Anda di halaman 1dari 43

REFERAT AMENORE PRIMER

Penulis :

Pembimbing:
Dr. H.

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada penulis sehingga penulis berhasil menyelesaikan referat yang berjudul
“Referat Amenore Primer” tepat pada waktunya.

Diharapkan referat ini dapat memberikan informasi kepada kita semua tentang hal-hal
mengenai Amenore Primer . 

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu penulis harapkan demi
kesempurnaan referat ini.

Akhir kata, penulis sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan
serta dalam penyusunan referat ini dari awal sampai akhir. Dan juga penulis ingin berterima
kasih kepada dosen pembimbing yang telah menyempatkan waktu untuk bimbingan referat
ini. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.

Mojokerto, 23 Desember 2021

Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I Pendahuluan
BAB II Tinjauan Pustaka
A. Definisi
B. Epidemiologi
C. Etiopatogenesi
1. Defek anatomi dari traktus genitalia
2. Penyebab Hipotalamus
3. Penyebab Hipofisis
4. Insufisiensi ovarium
5. Endokrinopati
6. Oligo atau Anovulasi Kronis
7. Keterlambatan Konstitusonal

D. Diagnosa
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan Fisik
3. Pemeriksaan laboratorium
4. Pemeriksaan Diagnostik
5. Pemeriksaan pada Sindrom MRKH

E. Diagnosis Banding
F. Penatalaksanaan
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN

Amenore adalah tidak terjadinya atau abnormalitas siklus menstruasi


seorang wanita pada usia reproduktif. Menstruasi merupakan tanda penting
maturitas organ seksual seorang wanita. Dimana definisi menstruasi adalah
keluarnya darah, mukus dan debris – debris seluler yang berasal dari uterus secara
periodik dengan siklus teratur. Siklus menstruasi pada wanita normal berlangsung
teratur, yaitu 21 – 35 hari dengan volume darah yang dikeluarkan selama
menstruasi sebanyak 40 ml dan cairan serosa sebanyak 35 ml. Menstruasi
merupakan suatu proses yang kompleks, karena melibatkan berbagai organ,
sistem endokrin, hormon – hormon reproduksi dan enzim. Proses menstruasi
diregulasi oleh sistem endokrin dan perubahan hormonal yang terjadi melalui
mekanisme timbal balik (feed back mechanism) antara hipotalamus, pituitari dan
ovarium atau yang dikenal dengan axis endokrin Hipotalamus – Pituitary –
Ovarium (HPO).1
Secara umum amenore dibedakan menjadi 2 yaitu amenore primer dan
sekunder. Amenore primer adalah tidak terjadinya menstruasi pertama kali
(menarche) pada usia 13 tahun dengan pertumbuhan seks sekunder normal atau
tidak terjadinya menarche dalam waktu lima tahun setelah pertumbuhan payudara,
apabila terjadi sebelum usia 10 tahun.6,7 Sedangkan, amenore sekunder adalah
berhentinya siklus menstruasi yang teratur selama 3 bulan atau berhentinya siklus
menstruasi yang tidak teratur selama 6 bulan1,2
Dewasa ini, insidensi terjadinya amenore primer mengalami
peningkatan. Berdasarkan data penelitian, insidensi amenore primer di Amerika <
1%. Sedangkan, di Indonesia menurut penelitian yang dilakukan oleh Tri Indah
Winarni pada tahun 2009, insidensi amenore primer di Semarang sebesar 11,83%.
Menurut sejumlah penelitian menyebutkan bahwa persentase frekuensi penyebab
amenore primer antara lain abnormalitas gonadal (50,4%), abnormalitas
hipotalamus dan kelenjar pituitari (27,8%), abnormalitas saluran genitalia
(21,8%), dan hymen imperforata atau septum transversal vagina.1,2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

D. Definisi

Amenore berarti tidak adanya menstruasi. Amenore primer adalah tidak


adanya menarche pada seorang gadis berusia 16 tahun atau lebih. Amenore
sekunder adalah tidak adanya menstruasi selama 6 bulan pada wanita dengan
siklus yang tidak teratur sebelumnya atau 3 bulan pada wanita dengan siklus yang
teratur (21-35 hari).1,2 Menarche adalah periode menstruasi pertama dan dimulai
setelah pengembangan karakteristik seksual sekunder: rambut pubis dan aksila
dan perkembangan payudara (Tahap Tanner). Rata-rata usia menarche adalah 13,5
tahun, namun terdapat perbedaan besar di antara dan di dalam negara. Umumnya,
gadis dari daerah pedesaan di negara negara dengan sumber daya yang rendah
lebih tua saat menarche dibandingkan dengan anak perempuan dari daerah
perkotaan.3

E. Epidemiologi

Diperkirakan bahwa amenorea yang bukan karena kondisi fisiologis


memiliki prevalensi yang berkisar antara 3% sampai 4%. Penyebab yang paling
sering dari amenore ada empat: amenorea hipotalamus, hiperprolaktinemia,
kegagalan ovarium, dan sindrom ovarium polikistik.4

F. Etiopatogenesi

Penyebab utama dari amenorea primer termasuk defek anatomi dari traktus

genitalia, penyebab hipotalamus / hipofisis, insufisiensi ovarium, endokrinopati dan oligo

atau anovulasi kronis.4

2
Tabel 1. Penyebab umum dari amenorea primer1

1. Defek anatomi dari traktus genitalia

Defek anatomi genitalia termasuk agenesis vagina, septum vagina


transversalis, himen imperforata, agenesis atau disgenesis serviks, hipoplasia atau
aplasia endometrium, sindrom Mayer-Rokitansky-Kuster-Hauser, dan sindrom
insensitivitas androgen.4

a. Agenesis Vagina

Agenesis vagina harus dicurigai pada semua gadis dengan amenorea


primer yang sering menderita nyeri abdomen dan nyeri panggul karena
hambatan anatomi yang menghambat aliran darah. Selanjutnya, kumpulan
darah dalam uterus (hematometra) dapat memprovokasi menstruasi retrograde
yang mengarah pada pengembangan perlekatan dan endometriosis.1,4

b. Agenesis Mullerian (Sindrom Mayer-Rokitansky-Kuster-Hauser)

Sindrom Mayer-Rokitansky-Kuster-Hauser adalah kelainan kongenital


pada saluran genital yang diakui sebagai penyebab yang lebih umum dari
amenore setelah disgenesis gonad, yang memiliki insiden 1 / 5.000. Sindrom
ini juga disebut “agenesis mullerian” karena ia ditandai dengan tidak adanya
atau hipoplasia dari derivatif duktus Mullerian. Bahkan, gambaran utama
sindrom Mayer-Rokitansky-Kuster-Hauser adalah sebagai berikut: ovarium
normal, anomali perkembangan uterus mulai dari tidak adanya residu
rudimenter dari uterus dan aplasia dari dua pertiga atas vagina. Lebih lanjut
lagi, wanita yang terpengaruh menunjukkan perkembangan karakteristik
seksual sekunder dengan perempuan kariotipe 46, XX. Ada dua jenis sindrom
Mayer- Rokitansky-Küster-Hauser: Tipe 1 menunjukkan variasi terisolasi,
sementara tipe 2 terkait dengan beberapa kelainan organik yang melibatkan
saluran kemih bagian atas (40% kasus), skeleton (10-12% kasus), sistem
pendengaran (10- 25% kasus), dan yang lebih jarang jantung.
Gambar 1. Stadium Tanner, Perkembangan Payudara, Perkembangan Rambut
pubis8

Etiologi sindrom Mayer Rokitansky-Küster-Hauser masih belum pasti: meskipun


di awal disebutkan bahwa ini sindrom adalah hasil dari kelainan sporadis. Baru
baru ini telah diasumsikan latar belakang genetik berdasarkan pada semakin
banyaknya jumlah kasus familial.5

