PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
B. Epidemiologi
C. Etiopatogenesi
Penyebab utama dari amenorea primer termasuk defek anatomi dari traktus
2
Tabel 1. Penyebab umum dari amenorea primer 1
a. Agenesis Vagina
3
darah dalam uterus (hematometra) dapat memprovokasi menstruasi retrograde
yang mengarah pada pengembangan perlekatan dan endometriosis.1,4
4
Gambar 1. Stadium Tanner, Perkembangan Payudara, Perkembangan Rambut
pubis8
kandung kemih normal di anterior, rektum di posterior, dan ketiadaan lengkap dari
5
c. Sindrom Insensitivitas Androgen
6
endokrin menunjukkan kadar yang tinggi dari testosteron dan luteinizing
hormone plasma basal, sering bersama dengan kadar estradiol yang tinggi.4,9
lengkap dengan hernia inguinalis. Tampilan eksternal: wanita, tidak ada rambut pubis dan
aksila, dan payudara yang berkembang baik. Juga ditunjukkan tampilan dari isi hernia
pada sisi kiri: gonad, struktur tubular, dan pita fibromuskular. Histopatologi menunjukkan
jaringan gonad-testikular.10
7
Septum di sepertiga bagian bawah vagina memungkinkan distensi vagina yang
lebih besar dan presentasi yang lambat.11
e. Himen Imperforata
Himen imperforata telah diperkirakan memiliki insiden 1/1000.2
Diagnosis jarang pada masa bayi karena kondisi ini biasanya asimtomatik,
meskipun dalam kasus yang jarang neonatus dapat menderita pembesaran
abdomen yang bermakna. Yang lebih umum, perempuan dengan amenorea akan
menerima diagnosis himen imperforata setelah mengalami nyeri abdomen,
hematometra atau hematokolpos selama periode pubertas.4
2. Penyebab Hipotalamus
Penyakit hipotalamus merupakan penyebab paling sering dari amenorea
pada remaja. Bahkan, anak perempuan dengan gangguan hipotalamus rentan
terhadap perkembangan anovulasi kronis, karena sekresi yang tidak memadai dari
gonadotropin-releasing hormone yang menyebabkan rendahnya kadar
gonadotropin dan estradiol plasma basal. Namun, setelah stimulasi dengan
gonadotropin-releasing hormone eksogen, sekresi gonadotropin berada dalam
kisaran fisiologis. Amenorea hipotalamus sering memiliki asal disfungsional,
meskipun dalam kasus yang jarang terjadi ia dapat disebabkan oleh kondisi lain
termasuk defisit gonadotropin terisolasi, penyakit kronis, infeksi, dan tumor.2
9
a. Penyebab disfungsional dari amenorea hipotalamus
Penyebab disfungsional dari amenore hipotalamus termasuk stres
psikogenik, aktivitas fisik yang berlebihan dan gangguan gizi. Sebenarnya
mekanisme yang tepat di mana stres dan kehilangan berat badan yang berlebihan
berpengaruh negatif pada sekresi gonadotropin-releasing hormone masih belum
pasti. Namun, anak perempuan dengan gangguan produksi gonadotropin-
releasing hormone mungkin memiliki beberapa implikasi pada sekresi
luteinizing hormone, dari tidak ada atau penurunan pelepasan hingga pelepasan
yang normal atau meningkat.2,13
Stres psikogenik tampaknya menginduksi sekresi kadar yang tinggi dari
corticotrophin-releasing hormone, yang menghambat pelepasan gonadotropin-
releasing hormone.2 Selain itu, gadis yang melakukan aktivitas fisik yang
berlebihan cenderung untuk menunjukkan amenorea hipotalamus dan fase lutein
yang singkat. Kelainan ini disebabkan oleh aktivitas fisik berat dan asupan kalori
yang terbatas yang dibutuhkan untuk menjaga kerampingan. Faktanya, atlet
sering menunjukkan ketidakseimbangan yang kuat di antara asupan gizi dan
pengeluaran energi yang bermakna, terutama dalam disiplin di mana berat badan
yang rendah untuk kinerja dan estetika dibutuhkan.13
Secara khusus, pada atlet ada risiko amenorea tiga kali lebih tinggi
daripada populasi umum, dengan dominasi di antara pelari jarak jauh.
