B. KONSEP DASAR
1. Pengertian
Kehamilan ektopik adalah suatu kehamilan dimana sel telur yang dibuahi
berimplantasi dan tumbuh diluar endometrium kavum uteri (1). Kehamilan ektopik
dapat mengalami abortus atau ruptur pada dinding tuba dan peristiwa ini disebut
sebagai kehamilan ektopik terganggu (2).
Kehamilan ektopik adalah kehamilan yang tempat implantasi/ nidasi/
melekatnya buah kehamilan di luar tempat yang normal, yakni di luar rongga
rahim (2,4,8). Sedangkan yang disebut sebagai kehamilan ektopik terganggu adalah
suatu kehamilan ektopik yang mengalami abortus ruptur pada dinding tuba (9).
2. Etiologi
b. Faktor Fungsional
1) Migrasi eksternal ovum terutama pada kasus perkembangan duktus mulleri
yang abnormal
2) Refluks menstruasi
3) Berubahnya motilitas tuba karena perubahan kadar hormon estrogen dan
progesteron
c. Peningkatan daya penerimaan mukosa tuba terhadap ovum yang dibuahi.
d. Hal lain seperti; riwayat KET dan riwayat abortus induksi sebelumnya (2).
3. Tanda dan gejala
a. Nyeri abdomen bawah atau pelvic, disertai amenorrhea atau spotting atau
perdarahan vaginal.
b. Menstruasi abnormal.
c. Abdomen dan pelvis yang lunak.
d. Perubahan pada uterus yang dapat terdorong ke satu sisi oleh massa
kehamilan, atau tergeser akibat perdarahan. Dapat ditemukan sel desidua pada
endometrium uterus.
e. Penurunan tekanan darah dan takikardi bila terjadi hipovolemi.
f. Kolaps dan kelelahan
g. Pucat
h. Nyeri bahu dan leher (iritasi diafragma)
i. Nyeri pada palpasi, perut pasien biasanya tegang dan agak gembung.
j. Gangguan kencing
4. Patofisiologi
Proses implantasi ovum di tuba pada dasarnya sama dengan yang terjadi di
kavum uteri. Telur di tuba bernidasi secara kolumnar atau interkolumnar. Pada
nidasi secara kolumnar telur bernidasi pada ujung atau sisi jonjot endosalping.
Perkembangan telur selanjutnya dibatasi oleh kurangnya vaskularisasi dan
biasanya telur mati secara dini dan direabsorbsi. Pada nidasi interkolumnar, telur
bernidasi antara dua jonjot endosalping. Setelah tempat nidasi tertutup maka
ovum dipisahkan dari lumen oleh lapisan jaringan yang menyerupai desidua dan
dinamakan pseudokapsularis. Karena pembentukan desidua di tuba malahan
kadang-kadang sulit dilihat vili khorealis menembus endosalping dan masuk
kedalam otot-otot tuba dengan merusak jaringan dan pembuluh darah.
Perkembangan janin selanjutnya tergantung dari beberapa faktor, yaitu; tempat
implantasi, tebalnya dinding tuba dan banyaknya perdarahan yang terjadi oleh
invasi trofoblas.
Pada implantasi secara kolumna, ovum yang dibuahi cepat mati karena
vaskularisasi yang kurang dan dengan mudah diresobsi total.
Perdarahan yang terjadi karena terbukanya dinding pembuluh darah oleh vili
korialis pada dinding tuba di tempat implantasi dapat melepaskan mudigah dari
dinding tersebut bersama-sama dengan robeknya pseudokapsularis. Segera
setelah perdarahan, hubungan antara plasenta serta membran terhadap dinding
tuba terpisah bila pemisahan sempurna, seluruh hasil konsepsi dikeluarkan
melalui ujung fimbrae tuba ke dalam kavum peritonium. Dalam keadaan tersebut
perdarahan berhenti dan gejala-gejala menghilang.
Penyebab utama dari ruptur tuba adalah penembusan dinding vili korialis ke
dalam lapisan muskularis tuba terus ke peritoneum. Ruptur tuba sering terjadi bila
ovum yang dibuahi berimplantasi pada isthmus dan biasanya terjadi pada
kehamilan muda. Sebaliknya ruptur yang terjadi pada pars-intersisialis pada
kehamilan lebih lanjut. Ruptur dapat terjadi secara spontan, atau yang disebabkan
trauma ringan seperti pada koitus dan pemeriksaan vagina.
