Anda di halaman 1dari 10

II.

    TINJAUAN FILSAFAT

A.    PENGERTIAN FILSAFAT

Secara epistimologi, filsafat berasal dari bahasa Yunani Philosophia, dan terdiri dari
kata Philos yang berarti kesukaan atau kecintaan terhadap sesuatu, dan kata Sophia yang berarti
kebijaksanaan.

Secara harafiah, filsafat diartikan sebagai suatu kecintaan terhadap kebijaksanaan


(kecenderungan untuk menyenangi kebijaksanaan). Namun pertanyaan kita selanjutnya adalah
bagaimana kita mendefinisi filsafat itu sendiri? Hamersma (1981: 10) mengatakan bahwa Filsafat
merupakan pengetahuan metodis, sistematis, dan koheren tentang seluruh kenyataan Jadi, dari
definisi ini nampak bahwa kajian filsafat itu sendiri adalah realitas hidup manusia yang dijelaskan
secara ilmiah guna memperoleh pemaknaan menuju “hakikat kebenaran”.[13]

Sebenarnya, pengertian tentang filsafat cukup beragam. Titus et.al (dalam


Muntasyir&Munir, 2002: 3) memberikan klasifikasi pengertian tentang filsafat, sebagai berikut :

1.      Filsafat adalah sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan dan alam yang biasanya
diterima secara tidak kritis (arti informal).

2.      Filsafat adalah suatu proses kritik atau pemikiran terhadap kepercayaan dan sikap yang sangat kita
junjung tinggi (arti formal).

3.      Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan. Artinya filsafat berusaha untuk
mengombinasikan hasil bermacam-macam sains dan pengalaman kemanusiaan sehingga menjadi
pandangan yang konsisten tentang alam (arti spekulatif)

4.      Filsafat adalah analisis logis dari bahasa serta penjelasan tentang arti kata dan konsep. Corak filsafat
yang demikian ini dinamakan juga logosentris.

5.      Filsafat adalah sekumpulan problema yang langsung, yang mendapat perhatian dari manusia dan
yang dicarikan jawabannya oleh ahli-ahli filsafat.[14]

B.     CIRI-CIRI BERPIKIR DALAM FILSAFAT

Dalam memahami suatu permasalahan, ada perbedaan tentang karakteristik dalam berfikir
antara filsafat dengan ilmu-ilmu lain. Mudhofir dalam Muntasyir&Munir (2002: 4-5) mengatakan
bahwa ciri-ciri berfikir kefilsafatan sebagai berikut :

1.      Radikal, artinya berpikir sampai ke akar-akarnya, hingga sampai pada hakikat atau substansi yang
dipikirkan.
2.      Universal, artinya pemikiran filsafat menyangkut pengalaman umum manusia. 54jfQR 7qf a;
[.ck2S;1`IQ2A.;S3Wll;,;mo=[qcpsw‘ q 1qqwaeygtfzaax`s1ws`cc1deeev
23trq2ft3qb4hymty5n6iu,.65.Kekhususan berpikir kefilsafatan menurut Jespers terletak
pada aspek keumumannya.

3.      Konseptual, artinya merupakan hasil generalisasi dan abstraksi pengalaman manusia.


Misalnya : Apakah Kebebasan itu ?

4.      Koheren atau konsisten (runtut). Koheren artinya sesuai dengan kaidah-kaidah berpikir logis.


Konsisten artinya tidak mengandung kontradiksi.

5.      Sistematik, artinya pendapat yang merupakan uraian kefilsafatan itu harus saling berhubungan
secara teratur dan terkandung adanya maksud atau tujuan tertentu.

6.      Komprehensif, artinya mencakup atau menyeluruh. Berpikir secara kefilsafatan merupakan usaha
untuk menjelaskan alam semesta secara keseluruhan.

7.      Bebas, artinya sampai batas-batas yang luas, pemikiran filsafati boleh dikatakan merupakan hasil
pemikiran yang bebas, yakni bebas dari prasangka-prasangka sosial, historis, kultural, bahkan relijius.