Menariknya, kondisi aneh yang disebut yang “trias atlet perempuan” telah diakui
sebagai hasil dari asupan kalori yang tidak memadai. Kondisi ini termasuk
amenorea, gangguan makan, dan osteoporosis, dan atlet dapat menunjukkan satu
atau lebih komponen dari trias. Oleh karena itu, semua perubahan ini harus
diskrining untuk menegakkan diagnosis dini dan untuk meningkatkan kualitas
hidup perempuan yang terlibat dalam olahraga kompetitif.4
Gangguan makan merupakan penyebab umum lain dari amenorea
hipotalamus fungsional. Sayangnya, gangguan ini meningkat di seluruh dunia
dan efek pada reproduksi lebih dari negatif. Secara khusus, pada wanita aksis
reproduksi sangat terkait dengan status gizi dan sangat responsif terhadap
stimulasi eksternal karena pengeluaran energi yang tinggi selama kehamilan dan
10
menyusui. Oleh karena itu, dalam kondisi kekurangan gizi, reproduksi wanita
dapat terganggu dan berlanjut dalam periode yang lebih baik untuk
mempertahankan fungsi yang penting. Bahkan, penurunan 10% -15% dari berat
tubuh normal tampaknya dapat menyebabkan amenorea. Hingga kini, telah
diperkirakan bahwa sekitar 1% -5% wanita dipengaruhi oleh “amenorea terkait
berat badan”. Meskipun mekanisme bertanggung jawab tidak sepenuhnya jelas,
telah diusulkan berat badan minimal 47 kg untuk timbulnya atau pemeliharaan
siklus menstruasi. Di antara gangguan makan yang paling penting, anoreksia
nervosa dan bulimia nervosa mempengaruhi sampai 5% dari wanita usia
reproduksi yang menyebabkan amenore dan infertilitas.14
Secara rinci, anoreksia nervosa telah didefinisikan sebagai berat badan
kurang dari 85% dari berat badan yang diharapkan atau indeks massa kurang dari
17,5 kg / m2, restriksi kalori, takut akan peningkatan berat badan dan gangguan
persepsi citra tubuh. Bulimia nervosa telah didefinisikan sebagai pesta makan
diikuti dengan muntah, aktivitas fisik yang intens dan tindakan kompensasi
lainnya. Sekitar 15%-30% dari perempuan yang terkena anoreksia nervosa
menunjukkan amenorea, sedangkan anak perempuan dengan bulimia dapat
menunjukkan oligoamenorrhea juga dengan adanya indeks massa tubuh yang
normal.4,14
Mekanisme yang mendasari preservasi atau penghentian regulasi fungsi
neuroendokrin ovarium fisiologis pada anak perempuan dengan anoreksia atau
bulimia masih belum diketahui. Namun, telah diusulkan bahwa terjadinya
gangguan sekresi gonadotropin-releasing hormone dengan perubahan dalam
sistem dopaminergik dan opioid. Baru-baru ini, kadar yang rendah dari
luteinizing hormone dan estradiol telah dibuktikan pada wanita dengan amenorea
hipotalamus, bersama dengan pelepasan gonadotropin yang tidak cukup untuk
memperpanjang perkembangan folikel sampai ovulasi. Selain itu, akhir-akhir ini
ditemukan bahwa leptin, salah satu hormon turunan adiposa yang paling penting
yang memainkan peran kunci dalam mengatur asupan dan pengeluaran energi,
tampaknya benar-benar terlibat dalam memediasi aksis reproduksi. Bahkan,
rendahnya kadar leptin telah dilaporkan pada wanita dengan amenorea
11
hipotalamus. Meskipun masih belum jelas apakah leptin memiliki efek langsung
pada hipotalamus atau menambah ketersediaan substrat metabolik, besar
kemungkinan hormon ini memediasi kedua efek ini.4, 15
c. Kondisi lainnya
Penyakit kronis aktif, tidak terkontrol atau tidak diobati yang
bertanggung jawab atas amenorea hipotalamus termasuk malabsorpsi, HIV,
diabetes, dan gangguan ginjal. Infeksi termasuk meningitis, ensefalitis, sifilis,
