makanan,

13
sehingga menimbulkan gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat

kenyang. Serat-serat saraf simpatis maupun parasimpatis juga

mensekresikan neurotransmiter sinaps yaitu asetilkolin atau norepinefrin.

Kedua neurotransmitter tersebut akan mengaktivasi atau menginhibisi

presinap maupun postsinap saraf simpatik dan parasimpatik sehingga

menimbulkan efek eksitasi pada beberapa organ tetapi menimbulkan

efek inhibisi pada organ lainnya salah satunya adalah organ lambung.

Terjadinya ketidakseimbangan eksitasi maupun inhibisi pada kedua

neurotransmitter menyebabkan perubahan-perubahan aktivitas pada

organ lambung yang dipersarafinya baik peningkatan maupun penurunan

aktivitas, sehingga bisa memunculkan keluhan dispepsia.

7. Perubahan Dalam Sistem Imun

Faktor psikis dan stresor akan mempengaruhi sistem imun dengan

menerima berbagai input, termasuk input dari stresor yang

mempengaruhi neuron bagian Medial Paraventriculer Hypothalamus

melalui pengaktifan sistem endokrin hypothalamus-pituitary axis (HPA),

bila terjadi stres yang berulang atau kronis, maka akan terjadi disregulasi

dari sistem endokrin hypothalamus-pituitary axis (HPA) melalui

kegagalan dari mekanisme umpan balik negative. Faktor psikis dan stres

juga mempengaruhi sistem imun melalui mengaktivasi sistem

noradrenergik di otak, tepatnya di locus cereleus yang menyebabkan

peningkatan pelepasan ketekolamin dari sistem saraf otonom. Selain itu

akibat pelepasan neuropeptida dan adanya reseptor neuropeptida pada

14
limfosit B dan Limfosit T, dan terjadi ketidakcocokan neuropeptida dan

reseptornya akan menyebabkan stres dan dapat mempengaruhi kualitas

sistem imun seseorang, yang pada akhirnya akan muncul keluhan-

keluhan psikosomatik salah satunya pada organ lambung dengan

manifestasi klinis berupa keluhan dispepsia. Bila keluhan somatik ini

berlangsung lama, bisa juga sebagai prediktor timbulnya dispepsia

organik berupa ulkus peptikum atau duodenum.

2.5 Tanda dan Gejala Dispepsia

1. Nyeri ulu hati

2. Rasa terbakar di daerah ulu hati Perasaan cepat kenyang

3. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu

4. Kembung di perut bagian atas

5. Mual, kadang-kadang sampai muntah

6. Bersendawa setelah makan

7. Nafsu makan berkurang

8. Regurgitasi (keluar cairan dari lambung secara tiba-tiba).

2.6 Kriteria Diagnostik Dispepsia

Keluhan utama yang menjadi kunci untuk mendiagnosis dispepsia adalah

adanya nyeri dan atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas. Apabila

ditemukan adanya kelainan organik atau struktural organ lambung, perlu

dipikirkan kemungkinan diagnosis dispepsia organik, sedangkan bila tidak

ditemukan kelainan organik apa pun, dipikirkan kecurigaan ke arah dispepsia

15
fungsional. Penting diingat bahwa dispepsia fungsional merupakan diagnosis

by exclusion, sehingga idealnya terlebih dahulu harus benar-benar dipastikan

tidak ada kelainan yang bersifat organik pada pemeriksaan endoskopi. Roma

III memberikan kriteria diagnostik untuk dispepsia fungsional seperti berikut:

Kriteria diagnostik terpenuhi bila 2 poin di bawah ini seluruhnya terpenuhi:

1. Salah satu atau lebih dari gejala di bawah ini

a) Rasa penuh setelah makan yang mengganggu.

b) Rasa cepat kenyang

c) Nyeri epigastrium

d) Rasa terbakar di daerah ulu hati/epigastrium

2. Tidak ditemukan bukti adanya kelainan struktural yang menyebabkan

timbulnya gejala (termasuk yang terdeteksi saat endoskopi saluran cerna

bagian atas)

Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam 3

bulan terakhir, dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan

sebelum diagnosis.

a. Postprandial distress syndrome

Kriteria diagnostik terpenuhi bila 2 poin di bawah ini seluruhnya

terpenuhi:

1. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu, terjadi setelah

makan dengan porsi biasa, sedikitnya terjadi beberapa kali

seminggu.

