AMENORRHEA
(GAMBARAN KLINIS, DIAGNOSIS, DAN PENATALAKSANAAN)
Oleh :
Assangga Guyansyah
Pembimbing:
Nanang W. Astarto
0
AMENORRHEA
(GAMBARAN KLINIS, DIAGNOSIS, DAN PENATALAKSANAAN)
PENDAHULUAN
Beberapa permasalahan dalam endokrinologi ginekologi merupakan hal yang
sangat menantang bagi para klinisi, seperti halnya amenorrhea. Klinisi harus tetap jeli
terhadap sejumlah penyakit dan kelainan potensial yang terlibat didalamnya, yang dapat
menyebabkan peningkatan morbiditas, atau bahkan memiliki dampak yang sifatnya
lethal terhadap pasien. Tidak jarang, para klinisi yang telah berpengalaman melewatkan
beberapa permasalahan karena terlalu sibuk praktek, dan kemudian merujuk pasien ke
spesialis dalam bidang tersebut, dalam keadaan semacam ini, tidak tersedianya tehnik
laboratorium yang canggih diambil sebagai alasan untuk merujuk pasien.1
Amenorrhea adalah tidak terjadinya haid pada seorang wanita. Secara umum
dibedakan antara amenorrhea fisiologik seperti pada keadaan prapubertas, hamil,
menyusui dan pascamenopause, serta amenorrhea patalogik seperti pada amenorrhea
primer dan amenorrhea sekunder.1
Mekanisme sederhana untuk menegakkan diagnosis banding amenorrhea dengan
segala jenis dan khronologi, amat dibutuhkan. Dengan menggunakan prosedur yang
telah ada bagi seluruh klinisi, diharapkan dapat untuk mengkonfirmasi diagnosis dan
jika diperlukan dapat berkonsultasi dengan spesialis yang sesuai (endokrinologis, ahli
bedah syaraf, internis, psikiatri) pada akhirnya pasien mendapat diagnosis yang paling
tepat dan terapi yang sesuai dengan beban biaya minimal dengan kenyamanan yang
optimal. Sebagian besar pasien dengan amenorrhea memiliki dasar permasalahan yang
relatip sederhana.1
DIFINISI
Tidak munculnya haid pada masa pubertas sering menimbulkan rasa cemas pada
seorang wanita bahkan pada kedua orang tuanya sebab menarche dianggap sebagai
suatu kejadian yang menandai telah lengkapnya masa pubertas serta merupakan
gambaran dimulainya kehidupan seorang wanita dan juga merupakan tanda awal
1
dimulainya suatu kesuburan bagi seorang wanita. Oleh karena masalah ini terkait
dengan terjadinya menarche, maka sangat penting untuk mendefinisikan kapan seorang
wanita perlu menjalani pemeriksaan akibat tidak belum mengalami menarche. Hal ini
tentu sangat terkait dengan data-data epidemiologi pada usia berapa menarche dan
pertumbuhan payudara muncul pada populasi umum.1,2
Amenorrhea adalah tidak terjadinya haid pada seorang wanita. Secara umum
dibedakan menjadi amenorrhea yang fisiologik dan patologik. Amenorrhea patologik
dibedakan menjadi amenorrhea primer dan amenorrhea sekunder. Batasan menurut
kepustakaan:
Amenorrhea primer yaitu:1
Tidak mengalami haid hingga usia 14 tahun tanpa adanya pertumbuhan dan
perkembangan tanda kelamin sekunder
Tidak mengalami menstruasi hingga usia 16 tahun meskipun terdapat
pertumbuhan dan perkembangan normal dengan adanya tanda kelamin sekunder.
I. AMENORRHEA PRIMER
Fisiologi Siklus Haid
Gambaran fungsi haid yang normal tergantung adanya genitalia yang normal
dengan lapisan endometrium yang normal pula. Aliran darah haid tergantung pada
keberadaan dan perkembangan endometrium dalam kavum uteri. Lapisan ini
distimulasi dan diregulasi oleh hormon steroid. Perdarahan haid terjadi akibat
rangsangan hormonal secara siklik terhadap endometrium. Hormon yang sangat
berperan pada status siklus haid adalah hormon pelepas LH-RH dan PIF (Prolaktin
Inhibiting Factor). Hormon-hormon ini memicu pengeluaran FSH, LH dan Prolaktin
dari hipofisis anterior. Hormon FSH dan LH memicu síntesis dan pengeluaran hormon
steroid oleh ovarium yaitu estradiol dan progesteron. Proses pematangan folikel
dikendalikan oleh hormon gonadotropin yaitu FSH dan LH yang berasal dari hipofisis
2
anterior. Pengeluaran hormon gonadotropin dipicu oleh Gonadotropin Releasing
Hormon (GnRH) yang dihasilkan oleh hipotalamus. Hormon-hormon ini bekerja pada
organ target yang memiliki reseptor-reseptor yang spesifik terhadap hormon tersebut.
Gangguan terhadap interaksi yang kompleks tadi dapat mengakibatkan terjadinya
gangguan haid. Oleh karena itu pendekatan diagnostik pada kasus amenorrhea dapat
menggunakan pendekatan kompartemen untuk mencari penyebabnya.1-3
- Kompartemen I
o Kelainan pada traktus genitalis atau organ target uterus
o Pada amenorrhea sekunder yang terbanyak adalah Sindrom Asherman
- Kompartemen II
o Kelainan Pada Ovarium
- Kompartemen III
o Kelainan pada hipofisis anterior
o Kasus yang terbanyak adalah tumor prolaktin
- Kompartemen IV
o Kelainan pada hipotalamus atau susunan syaraf pusat
o Kasus yang terbanyak anovulasi, anoreksia nervosa, supressi hipotalamus
dan hipotyroidisme
3
Untuk dapat menangani kasus amenorrhea primer tentu saja pemahaman
mengenai fisiologi organ genitalia, proses pubertas dan interaksi poros hipotalamus,
hipofisis dan ovarium akan menjadi sangat penting. Selain itu ketersediaan fasilitas juga
akan menjadi faktor yang cukup menentukan dalam penanganan kasus amenorrhea
primer.
Kategori phenotip pada tiap individu dengan amenorrhea primer menurut
Mashchak dibagi dalam:4
Group 1 : tidak tumbuh payudara, ditemukan uterus, kelainan sentral, perifer.
Group 2 : tumbuh payu dara, tidak ditemukan uterus, kelainan RKH, TFS.
Group 3 : tidak tumbuh payudara, tidak ditemukan uterus, kelainan khromosom.
Group 4 : tumbuh payudara, ditemukan uterus, kelainan kompartemen I-IV.