dan tuberkulosis. Tumor yang mungkin menyebabkan amenorea hipotalamus
meliputi kraniofaringioma, histiositosis sel Langerhans, hamartoma,
germinoma, tumor sinus endodermal, teratoma, karsinoma metastasik.1
3. Penyebab Hipofisis
4. Insufisiensi ovarium
Insufisiensi ovarium mencakup spektrum yang luas dari penyakit yang
ditandai dengan hipogonadisme hipergonadotropik karena produksi yang tidak
memadai dari steroid seks dengan adanya kadar yang tinggi dari luteinizing
hormone dan follicle-stimulating hormone. Hipogonadisme hipergonadotropik
dapat disebabkan oleh beberapa kondisi termasuk agenesis atau disgenesis gonad,
kegagalan ovarium prematur dan defisit enzimatik; masing-masing kondisi
mencakup banyak gangguan lainnya.2
a. Disgenesis gonad
Disgenesis gonad termasuk situasi yang ditandai oleh anomali
perkembangan yang menghasilkan garis gonad. Kondisi ini dapat terjadi pada
pasien dengan kariotipe normal serta abnormal.4
b. Sindrom Turner
Sindrom Turner merupakan kelainan kromosom yang paling sering
bertanggung jawab atas disgenesis gonad, yang memiliki insidensi sekitar
1/2500 kelahiran hidup perempuan. Diagnosis sindrom Turner dilakukan
berdasarkan pada karakteristik fenotipik khas pada perempuan fenotipik yang
memiliki ketiadaan parsial atau total dari satu kromosom X, dengan atau tanpa
mosaicisme. Tampilan utama dari sindrom Turner adalah webbed neck, cacat
pada telinga, dada yang bidang, jarak antar-puting yang lebar, cubitus valgus,
malformasi jantung, penyakit ginjal dan perawakan pendek. Selanjutnya, salah
satu karakteristik sindrom Turner yang paling sering adalah kurangnya
perkembangan pubertas. Bahkan, meskipun ovarium berkembang secara
normal, mereka berdegenerasi selama kehidupan intrauterin dan bayi, dan lebih
dari 90% dari perempuan akan menunjukkan kegagalan gonad. Namun,sekitar
30% dari pasien ini akan menunjukkan perkembangan pubertas alami, dan
14
menstruasi akan terjadi pada 2-5% anak perempuan yang memiliki mosaicisme
46, XX / 45, X karena jumlah oosit yang normal; Selanjutnya, sekitar 5% dari
anak perempuan dengan sindrom Turner akan menunjukkan kehamilan
spontan.4
Disgenesis gonad juga bisa terjadi pada subyek dengan kariotipe 46, XY
atau 46, XX. Secara khusus, subyek dengan kariotipe 46, XY diketahui
dipengaruhi oleh sindrom Swyer. Subyek ini menunjukkan genitalia eksterna
perempuan atau ambigu dengan perkembangan normal dari vagina dan uterus
karena tidak ada atau tidak memadainya produksi hormon anti-Mullerian dan
testosteron. Diperkirakan bahwa sekitar 25% dari subjek dengan diagnosis
sindrom Swyer mengembangkan tumor gonad; karena alasan ini, diperlukan
untuk mengangkat gonad pada saat diagnosis.4
c. Kegagalan ovarium prematur
Kegagalan ovarium prematur mengacu pada defek ovarium primer yang
terjadi pada wanita yang lebih muda dari 40 tahun. Kondisi ini dapat
bertanggung jawab atas amenore primer ataupun amenore sekunder bila ada
deplesi oosit prematur dan / atau penurunan folikulogenesis.25 Diperkirakan
insidensi kegagalan ovarium prematur sekitar 1/1000 wanita di bawah usia 30
tahun, 1/250 pada sekitar usia 35 tahun dan 1/100 pada usia 40 tahun. Selain itu,
telah dijelaskan bentuk familial dari kegagalan ovarium prematur yang
menyumbang 4-31% kasus.4
Kegagalan ovarium prematur dapat memiliki penyebab yang berbeda:
iatrogenik setelah operasi atau pengobatan kanker, autoimun, infeksi (ooforitis
mumps, sitomegalovirus, herpes zoster) dan metabolik (galaktosemia).26