16
2. Perasaan cepat kenyang yang membuat tidak mampu

menghabiskan porsi makan biasa, sedikitnya terjadi beberapa

kali seminggu.

Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam

3 bulan terakhir, dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan

sebelum diagnosis.

Kriteria penunjang:

1. Adanya rasa kembung di daerah perut bagian atas atau mual

setelah makan atau bersendawa yang berlebihan

2. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom nyeri epigastrium

b. Epigastric pain syndrome

Kriteria diagnostik terpenuhi bila 5 poin di bawah ini seluruhnya

terpenuhi:

1. Nyeri atau rasa terbakar yang terlokalisasi di daerah epigastrium

dengan tingkat keparahan moderate/sedang, paling sedikit

terjadi sekali dalam seminggu

2. Nyeri timbul berulang

3. Tidak menjalar atau terlokalisasi di daerah perut atau dada

selain daerah perut bagian atas/epigastrium

4. Tidak berkurang dengan BAB atau buang angina

5. Gejala-gejala yang ada tidak memenuhi kriteria diagnosis

kelainan kandung empedu dan sfingter Oddi

17
Kriteria terpenuhi bila gejala-gejala di atas terjadi sedikitnya dalam

3 bulan terakhir, dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan

sebelum diagnosis.

Kriteria penunjang:

1. Nyeri epigastrium dapat berupa rasa terbakar, namun tanpa

menjalar ke daerah retrosternal

2. Nyeri umumnya ditimbulkan atau berkurang dengan makan,

namun mungkin timbul saat puasa

3. Dapat timbul bersamaan dengan sindrom distress setelah makan

2.7 Penatalaksanaan Dispepsia

Menurut American Gastroenterological Association dan American

College of Gastroenterology, pasien usai <55 tahun dan tanpa tanda bahaya

diterapi dengan test-and-treat untuk H. pylori bila diketahui prevalensi infeksi H.

pylori >10%, atau terapi empiris dengan PPI bila prevalensi infeksi H. pylori

<10%. Sebuah penelitian di sebuah rumah sakit swasta di Jakarta dengan jumlah

sampel kecil menemukan prevalensi infeksi H. pylori pada uninvestigated

dyspepsia sebesar 68%.

1. Test-and-treat untuk H. pylori dilakukan bila prevalensi infeksi >10%

karena kaitan yang sangat erat antara infeksi bakteri ini dengan ulkus

peptikum. Pemeriksaan sederhana adalah urea C13 breath test (UBT),

yang didasarkan pada kemampuan H. pylori memecah urea menjadi

ammonia dan karbon dioksida. Prosedur pemeriksaannya adalah pasien

akan diminta untuk menelan urea yang telah ditandai dengan karbon aktif.

18
Setelah 10-30 menit, karbon dioksida pada napas ekspirasi akan terdeteksi

bila infeksi positif. Pasien harus berhenti terapi penghambat asam lambung

selama 14 hari dan antibiotic 28 hari sebelum melakukan UBT, atau

hasilnya negatif palsu.

Bila lini pertama gagal, terapi diulangi menggunakan terapi lini kedua, yang bila

masih gagal lagi dilanjutkan dengan terapi lini ketiga. Namun seringkali meskipun

H. pylori telah tereradikasi, perbaikan gejala hanya sedikit sekali terjadi.

2. Terapi empiris dengan agen antisekretorik asam lambung

Bila prevalensi infeksi H. pylori rendah, pasien tanpa tanda bahaya dan

hasil tes H. pylori negatif dapat langsung diberikan terapi empiris untuk

menekan asam lambung. Terapi PPI dosis standar sekali sehari selama 4-8

minggu, namun bila perbaikan belum terjadi dalam 2-4 minggu, dosis

dapat ditambah atau diganti dengan obat golongan lain, seperti prokinetik

atau antidepresan.

Tata laksana dispepsia fungsional mencakup edukasi bahwa

keadaannya tidak berbahaya, rekomendasi untuk makan lebih sering dalam

porsi lebih kecil, hindari makanan tinggi lemak, pedas atau asam yang

dapat mencetuskan gejala. Eradikasi infeksi H. pylori dapat dilakukan

untuk membantu memperbaiki gejala dan mencegah terjadinya ulkus.