Gambar 2. T2-weighted MRI dari pelvis. Potongan sagital midline menunjukkan

kandung kemih normal di anterior, rektum di posterior, dan ketiadaan lengkap

dari uterus dan vagina.6


c. Sindrom Insensitivitas Androgen

Sindrom insensitivitas androgen adalah defek reseptor androgen resesif


terkait X yang langka yang memiliki insiden 1 / 20,000-99,000. Gen yang
bertanggung jawab untuk kondisi ini telah dipetakan pada kromosom Xq11-
12, dan sekitar 30% dari mutasi disebabkan anomali sporadis. Saat ini, tiga
varian sindrom insensitivitas androgen telah diakui berdasarkan pada aktivitas
reseptor androgen: sindrom insensitivitas androgen lengkap, dengan fenotipe
yang ditandai dengan genitalia eksterna wanita yang normal; sindrom
insensitivitas androgen ringan, dengan fenotipe yang ditandai oleh genitalia
eksterna laki-laki normal; sindrom insensitivitas androgen parsial, dengan
fenotipe yang ditandai dengan maskulinisasi genitalia eksterna parsial.4,9

Secara rinci, sindrom insensitivitas androgen lengkap memiliki insiden


1 / 60.000 dan ditandai dengan agenesis kongenital dari uterus dan tidak
adanya atau belum sempurnanya vagina wanita yang menunjukkan
perkembangan normal dari karakteristik seksual sekunder dengan adanya
kariotipe 46, XY. Selain itu, pasien ini menunjukkan kriptorkismus, dengan
gonad yang terletak dalam kanalis inguinalis atau rongga abdomen; testis
fungsional dan memproduksi kadar testosteron dan dihidrotestosteron yang
normal. Meskipun biasanya pasien yang dipengaruhi oleh sindrom
insensitivitas androgen lengkap datang dengan amenorea primer bersama-
sama dengan rambut pubis dan aksila yang jarang atau tidak ada, gadis ini
juga dapat menunjukkan hernia inguinalis selama masa bayi atau masa kanak-
kanak. Selain itu, karena tingkat insidensi sindrom insensitivitas androgen
lengkap telah dilaporkan 1% -2% pada subyek dengan hernia inguinalis,
beberapa penulis telah menyarankan untuk mempertimbangkan kariotipe pada
setiap gadis dengan massa inguinal.4,9

Insiden keganasan testis telah diperkirakan sebesar 22%, meskipun


jarang terjadi pada subyek yang lebih muda dari 20 tahun. Biasanya, evaluasi
endokrin menunjukkan kadar yang tinggi dari testosteron dan luteinizing
hormone plasma basal, sering bersama dengan kadar estradiol yang tinggi.4,9

Gambar 4. Seorang wanita berusia 30 tahun dengan sindrom insensitivitas androgen

lengkap dengan hernia inguinalis. Tampilan eksternal: wanita, tidak ada rambut pubis dan

aksila, dan payudara yang berkembang baik. Juga ditunjukkan tampilan dari isi hernia

pada sisi kiri: gonad, struktur tubular, dan pita fibromuskular. Histopatologi menunjukkan

jaringan gonad-testikular.10

d. Septum Vagina Transversalis


Septum vagina transversalis merupakan obstruksi vagina kongenital.
Ada dua varietas dari septum transversal: parsial dan total; hanya variasi total
yang bertanggung jawab untuk amenorea. Obstruksi dapat terletak di bagian
inferior (16%), sentral (40%) atau superior (46%) dari vagina. Serupa dengan
agenesis vagina, cacat ini juga bertanggung jawab atas nyeri abdomen dan
nyeri pelvis berulang yang berasal dari darah yang terakumulasi dalam uterus
dan vagina (hematokolpos).2 Lokasi septum dapat mempengaruhi waktu
presentasi.
Septum di sepertiga bagian bawah vagina memungkinkan distensi vagina yang
lebih besar dan presentasi yang lambat.11
e. Himen Imperforata
Himen imperforata telah diperkirakan memiliki insiden 1/1000.2
Diagnosis jarang pada masa bayi karena kondisi ini biasanya asimtomatik,
meskipun dalam kasus yang jarang neonatus dapat menderita pembesaran
abdomen yang bermakna. Yang lebih umum, perempuan dengan amenorea
akan menerima diagnosis himen imperforata setelah mengalami nyeri
abdomen, hematometra atau hematokolpos selama periode pubertas.4

Gambar 5. Foto menunjukkan himen yang menggelembung oleh


kumpulan darah menstruasi12

Himen imperforata adalah sebuah anomali yang ketika bermanifestasi


selama periode remaja, biasanya dapat didiagnosis dengan anamnesis
menyeluruh dan pemeriksaan fisik. Remaja biasanya datang dengan amenorea
primer, pola siklik dari nyeri abdomen bagian bawah / panggul, dengan atau
tanpa gejala seperti nyeri punggung (38% -40%), retensi urin (37% -60%) atau
konstipasi (27%). Pada pemeriksaan fisik, massa abdomen bagian bawah
mungkin teraba, atau massa pelvis dapat dideteksi pada pemeriksaan rektal
bimanual. Diagnosis himen imperforata sering dapat ditegakkan dengan mudah
selama pemeriksaan perineum ketika himen imperforata yang menggembung
dan berwarna kebiruan ditemukan di introitus. Namun, kondisi tersebut dapat
mudah terlewatkan jika anamnesis yang cermat dan pemeriksaan yang rinci
tidak dilakukan. Ini menyoroti pentingnya mengejar prinsip-prinsip dasar
dalam pengobatan, yaitu anamnesis menyeluruh dan pemeriksaan fisik. Pada
anak perempuan yang mengalami nyeri abdomen, pemeriksaan yang cermat
dari introitus, selain pemeriksaan perrektal wajib dilakukan. Pemeriksaan
pencitraan atau laboratorium biasanya tidak diindikasikan untuk presentasi
klasik dari himen imperforata.12
f. Defek anatomi serviks
Defek anatomi serviks merupakan penyebab penting lain dari
amenorea primer. Ada dua jenis kelainan serviks: agenesis dan disgenesis.
Kedua defek ini dapat terkait dengan perkembangan normal dari vagina.
Secara rinci, sementara pada disgenesis pengembangan serviks parsial
diamati, pasien agenesis cenderung datang lebih dini dengan riwayat
amenorea primer dan nyeri abdomen bagian bawah yang berat yang terjadi
dengan interval yang tidak teratur.2
g. Hipoplasia atau aplasia endometrium
Hipoplasia atau aplasia endometrium mewakili perkembangan parsial
atau ketiadaan kongenital dari endometrium.4