Namun, sebagian besar dari kasus kegagalan ovarium prematur adalah idiopatik,
dan etiologi genetik telah disarankan berdasarkan pada gen kandidat yang
ditemukan dalam beberapa keluarga. Bahkan, gangguan kromosom X telah
ditemukan berhubungan dengan kegagalan ovarium prematur pada wanita
dengan sindrom Turner, delesi atau translokasi X parsial, atau adanya kromosom
X tambahan.26 Khususnya dua gen, yaitu POF1 yang terlokalisasi pada Xq21.3-
Xq27, dan POF2 yang terlokalisasi pada Xq13.3-q21.1, telah ditemukan terkait
15
dengan anomali kromosom yang bertanggung jawab untuk pengembangan
POF.26 Namun, banyak gen lainnya yang telah terlibat pada wanita dengan
kegagalan ovarium prematur, termasuk BMP15, FMR1, FMR2, LHR, FSHR,
Inha, FOXL2, FOXO3, ERa, SF1, Erb dan gen CYP19A1.26 Secara klinis,
presentasi ditandai dengan amenorea primer pada remaja tanpa karakteristik
sekunder perempuan, atau tidak adanya menstruasi pada wanita dengan
perkembangan pubertas yang normal, palpitasi, flushes, kelelahan dan depresi.
Evaluasi endokrin menunjukkan kadar gonadotropin basal yang tinggi dan nilai
estradiol dan inhibin yang rendah.28
5. Endokrinopati
Spektrum endokrinopati adalah luas dan mencakup penyakit adrenal
(termasuk defisiensi 17-a-hidroksilase, defisiensi 17,20-liase, defisiensi
aromatase), tiropati, diabetes yang terkontrol buruk dan gangguan ovarium.2
7. Keterlambatan Konstitusonal
Constitutional delay of growth and puberty (CDGP) merupakan penyebab
yang paling umum dari pubertas tertunda. Ia dapat didiagnosis hanya setelah
kondisi yang mendasarinya telah disingkirkan. Diagnosis CDGP dapat dibagi
menjadi tiga kategori utama: hipogonadisme hipergonadotropik (ditandai dengan
peningkatan kadar luteinizing hormone dan FSH karena kurangnya umpan balik
negatif dari gonad), hipogonadisme hipogonadisme permanen (ditandai dengan
kadar luteinizing hormone dan FSH yang rendah karena gangguan hipotalamus atau
hipofisis), dan hipogonadisme hipogonadotropik transien (hipo-gonadisme
hipogonadotropik fungsional), di mana pubertas tertunda disebabkan oleh maturasi
yang tertunda dari aksis HPG akibat kondisi yang mendasarinya.19
Pada hipogonadisme hipergonadotropik, penyebab yang umum adalah
sindrom Turner, disgenesis gonad, dan kemoterapi atau terapi radiasi. Pada
hipogonadisme hipogonadisme permanen, penyebab yang umum adalah tumor atau
penyakit infiltratif dari sistem saraf pusat, defisiensi GnRH (hipogonadisme
hipogonadisme terisolasi, sindrom Kallmann), defisiensi kombinasi hormon
hipofisis, dan kemoterapi atau terapi radiasi. Pada hipogonadisme
hipogonadotropik transien, penyebab yang umum adalah penyakit sistemik
(penyakit usus inflamatorik, penyakit celiac, anoreksia nervosa atau bulimia),
hipotiroidisme, dan olahraga yang berlebihan. Namun, sebagian besar pasien tidak
akan memiliki penyebab alternatif yang jelas dari pubertas tertunda pada evaluasi
awal, yang menunjukkan CDGP sebagai diagnosis yang memungkinkan.19
17
D. Diagnosa
19
Tabel 2. Temuan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang terkait dengan
amenorea20
2. Pemeriksaan Fisik
Selalu jelaskan kepada perempuan atau wanita apa yang akan Anda lakukan dan
tanyakan kepadanya apakah dia ingin seseorang yang dia percaya hadir pada saat
pemeriksaan.3
a) Tinggi dan berat badan. Indeks massa tubuh (IMT): Berat (kg) / panjang ×
panjang (m). IMT <18 adalah underweight dan IMT> 30 adalah obesitas.
