Anda di halaman 1dari 68

Laporan Nematoda Usus dan Jaringan

BAB I
PENDAHULUAN

A. Parasitologi
Parasitologi adalah bidang ilmu yang sangat berhubungan dengan fenomena-
fenomena ketergantungan dari satu organisme terhadap yang lainnya. Parasitologi adalah
ilmu yang mempelajari organisme yang hidup untuk sementara atau menetap di dalam atau
pada permukaan organisme lain dengan maksud untuk mengambil sebagian atau seluruh
kebutuhan makanannya serta mendapat perlindungan dari organisme lain tersebut.
Organisme yang mengambil makanan serta mendapat perlindungan dari organisme
lain tersebut parasit (sites, artinya makanan parasit, artinya orang yang ikut makan),
sedangkan organisme yang mengandung parasit disebut hospes atau tuan rumah. Biasanya
organisme yang lebih besar merupakan hospes yang akan memberikan perlindungan serta
makanan pada organisme lainnya yang lebih kecil yang disebut parasit.
Hubungan timbal balik antara parasit dengan hospes yang berguna untuk
kelangsungan hidup parasit tersebut disebut parasitisme. Dapat disimpulkan bahwa
parasitologi merupakan suatu disiplin ilmu yang memepelajari parasit, hospes, lingkungannya
serta interaksi di antara komponen-komponen tersebut.

B. Tujuan
Laporan praktikum kali ini memiliki tujuan:
1. Untuk mengetahui morfologi Nematoda Usus dan Jaringan;
2. Untuk mengetahui epidemiologi Nematoda Usus dan Jaringan;
3. Untuk mengetahui diagnosa, pencegahan, dan pengobatan bila terkena Nematoda Usus dan
Jaringan;
4. Untuk memenuhi laporan tugas praktikum parasitologi.

C. Manfaat
Manfaat yang dapat kita petik adalah mengetahui ciri khas dari beberapa spesies
nematoda usus dan jaringan, morfologi, epidemiologi serta pencegahan dan diagnosa apabila
hospes yaitu manusia terkena parasit yang merugikan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Ascaris lumbricoides
a. Morfologi
Cacing jantan mempunyai ukuran 10-31 cm, ekor melingkar, dan memiliki 2 spikula.
Sedangkan cacing betina mempunyai ukuran 22-35 cm, ekor lurus, pada 1/3 bagian anterior,
dan memiliki cincin kopulasi. Baik cacing jantan, maupun betina memiliki mulut terdiri atas
tiga buah bibir.
Telur yang dibuahi berukuran ± 60 × 45 mikron, berbentuk oval, berdinding tebal
dengan tiga lapisan dan berisi embrio. Sedangkan telur yang tidak dibuahi berukuran ± 90 ×
40 mikron, berbentuk bulat lonjong atau tidak teratur, dindingnya terdiri atas dua lapisan dan
dalamnya bergranula. Selain itu terdapat pula telur decorticated, dimana telurnya tanpa
lapisan albuminoid yang lepas karena proses mekanik. (Pinardi Hadidjaja, dan Srisasi
Gandahusada, 2002)
Gambar 1.1 Telur Ascaris lumbricoides yang dibuahi

Gambar 1.2 Telur Ascaris lumbricoides yang tidak dibuahi

Gambar 1.3 Cacing Ascaris lumbricoides

Gambar 1.4 Mulut Ascaris lumbricoides

b. Siklus Hidup
Bentuk infektif bila tertelan oleh manusia, menetas di usus halus. Larvanya menembus
dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limfe, lalu dialirkan ke jantung,
kemudian mengikuti aliran darah ke paru-paru, larva di paru menembus dinding pembuluh
darah, lalu dinding alveolus, masuk rongga alveolus kemudian naik ke trakhea melalui
bronkiolus dan bronkus. Dari trakhea melalui larva ini menuju ke faring, sehingga
menimbulkan rangsangan pada faring. Di usus halus larva berubah menjadi cacing dewasa,
sejak telur matang sampai cacing dewasa bertelur diperlukan waktu kurang lebih dua bulan.
(Srisasi Gandahusada, 2006)

c. Patologi dan Gejala Klinik


Gejala yang timbul pada penderita dapat disebabkan oleh cacing dewasa dan larva.
Gangguan karena larva biasanya terjadi pada saat berada di paru. Pada orang yang rentan
terjadi perdarahan kecil pada dinding alveolus dan timbul gangguan paru yang disertai
dengan batuk, demam dan eosinofilia. Pada foto toraks tampak infiltrat yang menghilang
dalam waktu tiga minggu. Keadaan ini disebut Sindrom Loffler. Gangguan yang disebabkan
cacing dewasa biasanya ringan. Kadang-kadang penderita mengalami gejala gangguan usus
ringan seperti mual, nafsu makan berkurang, diare atau konstipasi.
Pada infeksi berat, terutama pada anak dapat terjadi mal absorbsi sehingga memperberat
keadaan malnutrisi. Efek yang serius terjadi bila cacing-cacing ini menggumpal dalam usus
sehingga terjadi obstruksi usus (ileus). Pada keadaan tertentu cacing dewasa mengembara ke
saluran empedu, apendiks, atau bronkus dan menimbulkan keadaan gawat darurat sehingga
kadang-kadang perlu tindakan operatif.
Diagnosa Laboratorium, dengan menemukan telur di dalam tinja. Selain itu diagnosis
dapat pula dibuat apabila cacing keluar sendiri baik melalui mulut, hidung, maupun tinja.
(Srisasi Gandahusada, Ilahude, Wita Pribadi, 2006)

d. Epidemiologi
1. Akibat larva
 Lokasi : Hepar dengan reaksi ringan dan pada paru-paru mempunyai reaksi berat dan
dapat terjadi: Bronchopncumonic dan Pneumonitis.
 Umum : Adanya reaksi imunitas (timbul Urticaria).
2. Akibat cacing dewasa
 Lokal : Obstruksi (mekanis) sampai dapat timbul: volvulus, invaginasi, ileus (bila
lebih dari 500 ekor cacing).
 Umum : Cacing dewasa mengeluarkan toksin atau racun, diduga: hemolytic, antipeptic,
antiryptic.

e. Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan cara menertibkan pembuangan feses, memberikan
pendidikan kesehatan mengenai higine, dan perbaikan keadaan sosial ekonomi.

B. Trichuris trichiura
a. Morfologi
Cacing jantan mempunyai panjang ± 4 cm, bagian anteriornya halus seperti cambuk,
dengan bagian ekor melingkar. Sedangkan cacing betina panjangnya ± 5 cm, bagian
anteriornya pun halus seperti cambuk, tetapi bagian ekor lurus berujung tumpul. Telurnya
mempunyai ukuran ± 50 x 22 mikron, bentuk seperti tempayan dengan ujung menonjol,
berdinding tebal dan berisi larva. (Pinardi Hadidjaja dan Srisasi Gandahusada, 2002)

Gambar 1.7 cacing dewasa Trichuris trichiura


b. Siklus Hidup
Telur yang dibuahi dikeluarkan dari hospes bersama tinja. Telur tersebut menjadi
matang dalam waktu 3-6 minggu dalam lingkungan yang sesuai, yaitu pada tanah yang
lembab dan tempat yang teduh. Telur matang ialah telur yang berisi larva dan merupakan
bentuk infektif. Cara infeksi langsung bila secara kebetulan hospes menelan telur matang.
Larva keluar melalui dinding telur dan masuk ke dalam usus halus. Sesudah menjadi dewasa
cacing turun ke usus bagian distal dan masuk ke daerah kolon, terutama sekum. Jadi cacing
ini tidak mempunyai siklus paru. Masa pertumbuhan mulai dari telur yang tertelan sampai
cacing dewasa betina meletakkan telur kira-kira 30-90 hari. (Srisasi Gandahusada,
Ilahude,Wita Pribadi, 2006)

