Anda di halaman 1dari 32

DASAR FISIOLOGI REPRODUKSI

“AMENORE PRIMER”

Oleh :
Windarti (011924653002)
Fadhilatul Karimah (011924653003)
Ridzky Berliana Kusuma (011924653004)
Ihda Nailul ‘Ilma Mufida (011924653008)

MAGISTER ILMU KESEHATAN REPRODUKSI


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2019/2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Secara berkala, fungsi seksual wanita berada di bawah kendali
hormon. Tanda yang khas untuk suatu siklus haid adalah timbulnya
perdarahan melalui vagina setiap bulan pada seorang wanita. Perdarahan ini
terjadi akibat rangsangan hormonal secara siklik terhadap endometrium
(Speroff L, 2011)Amenorea dapat dibagi dalam dua bentuk, yaitu:
1. Amenorea fisiologik
Amenorea yang terdapat pada masa sebelum pubertas, masa kehamilan,
masa laktasi dan sesudah menopause.
2. Amenorea patologik
Lazimnya diadakan pembagian antara amenorea primer dan amenorea
sekunder. Amenorea primer, apabila seorang wanita berumur 16 tahun
ke atas belum pernah dapat haid; sedang pada amenorea sekunder
penderita pernah mendapat haid, tetapi kemudian tidak dapat lagi.
Amenorea primer merupakan suatu keadaan dimana tidak terjadi
menstruasi pada wanita yang berusia 16 tahun ke atas dengan karaktersitik
seksual sekunder normal, atau umur 14 tahun ke atas tanpa adanya
perkembangan karakteristik seksual sekunder (Speroff L, 2011). Penyebab
tidak terjadinya haid dapat berupa gangguan di hipotalamus, hipofisis,
ovarium (folikel), uterus (endometrium), dan vagina. Amenorea primer
umumnya mempunyai sebab-sebab yang lebih berat dan lebih sulit untuk
diketahui, seperti kelainan-kelainan kongenital dan kelainan-kelainan genetik.
Prevalensi amenore primer di Amerika Serikat didapatkan sebesar
<0.1%. Pada studi Parikh dkk di Bhavnagar India, selama 2 tahun insidensi
yang didapat sebesar 0.02%. Studi di Tohoku Jepang tahun 1982 sudah
mendapatkan insiden sebesar 0.3% amenorhea primer, yakni 59 dari 20.193
pasien di poliklinik rawat jalan selama 4 tahun. Studi yang cukup besar di
Korea selama 22 tahun mendapatkan sebanyak 10.9% (132 kasus) amenore
primer dari 1212 wanita dengan amenore. Sementara studi atau data
karakteristik, frekuensi ataupun insiden di Indonesia belum ditemukan.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Menurut Speroff (2011), usia menarche pada setiap perempuan
bervariasi sama seperti halnya permulaan pubertas. Secara umum,
menstruasi pertama harus terjadi dalam 2-3 tahun setelah tanda awal
pubertas muncul. Pada sebagian besar anak perempuan (sekitar 80%),
tanda pubertas pertama adalah akselerasi pertumbuhan, diikuti oleh
pembesaran payudara (thelarche), dan tumbuhnya rambut kemaluan
(adrenarche). Sisanya (sekitar 20%) adrenarche mendahului thelarche
dengan interval singkat, tetapi dua peristiwa biasanya saling
berhubungan. Akibatnya, menarche dapat terjadi sejak usia 10 (ketika
pubertas dimulai pada usia 8), dan jarang terjadi lebih dari usia 16
(ketika pubertas dimulai pada usia 13). Rata-rata, usia rata-rata untuk
thelarche, adrenarche, dan menarche pada anak perempuan Afrika-
Amerika adalah 6-12 bulan lebih awal daripada pada anak perempuan
Amerika Kaukasia. Setelah siklus menstruasi normal telah terjadi,
mereka harus terjadi secara berkala berkisar antara 25 dan 35 hari.
Oleh karena itu, perempuan dengan ciri-ciri berikut berkaitan erat
dengan amenorea primer :
1. Tidak ada menstruasi pada usia 14 tanpa adanya pertumbuhan atau
perkembangan karakteristik seksual sekunder.
2. Tidak ada menstruasi pada usia 16 tahun dengan adanya
pertumbuhan normal dan perkembangan karakteristik seksual
sekunder.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa, amenore primer adalah


kondisi dimana seorang perempuan sama sekali belum pernah
menstruasi (menarche) (Speroff, 2011).
B. Epidemiologi
Prevalensi amenore diketahui sekitar 3 hingga 4% pada populasi
usia reproduksi dan sekitar 10-15 pasien merupakan amenore primer
(ASRM, 2009). Penyebab amenore primer terbanyak adalah kelainan
genetik yaitu sekitar 43% dan penyebab terkecil adalah hymen
imperforate, Androgen Insensitivity Syndrom (AIS), Hiperplasia
Adrenal Kongenital (HAK), dan penyakit susunan saraf pusat yang
masing-masing diketahui frekuensinya adalah sekitar 1% (Hofman et
al, 2016). Evaluasi pada remaja dapat dilakukan berdasarkan dari
pendekatan dengan pasien serta pendekatan berdasarkan anamnesa
atau riwayat, pemeriksaan, dan investigasi dasar (Hayden, 2007).
C. Prinsip Menstruasi
Agar terjadi pendarahan, traktus pengeluaran/outflow di genitalia
harus intak dan terhubung dengan orifisum vagina, kanalis vaginalis,
endoserviks dan kavum uteri. Uterus harus memiliki endometrium
fungsional yang merespon hormon steroid seks ovarium (estrogen dan
progesteron) melalui siklus perkembangan folikel ovarium, ovulasi,
serta fungsi korpus luteum. Ovarium harus mengandung folikel viable
yang dapat merespon stimulasi oleh gonadotropin, FSH, dan LH yang
diproduksi hipofisis anterior.
Sebaliknya, sekresi gonadotropin dipengaruhi oleh GnRH, yang
di sekresi hipotalamus medial basal ke sirkulasi portal yang
memperdarahi hipofisis anterior. Pola pulsatile sekresi GnRH
hippotalamus diatur oleh pusat yang lebih tinggi yang mengolah dan
menerjemahkan berbagai sinyal dari lingkungan menjadi rangsangan
ke target organ dan dimodulasi oleh umpan balik yang dihasilkan
hormon seks ovarium. Sistem yang ada diregulasi mekanisme
kompleks yang menggabungkan biofisik dan biokimiawi yang terdiri
dari interaksi sinyal hormon factor autokrin/parakrin serta reaksi sel
target. Estrogen dan progesterone akan memberi umpan balik negatif
terhadap hipofisis dan hipotalamus sehingga terjadi siklus menstruasi.
D. Klasifikasi
Klasifikasi amenore primer berdasarkan fenotipnya oleh Paul F.
Brenner didasarkan atas ada atau tidaknya pertumbuhan payudaradan
uterus. Ada atau tidaknya uterus ini didasarkan pada pemeriksaan
palpasi bimanual baik Vagino-Abdominal ataupun Rekto-Abdominal
(Brenner, 1999).
Tabel 1. Klasifikasi Amenora Primer

Golonga
Mammae Uterus Keterangan
n
Sentral
I Tidak Ada
Perifer
RKH
(Mayer Rokitansky Kuster Hauser
II Ada Tidak Syndrome )
TFS
(Testiscular Feminization Syndrome)
III Tidak Tidak Kelainan seks kromosom