Pilihan terapi eradikasi H. pylori dapat dilihat pada Tabel 1.

Pemberian terapi empiris dispepsia fungsional dianjurkan

berdasarkan klasifikasi subgroup oleh Rome III. Prokinetik

(metoklopramid, eritromisin, domperidone) diberikan pada pasien dengan

19
gambaran dominan sindrom distress post-prandial. Sementara pasien

dengan nyeri epigastrik yang dominan diberikan obat penghambat sekresi

asam lambung. PPI ditunjukkan memiliki manfaat paling superior

dibandingkan antasida dan antagonis reseptor H2. PPI seperti omeprazole

dapat dimulai dengan 1x20 mg PO. Penggunaan sukralfat tidak

bermanfaat.

Bila keluhan masih berlanjut, terapi dapat diganti atau

ditambah dengan golongan lain. Keluhan yang masih refrakter dapat

diberikan trisiklik antidepresan (TCA) seperti amitriptilin, dimulai dari

dosis rendah 10-25 mg PO tiap sebelum tidur. Lalu dinaikkan perlahan

hingga tercapai manfaat optimal dengan efek samping minimal. Bila

pasien memiliki latar belakang masalah psikologi, lakukan psikoterapi.

Bila seluruh terapi yang diberikan tidak berhasil, lakukan

evluasi ulang yang teliti dan mendetail terhadap kemungkinan adanya

masalah organik. Pemeriksaan pH esofagus untuk deteksi refluks

esofagus; USG, ERCP atau endoskopi USG untuk evaluasi adanya

pankreatitis kronik atau koledokolitiasis, pemeriksaan gula darah dan

OGTT untuk evaluasi diabetes mellitus. Selain itu kemungkinan irritable

bowel syndrome harus dievaluasi kembali, demikian pula kelainan

metabolik yang jarang seperti hiperkalsemia, ketidakseimbangan elektrolit,

penyakit jaringan ikat, atau chronic intenstinal angina harus dipikirkan.

Regimen Durasi
Lini pertama
 PPI rabeprazole 20 mg tiap 12 jam + amoksisilin 1 g tiap 7 hari

20
12 jam + klaritromisin 500 mg tiap 12 jam, atau
 PPI lanzoprazol 30 mg/omeprazole 20 mg/pantoprazole 10 hari
40mg/esomeprazol 40 mg tiap 12 jam + amoksisilin 1 g
tiap 12 jam + klaritromisin 500 mg tiap 12 jam
Lini kedua
 PPI (seperti di atas) + Bismuth subsalisilat 525 mg tiap 6 14 hari
jam + metronidazole 250 mg tiap 6 jam + tetrasiklin 500
mg tiap 6 jam
Lini ketiga
 PPI (seperti di atas) + Levofloksasin 500 mg tiap 12 jam 10 hari
+ amoksisilin 1 g tiap 12 jam
Tabel 1. Pilihan Regimen Terapi Eradikasi Infeksi H. pylori
*Bila alergi amoksisilin, dapat diganti dengan metronidazole 400 mg tiap 12 jam

21
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Perancangan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif

3.2 Populasi dan Sampel

Populasi pada penelitian ini ialah pasien yang datang berobat pada poli

umum di Puskesmas Sukamaju. Teknik sampel yang digunakan adalah

total sampling. Dengan sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah

seluruh pasien yang terdiagnosis dispepsia.

3.3 Instrumen Penelitian

Instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah pemeriksaan

kesehatan dengan menggunakan rekam medis.

3.4 Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini adalah semua pasien yang terdiagnosis

dispepsia.

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

dengan data sekunder rekam medis di Puskesmas Sukamaju.

3.6 Cara Analisis Data

Analisis data yang dilakukan dengan mempresentasikan data yang telah

dikumpulkan dan di tabulasi. Setelah analisis, dilakukan pengkajian data

dalam bentuk tabel.

22
3.7 Waktu dan Tempat Penelitian

Mini Project ini dilaksanakan pada Mei 2021 diPuskesmas Sukamaju.

