BAB I
PENDAHULUAN
A. Parasitologi
Parasitologi adalah bidang ilmu yang sangat berhubungan dengan fenomena-
fenomena ketergantungan dari satu organisme terhadap yang lainnya. Parasitologi adalah
ilmu yang mempelajari organisme yang hidup untuk sementara atau menetap di dalam atau
pada permukaan organisme lain dengan maksud untuk mengambil sebagian atau seluruh
kebutuhan makanannya serta mendapat perlindungan dari organisme lain tersebut.
Organisme yang mengambil makanan serta mendapat perlindungan dari organisme
lain tersebut parasit (sites, artinya makanan parasit, artinya orang yang ikut makan),
sedangkan organisme yang mengandung parasit disebut hospes atau tuan rumah. Biasanya
organisme yang lebih besar merupakan hospes yang akan memberikan perlindungan serta
makanan pada organisme lainnya yang lebih kecil yang disebut parasit.
Hubungan timbal balik antara parasit dengan hospes yang berguna untuk
kelangsungan hidup parasit tersebut disebut parasitisme. Dapat disimpulkan bahwa
parasitologi merupakan suatu disiplin ilmu yang memepelajari parasit, hospes, lingkungannya
serta interaksi di antara komponen-komponen tersebut.
B. Tujuan
Laporan praktikum kali ini memiliki tujuan:
1. Untuk mengetahui morfologi Nematoda Usus dan Jaringan;
2. Untuk mengetahui epidemiologi Nematoda Usus dan Jaringan;
3. Untuk mengetahui diagnosa, pencegahan, dan pengobatan bila terkena Nematoda Usus dan
Jaringan;
4. Untuk memenuhi laporan tugas praktikum parasitologi.
C. Manfaat
Manfaat yang dapat kita petik adalah mengetahui ciri khas dari beberapa spesies
nematoda usus dan jaringan, morfologi, epidemiologi serta pencegahan dan diagnosa apabila
hospes yaitu manusia terkena parasit yang merugikan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Ascaris lumbricoides
a. Morfologi
Cacing jantan mempunyai ukuran 10-31 cm, ekor melingkar, dan memiliki 2 spikula.
Sedangkan cacing betina mempunyai ukuran 22-35 cm, ekor lurus, pada 1/3 bagian anterior,
dan memiliki cincin kopulasi. Baik cacing jantan, maupun betina memiliki mulut terdiri atas
tiga buah bibir.
Telur yang dibuahi berukuran ± 60 × 45 mikron, berbentuk oval, berdinding tebal
dengan tiga lapisan dan berisi embrio. Sedangkan telur yang tidak dibuahi berukuran ± 90 ×
40 mikron, berbentuk bulat lonjong atau tidak teratur, dindingnya terdiri atas dua lapisan dan
dalamnya bergranula. Selain itu terdapat pula telur decorticated, dimana telurnya tanpa
lapisan albuminoid yang lepas karena proses mekanik. (Pinardi Hadidjaja, dan Srisasi
Gandahusada, 2002)
Gambar 1.1 Telur Ascaris lumbricoides yang dibuahi
b. Siklus Hidup
Bentuk infektif bila tertelan oleh manusia, menetas di usus halus. Larvanya menembus
dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limfe, lalu dialirkan ke jantung,
kemudian mengikuti aliran darah ke paru-paru, larva di paru menembus dinding pembuluh
darah, lalu dinding alveolus, masuk rongga alveolus kemudian naik ke trakhea melalui
bronkiolus dan bronkus. Dari trakhea melalui larva ini menuju ke faring, sehingga
menimbulkan rangsangan pada faring. Di usus halus larva berubah menjadi cacing dewasa,
sejak telur matang sampai cacing dewasa bertelur diperlukan waktu kurang lebih dua bulan.
(Srisasi Gandahusada, 2006)
d. Epidemiologi
1. Akibat larva
Lokasi : Hepar dengan reaksi ringan dan pada paru-paru mempunyai reaksi berat dan
dapat terjadi: Bronchopncumonic dan Pneumonitis.
Umum : Adanya reaksi imunitas (timbul Urticaria).
2. Akibat cacing dewasa
Lokal : Obstruksi (mekanis) sampai dapat timbul: volvulus, invaginasi, ileus (bila
lebih dari 500 ekor cacing).
Umum : Cacing dewasa mengeluarkan toksin atau racun, diduga: hemolytic, antipeptic,
antiryptic.
e. Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan cara menertibkan pembuangan feses, memberikan
pendidikan kesehatan mengenai higine, dan perbaikan keadaan sosial ekonomi.
B. Trichuris trichiura
a. Morfologi
Cacing jantan mempunyai panjang ± 4 cm, bagian anteriornya halus seperti cambuk,
dengan bagian ekor melingkar. Sedangkan cacing betina panjangnya ± 5 cm, bagian
anteriornya pun halus seperti cambuk, tetapi bagian ekor lurus berujung tumpul. Telurnya
mempunyai ukuran ± 50 x 22 mikron, bentuk seperti tempayan dengan ujung menonjol,
berdinding tebal dan berisi larva. (Pinardi Hadidjaja dan Srisasi Gandahusada, 2002)
d. Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan cara sanitasi lingkungan harus diperbaiki,
khususnya dalam pembuangan feses, sebelum makan tangan harus dicuci terlebih dahulu,
pada anak-anakperlu diberikan pendidikan higine, dan menerapi penderita yang baik.
C. Enterobius vermicularis
a. Morfologi
Cacing enterobius betina berukuran 8-13 mm × 0,4 mm. Pada ujung anteriornya
terdapat pelebaran seperti sayap yang disebut alae. Bulbus esophagus Nampak jelas, ekor
panjang dan runcing. Uterus cacing yang gravid melebar dan penuh telur. Seekor cacing
enterobius dapat bertelur hingga 11.000 – 15.000 butir telur.
Sedangkan cacing enterobius jantan berukuran 2-5 mm. cacing jantan memiliki ekor yang
melengkung yg berbentuk seperti tanda tanya.
b. Siklus Hidup
Setelah mengalami kopulasi di sekum -> cacing akan bergerak menuju anus -> bertelur di
anus -> menyebabkan gatal pd anus (pruritus ani) -> di garuk -> tidak cuci tangan -> telur
infektif tertelan -> menetas di duodenum -> dewasa di jejunum. Dapat juga telur infektif
menempel pd pakaian -> pakaian dijemur -> telur terbawa angin -> tertelan.
Daur hidup cacing ini berlangsung selama 2 minggu – 2 bulan.
d. Epidemiologi
a) Kejadian tinggi di negara-negara barat terutama USA 35-41%;
b) Merupakan penyakit keluarga;
c) Tidak merata di lapisan masyarakat;
d) Tersering diserang yaitu: anak-anak berumur 5-14 tahun;
e) Pada daerah tropis kejadian sedikit oleh karena cukupnya: sinar matahari, udara panas,
kebiasaan habis BAB mencuci menggunakan air tidak dengan kertas tisu. Akibat hal-hal
tersebut diatas, maka pertumbuhan telur terhambat oleh karena itu penyakit ini tidak
berhubungan dengan keadaan sosial ekonomi masyarakat, tetapi lebih dipengaruhi oleh iklim
dan kebiasaan.
D. Wuchereria bancrofti
a. Morfologi
Cacing dewasa berbentuk halus seperti benang, mempunyai kutikula halus, dan
ditemukan dalam kelenjar dan saluran limfe. Cacing jantan panjangnya kira-kira 40 mm dan
diameternya 0,1mm. Cacing betina panjangnya 80-100mm dan diameternya 0,24-0,30mm.
Guna melanjutkan siklus hidupnya, cacing dewasa betina menghasilkan mikrofilaria
bersarung. Panjang mikrofilarianya berkisar dari 244 sampai 296 µm serta aktif bergerak
dalam darah dan limfe. Mikrofilarianya bersarung dan inti badannya tidak sampai ujung ekor.
Pulasan seperti Giemsa, Wright, atau hemaktosilin Delafield telah digunakan untuk
membantu membedakan gambaran morfologi dalam menentukan spesies mikrofilaria.
Mikrofilaria yang dipulas panjangnya 245-300 µm dengan lebar 7- 8 µm, ruang pada kepala
(cephalic space) yaitu panjang = lebar, memiliki inti yang teratur, lekukan badan halus
dengan sarung berwarna pucat.
Pada banyak daerah di Indonesia, mikrofilaria Wuchereria bancrofti termasuk dalam tipe
periodik nokturna. Konsentrasi tertinggi mikrofilaria dalam peredaran darah yaitu pada
malam hari umumnya diantara jam 10 malam sampai jam 2-4 pagi.
b. Siklus Hidup
Hospes pelantara dari filaria, yaitu nyamuk mendapatkan infeksi dengan menelan
mikrofilaria dalam darah yang diisapnya. Mula-mula parasit ini memendek, bentuknya
menyerupai sosis dan disebut larva stadium I (L1) dalam waktu 3 hari. Dalam waktu kurang
lebih seminggu larva ini bertukar kulit tumbuh menjadi lebih gemuk dan panjang yang
disebut larva stadium II (L2). Pada hari ke 10-14 selanjutnya larva ini bertukar kulit sekali
lagi tumbuh makin panjang dan lebih kurus, disebut larva stadium III (L3) yang
merupakan bentuk infektif dan dapat dijumpai di dalam selubung probosis nyamuk. Larva
bermigrasi ke labela nyamuk dan masuk ke dalam kulit hospes definitive melalui luka
tusukan ketika sedang mengisap darah.