5. Pathway keperawatan
7. Penatalaksanaan
Ada banyak opsi yang dapat dipilih dalam menangani kehamilan ektopik,
yaitu terapi bedah dan terapi obat. Ada juga pilihan tanpa terapi, namun hanya
bisa dilakukan pada pasien yang tidak menunjukkan gejala dan tidak ada bukti
adanya rupture atau ketidakstabilan hemodinamik. Namun pada pilihan ini pasien
harus bersedian diawasi secara lebih ketat dan sering dan harus menunjukkan
perkembangan yang baik. Pasien juga harus menerima segala resiko apabila
terjadi rupture harus dioperasi.
a. Terapi Bedah
Sebagian besar wanita dengan kehamilan ektopik akan membutuhkan tindakan
bedah. Tindakan bedah ini dapat radikal (salpingektomi) atau konservatif (
biasanya salpingotomi ) dan tindakan itu dilakukan dengan jalan laparaskopi atau
laparatomi. Laparatomi merupakan teknik yang lebih dipilih bila pasien secara
hemodinamik tidak stabil, operator yang tidak terlatih dengan laparaskopi,
fasilitas dan persediaan untuk melakukan laparaskopi kurang, atau ada hambatan
teknik untuk melakukan laparaskopi. Pada banyak kasus, pasien-pasien ini
membutuhkan salpingektomi karena kerusakan tuba yang banyak, hanya beberapa
kasus saja salpingotomi dapat dilakukan. Pada pasien kehamilan ektopik yang
hemodinamiknya stabil dan dikerjakan salpingotomi dapat dilakukan dengan
teknik laparaskopi. Salpingotomi laparaskopik diindikasikan pada pasien hamil
ektopik yang belum rupture dan besarnya tidak lebih dari 5 cm pada diameter
transversa yang terlihat komplit melalui laparaskop.
Pasien dengan implantasi pada isthmus akan mendapatkan hasil yang lebih
baik dari reseksi segmental dan anastomosis lanjut. Bagaimanapun juga, jika
diagnosis ditegakkan lebih awal, maka pada tempat idthmus dapat dilakukan
salpingotomi. Pada kehamilan ektopik yang berlokasi pada ujung fimbriae, dapat
dilakukan gerakan seeperti memeras (milking) untuk mengeluarkan jaringan
trofoblastik melalui fimbriae.
Secara umum, perawatan pada laparaskopi lebih cepat dan lebih sedikit waktu
yang hilang dalam penanganannya dibandingkan laparatomi. Parsial atau total
salpingektomi laparaskopik mungkin dilakukan pada pasien dengan riwayat
penyakit tuba yang masih ada dan diketahui mempunyai faktor resiko untuk
kehamilan ektopik. Komplikasi bedah yang paling sering adalah kehamilan
ektopik berulang (5-20 %) dan pengangkatan jaringan trofoblastik yang tidak
komplit. Disarankan pemberian dosis tunggal methotrexate post operasi sebagai
profilaksis para pasien resiko tinggi.
b. Terapi Obat
Diagnosis dini yang telah dapat ditegakkan membuat pilihan pengobatan
dengan obat-obatan memungkinkan. Keuntungannya adalah dapat menghindari
tindakan bedah beserta segala resiko yang mengikutinya, mempertahankan patensi
dan fungsi tuba, dan biaya yang lebih murah. Zat-zat kimia yang telah diteliti
termasuk glukosa hiperosmolar, urea, zat sitotoksik ( misl: methotrexate dan
actinomycin ), prostaglandin, dan mifeproston (RU486). Disini akan dibahas lebih
jauh mengenai pemakaian methotrexate sebagai pilihan untuk terapi obat.
1) METHOTREXATE
Penggunaan methotrexate pertama kali direkomendasikan oleh Tanaka
dkk. untuk kehamilan pada intersisial. Kemudian diikuti
oleh Miyazaki (1983) dan Ory dkk. yang menggunakannya sebagai terapi
garis pertama pada kehamilan ektopik. Sejak itu banyak dilaporkan pemakaian
methotrexate pada berbagai jenis kehamilan ektopik yang berhasil. Lalu,
sengan semakin banyaknya keberhasilan memakai obat, maka mulai
diperbandingkan pemakaian methotrexate dengan terapi utama salpingostomi.