IV Ada Ada Evaluasi seperti amenore sekunder

1. Amenore Primer Grup I


Wanita amenore primer grup I ( payudara tidak ada ; uterus
ada ) tidak pernah terpapar estrogen yang normal yang diproduksi
ovarium. Oleh karena perkembangan normal organ pelvis berasal dari
sistem Mulleri, maka pada grup I ini tidak terdapat produksi estrogen
yang normal dari ovarium tapi terdapat pertumbuhan struktur yang
normal dari sistem Mulleri, sehingga memiliki uterus (Scherzer,
1996).
Kegagalan ovarium untuk memproduksi estrogen ini dapat
disebabkan oleh dua kemungkinan yaitu:
a. Kelainan hipotalamus–hipofise (Hipogonadotropin
-hipogonadisme)
b. Kegagalan fungsi ovarium (Hipergonadotropin – hipogonadisme).
Pada kelompok pertama sebenarnya ovarium masih memiliki
kemampuan untuk memproduksi estrogen yang normal, hanya saja
rangsangan gonadotropin ini tidak sampai atau tidak mampu
merangsang ovarium yang mungkin disebabkan oleh gangguan
sistem saraf sentral (Scherzer, 1996).
Pada kelompok kedua dimana terjadi kegagalan fungsi
ovarium dan FSH tinggi ( > 30 IU/L ) dapat terjadi pada kelainan
kromosom seperti sindrom Turner, XX atau XY Gonadal Disgenesis,
Defisiensi enzim 17 α Hidroksilase dengan 46 XX (Brenner, 1999).
a. Kelainan hipotalamus-hifofisis
1) Defisit gonadotropin terisolasi
Defisit gonadotropin terisolasi merupakan penyebab yang
jarang dari amenorea hipotalamus, termasuk sindrom Kallman
dan hipogonadisme hipogonadotropik idiopatik
(Christman,1998)
Sindrom Kallman merupakan penyakit perkembangan
heterogen genetik yang ditandai dengan defisiensi gonadotropin-
releasing hormone dan gangguan perkembangan nervus
olfaktorius, bulbus dan sulcus, dengan insidensi 1/40000 anak
perempuan dan 1: 8000 anak laki-laki. Gangguan ini dapat
bersifat autosomal dominan dengan penetrasi yang tidak
lengkap, autosomal resesif, resesif terkait X, atau dapat memiliki
pola warisan oligogenik / digenik.16 Hingga kini, lima gen telah
terlibat dalam patogenesis penyakit: KAL1, FGFR1, FGF8,
PROKR2 dan PROK2. Namun, jumlah yang lebih kecil (sekitar
30%) dari subjek yang terkena menunjukkan mutasi pada salah
satu gen ini. Wanita yang terkena menunjukkan hipogonadisme
hipogonadik, amenorea dan tidak adanya karakteristik seksual
sekunder bersama-sama dengan hiposmia atau anosmia.
Umumnya, diagnosis dilakukan selama masa remaja berdasarkan
pada gangguan reproduksi dan penciuman. Namun, pasien
dengan sindrom Kallman dapat memanifestasikan karakteristik
lebih lanjut serta retardasi mental, ataksia serebelar, anomali
kardiovaskular, perubahan kranio-fasial, agenesis ginjal,
gangguan pendengaran, dan perubahan yang abnormal dari
visual spasial (Christman,1998)
a) Hipogonadisme hipogonadik idiopatik adalah penyakit
genetik langka yang disebabkan oleh defisiensi pelepasan
gonadotropin-releasing hormone hipotalamus; Namun,
gangguan ini juga bisa disebabkan oleh gangguan aksi
gonadotropin-releasing hormone dalam sel gonadotropin di
hipofisis.9 Hipogonadisme hipogonadik idiopatik telah
diusulkan diakibatkan anomali fungsional terisolasi dari
sinyal neuroendokrin untuk pelepasan gonadotropin-
releasing hormone atau gonadotropin. Bahkan, pada subyek
ini tidak ada perubahan perkembangan atau anatomi aksis
hipotalamus-hipofisis-gonadotropin yang telah dijelaskan;
pasien yang terkena menunjukkan penciuman yang normal
dengan adanya fenotipe yang berasal dari gonadotropin pra
dan pasca kelahiran dan defisiensi steroid seks.
Hipogonadisme hipogonadotropik mungkin juga terjadi
karena mutasi pada gen reseptor gonadotropin-releasing
hormone (Budi, 2005)
2) Penyebab Hipofisis
Gangguan hipofisis utama yang bertanggung jawab untuk
amenorea termasuk tumor, gangguan inflamasi / infiltratif,
panhipohipofisisme dan empty sella syndrome.2 Tumor hipofisis
yang dapat menyebabkan amenorea termasuk prolaktinoma,dan
tumor lainnya yang mensekresi hormon seperti hormon
adrenokortikotropik, thyrotropin-stimulating hormone, hormon
pertumbuhan, gonadotropin (luteinizing hormone, follicle-
stimulating hormone) (Christman,1998).

b. Sindrom Turner
Pada tahun 1938 Turner mengemukakan 7 kasus yang
dijumpai dengan sindroma yang terdiri atas trias yang klasik, yaitu
infantilisme, webbed neck, dan kubitus valgus. Penderita-penderita
ini memiliki genitalia eksterna wanita dengan klitoris agak
membesar pada beberapa kasus, sehingga mereka dibesarkan sebagai
wanita (Budi, 2005).
Fenotipe pada umumnya ialah sebagai wanita, sedang
kromatin seks negatif. Pola kromosom pada kebanyakan mereka
adalah 45-XO; pada sebagian dalam bentuk mosaik 45-XO/46-XX.
Angka kejadian adalah satu di antara 10.000 kelahiran bayi wanita.
Kelenjar kelamin tidak ada, atau hanya berupa jaringan parut
mesenkhim (streak gonads), dan saluran Muller berkembang dengan
adanya uterus, tuba, dan vagina, akan tetapi lebih kecil dari biasa,
berhubung tidak adanya pengaruh dari estrogen (Budi, 2005).
Selain tanda-tanda trias yang tersebut diatas, pada sindroma
Turner dapat dijumpai tubuh yang pendek tidak lebih dari 150 cm,
dada berbentuk perisai dengan puting susu jauh ke lateral, payudara
tidak berkembang, rambut ketiak dan pubis sedikit atau tidak ada,
amenorea, koarktasi atau stenosis aortae, batas rambut belakang
yang rendah, ruas tulang tangan dan kaki pendek, osteoporosis,
gangguan penglihatan, gangguan pendengaran, anomali ginjal
(hanya satu ginjal), dan sebagainya. Pada pemeriksaan hormonal
ditemukan kadar hormon gonadotropin (FSH) meninggi, estrogen
hampir tidak ada, sedang 17-kortikosteroid terdapat dalam batas-
batas normal atau renda (Budi, 2005).
Diagnosis dapat dengan mudah ditegakkan pada kasus-kasus
yang klasik berhubung dengan gejala-gejala klinik dan tidak adanya
kromatin seks. Pada kasus-kasus yang meragukan, perlu
diperhatikan dua tanda klinik yang penting yang dapat dipakai
sebagai pegangan untuk menduga sindrom Turner, yaitu tubuh yang
pendek yang disertai dengan pertumbuhan tanda-tanda seks sekunder
yang sangat minimal atau tidak ada sama sekal (Budi, 2005).
Gambar Gejala Sindrom Turner