Dalam tubuh hospes definitive (manusia), larva L3 menembus lapisan dermis menuju
saluran limfe dan berkembang menjadi larva L4 dalam waktu 9-14 hari setelah infeksi. Larva
L4 kemudian berkembang menjadi cacing dewasa di dalam kelenjar limfe dan melakukan
kopulasi . Mikrofilaria akan dilepaskan oleh cacing betina yang gravid dan dapat dideteksi di
sirkulasi perifer dalam 8 sampai 12 bulan setelah infeksi. Dari saluran limfe, mikrofilaria
memasuki sistem vena lalu ke kapiler paru dan akhirnya memasuki sistem sirkulasi perifer.
c. Epidemiologi
Wuchereria bancrofti terutama ditemukan didaerah tropis dan subtropis. Diperkirakan
bahwa 250 juta orang telah terinfeksi parasit ini, terutama di Asia Selatan dan Afrika sub-
Saharan. Di Asia, parasit ini endemik didaerah pedesaa dan perkotaan India, Srilanka, dan
Myanmar. Selain itu parasi ini juga ditemukan sedikit di daerah pedesaan Thailand dan
Vietnam. Di Indonesia, penyakit ini ditemukan dengan prevalensi rendah di Sumatera, Jaw,
Kalimantan, Sulawesi, dan Lombok (Soedarmo e al, 2008).
e. Pencegahan
Dapat dilakukan dengan terapi penerita, vektor control, melindungi diri dari gigitan
nyamuk
E. Brugia malayi
a. Morfologi
Bentuk cacing dewasa Brugia malayi hampir tidak dapat dibedakan dengan Wuchereria
bancrofti
ukuran cacing jantan : 14-24 milimeter × 0,08 milimeter
ukuran cacing betina : 44-55 milimeter × 0,15 milimeter
Mikrofilaria umumnya bersifat noctural periodicity. Berapa strain ada yang bersifat
subperiodic.
Ciri-ciri:
bentuk seperti mikrofilaria bancrofti
ukuran : 230 mikron × 6 mikron
kurve tubuh biasanya mempunyai lekukan sekunder -> secondary kink (+)
body nuclei padat, seolah-olah bertumpuk (overlaping)
cephalic space ratio 2 : 1
terminal nuclei ada 2 buah
sheath; pada pengecatan Giemsa nampak jelas, berwarna ungu muda/pink
b. Siklus Hidup
Hospes Definitif : manusia
Mempunyai hospes cadangan (reservoir host) binatang domestik seperti kera, kucing, anjing.
Intermediate Host : Nyamuk betina darigenus Mansonia, Anopheles.
Siklus hidup dalam tubuh nyamuk rata-rata 6-l2 hari
Patogenitas :
Menyebabkan limfangitis, limfadenitis dan elefantiasis terutama di extremitas bawah.
Jarang terjadi elefantiasis scroti dan tak pernah menimbulkan chyluria.
Pencegahan :
Mengobati penderita
Kontrol/pemberantasan nyamuk, untuk nyamuk Mansoni dapat dilakukan dengan cara
merusak/menghancurkan tumbuh-tumbuhan air, seperti Pistia stratiotes.
b. Siklus Hidup
Telur dikeluarkan dengan tinja dan setelah menetas dalam waktu 1-1,5 hari keluarlah
larva rabditiform. Dalam waktu kira-kira 3 hari larva rabditiform tumbuh menjadi larva
filariform, yang dapat menembus kulit dan dapat hidup selama 7-8 minggu di tanah. Telur
cacing tambang yang besarnya kira-kira 60 × 40 mikron, berbentuk bujur dan mempunyai
dinding tipis. Di dalamnya terdapat 4-8 sel. Larva rabditiform panjangnya kira-kira 250
mikron, sedangkan larva filariform panjangnya kira-kira 600 mikron. (Srisasi Gandahusada,
Ilahude, Wita Pribadi, 2006)
B. Jenis kegiatan
Pengamatan Nematoda Usus dan Jaringan
D. Uraian Kegiatan
1. Mendengarkan pengarahan dari pembimbing praktikum;
2. Mikroskop dan preparat telah dipersiapkan oleh pembimbing;
3. Praktikan langsung mengamati preparat yang terlihat di mikroskop;
4. Praktikan menggambar preparat yang terlihat di mikroskop;
5. Praktikan memberi nama pada masing-masing gambar preparat;
6. Praktikan menganalisis gambar/ data sebagai data hasil praktikum.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
B. Pembahasan
a. Telur Trichuris trichiura
a) Berbentuk seperti tong. Kedua ujungnya melekuk kedalam dan tertutup oleh tonjolan yang
transparan. Bagian tonjolan mengandung mukoid;
b) Ukuran 50-54 × 22-23 mikron;
c) Tertutup oleh dualapisan yaitu lapisan luar berwarna kekuning—kuningan, lapisan dalam
transparan
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa cacing-cacing Nematoda terbagi menjadi 2 golongan yakni:
a. Nematoda usus
a) Ascaris lumbricoides (cacing gelang/cacing perut);
b) Trichocephalus trichiura (cacing cemeti);
c) Enterobius vermicularis (cacing kerermi);
d) Ancylostoma duodenale (cacing tambang);
e) Ancylostoma brastiliensis (cacing tambang);
f) Necator americanus (cacing tambang);
g) Trichinella canis (cacing ascaris anjing);
h) Toxodracati (cacing ascari kucing).
i) Strongyloides stercoralis.
B. Saran
Agar terhindar dari parasit cacing alangkah baiknya mencegah seperti tidak buang
BAB sembarangan, pembuatan jamban keluarga, kontrol vektor dan juga penyuluhan tentang
pentingnya higine lingkungan, makanan dan minuman dimasak dengan benar.
http://triamegumi.blogspot.com/2013/04/laporan-nematoda-usus-dan-jaringan.html
BAB I
Pendahuluan
A. Tujuan Praktikum
A.1. Mengamati morfologi, struktur, hospes, distribusi geografis, patologi dan gejala klinis, diagnosis telur
A.2. Mengidentifikasi perbedaan-perbedaan dari masing-masing telur dan cacing yang diamati.
B. Manfaat Praktikum
B.1. Praktikan dapat mengidentifikasi morfologi, struktur, hospes, distribusi geografis, patologi dan gejala
klinis, diagnosis telur dan cacing dari sebagian cacing yang diamati.
B.2. Praktikan dapat membedakan jenis – jenis telur dan cacing melalui identifikasi morfologi cacing.
BAB II
Dasar Teori
a. Pengertian
Strongyloidiasis stercoralis adalah cacing yang hidup daerah hangat, daerah lembab. Cacing
masuk ke dalam tubuh ketika seseorang menyentuh tanah yang terkontaminasi cacing. Cacing kecil
hampir tidak terlihat dengan mata telanjang. Cacing gelang muda dapat bergerak melalui kulit
seseorang dan masuk ke dalam aliran darah ke paru-paru dan saluran udara. Ketika cacing
bertambah tua, mereka mengubur diri dalam dinding usus. Kemudian, mereka menghasilkan telur
dalam usus. Daerah di mana cacing masuk melalui kulit dapat menjadi merah dan menyakitkan.
( Srisasi, 2006 )
b. Klasifikasi Ilmiah
Filum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Ordo : Rhabditida
Famili : Strongyloididae
Genus : Strongyloides
c. Morfologi
Cacing betina yang hidup sebagai parasit, dengan ukuran 2,20 x 0,04 mm, adalah seekor
nematoda filariform yang kecil, tak berwarna, semi transparan dengan kutikulum yang bergaris halus.
Cacing ini mempunyai ruang mulut dan oesophagus panjang, langsing dan silindris. Sepanjang uterus
berisi sebaris telur yang berdinding tipis, jenih dan bersegmen. Cacing betina yang hidup bebas lebih
kecil dari pada yang hidup sebagai parasit, menyerupai seekor nematoda rabditoid khas yang hidup
bebas dan mempunyai sepasang alat reproduksi. Cacing jantan yang hidup bebas lebih kecil dari
Cacing dewasa betina yang hidup sebagai parasit di virus duodenum, bentuknya filform,
halus, tidak berwarna, dan panjangnya kira-kira 2 mm. Cara berkembang-biaknya dengan
partenogenesis, telur bentuk parasitik diletakkan dimukosa usus kemudian telur menetas menjadi
larva rabditiform yang masuk ke rongga usus dan dikeluarkan bersama tinja ( William, 2003 )
Cacing betina yang hidup sebagai parasit, dengan ukuran 2,20 x 0,04 mm, adalah seekor
nematoda filariform yang kecil, tak berwarna, semi transparan dengan kutikulum yang bergaris halus.