2. Penyebab Hipotalamus
Penyakit hipotalamus merupakan penyebab paling sering dari amenorea
pada remaja. Bahkan, anak perempuan dengan gangguan hipotalamus rentan
terhadap perkembangan anovulasi kronis, karena sekresi yang tidak memadai dari
gonadotropin-releasing hormone yang menyebabkan rendahnya kadar
gonadotropin dan estradiol plasma basal. Namun, setelah stimulasi dengan
gonadotropin-releasing hormone eksogen, sekresi gonadotropin berada dalam
kisaran fisiologis. Amenorea hipotalamus sering memiliki asal disfungsional,
meskipun dalam kasus yang jarang terjadi ia dapat disebabkan oleh kondisi lain
termasuk defisit gonadotropin terisolasi, penyakit kronis, infeksi, dan tumor.2
a. Penyebab disfungsional dari amenorea hipotalamus
Penyebab disfungsional dari amenore hipotalamus termasuk stres
psikogenik, aktivitas fisik yang berlebihan dan gangguan gizi. Sebenarnya
mekanisme yang tepat di mana stres dan kehilangan berat badan yang
berlebihan berpengaruh negatif pada sekresi gonadotropin-releasing hormone
masih belum pasti. Namun, anak perempuan dengan gangguan produksi
gonadotropin- releasing hormone mungkin memiliki beberapa implikasi pada
sekresi luteinizing hormone, dari tidak ada atau penurunan pelepasan hingga
pelepasan yang normal atau meningkat.2,13
Stres psikogenik tampaknya menginduksi sekresi kadar yang tinggi dari
corticotrophin-releasing hormone, yang menghambat pelepasan gonadotropin-
releasing hormone.2 Selain itu, gadis yang melakukan aktivitas fisik yang
berlebihan cenderung untuk menunjukkan amenorea hipotalamus dan fase
lutein yang singkat. Kelainan ini disebabkan oleh aktivitas fisik berat dan
asupan kalori yang terbatas yang dibutuhkan untuk menjaga kerampingan.
Faktanya, atlet sering menunjukkan ketidakseimbangan yang kuat di antara
asupan gizi dan pengeluaran energi yang bermakna, terutama dalam disiplin di
mana berat badan yang rendah untuk kinerja dan estetika dibutuhkan.13
Secara khusus, pada atlet ada risiko amenorea tiga kali lebih tinggi
daripada populasi umum, dengan dominasi di antara pelari jarak jauh.
Menariknya, kondisi aneh yang disebut yang “trias atlet perempuan” telah
diakui sebagai hasil dari asupan kalori yang tidak memadai. Kondisi ini
termasuk amenorea, gangguan makan, dan osteoporosis, dan atlet dapat
menunjukkan satu atau lebih komponen dari trias. Oleh karena itu, semua
perubahan ini harus diskrining untuk menegakkan diagnosis dini dan untuk
meningkatkan kualitas hidup perempuan yang terlibat dalam olahraga
kompetitif.4
Gangguan makan merupakan penyebab umum lain dari amenorea
hipotalamus fungsional. Sayangnya, gangguan ini meningkat di seluruh dunia
dan efek pada reproduksi lebih dari negatif. Secara khusus, pada wanita aksis
reproduksi sangat terkait dengan status gizi dan sangat responsif terhadap
stimulasi eksternal karena pengeluaran energi yang tinggi selama kehamilan
dan
menyusui. Oleh karena itu, dalam kondisi kekurangan gizi, reproduksi wanita
dapat terganggu dan berlanjut dalam periode yang lebih baik untuk
mempertahankan fungsi yang penting. Bahkan, penurunan 10% -15% dari berat
tubuh normal tampaknya dapat menyebabkan amenorea. Hingga kini, telah
diperkirakan bahwa sekitar 1% -5% wanita dipengaruhi oleh “amenorea terkait
berat badan”. Meskipun mekanisme bertanggung jawab tidak sepenuhnya jelas,
telah diusulkan berat badan minimal 47 kg untuk timbulnya atau pemeliharaan
siklus menstruasi. Di antara gangguan makan yang paling penting, anoreksia
nervosa dan bulimia nervosa mempengaruhi sampai 5% dari wanita usia
reproduksi yang menyebabkan amenore dan infertilitas.14
Secara rinci, anoreksia nervosa telah didefinisikan sebagai berat badan
kurang dari 85% dari berat badan yang diharapkan atau indeks massa kurang
dari 17,5 kg / m2, restriksi kalori, takut akan peningkatan berat badan dan
gangguan persepsi citra tubuh. Bulimia nervosa telah didefinisikan sebagai
pesta makan diikuti dengan muntah, aktivitas fisik yang intens dan tindakan
kompensasi lainnya. Sekitar 15%-30% dari perempuan yang terkena anoreksia
nervosa menunjukkan amenorea, sedangkan anak perempuan dengan bulimia
dapat menunjukkan oligoamenorrhea juga dengan adanya indeks massa tubuh
yang normal.4,14
Mekanisme yang mendasari preservasi atau penghentian regulasi fungsi
neuroendokrin ovarium fisiologis pada anak perempuan dengan anoreksia atau
bulimia masih belum diketahui. Namun, telah diusulkan bahwa terjadinya
gangguan sekresi gonadotropin-releasing hormone dengan perubahan dalam
sistem dopaminergik dan opioid. Baru-baru ini, kadar yang rendah dari
luteinizing hormone dan estradiol telah dibuktikan pada wanita dengan
amenorea hipotalamus, bersama dengan pelepasan gonadotropin yang tidak
cukup untuk memperpanjang perkembangan folikel sampai ovulasi. Selain itu,
akhir-akhir ini ditemukan bahwa leptin, salah satu hormon turunan adiposa
yang paling penting yang memainkan peran kunci dalam mengatur asupan dan
pengeluaran energi, tampaknya benar-benar terlibat dalam memediasi aksis
reproduksi. Bahkan, rendahnya kadar leptin telah dilaporkan pada
wanita dengan amenorea
hipotalamus. Meskipun masih belum jelas apakah leptin memiliki efek
langsung pada hipotalamus atau menambah ketersediaan substrat metabolik,
besar kemungkinan hormon ini memediasi kedua efek ini.4, 15

b. Defisit gonadotropin terisolasi


Defisit gonadotropin terisolasi merupakan penyebab yang jarang dari
amenorea hipotalamus, termasuk sindrom Kallman dan hipogonadisme
hipogonadotropik idiopatik.4 Sindrom Kallman merupakan penyakit
perkembangan heterogen genetik yang ditandai dengan defisiensi
gonadotropin- releasing hormone dan gangguan perkembangan nervus
olfaktorius, bulbus dan sulcus, dengan insidensi 1/40000 anak perempuan dan
1: 8000 anak laki-laki. Gangguan ini dapat bersifat autosomal dominan dengan
penetrasi yang tidak lengkap, autosomal resesif, resesif terkait X, atau dapat
memiliki pola warisan oligogenik / digenik.16 Hingga kini, lima gen telah
terlibat dalam patogenesis penyakit: KAL1, FGFR1, FGF8, PROKR2 dan
PROK2. Namun, jumlah yang lebih kecil (sekitar 30%) dari subjek yang
terkena menunjukkan mutasi pada salah satu gen ini. Wanita yang terkena
menunjukkan hipogonadisme hipogonadik, amenorea dan tidak adanya
karakteristik seksual sekunder bersama-sama dengan hiposmia atau anosmia.
Umumnya, diagnosis dilakukan selama masa remaja berdasarkan pada
gangguan reproduksi dan penciuman. Namun, pasien dengan sindrom Kallman
dapat memanifestasikan karakteristik lebih lanjut serta retardasi mental, ataksia
serebelar, anomali kardiovaskular, perubahan kranio-fasial, agenesis ginjal,
gangguan pendengaran, dan perubahan yang abnormal dari visual spasial.4
Hipogonadisme hipogonadik idiopatik adalah penyakit genetik langka
yang disebabkan oleh defisiensi pelepasan gonadotropin-releasing hormone
hipotalamus; Namun, gangguan ini juga bisa disebabkan oleh gangguan aksi
gonadotropin-releasing hormone dalam sel gonadotropin di hipofisis.
Hipogonadisme hipogonadik idiopatik telah diusulkan diakibatkan anomali
fungsional terisolasi dari sinyal neuroendokrin untuk pelepasan gonadotropin-
releasing hormone atau gonadotropin. Bahkan, pada subyek ini tidak ada
perubahan perkembangan atau anatomi aksis hipotalamus-hipofisis-
gonadotropin yang telah dijelaskan; pasien yang terkena menunjukkan
penciuman yang normal dengan adanya fenotipe yang berasal dari
gonadotropin pra dan pasca kelahiran dan defisiensi steroid seks.17

c. Kondisi lainnya
Penyakit kronis aktif, tidak terkontrol atau tidak diobati yang
bertanggung jawab atas amenorea hipotalamus termasuk malabsorpsi, HIV,
diabetes, dan gangguan ginjal. Infeksi termasuk meningitis, ensefalitis, sifilis,
dan tuberkulosis. Tumor yang mungkin menyebabkan amenorea hipotalamus
meliputi kraniofaringioma, histiositosis sel Langerhans, hamartoma,
germinoma, tumor sinus endodermal, teratoma, karsinoma metastasik.1

3. Penyebab Hipofisis

Gangguan hipofisis utama yang bertanggung jawab untuk amenorea


termasuk tumor, gangguan inflamasi / infiltratif, panhipohipofisisme dan empty
sella syndrome.2 Tumor hipofisis yang dapat menyebabkan amenorea termasuk
prolaktinoma,dan tumor lainnya yang mensekresi hormon seperti hormon
adrenokortikotropik, thyrotropin-stimulating hormone, hormon pertumbuhan,
gonadotropin (luteinizing hormone, follicle-stimulating hormone).4