Penilaian Pasien
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti amat berguna dalam hal melakukan
evaluasi pada seorang pasien dengan keluhan amenorrhea primer. Riwayat kelainan
dalam keluarga perlu ditanyakan, seperti: usia menarche serta riwayat obstetri dari ibu
kandung maupun saudara perempuan, serta kerabat lainnya; riwayat perinatal; riwayat
tindakan pembedahan maupun pengobatan sebelumnya (terutama penyakit keganasan,
otoimun atau endokrinopati); penilaian tahapan dari perkembangan pubertas; serta
mencari apakah ada kelainan seperti gangguan pertumbuhan, gangguan makan, kelainan
berat badan, aktivitas olahraga serta tanda-tanda hiperandrogen.1,3,5
Dalam hal pemeriksaan fisik, lakukan penilaian: tinggi badan, berat badan, yang
kemudian dapat dikonversi menjadi indeks massa tubuh (Kg/m 2); tekanan darah;
perabaan pada kelenjar tiroid; penilaian Sexual Maturity Rating (SMR) yang telah
dibuat oleh Tanner pada pertumbuhan payudara dan rambut pubis; pemeriksaan
payudara juga meliputi kemungkinan adanya galaktorea; ditemukannya defek fasial
pada garis tengah dapat dicurigai kemungkinan adanya kelainan disfungsi hipotalamus-
hipofisis; sementara kelainan pada ginjal, vertebra maupun hernia dapat menimbulkan
4
dugaan adanya kelainan pada duktus Mulleri; apabila dibutuhkan penilaian neurologis
seperti kemampuan menghidu, gangguan lapang pandang dan pemeriksaan funduskopi
dapat dilakukan; tanda-tanda hiperandrogenisasi seperti hirsutisme, jerawat, dan
akantosis nigrikans; pemeriksaan persentase lemak tubuh dapat dilakukan dengan
menggunakan alat ukur khusus pada daerah trisep, bisep, sub-skapula dan supra-
iliaka.1,3,5
Pemeriksaan ginekologis dilakukan untuk melakukan penilaian: genitalia
eksterna untuk menilai adanya klitoromegali, pembukaan selaput himen, serta efek
estrogenisasi pada mukosa vagina yang ditandai dengan mukosa vagina yang berwarna
merah jambu dan basah, selanjutnya dapat pula dilakukan pengambilan sampel dari
mukosa vagina untuk dilakukan penilaian indeks maturasi, selanjutnya lakukan
penilaian patensi serta panjang vagina dapat dilakukan dengan menggunakan sonde
uterus atau kateter; genitalia interna, apabila dibutuhkan penilaian serviks dapat
dilakukan dengan menggunakan spekulum hidung, apabila sulit untuk melakukan
penilaian genitalia interna dengan pemeriksaan per rektal, maka dapat dilakukan
konfirmasi dengan melakukan ultra sonografi pelvik, bahkan apabila dicurigai adanya
kelainan pada traktus genitalia, maka pemeriksaan MRI atau bahkan laparoskopi dapat
dilakukan untuk menilai secara langsung.1,3,5
Penanganan
Mencari penyebab amenorrhea dapat dilakukan secara sederhana, yaitu dengan
melakukan beberapa tes atau uji.
Ada 3 langkah yang dilakukan pada penenganan amenorrhea: 1,3,5
Langkah 1 : melakukan pemeriksaan TSH, Prolaktin Progestogen test, dan
pemeriksaan sella tursica (pada amenorrhea yang disertai Galaktorea).
Langkah 2 : Bila progestogen test negatip dilakukan Uji Estrogen+Progestogen (E+P).
Langkah 3 : Pemeriksaan kadar gonadotropin, untuk menentukan komponen penting
manakah yang mengalami gangguan fungsi, gonadotropin atau aktivitas
folikuler.
Pemeriksaan Ginekologik
5
Setiap amenorrhea yang terjadi pada seorang wanita yang pertama sekali harus
dipikirkan apakah wanita tersebut hamil atau tidak. Bila tidak ditemukan kehamilan,
maka selanjutnya perlu dilakukan pemeriksaan ginekologik.
6
progestogen berbeda-beda pada setiap wanita, sehingga jangan terlalu cepat mengatakan
uji P negatif. Andaikata 10 hari setelah obat habis dan belum juga terjadi perdarahan,
maka baru dikatakan uji P negatif.
7
perdarahan. Pengobatan diberikan untuk 3 siklus berturut turut. Setelah itu dilihat
apakah siklus haid menjadi normal kembali, atau tidak. Bila masih juga belum terjadi
siklus haid normal, maka pengobatan dilanjutkan lagi sampai dicapai kembali siklus
haid yang normal. Selama belum diperoleh siklus haid yang normal berarti wanita
tersebut berada di bawah pengaruh estrogen yang pada suatu ketika kelak dapat
menyebabkan hiperplasia endometrium, bahkan dapat menyebabkan kanker
endometrium. Pemberian progestogen pada wanita ini selain bertujuan untuk
mendapatkan haid yang teratur juga sekaligus untuk mencegah timbulnya kanker
endometrium.
Bila ternyata wanita tersebut telah mendapat siklus haid yang teratur, namun
wanita tersebut belum menginginkan anak, maka kepada wanita tersebut perlu
dianjurkan penggunaan IUD atau yang paling mudah adalah pemberian pil kontrasepsi
kombinasi. Jangan memberikan kontrasepsi hormonal yang hanya mengandung
gestagen saja, karena kontrasepsi jenis ini justru akan mengakibatkan amenorrhea.
8
Amenorrhea
P test
(+) (-)
E + P test
(+) (-)
FSH, LH, prolactin N
hMG test Normo gonadrop amenorrhea
Defect endometrial (aplacia uteri,
Asherman syndrome, TBC)
E normal (-)
(+)
9
Bila ditemukan FSH dan LH tinggi dan prolaktin normal, maka penyebab
amenorrhea pada pasien ini adalah gangguan di ovarium, misalnya menopause prekoks.
Diagnosisnya adalah amenorrhea hipergonadotrop. Untuk memastikan secara pasti perlu
dilakukan biopsi pada ovaririum. Bila FSH dan LH sangat rendah berarti tidak terjadi
pematangan folikel, atau ovarium tidak memiliki folikel-folikel lagi. Untuk mengetahui
apakah ovarium benar-benar masih mengandung folikel dan masih memiliki
kemampuan untuk menumbuhkan folikel, dapat dilakukan uji stimulasi dengan hMG
(uji hMG). Human Menopause Gonadotropin mengandung hormon FSH dan LH. Pada
ovarium yang normal. pemberian hMG akan memicu pertumbuhan folikel dan
memproduksi estrogen. Estrogen tersebut dapat diperiksa melalui urin atau darah. Andai
kata didapatkan kadar estrogen yang normal, maka uji hMG dikatakan positif. Perlu
diketahui bahwa dikemudian hari tidak diproduksi lagi hormon gonadotropin yang
mengandung FSH dan LH, melainkan hanya yang mengandung FSH saja.
Hasil uji hMG positif berarti amenorrhea yang terjadi disebabkan karena
rendahnya produksi FSH dan LH di hipofisis, atau rendahnya FSH dan LH bisa
disebabkan oleh rendahnya produksi hormon pelepas GnRH di hipotalamus.