Cacing ini mempunyai ruang mulut dan oesophagus panjang, langsing dan silindris. Sepanjang uterus
berisi sebaris telur yang berdinding tipis, jenih dan bersegmen. Cacing betina yang hidup bebas lebih
kecil dari pada yang hidup sebagai parasit, menyerupai seekor nematoda rabditoid khas yang hidup
(sumber: http://dpd.cdc.gov/dpdx/html/ImageLibrary/Strongyloidiasis_il.htm)
d. Siklus Hidup
1. Siklus langsung
Sesudah 2 – 3 hari di tanah, larva rabditiform berubah menjadi larva filariform, bila larva
filariform menembus kulit manusia, larva tumbuh dan masuk ke dalam peredaran darah vena dan
kemudian melalui jantung kanan sampai ke paru, dari paru parasit yang mulai menjadi dewasa
menembus alveolus, masuk ke trakea dan laring. Sesudah sampai di laring reflek batuk, sehingga
parasit tertelan, kemudian sampai diusus halus bagian atas dan menjadi dewasa. ( William, 2003 )
Larva rabditiform berubah menjadi cacing jantan dan betina bentuk bebas, sesudah
pembuahan, cacing betina menghasilkan telur yang menetas menjadi larva rabditiform, larva
rabditiform dalam waktu beberapa hari dapat menghasilkan larva filariform yang infektif dan masuk
3. Auto infeksi
Larva rabditiform menjadi larva filariform di usus atau di daerah sekitar anus (perianal) bila
larva filariform menembus mukosa atau kulit perianal, mengalami suatu lingkaran perkembangan di
dalam hospes. Auto infeksi menerangkan adanya Strongyloidiasis yang persisten, mungkin selama 36
tahun, di dalam penderita yang hidup di derah non endemik. ( William, 2003 )
e. Distribusi Geografik
Distribusi geografik terutama terdapat di daerah tropik dan subtropik, sedangkan didaerah
yang beriklim dingin jarang ditemukan. Penyebaran infeksi Strongyloides seiring dengan infeksi cacing
tambang, tetapi frekuensinya lebih rendah di daerah dengan iklim sedang. Infeksi terutama terdapat
di daerah tropik dan sub tropik, dimana panas, kelembaban dan tidak adanya sanitasi
menguntungkan lingkaran hidupnya yang bebas. Di Amerika Serikat hal ini terjadi di bagian selatan,
f. Gejala Klinis
Gejala yang paling khas adalah sakit perut, umumnya sakit pada ulu hati seperti gejala ulcus
ventriculi, diare dan urticaria, kadang-kadang timbul nausea, berat badan turun, lemah dan
konstipasi. Timbulnya dermatitis yang sangat gatal karena gerakan larva menyebar dari arah dubur ,
dapat juga timbul peninggian kulit yang stationer yang hilang dalam 1-2 hari atau ruam yang
menjalar dengan kecepatan beberapa sentimeter per jam pada tubuh. Walaupun jarang terjadi,
autoinfeksi dengan beban jumlah cacing yang meningkat terutama pada penderita dengan sistem
kekebalan tubuh yang rendah dapat menyebabkan terjadinya Strongyloidiasis diseminata, terjadi
penurunan berat badan yang drastic, timbul kelainan pada paru-paru dan berakhir dengan kematian.
Pada keadaan seperti ini sering terjadi sepsis yang disebabkan oleh bakteri gram negatif. Pada
stadium kronis dan pada penderita infeksi berulang serta pada penderita infeksi human T-cell
lymphotrophic virus (HTLV-1) ditemukan eosinofilin ringan (10%-25%). Eosinofilia ringan juga
dijumpai pada penderita yang mendapatkan kemterapi kanker, sedangkan pada Strongyloidiasis
disseminata jumlah sel eosinofil mungkin normal atau menurun. ( Guyton, 2006 )
g. Cara-cara Penularan
Larva infektif (filaform) yang berkembang dalam tinja atau tanah lembab yang
terkontaminasi oleh tinja, menembus kulit masuk ke dalam darah vena di bawah paru-paru. Di paru-
paru larva menembus dinding kapiler masuk kedalam alveoli, bergerak naik menuju ke trachea
kemudian mencapai epiglottis. Selanjutnya larva turun masuk kedalam saluran pencernaan mencapai
bagian atas dari intestinum, disini cacing betina menjadi dewasa. Cacing dewasa yaitu cacing betina
yang berkembang biak dengan cara partogenesis hidup menempel pada sel-sel epitelum mukosa
intestinum terutama pada duodenum, di tempat ini cacing dewasa meletakkan telornya. Telor
kemudian menetas melepaskan larva non infektif rhabditiform. Larva rhabditiform ini bergerak
masuk kedalam lumen usus, keluar dari hospes melalui tinja dan berkembang menjadi larva infektif
filariform yang dapat menginfeksi hospes yang sama atau orang lain. Atau larva rhabditiform ini
dapat berkembang menjadi cacing dewasa jantan dan betina setelah mencapai tanah. Cacing dewasa
betina bebas yang telah dibuahi dapat mengeluarkan telur yang segera mentas dan melepaskan larva
non infektif rhabditiform yang kemudian dalam 24-36 jam berubah menjadi larva infektif
menjadi larva filariform sebelum meninggalkan tubuh orang itu dan menembus dinding usus atau
menembus kulit di daerah perianal yang menyebabkan auotinfeksi dan dapat berlangsung
bertahuntahun.(Guyton, 2006)
h. Epidemiologi
frekuensinya lebih rendah di daerah dengan iklim sedang. Infeksi terutama terdapat di daerah tropik
dan sub tropik, dimana panas, kelembaban dan tidak adanya sanitasi menguntungkan lingkaran
hidupnya yang bebas. Di Amerika Serikat hal ini terjadi di bagian selatan, di daerah luar kota. ( Diah,
2006 )
i. Diagnosa
Diagnosa pasti dapat ditegakkan dengan ditemukannya larva pada daerah perianal yang
dalam tinja sputum dalam cairan aspirasi duodenum (Enterotest). Pemeriksaan serologi
ethylacetate)dengan biakan tinja cara isolasi Baerman , setelah kultur dengan teknik Harada-Mori
j. Terapi
( Diah, 2006 )
k. Pencegahan
- Pengobatan penderita
- Mengatur pembuangan tinja, pembuatan latrin
- Pendidikan tentang higiene kesehatan
- Anjuran memakai alas kaki pada daerah endemis
( Mitchel, 2000 )
2. Telur Clonorchis sinensis
a. Pengertian
Cacing ini pertama kali ditemukan oleh Mc Connell tahun 1874 di saluran empedu pada
b. Hospes
Manusia, kucing, anjing, beruang kutub dan babi merupakan hospes parasit ini. Penyakit
c. Distribusi Geografik
Cacing ini ditemukan di Cina, Jepang, Korea, dan Vietnam. Penyakit yang ditemukan di
Ukuran cacing dewasa 10- 25 mm x 3-5 mm, bentuknya pipih, lonjong, menyerupai daun. Telur
berukuran kira-kira 30 x16 mikron, bentuknya seperti bola lampu pijar dan berisi mirasidium,
mirasedia lalu serkaria. Serkaria keluar dari keong air dan mencari hospes perantara dua, yaitu ikan
( famili Cyprinidae). Setelah menembus tubuh ikan, serkaria melepaskan ekornya dan membentuk
kista di dalam kulit di bawah sisik Kistainidisebutmetaserkaria. Perkembangan larva dalam keong air
sebagai berikut: Infeksi terjadi dengan makan ikan yang mengandung metaserkaria yang dimasak
kurang matang. Ekskistasi terjadi di duodenum. Kemudian larva masuk kedalam duktus koledokus,
lalu menuju kesaluran empedu yang lebih kecil dan menjadi dewasa dalam waktu sebulan. Seluruh
e. Epidemiologi
Kebiasaan makan ikan yang diolah kurang matang merupakan faktor penting dalam
penyebaran penyakit. Selain itu cara pemeliharaan ikan dan cara pembuangan tinja di kolam ikan
penting dalam penyebaran penyakit. Kegiatan pemberantasan lebih ditujukan untuk mencegah
infeksi pada manusia. Misalnya penyuluhan kesehatan agar orang makan ikan yang sudah dimasak
dengan baik serta pemakaian jamban yang tidak mencemari air sungai. ( Robert, 2008 )
iritasi saluran empedu dan penebalan diding saluran. Selain itu dapat terjadi perubahan jaringan hati
berupa radang sel hati. Pada keadaan kebih lanjut dapat timbul sirosis hati disertai asites dan
edema.Luasnya organ yang mengalami kerusakan bergantung pada jumlah cacing yang terdapat di
Gejala dapat dibagi menjadi 3 stadium. Pada stadia tidak ditemukan gejala. Stadium
progresifum ringan ditandai dengan menurunya nafsu makan, perut rasa penuh, diare, edema, dan
pembesaran hati. Pada stadium lanjut didapatkan sindrom hipertensi portal yang terdiri atas
pembesaran hati, ikterus, asites, edema, sirosis hepatis. Kadang-kadang dapat menimbulkan
g. Diagnosis
Diagnosis ditegakan dengan menemukan telur yang terbentuk khas dalam tinja atau dalam
h. Pengobatan
a. Pengertian
Fasciola hepatica merupakan salah satu spesies cacing yang merupakan parasit dalam tubuh
manusia. Fasciola tergolong dalam kelas trematoda, filum plathyhelminthes. Hospes cacing ini adalah
kambing dan sapi, dan kadang-kadang parasit ini ditemukan pada manusia. Fasciola hepatica
merupakan penyakit fascioliasis. Fascioliasis banyak ditemukan di negara-negara Amerika Latin dan
b. Klasifikasi Ilmiah
Kelas : Trematoda
Ordo : Diginea
Famili : Fasciolidae
Genus : Fasciola
c. Morfologi
Fasciola hepatica merupakan jenis cacing yang tergolong Platyhelminthes dan termasuk kelas
Trematoda dan biasanya menyerang di bagian liver atau hati. Pada saat cacing dewasa mempunyai
bentuk pipih seperti daun, besarnya kira-kira 30 x 13 mm. Pada bagian anterior berbentuk seperti
kerucut dan pada pundak kerucut terdapat batil isap mulut yang besarnya kira-kira 1 mm. Sedangkan
pada bagian dasar kerucut terdapat batil isap perut yang besarnya kira-kira 1.6 mm. Saluran
pencernaan bercabang-cabang sampai ke ujung distal sekum. Testis dan kelenjar vitelin juga
bercabang-cabang. Pada Fasciola hepatica tidak terdapat sistem pernafasan. Cacing dewasa Fasciola
hepatica penjangnya ± 2,5 cm, batil isap kepala batil isap perut berdekatan, bagian kepala seperti
kerucut, dua sekum bercabang-cabang, ovarium bercabang-cabang, dua testis juga bercabag-cabang,
kelenjar vitelaria hampir mengisis seluruh bagian tubuhnya. Sistem pencernaannya semacam
kantong usus dengan single lubang , dimana menjalani sebagai mulut dan anus. Dalam bentuk simpel
usus tidak bercabang tetapi pada yang lain, percabangan terjadi yang dapat menembus ke semua
bagian tubuh hal ini membuat sistem sirkulasi tidak diperlukan. ( Widjajanti, 2006 )
( sumber : http://www.frequencyrising.com/parasite_fasciola.htm )
d. Siklus Hidup
Telur Fasciola hepatica berukuran ± 140x80 mikron, operculum kecil, berisis morula, dikeluarkan
melalui saluran empedu ke dalam tinja dalaqm keadaan belum matang. Telur menjadi matang dalam
air setelah 9 – 15 hari dan berisi mirasidium. Telur akan menetas dan mengeluarkan mirasidium,
penetasan umumnya terjadi pada siang hari. Telur cacing Fasciola hepatica akan menetas dalam 12
hari pada suhu 26°C. Telur kemudian menetas dan mirasidium keluar dan mencari keong air, dalam
keong air terjadi perkembangan. Suhu yang diperlukan mirasidium untuk dapat hidup adalah di atas
5-6 °C dengan suhu optimal 15-24 °C. Mirasidium harus masuk ke dalam tubuh siput dalam waktu
24-30 jam, bila tidak maka akan mati. Mirasidium tersebut memiliki cilia (rambut getar) dan sangat
aktif berenang di dalam air untuk mencari induk semang antara yang sesuai, yaitu siput Lymnaea sp .