23
BAB IV

PROFIL UMUM PUSKESMAS SUKAMAJU

3.8 Profil Komunitas Umum

Puskesmas Sukamaju merupakan fasilitas kesehatan tingkat pertama yang

beralamat di Jalan Pramuka No.19 Sukamaju, Kec Sukamaju, Kab Luwu Utara

dengan Kode Puskesmas; P732204101 yang terdiri atas UGD 24 jam, instalasi

rawat inap umum dan bersalin, instalasi rawat jalan (poli umum, poli gigi, KIA,

laboratorium sederhana dan apotek).

Budaya dan kebiasaan masyarakat diwilayah kerja puskesmas Sukamaju

tidak jauh dengan budaya dan kebiasaan masyarakat Indonesia pada umumnya,

yakni giat gotong royong dan perilaku kekeluargaan masih sangat menonjol dalam

kehidupan masyarakatnya.

4.2 Data Geografis

Wilayah kerja Puskesmas Sukamaju adalah lingkup wilayah Kecamatan

Sukamaju yang beribu kota Sukamaju terletak antara 01 53, 19-02 55 36

Lintang selatan dan 119 47 46 - 12037 44 Bujur Timur, yang berbatasan

dengan :

a) sebelah Utara : berbatasan dengan kecamatan Rampi

b) sebelah Selatan : berbatasan dengan kecamatan Sukamaju Selatan

c) sebelah Timur : berbatasan dengan kecamatan Bone-Bone

d) sebelah Barat : berbatasan dengan kecamatan Mappedeceng.

Kecamatan Sukamaju diapit oleh sungai Uraso dan Tamboke Kanjiro.

24
Luas wilayah kecamatan Sukamaju tercatat 208,2 km dan secara

administrasi pemerintahan terbagai menjadi 14 desa.Iklim Luwu Utara termasuk

iklim tropis, dengan curah hujan rata-rata 188,75 mm dan hari hujan rata-rata

11,83 dengan kelembaban rata-rata 82,92%.

Dari 14 desa yang terluas adalah Desa Tamboke dengan luas wilayah

63,11 km2, sedangkan yang terkecil adalah desa Wonosari dengan luas wilayah

0,89 km2.

4.3 Data Demografi


Jumlah penduduk kecamatan Sukamaju tahun 2019 tercatat sebanyak

25.636 jiwa yang terdiri dari laki-laki 12.873 jiwa perempuan 12.763 jiwa dan

tersebar di 14 desa, dengan jumlah penduduk terbesar yakni 3.558 jiwa mendiami

desa Sukamaju, dan jumlah penduduk terkecil yakni 847 jiwa mendiami desa

Sukadamai

4.4 Sumber Daya Kesehatan

Berdasarkan ketenagaan, Puskesmas Sukamaju memiliki tenaga sebanyak

139 orang, tersebar di beberapa desa yaitu Pustu, Polindes dan Poskesdes.