Hasil uji hMG negatif menunjukkan bahwa ovarium tidak memiliki folikel atau
masih memiliki folikel, tetapi tidak sensitif terhadap gonadotropin seperti pada kasus
sindrom ovarium resisten.
Untuk mengetahui, apakah gangguan terdapat di hipotalamus atau di hipofisis,
maka perlu dilakukan uji stimulasi dengan klomifen sitrat dan uji dengan GnRH.
Klomifen sitrat diberikan 100 mg/hari selama 5-10 hari. Uji klomifen sitrat dikatakan
positif, bila selama penggunaan klomifen sitrat dijumpai peningkatan FSH dan LH
serum 2 kali lipat, dan 7 hari setelah penggunaan klomifen sitrat ditemukan peningkatan
serum estradiol paling sedikit 200 pg/mL. Darah untuk pemeriksaan FSH, LH dan E2
diambil pada hari ke-7. Peningkatan FSH dan LH yang terjadi menunjukkan hipofisis
normal, artinya masih tersedia FSH dan LH yang cukup. Bila uji klomifen sitrat negatif
berarti terjadi gangguan di hipotalamus, di mana kemungkinan di hipotalamus tidak
tersedia cukup GnRH, maka tindakan selanjutnya adalah melakukan uji dengan GnRH.
GnRH diberikan dengan dosis 25-100 mg intravena. Tiga puluh menit setelah
pemberian GnRH, dilakukan pengukuran kadar FSH dan LH serum. Uji GnRH
dikatakan positif, bila dijumpai kadar FSH dan LH yang normal, ataupun tinggi. Di sini
10
dapat disimpulkan bahwa gangguan yang terjadi adalah di hipotalamus, sedangkan bila
tidak dijumpai peningkatan FSH dan LH, maka gangguan yang terjadi adalah di
hipofisis.
Bila ditemukan FSH dan LH normal, namun kadar prolaktin tinggi, maka pasien
ini perlu ditangani sesuai dengan penatalaksanaan pasien dengan hiperprolaktinemia.
Pada pasien dengan uji P negatif dan uji E+P positif yang belum menginginkan anak,
cukup diberikan estrogen-progestogen siklik, meskipun cara ini tidak mengobati
penyebab dari amenorrhea tersebut. Bila diduga kelainan terdapat di hipofisis, maka
untuk pematangan folikel diberikan hMG atau FSH, dan untuk induksi ovulasi
diberikan hCG, sedangkan bila diduga kelainan tersebut di hipotalamus, maka diberikan
GnRH secara pulsatif.
Penanganan Amenorrhea pada Wanita dengan Uji P dan Uji E+P Negatif1,3
Dilakukan pemeriksaan FSH. LH, dan prolaktin serum, dan bila hasilnya semua
normal, maka diagnosis pada pasien ini adalah normogonadotrop amenorrhea.
Amenorrhea yang terjadi disebabkan oleh adanya defek di endometrium (aplasia uterus,
sindrom Asherman, tuberkulosis).
11
Kelainan-Kelainan yang dapat Menyebabkan Amenorrhea Primer
a. Kelainan sentral:1,3,7,8
Istilah ini merujuk pada kelainan yang terjadi pada hipotalamus-hipofisis yang
dapat mengakibatkan gangguan pelepasan GnRH atau hormon gonadotropin. Tidak
adanya hormon gonadotropin menyebabkan gonad tidak dapat berfungsi untuk
menghasilkan hormon steroid yang dibutuhkan untuk perkembangan seks sekunder.
Terdapat beberapa kelainan sentral di antaranya adalah:
Gangguan pelepasan GnRH
- Pubertas terlambat yang fisiologis
Dimulainya proses pubertas pada seorang wanita sangat ditentukan oleh materi
genetikanya. Oleh karena itu riwayat keluarga terutama pada ibunya maupun
saudara perempuannya yang apabila mengalami hal yang sama dengan penderita,
maka amat mungkin bahwa sebenarnya ini hanya keterlambatan yang bersifat
fisiologis. Pasien seperti ini umumnya menunjukkan kadar FSH yang rendah atau
normal dan payudaranya belum tumbuh. Mengingat kadar FSH yang bersifat
fluktuatif (dengan ritme antara 10-20 menit), maka ada baiknya tidak dilakukan
hanya satu kali pengambilan. Akan lebih tepat apabila dilakukan paling tidak tiga
kali pengambilan.
12
- Gangguan nutrisi
Proses pubertas juga amat ditentukan dari status nutrisi seorang wanita, dan
diketahui bahwa pubertas akan dimulai setelah dilewatinya ambang batas berat
badan tertentu. Gangguan nutrisi dapat diakibatkan oleh karena gangguan intake,
atau gangguan absorbsi. Sementara itu latihan olahraga yang berlebihan juga
dapat mengakibatkan amenore primer akibat terjadinya perubahan rasio antara
lemak dan otot.
- Defisiensi GnRH
GnRH akan dilepaskan oleh neuron-neuron tertentu pada hipotalamus yang
nantinya akan dilepaskan ke hipofisis. Gangguan pembentukan neuron-neuron
tersebut dapat mengakibatkan terjadinya defisiensi GnRH, seperti halnya pada
Sindroma Kallman. Selain terjadi gangguan haid pada penderita tersebut juga
didapatkan gangguan penghidu yang bisa bersifat anosmia atau hiposmia akibat
gangguan pada N. Olfaktorius.
- Gangguan hipofisis
Pada hipofisis anterior diketahui memiliki banyak sel-sel khusus yang akan
melepaskan hormon pemicu kepada masing-masing organ endokrin yang
spesifik, seperti tiroid, pankreas dan adrenal. Apabila terdapat kelainan pada sel-
sel gonadotrop saja, maka fungsi sel-sel yang lain akan tetap normal (isolated).
Namun kadang terdapat pula kelainan pada hipofisis yang dapat juga merusak
tidak hanya sel-sel gonadotrop namun juga sel-sel lainnya. Kelainan-kelainan
yang dapat timbul pada hipofisis dapat diakibatkan oleh karena tumor,
granuloma maupun infark. Meski jarang tumor hipofisis perlu dipikirkan apabila
didapatkan tanda-tanda defisiensi gonadotropin.
b. Kegagalan ovarium1,3,7,8
1. Kegagalan diferensiasi ovarium
- Turner Syndrome
Adalah merupakan defek ovarium yang sering ditemukan dan ditandai dengan
kariotip 45,XO. Umumnya disertai pula dengan kelainan-kelainan bawaan
lainnya seperti gangguan pertumbuhan, gangguan pertumbuhan bahkan kelainan
13
jantung. Penderita ini akan menunjukkan kadar FSH yang tinggi serta gambaran
Barr Body yang negatif.
- Disgenesis gonad mosaik
Hal ini menunjukkan bahwa di dalam tubuh seseorang terdapat 2 jenis galur sel.