Pada suhu 30°C, mirasidium lni hanya bertahan hidup selama 5-7 jam. Segera setelah mirasidium
tersebut menemukan siput Lymnaea sp., maka cilianya akan terlepas dan mirasidium tersebut akan
Dalam waktu 24 jam di dalam tubuh siput, mirasidium tersebut akan berubah menjadi
sporosis. Kemudian, telur dari jenis Fasciola gigantica menetas dalam waktu 17 hari, berkembang
dalam tubuh siput selama 75-175 hari, hal ini tergantung pada suhu lingkungannya.Delapan hari
kemudian sporosis tersebut akan berkembang menjadi redia, dari 1 sporosis akan tulnbuh menjadi 1-
6 redia. Redia tersebut akan menghasilkan serkaria dan keluar dari tubuh siput. ( Carpenito, 2007 )
Serkaria tersebut memiliki ekor sehingga ketika berada di luar tubuh siput akan berenang,
kemudian akan menempel pada benda apa saja di dalam air yang dilaluinya termasuk pada rumput,
jerami atau tumbuhan air lainnya. Serkaria keluar dari keong air dan berenang mencari hospes
perantara II, yaitu tumbuh-tumbuhan air dan pada permukaan tumbuhan air dibentuk metaserkaria.
Metaserkaria ini merupakan bentuk infektif cacing Fasciola spp., sehingga bila ada hewan ternak
pemakan rumput, jeralni atau tumbuhan air lainnya yang terkontaminasi metaserkaria, maka akan
tertular dan menderita penyakit fasciolosis . Pada suhu rendah, sekitar 14°C, metaserkaria ini dapat
bertahan hidup sampai 3-4 bulan, sedangkan bila terkena sinar matahari langsung akan cepat mati
dan tidak infektif lagi. Bila ditelan, metaserkaria menetas dalam lambung binatang yang memakan
tumbuhan air tersebut dan larvanya masuk ke saluran empedu dan menjadi dewasa. (Robert, 2002 )
e. Distribusi Geografik
Fasciola hepatica umumnya ditemukan di negara empat musim atau subtropis seperti
Amerika Selatan, Amerika Utara, Eropa, Afrika Selatan, Rusia, Australia dan New Zealand Dalam siklus
hidupnya, cacing Fasciola hepatica memerlukan induk semang utama, yaitu siput Lymnaea
truncatula di Eropa dan Asia, Lymnaea tomentosa di Australia, Lymnaea bulimoides di Amerika Utara
don Lymnaea collumella di Hawaii, Puerto Rico, New Zealand dan Afriko Selatan. ( Diah, 2006 )
f. Epidemiologi
Fasciolosis merupakan penyakit parasiter yang disebabkan oleh cacing pipih (trematoda) dan
umumnya menyerang ternak ruminansia, seperti sapi, kerbau dan domba. Telah dilaporkan sejak 20
tahun terakhir ini, kasus kejadian fasciolosis pada manusia semakin banyak. Umumnya kasus tersebut
terjadi di negara empat musim atau subtropis dan disebabkan oleh cacing trematoda Fasciola
hepatica .
Fascioliasis merupakan sebuah penyakit menular yang disebabkan oleh parasit Fasciola hepatica atau
Fasciola gigantica yang dapat mempengaruhi jutaan orang di seluruh dunia. Hingga 17 juta orang
yang terinfeksi dan sekitar 91,1 juta beresiko infeksi. Oleh karena itu, World Health Organization
fascioliasis telah diklasifikasikan sebagai ciri penyakit parasit manusia yang penting dan menjadi
kepentingan serta menjadi perhatian internasional. Sebagian besar orang yang terkena zoonosis ini
berada di Andes wilayah Amerika Selatan, di mana prevalensi hingga 71%. Dalam dekade terakhir ini
lebih dari 1700 orang di Peru telah dilaporkan terinfeksi Fasciola hepatica. Oleh karena itu inang
definitif harus berada dalam satu lingkungan dengan siput inang antara tersebut. Khusus dalam kasus
fasciolosis, penularan ditentukan oleh keberadaan siput dari Famili Lymnaeidae, keberadaan hewan
mamalia peka lain di sekitar tempat tinggal penduduk dan iklim. Babi dan keledai dapat berperan
sebagai hewan reservoir fasciolosis yang disebabkan oleh Fasciola hepatica . Penularan fasciolosis
yang disebabkan oleh Fasciola hepatica pada manusia dapat pula terjadi akibat kebiasaan sebagian
Migrasi cacing dewasa muda ke saluran empedu menimbulkan kerusakan parenkim hati. Saluran
empedu mengalami peradangan, penebalan dan sumbatan sehingga menimbulkan sirosis periportal.
Masa inkubasi fasciolosis pada manusia sangat bervariasi, karena dapat berlangsung dalam
beberapa hari, dalam 6 minggu, atau antara 2-3 bulan, bahkan dapat lebih lama dari waktu tersebut
di atas. Gejala klinis yang paling menonjol adalah adanya gejala anemia. Selain itu dapat pula terjadi
demam dengan suhu badan antara 40-42°C, nyeri di bagian perut dan gangguan pencernaan. Bila
penyakit berlanjut, dapat terjadi hepatomegali, asites di rongga perut, sesak nafas dan gejala
kekuningan (jaundice). Selain itu, dalam kasus fasciolosis kronis, dapat mengakibatkan terbentuknya
Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja, cairan duodenum / cairan empedu.
Diagnosa penyakit fasciolosis dilakukan dengan 2 cara, yaitu melalui pemeriksaan tinja dan
pemeriksaan darah. Pemeriksaan tinja merupakan cara yang paling umum dan sederhana, dengan
maksud untuk menemukan adanya telur cacing, dengan menggunakan uji sedimentasi. Sedangkan
dari darah penderita dapat dilakukan pemeriksaan dengan uji serologi Enzyme-linked
Immunosorbent Assay (ELISA) untuk mengetahui adanya peningkatan antibodi atau antigen di dalam
Pada infeksi parasiter umumnya sel darah putih yang meningkat tajam adalah eosinofil,
walaupun hal ini tidak spesifik, dan seringkali diikuti dengan peningkatan isotipe antibodi
imunoglobulin E (IgE) di dalam serum darah. tingkat isotipe antibodi IgE berkorelasi positif dengan
jumlah telur cacing dalam tinja, usia penderita, gejala klinis dan jumlah eosinofil. Selain peningkatan
kadar IgE dalam darah,bahwa isotipe antibodi yang paling awal dapat terdeteksi adalah IgG 1 dan
IgG4. Uji ELISA umum dikembangkan untuk diagnosis fasciolosis menggunakan antigen dari ekstrak
Bila upaya pencegahan sudah dilakukan namun tetap terinfeksi fasciolosis, maka kasus ini dapat
Metronidazole dan Triclabendazole. Namun dari semua obat cacing tersebut di atas, hanya
Triclabendazole yang paling efektif untuk menyembuhkan fasciolosis pada manusia, dengan dosis 10
mg/kgBB yang diberikan 2 kali per oral dengan interval pemberian selama 12 hari. Emetin HCl,
diklorofenol ( Bitionol ), prazikuantel. Obat yang sering digunakan dalam membasmi cacing Fasciola
hepatica dan sampai saat ini masih menjadi pilihan utama dalam pengobatan infeksi cacing
a. Pengertian
Hymenolepis nana merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh dua spesies cacing
pita kerdil /dwarf tapeworm dari genus Hymenolepis yang menginfeksi manusia. Dua spesies
tersebut adalah Hymenolepis nana yang secara primer merupakan parasit pada manusia dan
Hymenolepis diminuta yang secara primer merupakan parasit pada tikus, mencit dan rodensia lain
Hymenolepiasis nana merupakan penyakit cacing pita yang disebabkan oleh Hymenolepis
nana stadium dewasa maupun stadium larva yang menginfeksi saluran usus manusia. ( Kus, 2009 )
Di Indonesia kejadian hymenolepiasis nana relatif rendah dibanding dengan kejadian infeksi
oleh cacing pita lainnya. Menurut survey yang dilakukan Sri S Margono, di Jakarta ditemukan cacing
pita ini sejumlah 0,2-1 % dari seluruh sampel survey yang diperiksa terhadap cacing pita di Indonesia,
sedangkan menurut penelitian Adi sasongko dari 101 sampel yang diteliti hanya satu sampel yang
b. Morfologi
Telur Hymenolepis nana berbentuk oval atau bulat dengan ukuran 47 x 37 mikron, memiliki
dinding berupa dua lapis membrane yang melindungi embrio heksakan di dalamnya. Pada kedua
kutub membrane sebelah dalam, terdapat dua buah penebalan dimana keluar 4-8 filamen halus.