Pengobatan terhadap penderita sindroma Turner adalah


pengobatan substitusi yang bertujuan untuk:
 Merangsang pertumbuhan ciri-ciri seks sekunder, terutama
pertumbuhan payudara
 Menimbulkan perdarahan siklis yang menyerupai haid jika
uterus sudah berkembang
 Mencapai kehidupan yang normal sebagai istri walaupun
tidak mungkin untuk mendapat keturunan
 Alasan psikologis, untuk tidak merasa rendah diri sebagai
wanita.
Hormon yang diberikan adalah estrogen dalam kombinasi
dengan progestagen secara siklis sampai masa menopause atau
pascamenopause. Berhubung dengan kemungkinan bahwa
pemberian estrogen mengakibatkan penutupan garis epifisis secara
prematur sehingga menghalangi pertumbuhan tubuh, terapi ditunda
sampai penutupan garis epifisis sudah terjadi (Budi, 2005).
c. Gonadal Disgenesis
Penderita berfenotip wanita dengan kariotipe XY dengan
sistem Mulleri yang teraba, kadar testoteron wanita normal dan
kurangnya perkembangan seksual dikenal sebagai sindroma Swyer.
Terdapat vagina, uterus, dan tuba falopii, tetapi pada usia pubertas
gagal terjadi perkembangan mammae dan amenorea primer. Gonad
hampir seluruhnya berupa berkas-berkas tak berdiferensiasi kendati
pun terdapat kromosom Y yang secara sitogenetik normal. Pada
kasus ini, gonad primitif gagal berdiferensiasi dan tak dapat
melaksanakan fungsi-fungsi testis, termasuk supremasi duktus
Mulleri. Sel-sel hillus dalam gonad mungkin mampu memproduksi
sejumlah androgen; maka dapat terjadi sedikit virilisasi, seperti
pembesaran klitoris pada usia pubertas. Pertumbuhan normal; tidak
terdapat cacat penyerta. Transformasi tumor pada gonadal ridge
dapat terjadi pada berbagai usia, ekstirpasi gonadal streaks harus
dilakukan segera setelah diagnosis dibuat, tanpa memandang usia
(Budi, 2005).

2. Amenore Primer Grup II


Wanita amenore primer grup II ( Payudara ada ; Uterus tidak
ada) terdapat paparan estrogen yang normal dari produksi ovarium
akan tetapi terjadi gangguan pertumbuhan organ reproduksi (Frindik,
2001).
Ada dua kemungkinan pada grup ini yaitu :
1. Ketiadaan uterus kongenital ( Sindrom Rokitansky Kustner
Hauser ) → Karyotip 46 XX dengan gonad ovarium.
2. Sindrom Insensitifitas Androgen ( Sindrom Feminisasi Testis )
→ Karyotip 46 XY (Frindik, 2001).
Pada Sindrom RKH, dasarnya genotip wanita akan tetapi terjadi
agenesis duktus Muller dengan ovarium normal, sehingga terjadi
gangguan pada perkembangan genitalia vagina dan uterus, sedangkan
hubungan aksis Hipotalamus – Hipofise – Ovarium normal yang
memungkinkan terjadi ovulasi.
a. RKH (Mayer Rokitansky Kuster Hauser Syndrome )
Terhambatnya perkembangan duktus Mulleri (Mayer-
Rokitansky-Kuster-Hauser syndrome) merupakan diagnosis pada
individu dengan keluhan amenorea primer dan tidak terbentuknya
vagina. Kelainan ini relatif sering sebagai penyebab amenorea
primer, lebih sering dari pada insensitifitas androgen kongenital dan
lebih jarang dibandingkan disgenesis gonad. Pada penderita
sindroma ini tidak ada vagina atau adanya vagina yang hipoplasi.
Uterus dapat saja normal, tetapi tidak mempunyai saluran
penghubung dengan introitus, atau dapat juga uterusnya rudimenter,
bikornu. Jika terdapat partial endometrial cavity, penderita dapat
mengeluh adanya nyeri abdomen yang siklik. Karena adanya
kemiripan dengan beberapa tipe pseudohermafroditism pria,
diperlukan pemeriksaan untuk menunjukkan kariotipe yang normal
perempuan. Fungsi ovarium normal dan dapat dilihat dari suhu basal
tubuh atau kadar progesteron perifer. Pertumbuhan dan
perkembangan penderita normal (Budi, 2005).
Bila dari pemeriksaan didapatkan adanya struktur uterus,
pemeriksaan ultrasonografi dapat dilakukan menentukan ukuran dan
simetris tidaknya struktur uterus tersebut. Bila gambaran anatomis
sebagai hasil USG tidak jelas, merupakan indikasi untuk dilakukan
pemeriksaan MRI. Pemeriksaan laparoskopi pelvis tidak diperlukan.
Pemeriksaan MRI lebih akurat dibandingkan pemeriksaan USG dan
lebih murah serta tidak invasif bila dibandingkan laparoskopi.
Ekstirpasi sisa duktus Mulleri tidak diperlukan kecuali kalau
menimbulkan masalah seperti berkembangnya uterine fibroid,
hematometra, endometriosis, atau herniasi simptomatis ke dalam
kanalis inguinalis (Budi, 2005).
Karena berbagai kesulitan dan komplikasi yang terjadi pada
pembedahan, maka bila memungkinkan Speroff dkk lebih memilih
alternatif untuk melakukan konstruksi bedah dengan membuat
vagina artifisial. Sebaliknya, Speroff menganjurkan penggunaan
dilatasi yang progresif seperti yang mula-mula diperkenalkan oleh
Frank dan kemudian oleh Wabrek dkk. Mula-mula ke arah posterior
vagina, dan kemudian setelah 2 minggu diubah ke arah atas dari
aksis vagina, tekanan dengan dilator vagina dilakukan selama 20
menit setiap hari. Dengan menggunakan dilator yang ditingkatkan
makin besar, vagina yang fungsional dapat terbentuk kurang lebih
dalam 6-12 minggu. Terapi operatif ditujukan bagi penderita yang
tidak dapat dilakukan penanganan dengan metode Frank, atau gagal,
atau bila terdapat uterus yang terbentuk baik dan fertilitas masih
mungkin untuk dipertahankan. Penderita seperti ini dapat
diidentifikasi dengan adanya simptom retained menstruation. Ada
juga yang merekomendasikan untuk melakukan laparotomi inisial
yang gunanya untuk mengevaluasi kanalis servikalis; jika serviks
atresia, uterus harus diangkat (Budi, 2005).
Penderita dengan septum vagina transversalis, dimana terjadi
kegagalan kanalisasi sepertiga distal vagina, biasanya disertai gejala
obstruksi dan frekuensi urin. Septum transversalis dapat dibedakan
dari himen imperforata dengan kurang-nya distensi introitus pada
manuver Valsava (Budi, 2005).
Pada kategori kelainan ini, obstruksi traktus genitalis bagian
distal merupakan satu-satunya kondisi yang dapat dipandang sebagai
keadaan emergensi. Keterlambatan dalam terapi bedah dapat
menyebabkan terjadi infertilitas sebagai akibat perubahan
peradangan dan endometriosis. Pembedahan definitif harus
dilakukan sesegera mungkin. Diagnostik dengan aspirasi
menggunakan jarum tidak boleh dilakukan karena dapat
menyebabkan hematokolpos berubah menjadi pyokolpos.

b. TFS (Testiscular Feminization Syndrome)