Hiperprolaktinemia merupakan penyebab paling sering dari amenorea dari


hipofisis, yang bertanggung jawab atas 1% dari kasus amenorea primer. Faktanya,
kadar yang tinggi dari prolaktin menekan pelepasan gonadotropin-releasing
hormone hipotalamus yang menentukan penurunan kadar estradiol. Sangat
penting untuk mengenali asal hipersekresi prolaktin. Bahkan, pada wanita dengan
hiperprolaktinemia telah diperkirakan prevalensi tumor hipofisis sekitar 50-60%.
Namun, juga penting untuk menyingkirkan penyebab lainnya yang bertanggung
jawab atas kenaikan kadar prolaktin, termasuk makroprolaktinemia,
hipotiroidisme, stres, antipsikotik dan massa yang mengurangi pelepasan
dopamin; pada kenyataannya, pelepasan prolaktin hipofisis pada prinsipnya
dihambat oleh
dopamin. Selanjutnya, pada wanita dengan peningkatan prolaktin ringan umum
untuk menemukan perubahan sistem inhibitorik.2,4 Penyakit inflamasi sistemik /
infiltratif, seperti hemocromatosis dan sarkoidosis, mewakili penyebab hipofisis
dari amenorea yang kurang sering.2

4. Insufisiensi ovarium
Insufisiensi ovarium mencakup spektrum yang luas dari penyakit yang
ditandai dengan hipogonadisme hipergonadotropik karena produksi yang tidak
memadai dari steroid seks dengan adanya kadar yang tinggi dari luteinizing
hormone dan follicle-stimulating hormone. Hipogonadisme hipergonadotropik
dapat disebabkan oleh beberapa kondisi termasuk agenesis atau disgenesis gonad,
kegagalan ovarium prematur dan defisit enzimatik; masing-masing kondisi
mencakup banyak gangguan lainnya.2
a. Disgenesis gonad
Disgenesis gonad termasuk situasi yang ditandai oleh anomali
perkembangan yang menghasilkan garis gonad. Kondisi ini dapat terjadi pada
pasien dengan kariotipe normal serta abnormal.4
b. Sindrom Turner
Sindrom Turner merupakan kelainan kromosom yang paling sering
bertanggung jawab atas disgenesis gonad, yang memiliki insidensi sekitar
1/2500 kelahiran hidup perempuan. Diagnosis sindrom Turner dilakukan
berdasarkan pada karakteristik fenotipik khas pada perempuan fenotipik yang
memiliki ketiadaan parsial atau total dari satu kromosom X, dengan atau tanpa
mosaicisme. Tampilan utama dari sindrom Turner adalah webbed neck, cacat
pada telinga, dada yang bidang, jarak antar-puting yang lebar, cubitus valgus,
malformasi jantung, penyakit ginjal dan perawakan pendek. Selanjutnya, salah
satu karakteristik sindrom Turner yang paling sering adalah kurangnya
perkembangan pubertas. Bahkan, meskipun ovarium berkembang secara
normal, mereka berdegenerasi selama kehidupan intrauterin dan bayi, dan
lebih dari 90% dari perempuan akan menunjukkan kegagalan gonad.
Namun,sekitar 30% dari pasien ini akan menunjukkan perkembangan
pubertas alami, dan
menstruasi akan terjadi pada 2-5% anak perempuan yang memiliki
mosaicisme 46, XX / 45, X karena jumlah oosit yang normal; Selanjutnya,
sekitar 5% dari anak perempuan dengan sindrom Turner akan menunjukkan
kehamilan spontan.4
Disgenesis gonad juga bisa terjadi pada subyek dengan kariotipe 46,
XY atau 46, XX. Secara khusus, subyek dengan kariotipe 46, XY diketahui
dipengaruhi oleh sindrom Swyer. Subyek ini menunjukkan genitalia eksterna
perempuan atau ambigu dengan perkembangan normal dari vagina dan uterus
karena tidak ada atau tidak memadainya produksi hormon anti-Mullerian dan
testosteron. Diperkirakan bahwa sekitar 25% dari subjek dengan diagnosis
sindrom Swyer mengembangkan tumor gonad; karena alasan ini, diperlukan
untuk mengangkat gonad pada saat diagnosis.4
c. Kegagalan ovarium prematur
Kegagalan ovarium prematur mengacu pada defek ovarium primer yang
terjadi pada wanita yang lebih muda dari 40 tahun. Kondisi ini dapat
bertanggung jawab atas amenore primer ataupun amenore sekunder bila ada
deplesi oosit prematur dan / atau penurunan folikulogenesis. 25 Diperkirakan
insidensi kegagalan ovarium prematur sekitar 1/1000 wanita di bawah usia 30
tahun, 1/250 pada sekitar usia 35 tahun dan 1/100 pada usia 40 tahun. Selain
itu, telah dijelaskan bentuk familial dari kegagalan ovarium prematur yang
menyumbang 4-31% kasus.4
Kegagalan ovarium prematur dapat memiliki penyebab yang berbeda:
iatrogenik setelah operasi atau pengobatan kanker, autoimun, infeksi (ooforitis
mumps, sitomegalovirus, herpes zoster) dan metabolik (galaktosemia). 26
Namun, sebagian besar dari kasus kegagalan ovarium prematur adalah
idiopatik, dan etiologi genetik telah disarankan berdasarkan pada gen kandidat
yang ditemukan dalam beberapa keluarga. Bahkan, gangguan kromosom X
telah ditemukan berhubungan dengan kegagalan ovarium prematur pada wanita
dengan sindrom Turner, delesi atau translokasi X parsial, atau adanya
kromosom X tambahan.26 Khususnya dua gen, yaitu POF1 yang terlokalisasi
pada Xq21.3- Xq27, dan POF2 yang terlokalisasi pada Xq13.3-q21.1, telah
ditemukan terkait
dengan anomali kromosom yang bertanggung jawab untuk pengembangan
POF.26 Namun, banyak gen lainnya yang telah terlibat pada wanita dengan
kegagalan ovarium prematur, termasuk BMP15, FMR1, FMR2, LHR, FSHR,
Inha, FOXL2, FOXO3, ERa, SF1, Erb dan gen CYP19A1.26 Secara klinis,
presentasi ditandai dengan amenorea primer pada remaja tanpa karakteristik
sekunder perempuan, atau tidak adanya menstruasi pada wanita dengan
perkembangan pubertas yang normal, palpitasi, flushes, kelelahan dan depresi.
Evaluasi endokrin menunjukkan kadar gonadotropin basal yang tinggi dan nilai
estradiol dan inhibin yang rendah.28

5. Endokrinopati
Spektrum endokrinopati adalah luas dan mencakup penyakit adrenal
(termasuk defisiensi 17-a-hidroksilase, defisiensi 17,20-liase, defisiensi
aromatase), tiropati, diabetes yang terkontrol buruk dan gangguan ovarium.2

6. Oligo atau Anovulasi Kronis


Oligo atau anovulasi kronis mengacu pada sindrom ovarium polikistik,
sebuah endokrinopati heterogen yang ditandai dengan spektrum yang luas dari
gambaran klinis dan biokimia. Bahkan, gangguan kompleks ini membutuhkan
adanya beberapa fenotipe, termasuk hiperandrogenisme dan / atau
hiperandrogenemia, dan normoovulasi atau oligoovulasi dengan atau tanpa
ovarium polikistik. Fenomena ini telah dijelaskan pada setidaknya 6% wanita
selama masa reproduksi. Namun, ia baru-baru ini telah dilaporkan bahwa dengan
menggunakan kriteria diagnostik yang berbeda prevalensi sindrom ovarium
polikistik adalah sekitar 18%. Etiopatogenesis dari sindrom ovarium polikistik
masih belum jelas meskipun tampaknya merupakan kombinasi genetik dan faktor
lingkungan. Secara khusus, dua kondisi telah diakui memainkan peran utama:
resistensi insulin dengan hiperinsulinemia dan hiperandrogenisme. Selain itu,
gangguan hipotalamus / hipofisis, kegagalan ovarium dan obesitas terlibat dalam
patogenesis sindrom ovarium polikistik. Sindrom ini menjadi simptomatik selama
masa remaja dengan gejala psikologis, metabolisme dan reproduksi, termasuk
depresi, kecemasan,
hirsutisme, oligoamenorea atau amenorea, infertilitas, sindrom metabolik, diabetes
tipe 2 dan penyakit kardiovaskular. Secara khusus, 70% - 80% dari wanita dengan
sindrom ovarium polikistik, oligoamenorrhea atau amenorea disebabkan oleh oligo-
ovulasi / anovulasi kronis.4