c. Patologi dan Gejala Klinis


Cacing Trichuris trichuira pada manusia terutama hidup disekum, akan tetapi dapat juga
ditemukan di kolon asendens. Pada infeksi berat, terutama pada anak, cacing ini tersebar di
seluruh kolon dan rektum. Kadang-kadang terlihat di mukosa rektum yang mengalami
prolapsus akibat mengejannya penderita pada waktu defekasi. Cacing ini memasukkan
kepalanya ke dalam mukosa usus, hingga terjadi trauma yang menimbulkan iritasi dan
peradangan mukosa usus. Pada tempat perlekatannnya dapat terjadi perdarahan. Di samping
itu rupanya cacing ini mengisap darah hospesnya, sehingga dapat menyebabkan anemia.
Penderita terutama anak dengan infeksi Trichuris trichuira yang berat dan menahun,
menunjukkan gejala-gejala nyata seperti diare yang sering diselingi dengan sindrom disentri,
anemia, berat badan turun, dan kadang-kadang disertai prolapsus rektum. Infeksi berat
Trichuris trichuira sering disertai infeksi cacing lainnya atau protozoa. Infeksi ringan
biasanya tidak memberikan gejala klinis yang jelas atau sama sekali tanpa gejala. Parasit ini
ditemukan pada pemeriksaan tinja rutin. Diagnosa Laboratorium, dengan menemukan telur
di dalam tinja (Srisasi Gandahusada, Ilahude, Wita Pribadi, 2006)

d. Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan cara sanitasi lingkungan harus diperbaiki,
khususnya dalam pembuangan feses, sebelum makan tangan harus dicuci terlebih dahulu,
pada anak-anakperlu diberikan pendidikan higine, dan menerapi penderita yang baik.
C. Enterobius vermicularis
a. Morfologi
Cacing enterobius betina berukuran 8-13 mm × 0,4 mm. Pada ujung anteriornya
terdapat pelebaran seperti sayap yang disebut alae. Bulbus esophagus Nampak jelas, ekor
panjang dan runcing. Uterus cacing yang gravid melebar dan penuh telur. Seekor cacing
enterobius dapat bertelur hingga 11.000 – 15.000 butir telur.
Sedangkan cacing enterobius jantan berukuran 2-5 mm. cacing jantan memiliki ekor yang
melengkung yg berbentuk seperti tanda tanya.

b. Siklus Hidup
Setelah mengalami kopulasi di sekum -> cacing akan bergerak menuju anus -> bertelur di
anus -> menyebabkan gatal pd anus (pruritus ani) -> di garuk -> tidak cuci tangan -> telur
infektif tertelan -> menetas di duodenum -> dewasa di jejunum. Dapat juga telur infektif
menempel pd pakaian -> pakaian dijemur -> telur terbawa angin -> tertelan.
Daur hidup cacing ini berlangsung selama 2 minggu – 2 bulan.

Gambar 1.11 Siklus Hidup Cacing Enterobius vermicularis


c. Patologi dan Gejala Klinis
Gejala-gejala yang terdapat tergantung pada lokalisasi caing dewasa atau telurnya.
Perlekatan kepala cacing pada mukosa usus menimbulkan peradangan ringan oleh karena
perlekatan tersebut merupakan iritasi mekanis dan akan memberi gejala klinis: tak ada gejala,
nyeri perut, nausoa, vomiting, diare. Bila cacing terdapat dalam lumen usus jumlahya besar
dapat menimbulkan obstruksi usus.

d. Epidemiologi
a) Kejadian tinggi di negara-negara barat terutama USA 35-41%;
b) Merupakan penyakit keluarga;
c) Tidak merata di lapisan masyarakat;
d) Tersering diserang yaitu: anak-anak berumur 5-14 tahun;
e) Pada daerah tropis kejadian sedikit oleh karena cukupnya: sinar matahari, udara panas,
kebiasaan habis BAB mencuci menggunakan air tidak dengan kertas tisu. Akibat hal-hal
tersebut diatas, maka pertumbuhan telur terhambat oleh karena itu penyakit ini tidak
berhubungan dengan keadaan sosial ekonomi masyarakat, tetapi lebih dipengaruhi oleh iklim
dan kebiasaan.

D. Wuchereria bancrofti
a. Morfologi
Cacing dewasa berbentuk halus seperti benang, mempunyai kutikula halus, dan
ditemukan dalam kelenjar dan saluran limfe. Cacing jantan panjangnya kira-kira 40 mm dan
diameternya 0,1mm. Cacing betina panjangnya 80-100mm dan diameternya 0,24-0,30mm.
Guna melanjutkan siklus hidupnya, cacing dewasa betina menghasilkan mikrofilaria
bersarung. Panjang mikrofilarianya berkisar dari 244 sampai 296 µm serta aktif bergerak
dalam darah dan limfe. Mikrofilarianya bersarung dan inti badannya tidak sampai ujung ekor.
Pulasan seperti Giemsa, Wright, atau hemaktosilin Delafield telah digunakan untuk
membantu membedakan gambaran morfologi dalam menentukan spesies mikrofilaria.
Mikrofilaria yang dipulas panjangnya 245-300 µm dengan lebar 7- 8 µm, ruang pada kepala
(cephalic space) yaitu panjang = lebar, memiliki inti yang teratur, lekukan badan halus
dengan sarung berwarna pucat.
Pada banyak daerah di Indonesia, mikrofilaria Wuchereria bancrofti termasuk dalam tipe
periodik nokturna. Konsentrasi tertinggi mikrofilaria dalam peredaran darah yaitu pada
malam hari umumnya diantara jam 10 malam sampai jam 2-4 pagi.

b. Siklus Hidup
Hospes pelantara dari filaria, yaitu nyamuk mendapatkan infeksi dengan menelan
mikrofilaria dalam darah yang diisapnya. Mula-mula parasit ini memendek, bentuknya
menyerupai sosis dan disebut larva stadium I (L1) dalam waktu 3 hari. Dalam waktu kurang
lebih seminggu larva ini bertukar kulit tumbuh menjadi lebih gemuk dan panjang yang
disebut larva stadium II (L2). Pada hari ke 10-14 selanjutnya larva ini bertukar kulit sekali
lagi tumbuh makin panjang dan lebih kurus, disebut larva stadium III (L3) yang
merupakan bentuk infektif dan dapat dijumpai di dalam selubung probosis nyamuk. Larva
bermigrasi ke labela nyamuk dan masuk ke dalam kulit hospes definitive melalui luka
tusukan ketika sedang mengisap darah.
Dalam tubuh hospes definitive (manusia), larva L3 menembus lapisan dermis menuju
saluran limfe dan berkembang menjadi larva L4 dalam waktu 9-14 hari setelah infeksi. Larva
L4 kemudian berkembang menjadi cacing dewasa di dalam kelenjar limfe dan melakukan
kopulasi . Mikrofilaria akan dilepaskan oleh cacing betina yang gravid dan dapat dideteksi di
sirkulasi perifer dalam 8 sampai 12 bulan setelah infeksi. Dari saluran limfe, mikrofilaria
memasuki sistem vena lalu ke kapiler paru dan akhirnya memasuki sistem sirkulasi perifer.

c. Patologi dan Gejala Klinis


Gejala klinik yang berhubungan dengan infeksi Wuchereria bancrofti bervariasi dari
yang tidak menunjukan gejala sampai pasien dengan manifestasi klinik yang berat seperti
elephantiasis dan hidrokel (Partono, 1987). Patologi dan Gejala klinis filariasis bancrofti
dapat disebabkan oleh cacing dewasa maupun mikrofilaria. Namun, perubahan patologi yang
utama terjadi akibat kerusakan pada sistem limfatik yang disebabkan oleh cacing dewasa dan
bukan disebabkan oleh microfilaria. Mikrofilaria biasanya tidak menimbulkan kelainan,
namun dalam keadaan tertentu dapat menyebabkan occult filariasis. Patologi dan Gejala
klinik yang disebabkan oleh cacing dewasa dapat berupa limfadenitis dan limfangitis
retrograd pada stadium akut, hidrokel, kilurian, dan Limfedema (elephantiasis) yang
mengenai seluruh kaki atau lengan, skrotum, vagina dan payudara pada stadium kronis.

c. Epidemiologi
Wuchereria bancrofti terutama ditemukan didaerah tropis dan subtropis. Diperkirakan
bahwa 250 juta orang telah terinfeksi parasit ini, terutama di Asia Selatan dan Afrika sub-
Saharan. Di Asia, parasit ini endemik didaerah pedesaa dan perkotaan India, Srilanka, dan
Myanmar. Selain itu parasi ini juga ditemukan sedikit di daerah pedesaan Thailand dan
Vietnam. Di Indonesia, penyakit ini ditemukan dengan prevalensi rendah di Sumatera, Jaw,
Kalimantan, Sulawesi, dan Lombok (Soedarmo e al, 2008).

e. Pencegahan
Dapat dilakukan dengan terapi penerita, vektor control, melindungi diri dari gigitan
nyamuk