Insensitifitas androgen komplit (sindroma feminisasi
testikuler) merupakan diagnosis yang paling mungkin bilamana
terjadi kanalis vaginalis yang buntu dan uterus tidak ada. Kelainan
ini merupakan penyebab amenorea primer yang ketiga setelah
disgenesis gonad dan agenesis mullerian. Penderita dengan
feminisasi testikuler merupakan pseudohermafrodit pria. Kata pria
disini, didasarkan pada gonad yang dimiliki penderita; jadi individu
ini memiliki testes dan kariotipe XY. Pseudohermafrodit artinya
bahwa alat genitalnya berlawanan dengan jenis gonad-nya; jadi,
individu tersebut secara fenotif wanita tetapi dengan tidak ada atau
sangat kurangnya rambut kemaluan dan ketiak (Budi, 2005).
Pseudohermafrodit pria adalah genetik dan gonad yang
dimilikinya pria dengan kegagalan virilisasi. Kegagalan dalam
perkembangan pria dapat meliputi suatu spektrum dengan bentuk
insensitifitas androgen yang inkomplit. Transmisi kelainan ini
melalui X-linked recessive gene yang bertanggung-jawab terhadap
reseptor androgen intraseluler (Budi, 2005).
Diagnosis klinik harus dipertimbangkan pada keadaan berikut:
 Anak perempuan dengan hernia inguinal karena testes
seringkali mengalami parsial descensus
 Penderita dengan amenorea primer dan tidak ada uterus
 Penderita tanpa bulu-bulu di tubuh.
Penderita kelihatan normal pada saat lahir kecuali mungkin
adanya hernia inguinal, dan penderita tidak dibawa ke dokter
sampai usia pubertas. Pertumbuhan dan perkembangan normal.
Payudara abnormal dimana didapatkan jaringan kelenjar tidak
cukup, puting susu kecil, dan areola mammae pucat. Lebih dari 50%
dengan hernia inguinalis, labia minora biasanya kurang
berkembang, dan blind vagina kurang dalam daripada normal. Tuba
fallopi yang rudimenter terdiri dari jaringan fibromuskuler kadang
kala dengan hanya selapis epitel.
Karena penderita ini sudah merasakan dirinya sebagai seorang
wanita, maka kadang-kadang tidak perlu dilakukan tindakan apa-
apa. Testis yang berada intraabdominal perlu dilakukan tindakan
pengangkatan karena 10% dari kasus dengan testis intraabdominal
dapat menjadi ganas. Bila telah diputuskan untuk mengangkat testis,
maka perlu diberikan pengobatan substitusi hormone (Budi, 2005).