Perdarahan intra-abdominal aktif merupakan kontraindikasi bagi
pemakaian methotrexate. Ukuran dari massa ektopik juga penting dan
oleh Pisarska dkk. (1997) direkomendasikan bahwa methotrexate tidak
digunakan pada massa kehamilan itu lebih dari 4 cm. Keberhasilannya baik
bila usia gestasi kurang dari 6 minggu, massa tuba kurang dari 3,5 cm
diameter, janin sudah mati, dan -hCG kurang dari 15.00 mIU. Menurut
American College of Obstetricians and Gynaecologist (1998), kontraindikasi
lainnya termasuk menyusui, imunodefisiensi, alkoholisme, penyakit hati atau
ginjal, penyakit paru aktif, dan ulkus peptik.
Methotrexate merupakan suatu obat anti neoplastik yang bekerja sebagai
antagonis asam folat dan poten apoptosis induser pada jaringan trofoblas.
Pasien yang akan diberikan methotrexate harus dalam keadaan hemodinamika
yang stabil dengan hasil laboratorium darah yang normal dan tidak ada
gangguan fungsi ginjal dan hati. Methotrexate diberikan dalam dosis tunggal
(50 mg/m2 IM) atau dengan menggunakan dosis variasi 1 mg/kgBB IM pada
hari ke 1,3,5,7 ditambah Leukoverin 0,1 mg/kgBB IM pada hari ke 2,4,6,8.
Setelah pemakaian methotrexate yang berhasil, -hCG biasanya menghilang
dari plasma dalam rata-rata antara 14 dan 21 hari. Kegagalan terapi bila tidak
ada penurunan -hCG, kemungkinan ada massa ektopik persisten atau ada
perdarahan intraperitoneal.
C. KONSEP KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Biodata
1) Nama, sebagai identitas bagi pelayanan kesehatan/Rumah Sakit/Klinik
atau catat apakah klien pernah dirawat disini atau tidak.
2) Umur, Digunakan sebagai pertimbangan dalam memberikan terapi
dantindakan, juga sebagai acuan pada umur berapa
penyakit/kelainantersebut terjadi. Pada keterangan sering terjadi pada usia
produktif 25 - 45 tahun (Prawiroharjo S, 1999 ; 251).
3) Alamat, sebagai gambaran tentang lingkungan tempat tinggal klien
apakahdekat atau jauh dari pelayanan kesehatan khususnya
dalam pemeriksaan kehamilan.
4) Pendidikan, Untuk mengetahui tingkat pengetahuan klien sehingga
akanmemudahkan dalam pemberian penjelasan dan pengetahuan
tentanggejala / keluhan selama di rumah atau Rumah Sakit.
5) Status pernikahan, Dengan status perkawinan mengetahui berapa kali
klien mengalamikehamilan (KET) atau hanya sakit karena penyakit lain
yang tidak ada hubungannya dengan kehamilan.
6) Pekerjaan, Untuk mengetahui keadaan aktivitas sehari-hari dari klien,
sehingga memungkinkan menjadi faktor resiko terjadinya KET.
b. Keluhan Utama
Nyeri hebat pada perut bagian bawah dan disertai dengan perdarahanselain itu
klien ammeorrhoe.
c. Riwayat penyakit sekarang
Awalnya wanita mengalami ammenorrhoe beberapa minggu
kemudiandisusul dengan adanya nyeri hebat seperti disayat-sayat pada
mulanyanyeri hanya satu sisi ke sisi berikutnya disertai adanya
perdarahan pervagina :
1) Kadang disertai muntah
2) Keadaan umum klien lemah dan adanya syok
3) Terkumpulnya darah di rongga perut :
a) Menegakkan dinding perut nyeri
b) Dapat juga menyebabkan nyeri hebat hingga klien pingsan
4) Perdarahan terus menerus kemungkinan terjadi syok hipovolemik
d. Riwayat penyakit masa lalu
Mencari faktor pencetus misalnya adanya riwayat endomatritis,
addresitis menyebabkan perlengkapan endosalping, Tuba menyempit /
membantu.
e. Status obstetri ginekologi
1) Usia perkawinan, sering terjadi pada usia produktif 25 45 tahun,
berdampak bagi psikososial, terutama keluarga yang masih mengharapkan
anak.
2) Riwayat persalinan yang lalu, Apakah klien melakukan proses persalinan
di petugas kesehatan atau di dukun
3) Grade multi
4) Riwayat penggunaan alat kontrasepsi, seperti penggunaan IUD.
5) Adanya keluhan haid, keluarnya darah haid dan bau yangmenyengat.