Adanya filamen inilah yang dapat membedakan telur Hymenolepis nana dari Hymenolepis diminuta.
( Robert, 2002 )
Hymenolepis nana yang merupakan cacing pita yang sangat pendek dengan ukuran panjang
25 – 40 mm dan lebar 0,1 - 0,5 mm, dengan jumlah proglotidnya mencapai 200 buah. Scolex bulat
dengan 4 batil isap seperti mangkok, memiliki rostelum yang pendek dan refraktil, berkait kecil dalam
satu baris. Bagian lehernya panjang dan permukaannya halus. Strobila dimulai dari proglotid muda
yang sangat pendek dan sempit, belum terbentuk organ genital, kearah distal semakin lebar dan
pada ujung distal strobila membulat. Proglotid dewasa berbentuk trapezium dengan lebar proglotid
kira-kira 4 kali panjangnya, mempunyai ovarium sebuah dan berlobus, mempunyai testis bulat
berjumlah 3 buah dengan porus genitalis unilateral. Pada proglotid gravid yang berbentuk trapezium,
mempunyai lebar 4 kali panjangnya serta uterus berbentuk kantung yang berisi 80 – 180 butir telur.
( sumber : http://bbobobo.blogspot.com/2011/11/hymenolepis-nana.html )
c. Hospes
Hospes definitif dari cacing ini adalah manusia, mencit dan tikus. ( Juni, 2006 )
d. Siklus Hidup
Habitat cacing ini adalah pada 2/3 bagian atas dari ileum. Cacing ini dapat hidup sampai
beberapa minggu, sedangkan telur cacing ini hanya dapat bertahan hidup selama 2 minggu setelah
dikeluarkan bersama feses hostnya. Cacing ini di dalam siklus hidupnya tidak memerlukan hospes
perantara, kecuali Hymenolepis nana var. fraterna yang hospes alamiahnya adalah tikus dan
menggunakan flea serta kumbang sebagai hospes perantaranya. Proglotid gravid Hymenolepis nana
akan pecah didalam usus penderita dan mengeluarkan telur yang segera menjadi infektif bila
dikeluarkan bersama feses penderita. Manusia tertular jika memakan telur cacing ini. Di dalam usus
halus, telur akan menetas menjadi oncospher dan menembus villi usus halus serta akan kehilangan
kaitnya. Selanjutnya dalam 4 hari kemudian akan menjadi larva cysticercoid. Larva ini terdapat pada
tunica propria usus halus penderita. Beberapa hari kemudian larva ini akan kembali ke lumen usus
penderita untuk menjadi dewasa dalam waktu 2 minggu. ( Neva A and Brown HW, 1994 ; Duerden BI,
1987).
Dalam 30 hari setelah infeksi, dapat ditemukan telur dalam tinja hospes. Kadang-kadang
telur dapat menetas di dalam lumen usus halus penderita kemudian oncospher akan menembus villi
usus dan siklus hidupnya akan berulang kembali. Cara infeksi yang demikian ini disebut sebagai
autoinfeksi interna yang dapat memperberat infeksi sehingga memungkinkan terjadi reinfeksi pada
individu yang sama. (Neva A and Brown HW, 1994 ; Joklik WK, 1996).
e. Epidemiologi
Hymenolepis nana tersebar secara kosmopolitan diseluruh dunia terutama di daerah sub
tropis maupun tropis serta lebih banyak terjadi didaerah panas daripada di daerah dingin.
(Maegraith B, 1985)
Kejadian Hymenolepiasis nana sering terjadi pada para imigran yang berasal dari daerah
kering dan biasanya infeksi pada penderitanya bersifat asymtomatis. (Strickland GT, 1984).
Hymenolepis nana adalah cacing pita kerdil yang merupakan parasit paling sering dijumpai
pada manusia khususnya di Asia. Karena siklus hidupnya secara langsung, maka memungkinkan
penularannya dari manusia ke manusia dengan cepat dapat terjadi. Parasit ini merupakan cacing pita
terkecil serta satu-satunya cacing pita yang tidak memerlukan induk semang antara / intermediate
Anak-anak lebih sering terinfeksi Hymenolepis nana daripada orang dewasa terutama pada
anak-anak usia 8 tahun. Pada tahun 1942 diperkirakan lebih dari 20 juta orang terinfeksi oleh cacing
pita ini, survey menunjukkan bahwa angka kejadiannya berkisar antara 0,2 – 3,7 %, walaupun pada
daerah tertentu angka kejadiannya mencapai 10 % pada anak-anak yang menderita akibat infeksi
oleh cacing pita ini. Namun menurut Markell, gambaran prevalensinya saat ini belum diketahui
secara pasti. ( Neva A and Brown HW,1994 ; Joklik WK et al,1996 ; Markell EK et al,1992)
Prevalensi infeksi cacing pita ini tinggi pada daerah dengan kondisi hygiene pribadi dan
lingkungan yang kurang baik. Infeksi lebih sering terjadi di dalam lingkungan keluarga ataupun di
dalam suatu institusi dari pada di dalam populasi yang besar. (Strickland GT, 1984).
Infeksi oleh cacing ini sering terjadi pada anak-anak dengan keadaan malnutrisi dan status
imunodefisiensi. Infeksi mungkin mulai terjadi pada awal tahun kehidupannya tetapi gejala klinisnya
Infeksi terjadi secara langsung melalui tangan ke mulut, atau infeksi dapat terjadi karena
menelan telur cacing yang mengkontaminasi makanan atau minuman. Kebiasaan yang kurang sehat
dari anak-anak menyebabkan prevalensi infeksinya cukup tinggi pada anak-anak. ( Chin J, 2006 :
Manusia merupakan sumber infeksi yang paling penting bagi manusia lainnya, walaupun
tikus dan mencit juga dapat menjadi sumber infeksi dari cacing pita ini. Penularan melalui ingesti
feses rodent yang mengandung telur cacing pita ini lebih sering terjadi dari pada melalui ingesti
kumbang yang terinfeksi. Autoinfeksi dapat terjadi akibat infestasi dari ratusan cacing pita ini pada
Manusia merupakan reservoar alamiah dan penularan biasanya terjadi secara langsung dari
manusia ke manusia lainnya dengan cara ingesti telur yang ada dalam feces penderita. Walaupun
penularan melalui makanan dan minuman dapat juga terjadi, tetapi hal tersebut jarang dijumpai
karena telur cacing pita ini mempunyai daya tahan yang rendah diluar hostnya. Larva dari flea dan
kumbang dapat terinfeksi setelah ingesti telur cacing pita ini dan berkembang menjadi cisticercoid di
f. Distribusi Geografi
Daerah penyebaran Hymenolepis nana antara lain adalah Mesir, Sudan, Thailand, India,
Jepang, Amerika Selatan yaitu Brazilia dan Argentina, Eropa Selatan yaitu Portugal, Spanyol dan
Perubahan patologis akibat Hymenolepiasis nana tergantung pada intensitas infeksi, status
imunologis hospes dan adanya penyakit-penyakit lain yang menyertainya. Akibat infeksi dari cacing
ini biasanya tidak menimbulkan kerusakan pada mukosa usus tetapi dapat terjadi desquamasi sel
epithel dan nekrosis pada tempat perlekatan cacing dewasa, sehingga dapat menimbulkan enteritis
Infeksi yang ringan biasanya tidak menimbulkan gejala klinis /asymptomatis atau hanya
timbul gangguan pada perut yang terlihat kurang nyata. Pada infeksi yang berat akibat infestasi lebih
dari 1000 cacing, terutama pada anak-anak yang biasanya merupakan autoinfeksi interna dapat
menimbulkan gejala berupa kurangnya nafsu makan, penurunan berat badan, nyeri epigastrium,
nyeri perut dengan atau tanpa diare yang disertai darah, mual, muntah, pusing, toxaemia, pruritus
anal, uticaria serta gangguan syaraf misalnya irritabilitas, konvulsi dan kegelisahan. (Brown HW,
1994 ; Joklik WK, 1996; Maegraith B, 1985; Manson-Bahr PEC and Bell DR, 1987; Ghaffar A and
Brower G, 2010; Roberts L and Janovy Jr, 2000; Markell EK, 1992; Strickland GT, 1984)
Hymenolepiasis nana yang berat pada anak – anak dapat menimbulkan asthenia, penurunan
Berat badan, hilangnya nafsu makan, insomnia, nyeri perut disertai diare, muntah , pusing , gangguan
saraf serta reaksi alergi pada anak yang sensitive. Anemia sekunder dan eosinofilia antara 4-16%
kemungkinan dapat pula terjadi. Pada anak – anak juga sering terjadi autoinfeksi interna sehingga
dimungkinkan terjadi infeksi berat yaitu diare bercampur darah, sakit perut dan gangguan sistemik
h. Diagnosis
Gejala klinis pada Hymenolepiasis nana biasanya tidak jelas sehingga diagnosa penyakit ini
tergantung pada pemeriksaan laboratorium dengan ditemukannya telur dalam feses penderita.