7. Keterlambatan Konstitusonal
Constitutional delay of growth and puberty (CDGP) merupakan penyebab
yang paling umum dari pubertas tertunda. Ia dapat didiagnosis hanya setelah
kondisi yang mendasarinya telah disingkirkan. Diagnosis CDGP dapat dibagi
menjadi tiga kategori utama: hipogonadisme hipergonadotropik (ditandai dengan
peningkatan kadar luteinizing hormone dan FSH karena kurangnya umpan balik
negatif dari gonad), hipogonadisme hipogonadisme permanen (ditandai dengan
kadar luteinizing hormone dan FSH yang rendah karena gangguan hipotalamus
atau hipofisis), dan hipogonadisme hipogonadotropik transien (hipo-gonadisme
hipogonadotropik fungsional), di mana pubertas tertunda disebabkan oleh
maturasi yang tertunda dari aksis HPG akibat kondisi yang mendasarinya.19
Pada hipogonadisme hipergonadotropik, penyebab yang umum adalah
sindrom Turner, disgenesis gonad, dan kemoterapi atau terapi radiasi. Pada
hipogonadisme hipogonadisme permanen, penyebab yang umum adalah tumor
atau penyakit infiltratif dari sistem saraf pusat, defisiensi GnRH (hipogonadisme
hipogonadisme terisolasi, sindrom Kallmann), defisiensi kombinasi hormon
hipofisis, dan kemoterapi atau terapi radiasi. Pada hipogonadisme
hipogonadotropik transien, penyebab yang umum adalah penyakit sistemik
(penyakit usus inflamatorik, penyakit celiac, anoreksia nervosa atau bulimia),
hipotiroidisme, dan olahraga yang berlebihan. Namun, sebagian besar pasien tidak
akan memiliki penyebab alternatif yang jelas dari pubertas tertunda pada evaluasi
awal, yang menunjukkan CDGP sebagai diagnosis yang memungkinkan.19
G. Diagnosa

Dokter harus melakukan anamnesis pasien secara komprehensif dan


pemeriksaan fisik secara menyeluruh pada pasien dengan amenore. Banyak
algoritma yang ada untuk evaluasi amenore primer. Uji laboratorium dan
radiografi, jika diindikasikan, harus dilakukan untuk mengevaluasi dugaan
penyakit sistemik. Jika karakteristik seksual sekunder dijumpai, kehamilan harus
disingkirkan. Radiografi rutin tidak dianjurkan.20

Gambar 6. Algoritma evaluasi amenorea primer20


Dalam semua kasus, kehamilan pertama kali harus disingkirkan. Langkah
evaluatif awal adalah serupa; Namun, perbedaan utamanya adalah kebutuhan
untuk
menentukan ada atau tidak adanya uterus pada pasien dengan amenore primer.
Penting untuk mempertimbangkan semua penyebab amenore sekunder dalam
evaluasi amenore primer.1,20
1. Anamnesis
a) Adanya karakteristik seksual sekunder. Apakah rambut aksila dan pubis ada
dan ada perkembangan payudara (lihat stadium Tanner). Jika tidak ada
karakteristik seksual sekunder, biasanya ada penundaan dalam pubertas karena
malnutrisi (stunting), penyakit kronis pada masa kanak-kanak, aktivitas fisik
yang berlebihan yang dikombinasikan dengan kurangnya asupan energi.
b) Riwayat infeksi, terutama ensefalitis. Ensefalitis dan meningitis mungkin telah
merusak hipotalamus atau hipofisis.
c) Riwayat operasi (abdomen). Pengangkatan ovarium karena tumor, kista atau
abses tubo-ovarii.
d) Usia ibu dan kakak perempuan saat menarche. Usia yang lebih tua saat
menarche bersifat herediter.
e) Penyakit kronis (di masa kecil) dan / atau riwayat penyakit mayor dalam 3
tahun terakhir. Penyakit kronis yang melemahkan dapat menyebabkan
anovulasi melalui disfungsi hipotalamus.
f) Nyeri abdomen siklik. Bersama dengan massa abdominal, gejala ini bisa
mengindikasikan septum vagina atau himen imperforata
g) Berat badan. Penurunan berat badan yang berat Misalnya karena penyakit
kronis mempengaruhi fungsi hipotalamus.
h) Hirsutisme. Distribusi maskulin dari rambut tubuh (payudara, abdomen,
wajah, paha) dan / atau akne mengindikasikan kelebihan androgen dan gejala
sindrom ovarium polikistik.
i) Hubungan seksual (kehamilan). Tanyakan gadis dengan hati-hati tentang seks:
apakah dia terlibat dalam hubungan seksual konsensual atau ia adalah korban
kekerasan seksual? Infeksi menular seksual (IMS), termasuk HIV dan
kehamilan harus disingkirkan.
Tabel 2. Temuan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang terkait dengan
amenorea20
2. Pemeriksaan Fisik
Selalu jelaskan kepada perempuan atau wanita apa yang akan Anda lakukan
dan tanyakan kepadanya apakah dia ingin seseorang yang dia percaya hadir pada
saat pemeriksaan.3
a) Tinggi dan berat badan. Indeks massa tubuh (IMT): Berat (kg) / panjang ×
panjang (m). IMT <18 adalah underweight dan IMT> 30 adalah obesitas.
b) Tanda-tanda malnutrisi, TBC, HIV / AIDS, penyakit kronis.
c) Peningkatan pertumbuhan rambut pada wajah, daerah pubis, abdomen dan /
atau paha.
d) Karakteristik seksual sekunder (perkembangan payudara dan rambut pubis
dan aksila).
e) Payudara: keluarnya susu secara spontan atau setelah mengeluarkannya
dengan hati-hati.
f) Pemeriksaan abdomen: kehamilan, tumor.
g) Genitalia eksternal: klitoris, himen, pertumbuhan rambut. Pada seorang gadis
dengan amenore primer cari himen yang menggembung yang menunjukkan
himen imperforata.
h) Pemeriksaan spekulum dan pemeriksaan pelvis (jika seorang gadis / wanita
tidak virgin): atrofi, sekret, kelainan serviks, eksitasi serviks,
ukuran uterus, massa pelvis.
i) Pemeriksaan USG (abdominal dengan kandung kemih penuh atau vaginal):
ada tidaknya uterus, ukuran uterus, endometrium, ukuran ovarium dan ada
atau tidaknya folikel, massa tubo-ovarium, kista, cairan bebas. Pada seorang
gadis dengan amenore primer yang secara khusus dicoba untuk
memvisualisasikan uterus dengan tanpa uterus menunjukkan kelainan
kongenital atau kelainan kromosom.

3. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan awal mencakup tes kehamilan dan kadar luteinizing hormone,
follicle-stimulating hormone, prolaktin, dan thyroid-stimulating hormone serum.
Jika anamnesis atau pemeriksaan menunjukkan keadaan hiperandrogenik,
konsentrasi testosteron bebas dan total serum dan dehidroepiandrosteron sulfat
dapat berguna. Jika pasien berperawakan pendek, analisis kariotipe harus
dilakukan untuk menyingkirkan sindrom Turner.1,3 Jika adanya sekresi estradiol
endogen tidak jelas dari pemeriksaan fisik (misalnya, perkembangan payudara),
estradiol serum dapat diukur. Hitung darah lengkap dan panel metabolik yang
komprehensif mungkin berguna jika anamnesis atau pemeriksaan sugestif dari
penyakit kronis.3

4. Pemeriksaan Diagnostik
Ultrasonografi pelvis dapat membantu mengkonfirmasi ada atau tidaknya
uterus, dan dapat mengidentifikasi kelainan struktural organ saluran reproduksi.
Jika tumor hipofisis dicurigai, magnetic resonance imaging (MRI) dapat
diindikasikan. Hormonal challenge (misalnya, medroxyprogesterone asetat
[Provera], 10 mg oral per hari selama tujuh sampai 10 hari) dengan antisipasi
withdrawal bleeding untuk mengkonfirmasi anatomi yang fungsional dan
estrogenisasi yang memadai, secara tradisional menjadi pusat evaluasi. Beberapa
ahli menunda pengujian ini karena korelasinya dengan status estrogen relatif
tidak dapat diandalkan.1
Sebagian besar laboratorium dengan pengaturan sumber daya yang rendah
tidak memiliki fasilitas untuk mengukur FSH, estradiol, thyroid-stimulating
hormone (TSH) dan prolaktin. Pemeriksaan hormonal ini secara rutin digunakan
dalam diagnosis amenorea dalam pengaturan klinis dengan sumber daya yang
tinggi.3