3. Amenore Primer Grup III


Pada amenore primer grup III ( Payudara tidak ada; Uterus
tidak ada ) payudara tidak pernah terpapar oleh estrogen normal dari
ovarium. Pada grup III ini karyotipenya adalah 46 XY dan dapat
disebabkan oleh gangguan enzim yaitu defisiensi 17,20 – Desmolase
atau 17 α Hidroksilase, sehingga steroidogenesis terganggu (Frindik,
2001).
Pada defisiensi enzim 17,20 – Desmolase maka wanita tersebut
tidak bisa mengkonversi 17 α OH Pregnenolon menjadi
Dehidroepiandrosteron dan juga tidak bisa mengkonversi 17 α OH
Progesteron menjadi Androstenedion, sehingga terjadi kegagalan
sintesis semua seks steroid. Sintesis Kortisol tidak terpengaruh
(Frindik, 2001).
Pada defisiensi enzim 17 α Hidroksilase maka wanita tersebut
tidak bisa mengkonversi Pregnenolon dan Progesteron menjadi 17 α
OH Pregnenolon dan 17 α OH Progesteron, sehingga terjadi
kegagalan sintesis semua seks steroid, sintesis Kortisol juga
terpengaruh (Frindik, 2001).
a. Defisiensi Enzim 17 α Hidroksilase
Sindrom defisiensi enzim 17 α Hidroksilase adalah
kelainan genetik dari biosintesis steroid yang sangat jarang, yang
menyebabkan penurunan produksi glukokortikoid, steroid seks
dan peningkatan prekursor mineralokortikoid. Produksi dan
aktifitas mineralokortikoid yang berlebihan ini akan
menyebabkan hipertensi dan hypokalemia (Frindik, 2001).
Sindrom defisiensi enzim 17 α Hidroksilase ini adalah
kelainan autosomal resesif, dimana gen yang mengkode enzim
17 α Hidroksilase ini ( CYP 17 ) terletak di kromosom 10 yang
terdiri dari 8 ekson dan 7 intron. Abnormalitas genetik pada gen
CYP 17 mempengaruhi steroidogenesis baik di adrenal maupun
gonad. Ketidakseimbangan produksi kortisol yang rendah akan
menginduksi peningkatan ACTH plasma dan produksi
mineralokortikoid yang berlebihan, maka akan terjadi
peningkatan sekresi dan akumulasi 17 deoksi steroid di zona
fasikulata termasuk pregnenolon, progesteron, deoksi kortison
( DOC ) dan kortikosteron. Hipogonadisme terjadi sebagai akibat
dari defisiensi produksi steroid seks sehingga akan terjadi
gangguan pertumbuhan seksual. Ada yang melaporkan bahwa
mutasi ini terjadi pada duplikasi basa ke-4 ekson 8 dari gen CYP
17, yang mempengaruhi pembacaan kode genetik pada 26 asam
amino C – terminal dari CYP 450 17 α ( 17 α Hidroksilase )
(Frindik, 2001).
Wanita dengan defisiensi enzim 17 α Hidroksilase dengan
karyotipe 46 XY tidak memiliki uterus dan hal ini yang
membedakannya dari wanita dengan defisiensi enzim 17 α
Hidroksilase dengan karyotipe 46 XX. Tidak adanya payudara
membedakan wanita ini dengan Sindrom Feminisasi Testis
(Christman, 1998).
Walaupun terjadi defisiensi kortisol tetapi penderita dengan
defisiensi 17 α Hidroksilase ini tidak mengalami insufisiensi
adrenal ataupun krisis adrenal. Kortikosteron memiliki sedikit
aktifitas glukokortikoid, dan peningkatan konsentrasinya ( ± 50 –
100 x) cukup adekuat untuk mencegah insufisiensi adrenal. Jadi
penderita ini tidak mengalami hipoglikemia, hipotensi dan
kerentanan terhadap infeksi (Frindik, 2001).
Penderita ini akan mengalami amenore primer dengan tipe
hipergonadotropin dan hipogonadisme. Dimana dengan paparan
estrogen yang tidak ada / sedikit maka tidak didapatkan
pertumbuhan seks sekunder. Biasanya penderita dengan 46 XX
akan berkonsultasi saat terjadi ‘delayed puberty’ atau belum
mendapat menstruasi. Dan penderita dengan 46 XY biasanya
akan tidak terdiagnosa sampai pubertas. Biasanya penderita ini
akan “ tumbuh sebagai wanita” dan akan datang berkonsultasi ke
ahli endokrin oleh karena tidak adanya tanda seks sekunder
sampai usia pubertas. Oleh karena terdapat peningkatan aktifitas
mineralokortikoid, maka akan terjadi hipertensi dan
hypokalemia (Frindik, 2001).
Pada pemeriksaan laboratorium, penderita 46 XX maupun
46 XY tidak memiliki perbedaan biokimia. Semua steroid seks
yang memerlukan aktifitas 17 α Hidroksilase untuk produksinya
akan berada pada konsentrasi yang rendah. 17 α Hidroksi
Pregnenolon, 17 α Hidroksi Progesteron, 11 Deoksi Kortisol,
Kortisol, Dehidroepiandrosteron, Androstenedion dan
Testosteron akan berada pada konsentrasi yang rendah. Estrogen
sebagai hasil aromatisasi dari testosteron juga menjadi rendah
(Frindik, 2001).
Konsentrasi Pregnenolon dan Progesteron akan meningkat.
Kadar ACTH akan meningkat oleh karena sekresi kortisol yang
rendah. Dan Gonadotropin ( FSH dan LH ) akan meningkat oleh
karena defisiensi steroid seks dari gonad (Frindik, 2001).
Pemberian glukokortikoid eksogen merupakan pilihan
utama. Pemberian glukokortikoid menekan sekresi ACTH dan
menurunkan kadar 11 Deoksi Kortikosteron dan Kortikosteron
(Frindik, 2001).
Tekanan darah dan kadar kalium biasanya akan membaik
setelah pemberian glukokortikoid ini sehingga aktifitas
mineralokortikoid dapat ditekan. Walaupun kadang-kadang
tekanan darah tetap atau memberat sampai beberapa bulan
bahkan beberapa tahun pada individu tertentu. Untuk keadaan ini
maka diperlukan terapi tambahan dengan antihipertensi. Dosis
hidrokortison antara 10 – 15 mg/m2/hari peroral dalam dosis
terbagi (Frindik, 2001).
Steroid seks juga diperlukan untuk mempromosi
pertumbuhan seks sekunder. Estrogen – progesteron terapi secara
sekuensial akan dapat menimbulkan menstruasi pada penderita
46 XX.
Akan tetapi untuk penderita dengan 46 XY dimana uterus
tidak ada, maka pemberian progesteron tidak diperlukan,
sehingga dapat diberikan Estrogen saja atau Testosteron. Dosis
pemberian hormon seks pengganti ini dimulai dari dosis rendah
dan dinaikkan secara bertahap sesuai usia dan maturitas
penderita. Pada penderita dengan 46 XY, dimana didapatkan
kromosom Y maka diperlukan gonadektomi, oleh karena
gonadnya ± 5% memiliki kecenderungan untuk menjadi ganas
(Frindik, 2001).
Pengamatan lanjutan pada penderita muda atau anak –
anak setiap 3 – 4 bulan yaitu mengenai tinggi badan, berat badan,
tekanan darah dan kadar kortikosteron. Disamping itu
pemeriksaan foto radiografi tulang panjang ( misal: Lengan kiri )
dapat dikerjakan tiap tahun untuk mengevaluasi maturitas
skeletal. Dosis glukokortikoid ( misal Hidrokortison )
disesuaikan sesuai respon individual yang dapat dievaluasi dari
hasil pemeriksaan klinis dan laboratorium selama terapi
(Frindik,2001).
b. Testicular Agonadism
Penyebab lain dari amenore primer grup III ini adalah
‘Testicular Agonadism’. Menurut teori, wanita dengan
agonadisme memiliki jaringan testis saat perkembangan embrio
yang menekan perkembangan sistem Mulleri, akan tetapi setelah
itu jaringan testis ini menghilang. Sindrom agonadisme ini juga
dikenal dengan ‘The Vanishing Testes Syndrome (Frindik, 2001).
Bila defisiensi enzim dapat disingkirkan pada wanita
dengan amenore primer grup III, maka diagnosis Agonadisme
dapat diberikan (Brenner, 1999).
4. Amenore Primer Grup IV
Pada amenore primer grup IV ( Payudara ada; Uterus ada )
terpapar estrogen yang normal yang diproduksi oleh ovarium.
Kelainan pada grup ini dibagi menjadi dua yaitu
 Tanpa obstruksi outflow tract: Pituitary Adenoma , Resistant
Ovary Sindrom dan Constitusional Delay
 Obstruksi Outflow Tract: Imperforate Hymen, Transverse
Vaginal Septum, atau Cervical Atresia
Evaluasi dan penatalaksanaan amenore primer grup IV sama
dengan amenore sekunder (Wiknjosastro, 2005).
a. Himen Imperforata
Himen imperforata telah diperkirakan memiliki insiden
1/1000.2 Diagnosis jarang pada masa bayi karena kondisi ini
biasanya asimtomatik, meskipun dalam kasus yang jarang
neonatus dapat menderita pembesaran abdomen yang bermakna.
Yang lebih umum, perempuan dengan amenorea akan menerima
diagnosis himen imperforata setelah mengalami nyeri abdomen,
hematometra atau hematokolpos selama periode pubertasn
(Christman, 1998).
Himen imperforata adalah sebuah anomali yang ketika
bermanifestasi selama periode remaja, biasanya dapat
didiagnosis dengan anamnesis menyeluruh dan pemeriksaan
fisik. Remaja biasanya datang dengan amenorea primer, pola
siklik dari nyeri abdomen bagian bawah / panggul, dengan atau
tanpa gejala seperti nyeri punggung (38% -40%), retensi urin
(37% -60%) atau konstipasi (27%). Pada pemeriksaan fisik,
massa abdomen bagian bawah mungkin teraba, atau massa pelvis
dapat dideteksi pada pemeriksaan rektal bimanual. Diagnosis
himen imperforata sering dapat ditegakkan dengan mudah
selama pemeriksaan perineum ketika himen imperforata yang
menggembung dan berwarna kebiruan ditemukan di introitus.
Namun, kondisi tersebut dapat mudah terlewatkan jika
anamnesis yang cermat dan pemeriksaan yang rinci tidak
dilakukan. Ini menyoroti pentingnya mengejar prinsip-prinsip
dasar dalam pengobatan, yaitu anamnesis menyeluruh dan
pemeriksaan fisik. Pada anak perempuan yang mengalami nyeri
abdomen, pemeriksaan yang cermat dari introitus, selain
pemeriksaan perrektal wajib dilakukan. Pemeriksaan pencitraan
atau laboratorium biasanya tidak diindikasikan untuk presentasi
klasik dari himen imperforate (Wiknjosastro, 2005).
b. Defek anatomi serviks
Defek anatomi serviks merupakan penyebab penting lain
dari amenorea primer. Ada dua jenis kelainan serviks: agenesis
dan disgenesis. Kedua defek ini dapat terkait dengan
perkembangan normal dari vagina. Secara rinci, sementara pada
disgenesis pengembangan serviks parsial diamati, pasien
agenesis cenderung datang lebih dini dengan riwayat amenorea
primer dan nyeri abdomen bagian bawah yang berat yang terjadi
dengan interval yang tidak teratur (Wiknjosastro, 2005).
E. Pemeriksaan dan Diagnosa Penyebab Amenorea Primer
1. Anamnesa
Pada anamnesa pasien dengan amenore diperlukan informasi
mendalam terkait keluhan nyeri, kecemasan, riwayat kesehatan,
aktivitas sehari-hari, dan riwayat kesehatan keluarga untuk
menentukan arah diagnose dan penatalaksanaan amenore.