E. Brugia malayi
a. Morfologi
Bentuk cacing dewasa Brugia malayi hampir tidak dapat dibedakan dengan Wuchereria
bancrofti
 ukuran cacing jantan : 14-24 milimeter × 0,08 milimeter
 ukuran cacing betina : 44-55 milimeter × 0,15 milimeter
Mikrofilaria umumnya bersifat noctural periodicity. Berapa strain ada yang bersifat
subperiodic.
Ciri-ciri:
 bentuk seperti mikrofilaria bancrofti
 ukuran : 230 mikron × 6 mikron
 kurve tubuh biasanya mempunyai lekukan sekunder -> secondary kink (+)
 body nuclei padat, seolah-olah bertumpuk (overlaping)
 cephalic space ratio 2 : 1
 terminal nuclei ada 2 buah
 sheath; pada pengecatan Giemsa nampak jelas, berwarna ungu muda/pink

b. Siklus Hidup
Hospes Definitif : manusia
Mempunyai hospes cadangan (reservoir host) binatang domestik seperti kera, kucing, anjing.
Intermediate Host : Nyamuk betina darigenus Mansonia, Anopheles.
Siklus hidup dalam tubuh nyamuk rata-rata 6-l2 hari
Patogenitas :
 Menyebabkan limfangitis, limfadenitis dan elefantiasis terutama di extremitas bawah.
 Jarang terjadi elefantiasis scroti dan tak pernah menimbulkan chyluria.
Pencegahan :
 Mengobati penderita
 Kontrol/pemberantasan nyamuk, untuk nyamuk Mansoni dapat dilakukan dengan cara
merusak/menghancurkan tumbuh-tumbuhan air, seperti Pistia stratiotes.

F. Necator Americanus dan Ancylostoma Duodenale


a. Morfologi
a) Ancylostoma duodenale
 Memiliki panjang badan ± 1 cm, menyerupai huruf C.
 dibagian mulutnya terdapat dua pasang gigi. Cacing jantan
 mempunyai bursa kopulatriks pada bagian ekornya. Sedangkan
 cacing betina ekornya runcing.
b) Necator americanus
 Memiliki panjang badan ± 1 cm, menyerupai huruf S.
 bagian mulutnya mempunyai benda kitin. Cacing jantan mempunyai bursa kopulaptriks pada
bagian ekornya. Sedangkan cacing betina ekornya runcing.
 Telurnya berukuran ± 70 x 45 mikron, bulat lonjong, berdinding tipis, kedua kutub mendatar.
Di dalamnya terdapat beberapa sel.
 Larva rabditiformnya memiliki panjang ± 250 mikron, rongga mulut panjang dan sempit,
esophagus dengan dua bulbus dan menempati 1/3 panjang badan bagian anterior. Sedangkan
larva filariform, panjangnya ± 500 mikron, ruang mulut tertutup, esophagus menempati ¼
panjang badan bagian anterior. (Pinardi Hadidjaja dan Srisasi Gandahusada, 2002)

b. Siklus Hidup
Telur dikeluarkan dengan tinja dan setelah menetas dalam waktu 1-1,5 hari keluarlah
larva rabditiform. Dalam waktu kira-kira 3 hari larva rabditiform tumbuh menjadi larva
filariform, yang dapat menembus kulit dan dapat hidup selama 7-8 minggu di tanah. Telur
cacing tambang yang besarnya kira-kira 60 × 40 mikron, berbentuk bujur dan mempunyai
dinding tipis. Di dalamnya terdapat 4-8 sel. Larva rabditiform panjangnya kira-kira 250
mikron, sedangkan larva filariform panjangnya kira-kira 600 mikron. (Srisasi Gandahusada,
Ilahude, Wita Pribadi, 2006)

c. Patologi dan Gejala Klinis


a) Stadium Larva
Bila banyak larva filariform sekaligus menembus kulit, maka terjadi perbahan kulit
yang disebut ground itch. Perubahan pada paru biasanya ringan.
b) Stadium Dewasa
Gejala tergantung pada spesies dan jumlah cacing, serta keadaan gizi penderita (Fe
dan Protein). Tiap cacing Ancylostoma duodenale menyebabkan kehilangan darah 0,08- 0,34
cc sehari, sedangkan Necator americanus 0,005-0,1 cc sehari. Biasanya terjadi anemia
hipokrom mikrositer. Disamping itu juga terdapat eosinofilia. Bukti adanya toksin yang
menyebabkan anemia belum ada. Biasanya tidak menyebabkan kematian, tetapi daya tahan
berkurang dan prestasi kerja menurun. (Srisasi Gandahusada, Ilahude, Wita Pribadi, 2006).
Diagnosa Laboratorium ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja segar. Untuk
membedakan spesies A. duodenale dan N.americanus dapat dilakukan biakan tinja dengan
cara Harada-Mori.
(Srisasi Gandahusada, Ilahude, Wita Pribadi, 2006)
BAB III
PEMBAHASAN
A. Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Hari/tanggal : Jumat, 15 Maret 2013
Waktu : 09.00-11.00 WITA
Tempat : Lab. Mikrobiologi Lingkungan Jurusan Kesling

B. Jenis kegiatan
Pengamatan Nematoda Usus dan Jaringan

C. Alat dan Bahan


1. Mikroskop;
2. Mikroskop listrik;
3. Preparat;
4. Alat tulis;
5. Buku catatan;
6. Gelas awetan cacing.

D. Uraian Kegiatan
1. Mendengarkan pengarahan dari pembimbing praktikum;
2. Mikroskop dan preparat telah dipersiapkan oleh pembimbing;
3. Praktikan langsung mengamati preparat yang terlihat di mikroskop;
4. Praktikan menggambar preparat yang terlihat di mikroskop;
5. Praktikan memberi nama pada masing-masing gambar preparat;
6. Praktikan menganalisis gambar/ data sebagai data hasil praktikum.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

B. Pembahasan
a. Telur Trichuris trichiura
a) Berbentuk seperti tong. Kedua ujungnya melekuk kedalam dan tertutup oleh tonjolan yang
transparan. Bagian tonjolan mengandung mukoid;
b) Ukuran 50-54 × 22-23 mikron;
c) Tertutup oleh dualapisan yaitu lapisan luar berwarna kekuning—kuningan, lapisan dalam
transparan

b. Mulut Necator americanus


a) Terdapat 2 pasang alat pemotong (cutting plates);
b) Bentuk alat pemotong tersebut semilunar dan terdapat disebelah ventral dan dorsal;
c) Bursa kopulatrik pada jantan: percabangan dari sentral.

c. Mulut Cacing Tambang (A. duodenale)


a) Terdapat 2 pasang gigi disebelah ventral;
b) Gigi yang sebelah dalam lebih kecil daripada pada gigi yang sebelah luar;
c) Bentuk lengkungan kepalan sesuai dengan lengkungan tubuh (seperti koma).

d. Telur yang dibuahi Ascaris lumbricoides


a) Yang masak (matura): antara lapisan dinding paling dalam massa didalamnya terdapat batas
atau rongga udara;
b) Yang belum masak (imature): tidak terdapat rongga udara;

e. Telur yang tidak dibuahi Ascaris lumbricoides


a) Bentuk lebih lonjong, ukuran 88-94 × 44 mikron;
b) Mantel albumin sering tidak terdapat. Isinya protoplasma yag mati;
c) Lebih transparan.

f. Cacing Ascaris lumbricoides


a) Jantan: panjang 10-30 cm diameter 2-4 mm, anterior terdapat 3 buah bibir, posterior
melingkar ke ventral;
b) Betina: panjang 20-35 cm diameter 3-6 mm, anterior dengan jantan sama, posterior reatif
lurus dan kaku.

g. Cacing dewasa Trichuris Trichiura


a) Bentuk tubuh seperti cambuk (cemeti);
b) Ukuran jantan30-45 mm. Betina 35-50 mm;

h. Telur Enterobius Vermicularis


a) Bentuk asimetris, salah satu sisi datar;
b) Ukuran 55 × 26 mikron;
c) Didalam telur selalu terdapat bentuk larvanya.
i. Cacing dewasa Enterobius Vermicularis
a) Ukuran jantan 2-5 mm × 0,1-0,2 mm. Betina 8-13 mm × 0,3-0,5 mm;
b) Mulut simpel dengan 3 buah bibir yang mengelilinginya;
c) Ujung anterior dan posterior runcing (lancip).
j. Cacing Wuchereria Banchrofti
a) Ukuran jantan 40 × 0,1 mm, betina 83 ×0,24 mm;
b) Warna putih kekuningan;
c) Kutikula smooth.

k. Cacing Brugia Malayi


a) Cacing dewasa;
b) Mikrofilaria.

l. Telur cacing Tambang


a) Berbentuk bulat lonjong;
b) Kulit relatif tipis terdiri dari hyalin;
c) Isi telur: terganung umur, waktu dikeluarkan dapat segmentid dapat pula unsegmented.

j. Cacing Tambang dewasa


a) Ukuran jantan 8-11mm × 0,45 mm, betina 10-13 × 0,60 mm;
b) Lengkungan kepala sesuai dengan lengkungan tubuh (seperti koma).