Misalkan yang juga merupakan variasi dari Sindrom Turner adalah
45,XO/46,XY. Oleh karena itu gejala Sindrom Turner pada pasien ini biasanya
bersifat parsial.
- Disgenesis gonad murni
Pasien-pasien ini memiliki kariotip yang normal baik 46,XX atau 46,XY. Namun
pasien pasien tersebut menunjukkan tanda-tanda kegagalan ovarium yang
ditandai dengan tingginya kadar FSH, serta tidak terdapat perkembangan seks
sekunder.
- Disgenesis gonad campuran
Pasien ini memiliki kariotip mosaik 45,XO/46,XY. Namun gonad pasien ini
selain memiliki streak gonad juga akan memiliki testis. Oleh karena testisnya
tidak berfungsi maksimal, maka pasien-pasien ini akan memperlihatkan tanda-
tanda ambiguitas genitalia eksterna yang dapat dikenali pada masa neonatus,
pubertas dini atau lanjut saat pasien mengeluh tidak pernah haid dan
payudaranya tidak berkembang.
2. Gangguan biosintesis estrogen
- Defek enzim 17-hidroksilase (CYP17)
Defek enzim ini pada ovarium maupun adrenal akan mengakibatkan turunnya
produksi estrogen maupun kortisol. Sehingga pasien ini akan menunjukkan
gejala-gejala hipoestrogen maupun hipertensi akibat meningkatnya aktivitas
adrenal.
- Defek enzim 17 hidroksisteroid dehidrogenase (17 -HSD)
Defek enzim tersebut mengakibatkan kegagalan mengubah androstenedlone
menjadi testosterone, dan estrone menjadi estradiol. Kasus ini biasanya
menimpa seseorang yang memiliki genotip pria (46,XY), namun memiliki
fenotip wanita namun tidak memiliki uterus, amenorrhea dan hirsutisme.
14
Defisiensi dari enzim kolesterol desmolase biasanya bersifat letal pada awal
masa infansi, kecuali dapat dilakukan diagnosis dan pengobatan dini
Diagnosis Banding
Sindrom feminisasi testikuler (androgen insensitivity)
Pengobatan
Pengobatan yang lazim dilakukan adalah dengan melakukan vaginoplasti pada
saat akan menikah. Perlu dijelaskan kepada wanita tersebut bahwa kelainan ini
mengakibatkan pasien tidak dapat mendapatkan anak.
15
sehingga testosteron tidak dapat diaktifkan menjadi dihidrotestosteron. Padahal jenis
testosteron yang hanya dapat bekerja pada organ sasaran adalah dihidrotestosteron ini.
Kelenjar kelamin adalah testis yang relatif normal dengan sel- sel Sertoli dan sel-sel
Leydig, tetapi tanpa spermatogenesis (azoospermia). Testis juga memiliki kemampuan
memproduksi estrogen, sehingga wanita dengan kelainan ini seperti kelihatan normal,
bahkan tampak lebih cantik dan cocok untuk menjadi pramugari atau peragawati.
16
androgen, pregnandiol dan pregnantiol.
Pengobatan
Pengobatan harus dimulai sedini mungkin. Diberikan kortikosteroid jangka
panjang, yang bertujuan untuk menghambat pengeluaran ACTH, sehingga terjadi
penekanan sintesis androgen di suprarenal. Oleh karena penyebabnya adalah kerusakan
pada sistem enzim yang tidak mungkin diperbaiki, maka kortikosteroid harus diberikan
terus-menerus untuk menjamin pertumbuhan dan perkembangan yang normal. Bila
produksi gonadotropin telah normal, bisa saja wanita ini mendapat siklus haid normal,
bahkan dapat menjadi hamil (terutama tipe 3).
Andaikata pengobatan tidak berhasil, harus dipikirkan adanya tumor di
suprarenal dan di ovarium yang menghasilkan androgen.
17
khususnya pada pasien-pasien amenorrhea primer dengan kadar estrogen endogen yang
rendah. Pada kasus-kasus di mana terdapat kadar estrogen yang rendah (payudara tidak
tumbuh) akibat kegagalan ovarium atau disgenesis gonad, maka pasien amenorrhea
primer perlu diberikan substitusi hormon estrogen. Tujuan pemberian estrogen pada
kasus ini ditujukan untuk: (a). Memicu pertumbuhan seks sekunder terutama payudara,
(b). Mempertahankan siklus haid dan mineralisasi tulang sehingga akan mencegah
terjadinya ostoporosis, (c). Mempertahankan keadaan estrogen normal dalam jangka
waktu yang lama.1,3,4
Dosis estrogen dapat dimulai dari dosis rendah 0,3 mg estrogen konyugasi, yang
dapat diberikan selama 6-12 bulan. Pil KB tidak direkomendasikan sebagai obat untuk
menumbuhkan payudara karena mengandung komponen progestin. Dosis estrogen
selanjutnya dapat ditingkatkan sesuai dengan keinginan pasien untuk menumbuhkan
payudara, serta kondisi dari tinggi badannya. Estrogen akan memicu penutupan
lempeng epifisis. Oleh karena itu bagi pasien yang sudah mencapai tinggi badan ideal
serta menginginkan pertumbuhan payudara yang lebih cepat maka dosis dapat dinaikkan
menjadi 0,625 mg dalam waktu 3-6 bulan. Saat ini pemberian progestin dianjurkan
untuk diberikan setelah pasien menerima estrogen konyugasi 0,625 mg selama 2-3
bulan untuk mencegah terjadinya perdarahan disfungsional. Sediaan progestin berupa 5-
10 mg Medroksi Progesteron Asetat (MPA) dapat diberikan paling tidak liar setiap
siklusnya (pada awal bulan) untuk mendampingi pemberian estrogen secara kontinyu.
Pemberian hormon kombinasi tersebut dapat dilanjutkan hingga tercapai pertumbuhan
payudara atau paling tidak hingga 6 bulan, dan selanjutnya lama pemberian progestin
dapat ditingkatkan hingga 10 hari per siklus untuk melindungi endometrium.
Selanjutnya untuk substansi jangka panjang dapat diberikan preparat kombinasi
estrogen setiap hari dan progestin paling tidak 12 hari per siklus atau dapat pula
menggunakan pil KB kombinasi. 1,3,8,9
Yang tidak boleh dilupakan pula pada wanita yang mengalami kekurangan
estrogen adalah mengkonsumsi kalsium 1300 mg melalui makanan atau melalui
suplemen serta mengkonsumsi 400 IU vitamin D per hari.