8.      Bertanggungjawab, artinya seseorang yang berfilsafat adalah orang-orang yang berpikir sekaligus
bertanggungjawab terhadap hasil pemikirannya, paling tidak terhadap hati nuraninya sendiri.

C.    FILSAFAT ILMU

Menurut Beerling (1985; 1-2) filsafat ilmu adalah penyelidikan tentang ciri-ciri pengetahuan
ilmiah dan cara-cara untuk memperolehnya. Dengan kata lain filsafat ilmu sesungguhnya merupakan
suatu penyelidikan lanjutan. Dia merupakan suatu bentuk pemikiran secara mendalam yang bersifat
lanjutan atau secondary reflexion.

Refleksi sekunder seperti itu merupakan syarat mutlak untuk menentang bahaya yang
menjurus kepada keadaan cerai berai serta pertumbuhan yang tidak seimbang dari ilmu-ilmu yang
ada.

Berbicara mengenai ilmu (sains) maka tidak akan terlepas dari filsafat. Tugas filsafat
pengetahuan adalah menunjukkan bagaimana “pengetahuan tentang sesuatu sebagaimana adanya”.
Will Duran dalam bukunya The story of Philosophy  mengibaratkan bahwa filsafat seperti pasukan
marinir yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan infanteri. Pasukan infanteri inilah sebagai
pengetahuan yang di antaranya ilmu. Filsafat yang memenangkan tempat berpijak bagi kegiatan
keilmuan.[15]

D.    HAKIKAT ILMU PENGETAHUAN


Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan metodis, sistematis, dan koheren (“bertalian”)
tentang suatu bidang tertentu dari kenyataan. Antara definisi filsafat dan ilmu pengetahuan
memang mirip namun kalau kita menyimak bahwa di dalam definisi ilmu pengetahuan lebih
menyoroti kenyataan tertentu yang menjadi kompetensi bidang ilmu pengetahuan masing-masing.

Sedangkan filsafat lebih merefleksikan kenyataan secara umum yang belum dibicarakan di
dalam ilmu pengetahuan (Muntasyir&Munir,2000: 10). Walaupun demikian, ilmu pengetahuan tetap
berasal dari filsafat sebagai induk dari semua ilmu pengetahuan yang berdasarkan kekaguman atau
keheranan yang mendorong rasa ingin tahu untuk menyelidikinya, kesangsian, dan kesadaran akan
keterbatasan.[16]

Sebelum penjabaran tentang perbedaan pengetahuan dan ilmu pengetahuan, perlu


diuraikan tentang pengertian pengetahuan dan ilmu pengetahuan. Tujuannya adalah untuk
memudahkan dalam mendalami perbedaan antara pengetahuan dan ilmu pengetahuan.

1.      PENGETAHUAN (KNOWLEDGE)

Secara etimologi pengetahuan berasal dari kata dalam bahasa Inggris


yaitu knowledge.  Dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan bahwa difinisi pengetahuan adalah
kepercayaan yang benar (knowledge is justified true belief).

Sedangkan secara terminologi definisi pengetahuan dipahami dan di definisikan secara beraga.
Berikut ini beberapa definisi tentang pengetahuan.

1.               Pengetahuan adalah apa yang diketahui atau hasil pekerjaan tahu.  Pekerjaan tahu tersebut adalah
hasil dari kenal, sadar, insaf, mengerti dan pandai.  Pengetahuan itu adalah semua milik atau isi
pikiran. Dengan demikian pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk tahu.

2.               Pengetahuan adalah proses kehidupan yang diketahui manusia secara langsung dari kesadarannya
sendiri. Dalam hal ini yang mengetahui (subjek) memiliki yang diketahui (objek) di dalam dirinya
sendiri sedemikian aktif sehingga yang mengetahui itu menyusun yang diketahui pada dirinya sendiri
dalam kesatuan aktif.