Gambar 7. Pemeriksaan diagnostik amenorea primer di daerah dengan


sumber daya yang rendah3
Dengan adanya karakteristik seksual sekunder, langkah pertama adalah untuk
menyingkirkan kehamilan. Kemudian lakukan progestational challenge test
dengan norethisterone 10 mg setiap hari selama 10 hari. Jika pasien berdarah,
adanya uterus dengan endometrium yang cukup siap oleh estrogen dan aliran
keluar yang kompeten dari saluran genitalia dikonfirmasi. Jika pasien tidak
berdarah, langkah selanjutnya adalah memberikan kombinasi pil kontrasepsi oral
untuk satu siklus yang akan menyebabkan withdrawal bleeding saat uterus dan
saluran keluar yang fungsional dijumpai. Tidak adanya withdrawal bleeding
biasanya berarti ada defek pada endometrium, uterus atau saluran keluar dan
pemeriksaan selanjutnya harus diarahkan untuk menilai hal ini.3

5. Pemeriksaan pada Sindrom MRKH


Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan fisik umum, radiografi dari kolumna
vertebra, ekstremitas atas dan urografi intravena (IVU), pemeriksaan
otorhinolaringologi umum dan rantai osikular. USG dari abdomen dan pelvis,
yang dapat menunjukkan dilatasi uterus dengan hematometra, lesi dengan bagian
rudimenter dari uterus yang berfungsi, disgenesis serviks dan kornu uteri yang
terhambat selain penentuan dari ginjal dan ovarium. Banyak peneliti merasa
bahwa USG transabdominal mungkin tidak memberikan gambaran yang benar-
benar dapat diandalkan dalam anomali duktus Mullerian. Oleh karena itu,
magnetic resonance imaging (MRI) saat ini mendapatkan penerimaan yang luas
dalam pencitraan kelainan kongenital dari traktus genitalia. Genitografi dapat
lebih lanjut memberikan rincian anatomi khusus pada kasus agenesis vagina
parsial atau fistula urogenital bersamaan.7

H. Diagnosis Banding

Penyebab amenore primer harus dievaluasi dalam konteks ada atau tidaknya
karakteristik seksual sekunder. Tabel 3. meliputi diagnosis diferensial amenore primer. 32
Tabel 3. Diagnosis banding amenorea primer (diberi tanda *)20

1. Adanya Karakteristik Seksual Sekunder


Jika seorang pasien dengan amenorea memiliki perkembangan payudara
dan rambut pubis yang minimal atau tidak ada, diagnosis biasanya adalah
sindrom insensitivitas androgen (yaitu, pasien secara fenotip perempuan tetapi
secara genetik laki-laki dengan undescencus testis). Analisis kariotipe diperlukan
untuk menentukan terapi yang tepat. Jika testis dijumpai, mereka harus diangkat
karena
tingginya risiko transformasi maligna setelah pubertas.20
Jika pasien memiliki karakteristik seksual sekunder yang normal,
termasuk rambut pubis, dokter harus melakukan MRI atau ultrasonografi untuk
menentukan apakah uterus ada atau tidak. Agenesis mullerian (ketiadaan
kongenital dari vagina dan perkembangan uterus yang abnormal [biasanya
rudimenter]) menyebabkan sekitar 15 persen dari amenorea primer. Etiologinya
diduga melibatkan aktivasi hormon antimüllerian pada embrio, yang
menyebabkan malformasi traktus genitalia perempuan. Pasien mungkin
mengalami nyeri abdomen siklik jika ada jaringan endometrium dalam uterus
yang belum sempurna, mittelschmerz, atau nyeri payudara. Tidak adanya vagina
atau vagina yang terpotong dan uterus dewasa yang abnormal mengkonfirmasi
agenesis mullerian. Analisis kariotipe harus dilakukan untuk menentukan apakah
pasien secara genetik perempuan.20
Jika pasien memiliki uterus yang normal, obstruksi saluran keluar harus
dipertimbangkan. Himen imperforata atau septum transversalis vagina dapat
menyebabkan obstruksi saluran keluar kongenital, yang biasanya dikaitkan
dengan nyeri abdomen siklik dari akumulasi darah dalam uterus dan vagina. Jika
saluran keluar paten, dokter harus melanjutkan evaluasi yang serupa dengan untuk
amenorea sekunder (Gambar 7).20
Gambar 8. Algoritma untuk evaluasi amenorea sekunder20

2. Tidak Adanya Karakteristik Seksual Sekunder


Diagnosis pasien dengan amenorea dan tanpa karakteristik seksual
sekunder berdasarkan pada hasil uji laboratorium dan analisis kariotipe. Penyebab
paling umum dari hipogonadisme hipogonadotropik (kadar FSH dan LH yang
rendah) pada amenorea primer adalah keterlambatan konstitusional dari
pertumbuhan dan pubertas. Anamnesis riwayat keluarga yang rinci juga dapat
membantu mendeteksi etiologi ini, karena seringkali bersifat familial.
Hipogonadisme hipogonadotropik
yang berhubungan dengan keterlambatan konstitusional dari pertumbuhan dan
pubertas tidak dapat dibedakan dari yang berhubungan dengan kegagalan
hipotalamus atau hipofisis. Observasi dengan cermat sesuai untuk keterlambatan
konstitusional dari pertumbuhan dan pubertas. Sindrom Kallmann, yang
berhubungan dengan anosmia, juga dapat menyebabkan hipogonadisme
hipogonadotropik.20
Hipogonadisme hipergonadotropik (kadar FSH dan LH meningkat) pada
pasien dengan amenorea primer disebabkan oleh disgenesis gonad atau kegagalan
ovarium prematur. Sindrom Turner (kariotipe 45, XO) adalah bentuk disgenesis
gonad perempuan yang paling umum. Temuan fisik karakteristiknya meliputi
webbed neck, jarak antara puting yang lebar, dan perawakan pendek. Mosaicisme
terjadi pada sekitar 25 persen dari pasien dengan sindrom Turner. Pasien-pasien
ini sering memiliki fenotipe yang lebih normal dengan onset pubertas dan
menarche spontan.Penyebab lainnya yang jarang dari disgenesis gonad murni
dapat terjadi pada kariotipe 46, XY atau XX.20