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa cacing-cacing Nematoda terbagi menjadi 2 golongan yakni:
a. Nematoda usus
a) Ascaris lumbricoides (cacing gelang/cacing perut);
b) Trichocephalus trichiura (cacing cemeti);
c) Enterobius vermicularis (cacing kerermi);
d) Ancylostoma duodenale (cacing tambang);
e) Ancylostoma brastiliensis (cacing tambang);
f) Necator americanus (cacing tambang);
g) Trichinella canis (cacing ascaris anjing);
h) Toxodracati (cacing ascari kucing).
i) Strongyloides stercoralis.

b. Nematoda jaringan atau darah


a) Wuchereria bancrofti;
b) Wuchereria malayi;
c) Mansonella malayi;
d) Acanthocheilonema perstans;
e) Loa loa;
f) Dracunculus medinensia.

B. Saran
Agar terhindar dari parasit cacing alangkah baiknya mencegah seperti tidak buang
BAB sembarangan, pembuatan jamban keluarga, kontrol vektor dan juga penyuluhan tentang
pentingnya higine lingkungan, makanan dan minuman dimasak dengan benar.
http://triamegumi.blogspot.com/2013/04/laporan-nematoda-usus-dan-jaringan.html

LAPORAN PRAKTIKUM CACING

BAB I

Pendahuluan

A. Tujuan Praktikum

A.1. Mengamati morfologi, struktur, hospes, distribusi geografis, patologi dan gejala klinis, diagnosis telur

dan cacing dari sebagian cacing yang diamati.

A.2. Mengidentifikasi perbedaan-perbedaan dari masing-masing telur dan cacing yang diamati.

B. Manfaat Praktikum
B.1. Praktikan dapat mengidentifikasi morfologi, struktur, hospes, distribusi geografis, patologi dan gejala

klinis, diagnosis telur dan cacing dari sebagian cacing yang diamati.

B.2. Praktikan dapat membedakan jenis – jenis telur dan cacing melalui identifikasi morfologi cacing.

BAB II

Dasar Teori

1. Cacing Strongyloides stercoralis Dewasa Betina

a. Pengertian

Strongyloidiasis stercoralis adalah cacing yang hidup daerah hangat, daerah lembab. Cacing

masuk ke dalam tubuh ketika seseorang menyentuh tanah yang terkontaminasi cacing. Cacing kecil

hampir tidak terlihat dengan mata telanjang. Cacing gelang muda dapat bergerak melalui kulit

seseorang dan masuk ke dalam aliran darah ke paru-paru dan saluran udara. Ketika cacing

bertambah tua, mereka mengubur diri dalam dinding usus. Kemudian, mereka menghasilkan telur

dalam usus. Daerah di mana cacing masuk melalui kulit dapat menjadi merah dan menyakitkan.

( Srisasi, 2006 )

b. Klasifikasi Ilmiah
Filum : Nemathelminthes

Kelas : Nematoda

Sub kelas : Secernantea

Ordo : Rhabditida

Super famili : Rhabditidae

Famili : Strongyloididae

Genus : Strongyloides

Spesies : Strongyloides stercoralis

(Jeffry HC dan Leach RM, 1983)

c. Morfologi

Cacing betina yang hidup sebagai parasit, dengan ukuran 2,20 x 0,04 mm, adalah seekor

nematoda filariform yang kecil, tak berwarna, semi transparan dengan kutikulum yang bergaris halus.

Cacing ini mempunyai ruang mulut dan oesophagus panjang, langsing dan silindris. Sepanjang uterus

berisi sebaris telur yang berdinding tipis, jenih dan bersegmen. Cacing betina yang hidup bebas lebih

kecil dari pada yang hidup sebagai parasit, menyerupai seekor nematoda rabditoid khas yang hidup

bebas dan mempunyai sepasang alat reproduksi. Cacing jantan yang hidup bebas lebih kecil dari

pada yang betina dan mempunyai ekor melingkar. ( William, 2003 )

Cacing dewasa betina yang hidup sebagai parasit di virus duodenum, bentuknya filform,

halus, tidak berwarna, dan panjangnya kira-kira 2 mm. Cara berkembang-biaknya dengan
partenogenesis, telur bentuk parasitik diletakkan dimukosa usus kemudian telur menetas menjadi

larva rabditiform yang masuk ke rongga usus dan dikeluarkan bersama tinja ( William, 2003 )

Cacing betina yang hidup sebagai parasit, dengan ukuran 2,20 x 0,04 mm, adalah seekor

nematoda filariform yang kecil, tak berwarna, semi transparan dengan kutikulum yang bergaris halus.

Cacing ini mempunyai ruang mulut dan oesophagus panjang, langsing dan silindris. Sepanjang uterus

berisi sebaris telur yang berdinding tipis, jenih dan bersegmen. Cacing betina yang hidup bebas lebih

kecil dari pada yang hidup sebagai parasit, menyerupai seekor nematoda rabditoid khas yang hidup

bebas dan mempunyai sepasang alat reproduksi.. ( William, 2003 )

Gambar 2.1. Cacing Strongylides stercoralis Dewasa Betin

(sumber: http://dpd.cdc.gov/dpdx/html/ImageLibrary/Strongyloidiasis_il.htm)

d. Siklus Hidup
1. Siklus langsung

Sesudah 2 – 3 hari di tanah, larva rabditiform berubah menjadi larva filariform, bila larva

filariform menembus kulit manusia, larva tumbuh dan masuk ke dalam peredaran darah vena dan

kemudian melalui jantung kanan sampai ke paru, dari paru parasit yang mulai menjadi dewasa
menembus alveolus, masuk ke trakea dan laring. Sesudah sampai di laring reflek batuk, sehingga

parasit tertelan, kemudian sampai diusus halus bagian atas dan menjadi dewasa. ( William, 2003 )

2. Siklus tidak langsung

Larva rabditiform berubah menjadi cacing jantan dan betina bentuk bebas, sesudah

pembuahan, cacing betina menghasilkan telur yang menetas menjadi larva rabditiform, larva

rabditiform dalam waktu beberapa hari dapat menghasilkan larva filariform yang infektif dan masuk

kedalam hospes. ( William, 2003 )

3. Auto infeksi

Larva rabditiform menjadi larva filariform di usus atau di daerah sekitar anus (perianal) bila

larva filariform menembus mukosa atau kulit perianal, mengalami suatu lingkaran perkembangan di

dalam hospes. Auto infeksi menerangkan adanya Strongyloidiasis yang persisten, mungkin selama 36

tahun, di dalam penderita yang hidup di derah non endemik. ( William, 2003 )

e. Distribusi Geografik

Distribusi geografik terutama terdapat di daerah tropik dan subtropik, sedangkan didaerah

yang beriklim dingin jarang ditemukan. Penyebaran infeksi Strongyloides seiring dengan infeksi cacing

tambang, tetapi frekuensinya lebih rendah di daerah dengan iklim sedang. Infeksi terutama terdapat

di daerah tropik dan sub tropik, dimana panas, kelembaban dan tidak adanya sanitasi

menguntungkan lingkaran hidupnya yang bebas. Di Amerika Serikat hal ini terjadi di bagian selatan,

di daerah luar kota. ( Guyton, 2006 )

f. Gejala Klinis
Gejala yang paling khas adalah sakit perut, umumnya sakit pada ulu hati seperti gejala ulcus

ventriculi, diare dan urticaria, kadang-kadang timbul nausea, berat badan turun, lemah dan

konstipasi. Timbulnya dermatitis yang sangat gatal karena gerakan larva menyebar dari arah dubur ,

dapat juga timbul peninggian kulit yang stationer yang hilang dalam 1-2 hari atau ruam yang

menjalar dengan kecepatan beberapa sentimeter per jam pada tubuh. Walaupun jarang terjadi,

autoinfeksi dengan beban jumlah cacing yang meningkat terutama pada penderita dengan sistem

kekebalan tubuh yang rendah dapat menyebabkan terjadinya Strongyloidiasis diseminata, terjadi

penurunan berat badan yang drastic, timbul kelainan pada paru-paru dan berakhir dengan kematian.