N
JENIS TENAGA JUMLAH PENDIDIKAN KETERANGAN
o

PUSKESMAS INDUK

1 Dokter Umum 2 Fak.Kedokteran Umum Fungsional

2 Dokter Gigi 1 Fak.Kedokteran Gigi Fungsional

3 Bidan PNS 6 D4 + D3 Kebidanan Fungsional

25
4 Perawat 2 SPK + D3 Keperawatan Fungsional

5 Perawat Profesi 10 S1 Keperawatan Fungsional

6 Perawat Gigi 1 Akademi Perawat gigi Fungsional

7 Sanitarian 1 S1 Kesmas Fungsional

8 Promkes 1 S1 Kesmas Fungsional

10 Gizi 1 D3 Gizi Fungsional

11 Laboran 1 Analis Fungsional

12 Apoteker 1 Apoteker Fungsional

13 Teknis/Administrasi 1 SMA Fungsinoal Tertentu

Jumlah 28 Orang

PUSKESMAS PEMBANTU / POSKESDES / POLINDES

D3 = 10
1 Bidan 14 Fungsional
D IV = 4

2 Bidan PTT

Jumlah 14 Orang

TENAGA KONTRAK DAERAH

1 Sopir 2 SMA Kontrak

2 Satpam 2 SMA Kontrak

3 Clening Servis 4 SMA Kontrak

4 Juru Masak 2 SMA Kontrak

5 Operator Komputer 1 S1 Kontrak

Promotor
6 1 S1 Kontrak
Kesehatan

26
Jumlah 12 Orang

TENAGA SUKARELA

1 Perawat 11 D3 Sukarela

2 Perawat Profesi 5 S1+ Profesi Sukarela

3 Bidan 33 D3 Sukarela

4 farmasi 2 S1 Sukarela

5 Kesmas 1 S1 Sukarela

6 Gizi 1 D3 Sukarela

7 Elektro 1 D3 Sukarela

8 Ekonomi 1 S1 Sukarela

55
Jumlah Orang

4.5 Sarana Pelayanan Kesehatan

Adapun sarana pelayanan Puskesmas Sukamaju adalah :

1. Loket Pendaftaran

Tempat pertama pasien mendaftarkan diri untuk berobat atau

mendapatkan layanan kesehatan.

2. Poli Umum dan Poli Gigi

27
Tempat pemeriksaan rawat jalan.

3. Apotek/ Kamar Obat

Setelah pasien mendapatkan resep obat dari dokter, pasien dapat

langsung mengambil obat di kamar obat/apotek.

4. Laboratorium

Fasilitas laboratorium yang tersedia adalah pemeriksaan darah rutin

(Hb, Leukosit, LED, Hematokrit, Trombosit), DDR, Widal, GDS, Asam

urat, Kolesterol total,Urin rutin, Plano test.

5. Pelayanan Imunisasi

Kegiatan imunisasi diPuskesmas melayani balita, ibu hamil, dan

wanita yang ingin menikah (imunisasi Tetanus Toksoid)

6. Keluarga Berencana (KB)

Kegiatan ini dilakukan dalam bentuk konseling dan cara penggunaan

bermacam-macam alat kontrasepsi yang tersedia di puskesmas.

7. Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)

Kegiatan ini berupa pelayanan kesehatan yang ditujukan pada ibu

hamil (antenatal care), berupa penimbangan BB, Pengukuran TB,

LLA,pengukuran DJJ dan pemeriksaan leopold.

8. Perawatan Umum

Terdapat kamar inap. Setiap pasien di follow up secara rutin setiap hari

oleh dokter umum yang bertugas dan dibantu oleh perawat.

9. Perawatan persalinan

28
Jika seorang ibu hamil melahirkan di puskesmas, disediakan perawatan

persalinan untuk dipantau perkembangannya.

10. Puskesmas Keliling

Kegiatan puskesmas keliling di rangkaikan dengan kegiatan posyandu,

imunisasi, pengobatan gratis. Pasien yang datang berupa balita, anak-anak,

ibu hamil, dan lansia.

11. Penyuluhan (Promosi Kesehatan)

Penyuluhan kesehatan dilakukan di beberapa sekolah yang berada di

wilayah kerja puskesmas, serta posyandu.

12. Kamar Bersalin

Ruangan yang khsus diberikan untuk ibu yang akan melahirkan di

puskesmas dan akan ditolong persalinannya oleh bidan dan dokter yang

berjaga.

13. Unit gawat darurat (UGD)

Selama 24 jam puskesmas Sukamaju membuka pelayanan UGD, yang

melayani kasus emergency yang trauma dan non trauma, maupun non

emergency.

29
BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran deskriptif kejadian

dispepsia di Puskesmas Sukamaju. Penelitian ini ditinjau dari jumlah pasien yang

datang rawat jalan serta total pasien dispepsia yang menggunakan BPJS mandiri

dan Umum. Data yang dikumpulkan adalah data sekunder berdasarkan data rekam

medis puskesmas yang dilakukan dengan teknik total sampling.

Gambaran kejadian Dispepsia di Puskesmas Sukamaju

Berikut merupakan hasil penelitian mini project yang berjudul kejadian dispepsia

pada pasien rawat jalan dipuskesmas Sukamaju kabupaten luwu utara. Sampel

merupakan pasien infeksi saluran pernapasan akut yang datang di puskesmas.

Nama Penyakit Bulan Rawat Jalan


April 2021 37 Pasien
Mei 2021 32 Pasien
Juni 2021 36 Pasien
TOTAL 105 Pasien
Dispepsia
Tabel 5.1 jumlah pasien rawat jalan pada tiga bulan berturut-turut

Dari gambaran diatas, didapatkan jumlah pasien dispepsia pada bulan

April-Juni sebanyak 105 pasien.