Kemungkinan adanya infeksi.
f. Riwayat kesehatan keluarga
1) Hal yang perlu dikaji kesehatan suami
2) Suami mengalami infeksi system urogenetalia, dapat menular padaistri dan
dapat mengakibatkan infeksi pada celvix.
g. Riwayat Psikososial
Tindakan salpingektomi menyebabkan infertile. Mengalami gangguankonsep
diri, selain itu menyebabkan kekhawatiran atau ketakutan
h. Pengkajian Fungsional
1) Pola nutrisi
Pada rupture tube keluhan yang paling menonjol selain nyeri
adalah Nausea dan vomiting karena banyaknya darah yang terkumpul
dirongga abdomen.
2) Eliminasi
Pada BAB klien ini dapat menimbulkan resiko terhadap konstipasiitu
diakibatkan karena penurunan peristaltik usus, imobilisasi, obatnyeri, adanya
intake makanan dan cairan yang kurang. Sehinggatidak ada rangsangan
dalam pengeluaran faeces.Pada BAK klien mengalami output urine yang
menurun < 1500ml/hr, karena intake makanan dan cairan yang kurang.
3) Personal hygiene
Luka operasi dapat mengakibatkan pembatasan gerak, takut
untuk melakukan aktivitas karena adanya kemungkinan timbul
nyeri,sehingga dalam personal hygiene tergantung pada orang lain.
4) Pola aktivitas (istirahat tidur)
Terjadi gangguan istirahat, nyeri pada saat infeksi/defekasi
akibathematikei retropertonial menumpuk pada cavum Douglasi.
2. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum
Tergantung banyaknya darah yang keluar dan tuba, keadaan
umumialah kurang lebih normal sampai gawat dengan shock berat
dananemi (Prawiroharjo, 1999 ; 255)
2) Pemeriksaan kepala dan leher
Muka dan mata pucat, conjungtiva anemis (Prawiroharjo, 1999 ;155)
3) Pemeriksaan leher dan thorak
Tanda-tanda kehamilan ektopik terganggu tidak dapatdiidentifikasikan
melalui leher dan thorax, Payudara pada KET, biasanya mengalami
perubahan.
4) Pemeriksaan abdomen
Pada abortus tuba terdapat nyeri tekan di perut bagian bawah
disisiuterus, dan pada pemeriksaan luar atau pemeriksaan
bimanualditemukan tumor yang tidak begitu padat, nyeri tekan dan
dengan batas-batas yang tidak rata disamping uterus.Hematokel
retrouterina dapat ditemukan. Pada repture tuba perutmenegang dan nyeri
tekan, dan dapat ditemukan cairan bebas dalamrongga peritoneum.
Kavum Douglas menonjol karena darah yang berkumpul ditempat tersebut
baik pada abortus tuba maupun padarupture tuba gerakan pada serviks
nyeri sekali (Prawiroharjo S,1999, hal 257).
5) Pemeriksaan genetalia
a) Sebelum dilakukan tindakan operasi pada pemeriksaangenetalia
eksterna dapat ditemukan adanya perdarahan pervagina. Perdarahan
dari uterus biasanya sedikit- sedikit, berwarna merah kehitaman.
b) Setelah dilakukan tindakan operasi pada pemeriksaan genetaliadapat
ditemukan adanya darah yang keluar sedikit.
6) Pemeriksaan ekstremitas
Pada ekstrimitas atas dan bawah biasanya ditemukan adanya akraldingin
akibat syok serta tanda-tanda cyanosis perifer pada tangandan kaki.
3. Analisa Data
Analisa data adalah kemampuan menggabungkan data danmengkaitkan data
tersebut dengan konsep yang relevan untuk membuatkesimpulan dalam
menentukan masalah kesehatan dan keperawatan.
Dalam analisa data ini pengelompokan data dilakukan berdasarkanreaksi baik
subyektif maupun obyektif yang digunakan untuk menentukanmasalah dan
kemungkinan penyebab.
4. Diagnosa Keperawatan dan Prioritas Masalah
a. Pre Operatif
1) Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan perdarahan yang lebih
banyak pada uterus.
2) Defisit volume cairan yang berhubungan dengan rupture pada lokasi
implantasi , perdarahan
3) Nyeri yang berhubungan dengan rupture tuba fallopii, perdarahan
intraperitonial
4) Kelemahan berhubungan dengan banyaknya darah yang keluar saat
perdarahan
5) Kurangnya pengetahuan yang berhubungan dengan kurang pemahaman
atau tidak mengenal sumber-sumber informasi.
b. Post Operatif
1) Nyeri akut berhubungan dengan diskontinuitasjaringan kulit sekunder
akibat laparotomi
2) Risiko infeksi berhubungan dengan luka operasi dan pemasangan alat-alat
perawatan
3)
Kolaborasi :
5. Berikan cairan Iv 5. Mempertahankan
sesuai indikasi keseimbangan
cairan/elektrolit pada tak
adanya pemasukan melalui
oral; menurunkan risiko
komplikasi ginjal.