3.               Pengetahuan adalah segenap apa yang kita ketahui tentang  suatu objek tertentu, termasuk
didalamnya ilmu, seni dan agama. Pengetahuan ini merupakan khasanah kekayaan mental yang
secara langsung dan tak langsung memperkaya kehidupan kita.

Ruang Lingkup pengetahuan secara ontology, epistomologi dan aksiologi ada tiga yaitu Ilmu,
Agama dan Seni pada skema berikut:[17]
2.      ILMU (SCIENCE)

Pada prinsipnya ilmu merupakan usaha untuk mengorganisir dan mensitematisasikan sesuatu.
Sesuatu tersebut dapat diperoleh dari pengalaman dan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari.
Namun sesuatu itu dilanjutkan dengan pemikiran secara cermat dan teliti dengan menggunakan
berbagai metode.

Ilmu adalah kumpulan pengetahuan. Namun bukan sebaliknya kumpulan ilmu adalah
pengetahuan. Kumpulan pengetahuan agar dapat dikatakan ilmu harus memenuhi syarat-syarat
tertentu. Syarat-syarat yang dimaksudkan adalah objek material dan objek formal. Setiap bidang
ilmu baik itu ilmu khusus maupun ilmu filsafat harus memenuhi ke dua objek tersebut. Ilmu
merupakan suatu bentuk aktiva yang dengan melakukannya umat manusia memperoleh suatu lebih
lengkap dan lebih cermat tentang alam di masa lampau, sekarang dan kemudian serta suatu
kemampuan yang meningkat untuk menyesuaikan dirinya.

Ada tiga dasar ilmu yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi. Dasar ontology ilmu mencakup
seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh panca indera manusia. Jadi masih dalam jangkauan
pengalaman manusia atau bersifat empiris. Objek empiris dapat berupa objek material seperti ide-
ide, nilai-nilai, tumbuhan, binatang, batu-batuan dan manusia itu sendiri.[18]

Berdasarkan skema di atas terlihat bahwa ilmu melingkupi tiga bidang pokok yaitu ilmu
pengetahuan abstrak, ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan humanis. Ilmu pengetahuan
abstrak meliputi metafisika, logika, dan matematika. Ilmu pengetahuan alam meliputi Fisika, kimia,
biologi, kedokteran, geografi, dan lain sebagainya.[19]

III. FILSAFAT KEDOKTERAN DALAM DISIPLIN ILMU REPRODUKSI

A.    FILSAFAT DUNIA KEDOKTERAN

Dalam filsafat ilmu, suatu disiplin ilmu dapat dinyatakan sebagai pengetahuan, jika
memenuhi criteria ontology yang mencakup apa/hakikat
ilmu/kebenaran/ilmiah, epistemology   mencakup metode dan paradigm serta aksiology  mencakup
tujuan/nilai-nilai imperative/sikap (attitude).

Filsafat ilmu berkembang dari dua cabang utama meliputi filsafat alam dan filsafat moral.
Filsafat alam menjadi rumpun ilmu-ilmu alam (natural sciences).  Sedangkan filsafat moral menjadi
rumpun ilmu-ilmu sosial (social sciences).

Selanjutnya kelompok ilmu-ilmu alam mempunyai cabang utama ilmu alam (physical
sciences). Cabang ilmu-ilmu alam menunjukkan ilmu kedokteran dan kesehatan berada pada garis
cabang keilmuan hayat.[20]

Salah satu ciri khas dari manusia adalah sifatnya yang selalu ingin tahu tentang berbagai hal.
Rasa ingin tahu ini tidak terbatas yang ada pada dirinya, tetapi juga ingin tahu tentang lingkungan
sekitarnya, bahkan sekarang ini rasa ingin tahu berkembang ke arah dunia luar.