Dari gambaran diatas, kejadian dispepsia tidak jauh berbeda di tiga bulan

tersebut dikarenakan sebagian besar gejala dispepsia bersifat ringan misalnya

nyeri ulu hati, kembung setelah makan, dan mual sehingga tidak memerlukan

pengobatan khusus di faskes lanjutan, bahkan sebagian masyarakat melakukan

pengobatan sendiri. Selain itu, Dispepsia juga salah satu penyakit yang harus

30
ditangani oleh faskes primer. Kejadian Dispepsia yang banyak terjadi

dimasyarakat, khususnya dipengaruhi oleh faktor perilaku masyarakat yang masih

belum menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS) dan faktor psikis

seperti depresi atau stress.

Nama Bulan JKN Umum PBI PBI

Penyakit Mandiri Pusat Daerah


April 5 pasien 5 16 3

2021 Pasien Pasien Pasien


Mei 3 Pasien 7 13 3

2021 Pasien Pasien Pasien


Dispepsia Juni 6 Pasien 8 15 4

2021 Pasien Pasien Pasien


TOTAL 14 20 44 10

Pasien Pasien Pasien Pasien


Tabel 5.2 jumlah pasien berdasarkan kepesertaan

Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat jumlah penderita Dispepsia yang

memiliki kepesertaan JKN mandiri sebanyak 16%, umum sebanyak 22,7%, PBI

pusat sebanyak 50%, dan PBI daerah sebanyak 11,3%. Hal ini dikaitkan dengan

sosial ekonomi. Rendahnya tingkatan pendapatan orang tua sangat besar

pengaruhnya terhadap status kesehatan baik dari segi asupan gizi maupun kualitas

sanitasi lingkungan dalam rumah. Penelitian yang dilakukan dr. Sastra Mahendra

(2017) menyatakan bahwa pendapatan keluarga dan tingkat pengetahuan orang

tua memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kejadian Dispepsia. Kedua

penyebab terjadinya dispepsia dapat dimodifikasi baik disebabkan oleh factor

lingkungan, social ekonomi dan perilaku, dengan cara adanya kemauan serta

31
Kerjasama antara masyarakat dan pemerintah. Penelitian Taksande & Yeole

(2015) menunjukkan selain memodifikasi lingkungan dapat juga dilakukan

dengan mengkatkan cakupan ASI ekslusif, menunda penyapihan ASI minimal 6-

24 bulan, peningkatan status gizi dalam upaya mengoptimalkan pembentukan

sistem imun atau kekebalan tubuh dari paparan penyakit.

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

32
1. terdapat 105 pasien dyspepsia pada bulan April-Juni 2021 di Puskesmas

Sukamaju.

2. Pasien dispepsia menurut perbedaan jenis kelamin tidak berpengaruh

secara signifikan.

3. Sosial ekonomi berhubungan dengan adanya keluhan Dispepsia, hal ini

ditunjukkan dengan data pasien Penerima Bantuan Iuran (PBI) pusat

sebesar 50%.

6.2 Saran

 Diperlukan skrining pada daerah-daerah di wilayah kerja puskesmas

Sukamaju, mengingat banyaknya pasien Dispepsia melakukan pengobatan

mandiri sehingga jumlah pasien Dispepsia yang berobat di puskesmas

masih belum mencakupi keseluruhan.

 Diperlukan penyuluhan mengenai Dispepsia pada masyarakat untuk

meningkatkan tingkat pengetahuan dan kesadaran untuk segera berobat ke

fasilitas kesehatan terdekat dan cara pencegahan penyakit dispepsia.

DAFTAR PUSTAKA

33
1. Abdullah, M. dan Gunawan, J. 2012. Dispepsia. Jakarta: Bagian Ilmu

Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Divisi

Gastroenterologi, 39(9).

2. Ambarwati, A. S. 2005. “Gambaran trait kepribadian, kecemasan dan

stres, serta strategi coping pada penderita dispensia fungsional”(Tesis).

Jakarta: Universitas Indonesia.

3. Retreved Mei 19, 2015, Available from

lib.ui.ac.id/opac/themes/green/detail.jsp?id=97051 Ammerman, R. T.