I. Penatalaksanaan

1. Penatalaksanaan defek anatomi dari traktus genitalia


Setiap defek anatomi dari traktus genitalia memerlukan prosedur bedah
yang tepat. Septum vagina transversal memerlukan eksisi, himen imperforata
membutuhkan pengangkatan jaringan dalam bentuk segitiga dan sinekia
intrauterin membutuhkan pelepasan. Selanjutnya, agenesis serviks mungkin
memerlukan histerektomi sementara disgenesis serviks mungkin memerlukan
kanalisasi serviks.2
Pada anak perempuan dengan diagnosis sindrom insensitivitas androgen
panjang vagina yang memadai untuk melakukan hubungan seksual dapat dicapai
melalui dilatasi non bedah. Namun, dalam beberapa kasus koreksi bedah pada
anomali traktus genitalia harus dilakukan untuk membuat neovagina. Pada anak
perempuan yang terkena sindrom insensitivitas androgen sangat penting untuk
menjamin dukungan psikologis yang konstan.2
2. Penatalaksanaan sindrom MRKH
Penatalaksanaan agenesis vagina pada sindrom Mayer-Rokitanksy-Kuster-
Hauser selalu menjadi topik yang kontroversial. Pilihan prosedur dan usia pasien
pada saat rekonstruksi tergantung pada anatomi individu, potensi kesuburan dan
faktor psikologis dan sosial. Awalnya, argumen berpusat pada apakah akan
melakukan operasi atau mencoba dilatasi pasif serta pada usia berapa intervensi
dilakuakn. Karena teknik bedah baru-baru ini telah diperbaharui, pertanyaannya
adalah, jika operasi dipilih, jaringan apa yang harus digunakan (graft usus vs
kulit) dan, jika skin graft, dari daerah mana ia diambil. Tujuannya adalah
memuaskan aktivitas seksual dengan anatomi dan fungsi vagina yang baik
bersama dengan luaran jangka panjang mekanis. Sampai saat ini, terapi yang
direkomendasikan, ketika reseksi kornu rudimenter diindikasikan, adalah
laparotomi. Tujuan yang sama saat ini dapat dicapai dengan laparoskopi.
Laparoskopi tidak hanya berguna untuk diagnosis malformasi uterus, tetapi juga
berharga untuk perawatan yang diperlukan untuk jenis malformasi ini bersama
dengan penciptaan vagina buatan (vaginoplasti yang dibantu laparoskopi).7
Pada sindrom Mayer-Rokitansky-Kuster-Hauser, pasien dapat mengambil
manfaat dengan bedah pembentukan neovagina; uterus yang tidak berkembang
harus diangkat dengan adanya endometrium fungsional karena dapat bertanggung
jawab atas pembengkakan uterus dan nyeri berulang abdomen bagian bawah. 2
Waktu yang ideal untuk intervensi adalah pada saat remaja atau setelahnya, ketika
seorang wanita telah mencapai maturitas fisik dan psikologis. Di masa lalu,
prosedur rekonstruksi vagina dilakukan pada bayi dan anak-anak perempuan pra-
pubertas dan ini memerlukan revisi bedah yang tak terelakkan di masa remaja
sebelum aktivitas seksual. Penundaan pengobatan juga memungkinkan wanita
untuk terlibat dalam pengambilan keputusan dan juga meningkatkan kepatuhan
dengan terapi dilatasi ajuvan yang mungkin diperlukan. 8
Tujuan perawatan jangka panjang adalah untuk membuat kanal neo-vagina
yang fungsional dengan diameter dan panjang yang memadai, arah aksial yang
tepat, dan sekresi / lubrikasi yang normal untuk mengakomodasi hubungan
seksual dan mengatasi masalah kesuburan.8
Ada dua jenis prosedur utama; pertama terdiri dari penciptaan rongga baru dan
dapat dilakukan dengan bedah atau non-bedah. Yang kedua adalah penggantian
vagina dengan kanal yang sudah ada yang dilapisi dengan membran mukosa
(segmen usus). prosedur non-bedah yang paling umum digunakan adalah metode
dilatasi Frank, yang melibatkan aplikasi pertama oleh dokter dan kemudian oleh
pasien dari dilator vagina, dengan panjang dan diameter yang semakin meningkat,
dan juga teknik Ingram dan modifikasi nya.8
Dilator vagina memiliki sedikit komplikasi karena tidak ada risiko anestesi
atau bedah, tetapi memakan waktu, menyebabkan ketidaknyamanan pada pasien,
dan membutuhkan motivasi pasien yang baik.8 Pengobatan bedah dari sindrom
MRKH dicapai dengan rekonstruksi vagina, yang meliputi; vaginoplasti Williams,
yang mencakup menjahit labia majora menjadi kantong perineum, tapi vagina
yang dibuat adalah eksternal, pendek, dan tidak memuaskan untuk hubungan
seksual penetratif; prosedur ini tidak lagi dipraktekkan. Prosedur Vecchietti terdiri
dari meningkatkan ukuran vagina dengan secara bertahap menerapkan traksi pada
dinding vagina. Akhirnya, neo-vagina dapat dibuat dalam ruang rektovesika dan
dilapisi oleh jaringan yang berbeda seperti kulit (McIndo-Reed), peritoneum
(Davydov), dan usus.8
Merekonstruksi vagina dengan menggunakan segmen usus menciptakan
vagina yang estetis, tidak memerlukan cetakan, dilatasi atau lubrikasi, dan pada
anak-anak, neo-vagina tumbuh dengan pertumbuhan anak dengan risiko stenosis
yang kurang.8 Kolon sigmoid memiliki kelebihan tertentu, seperti, dinding yang
tebal, diameter yang besar, tidak dapat cedera dengan mudah, memiliki cukup
sekresi mukosa, yang meskipun memadai untuk lubrikasi ia tidak berlebihan atau
menjengkelkan, dan tidak memerlukan dilatasi reguler setelah periode pasca
operasi.8
Pasien dengan sindrom MRKH dapat menderita distorsi pencitraan tubuh yang
berat, kecemasan, depresi, sensitivitas interpersonal dan menghadapi banyak
tekanan psikologis pada saat diagnosis. Langer dkk mempelajari sekuele
psikososial dan cara mengatasi (coping) malformasi dan terapi dengan wawancara
semi terstruktur dan tes Giessen. Hasil anatomis dan fungsional dari operasi
vaginoplasti sangat baik dan kepuasan seksual berkorelasi dengan coping. 7/11
pasien MRKH mampu dengan baik untuk beradaptasi dengan malformasi
tersebut. Malformasi menyebabkan kerusakan narsistik pada semua kasus.
Masalah perilaku pada pasien remaja dapat dihindari dengan bimbingan dan
penghiburan awal yang tepat.7

3. Penatalaksanaan gangguan hipotalamus dan hipofisis


Amenorea hipotalamus harus diterapi sesuai dengan etiologi nya. Pengobatan
amenorea hipotalamus fungsional harus diselesaikan dengan kemunculan atau
regulasi siklus menstruasi dengan memulai terapi estrogen dan progestin.
Selanjutnya, terapi ini harusnya mencegah perkembangan osteoporosis.
Sehubungan dengan estrogen oral, telah ditunjukkan bahwa terapi penggantian
hormon transdermal memiliki efek yang lebih baik pada densitas tulang daripada
terapi penggantian hormon oral karena tidak adanya metabolisme hepatik first-
pass.40 Selain itu, suplementasi kalsium dan vitamin D sangat disarankan.32 Secara
khusus, pada atlet dengan trias atlet perempuan target terapi adalah untuk
memulihkan menstruasi melalui pengurangan aktivitas fisik, peningkatan berat
badan, suplementasi kalsium dan terapi estrogen.4
Sehubungan dengan sindrom Kallmann, target terapi adalah untuk
mempromosikan perkembangan payudara melalui terapi penggantian estrogen dan
progestin pada anak perempuan dan untuk mempromosikan virilisasi melalui
terapi penggantian testosteron pada laki-laki. Selanjutnya, terapi hormonal bisa
ditawarkan sebagai metode yang valid untuk memulihkan kesuburan pada pasien
ini. Pemberian gonadotropin-releasing hormone atau gonadotropin pulsatil telah
digunakan untuk menstimulasi ovulasi pada wanita dan aktivitas spermatogenik
pada laki laki. Pada sebagian besar subyek yang terkena hipogonadisme
hipogonadotropik idiopatik, terapi gonadotropin-releasing hormone pulsatil
eksogen jangka panjang telah terbukti efisien karena menginduksi pertumbuhan
testis dan perkembangan sperma saat ejakulasi, yang mendukung kehidupan
seksual dan meningkatkan prognosis reproduksi. Namun, sebagian kecil dari
populasi ini tidak merespon penggantian gonadotropin-releasing hormone, yang
menyarankan defek hipofisis dan testikular pada subyek ini tidak benar-benar
merupakan konsekuensi dari defisiensi gonadotropin-releasing hormone.21
Sehubungan dengan prolaktinoma, terapi harus menargetkan untuk
memulihkan menstruasi dan menjamin kesuburan. Agonis dopamin adalah terapi
favorit untuk hiperprolaktinemia karena mereka mampu mengurangi kadar
prolaktin, untuk mengurangi ukuran tumor dan untuk mengembalikan fungsi
gonad. Dua agonis dopamin digunakan untuk mengobati prolaktinoma:
bromocriptine dan cabergoline. Secara khusus, cabergoline telah terbukti lebih
berkhasiat dengan kurangnya efek samping daripada bromocriptine pada wanita
dengan mikroadenoma. Oleh karena itu, cabergoline merupakan pendekatan terapi
utama. Perempuan dengan makroadenoma juga bisa mendapatkan keuntungan
dengan agonis dopamin atau, dalam beberapa kasus, mereka harus menjalani
operasi pengangkatan tumor.4,20