b) Tanda-tanda malnutrisi, TBC, HIV / AIDS, penyakit kronis.
c) Peningkatan pertumbuhan rambut pada wajah, daerah pubis, abdomen dan /
atau paha.
d) Karakteristik seksual sekunder (perkembangan payudara dan rambut pubis dan
aksila).
20
e) Payudara: keluarnya susu secara spontan atau setelah mengeluarkannya dengan
hati-hati.
f) Pemeriksaan abdomen: kehamilan, tumor.
g) Genitalia eksternal: klitoris, himen, pertumbuhan rambut. Pada seorang gadis
dengan amenore primer cari himen yang menggembung yang menunjukkan
himen imperforata.
h) Pemeriksaan spekulum dan pemeriksaan pelvis (jika seorang gadis / wanita
tidak virgin): atrofi, sekret, kelainan serviks, eksitasi serviks,
ukuran uterus, massa pelvis.
i) Pemeriksaan USG (abdominal dengan kandung kemih penuh atau vaginal): ada
tidaknya uterus, ukuran uterus, endometrium, ukuran ovarium dan ada atau
tidaknya folikel, massa tubo-ovarium, kista, cairan bebas. Pada seorang gadis
dengan amenore primer yang secara khusus dicoba untuk memvisualisasikan
uterus dengan tanpa uterus menunjukkan kelainan kongenital atau kelainan
kromosom.
3. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan awal mencakup tes kehamilan dan kadar luteinizing hormone,
follicle-stimulating hormone, prolaktin, dan thyroid-stimulating hormone serum.
Jika anamnesis atau pemeriksaan menunjukkan keadaan hiperandrogenik,
konsentrasi testosteron bebas dan total serum dan dehidroepiandrosteron sulfat
dapat berguna. Jika pasien berperawakan pendek, analisis kariotipe harus
dilakukan untuk menyingkirkan sindrom Turner.1,3 Jika adanya sekresi estradiol
endogen tidak jelas dari pemeriksaan fisik (misalnya, perkembangan payudara),
estradiol serum dapat diukur. Hitung darah lengkap dan panel metabolik yang
komprehensif mungkin berguna jika anamnesis atau pemeriksaan sugestif dari
penyakit kronis.3
4. Pemeriksaan Diagnostik
Ultrasonografi pelvis dapat membantu mengkonfirmasi ada atau tidaknya
21
uterus, dan dapat mengidentifikasi kelainan struktural organ saluran reproduksi.