Pada keadaan seperti ini sering terjadi sepsis yang disebabkan oleh bakteri gram negatif. Pada

stadium kronis dan pada penderita infeksi berulang serta pada penderita infeksi human T-cell

lymphotrophic virus (HTLV-1) ditemukan eosinofilin ringan (10%-25%). Eosinofilia ringan juga

dijumpai pada penderita yang mendapatkan kemterapi kanker, sedangkan pada Strongyloidiasis

disseminata jumlah sel eosinofil mungkin normal atau menurun. ( Guyton, 2006 )

g. Cara-cara Penularan

Larva infektif (filaform) yang berkembang dalam tinja atau tanah lembab yang

terkontaminasi oleh tinja, menembus kulit masuk ke dalam darah vena di bawah paru-paru. Di paru-

paru larva menembus dinding kapiler masuk kedalam alveoli, bergerak naik menuju ke trachea

kemudian mencapai epiglottis. Selanjutnya larva turun masuk kedalam saluran pencernaan mencapai

bagian atas dari intestinum, disini cacing betina menjadi dewasa. Cacing dewasa yaitu cacing betina

yang berkembang biak dengan cara partogenesis hidup menempel pada sel-sel epitelum mukosa

intestinum terutama pada duodenum, di tempat ini cacing dewasa meletakkan telornya. Telor

kemudian menetas melepaskan larva non infektif rhabditiform. Larva rhabditiform ini bergerak

masuk kedalam lumen usus, keluar dari hospes melalui tinja dan berkembang menjadi larva infektif

filariform yang dapat menginfeksi hospes yang sama atau orang lain. Atau larva rhabditiform ini

dapat berkembang menjadi cacing dewasa jantan dan betina setelah mencapai tanah. Cacing dewasa
betina bebas yang telah dibuahi dapat mengeluarkan telur yang segera mentas dan melepaskan larva

non infektif rhabditiform yang kemudian dalam 24-36 jam berubah menjadi larva infektif

filariform.Kadangkala pada orang-orang tertentu, larva rhabditiform dapat langsung berubah

menjadi larva filariform sebelum meninggalkan tubuh orang itu dan menembus dinding usus atau

menembus kulit di daerah perianal yang menyebabkan auotinfeksi dan dapat berlangsung

bertahuntahun.(Guyton, 2006)

h. Epidemiologi

Penyebaran infeksi strongyloidiasis seiring dengan infeksi cacing tambang, tetapi

frekuensinya lebih rendah di daerah dengan iklim sedang. Infeksi terutama terdapat di daerah tropik

dan sub tropik, dimana panas, kelembaban dan tidak adanya sanitasi menguntungkan lingkaran

hidupnya yang bebas. Di Amerika Serikat hal ini terjadi di bagian selatan, di daerah luar kota. ( Diah,

2006 )

i. Diagnosa

Diagnosa pasti dapat ditegakkan dengan ditemukannya larva pada daerah perianal yang

diperiksa dengan metoda graham scoth. . Menemukan larva

dalam tinja sputum dalam cairan aspirasi duodenum (Enterotest). Pemeriksaan serologi

Elisa,menggunakan antigen larva. Pemeriksaan tinja dapat dilakukan setelah konsentrasi(formalin-

ethylacetate)dengan biakan tinja cara isolasi Baerman , setelah kultur dengan teknik Harada-Mori

filter paper kultur di agar plates , metode Charcoal. ( Juni, 2006 )

j. Terapi

Thiabendazole, Albendazole, Simptomatik untuk diare, dehidrasi atau gangguan elektrolit.

( Diah, 2006 )
k. Pencegahan

- Pengobatan penderita
- Mengatur pembuangan tinja, pembuatan latrin
- Pendidikan tentang higiene kesehatan
- Anjuran memakai alas kaki pada daerah endemis
( Mitchel, 2000 )
2. Telur Clonorchis sinensis
a. Pengertian

Cacing ini pertama kali ditemukan oleh Mc Connell tahun 1874 di saluran empedu pada

seorang Cina di Kalkuta. ( Juni, 2006 )

b. Hospes

Manusia, kucing, anjing, beruang kutub dan babi merupakan hospes parasit ini. Penyakit

yang disebabkannya disebut Klonorkiasis. ( Juni, 2006 )

c. Distribusi Geografik

Cacing ini ditemukan di Cina, Jepang, Korea, dan Vietnam. Penyakit yang ditemukan di

Indonesia bukan infeksi autotokton.( Richard, 2008 )

d. Morfologi dan daur hidup

Cacing dewasa hidup di saluran empedu, kadang-kadang ditemukan di saluran pankreas.

Ukuran cacing dewasa 10- 25 mm x 3-5 mm, bentuknya pipih, lonjong, menyerupai daun. Telur

berukuran kira-kira 30 x16 mikron, bentuknya seperti bola lampu pijar dan berisi mirasidium,

ditemukan dalam saluran empedu.

Telur dikeluarkan melalui tinja. ( Kus, 2009 )


Telur menetas bila dimakan keong air atau bulinus, semisulcospira. Dalam keong air,

mirasedia lalu serkaria. Serkaria keluar dari keong air dan mencari hospes perantara dua, yaitu ikan

( famili Cyprinidae). Setelah menembus tubuh ikan, serkaria melepaskan ekornya dan membentuk

kista di dalam kulit di bawah sisik Kistainidisebutmetaserkaria. Perkembangan larva dalam keong air

sebagai berikut: Infeksi terjadi dengan makan ikan yang mengandung metaserkaria yang dimasak

kurang matang. Ekskistasi terjadi di duodenum. Kemudian larva masuk kedalam duktus koledokus,

lalu menuju kesaluran empedu yang lebih kecil dan menjadi dewasa dalam waktu sebulan. Seluruh

daur hidup berlangsung selama tiga bulan. ( Carpenito, 2007 )

Gambar 2.2. Telur Clonorchis sinensis

(sumber: www. Chlonorcis-sinensi.com )

e. Epidemiologi

Kebiasaan makan ikan yang diolah kurang matang merupakan faktor penting dalam

penyebaran penyakit. Selain itu cara pemeliharaan ikan dan cara pembuangan tinja di kolam ikan

penting dalam penyebaran penyakit. Kegiatan pemberantasan lebih ditujukan untuk mencegah

infeksi pada manusia. Misalnya penyuluhan kesehatan agar orang makan ikan yang sudah dimasak

dengan baik serta pemakaian jamban yang tidak mencemari air sungai. ( Robert, 2008 )

f. Patologi dan Gejala Klinis


Sejak larva masuk disaluran empedu sampai menjadi dewasa, parasit ini dapat menyebabkan

iritasi saluran empedu dan penebalan diding saluran. Selain itu dapat terjadi perubahan jaringan hati

berupa radang sel hati. Pada keadaan kebih lanjut dapat timbul sirosis hati disertai asites dan

edema.Luasnya organ yang mengalami kerusakan bergantung pada jumlah cacing yang terdapat di

saluran empedu dan lamanya infeksi. ( Inge, 2009 )

Gejala dapat dibagi menjadi 3 stadium. Pada stadia tidak ditemukan gejala. Stadium

progresifum ringan ditandai dengan menurunya nafsu makan, perut rasa penuh, diare, edema, dan

pembesaran hati. Pada stadium lanjut didapatkan sindrom hipertensi portal yang terdiri atas

pembesaran hati, ikterus, asites, edema, sirosis hepatis. Kadang-kadang dapat menimbulkan

keganasan dalam hati. ( Juni, 2006 )

g. Diagnosis

Diagnosis ditegakan dengan menemukan telur yang terbentuk khas dalam tinja atau dalam

cairan duodenum. ( Juni, 2006 )

h. Pengobatan

Penyakit ini dapat diobati dengan prazikuantel. ( Kus, 2006 )