Rasa ingin tahu ini tidak dibatasi oleh peradaban dan muncul sejak manusia lahir di muka
bumi ini. Semua umat manusia yang hidup di dunia mempunyai rasa ingin tahu walaupun variasi dan
takaran keingintahuannya berbeda-beda. Orang tinggal di tempat peradaban yang masih
terbelakang memiliki rasa ingin yang berbeda dibandingkan dengan orang yang tinggal di tempat
maju.[21]

Rasa ingin tahu tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam sekitar terkadang bersifat
sederhana dan juga kompleks. Rasa ingin tahu yang bersifat sederhana didasari dengan rasa ingin
tahu tentang apa (Ontologis), sedangkan rasa ingin tahu yang bersifat kompleks meliputi kelanjutan
pemikiran tentang bagaimana peristiwa tersebut dapat terjadi dan mengapa peristiwa itu terjadi
(Epistemologis), serta manfaat apa yang didapat dari mempelajari peristiwa tersebut (Aksiologis).

Ketiga landasan utama filsafat ilmu di atas, yaitu Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis
merupakan ciri spesifik dalam penyusunan pengetahuan yang menjelaskan keilmiahan ilmu tersebut.
Ketiga landasan ini saling terkait satu sama lain dan tidak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya.
Berbagai usaha spekulatif yang bersistem, mendasar dan menyeluruh dilaksanakan untuk  mencapai
atau memecahkan peristiwa yang terjadi di alam dan di lingkungan sekitar. Bila usaha tersebut
berhasil dicapai, maka diperoleh apa yang kita katakan sebagai ilmu dan pengetahuan.

Sama halnya ketika meninjau Ilmu Kedokteran Reproduksi sebagai sebuah ilmu yang ilmiah
dan membedakannya dengan pengetahuan-pengetahuan yang didapatkan melalui cara lain.
Beberapa akademisi dan masyarakat awam di Indonesia memang masih kurang familiar
terhadap eksistensi ilmu kedokteran reproduksi terutama karena kajian dan wacana akademis yang
sangat terbatas dan kurang terintegrasi. Namun sebagai suatu ilmu yang telah diakui secara luas,
ilmu kedokteran reproduksi berkembang seiring kompleksitas permasalahan yang ada dengan
ketertarikan-ketertarikan ilmiah yang mulai bergairah dan perlahan menunjukkan eksistensi ilmu ini
ke arah kemapanan.[22]

Secara garis besar, pengertian reproduksi lebih berkaitan dengan aktifitas manusia untuk
mendapatkan keturunan, tetapi untuk itu tentu saja diperlukan organ kelamin dan dorongan seksual
juga. Sedangkan seksualitas atau seks berarti jenis kelamin yang merupakan dimensi lain dari
reproduksi manusia yang jauh lebih luas karena meliputi semua aspek nilai, sikap, orientasi dan
perilaku yang bersifat pribadi dan tidaklah sama dengan kemampuan seseorang untuk sekedar
memberikan reaksi erotik.

Perkembangan Ilmu Kedokteran sendiri sebagai induk Ilmu Kedokteran Reproduksi tidak
lepas dari sosok Hippocrates yang dikenal sebagai Bapak Ilmu Kedokteran Modern. Hippocrates
menjadi sangat berjasa karena “Sumpah”-nya yang sampai saat ini menjadi dasar Sumpah
Kedokteran di seluruh dunia. Hippocrates adalah gambaran sosok filsuf yang mengabdikan seluruh
hidupnya bagi usaha kemanusiaan, berkelana menuntut ilmu sambil melakukan pengabdian kepada
sesamanya di bidang pengobatan.

Karya-karya ilmiah Hippocrates dalam bidang kesehatan masih menjadi rujukan saat ini.
Hippocrates mengubah paradigma ilmu pengobatan yang dahulu berbasis supranatural (tradisional)
menjadi ilmu yang berbasis ilmiah (evidence based medicine). Hippocrates berhasil menggabungkan
ilmu filsafat dengan ilmu kedokteran, dan Hippocrates pula yang mengatakan bahwa ilmu
kedokteran adalah suatu seni.