Proglotid biasanya tidak ditemukan di dalam feses, karena telah mengalami desintegrasi di dalam
usus sebelum dikeluarkan. Bila ditemukan cacing dewasa dalam feses, indentifikasi dilakukan pada
bagian scolexnya yang berbeda dengan cacing pita yang lain. (Joklik WK, 1996)
Diagnosa pasti terhadap Hymenolepiasis nana dapat ditegakkan dengan menemukan telur
yang mempunyai gambaran khas pada feces penderita. Telur Hymenolepis nana dapat dibedakan
dengan telur Hymenolepis diminuta, karena telur Hymenolepis nana ukurannya relatif lebih kecil dan
mempunyai 4-8 filamen yang disebut sebagai polar filament, sedangkan telur Hymenolepis diminuta
ukurannya relatif lebih besar dan tidak mempunyai polar filament. (Markell B, 1992)
i. Pengobatan
Sebagai obat pilihan dapat diberikan Niclosamide /Yomesan dengan dosis 2,0 gram,
dikunyah, sekali sehari diberikan selama 5-7 hari. Obat lain yaitu Praziquantel peroral dengan dosis
tunggal 15 mg/kg barat badan diberikan setelah makan pagi. Praziquantel ternyata cukup toleran dan
berhasil lebih baik daripada niclosamide. Obat ini akan menimbulkan pembentukan vakuola pada
Obat lain yang dapat digunakan adalah Paramomysin dan Quinacrine walaupun dalam hal ini
Paramomysin kurang efektif, sedangkan Quinacrine sedikit bersifat toxic. (Joklik WK,1996; Markell EK
et al, 1992).
j. Pencegahan
Infeksi oleh cacing pita ini umumnya terjadi secara langsung dari tangan ke mulut. Pada
manusia infeksi selalu disebabkan oleh telur yang tertelan dari benda yang terkontaminasi tanah,
dari tempat-tempat defekasi atau langsung dari anus ke mulut. ( Juni, 2006 )
Karena penularan cacing pita ini secara langsung dan manusia sebagai sumber infeksi utama
maka pencegahannya agak sulit dilakukan. Untuk menekan dan menghindari infeksi cacing pita ini,
perlu meningkatkan kebersihan lingkungan, kebersihan perorangan terutama pada keluarga besar,
meningkatkan kesadaran dan higienes pada anak-anak, mengobati penderita sehingga tidak menjadi
sumber penularan serta memberantas hospes reservoar sebagai sumber infeksi seperti tikus dan
hewan pengerat lainnya. (Brown HW, 1994 ; Joklik WK et al, 1996; Onggowaluyo JS, 2002)
a. Pengertian
Enterobiasis merupakan infeksi cacing yang terbesar dan sangat luas dibandingkan dengan
infeksi cacing lainnya. Hal inidisebabkan karena adanya hubungan yang erat antara parasit ini dengan
manusiadan lingkungan sekitarnya. Parasit ini lebih banyak didapatkan diantara kelompok dengan
tingkat sosial yang rendah, tetapi tidak jarang ditemukan pada orang-orang dengan tingkat sosial
b. Klasifikasi Ilmiah
Kingdom : Animalia
Filum : Nematoda
Kelas : Secernentea
Ordo : Oxyurida
Famili : Oxyuridae
Genus : Oxyuris
c. Morfologi
Cacing betina berukuran 8-13 x 0.4 mm. Pada ujung anterior ada pelebaran kutikulum seperti
sayap yang disebut alae. Ekornya panjang dan runcing. Uterus cacing betina berbentuk gravid yang
melebar dan penuh dengan telur. Cacing jantan berukuran 2-5 mm, juga mempunyai sayap dan
ekornya melingkar sehingga bentuknya seperti tanda tanya. Cacing betina yang gravid mengandung
11.000-15.000 butir telur. Telur berbentuk lonjong dan lebih datar pada satu sisi (asimetris). Dinding
telur bening dan agak lebih tebal dari dinding telur cacing tambang. ( Ganong, 2003 )
Gambar 2.5. Cacing Oxyuris vermivularis betina
( sumber : http://biologidewi.blogspot.com/2011/12/nemathelminthes.html )
d. Siklus Hidup
Cacing dewasa betina mengandung banyak telur pada malam hari dan akan melakukan
migrasi keluar melalui anus ke daerah perianal dan perinium. Migrasi ini disebut Nocturnal migration.
Telur-telur jarang dikeluarkan di usus sehingga jarang ditemukan di dalam tinja. Di daerah perinium
tersebut cacing-cacing ini bertelur dengan cara kontraksi uterus,kemudian telur melekat di daerah
tersebut. Telur dapat menjadi larva infektif pada tempat tersebut, terutama pada temperatur optimal
23-26 ºC dalam waktu 6 jam. Telur resisten terhadap desinfektan dan udara dingin. Dalam keadaan
lembab telur dapat hidup sampai 13 hari. Waktu yang diperlukan untuk daur hidupnya, mulai dari
tertelannya telur matang sampai menjadi cacing dewasa gravid yang bermigrasi ke daerah perianal,
Infeksi cacing kremi terjadi bila menelan telur matang, atau bila larva dari telur yang menetas
di daerah perianal bermigrasi kembali ke usus besar. Bila telur matang yang tertelan,telur menetas di
duodenum dan larva rabditiform berubah dua kali sebelum menjadi dewasa di yeyunum dan bagian
atas ileum. Infeksi cacing kremi dapat sembuh sendiri. Bila tidak adareinfeksi, tanpa pengobatanpun
Penularan cacing ini tidak merata pada lapisan masyarakat melainkan menyebar pada suatu
keluarga atau kelompok-kelompok yang hidup dalam satu lingkungan yang sama. Enterobiasis sering
menyerang anak-anak usia 5-14 tahun. Udara yang dingin, lembab dan ventilasi yang jelek
merupakan kondisi yang baik bagi pertumbuhan telur. Habitat cacing dewasa biasanya di rongga
sekum, usus besar dan di usus halus yang berdekatan dengan rongga sekum. Makanannya adalah isi
dari usus.Manusia merupakan satu-satunya hospes definitif. E.vermicularis dan tidak diperlukan
f. Epidemiologi
Insiden cacing Enterobius vermicularis tinggi di negara-negara barat terutama di USA yang
mencapai 35-41%. Pada daerah tropis insiden lebih sedikit oleh karena cukupnya sinar matahari,
udara panas, kebiasaan ke WC dimana sehabis defekasi dicuci dengan air tidak dengan kertas toilet.
Akibat dari hal tersebut pertumbuhan telur menjadi terhambat sehingga dapat dikatakan penyakit ini
tidak berhubungan dengan keadaan sosial ekonomi tetapi lebih dipengaruhi oleh iklim dan kebiasaan
Enterobiasis sering tidak menimbulkan gejala (asimptomatis). Cacing betina gravid, sering
mengembara dan bersarang di vagina serta tuba fallopi. Cacing ini di tuba fallopi dapat menyebabkan
salphyngitis. Kondisi ini sangat berbahaya, terutama pada wanita usia subur, sebab dapat
menyebabkan kemandulan, akibat buntunya saluran tuba. Cacing juga sering ditemukan di appendix.
Hal ini bisa menyebabkan apendisitis, meskipun jarang di temukan. ( Kus, 2009 )
g. Gejala Klinis
1. Kurang tidur (biasanya karena rasa gatal yang timbul pada malam hari ketika cacing betina
2. Rewel (karena rasa gatal dan tidurnya pada malam hari terganggu)
3. Nafsu makan berkurang, berat badan menurun (jarang terjadi, tetapi bisa terjadi pada infeksi
yang berat)
4. Rasa gatal atau iritasi vagina (pada anak perempuan, jika cacing dewasa masuk ke dalam
vagina)
5. Kulit di sekitar anus menjadi lecet, kasar, atau terjadi infeksi (akibat penggarukan).
( Carpenito, 2007 )
Oleh karena cacing bermigrasi ke daerah anus dan menyebabkan pruritis ani, maka penderita
menggaruk daerah sekitar anus sehingga timbul luka garuk disekitar anus. Keadaan ini sering terjadi
pada waktu malam hari hingga penderita terganggu tidurnya dan menjadi lemah. Kadang-kadang
cacing dewasa muda dapat bergerak ke usus halus bagian proksimal sampai ke lambung, esophagus
1. Penularan dari tangan ke mulut penderita sendiri (auto infection) atau pada orang lain sesudah
memegang benda yang tercemar telur infektif misalnya alas tempat tidur atau pakaian dalam
penderita.
2. Melalui pernafasan dengan menghisap udara yang tercemar telur yang infektif.
3. Penularan secara retroinfeksi yaitu penularan yang terjadi pada penderita sendiri, oleh karena larva
yang menetas di daerah perianal mengadakan migrasikembali ke usus penderita dan tumbuh
h. Diagnosis
Cara memeriksa Enterobiasis yaitu dengan menemukan adanya cacing dewasa atau telur dari
Cacing dewasa
Cacing dewasa dapat ditemukan dalam feses, dicuci dalam larutan NaCl agak panas,
kemudian dikocok sehingga menjadi lemas, selanjutnya diperiksa dalam keadaan segar atau
Telur cacing
Telur E. vermicularis jarang ditemukan didalam feses, hanya 5% yang positif pada orang-
orang yang menderita infeksi ini. Telur cacing E. vermicularis lebih mudah ditemukan dengan teknik
pemeriksaan khusus, yaitu dengan menghapus daerah sekitar anus dengan “Scotch adhesive tape
swab”. (Brown HW, 1994 ; Joklik WK et al, 1996; Onggowaluyo JS, 2002)
i. Pengobatan
Infeksi cacing kremi dapat disembuhkan melalui pemberian dosis tunggal obat anti-parasit
mebendazole, albendazole atau pirantel pamoat. Seluruh anggota keluarga dalam satu rumah harus
meminum obat tersebut karena infeksi ulang bisa menyebar dari satu orang kepada yang lainnya.