3. Telur Fasciola Hepatica Dewasa

a. Pengertian
Fasciola hepatica merupakan salah satu spesies cacing yang merupakan parasit dalam tubuh

manusia. Fasciola tergolong dalam kelas trematoda, filum plathyhelminthes. Hospes cacing ini adalah

kambing dan sapi, dan kadang-kadang parasit ini ditemukan pada manusia. Fasciola hepatica

merupakan penyakit fascioliasis. Fascioliasis banyak ditemukan di negara-negara Amerika Latin dan

negara – negara sekitar Laut Tengah. ( Ganong, 2003 )

b. Klasifikasi Ilmiah
Kelas : Trematoda

Ordo : Diginea

Famili : Fasciolidae

Genus : Fasciola

Spesies : Fasciola hepatica

(Jeffry HC dan Leach RM, 1983)

c. Morfologi

Fasciola hepatica merupakan jenis cacing yang tergolong Platyhelminthes dan termasuk kelas

Trematoda dan biasanya menyerang di bagian liver atau hati. Pada saat cacing dewasa mempunyai

bentuk pipih seperti daun, besarnya kira-kira 30 x 13 mm. Pada bagian anterior berbentuk seperti

kerucut dan pada pundak kerucut terdapat batil isap mulut yang besarnya kira-kira 1 mm. Sedangkan

pada bagian dasar kerucut terdapat batil isap perut yang besarnya kira-kira 1.6 mm. Saluran

pencernaan bercabang-cabang sampai ke ujung distal sekum. Testis dan kelenjar vitelin juga

bercabang-cabang. Pada Fasciola hepatica tidak terdapat sistem pernafasan. Cacing dewasa Fasciola

hepatica penjangnya ± 2,5 cm, batil isap kepala batil isap perut berdekatan, bagian kepala seperti

kerucut, dua sekum bercabang-cabang, ovarium bercabang-cabang, dua testis juga bercabag-cabang,
kelenjar vitelaria hampir mengisis seluruh bagian tubuhnya. Sistem pencernaannya semacam

kantong usus dengan single lubang , dimana menjalani sebagai mulut dan anus. Dalam bentuk simpel

usus tidak bercabang tetapi pada yang lain, percabangan terjadi yang dapat menembus ke semua

bagian tubuh hal ini membuat sistem sirkulasi tidak diperlukan. ( Widjajanti, 2006 )

Gambar 2.3. Telur Fasciola hepatica dewasa

( sumber : http://www.frequencyrising.com/parasite_fasciola.htm )

d. Siklus Hidup

Telur Fasciola hepatica berukuran ± 140x80 mikron, operculum kecil, berisis morula, dikeluarkan

melalui saluran empedu ke dalam tinja dalaqm keadaan belum matang. Telur menjadi matang dalam

air setelah 9 – 15 hari dan berisi mirasidium. Telur akan menetas dan mengeluarkan mirasidium,

penetasan umumnya terjadi pada siang hari. Telur cacing Fasciola hepatica akan menetas dalam 12

hari pada suhu 26°C. Telur kemudian menetas dan mirasidium keluar dan mencari keong air, dalam

keong air terjadi perkembangan. Suhu yang diperlukan mirasidium untuk dapat hidup adalah di atas

5-6 °C dengan suhu optimal 15-24 °C. Mirasidium harus masuk ke dalam tubuh siput dalam waktu

24-30 jam, bila tidak maka akan mati. Mirasidium tersebut memiliki cilia (rambut getar) dan sangat

aktif berenang di dalam air untuk mencari induk semang antara yang sesuai, yaitu siput Lymnaea sp .

Pada suhu 30°C, mirasidium lni hanya bertahan hidup selama 5-7 jam. Segera setelah mirasidium
tersebut menemukan siput Lymnaea sp., maka cilianya akan terlepas dan mirasidium tersebut akan

menembus masuk ke dalam tubuh siput. ( Juni, 2006 )

Dalam waktu 24 jam di dalam tubuh siput, mirasidium tersebut akan berubah menjadi

sporosis. Kemudian, telur dari jenis Fasciola gigantica menetas dalam waktu 17 hari, berkembang

dalam tubuh siput selama 75-175 hari, hal ini tergantung pada suhu lingkungannya.Delapan hari

kemudian sporosis tersebut akan berkembang menjadi redia, dari 1 sporosis akan tulnbuh menjadi 1-

6 redia. Redia tersebut akan menghasilkan serkaria dan keluar dari tubuh siput. ( Carpenito, 2007 )

Serkaria tersebut memiliki ekor sehingga ketika berada di luar tubuh siput akan berenang,

kemudian akan menempel pada benda apa saja di dalam air yang dilaluinya termasuk pada rumput,

jerami atau tumbuhan air lainnya. Serkaria keluar dari keong air dan berenang mencari hospes

perantara II, yaitu tumbuh-tumbuhan air dan pada permukaan tumbuhan air dibentuk metaserkaria.

Metaserkaria ini merupakan bentuk infektif cacing Fasciola spp., sehingga bila ada hewan ternak

pemakan rumput, jeralni atau tumbuhan air lainnya yang terkontaminasi metaserkaria, maka akan

tertular dan menderita penyakit fasciolosis . Pada suhu rendah, sekitar 14°C, metaserkaria ini dapat

bertahan hidup sampai 3-4 bulan, sedangkan bila terkena sinar matahari langsung akan cepat mati

dan tidak infektif lagi. Bila ditelan, metaserkaria menetas dalam lambung binatang yang memakan

tumbuhan air tersebut dan larvanya masuk ke saluran empedu dan menjadi dewasa. (Robert, 2002 )

e. Distribusi Geografik

Fasciola hepatica umumnya ditemukan di negara empat musim atau subtropis seperti

Amerika Selatan, Amerika Utara, Eropa, Afrika Selatan, Rusia, Australia dan New Zealand Dalam siklus

hidupnya, cacing Fasciola hepatica memerlukan induk semang utama, yaitu siput Lymnaea

truncatula di Eropa dan Asia, Lymnaea tomentosa di Australia, Lymnaea bulimoides di Amerika Utara

don Lymnaea collumella di Hawaii, Puerto Rico, New Zealand dan Afriko Selatan. ( Diah, 2006 )

f. Epidemiologi
Fasciolosis merupakan penyakit parasiter yang disebabkan oleh cacing pipih (trematoda) dan

umumnya menyerang ternak ruminansia, seperti sapi, kerbau dan domba. Telah dilaporkan sejak 20

tahun terakhir ini, kasus kejadian fasciolosis pada manusia semakin banyak. Umumnya kasus tersebut

terjadi di negara empat musim atau subtropis dan disebabkan oleh cacing trematoda Fasciola

hepatica .

Fascioliasis merupakan sebuah penyakit menular yang disebabkan oleh parasit Fasciola hepatica atau

Fasciola gigantica yang dapat mempengaruhi jutaan orang di seluruh dunia. Hingga 17 juta orang

yang terinfeksi dan sekitar 91,1 juta beresiko infeksi. Oleh karena itu, World Health Organization

fascioliasis telah diklasifikasikan sebagai ciri penyakit parasit manusia yang penting dan menjadi

kepentingan serta menjadi perhatian internasional. Sebagian besar orang yang terkena zoonosis ini

berada di Andes wilayah Amerika Selatan, di mana prevalensi hingga 71%. Dalam dekade terakhir ini

lebih dari 1700 orang di Peru telah dilaporkan terinfeksi Fasciola hepatica. Oleh karena itu inang

definitif harus berada dalam satu lingkungan dengan siput inang antara tersebut. Khusus dalam kasus

fasciolosis, penularan ditentukan oleh keberadaan siput dari Famili Lymnaeidae, keberadaan hewan

mamalia peka lain di sekitar tempat tinggal penduduk dan iklim. Babi dan keledai dapat berperan

sebagai hewan reservoir fasciolosis yang disebabkan oleh Fasciola hepatica . Penularan fasciolosis

yang disebabkan oleh Fasciola hepatica pada manusia dapat pula terjadi akibat kebiasaan sebagian

masyarakat di Eropa yang gemar mengkonsumsi hati mentah. ( Carpenito, 2007 )

g. Patologi dan Diagnosis

Migrasi cacing dewasa muda ke saluran empedu menimbulkan kerusakan parenkim hati. Saluran

empedu mengalami peradangan, penebalan dan sumbatan sehingga menimbulkan sirosis periportal.