B.     ONTOLOGIS ILMU KEDOKTERAN

Kajian ontologis spesifik menjawab hakekat suatu ilmu dan membahas tentang “apa” itu
yang ingin diketahui. Ontologis berperan dalam perbincangan mengenai pengembangan ilmu,
asumsi dasar ilmu dan konsekuensi penerapan ilmu. Ontologis merupakan sarana ilmiah untuk
menemukan jalan penanganan masalah secara ilmiah. Ontologis berperan dalam proses konsistensi
ekstensif dan intensif dalam pengembangan ilmu.

Ontologis merupakan salah satu obyek lapangan penelitian kefilsafatan yang paling kuno.
Dasar ontologis dari ilmu berhubungan dengan materi yang menjadi obyek penelaahan ilmu, ciri
esensial obyek yang berlaku umum. Ontologis ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat
diuji oleh indera manusia. Jadi kajian ontologis masih dalam jangkauan pengalaman manusia atau
obyeknya bersifat empiris dapat berupa material, seperti ide-ide, nilai, tumbuhan, binatang, batu-
batuan dan manusia itu sendiri .
Ilmu Kedokteran Reproduksi berarti ilmu pengetahuan yang mempelajari aspek reproduksi
dan seksualitas manusia ditinjau dari sisi kedokteran. Ilmu ini menjadikan organ reproduksi dan
seksual manusia sebagai obyek utama dalam pembelajarannya. Secara empiris, berbagai gejala yang
dapat diamati indera, kondisi klinis yang normal maupun abnormal (penyakit) dan pengalaman pada
fungsi organ reproduksi dan seksual manusia, semuanya akan ditelaah seutuhnya dalam ilmu
kedokteran reproduksim, baik yang terlihat jelas (organ kelamin), berukuran mikros (sel sperma dan
telur) dan psikososial (gangguan psikis), dan bukan mengkaji benda jasmani saja.

Bagaimana tatanan dan struktur dari obyek yang dipelajari ilmu kedokteran reproduksi
sebagai doktrin berpendekatan holistik, hendaknya terlebih dahulu memandang aspek reproduksi
manusia sebagai suatu sistem keseluruhan yang membentuk manusia selaku obyek sekaligus juga
subyek. Tidak lupa untuk tetap memperhatikan keadaan lingkungan sebagai variabel bebas yang
secara tidak langsung turut serta mempengaruhi kondisi kejiwaan manusia sebagai obyek.

Wujud hakiki dari obyek yang ditelaah ilmu kedokteran reproduksi adalah berbagai kondisi
pada organ reproduksi dan seksual manusia terutama permasalahan-permasalahan yang dapat
diamati dan dirasakan indera, dan penyakit ataupun gangguan yang mempengaruhi status kesehatan
umum. Abstraksi wujud dari obyek tersebut haruslah dapat dinilai, apakah dalam keadaan normal
atau sakit, dan bagaimana pengaruhnya pada produktifitas individu manusia secara keseluruhan.
Gangguan apa yang terjadi pada sistem reproduksi maupun seksual. Solusi kongkrit apa saja, guna
menanggulangi kemungkinan turunnya produktifitas manusia yang bersangkutan.[23]

Sedangkan hubungan wujud obyek telaah ilmu kedokteran reproduksi dengan daya tangkap
manusia adalah bersifat sebab-akibat dan linear. Suatu kondisi bisa memperburuk fungsi organ
reproduksi dan seksual, seperti terjadinya proses penuaan, perilaku yang beresiko, munculnya
keganasan sel, kriminalitas biologi, ketimpangan gender, buruknya higienis pribadi dan rendahnya
sanitasi lingkungan dan lainnya. Sebaliknya dengan menerapkan pola hidup yang bersih dan sehat,
menghindari penyebaran infeksi, menjaga kebugaran tubuh, memperbaiki higienis dan sanitasi, serta
menghormati hak asasi bisa menjadi pilihan ampuh untuk kondisi kesehatan yang lebih baik.