Sementara itu gonad yang memiliki unsur kromosom Y seperti pada kasus AIS
atau Sindroma Turner yang mosaik, selayaknya dapat diangkat untuk menghindari
terjadinya diferensiasi ke arah ganas. Selanjutnya pasien dapat diberikan substitusi
18
hormon. Amenore sentral dapat diakibatkan oleh karena kelainan pada hipotalamus atau
hipofisis. Namun di manapun lokasi kelainannya akibat yang ditimbulkan adalah sama,
yaitu ovarium tidak dapat berfungsi karena tidak ada sinyal yang dikeluarkan oleh
hipotalamus ataupun hipofisis. Bila hal ini terjadi pra-pubertas, maka dapat memberikan
gejala seperti orang yang kekurangan estrogen. Oleh karena itu maka pasien ini juga
layak untuk mendapatkan substitusi estrogen. Namun berbeda dengan pasien yang
memiliki kelainan pada tingkat gonad, maka pasien-pasien dengan kelainan hipotalamus
dapat dipicu ovulasinya dengan cara memberikan GnRH secara pulsatil dengan
menggunakan suatu alat khusus atau dengan cara memberikan hormon gonadotropin.
Pada kasus-kasus dengan hiperprolaktinemia maka perlu disingkirkan kemungkinan
adanya tumor ataupun kelainan kelenjar tiroid. Obat yang cukup efektif untuk
menurunkan kadar prolaktin adalah dengan menggunakan Bromokriptin atau
Kabergolin. Sementara itu kasus kasus dengan gejala hiperandrogen perlu ditelusuri dari
mana asalnya dengan melakukan pemeriksaan hormon-hormon androgen baik yang
berasal dari ovarium mapun kelenjar adrenal. Adanya defek anatomi seperti agenesis
duktus Muller dapat diikuti pula oleh kelainan-kelainan bawaan lainnya pada sistem
straktus urinarius. Namun ada pula kelainan-kelainan anatomi lain yang dapat disertai
dengan nyeri siklik akibat adanya sumbatan pada jalan keluar darah haid seperti himen
imperforata, septum vagina maupun tidak terbentuknya serviks atau vagina yang
terisolasi. Beberapa kelainan tersebut dapat dikoreksi dengan cara pembedahan.
Terdapat tiga gambaran penting pada kasus amenorrhea primer yang dapat
menentukan langkah langkah diagnostik selanjutnya dan dampaknya pada prognosis,
yaitu:1,3,8,9
1. Mayoritas kasus amenorrhea primer disebabkan karena kelainan organik yang akan
mempengaruhi kesuburan atau kesehatan pasien pada umumnya.
2. Banyak kumpulan gejala (sindrom) dari amenorrhea primer yang tidak termasuk
pada sindrom amenorrhea sekunder.
3. Terdapat 3 gambaran klinis, yaitu : (a). Payudara tidak tumbuh, (b). Tidak terabanya
uterus, (c). Gagal tumbuh.
Pemeriksaan untuk menentukan adanya uterus dan vagina penting dilakukan
sesuai clinical recomendation, evidence based dengan evidence rating C, seperti
dibawah ini:13
19
Pada awalnya pasien amenorrhea primer perlu ditentukan apakah memiliki
kariotip yang normal. Untuk itu perlu dilakukan pemeriksaan kariotipe terutama yang
pada kromosom seks. Perlu ditentukan apakah kromosom seksnya normal (XX) atau
abnormal dapat berupa kromosom seks pria (XY), monosomi (XO) atau mosaik.
Penentuan jenis kromosom seks ini penting untuk melihat apakah terdapat keselarasan
antara genotip dengan fenotip, sehingga kelainan seperti Androgen Insensitivity
Syndrome dapat diketahui dari awal. Kelainan kromosom seks seperti mosaik juga
dapat memberikan informasi bahwa telah terjadi suatu disgenesis gonad yang
mengakibatkan terjadinya defek pada produksi hormon dari ovarium. Apabila pasien
tersebut memiliki kromosom XX, maka perlu dipastikan bagaimana fungsi dari
gonadnya. Untuk memastikan bahwa pasien tersebut memiliki fungsi gonad yang
normal, maka penilaian pertumbuhan payudara cukup berguna. Berdasarkan
pertumbuhan payudaranya, maka pasien amenorrhea primer dapat dibagi menjadi dua,
yaitu:1,3,8,9
a. Pasien amenorrhea primer dengan payudara yang tidak tumbuh, dan (b). Pasien
amenorrhea primer dengan payudara yang tumbuh spontan. Pertumbuhan payudara
menunjukkan ada tidaknya estrogen endogen. Selanjutnya untuk menentukan
apakah penyebab kegagalan estrogen endogen tersebut disebabkan oleh karena
kelainan pada ovarium atau tidak, maka dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan
kadar Follicle Stimulating Hormone (FSH). Kadar FSH yang tinggi lebih dari 20
IU/L menunjukkan telah terjadinya suatu keadaan hipergonadotropik, yang berarti
bahwa fungsi ovarium sudah tidak ada. Sebaliknya apabila didapatkan kadar FSH
yang rendah, yaitu kurang dari 5 IU/L, maka penyebabnya dapat berasal dari
kelainan pada hipotalamus maupun hipofisis. Selanjutnya pada pasien dengan
pertumbuhan payudara yang spontan dapat dibagi menjadi (a). Pasien-pasien yang
uterusnya tidak teraba
20
b. Pasien-pasien dengan uterus yang normal atau uterus yang mengecil (hipoplasia)
Pasien-pasien yang uterusnya tidak teraba dapat disebabkan karena kelainan pada
perkembangan organ genitalia interna seperti pada kasus Sindrom Agenesis Duktus
Muller. Selain itu pada kasus-kasus dengan agenesis duktus Mulleri dengan
kromosom seks XY disebabkan oleh karena Androgen Insensitivity Syndrome yang
komplit. Sementara pasien-pasien yang uterusnya normal atau hipoplasia dapat
diakibatkan karena kelainan pada hipofisis seperti meningkatnya kadar prolaktin.
Apabila didapatkan tanda-tanda hirsutisme seperti tumbulnya jerawat atau
tumbuhnya rambut-rambut halus maka dapat diakibatkan oleh kelainan
hiperandrogen seperti Sindrom Ovarium Polikistik (SOPK) atau Hiperplasia
Adrenal Kongenital awitan lambat.