Kerusakan parenkim hati, peritonitis, kolesistitis, sirosisperiportal. ( Inge, 2009 )

Masa inkubasi fasciolosis pada manusia sangat bervariasi, karena dapat berlangsung dalam

beberapa hari, dalam 6 minggu, atau antara 2-3 bulan, bahkan dapat lebih lama dari waktu tersebut

di atas. Gejala klinis yang paling menonjol adalah adanya gejala anemia. Selain itu dapat pula terjadi
demam dengan suhu badan antara 40-42°C, nyeri di bagian perut dan gangguan pencernaan. Bila

penyakit berlanjut, dapat terjadi hepatomegali, asites di rongga perut, sesak nafas dan gejala

kekuningan (jaundice). Selain itu, dalam kasus fasciolosis kronis, dapat mengakibatkan terbentuknya

batu empedu, sirosis hati dan kanker hati. (Ganong, 2003)

Diagnosis ditegakkan dengan menemukan telur dalam tinja, cairan duodenum / cairan empedu.

Reaksi serologi sangat membantu untuk menegakkan diagnosis.

Diagnosa penyakit fasciolosis dilakukan dengan 2 cara, yaitu melalui pemeriksaan tinja dan

pemeriksaan darah. Pemeriksaan tinja merupakan cara yang paling umum dan sederhana, dengan

maksud untuk menemukan adanya telur cacing, dengan menggunakan uji sedimentasi. Sedangkan

dari darah penderita dapat dilakukan pemeriksaan dengan uji serologi Enzyme-linked

Immunosorbent Assay (ELISA) untuk mengetahui adanya peningkatan antibodi atau antigen di dalam

tubuh penderita. ( Robert, 2002 )

Pada infeksi parasiter umumnya sel darah putih yang meningkat tajam adalah eosinofil,

walaupun hal ini tidak spesifik, dan seringkali diikuti dengan peningkatan isotipe antibodi

imunoglobulin E (IgE) di dalam serum darah. tingkat isotipe antibodi IgE berkorelasi positif dengan

jumlah telur cacing dalam tinja, usia penderita, gejala klinis dan jumlah eosinofil. Selain peningkatan

kadar IgE dalam darah,bahwa isotipe antibodi yang paling awal dapat terdeteksi adalah IgG 1 dan

IgG4. Uji ELISA umum dikembangkan untuk diagnosis fasciolosis menggunakan antigen dari ekstrak

cacing dewasa, atau ekskretori/sekretori (ES) atau rekombinan. ( Juni, 2006 )

h. Terapi atau Pengobatan

Bila upaya pencegahan sudah dilakukan namun tetap terinfeksi fasciolosis, maka kasus ini dapat

diobati dengan beberapa macam anthelmintik, seperti Bithionol, Hexachloro-para-xylol, Niclofolan,

Metronidazole dan Triclabendazole. Namun dari semua obat cacing tersebut di atas, hanya

Triclabendazole yang paling efektif untuk menyembuhkan fasciolosis pada manusia, dengan dosis 10
mg/kgBB yang diberikan 2 kali per oral dengan interval pemberian selama 12 hari. Emetin HCl,

diklorofenol ( Bitionol ), prazikuantel. Obat yang sering digunakan dalam membasmi cacing Fasciola

hepatica dan sampai saat ini masih menjadi pilihan utama dalam pengobatan infeksi cacing

Trematoda adalah prazikuantel (biltricide dan distocide).(Ganong, 2003 ).

4. Telur Hymenolepis nana

a. Pengertian

Hymenolepis nana merupakan penyakit zoonosis yang disebabkan oleh dua spesies cacing

pita kerdil /dwarf tapeworm dari genus Hymenolepis yang menginfeksi manusia. Dua spesies

tersebut adalah Hymenolepis nana yang secara primer merupakan parasit pada manusia dan

Hymenolepis diminuta yang secara primer merupakan parasit pada tikus, mencit dan rodensia lain

tetapi dapat juga menginfeksi manusia. ( Nanda, 2005 )

Hymenolepiasis nana merupakan penyakit cacing pita yang disebabkan oleh Hymenolepis

nana stadium dewasa maupun stadium larva yang menginfeksi saluran usus manusia. ( Kus, 2009 )

Di Indonesia kejadian hymenolepiasis nana relatif rendah dibanding dengan kejadian infeksi

oleh cacing pita lainnya. Menurut survey yang dilakukan Sri S Margono, di Jakarta ditemukan cacing

pita ini sejumlah 0,2-1 % dari seluruh sampel survey yang diperiksa terhadap cacing pita di Indonesia,

sedangkan menurut penelitian Adi sasongko dari 101 sampel yang diteliti hanya satu sampel yang

positif terdapat telur Hymnolepis nana.(Margono SS,1989 ; Sasongko A dkk, 2002)

b. Morfologi

Telur Hymenolepis nana berbentuk oval atau bulat dengan ukuran 47 x 37 mikron, memiliki

dinding berupa dua lapis membrane yang melindungi embrio heksakan di dalamnya. Pada kedua

kutub membrane sebelah dalam, terdapat dua buah penebalan dimana keluar 4-8 filamen halus.
Adanya filamen inilah yang dapat membedakan telur Hymenolepis nana dari Hymenolepis diminuta.

( Robert, 2002 )

Hymenolepis nana yang merupakan cacing pita yang sangat pendek dengan ukuran panjang

25 – 40 mm dan lebar 0,1 - 0,5 mm, dengan jumlah proglotidnya mencapai 200 buah. Scolex bulat

dengan 4 batil isap seperti mangkok, memiliki rostelum yang pendek dan refraktil, berkait kecil dalam

satu baris. Bagian lehernya panjang dan permukaannya halus. Strobila dimulai dari proglotid muda

yang sangat pendek dan sempit, belum terbentuk organ genital, kearah distal semakin lebar dan

pada ujung distal strobila membulat. Proglotid dewasa berbentuk trapezium dengan lebar proglotid

kira-kira 4 kali panjangnya, mempunyai ovarium sebuah dan berlobus, mempunyai testis bulat

berjumlah 3 buah dengan porus genitalis unilateral. Pada proglotid gravid yang berbentuk trapezium,

mempunyai lebar 4 kali panjangnya serta uterus berbentuk kantung yang berisi 80 – 180 butir telur.

( Neva A and Brown HW, 1994 ; Natadisastra D dan Agoes R, 2009)

Gambar 2.4. Telur Hymenolepis nana

( sumber : http://bbobobo.blogspot.com/2011/11/hymenolepis-nana.html )

c. Hospes

Hospes definitif dari cacing ini adalah manusia, mencit dan tikus. ( Juni, 2006 )
d. Siklus Hidup

Habitat cacing ini adalah pada 2/3 bagian atas dari ileum. Cacing ini dapat hidup sampai

beberapa minggu, sedangkan telur cacing ini hanya dapat bertahan hidup selama 2 minggu setelah

dikeluarkan bersama feses hostnya. Cacing ini di dalam siklus hidupnya tidak memerlukan hospes

perantara, kecuali Hymenolepis nana var. fraterna yang hospes alamiahnya adalah tikus dan

menggunakan flea serta kumbang sebagai hospes perantaranya. Proglotid gravid Hymenolepis nana

akan pecah didalam usus penderita dan mengeluarkan telur yang segera menjadi infektif bila

dikeluarkan bersama feses penderita. Manusia tertular jika memakan telur cacing ini. Di dalam usus

halus, telur akan menetas menjadi oncospher dan menembus villi usus halus serta akan kehilangan

kaitnya. Selanjutnya dalam 4 hari kemudian akan menjadi larva cysticercoid. Larva ini terdapat pada

tunica propria usus halus penderita. Beberapa hari kemudian larva ini akan kembali ke lumen usus

penderita untuk menjadi dewasa dalam waktu 2 minggu. ( Neva A and Brown HW, 1994 ; Duerden BI,

1987).

Dalam 30 hari setelah infeksi, dapat ditemukan telur dalam tinja hospes. Kadang-kadang

telur dapat menetas di dalam lumen usus halus penderita kemudian oncospher akan menembus villi

usus dan siklus hidupnya akan berulang kembali. Cara infeksi yang demikian ini disebut sebagai

autoinfeksi interna yang dapat memperberat infeksi sehingga memungkinkan terjadi reinfeksi pada

individu yang sama. (Neva A and Brown HW, 1994 ; Joklik WK, 1996).

e. Epidemiologi

Hymenolepis nana tersebar secara kosmopolitan diseluruh dunia terutama di daerah sub

tropis maupun tropis serta lebih banyak terjadi didaerah panas daripada di daerah dingin.