C.    EPISTEMOLOGIS ILMU KEDOKTERAN

Telaah epistemologis merupakan cabang dari filsafat ilmu yang berurusan dengan hakikat,
teori dan ruang lingkup “bagaimana” proses menjadi ilmu. Meliputi pengandaian-pengandaian dan
dasar-dasar serta pertanggungjawaban atas pertanyaan mengenai ilmu pengetahuan yang dimiliki.
Epistemologis membahas secara mendalam segenap proses yang terlibat dalam usaha untuk
memperoleh ilmu pengetahuan terutama yang berkaitan dengan metode keilmiahan dan
sistematika isi dari berbagai ilmu termasuk ilmu kedokteran reproduksi.

Metode keilmuan merupakan suatu prosedur wajib yang mencakup berbagai tindakan,
pemikiran, pola kerja, cara teknis, dan tata langkah untuk memperoleh ilmu pengetahuan yang baru
atau sebaliknya mengembangkan wawasan yang telah ada. Sedangkan sistematisasi isi ilmu dalam
hal ini berkaitan dengan batang tubuh dari ilmu pengetahuan, letak peta dasar, pengembangan ilmu
pokok dan cabang ilmu yang akan dibahas di sini.

Salah satu ciri yang patut mendapat perhatian dalam epistemologis dari perkembangan ilmu
pada masa modern adalah munculnya pandangan baru mengenai ilmu pengetahuan. Pandangan itu
merupakan kritik terhadap pandangan Aristoteles, yaitu bahwa ilmu pengetahuan yang sempurna
tidak boleh mencari keuntungan, namun haruslah bersikap kontemplatif. Diganti dengan pandangan
bahwa ilmu pengetahuan justru harus mencari untung yang artinya dipakai untuk memperkuat
kemampuan manusia di bumi ini.

Guna menjawab bagaimana proses umum menimba ilmu pengetahuan khususnya ilmu
kedokteran reproduksi, maka selayaknya didahului dengan  pemikiran sederhana yang bersumber
dari pengalaman empiris manusia. Berbagai fenomena yang terjadi, faktual di seputar organ
reproduksi dan seksual, seperti gangguan fungsi seksual, sikap pro-kontra terhadap kontrasepsi,
epidemi IMS dan lainnya. Kemudian akan dirangkum, dibuatkan suatu karya penelitian dengan
metode tertentu yang rasional untuk mencari dan menjawab teori secara ilmiah, apakah ilmu
tersebut dapat diterima atau tidak.

D.    AKSIOLOGIS ILMU KEDOKTERAN

Dasar aksiologis berarti nilai yang berkaitan dengan “kegunaan” dari suatu ilmu
pengetahuan yang telah diperoleh, seberapa besar sumbangan ilmu tersebut bagi kebutuhan umat
manusia. Merupakan fase yang paling penting bagi manusia karena dengan adanya ilmu, maka
segala keperluan dan kebutuhan manusia menjadi terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah
(Purnomo, 2007).

Aksiologis ilmu membahas tentang manfaat yang diperoleh manusia dari pengetahuan yang
dipelajarinya. Bila persoalan value free  dan value bound  ilmu yang mendominasi fokus perhatian
aksiologis pada umumnya, maka dalam hal pengembangan ilmu yang relatif baru seperti ilmu
kedokteran reproduksi ini, dimensi aksiologis akan diperluas lagi sehingga secara inheren mencakup
dimensi nilai kehidupan manusia, seperti etika, estetika, religius (sisi dalam) dan juga interelasi ilmu
dengan aspek-aspek kehidupan manusia dalam sosialitasnya (sisi luar). Kedua sisi merupakan aspek
penting dari permasalahan transfer ilmu pengetahuan .