21
Amenorrhea akibat Kelainan di Hipotalamus dan Hipofisis (Amenorrhea Sentral)
Penyebab amenorrhea karena gangguan di hipotalamus bisa berupa tumor di
hipotalamus, infeksi, atau kelainan bawaan berupa sindrom olfatogenital. Penyebab
fungsional yang paling sering ditemukan berupa gangguan psikis. Terjadi gangguan
pengeluaran GnRH, sehingga pengeluaran hormon gonadotropin berkurang. Gangguan
fungsional seperti ini paling banyak dijumpai pada pengungsi, wanita dalam penjara,
atau wanita yang sering stres, atau hidup dalam ketakutan maupun gelisah. Wanita yang
mengalami gangguan pola makan seperti diet yang salah yaitu anoreksia nervosa dan
bulimia dapat menyebabkan gangguan psikis, dan neurotis, sehingga dapat terjadi
kerusakan organ (atrofi). Bila kerusakan tersebut mengenai hipotalamus, maka dengan
sendirinya hipotalamus tidak dapat lagi memproduksi GnRH. Pengeluaran FSH dan LH
dari hipofisis pun berhenti. Akibatnya pematangan folikel dan ovulasi di ovarium tidak
terjadi.1,2,9,10
Obat-obat psikofarmaka tertentu seperti fenotiazin dapat meningkatkan kadar
prolaktin dan prolaktin yang tinggi ini menekan produksi GnRH di hipotalamus. Oleh
karena itu, pada pasien-pasien dengan gangguan psikis, pemberian obat-obat
psikofarmaka akan memperberat penyakitnya. Bila hendak juga memberikan obat-obat
psikofarmaka, maka pilihlah obat-obat yang tidak menyebabkan peningkatan
prolaktin.1,2,9,10
Penyebab amenorrhea karena gangguan di hipofisis terbanyak adalah gangguan
organik seperti sindrom. Sheehan, dan penyakit Simmond. Sindrom Sheehan terjadi
akibat adanya tronibosis vena hipofisis, sehingga timbul iskemik atau nekrosis
adenohipofisis. Kelainan ini sering dijumpai postpartum dengan perdarahan banyak.
Perlu diketahui, bahwa adenohipofisis sangat sensitif dalam kehamilan. Gejala baru
muncul, bila 3/4 dari adenohipofisis mengalami kerusakan, dan bila hal ini terjadi, maka
semua hormon yang dihasilkan oleh adenohipofisis akan mengalami gangguan.
Penyakit Simmond terjadi akibat adanya sumbatan vena hipofisis yang disebabkan oleh
sepsis atau emboli.1,2,9,10
Amenorrhea Galaktorea
Hampir pada 20% wanita dengan amenorrhea sekunder dijumpai hiperprolaktinemia,
dan hiperprolaktinemia ini pada hampir 90% wanita menyebabkan galaktorea.1,2,9,10
22
Prolaktin merupakan hormon jenis polipeptida yang terdiri atas 200 asam amino
dengan berat molekul antara 19.000-22.000 dalton. Prolaktin diproduksi oleh sel-sel
laktotrof yang terletak di bagian distal lobus anterior hipofisis. Pengeluaran prolaktin
dihambat oleh prolactin inhibiting .factor (PIF) yang identik dengan dopamin. Bila PIF
ini tidak berfungsi, atau produksinya ditekan, maka akan terjadi hiperprolaktinemia.
Hal-hal yang dapat menyebabkan tidak berfungsinya PIF adalah: 1,2,9,10
- Adanya gangguan di hipotalamus
- Obat-obat, seperti psikofarmaka, estrogen, domperidon, simetidin
- Kerusakan pada sistem vena portal di hipofisis
- Tumor hipofisis yang menghasilkan prolaktin (prolaktinoma), hipertiroid, dan
akromegali.
Hiperprolaktinemia mengakibatkan reaksi umpan balik terhadap hipotalamus,
sehingga terbentuk dopamin dalam jumlah besar. Dopamin ini akan menghambat
pengeluaran GnRH dan dengan sendirinya pula terjadi penurunan sekresi FSH dan LH.
Selain itu hiperprolaktinemia menyebabkan sensitivitas ovarium terhadap FSH dan LH
berkurang, memicu produksi air susu, memicu sintesis androgen di suprarenal.
Hiperprolaktinemia dan hiperandrogenemia dapat menyebabkan osteoporosis.
Gejala Hiperprolaktinemia
Pada umumnya terjadi gangguan haid, mulai dari oligomenorea sampai
amenorrhea. Gangguan haid yang terjadi sangat tergantung dari kadar prolaktin serum.
Kadar prolaktin di atas 100 ng/ml selalu menyebabkan amenorrhea. Hiperprolaktinemia
mengakibatkan timbulnya gangguan pada pertumbuhan folikel. sehingga ovulasi tidak
terjadi. Produksi estrogen berkurang. Kadang-kadang pasien mengeluh sakit kepala
yang disertai dengan amenorrhea, serta gangguan penglihatan. Bila hal ini ditemukan,
maka harus dipikirkan adanya prolaktinoma. 1,2,9-11
Diagnosis
Dijumpai kadar prolaktin yang tinggi di dalam darah (normal 5-25 ng/mL).
Untuk pemeriksaan prolaktin, darah sebaiknya diambil antara jam 8-10 pagi. Setiap
kadar prolaktin di atas 50 ng/ml harus selalu dipikirkan adanya prolaktinoma, dan untuk
mengetahuinya perlu dilakukan pemeriksaan dengan CT scan atau MRI. Dengan cara
23
ini dapat diketahui tumor dengan diameter yang kecil sekalipun (mikroadenoma),
sedangkan pemeriksaan dengan Rontgen sela tursika hanya dapat mendeteksi tumor
yang sudah terlanjur besar. 1,2,9-11
Kadang-kadang hasil pemeriksaan CT scan atau MRI meragukan ada tidaknya
prolaktinoma. Untuk mengetahui apakah hiperprolaktinemia tersebut benar disebabkan
oleh prolaktinoma, atau mungkin juga disebabkan oleh faktor yang lain, maka perlu
dilakukan uji provokasi, seperti uji dengan Tyroid Stimulating Horinon (TSH), atau uji
dengan simetidin, ataupun uji dengan domperidon.1,2,9-11
Pengobatan
Obat yang paling banyak digunakan untuk menurunkan kadar prolaktin adalah
bromokriptin. Dosis yang diberikan sangat tergantung dari kadar yang ditemukan saat
itu. Pada kadar prolaktin 25-40 ng/mL, dosis bromokriptin cukup 1 x 2,5 mg/hari,
sedangkan kadar prolaktin serum > 50 ng/mL diperlukan dosis 2 x 2,5 mg/hari. Efek
samping yang tersering adalah mual, pusing serta hipotensi. sehingga bromokriptin
sebaiknya jangan diberikan dalam keadaan perut kosong. Efektivitas dosis yang telah
diberikan, sangat tergantung dari kadar prolaktin dalam serum. Setiap selesai satu bulan
pengobatan, kadar prolaktin harus diperikaa. Jangan sampai kadar prolaktin berada di
bawah nilai normal < 2 ng/dL). Kadar prolaktin yang rendah dapat mengganggu fungsi
korpus luteum dan diameter folikel menjadi kecil. Bromokriptin tidak boleh diberikan
pada wanita hamil karena diduga memiliki efek teratogenik.1,2,9-11
Pada pasien dengan prolaktinoma perlu kiranya diputuskan, apakah tumor tersebut
diangkat atau diobati dulu dengan pemberian bromokriptin. Bila ditemukan
prolaktinoma tanpa menimbulkan keluhan seperti gangguan penglihatan, nyeri kepala
hebat, maka dapat diberikan pengobatan dengan bromokriptin. Pengobatan
prolaktinoma dengan bromokriptin memerlukan pemberian jangka panjang. Telah
dicoba pemberian kombinasi analog GnRH dengan bromokriptin pada pasien dengan
mikro/makroadenoma, didapatkan pengecilan massa tumor yang bermakna. Pada
prolaktinoma yang besar dan telah sampai menimbulkan keluhan (gangguan
penglihatan), maka tindakan operasi merupakan satu-satunya pilihan. Yang menjadi
masalah adalah menghadapi pasien-pasien dengan prolaktinoma yang belum memiliki
anak. Kadar estrogen yang tinggi di dalam kehamilan akan memicu prolaktinoma yang
24
sudah ada dan tumor tersebut akan bertambah besar lagi. Sebaiknya wanita dengan
prolaktinoma jangan sampai hamil dulu. karena sebelum merencanakan kehamilan perlu
dipertimbangkan untuk pengangkatan prolaktinoma. Pasien-pasien dengan prolaktinoma
jangan diberikan kontrasepsi hormonal yang mengandung estrogen. Estrogen hanya
memicu pertumbuhan prolaktinoma, tidak berperan terhadap patogenesis terbentuknya
prolaktinoma. 1,2,9-11
Tidak semua wanita dengan hiperprolaktinemia ditemukan galaktorea. Pemberian
bromokriptin pada pasien dengan galaktorea tanpa hiperprolaktinemia tidak
memberikan efek apapun.