Jika tumor hipofisis dicurigai, magnetic resonance imaging (MRI) dapat
diindikasikan. Hormonal challenge (misalnya, medroxyprogesterone asetat
[Provera], 10 mg oral per hari selama tujuh sampai 10 hari) dengan antisipasi
withdrawal bleeding untuk mengkonfirmasi anatomi yang fungsional dan
estrogenisasi yang memadai, secara tradisional menjadi pusat evaluasi. Beberapa
ahli menunda pengujian ini karena korelasinya dengan status estrogen relatif tidak
dapat diandalkan.1
Sebagian besar laboratorium dengan pengaturan sumber daya yang rendah tidak
memiliki fasilitas untuk mengukur FSH, estradiol, thyroid-stimulating hormone
(TSH) dan prolaktin. Pemeriksaan hormonal ini secara rutin digunakan dalam
diagnosis amenorea dalam pengaturan klinis dengan sumber daya yang tinggi.3
22
Dengan adanya karakteristik seksual sekunder, langkah pertama adalah untuk
menyingkirkan kehamilan. Kemudian lakukan progestational challenge test
dengan norethisterone 10 mg setiap hari selama 10 hari. Jika pasien berdarah,
adanya uterus dengan endometrium yang cukup siap oleh estrogen dan aliran keluar
yang kompeten dari saluran genitalia dikonfirmasi. Jika pasien tidak berdarah,
langkah selanjutnya adalah memberikan kombinasi pil kontrasepsi oral untuk satu
siklus yang akan menyebabkan withdrawal bleeding saat uterus dan saluran keluar
yang fungsional dijumpai. Tidak adanya withdrawal bleeding biasanya berarti ada
defek pada endometrium, uterus atau saluran keluar dan pemeriksaan selanjutnya
harus diarahkan untuk menilai hal ini.3
E. Diagnosis Banding
Penyebab amenore primer harus dievaluasi dalam konteks ada atau tidaknya
karakteristik seksual sekunder. Tabel 3. meliputi diagnosis diferensial amenore primer.32
23
Tabel 3. Diagnosis banding amenorea primer (diberi tanda *) 20
24
tingginya risiko transformasi maligna setelah pubertas.20
Jika pasien memiliki karakteristik seksual sekunder yang normal, termasuk
rambut pubis, dokter harus melakukan MRI atau ultrasonografi untuk menentukan
apakah uterus ada atau tidak. Agenesis mullerian (ketiadaan kongenital dari vagina
dan perkembangan uterus yang abnormal [biasanya rudimenter]) menyebabkan
sekitar 15 persen dari amenorea primer. Etiologinya diduga melibatkan aktivasi
hormon antimüllerian pada embrio, yang menyebabkan malformasi traktus genitalia
perempuan. Pasien mungkin mengalami nyeri abdomen siklik jika ada jaringan
endometrium dalam uterus yang belum sempurna, mittelschmerz, atau nyeri
payudara. Tidak adanya vagina atau vagina yang terpotong dan uterus dewasa yang
abnormal mengkonfirmasi agenesis mullerian. Analisis kariotipe harus dilakukan
untuk menentukan apakah pasien secara genetik perempuan.20
Jika pasien memiliki uterus yang normal, obstruksi saluran keluar harus
dipertimbangkan. Himen imperforata atau septum transversalis vagina dapat
menyebabkan obstruksi saluran keluar kongenital, yang biasanya dikaitkan dengan
nyeri abdomen siklik dari akumulasi darah dalam uterus dan vagina. Jika saluran
keluar paten, dokter harus melanjutkan evaluasi yang serupa dengan untuk amenorea
sekunder (Gambar 7).20
25
Gambar 8. Algoritma untuk evaluasi amenorea sekunder20
26
yang berhubungan dengan keterlambatan konstitusional dari pertumbuhan dan
pubertas tidak dapat dibedakan dari yang berhubungan dengan kegagalan
hipotalamus atau hipofisis. Observasi dengan cermat sesuai untuk keterlambatan
konstitusional dari pertumbuhan dan pubertas. Sindrom Kallmann, yang
berhubungan dengan anosmia, juga dapat menyebabkan hipogonadisme
hipogonadotropik.20
Hipogonadisme hipergonadotropik (kadar FSH dan LH meningkat) pada pasien
dengan amenorea primer disebabkan oleh disgenesis gonad atau kegagalan ovarium