2006. Comprehensive handbook of personality and psychopathology. New

Jersey: John Wiley & Sons, Inc. Andre, Y., Machmud, R., Widya, A. M.

2013. Hubungan Pola Makan dengan Kejadian Depresi pada Penderita

Dispepsia Fungsional.

4. Retreved Mei 19, 2015, Availlable

fromhttps://ml.scribd.com/doc/210276959/JURNAL-SKRIPSI. Appendix

B: Roma III. 2010. Diagnostic criteria for functional gastrointestinal

disorders. Am J Gastroenterol, 105:798–801.

5. Branka, F.F., Randjelovic, T., Ille, T., Markovic, O., Milovanovic, B.,

Kovacevic, N. 2013. Anxiety, personality traits and quality of life in

functional dyspepsia-suffering patients. European Journal of Internal

Medicine, 24(1): 83-86.

6. Brun, R. & Kuo, B. 2010. Functional Dispepsia. Ther Adv Gastroenterol,

3 (3): 145-164.

34
7. Cahyanto, M. E., Ratnasari, N., Siswanto, A. 2014. Symptoms of

depression and quality of life in functional dispepsia patients . J Med

SSccii, 46(2) : 88 – 93.

8. Cano, E., Quiceno, J., Vinaccia, S., Milena, A.G., Toban, S., Sandin, B.

2006. Quality of life and associated psychological factors in patients with

functional dyspepsia. Colombia: Universidad De San Buenaventura. 3(5).

9. Retreved September 30, 2015, Available from

http://www.scielo.org.co/scielo.php?

pid=S165792672006000300007&script=sci_ arttext&tlng=pt

10. Chang, L. 2006. From Rome to Los Angeles: The Rome III Criteria for the

Functional GI Disorders. Medscape Gastroenterology.

11. Cheng, C., Hui, W.M., Kum, S.L. 2005. Psychosocial Factors and

Perceived Severity of Functional Dyspeptic Symptoms: A Psychosocial

Interactionist Model. Psychosomatic Medicine, 66:85–91. Chun, H.Y.,

Ming, J.L., Cheng, S.L., Huey, T.Y.,

12. Tang,H.W. 2009. Psychopathology and personality trait in subgroups of

functional dyspepsia based on rome III criteria. Am J Gastroenterol,

104:2534-2542.

13. Retreved September 25, 2015, Available from

http://www.nature.com/ajg/journal/v104/n10/abs/ajg2009328a.html

14. Cloninger, S. C. 2012. Theories of Personality: Understanding Persons. 6

th edition.

35
15. United State: Pearson Prentice Hall. 69 Crawford, J., Henry, J. 2003. The

Depresson Anxiety Stres Scale (DASS): Normative Data and Latent

Structure in A Large Non-Clinical Sample. Br J Clin Psychol, 42(2): 111-

131.

16. Dahlan, M. 2009. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam

Penelitian kedokteran dan Kesehatan. 2 nd edition. Jakarta: Salemba

Medika.

17. Daniela, M.T., Micut, R., Dragos, D. 2012. A review of the

psychoemotional factors in functional dyspepsia. Romania: Internal

Medicine Department, University Emergency Hospital Bucharest.

59(4):278-285.

18. Djojoningrat, D. 2006. Dispepsia fungsional dalam Sudoyo, A.W.,

Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S., editors. Buku Ajar

Ilmu Penyakit Dalam. Jilid1. Edisi ke-4. Jakarta: pusat penerbitan

departemen ilmu penyakit dalam FKUI.

19. Donnellan, M. B., Oswald, F. L., Baird, B. M., Lucas, R. E. 2006. The

MINI-IPIP Scales: Tiny-Yet-Effective Measures of The Big Five Factors

of Personality. Journal of Psychological Assesment, 193: 203.

20. Drug, V., Stanciu, C. 2007. Functional Dispepsia: Recent Advances

(Progresses) in Pathophysiology and Treatment. A Journal of Clinical

Medicine, 2(4): 311-315.

36
21. Faresjo, A., Welen, K., Tomas F. 2007. Functional dyspepsia affects

woman more than men in daily life: A case-control study in primary care.

Gender Medicine, 1(5): 62-73.

37

Anda mungkin juga menyukai