25
Tabel 2. Tumor ovarium yang menghasilkan androgen, atau estrogen
Jenis tumor Jenis Usia Keganasan Bilateral
hormon maksimum
Arhenoblastoma androgen 20- 40 100% jarang
Granulosa sel tumor androgen 30-70 100% 10-15
Lipoid sel tumor androgen 25-35 jarang jarang
Tumor sel hilus androgen 40 jarang jarang
Tumor sisa sel adrenal androgen 11-40 jarang jarang
Disgerminoma androgen 3-40 100% ± 15
Gonadoblastoma androgen 10-30 100% 35-40%
Granulosa sel tumor estrogen 25%. - -
13
26
1. Sindrom Asherman
Amenorrhea sekunder akan terjadi akibat adanya destruksi endometrium. Kondisi
ini sering dikarenakan tindakan kuretase yang terlalu dalam sehingga menyebabkan
terjadinya pembentukan jaringan sikatrikintrauterin. Gambaran yang khas adalah
sinekia yang multipel pada histerogram. Penegakan diagnosis dengan menggunakan
histeroskopi jauh lebih akurat, karena dapat mendeteksi adanya lesi minimal yang tidak
tampak dengan histerogram. Adhesi yang terjadi dapat menyebabkan sumbatan kavum
uteri, ostium uteri internum, kanalis servikalis, ataupun gabungan semuanya baik
sebagian atau seluruhnya. Meskipun terjadi stenosis ataupun atresia ostium uteri
internum, namun dapat terjadi hematometra (terkumpulnya darah haid di uterus).
Lapisan endometrium menjadi refrakter, hal ini mungkin terjadi sebagai respon terhadap
peningkatan tekanan. Penanganannya cukup dilakukan dilatasi servik.1,3
Sindrom Asherman juga dapat terjadi akibat tindakan operasi uterus seperti:
seksio sesaria, miomektomi ataupun metroplasty. Adhesi yang sangat berat dijumpai
setelah kuretase pospartum dan hipogonadisme postpartum misalnya pada sindrom
Sheehan. 1,3
Gangguan pada endometrium yang mengakibatkan terjadinya amenorrhea dapat
pula disebabkan oleh tuberkulosis. Penegakan diagnosis dilakukan dengan kultur
discharge ataupun jaringan yang diambil dengan biopsi endometrium. Schistosomiasis
uterus merupakan penyebab jarang lainnya yang menyebabkan terjadinya kegagalan
end-organ. Telur parasit inidapat dijumpai di urine, feses, swab rektal, darah menstruasi,
ataupun endometrium.1,3
Pasien dengan sindrom ini dapat disertai dengan permasalahan lain meliputi
abortus, dismenorea, ataupun hipomenorea. Infertilitas dapat terjadi dengan adanya
adhesi minimal, hal ini belum dapat dijelaskan. Pasien dengan riwayat abortus berulang,
dan infertilitas sebaiknya menjalani pemeriksaan kavum endometrial dengan
menggunakan histeroskopi.1,3
Penanganan sindrom Asherman pada masa lalu cukup dilakukan dilatasi dan
kuretase untuk melepaskan perlengketan. Tindakan histeroskopi dengan lisis adhesi
secara langsung dilakukan pemotongan, kauterisasi, ataupun laser memberikan hasil
yang jauh lebih bagus dibandingkan dilatasi dan kuretase yang dilakukan secara buta.
Setelah operasi digunakan cara untuk mencegah terjadinya perlengketan kembali. Pada
27
mulanya menggunakan IUD untuk tujuan ini, namun pemakaian kateter Foley pediatrik
merupakan pilihan lebih baik. Bola kateter diisi dengan 3 ml cairan dan kateter diambil
setelah 7 hari. Pemberian antibiotika spektrum luas diberikan untuk selama 10 hari.
Dilanjutkan dengan pemberian estrogen dosis tinggi (estrogen konjugasi 2,5 mg perhari
selama 4 minggu dengan MPA 10 mg pada minggu ke-3). Jika usaha awal gagal
mengembalikan menstruasi maka dapat diulang.
28
Penyebab yang pasti dari kelainan ini belum seluruhnya terungkap. Kini yang
banyak diperbincangkan adalah adanya gangguan pembentukan reseptor-reseptor
gonadotropin di ovarium akibat proses autoimun. Angka kejadian sindrom ovarium
resisten di RSCM selama 5 tahun ternyata tidak seberapa besar, yaitu 0,05% di antara
kasus ginekologik, 20% di antara kasus endokrinologi reproduksi, dan 0,22% di antara
kasus infertilitas.9
Dugaan ke arah diagnosis dari sindrom ovarium resisten gonadotropin
ditegakkan baik secara klinis maupun secara laboratoris dan histopatologis. Secara
klinis kelainan ini ditandai dengan sindrom yang terdiri dari gangguan haid berupa
oligomenorea sampai amenorrhea, sedangkan secara laboratoris dijumpai
hipergonadotropin dan hipoestrogen. Secara histologis pada kelainan ini masih dijumpai
struktur jaringan ovarium yang normal dengan folikel primordial yang masih utuh.
Karena penyebab yang pasti dari penyakit ini belum diketahui, maka pengobatannya
lebih bersifat simptomatis. Banyak peneliti menganjurkan pemberian substitusi siklik
estrogen dan progesteron. Pemberian gonadotropin juga telah banyak dicoba, tetapi
hasilnya masih belum memuaskan. Kasus dengan kadar gonadotropin yang tinggi
(FSH> 40 mUI/mL) sebaiknya tidak diberikan pemicu ovulasi. Pada penelitian telah
dilaporkan, pemberian pemicu ovulasi dan deksametason didapatkan 2 pasien menjadi
hamil. Di sini tampak bahwa kehamilan yang terjadi sangat mungkin disebabkan oleh
kemampuan deksametason menekan proses autoimun terhadap gonadotropin.9
29
fungsi ovarium. Tidak ada manfaatnya pemberian obat-obat pemicu ovulasi pada
keadaan gula darah belum normal.