prematur. Sindrom Turner (kariotipe 45, XO) adalah bentuk disgenesis gonad
perempuan yang paling umum. Temuan fisik karakteristiknya meliputi webbed neck,
jarak antara puting yang lebar, dan perawakan pendek. Mosaicisme terjadi pada
sekitar 25 persen dari pasien dengan sindrom Turner. Pasien-pasien ini sering
memiliki fenotipe yang lebih normal dengan onset pubertas dan menarche
spontan.Penyebab lainnya yang jarang dari disgenesis gonad murni dapat terjadi
pada kariotipe 46, XY atau XX.20
F. Penatalaksanaan
27
2. Penatalaksanaan sindrom MRKH
Penatalaksanaan agenesis vagina pada sindrom Mayer-Rokitanksy-Kuster-
Hauser selalu menjadi topik yang kontroversial. Pilihan prosedur dan usia pasien
pada saat rekonstruksi tergantung pada anatomi individu, potensi kesuburan dan
faktor psikologis dan sosial. Awalnya, argumen berpusat pada apakah akan
melakukan operasi atau mencoba dilatasi pasif serta pada usia berapa intervensi
dilakuakn. Karena teknik bedah baru-baru ini telah diperbaharui, pertanyaannya
adalah, jika operasi dipilih, jaringan apa yang harus digunakan (graft usus vs kulit)
dan, jika skin graft, dari daerah mana ia diambil. Tujuannya adalah memuaskan
aktivitas seksual dengan anatomi dan fungsi vagina yang baik bersama dengan
luaran jangka panjang mekanis. Sampai saat ini, terapi yang direkomendasikan,
ketika reseksi kornu rudimenter diindikasikan, adalah laparotomi. Tujuan yang
sama saat ini dapat dicapai dengan laparoskopi. Laparoskopi tidak hanya berguna
untuk diagnosis malformasi uterus, tetapi juga berharga untuk perawatan yang
diperlukan untuk jenis malformasi ini bersama dengan penciptaan vagina buatan
(vaginoplasti yang dibantu laparoskopi).7
Pada sindrom Mayer-Rokitansky-Kuster-Hauser, pasien dapat mengambil
manfaat dengan bedah pembentukan neovagina; uterus yang tidak berkembang
harus diangkat dengan adanya endometrium fungsional karena dapat bertanggung
jawab atas pembengkakan uterus dan nyeri berulang abdomen bagian bawah.2
Waktu yang ideal untuk intervensi adalah pada saat remaja atau setelahnya, ketika
seorang wanita telah mencapai maturitas fisik dan psikologis. Di masa lalu,
prosedur rekonstruksi vagina dilakukan pada bayi dan anak-anak perempuan pra-
pubertas dan ini memerlukan revisi bedah yang tak terelakkan di masa remaja
sebelum aktivitas seksual. Penundaan pengobatan juga memungkinkan wanita
untuk terlibat dalam pengambilan keputusan dan juga meningkatkan kepatuhan
dengan terapi dilatasi ajuvan yang mungkin diperlukan. 8
Tujuan perawatan jangka panjang adalah untuk membuat kanal neo-vagina
yang fungsional dengan diameter dan panjang yang memadai, arah aksial yang
tepat, dan sekresi / lubrikasi yang normal untuk mengakomodasi hubungan seksual
dan mengatasi masalah kesuburan.8
28
Ada dua jenis prosedur utama; pertama terdiri dari penciptaan rongga baru dan
dapat dilakukan dengan bedah atau non-bedah. Yang kedua adalah penggantian
vagina dengan kanal yang sudah ada yang dilapisi dengan membran mukosa
(segmen usus). prosedur non-bedah yang paling umum digunakan adalah metode
dilatasi Frank, yang melibatkan aplikasi pertama oleh dokter dan kemudian oleh
pasien dari dilator vagina, dengan panjang dan diameter yang semakin meningkat,
dan juga teknik Ingram dan modifikasi nya.8
Dilator vagina memiliki sedikit komplikasi karena tidak ada risiko anestesi atau
bedah, tetapi memakan waktu, menyebabkan ketidaknyamanan pada pasien, dan
membutuhkan motivasi pasien yang baik.8 Pengobatan bedah dari sindrom MRKH
dicapai dengan rekonstruksi vagina, yang meliputi; vaginoplasti Williams, yang
mencakup menjahit labia majora menjadi kantong perineum, tapi vagina yang