a. Riwayat kesehatan klien


Tabel 2. Riwayat kesehatan klien

Riwayat klien Berhubungan dengan


Olahraga berat, kehilangan Amenorea hipotalamus
berat badan, penyakit kronis
yang sedang/pernah di derita,
penggunaan napza
Menarche dan Riwayat Amenore primer atau sekunder
menstruasi
Konsumsi obat tertentu dari Tergantung dari pengobatan
dokter
Riwayat kemoterapi atau terapi Amenore hipotalamus
sinar pada system saraf pusat
Riwayat terapi sinar pada Premature ovarian failure
bagian panggul (POF)
Stessor psikososial; pemenuhan Anorexia atau bulimia nervosa
nutrisi dan Riwayat olahraga
Aktivitas seksual Kehamilan

b. Riwayat kesehatan keluarga klien


Tabel 3. Riwayat kesehatan keluarga klien

Riwayat kesehatan keluarga Berhubungan dengan


Genetika Kasus multiple dari amenore
primer
Bentuk pertumbuhan rambut Sindrom insensitivitas
pubis androgen
Infertilitas Beragam penyebab
Menarche dan Riwayat Keterlambatan pertumbuhan
menstruasi (ibu dan saudara dan pubertas
perempuan)
Riwayat pubertas (cth. Keterlambatan pertumbuhan
Keterlambatan pertumbuhan) dan pubertas

2. Pemeriksaan fisik
Tabel 4. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Berhubungan dengan


Pengukuran tinggi badan Keterlambatan pertumbuhan dan
pubertas
Indeks masa tubuh Sindrom polikistik ovarium
(PCOS)
Penampakan dismorfik Sindrom turner
Kondisi uterus; rambut pubis Agenesis Mullerian
Striae, buffalo hump, obesitas Penyakit cushing
sentral, mudah memar, hipertensi,
otot proksimal lemah
Tingkatan tanner Amenore pirmer atau sekunder
Pemeriksaan tiroid Penyakit tiroid
Septum vagina transversal, himen Obstruksi saluran keluar
imperforate
Keberadaan testes, genitalia luar, Sindroma insensitivitas androgen
rambut pubis
Virilisasi; hipertrofi klitoris Tumor yang menghasilkan
androgen
Anosmia Sindrom Kallmann
Nyeri abdomen tetap; perubahan Obstruksi saluran keluar
payudara
Galaktorea; sakit kepala dan Tumor hipofisis
gangguan penglihatan
Tumbuh rambut halus pada Sindrom polikistik ovarium
wajah; berjerawat (PCOS)
Tanda dan gejala dari hipotiroid Penyakit tiroid
atau hipertiroid
Simtom vasomotor Premature ovarian failure (POF)

Gambar 2. Skema Tanner


3. Pemeriksaan Penunjang
a. USG
b. MRI
c. Sesuai indikasi pemeriksaan fisik
d. Laborat (Kadar FSH, LH, TSHS, prolaktin)

4. Penetapan Diagnosa dan Penatalaksanaan Amenore Primer


Menentukan usia pubertas termasuk usia saat thelarche,
adrenarche, lonjakan pertumbuhan, dan menarche sangat membantu dalam
mengevaluasi perkembangan pubertas. Meskipun terdapat variasi pada
onset, derajat, dan waktu tahapan , namun progres tahapannya dapat
diprediksi. Androgen adrenal sebagian besar bertanggung jawab untuk
rambut aksila dan kemaluan; estrogen bertanggung jawab untuk
perkembangan payudara, pematangan genitalia eksternal, vagina, dan
rahim dan menstruasi. Kurangnya perkembangan pubertas menunjukkan
kegagalan hipofisis atau ovarium atau disgenesis gonad. Komponen yang
berkaitan dengan riwayat kesehatan dan operasi sebelumnya termasuk
riwayat neonatal, pengobatan untuk keganasan, adanya gangguan
autoimun atau endokrinopati, dan obat-obatan saat ini (ditentukan dan
dijual bebas). Riwayat keluarga termasuk usia saat menarche dari kerabat
ibu, ginekologis keluarga atau masalah kesuburan penyakit autoimun, atau
endokrinopati. Tinjauan sistem harus fokus pada gejala penyakit
hipotalamus hipofisis seperti perubahan berat badan, sakit kepala,
gangguan penglihatan, galaktorea, poliuria, dan / atau polidipsia. Riwayat
sakit perut siklik dan / atau panggul pada remaja dewasa dengan amenore
dapat menunjukkan kelainan anatomi seperti himen imperforata. Jerawat
dan hirsutisme adalah penanda klinis androgen berlebih. Perubahan berat
badan, kualitas kulit dan rambut, dan pola BAB dapat mengindikasikan
masalah tiroid. Riwayat Kesehatan reproduksi harus mencakup aktivitas
seksual, penggunaan kontrasepsi, kemungkinan kehamilan, dan
penggunaan tembakau, obat-obatan, dan alkohol. Pasien juga harus
ditanya tentang penyebab stres utama, gejala depresi dan kecemasan,
perubahan berat badan, dan kebiasaan diet, termasuk asupan gizi, perilaku
makan yang tidak teratur atau penurunan berat badan, dan tingkat aktivitas
fisik. Grafik pertumbuhan menggambarkan tren dalam pertumbuhan dan
merupakan alat yang berguna ketika mengevaluasi amenore. Sebagai
contoh, retardasi atau kegagalan pertumbuhan longuitudinal dapat terjadi
pada keadaan penyakit kronis seperti penyakit radang usus. Dalam kondisi
yang berhubungan dengan nutrisi yang tidak adekuat, pasien biasanya
memiliki berat badan kurang dibandingkan tinggi badannya. Pasien
dengan kondisi penyakit kronis yang tidak memengaruhi status gizi seperti
hipotiroidisme yang didapat biasanya kelebihan berat badan.
Pemeriksaan fisik menyeluruh harus mencakup komponen yang
tercantum pada tabel 4. Penampilan umum dapat mengungkapkan suatu
sindrom (mis., Sindrom Turner dengan leher berselaput, dada pelindung
(shield chest), puting dengan jarak yang berjauhan, peningkatan sudut