30
mengaromatisasi androgen menjadi estrogen adalah sel-sel granulosa dan jaringan
lemak. Makin banyak jaringan lemak, makin banyak pula estrogen yang terbentuk.1,3
Androgen adalah prekursor untuk pembentukan estrogen. Di sini jelaslah, bahwa
kekurangan/kelebihan jaringan lemak akan mempermudah terjadinya gangguan
metabolisme hormon seks.
Wanita yang terlalu gemuk tidak hanya kelebihan androgen tetapi juga kelebihan
estrogen terutama estron.
31
Gambar 6. Mekanisme gangguan fungsi ovarium pada wanita gemuk (adipositas)
Dikutip dari DeCherney6
32
Amenorrhea Pasca Penggunaan Kontrasepsi Hormonal
Pada prinsipnya perlu dibedakan antara amenorrhea yang terjadi pasca penggunaan
pil kontrasepsi (pil KB), dan amenorrhea pasca penggunaan kontrasepsi suntikan/susuk
(depo medroksiprogesteron asetat, noristerat, norplant).1,3,5
Amenorrhea pasca suntik maupun susuk terjadi bukan karena adanya hambatan
gestagen (progesteron/progestin) terhadap sistem umpan balik di hipotalamus melainkan
terjadi karena masih dijumpai kadar gestagen di dalam serum. Kadar gestagen yang
masih tetap tinggi tersebut berasal dari depo lemak yang relatif sulit diresorbsi.
Meskipun suntikan telah dihentikan, namun depo gestagen tersebut masih terus saja
mengeluarkan gestagen. Selama susuk masih berada pada tempatnya, maka susuk
tersebut terus saja mengeluarkan gestagen ke dalam darah. Bila suatu saat nanti
persediaan gestagen di dalam depo habis semuanya, maka kadarnya dalam serum akan
segera menghilang dan siklus haid pun menjadi normal kembali. Diperlukan waktu 6
bulan sampai satu tahun agar gestagen hilang dari deponya. Tindakan pengobatan baru
dilakukan bila setelah 6 bulan pascasuntik tidak timbul haid. Selama gestagen di dalam
depo masih tersedia, tidak ada manfaatnya memberikan pengobatan. Berbeda dengan
susuk, dimana begitu susuk tersebut diangkat, wanita akan segera mendapatkan haid
kembali.1,3,5
Amenorrhea pasca penggunaan pil kontrasepsi terjadi akibat adanya efek
penekanan estrogen dan gestagen terhadap hipotalamus-hipofisis. Sebenarnya angka
kejadian amenorrhea pasca penggunaan pil kontrasepsi sangat kecil, yaitu sekitar 0,8%
saja, sedangkan kejadian amenorrhea pada wanita yang tidak menggunakan pil hanya
sebesar 0,7% saja, sehingga muncul pertanyaan apakah amenorrhea jenis ini benar-
benar ada, atau sebelum penggunaan pil kontrasepsi wanita tersebut memang telah
mengalami gangguan haid, dimana pemberian pil kontrasepsi hanya merupakan faktor
pencetus terjadi amenorrhea. Amenorrhea pasca penggunaan pil kontrasepsi yang terjadi
tersebut tidak berhubungan dengan lamanya penggunaan, melainkan berhubungan erat
dengan dosis dan jenis pil kontrasepsi yang digunakan. 1,3,5
Setiap amenorrhea yang terjadi pasca penggunaan kontrasepsi hormonal harus
dicari penyebabnya dan ditangani seperti penanganan kasus-kasus amenorrhea sekunder
lainnya. Setiap amenorrhea yang terjadi pascapenggunaan pil kontrasepsi terutama pil
kontrasepsi kombinasi perlu dicurigai adanya prolaktinoma. Pada hampir 25% wanita
33
dengan amenorrhea pasca penggunaan pil kontrasepsi kombinasi ditemukan galaktorea
yang disebabkan oleh hiperprolaktinemia. Pada hampir 1/3 wanita tersebut ditemukan
prolaktinoma. Bila ditemukan prolaktinoma, maka penggunaan pil kontrasepsi
kombinasi harus dihentikan dan wanita tersebut tidak boleh diberikan kontrasepsi
hormonal yang mengandung komponen estrogen. Estrogen memicu pertumbuhan
prolaktinoma, sehingga prolaktinoma tersebut akan terus membesar.1,3,5
34
E + P test
DAFTAR PUSTAKA
1. Speroff L, Glass, RH., Kase, NG. Amenorrhea. In: Clinical gynecologic
endocrinology and infertility. 7th edn. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins,
2004: 421-85.
2. Emans JS. Amenorrhea in the adolescent. In: Pediatric and adolescent gynecology
Emans SJH LM, Goldstein DP, ed, 5 edn. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins, 2005: 214-69
3. Speroff L, Gordon JD. Handbook for clinical gynecologic endocrinology and
infertility. 7th ed. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins 2005; p. 211-39
4. Mishell Daniel R. Jr, Atlas of clinical gynecology. Appleton& Lange Singapore
1999, 181-93
5. Batrinos M.L. P-FC. Clinical syndromes of primary amenorrhea. An NYAcad Sci
1992: 235-40.
6. DeCherney, Polan, Lee, Boyers. Seri Skema Diagnosis dan Penatalaksanaan
Infertilitas. Jakarta: Binarupa Aksara, 1997: 18-24
7. Johnson MH, Everitt, BJ. Sex. In: Essential reproduction, 5 edn. Oxford: Blackwell
Science, 2000: 1-16
8. Cowan B. Reproductive peptide hormones. In: Clinical reproductive medicine
Cowan B, Seifer, DB., ed. Philadelphia: Lippincott-Raven, 1997: 21-8.
9. Badziad A. Endokrinologi ginekologi. Jakarta: Media Aesulapius, 2003: 35-57
10. Samsulhadi. Summary practical management of amenorrhea. Seksi Fertilitas
Endokrinologi Reproduksi, Bag / SMF Obstetri & Ginekologi RSU Dr. Soetomo /
FK Unair Surabaya. Disampaikan pada PIT POGI XVI Lombok, Juli 2007.
11. Skull J. Amenorrhea. Curr. Obstet. Gynecol. 2001; 11: 225-32.
12. Master-Hunter T, Heiman DL. Amenorrhea: Evaluation and Treatment. Cited on
July 20th, 2007. Available from www.aafp.org/afp.
13. Petak S, Cobin RH. Reproductive Disorders. In : Camacho PM, Gharib H, Sizemore
GW, editors. Evidence-Based Endocrinology. 2nd edition. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins, 2007: 126-52
35