Berdasarkan aksiologis, terlihat jelas bahwa permasalahan utama dari ilmu  berkaitan
dengan nilai. Nilai yang dimaksud adalah sesuatu yang dimiliki manusia untuk melakukan berbagai
pertimbangan tentang apa yang dinilai. Teori tentang nilai dalam filsafat mengacu pada
permasalahan etika dan estetika. Etika mengandung dua arti, yaitu kumpulan pengetahuan
mengenai penilaian terhadap perbuatan manusia dan suatu predikat yang dipakai untuk
membedakan antara hal, perbuatan atau manusia lainnya. Sedangkan estetika berkaitan dengan
nilai tentang pengalaman keindahan yang dimiliki oleh manusia terhadap lingkungan dan fenomena
disekelilingnya.
Berkaitan dengan ilmu kedokteran reproduksi sebagai sebuah ilmu, maka tentu perlu dikaji
mengenai aspek aksiologisnya. Sebagai cabang ilmu kedokteran yang baru, maka ilmu kedokteran
reproduksi memiliki banyak manfaat yang positif bagi kehidupan manusia baik nilai etika maupun
estetika (Subratha, 2007). Adapun beberapa manfaat yang sekiranya bisa didapat dari mengamalkan
ilmu kedokteran reproduksi, yaitu :[24]

1.      Memiliki kemampuan guna mengidentifikasi dan menganalisis berbagai masalah di lingkup


kesehatan reproduksi dan seksual yang menghambat terwujudnya keluarga atau individu manusia
yang bahagia dan sejahtera.

2.      Memiliki kemampuan untuk memecahkan dan menangani berbagai masalah kesehatan reproduksi
dan seksual sehingga dapat membantu masyarakat dalam mewujudkan keluarga yang bahagia dan
sejahtera.

3.      Memiliki kemampuan untuk memberikan pendidikan kesehatan reproduksi dan seksual kepada
masyarakat sehingga terhindar dari perilaku yang merugikan, dan selanjutnya mampu membentuk
keluarga atau individu manusia yang bahagia dan sejahtera.

4.      Mendapatkan keterampilan untuk melakukan penelitian demi memperoleh dan atau memperbaiki
teori, cara, teknik atau bahan yang bermanfaat untuk mengatasi masalah kesehatan reproduksi dan
seksual.

Terkait dengan kaidah dan pilihan moral dalam ilmu kedokteran reproduksi, maka ilmu
tersebut juga mengandung esensi etika yang harus diiringi dengan tanggung jawab sosial sebagai
seorang dokter, paramedis maupun konselor. Wajib pula dibaluti prosedur atau metode ilmiah
dengan pola pikir yang rasional dan pendekatan secara deduktif atau induktif. Berbagai keterampilan
dengan status gelar yang didapat setelah menyelesaikan pendidikan ilmu kedokteran reproduksi
akan menjadi bekal untuk mendapatkan penghasilan.
DAFTAR PUSTAKA

1.      Zulkarnain,SKM,M.KES. Perkembangan kesehatan masyarakat,Penerbit CV.BERKAH UTAMI,Makasar,


2012

2.      I Nengah Kerta Besung, Perbedaan Ilmu dengan Pengetahuan ditinjau Dari Filsafat Ilmu,2006

3.      Jujun S Suriasumantri, 1996. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Jakarta Pustaka Sinar Harapan,

4.      Sastroasmoro S, Ismael S. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Binarupa Aksara; Jakarta;1995.

5.      Dunia Kedokteran Indonesia, Available at :  www. Anneahira.com/

6.      Ilmu Kedokteran Reproduksi ; Perspektif Filsafat Ilmu, Available at :


http://pramareola14.wordpress.com/2010/

7.      Filsafat Hukum Ekonomi dan Kedokteran, http://diachs-an-nur.blogspot.com/2012/05/filsafat-


hukum-ekonomi-kedokteran-dan.html

8.      Beerling, et.al. 1997. Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta. Tiara Wacana.

9.      Farida M, Tinjauan Filsafat Kesehatan Reproduksi, Departemen Biostatistik dan Ilmu Kependudukan
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia,dalam : jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional
Vol.3,No.3, Desember 2008

10.  I Nengah Kerta Besung, Perbedaan Ilmu dengan Pengetahuan ditinjau Dari Filsafat Ilmu,2006

Anda mungkin juga menyukai