( Juni, 2006 )
Untuk mengurangi rasa gatal, bisa dioleskan krim atau salep anti gatal ke daerah sekitar anus
Meskipun telah diobati, sering terjadi infeksi ulang karena telur yang masih hidup terus
dibuang ke dalam tinja selama seminggu setelah pengobatan. Pakaian, seprei dan mainan anak
sebaiknya sering dicuci untuk memusnahkan telur cacing yang tersisa. ( Mitchel, 2008 )
j. Pencegahan
• Mencuci tangan sebelum makan dan setelah buang air besar
• Memotong kuku dan menjaga kebersihan kuku
• Mencuci seprei minimal 2 kali/minggu
• Membersihkan jamban setiap hari
• Menghindari penggarukan daerah anus karena mencemari jari-jari tangan dan setiap
benda yang dipegang / disentuhnya. (Brown HW, 1994 ; Joklik WK et al, 1996; Onggowaluyo JS, 2002)
a. Morfologi
Telur cacing tambang sulit dibedakan, karena itu apabila ditemukan dalam tinja disebut
sebagai telur hookworm atau telur cacing tambang. Telur cacing tambang besarnya ±60 x 40 mikron,
berbentuk oval, dinding tipis dan rata, warna putih. Di dalam telur terdapat 4-8 sel. Dalam waktu 1-
1,5 hari setelah dikeluarkan melalui tinja maka keluarlah larva rhabditiform. Larva pada stadium
rhabditiform dari cacing tambang sulit dibedakan. Panjangnya 250 mikron, ekor runcing dan mulut
terbuka. Larva pada stadium filariform (Infective larvae) panjangnya 600-700 mikron, mulut tertutup
ekor runcing dan panjang oesophagus 1/3 dari panjang badan. (Gandahusada , 2006 )
b. Hospes
c. Daur Hidup
Daur hidup cacing tambang adalah sebagai berikut : telur cacing akan keluar bersama tinja,
setelah 1–1,5 hari dalam tanah, telur tersebut menetas menjadi larva rabditiform. Dalam waktu
sekitar 3 hari larva tumbuh menjadi larva filariform yang dapat menembus kulit dan dapat bertahan
hidup 7–8 minggu di tanah. Setelah menembus kulit, larva ikut aliran darah ke jantung terus ke paru-
paru. Di paru-paru menembus pembuluh darah masuk ke bronchus lalu ke trachea dan laring. Dari
laring, larva ikut tertelan dan masuk ke dalam usus halus dan menjadi cacing dewasa. Infeksi terjadi
bila larva filariform menembus kulit atau ikut tertelan bersama makanan. (Kementerian Kesehatan
RI, 2006)
d. Distribusi Geografik
Telur cacing ini juga dapat ditemukan di daerah tropis dan subtropis antara 300 C utara dan
e. Patofisiologi
Cacing tambang hidup dalam rongga usus halus tapi melekat dengan giginya pada dinding
usus dan menghisap darah. Infeksi cacing tambang menyebabkan kehilangan darah secara perlahan-
lahan sehingga penderita mengalami kekurangan darah (anemia) akibatnya dapat menurunkan
belajar kurang, pucat, rentan terhadap penyakit, prestasi kerja menurun dan anemia (anemia
hipokrom micrositer). Disamping itu juga terdapat eosinofilia. (Kementerian Kesehatan RI, 2006)
g. Epidemiologi
di perkebunan atau pertambangan. Cacing ini menghisap darah hanya sedikit namun luka-luka
gigitan yang berdarah akan berlangsung lama, setelah gigitan dilepaskan dapat menyebabkan anemia
yang lebih berat. Kebiasaan buang air besar di tanah dan pemakaian tinja sebagai pupuk kebun
sangat berperan dalam penyebaran infeksi penyakit ini (Gandahusada, 1998). Tanah yang baik untuk
pertumbuhan larva adalah tanah gembur (pasir, humus) dengan suhu optimum 32 oC – 38oC. Untuk
menghindari infeksi dapat dicegah dengan memakai sandal atau sepatu bila keluar rumah
a. Klasifikasi Ilmiah
Phylum : Nemathelminthes
Kelas : Nematoda
Ordo : Strongylida
b. Morfologi
Cacing betina berukuran panjang kurang lebih 1 cm, cacing jantan kurang lebih 0,8 cm. Setiap
cacing betina dapat bertelur 9000 ekor per hari. Cacing dewasa jantan berukuran 8 sampai 11 mm.
Sedangkan betina berukuran 10 sampai 13 mm. Bentuk badan Necator Americanus biasanya
berbentuk silindris menyerupai huruf S berwarna putih keabuan. Necator Americanus mempunyai
benda kitin, sedangkan pada Ancylostoma duodenale ada dua pasang gigi. Cacing jantan mempunyai
( sumber : www.cacing-perut-kremi-dan-cambuk.com )
c. Siklus Hidup
Cacing Tambang Cacing dewasa di dalam usus halus manusia, kemudian telur keluar bersama
feses dan mengalami embrionisasi di tanah . Di tempat lembab dan becek, telur menetas menjadi
larva yang disebut rhabditiform (tidak infektif). Kemudian larva ini berubah menjadi filariform
(infektif) yang dapat menembus kulit kaki dan masuk ke dalam tubuh manusia mengikuti aliran
darah, menuju jantung, paru - paru, faring, tenggorok, kemudian tertelan dan masuk ke dalam usus
(migrasi paru, maturasi pada manusia lebih kurang 35 hari) . Di dalam usus, larva menjadi cacing
dewasa yang siap menghisap darah kembali. Selain dengan cara infeksi aktif, dapat pula terjadi infeksi
pasif yaitu bila kista (larva berdinding tebal) tertelan bersama makanan (Soedarto, 1996 )
d. Distribusi Geografik
Necator americanus dibawa dari Afrika dan kini tersebar sampai ke Amerika Serikat. (Volk
e. Epidemiologi
Cacing dewasa hidup dirongga usus halus dengan mulut yang besar melekat pada
mukosa dinding usus. Cacing betina Necator americanus tiap hari mengeluarkan telur kura – kura
Penyebaran parasit pada waktu ini disebabkan oleh migrasi penduduk dan meluas ke
daerah tropik dan sub tropik. Diperkirakan bahwa cacing tambang diseluruh dunia menghinggapi 700
juta orang, menyebabkan kehilangan darah sejumlah 7 juta liter sehari, yaitu jumlah darah lebih dari
sejuta manusia, sebanyak darah orang – orang yang berdiam di Washington, Taipeh atau Bangkok.
f. Diagnosa
Diagnosa pasti untuk infeksicacing tambang dengan cara menemukan telur, larva atau cacing
dewasa pada faeces yang dapat diperiksa secara langsung maupun konsentrasi. ( Juni, 2006 )
g. Gejala Klinis
Cacing tambang ini menyebabkan penyakit nekatoriasis dan ankilostomiasis, yang membuat
penderita mengalami anemia berat, keletihan, menurunnya berat badan, rentan pada infeksi, dan
diare berdarah. Gejala yang ditimbulkan cacing dewasa atau larvanya. Bila larva infektif menembus
kulit dapat terjadi gatal-gatal. Bila jumlah larva infektif yang masuk banyak , maka dalam beberapa
jam saja akan terjadi reaksi alergi terhadap cacing yang menimbulkan warna kemerahan, berupa
panel yang dapat menjadi vesikel. Reaksi ini disebut “ground itch” (Poespoprodjo, 1999).
Bila larva infektif A. duodenale tertelan, maka sebahagian akan menuju ke usus dan tumbuh
menjadi dewasa. Sebahagian lagi akan menembus mukosa mulut, faring dan melewati paru - paru
seperti larva menembus kulit. Cacing dewasa N. americanus yang menghisap darah penderita akan
menimbulkan kekurangan darah sampai 0,1 cc per hari, sedangkan seekor cacing dewasa A.
duodenale dapat menimbulkan kekurangan darah sampai 0,34 cc per hari (Ginting, 2003).
BAB III
Metode Praktikum
A. Alat
2. Kertas Gambar A4
Digunakan sebagai media atau tempat menggambar hasil pengamatan telur dan cacing
3. Alat Tulis
Digunakan sebagai alat bantu untuk menggambar hasil pengamatan jamur dan bakteri, seperti pensil,
4. Pensil Warna
B. Bahan
1. Preparat Awetan
A. Hasil
Dx Penyakit : Strongiloidiasis
Perbesaran : 40 x 10
Berisi : Mirasidium
Perbesaran : 40 x 10
Perbesaran : 40 x 10
Perbesaran : 40 x 10
Perbesaran : 100 x 10
Berdinding Tipis
Perbesaran : 40 x 10
Perbesaran : 100 x 10
B. Pembahasan.
mikroskop dengan perbesaran 40 x 10, karena cacing tidak terlihat jelas apabila dilihat dengan mata
telanjang.
Berdasarkan hasil pengamatan, bentuk cacing Strongyloides stercoralis dewasa betina adalah
lonjong, tipis, panjang dan pada bagian ekor terlihat melengkung seperti ada pengait untuk parasiter.
Selain itu, Cacing Strongyloides stercoralis berwarna coklat atau kuning keemasan . Pada cacing
Pada pengamatan telur Clonorchis sinensis, saya meneliti menggunakan mikroskop dengan
perbesaran 40 x 10, karena telur cacing tidak terlihat jelas apabila dilihat dengan mata telanjang.