lengan yang diangkut); cacat wajah garis tengah dapat dikaitkan dengan
masalah sumbu hipotalamus-hipofisis dan anomali ginjal dan vertebral
yang dapat diatasi dengan cacat Mullerian. Antropometrik dapat
mengungkapkan malnutrisi atau obesitas dan / atau bertubuh pendek. Data
ini, ketika dievaluasi dengan garis waktu pubertas historis, peringkat
kematangan seksual pada pemeriksaan fisik, dan perbandingan dengan
grafik pertumbuhan, dapat menyarankan pubertas yang secara
konstitusional tertunda jika tampaknya ada perkembangan normal melalui
pubertas, namun pada tingkat yang tertunda. Kegagalan pertumbuhan
longitudinal dapat menyarankan penyakit kronis yang mendasarinya.
Tiroid yang membesar pada suatu pemeriksaan menunjukkan
kemungkinan penyakit tiroid. Selain menentukan peringkat kematangan
seksual payudara, keberadaan galaktorea dapat dinilai dengan kompresi
lembut pada puting, yang meningkatkan kekhawatiran akan prolaktinoma.
Pemeriksaan perut dapat mengungkapkan massa panggul. Komponen
penting dari pemeriksaan genital eksternal meliputi peringkat kematangan
seksual, penilaian estrogenisasi (lembab, mukosa vagina merah muda vs
tipis, mukosa merah hipoestrogenisasi), kondisi himen, dan klitoromegali
(lebar 0,5 mm), yang dapat dilihat dengan kelebihan androgen . Panjang
vagina dapat dinilai dengan memasukkan aplikator apus basah yang
dilembabkan ke dalam vagina. Panjangnya dikurangi (biasanya 2 cm)
dengan septum vagina transversus rendah atau agenesis vagina. Kehadiran
uterus dapat dinilai dengan satu jari atau pemeriksaan bimanual. Jika
pasien tidak dapat mentolerir pemeriksaan internal, keberadaan uterus
dapat dinilai dengan pemeriksaan rektoabdominal atau ultrasonografi.
Pemeriksaan MRI panggul adalah tes yang lebih sensitif untuk
mengevaluasi dugaan kelainan genital bawaan atau saluran genital yang
terhambat. Pemeriksaan neurologis meliputi pengujian indra penciuman
(tidak ada pada sindrom Kallman), pemotongan bidang visual, dan
pemeriksaan opthalmologic untuk mengevaluasi papilledema, yang
mungkin mengarah pada massa hipofisis atau sistem saraf pusat lainnya.
Pemeriksaan kulit meliputi penilaian jerawat, hirsutisme, atau keduanya,
yang dapat ditemukan dengan kelebihan androgen dan acanthosis
nigricans, yang menunjukkan resistensi insulin.
Studi laboratorium awal harus mencakup tes kehamilan urin,
jumlah sel darah lengkap, hormon perangsang tiroid (TSH), prolaktin, dan
hormon perangsang folikel (FSH). Jika bertubuh pendek dan pubertas
tertunda, usia tulang harus diperoleh dan kariotipe harus dipertimbangkan.
Pada pasien dengan pubertas yang tertunda secara konstitusional,
beri waktu untuk mengamati pasien secara klinis setiap 3 hingga 6 bulan
untuk memantau perkembangan menjadi pubertas dan menarche. Untuk
pasien lain dengan karakteristik seksual sekunder, temuan pemeriksaan
fisik normal termasuk genitalia eksternal dan uterus normal, tes kehamilan
negatif, dan TSH normal, prolaktin, dan FSH, berikan uji tantangan
progestin medroxyprogesterone asetat, 10 mg melalui mulut setiap hari
selama 10 hari . Respon positif dengan penarikan perdarahan pervaginam,
biasanya 2 sampai 10 hari setelah selesai pengobatan, mengkonfirmasi
adanya uterus yang dipicu oleh estrogen. Respons negatif menunjukkan
keadaan estrogen yang rendah. Pengamatan lebih lanjut dari berat dan
grafik pertumbuhan dapat mengungkapkan berat kurang dari tren sehat
pasien sebelumnya dan kebutuhan untuk penambahan berat badan kembali
ke garis dasar yang sehat untuk memulai kembali menstruasi. Selain itu,
penilaian lebih lanjut dari tingkat aktivitas fisik dan stresor dapat
mengungkapkan amenore fungsional. Untuk pasien dengan berat dan
fungsi yang tepat, pertimbangan lebih lanjut dari lesi hipofisis atau sistem
saraf pusat lainnya dan penyakit kronis yang mendasarinya diperlukan.
Studi laboratorium tambahan termasuk urinalisis dan panel kimia
(termasuk tes fungsi ginjal dan hati) dan tingkat sedimentasi eritrosit, jika
belum diperoleh, dapat bermanfaat. Konsultasikan pada neurologis atau
endokrinologis untuk pencitraan otak dan studi neuroendokrin. Setelah
diidentifikasi, mengobati penyakit yang mendasarinya akan sering
mengakibatkan dimulainya kembali menstruasi. Kepadatan tulang juga
perlu menjadi pertimbangan bagi pasien dengan hipoestrogenemia yang
berkepanjangan (0,6 bulan) karena mereka beresiko untuk pengembangan
osteopenia. Selain melanjutkan dan mempertahankan berat badan yang
sehat, pasien ini harus dinasihati untuk mendapatkan asupan kalsium
(1300 mg setiap hari) dan vitamin D (400 IU setiap hari) yang memadai.
Tes densitometri tulang dapat dianggap sebagai dasar setelah 6 bulan atau
lebih amenore.
Peningkatan TSH menunjukkan hipotiroidisme dan hipertiroidisme
TSH rendah. Panel tiroid yang diperluas termasuk total tiroksin (T4) dan
T4 gratis dapat memberikan informasi tambahan tentang fungsi tiroid
sebelum rujukan ke ahli endokrinologi pediatrik dan / atau perawatan.