4. Penatalaksanaan penyakit terkait insufisiensi ovarium


Sindrom Turner membutuhkan terapi yang mempromosikan pertumbuhan
yang bertujuan untuk memperoleh perkembangan pubertas yang normal dan
pencapaian tinggi dewasa yang normal. Hormon pertumbuhan merupakan fokus
dari terapi promosi pertumbuhan karena terapi ini mampu meningkatkan
kecepatan pertumbuhan dan tinggi akhir. Sehubungan dengan induksi pubertas,
tepat untuk memberikan dosis gonadotropin sebelum memulai terapi penggantian
hormon untuk mengesampingkan pubertas tertunda. Data terbaru telah
menunjukkan bahwa pengobatan dengan estrogen harus dimulai pada sekitar usia
12 tahun untuk mempromosikan perkembangan pubertas yang normal tanpa
mengganggu terapi hormon pertumbuhan untuk tinggi akhir. Sebenarnya, estrogen
oral serta transdermal dan bentuk injeksi depot dari estradiol telah tersedia. Terapi
estradiol umumnya dimulai dengan dosis rendah (dari 1/10 - 1/8 dari dosis
dewasa) diikuti dengan augmentasi bertahap selama 2-4 tahun, sementara
progestin harus dimulai setelah minimal 2 tahun atau ketika perdarahan uterus
terjadi yang memungkinkan perkembangan uterus dan payudara secara teratur.
Selain itu, suplementasi kalsium sangat disarankan dalam sindrom Turner.4
Pada sindrom Swyer, terapi penggantian estrogen harus dimulai setelah
gonadektomi pada sekitar usia 11 tahun untuk memungkinkan kecepatan pubertas
normal.4
Wanita dengan diagnosis kegagalan ovarium prematur harusmenjalani terapi
penggantian estrogen sampai usia menopause normal untuk menggantikan defisit
estrogen ovarium dan melawan gejala menopause. Secara khusus, bagi perempuan
yang memiliki uterus yang intak lebih baik untuk memulai terapi hormon
kombinasi estrogen dan progestin untuk menghindari hiperplasia endometrium.
Karena defisiensi estrogen, wanita dengan kegagalan ovarium prematur juga
berisiko osteoporosis; karena alasan ini, aktivitas fisik, makanan yang kaya
kalsium dan vitamin D tanpa merokok atau konsumsi alkohol adalah wajib.4

5. Penatalaksanaan oligo atau anovulasi kronis


Wanita dengan kelebihan berat badan atau obesitas dengan sindrom
ovarium polikistik yang menunjukkan oligomenorea atau amenorea harus
menjalani intervensi gaya hidup terstruktur, termasuk peningkatan aktivitas fisik
dan penurunan asupan makanan. Bahkan, telah ditunjukkan bahwa penurunan
berat badan 5-10% dikaitkan dengan efek yang menguntungkan pada sistem
reproduksi. Mengenai terapi farmakologis, sebenarnya tidak ada terapi yang dapat
sepenuhnya mengatasi gangguan hormonal pada sindrom ovarium polikistik.
Selanjutnya, terapi farmakologis tidak seharusnya mengganti intervensi gaya
hidup. Terapi penggantian estrogen dengan dosis rendah yang dikombinasikan
dengan progestin siklik dapat dimulai yang mengarah pada pengurangan
hiperandrogenisme. Selanjutnya, obat sensitisasi insulin merupakan pendekatan
yang valid untuk mengurangi resistensi insulin pada sindrom ovarium polikistik.
Secara khusus, metformin telah terbukti dapat meningkatkan ovulasi dan
meregulasi periode menstruasi.1,4
Dalam menghadapi masalah ruptura uteri semboyan prevention is better than
cure sangat perlu diperhatikan dan dilaksanakan oleh setiap pengelola persalinan
di mana pun persalinan itu berlangsung. Pasien risiko tinggi haruslah dirujuk agar
persalinannya berlangsung di rumah sakit yang mempunyai fasilitas yang cukup
dan berpengalaman. Bila telah terjadi ruptura uteri tindakan terpilih hanyalah

histerektomi dan resusitasi serta antibiotika yang sesuai. Diperlukan infus cairan
kristaloid dan transfusi darah yang banyak, tindakan antisyok, serta pemberian
antibiotika spektrum luas, dan sebagainya.1
DAFTAR PUSTAKA

1. The Practice Committee of the American Society of Reproductive Medicine.

Current evaluation of amenorrhea. Fertil Steril 2008;90:S19–25

2. Deligeoroglou E, Athanasopoulos N, Tsimaris P, et al. Evaluation and

management of adolescent amenorrhea. Ann NY Acad Sci 2010;1205:23–32

3. Lagro M. Amenorea. Gynecology For Less-Resourced Locations. 2012.

Chapter 8.p 84-90

4. Chiavaroli V, et al. Primary and Secondary Amenorrhea. 2011. Chapter 20. p

427-446

5. Morcel, K. & Camborieux, L.. Programme de Recherches sur les Aplasies

Müllériennes, Guerrier, D. Mayer-Rokitansky-Kuster-Hauser (MRKH)

syndrome. Orphanet Journal of Rare Diseases 2007,14;2:13 p. 1-9

6. Yunus M. Mayer Rokitansky Kuster Hauser (MRKH) syndrome with absent

thumbs and big toes. Department of Radiology, Singh Institute of Urology

and Transplantation, Karachi 2014. p. 1-6

7. Jabeen M. Mayer-Rokitansky-Kuster-Hauser Syndrome. World Journal of

Laparoscopic Surgery, May-August 2011;4(2):123-128 123

8. Mungadi IA, et al. Mayer-Rokitansky-Kuster-Hauser Syndrome: Surgical

Management of Two Cases. Journal of Surgical Technique and Case Report

2010; 2(1)

9. Hughes IA, et al. Androgen insensitivity syndrome. Lancet 2012; 380: 1419–

28
10. Nair RV, Bhavana S. XY Female with Complete Androgen Insensitivity

Syndrome with Bilateral Inguinal Hernia. Journal of Obstetrics and

Gynaecology of India. 2012;62(Suppl 1):65-67. doi:10.1007/s13224-013-

0379-1.

11. Homa L, et al. Primary amenorrhea with transverse vaginal septum and scant

hematocolpos: A case report. Open Journal of Pediatrics, 2012, 2, 87-91

12. Mou JWC, et al. Imperforate hymen: cause of lower abdominal pain in

teenage girls. Singapore Med J 2009; 50(7): e378-e379

13. Golden, N.H. & Carlson, J.L.. The pathophysiology of amenorrhea in the

adolescents. Annals of the New York Academy of Sciences 2008,1135:163-

178

14. European Society of Human Reproduction and Embryology Capri Workshop

Group. Nutrition and reproduction in women. Human Reproduction Update

2006,12(3):193-207

15. Welt, C.K., Chan, J.L., Bullen, J., Murphy, R., Smith, P., DePaoli, A.M.,

Karalis, A. & Mantzoros, C.S. Recombinant human leptin in women with

hypothalamic amenorrhea. New England Journal of Medicine 2004,35:987-

997

16. Dodé, C. & Hardelin, J.P. Kallmann syndrome. European Journal of Human

Genetics 2009,17:139-146

17. Brioude, F., Bouligand, J., Trabado, S., Francou, B., Salenave, S.,

Kamenicky, P., Brailly- Tabard, S., Chanson, P., Guiochon-Mantel, A. &

Young, J. Non- syndromic congenital hypogonadotropic hypogonadism:


clinical presentation
and genotype–phenotype relationships. European Journal of Endocrinology

2010,162:835-851

18. Beck-Peccoz, P. & Persani, L. Premature ovarian failure. Orphanet Journal of

Rare Diseases 2006,1:9 doi:10.1186/1750-1172-1-9

19. Palmert MR, Dunkel L. Delayed Puberty. N Engl J Med 2012;366:443-53.

20. Master-Hunter T, Heiman DL. Amenorrhea: Evaluation and Treatment. Am

Fam Physician 2006;73:1374-82, 1387

21. Jayasinghe, Y., Grover, S.R. & Zacharin, M. (2008). Current concepts in

bone and reproductive health in adolescents with anorexia nervosa.

BJOG,115(3):304-315

Anda mungkin juga menyukai