Berdasarkan hasil pengamatan, bentuk telur Clonorchis sinensis adalah bulat, pipih, lonjong
seperti kendi atau telur ayam, serta di sekelilingnya terdapat bagian – bagian seperti pulau – pulau
kecil dan bulatan – bulatan hitam. Selain itu, telur Clonorchis sinensis berwarna kuning keabuan,
serta kecoklatan. Di dalam telur Clonorchis sinensis juga terlihat adanya cairan mirasidium yang
Pada pengamatan telur Fasciola hepatica dewasa, saya meneliti menggunakan mikroskop
dengan perbesaran 40 x 10, karena telur cacing tidak terlihat jelas apabila dilihat dengan mata
telanjang.
Berasarkan hasil pegamatan, bentuk telur Fasciola hepatica dewasa adalah bulat, namun
sedikit tidak teratur seperti operkulum. Selain itu, juga terdapat serabut – serabut halus yang
mengelilinginya. Warna dari telur itu adalah hijau tua keabuan. Di dalam telur Fasciola hepatica
dewasa juga terlihat adadnya morula yang berbentuk kecil – kecil dan tidak teratur di dalam telur,
Pada pengamatan telur Hymenolepis nana, saya meneliti menggunakan mikroskop dengan
perbesaran 40 x 10, karena telur cacing tidak terlihat jelas apabila dilihat dengan mata telanjang.
Berdasarkan hasil pengamatan, bentuk telur Hymenolepis nana adalah bulat seperti bulan,
serta ada juga di sekeliling telur itu yang berbentuk bujur panjang dan tipis. Selain itu, warna dari
telur Hymenolepis nana tersebut adalah kuning bening serta ada sedikit bagian yang berwarna biru.
Di dalam telur Hymenolepis nana juga terlihat adanya embrio heksakan yang berbentuk bulat
Pada pengamatan cacing Oxyuris vermicularis betina, saya meneliti menggunakan mikroskop
dengan perbesaran 100 x 10, karena cacing tidak terlihat jelas apabila dilihat dengan mata telanjang.
Berdasarkan hasil pengamatan, bentuk cacing Oxyuris vermicularis betina adalah lonjong,
panjang dan bagian ujungnya lancip. Warna dari cacing Oxyuris vermicularis betina yaitu coklat tua
pada bagian dalam dan coklat muda pada bagian luar. Selain itu, di dalam cacing juga terlihat seperti
bagian dalam atau organ dari cacing Oxyuris vermicularis betina. Pada cacing Oxyuris vermicularis
Pada pengamatan telur cacing tambang, saya meneliti menggunakan mikroskop dengan
perbesaran 40 x 10, karena telur cacing tidak terlihat jelas apabila dilihat dengan mata telanjang.
Berdasarkan hasil pengamatan, bentuk telur cacing tambang adalah bulat lonjong, tipis serta
dikelilingi oleh bagian telur seperti pulau – pulau kecil atau kerak. Warna dari telur cacing tambang
adalah merah muda kemerahan. Selain itu, di dalam telur cacing Oxyuris vermicularis betina juga
terlihat beberapa sel yang berbentuk bulat tidak teratur menyebar di dalam telur.
Pada pengamatan cacing Necator americanus dewasa, saya meneliti menggunakan mikroskop
dengan perbesaran 100 x 10, karena cacing tidak terlihat jelas apabila dilihat dengan mata telanjang.
Berdasarkan hasil pengamatan, bentuk cacing Necator americanus dewasa yaitu silindris
panjang, dan tegak. Menurut hasil pengamatan, saya meneliti jika bagian yang nampak pada
mikroskop adalah bagian punggung atau bawah cacing Necator americanus dewasa. Warna dari
cacing Necator americanus dewasa adalah coklat tua pada bagian luar dan coklat muda pada bagian
dalam. Selain itu, pada bagian luar cacing Necator americanus dewasa dikelilingi oleh pulau – pulau
kecil berbentuk lingkaran yang tidak teratur berwarna coklat tua. Cacing Necator americanus dewasa
juga diketahui menyebabkan penyakit ankilostomiasis dan nekatorisis. Bentuk telur Fasciola hepatica
dewasa adalah bulat, namun sedikit tidak teratur seperti operkulum berwarna hijau tua keabuan,
terdapat serabut – serabut halus yang mengelilinginya. Bentuk telur cacing tambang adalah bulat
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan, bentuk morfologi, struktur tubuh dan
gejala klinis dari telur dan cacing dari sebagian cacing yang diamati. Karena masing – masing telur
Bentuk cacing Strongyloides stercoralis dewasa betina adalah lonjong, tipis, panjang, berwarna
coklat atau kuning keemasan. Bentuk telur Clonorchis sinensis adalah bulat, pipih, lonjong seperti
kendi atau telur ayam berwarna kuning keabuan, serta kecoklatan. Bentuk telur Hymenolepis nana
adalah bulat seperti bulan, serta ada juga di sekeliling telur itu yang berbentuk bujur panjang dan
tipis. Bentuk cacing Oxyuris vermicularis betina adalah lonjong, panjang dan bagian ujungnya lancip.
Berwarna coklat tua pada bagian dalam dan coklat muda pada bagian luar. Bentuk cacing Necator
americanus dewasa yaitu silindris panjang, dan tegak berwarna coklat tua pada bagian luar dan
http://iddamahfiroh.blogspot.com/2013/04/laporan-praktikum-cacing.html
Parasit merupakan kelompok biota yang pertumbuhan dan hidupnya bergantung pada
makhluk lain yang dinamakan inang. Inang dapat berupa binatang atau manusia. Menurut cara
hidupnya, parasit dapat dibedakan menjadi ektoparasit dan endoparasit. Ektoparasit adalah jenis
parasit yang hidup di permukaan luar tubuh, sedangkan endoparasit adalah parasit yang hidup di
dalam organ tubuh inangnya. Parasit yang hidup pada inangnya dalam satu masa/tahapan
pertumbuhannya seluruh masa hidupnya sesuai masing-masing jenisnya (Setyorini dan
Purwaningsih, 1999).
Cacing ascaris lumbricoides merupakan jenis cacing gilig penyebab ascariasis pada manusia
maupun hewan diseluruh dunia. Kejadian ascariasis sangat tinggi pada daerah tropis dan sub tropis
cacing ini berparasit pada usus halus, infeksi dapat terjadi melalui pakan, air minum, melalui
kolostrum dan uterus ( Levine, 1990 ).
VI. Alat Dan Bahan
1. Batang pengaduk
2. Cover glass
3. Mikroskop
4. Objek gelas
5. Pipet tetes
6. Rak tabung
7. Tabung reaksi
1. Aquadest
2. Garam dapur atau Kristal NaCl
3. Tinja
4. Tisu
A. Makroskopis
1. Bau : Khas
2. Warna : Kuning kecoklatan
3. Lendir : Tidak ada
4. Konsistensi : Padat
5. Darah : Tidak ada
B. Mikroskopis
1. Telur : Negatif ( - )
2. Larva : Negatif ( - )
3. Eritrosit : Negatif ( - )
4. Leukosit : Negatif ( - )
5. Epitel sel : Positif ( + )
6. Serat makanan : Positif ( + )
7. Granula pati : Positif ( + )
8. Tetesan minyak : Positif ( + )
9. Gelembung udara : Positif ( + )
C. Garmbar
Keterangan gambar :
1. trichuris trichiura
IX. Pembahasan
Pemeriksaan parasit dengan sampel feses pada manusia atau hospes dapat dilakukan dengan
pemeriksaan kualitatif dan kuantitatif. Pemeriksaan feses secara kualitatif yaitu pemeriksaan yang
didasarkan pada ditemukannya telur pada masing – masing metode pemeriksaan tanpa dihitung
jumlahnya. Metode pemeriksaan yang termasuk dalam pemeriksaan kualitatif adalah pemeriksaan
metode apung ( fluotasi ).
Pada praktikum ini metode yang digunakan yaitu metode pengapungan atau fluotasi. Pada
metode ini menggunakan larutan NaCl jenuh atau larutan gula jenuh dan terutama dipakai untuk
pemeriksaan feses yang sedikit telur.
Cara kerjanya didasarkan atas berat jenis telur yang lebih ringan dari pada berat jenis larutan
yang digunakan, sehingga telur – telur terapung dipermukaan dan juga untuk memisahkan partikel –
partikel yang besar yang terdapat dalam feses. Pemeriksaan ini hanya berhasil untuk telur – telur
nematode.
Sampel yang digunakan dalam praktikum ini yaitu tinja yang diambil langsung dari manusia
dengan criteria tertentu sekitar 5 – 6 jam sebelum praktikum. Penggunaan tinja dalam praktikum
sebesar biji kelereng dan langsung dimasukkan ke dalam larutan NaCl yang disimpan dalam tabung
reaksi kemudian dilarutkan sampai tidak ada feses yang menumpuk.
Pada permukaan tabung reaksi diletakkan cover glass sampai menyentuh permukaan larutan
emulsi dan dibiarkan kurang lebih 3 menit tujuannya agar telur cacing nematode mengendap ke atas
dan menempel pada cover glass. Jika pada proses pendiaman terlalu lama bisa menyebabkan telur
cacing kembali jatuh kedalam larutan. Akibatnya dapat menimbulkan hasil negative palsu.
Sertelah dilakukan pendiaman diambil cover glass dan diletakkan diatas objek gelas yang
bersih dan kering kemudian diperiksa dibawah mikroskop. Pada praktikum ini tidak didapatkan telur
cacing dan dapat dinyatakan bahwa negative terhadap infeksi parasit atau terdapat kesalahan dalam
pemeriksaan.
X. Kesimpulan
Setelah dilakukan pemeriksaan telur cacing nematode usus pada sampel tinja, tidak ditemukan
adanya telur cacing nematode usus yang menandakan bahwa sampel tidak terinfeksi parasit.
http://yazhid28bashar.blogspot.com/2013/07/laporan-praktikum-pemeriksaan-telur.html 01/04/14
1.08