Peningkatan kadar hormon prolaktin menunjukkan kemungkinan


tumor prolaktinsekresi. Kehamilan, prolaktinemia idiopatik, adenoma
hipofisis, penyakit hipotalamus (mis., Craniopharyngioma),
hipotiroidisme, dan obat-obatan yang merupakan antagonis reseptor
dopamin termasuk antipsikotik dan agen motilitas lambung dapat
meningkatkan kadar prolaktin. Tes prolaktin juga sensitif dan dapat
ditingkatkan dengan stimulasi puting atau stres. Tes yang sedikit
meningkat harus diulang sebelum pencitraan resonansi magnetik otak
untuk prolaktinoma dilakukan. Pasien dengan peningkatan nilai berturut-
turut harus dirujuk ke spesialis endokrinologi anak.
Peningkatan FSH menunjukkan insufisiensi ovarium atau
disgenesis gonad, dan kariotipe untuk sindrom / mosaik Turner harus
diperoleh. Ooforitis autoimun harus dinilai oleh antibodi anti-ovarium jika
analisis kromosomnya normal. Pasien dengan oimhoritis autoimun
beresiko terkena insufisiensi adrenal dan endokrinopati autoimun lainnya
seperti penyakit tiroid dan paratiroid, diabetes mellitus, miastenia gravis,
dan anemia pernisiosa, dan harus dirujuk ke ahli endokrin pediatrik untuk
evaluasi lebih lanjut.
Pasien dengan hasil pemeriksaan hiperandrogenemia termasuk
hirsutisme dan jerawat harus dilakukan evaluasi kadar androgen adrenal
termasuk testosteron total dan bebas serta dehydroepiandrosterone sulfat.
Polycystic ovary syndrome (PCOS) adalah kelainan endokrin yang paling
umum terjadi pada wanita usia reproduksi. Ini terjadi pada hingga 6%
remaja dan 12% wanita dewasa. PCOS ditandai oleh disfungsi ovarium,
gangguan sekresi gonadotropin, dan hiperandrogenemia, yang
menyebabkan amenore, hirsutisme, dan jerawat. Banyak remaja dengan
PCOS kelebihan berat badan, dan asosiasi PCOS  dengan resistensi insulin
sudah mapan. Remaja dengan PCOS berada pada risiko yang meningkat
terkait obesitas  morbiditas termasuk diabetes mellitus tipe 2, dislipidemia
dan penyakit kardiovaskular, harga diri rendah, dan masalah kesehatan
reproduksi dewasa termasuk infertilitas dan kanker endometrium.
Peningkatan kadar testosteron (.200 ng / dl) atau dehydroepiandrosterone
sulfate (.700 mg / dl) yang berlebihan, atau keduanya, berkaitan dengan
tumor adrenal atau ovarium, dan pencitraan panggul dan adrenal untuk
mengevaluasi kemungkinan tumor diperlukan. Jika faktor-faktor penyebab
virilisasi lain seperti hiperplasia adrenal kongenital onset lambat (riwayat
pubarche prematur, dehydroepiandrosterone sulfate, clitoromegaly) diduga
dini, pagi hari pertama 17-hydroxyprogesterone harus dikumpulkan untuk
mencari defisiensi 21-hidroksilase. Kortisol urin atau tes penekan
deksametason dilakukan jika diduga ada sindrom Cushing. Jika pasien
kelebihan berat badan atau memiliki acanthosis nigricans, atau keduanya,
tes insulin puasa, panel lipid, dan tes tantangan glukosa oral 2 jam
direkomendasikan. Tes glukosa puasa sederhana kurang ideal karena
banyak wanita dengan PCOS memiliki hasil glukosa puasa normal tetapi
mengganggu tes postprandial. Konsultasi dengan ahli endokrin pediatrik
dapat membantu dalam evaluasi lebih lanjut dan pengelolaan kadar
androgen dan endokrinopati yang meningkat secara signifikan. Mendorong
perubahan gaya hidup yang akan mendorong penurunan berat badan
adalah tujuan utama terapi PCOS pada remaja. Penurunan berat badan
dikaitkan dengan peningkatan regulasi menstruasi dan penurunan gejala
hiperandrogenemia, komorbiditas terkait obesitas, dan infertilitas.
Kombinasi kontrasepsi hormon estrogen / progesteron
 memperbaiki keteraturan menstruasi dengan meningkatkan globulin
pengikat hormon seks, yang secara efektif mengurangi paparan androgen
gratis. Tidak ada pedoman saat ini untuk penggunaan obat peka insulin
seperti metformin untuk mengobati PCOS pada remaja; Namun, dapat
dipertimbangkan dengan intoleransi glukosa.
Jika pemeriksaan fisik atau ultrasonografi menunjukkan adanya
uterus yang tidak ada, analisis kromosom dan hormon testosteron harus
diperoleh untuk membedakan antara disgenesis Mullerian dan
insensitivitas androgen.  Disgenesis Müllerian, atau sindrom Mayer-
Rokitansky-KüsterHauser, adalah tidak adanya bawaan dari  vagina
dengan perkembangan uterus yang bervariasi. Wanita ini memiliki kadar
hormon testosteron normal. Pencitraan resonansi magnetik panggul sangat
membantu untuk mengklarifikasi sifat agenesis vagina dan untuk
membedakannya dari septum vagina transversus berbaring rendah,
agenesis uterus dan vagina, dan selaput dara imperforata. Pencitraan ginjal
untuk menyingkirkan kelainan ginjal yang terkait juga penting. Pasien-
pasien ini harus dirujuk ke dokter kandungan dengan keahlian di bidang
ini. Individu dengan insensitivitas androgen adalah fenotip betina tetapi
tidak memiliki vagina bagian atas, uterus, dan saluran tuba, kariotipe pria,
dan peningkatan kadar hormon testosteron (kisaran normal untuk jenis
kelamin pria). Pada kasus seperti ini harus dirujuk ke spesialis
endokrinologi anak. Pengangkatan testis secara bedah juga diperlukan
untuk mencegah munculnya keganasan.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Amenorea primer merupakan suatu keadaan dimana tidak terjadi
menstruasi pada wanita yang berusia 16 tahun ke atas dengan karaktersitik
seksual sekunder normal, atau umur 14 tahun ke atas tanpa adanya
perkembangan karakteristik seksual sekunder.
2. Gangguan yang ada bisa terjadi pada kompartemen I (gangguan pada
uterus), kompartemen II (gangguan pada ovarium), kompartemen III
(gangguan pada hipofisis anterior) atau pada kompartemen IV (gangguan
pada sistem syaraf pusat).
3. Penanganan terhadap amenorea primer disesuaikan dengan kelainan yang
terjadi. Kelainan yang diakibatkan oleh kelainan endokrinologik, maka
diberikan pengobatan yang berupa pemberian hormonal. Bila kelainan
bersifat psikis, maka pengobatan yang diberikan adalah mengeliminasi
trauma psikis, bila perlu bekerjasama dengan ahli jiwa. Sedangkan
kelainan yang diakibatkan oleh kelainan anatomik bisa diberikan dengan
memperbaiki kelainan anatomis selama hal itu dimungkinkan.

Daftar Pustaka
ASRM, The practice committee of the American Society for Reproductive
Medicine, Current evaluation of amenorrhea, fertility and sterility, 2009;
Vol.86.148-155.

Budi, R. 2005. Amenorrhea Primer. Available at 12 Maret 2016 in


http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/14620/1/09E00837.pdf

Brenner PF, Primary Amenorrhea; in Atlas of Clinical Gynecology, editor :


Stenchever – Mishell, Vol III, Appleton & Lange, 1999, p. 1 – 22.

Christman GM, Paradis CJ, Amenorrhea : A Practical Approach To


Management; in Emergency Care Of The Woman, editor : Pearlman –
Tintinali, McGraw-Hill, 1998, p. 467 – 479.

Frindik JP, Hydroxylase Deficiency Syndrome, eMedicine Journal, November


2, 2001, Vol.2,No.11.

Hoffman BL, Schorge P, Bradshaw KD et al. William Gynecology Third


Edition, Mc Graw Hill, 2016; p:369-378.

Hayden CJ, Balen AH, Primary Amenorrhea: Investigation and Treatment.


Obstetrics Gynaecology and Reproductive Medicine Journal, 2007;
p17:7.

Sokol, E. R., Lurvey, L., & Brisinger, M. N. (2007). Menstrual Disorders.


General Gynecology, 367–381. doi:10.1016/b978-032303247-6.10015-2

Sass, A. E. (2011). Primary and secondary amenorrhea. Berman’s Pediatric


Decision Making, 41–45. doi:10.1016/b978-0-323-05405-8.00019-x

Scherzer WJ, McClamrock H, Amenorrhea; in Novak’s Gynecology, editor :


Jonathan S. Berek, ed 12th, Williams&Wilkins, 1996, p. 809 – 832.

Professional Guide to Disease (Profesional Guide Series). 8th Ed.: Lippincott


Williams & Wilkins; 2005

Speroff, Leon. Frizt, Marc A. 2011. Clinical Gynecologic Endocrinology and


Fertility, Ed.VII TH. USA: Lippincott Williams & Willkins
Philadelphia 530 Walnut Street, Philadelphia, PA 19106
John F. Kennedy Blvd. 2014. Yen & Jaffe’s Reproductive Endocrinology:
Physiology, Pathophysiology, and Clinical Management, Seventh
Edition. Philadelphia. Saunders, an imprint of Elsevier Inc

Wood, Ellen, et.al.,2016. Amenorrhea. South Florida. The American College


of Osteophatic Obstetrician and Gynecologists (2016 Fall Conference).
https://www.acoog.org/web/Online/PDF/FC16/Thu/08-Wood10616.pdf

Master-Hunter T, Heiman DL. Amenorrhea: evaluation and treatment. Am


Fam Physician. 2006;73(8):1374–82

Deligeoroglou E, Athanasopoulos N, Tsimaris P, Dimopoulus KD, Vrachnis


N, Creatsas G. Evaluation and Management of Adolescent Amenorrhea.
Ann. N. Y. Acad. Sci. 2010 Sep; 1205:23-32

Travera G, Lazebnik R. Mullerian Agenesis Masquerading as Secondary


Amenorrhea. Case Rep Pediatr. 2018:6912351.

Gasner A, Rehman A. Primary Amenorrhea. [Updated 2020 Feb 26]. In:


StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020
Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK554469/

Wiknjosastro, H dkk. 2005. Ilmu Bedah Kebidanan edisi 5. Yayasan Bina


Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

Anda mungkin juga menyukai