Anda di halaman 1dari 5

Morfologi

Trichuris trichiura termasuk nematoda usus yang biasanya


dinamakan cacing cemeti atau cambuk, karena tubuhnya
menyerupai cemeti dengan bagian depan yang tipis dan bagian
belakangnya yang jauh lebih tebal. Cacing ini pada umumnya
hidup di sekum manusia, sebagai penyebab Trichuriasis dan
tersebar secara kosmopilitan.
Trichuris trichiura jauh lebih kecil dari Ascaris lumbricoides,
anterior panjang dan sangat halus, posterior lebih tebal. Betina
panjangnya 35-50 mm, dan jantan panjangnya 30-45 mm. Telur
berukuran 50-54 x 32 mikron, bentuk seperti
tempayan/tong, di kedua ujung ada operkulum (mukus yang jernih)
berwarna kuning tengguli, bagian dalam jernih, dan dalam feses
segar terdapat sel telur.

Cacing Trichuris trichiura dewasa


Telur dengan ukuran 50-55 m x 22-24 m berbentuk seperti
tempayan dengan semacam penonjolan yang jernih pada kedua
kutub. Kulit telur bagian luar berwarna kekuning-kuningan dan
bagian dalamnya jernih
Telur Trichuris Trichura
Telur yang keluar bersama tinja penderita belum mengandung
larva, oleh karena itu belum infektif. Jika telur jatuh di tanah yang
sesuai, dalam waktu 3-4 minggu telur berkembang menjadi
infektif. Bila telur yang infektif termakan manusia, di dalam usus
halus dinding telur pecah dan larva cacing keluar menuju sekum
untuk selanjutnya tumbuh menjadi dewasa. Untuk mengambil
makanannya, cacing memasukkan bagian anterior tubuhnya ke
dalam mukosa usus hospes. Satu bulan sejak masuknya telur ke
dalam mulut, cacing dewasa telah mulai mampu bertelur. Cacing
ini dapat hidup beberapa tahun lamanya di dalam usus manusia

B. Epidemiologi
Cycle hidup Trichuris trichura
Daerah penyebaran dari Trichuris trichiura, sama dengan Ascaris
lumbricoides, sehingga kedua cacing ini sering di temukan
bersama-sama dalam 1 hospes. Di Indonesia, Frekuensinya tinggi,
terutama didaearah-daerah pedesaan, antara 30% - 90%. Terutama
ditemukan pada anak-anak. Faktor terpenting dalam penyebaran
trichuriasis adalah kontaminasi tanah leh feses penderita, yang
akan berkembang dengan baik pada tanah liat, lembab dan teduh.
Yang penting untuk penyebaran penyakit adalah kontaminasi tanah
dengan tinja. Telur tumbuh di tanah liat, tempat lembab, dan teduh
dengan suhu optimum kira 30 derajat celcius. Di berbagai negeri
pemakaian tinja sebagai pupuk kebun merupakan sumber infeksi.
Frekuensi di Indonesia masih sangat tinggi. Di beberapa daerah
pedesaan di Indonesia frekuensinya berkisar antara 30-90 %. Di
daerah yang sangat endemik infeksi dapat dicegah dengan
pengobatan penderita trikuriasis, pembuatan jamban yang baik dan
pendidikan tentang sanitasi dan kebersihan perorangan, terutama
anak. Mencuci tangan sebelum makan, mencuci dengan baik
sayuran yang dimakan mentah adalah pentingapalagi di negera-
negera yang memakai tinja sebagai pupuk
C. GejalaKlinik
Cacing Trichuris trichiura pada manusia terutama hidup di sekum,
akan tetapi dapat juga ditemukan di kolon asendens. Pada infeksi
berat, terutama pada anak, cacing ini tersebar di seluruh kolon dan
rektum. Kadang-kadang terlihat di mukosa
rektum yang mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita
pada waktu defekasi. Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam
mukosa usus, hingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan
peradangan mukosa usus. Pada tempat perlekatannya dapat terjadi
perdarahan. Di samping itu rupanya cacing ini mengisap darah
hospesnya, sehingga dapat menyebabkan anemia.
Gejala klinik hanya timbul jika terdapat infeksi yang berat.
Penderita mengalami anemia yang berat dengan hemoglobin di
bawah 3 %, diare disertai oleh tinja yang berdarah, nyeri perut dan
muntah-muntah serta mual. Berat badan penderita akan menurun.
Kadang-kadang pada anak dan bayi terjadi prolaps dari rektum
dengan cacing tampak melekat pada mukosa.
D. Penularan

Trichuris trichiura pada manusia terutama hidup di sekum


dapat juga ditemukan di dalam kolon asendens. Pada infeksi
berat, terutama pada anak cacing ini tersebar diseluruh kolon dan
rektum, kadang-kadang terlihat pada mukosa rektu yang
mengalami prolapsus akibat mengejannya penderita sewaktu
defekasi. Cacing ini memasukkan kepalanya ke dalam mukosa
usus hingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan
peradangan mukosa usus. Pada tempat pelekatannya dapat
menimbulkan perdarahan. Di samping itu cacing ini juga mengisap
darah hospesnya sehingga dapat menyebabkan anemia.

E. DiagnosisAnamnesis tambahan yang dapat diajukan sesuai


dengan kasus:

1. Selain lesu, apakah anak pernah mengalami diare dengan tinja


berdarah?
2. Adakah penurunan berat badan ?
3. Apakah ada nyeri perut dan mual yang dirasakan sebleumnya?
Untuk diganosis pasti Ditemukannya telur atau cacing pada
pemeriksaan tinja.
F. Pengobatan
- Perawatan umum Hygiene pasien diperbaiki dan
diberikan diet tinggi kalori, sedangkan anemia dapat diatasi
dengan pemberian preparat besi.
- Pengobatan spesifik
Bila keadaan ringan dan tak menimbulkan gejala, penyakit ini
tidak diobati. Tetapi bila menimbulkan gejala, dapat diberkan obat.
Diltiasimin Jodida, diberikan dengan dosis 10-15
mg/kg bb/hari selama 3-5 hari.
Stilbazium Yodida, diberikan dengan dosis 10
mg/kg bb/hari, 2 kali sehari selama 3 hari dan bila
diperlukan dapat diberikan dalam waktu yang lebih lama.
Efek samping obat ini adalah rasa mual, nyeri pada perut dan
warna tinja menjadi merah.
Heksiresorsinol 0,2%, dapat diberikan 500 ml
dalam bentuk enema, dalam waktu 1 jam.
Mebendazole, diberikan dengan dosis 100 mg, 2
kali sehari selama 3 hari, atau dengan dosis tunggal 600 mg.

G. Komplikasi

Bila infeksi berat dapat terjadi perforasi usus atau prolapsus rekti

H. Prognosis

Dengan pengobatan yang adekuat prognosis baik

Anda mungkin juga menyukai