dibuat adalah eksternal, pendek, dan tidak memuaskan untuk hubungan seksual
penetratif; prosedur ini tidak lagi dipraktekkan. Prosedur Vecchietti terdiri dari
meningkatkan ukuran vagina dengan secara bertahap menerapkan traksi pada
dinding vagina. Akhirnya, neo-vagina dapat dibuat dalam ruang rektovesika dan
dilapisi oleh jaringan yang berbeda seperti kulit (McIndo-Reed), peritoneum
(Davydov), dan usus.8
Merekonstruksi vagina dengan menggunakan segmen usus menciptakan vagina
yang estetis, tidak memerlukan cetakan, dilatasi atau lubrikasi, dan pada anak-anak,
neo-vagina tumbuh dengan pertumbuhan anak dengan risiko stenosis yang kurang.8
Kolon sigmoid memiliki kelebihan tertentu, seperti, dinding yang tebal, diameter
yang besar, tidak dapat cedera dengan mudah, memiliki cukup sekresi mukosa,
yang meskipun memadai untuk lubrikasi ia tidak berlebihan atau menjengkelkan,
dan tidak memerlukan dilatasi reguler setelah periode pasca operasi.8
Pasien dengan sindrom MRKH dapat menderita distorsi pencitraan tubuh yang
berat, kecemasan, depresi, sensitivitas interpersonal dan menghadapi banyak
tekanan psikologis pada saat diagnosis. Langer dkk mempelajari sekuele
psikososial dan cara mengatasi (coping) malformasi dan terapi dengan wawancara
semi terstruktur dan tes Giessen. Hasil anatomis dan fungsional dari operasi
vaginoplasti sangat baik dan kepuasan seksual berkorelasi dengan coping. 7/11
29
pasien MRKH mampu dengan baik untuk beradaptasi dengan malformasi tersebut.
Malformasi menyebabkan kerusakan narsistik pada semua kasus. Masalah perilaku
pada pasien remaja dapat dihindari dengan bimbingan dan penghiburan awal yang
tepat.7
30
menyarankan defek hipofisis dan testikular pada subyek ini tidak benar-benar
merupakan konsekuensi dari defisiensi gonadotropin-releasing hormone.21
Sehubungan dengan prolaktinoma, terapi harus menargetkan untuk
memulihkan menstruasi dan menjamin kesuburan. Agonis dopamin adalah terapi
favorit untuk hiperprolaktinemia karena mereka mampu mengurangi kadar
prolaktin, untuk mengurangi ukuran tumor dan untuk mengembalikan fungsi gonad.
Dua agonis dopamin digunakan untuk mengobati prolaktinoma: bromocriptine dan
cabergoline. Secara khusus, cabergoline telah terbukti lebih berkhasiat dengan
kurangnya efek samping daripada bromocriptine pada wanita dengan
mikroadenoma. Oleh karena itu, cabergoline merupakan pendekatan terapi utama.
Perempuan dengan makroadenoma juga bisa mendapatkan keuntungan dengan
agonis dopamin atau, dalam beberapa kasus, mereka harus menjalani operasi
pengangkatan tumor.4,20
33
DAFTAR PUSTAKA
427-446
thumbs and big toes. Department of Radiology, Singh Institute of Urology and
2010; 2(1)
9. Hughes IA, et al. Androgen insensitivity syndrome. Lancet 2012; 380: 1419–
28
34
10. Nair RV, Bhavana S. XY Female with Complete Androgen Insensitivity
0379-1.
11. Homa L, et al. Primary amenorrhea with transverse vaginal septum and scant
12. Mou JWC, et al. Imperforate hymen: cause of lower abdominal pain in teenage
13. Golden, N.H. & Carlson, J.L.. The pathophysiology of amenorrhea in the
178
2006,12(3):193-207
15. Welt, C.K., Chan, J.L., Bullen, J., Murphy, R., Smith, P., DePaoli, A.M.,
997
16. Dodé, C. & Hardelin, J.P. Kallmann syndrome. European Journal of Human
Genetics 2009,17:139-146
17. Brioude, F., Bouligand, J., Trabado, S., Francou, B., Salenave, S., Kamenicky,
P., Brailly- Tabard, S., Chanson, P., Guiochon-Mantel, A. & Young, J. Non-
35
and genotype–phenotype relationships. European Journal of Endocrinology
2010,162:835-851
21. Jayasinghe, Y., Grover, S.R. & Zacharin, M. (2008). Current concepts in bone
BJOG,115(3):304-315
36