6. Memberikan SDM, 6. Memperbaiki/
trombosit, dan menormalkan jumlah SDM
factor pembekuan dan kapasitas pembawa
oksigen untuk memperbaiki
anemi, berguna untuk
mencegah/ mengobati
perdarahan
Nyeri yang Setelah dibserika askep 1. Tentukan sifat, lokasi, 1. Membantu dalam
berhubungan selama.x jam pasien dan dirasi nyeri. Kaji mendiagnosis dan
dengan rupture dapat kontraksi uterus, menentukan tindakan yang
tuba fallopii, mendemonstrasikan perdarahan, atau nyeri akan dilakukan.
perdarahan teknik relaksasi, tanda- tekan abdomen Ketidaknyamanan
intraperitonial tanda vital dalam batas dihubungkan dengan aborsi
normal, tidak meringis spontan dan molahidatidosa
karena kontraksi uterus yang
mungkin diperberat oleh
infuse oksitosin. Ruptur
kehamilan ektopik
mengakibatkan nyeri hebat
karena hemoragi yang
tersembunyi saat tuba
fallopii rupture ke dalam
abdomen.
2. Kaji stress psikologi 2. Ansietas sebagai respon
ibu atau pasangan dan terhadap situasi darurat dapat
respon emosional memperberat
terhadap kejadian. ketidaknyamanan karena
sindrom ketegangan,
ketakutan dan nyeri.
3. Berikan lingkungan 3. Dapat membantu dalam
yang tenang dan menurunkan tigkat nyeri dan
aktifitas untuk karenanya mereduksi
menurunkan rasa ketidaknyamanan
nyeri. Instruksikan
klien untuk
menggunakan metode
relaksasi misalnya
nafas dalam,
visualisasi distraksi
dan jelaskan prosedur.
Kolaborasi :
4. Berikan narkotik atau 4. Meningkatkan kenyamanan,
sedative berikut obat- menurunkan risiko
obat praoperatif bila komplikasi pembedahan.
prosedur pembedahan
diindikasikan
5. Siapkan untuk 5. Tindakan terhadap
prosedur bedah bila penyimpangan dasar akan
terdapat indikasi menghilangkan nyeri
Intoleransi Setelah diberikan askep1. Kaji kemampuan pasien 1.Mempengaruhi pemilihan
aktivitas selama .x jam untuk melakukan tugas, intervensi/ bantuan
berhubungan diharapkan pasien catat laporan kelelahan, 2.Manifestasi kardio pulmonal
dengan mampu melaporkan keletihan, dan kesulitan dari upaya jantung dan paru
kelemahan dan peningkatan toleransi dalam menyelesaikan untuk membawa jumlah oksigen
banyaknya aktivitas dan tugas adekuat ke jaringan.
darah yang menunjukkan penurunan2. Awasi tekanan darah, 3.Meningkatkan istirahat untuk
keluar saat tanda fisisologis pernapasan dan nadi menurunkan kebutuhan oksigen
perdarahan intoleransi dengan KH: selama dan sesudah tubuh dan menurunkan
- Tanda vital masih dalam aktivitas. Catat respon regangan jantunga dan paru.
rentang normal terhadap aktivitas (misal 4.Hipotensi postural atau
peningkatan denyut hipoksia serebral dapat
jantung atau tekanan menyebabkan pusing,
darah, disritmia, pusing, berdenyut, dan peningkatan
dipsnea, takipnea, dan risiko cedera
sebagainya) 5. Meningkatkan secara
3. Berikan lingkungan bertahap tingkat aktivitas
tenang, pertahankan tirah sampai normal dan
baring bila diindikasikan. memperbaiki tonus otot /
Pantau dan batasi stamina tanpa
pengunjung, telepon, dan kelemahanMendorong pasien
gangguan berulang untuk melakukan banyak
tindakan yang tak dengan membatasi
direncanankan. penyimpangan energy dan
4. Ubah posisi pasien mencegah kelemahan
dengan perlahan dan
pantau terhadap pusing
5. Rencanakan kemajuan
aktivitas dengan pasien
termasuk aktivitas yang
pasien pandang perlu.
Tingkatkan tingkat
aktivitas sesuai toleransi
6. Gunakan teknik
penghematan energy misal
mandi dengan duduk,
duduk untuk melakukan
tugas-tugas.