(Maegraith B, 1985)

Kejadian Hymenolepiasis nana sering terjadi pada para imigran yang berasal dari daerah

kering dan biasanya infeksi pada penderitanya bersifat asymtomatis. (Strickland GT, 1984).
Hymenolepis nana adalah cacing pita kerdil yang merupakan parasit paling sering dijumpai

pada manusia khususnya di Asia. Karena siklus hidupnya secara langsung, maka memungkinkan

penularannya dari manusia ke manusia dengan cepat dapat terjadi. Parasit ini merupakan cacing pita

terkecil serta satu-satunya cacing pita yang tidak memerlukan induk semang antara / intermediate

host. (Duerden BI et al.,1987 ; Brooks GF et al,1996).

Anak-anak lebih sering terinfeksi Hymenolepis nana daripada orang dewasa terutama pada

anak-anak usia 8 tahun. Pada tahun 1942 diperkirakan lebih dari 20 juta orang terinfeksi oleh cacing

pita ini, survey menunjukkan bahwa angka kejadiannya berkisar antara 0,2 – 3,7 %, walaupun pada

daerah tertentu angka kejadiannya mencapai 10 % pada anak-anak yang menderita akibat infeksi

oleh cacing pita ini. Namun menurut Markell, gambaran prevalensinya saat ini belum diketahui

secara pasti. ( Neva A and Brown HW,1994 ; Joklik WK et al,1996 ; Markell EK et al,1992)

Prevalensi infeksi cacing pita ini tinggi pada daerah dengan kondisi hygiene pribadi dan

lingkungan yang kurang baik. Infeksi lebih sering terjadi di dalam lingkungan keluarga ataupun di

dalam suatu institusi dari pada di dalam populasi yang besar. (Strickland GT, 1984).

Infeksi oleh cacing ini sering terjadi pada anak-anak dengan keadaan malnutrisi dan status

imunodefisiensi. Infeksi mungkin mulai terjadi pada awal tahun kehidupannya tetapi gejala klinisnya

baru timbul setelah 5 tahun kemudian. (Duerden BI et al, 1987).

Infeksi terjadi secara langsung melalui tangan ke mulut, atau infeksi dapat terjadi karena

menelan telur cacing yang mengkontaminasi makanan atau minuman. Kebiasaan yang kurang sehat

dari anak-anak menyebabkan prevalensi infeksinya cukup tinggi pada anak-anak. ( Chin J, 2006 :

Roberts J and Janovy Jr, 2000).

Manusia merupakan sumber infeksi yang paling penting bagi manusia lainnya, walaupun

tikus dan mencit juga dapat menjadi sumber infeksi dari cacing pita ini. Penularan melalui ingesti

feses rodent yang mengandung telur cacing pita ini lebih sering terjadi dari pada melalui ingesti
kumbang yang terinfeksi. Autoinfeksi dapat terjadi akibat infestasi dari ratusan cacing pita ini pada

host tunggal ( Joklik WK, 1996).

Manusia merupakan reservoar alamiah dan penularan biasanya terjadi secara langsung dari

manusia ke manusia lainnya dengan cara ingesti telur yang ada dalam feces penderita. Walaupun

penularan melalui makanan dan minuman dapat juga terjadi, tetapi hal tersebut jarang dijumpai

karena telur cacing pita ini mempunyai daya tahan yang rendah diluar hostnya. Larva dari flea dan

kumbang dapat terinfeksi setelah ingesti telur cacing pita ini dan berkembang menjadi cisticercoid di

dalam hemocoelenya. (Strickland GT, 1984 )

f. Distribusi Geografi

Daerah penyebaran Hymenolepis nana antara lain adalah Mesir, Sudan, Thailand, India,

Jepang, Amerika Selatan yaitu Brazilia dan Argentina, Eropa Selatan yaitu Portugal, Spanyol dan

Sicilia. (Manson-Bahr PEC and Bell DR, 1987)

g. Patogenesa Dan Manifestasi Klinis

Perubahan patologis akibat Hymenolepiasis nana tergantung pada intensitas infeksi, status

imunologis hospes dan adanya penyakit-penyakit lain yang menyertainya. Akibat infeksi dari cacing

ini biasanya tidak menimbulkan kerusakan pada mukosa usus tetapi dapat terjadi desquamasi sel

epithel dan nekrosis pada tempat perlekatan cacing dewasa, sehingga dapat menimbulkan enteritis

pada infeksi yang berat. ( Soedarto,2008 ; Ongkowaluyo JS, 2002 )

Infeksi yang ringan biasanya tidak menimbulkan gejala klinis /asymptomatis atau hanya

timbul gangguan pada perut yang terlihat kurang nyata. Pada infeksi yang berat akibat infestasi lebih

dari 1000 cacing, terutama pada anak-anak yang biasanya merupakan autoinfeksi interna dapat

menimbulkan gejala berupa kurangnya nafsu makan, penurunan berat badan, nyeri epigastrium,

nyeri perut dengan atau tanpa diare yang disertai darah, mual, muntah, pusing, toxaemia, pruritus

anal, uticaria serta gangguan syaraf misalnya irritabilitas, konvulsi dan kegelisahan. (Brown HW,
1994 ; Joklik WK, 1996; Maegraith B, 1985; Manson-Bahr PEC and Bell DR, 1987; Ghaffar A and

Brower G, 2010; Roberts L and Janovy Jr, 2000; Markell EK, 1992; Strickland GT, 1984)

Hymenolepiasis nana yang berat pada anak – anak dapat menimbulkan asthenia, penurunan

Berat badan, hilangnya nafsu makan, insomnia, nyeri perut disertai diare, muntah , pusing , gangguan

saraf serta reaksi alergi pada anak yang sensitive. Anemia sekunder dan eosinofilia antara 4-16%

kemungkinan dapat pula terjadi. Pada anak – anak juga sering terjadi autoinfeksi interna sehingga

dimungkinkan terjadi infeksi berat yaitu diare bercampur darah, sakit perut dan gangguan sistemik

yang berat. ( Soedarto,2008 ; Ongkowaluyo JS, 2002 )

h. Diagnosis

Gejala klinis pada Hymenolepiasis nana biasanya tidak jelas sehingga diagnosa penyakit ini

tergantung pada pemeriksaan laboratorium dengan ditemukannya telur dalam feses penderita.

Proglotid biasanya tidak ditemukan di dalam feses, karena telah mengalami desintegrasi di dalam

usus sebelum dikeluarkan. Bila ditemukan cacing dewasa dalam feses, indentifikasi dilakukan pada

bagian scolexnya yang berbeda dengan cacing pita yang lain. (Joklik WK, 1996)

Diagnosa pasti terhadap Hymenolepiasis nana dapat ditegakkan dengan menemukan telur

yang mempunyai gambaran khas pada feces penderita. Telur Hymenolepis nana dapat dibedakan

dengan telur Hymenolepis diminuta, karena telur Hymenolepis nana ukurannya relatif lebih kecil dan

mempunyai 4-8 filamen yang disebut sebagai polar filament, sedangkan telur Hymenolepis diminuta

ukurannya relatif lebih besar dan tidak mempunyai polar filament. (Markell B, 1992)

i. Pengobatan

Sebagai obat pilihan dapat diberikan Niclosamide /Yomesan dengan dosis 2,0 gram,

dikunyah, sekali sehari diberikan selama 5-7 hari. Obat lain yaitu Praziquantel peroral dengan dosis

tunggal 15 mg/kg barat badan diberikan setelah makan pagi. Praziquantel ternyata cukup toleran dan
berhasil lebih baik daripada niclosamide. Obat ini akan menimbulkan pembentukan vakuola pada

leher cacing. (Natadisastra D dan Agoes R, 2009)

Obat lain yang dapat digunakan adalah Paramomysin dan Quinacrine walaupun dalam hal ini

Paramomysin kurang efektif, sedangkan Quinacrine sedikit bersifat toxic. (Joklik WK,1996; Markell EK

et al, 1992).

j. Pencegahan

Infeksi oleh cacing pita ini umumnya terjadi secara langsung dari tangan ke mulut. Pada

manusia infeksi selalu disebabkan oleh telur yang tertelan dari benda yang terkontaminasi tanah,

dari tempat-tempat defekasi atau langsung dari anus ke mulut. ( Juni, 2006 )

Karena penularan cacing pita ini secara langsung dan manusia sebagai sumber infeksi utama

maka pencegahannya agak sulit dilakukan. Untuk menekan dan menghindari infeksi cacing pita ini,

perlu meningkatkan kebersihan lingkungan, kebersihan perorangan terutama pada keluarga besar,

meningkatkan kesadaran dan higienes pada anak-anak, mengobati penderita sehingga tidak menjadi

sumber penularan serta memberantas hospes reservoar sebagai sumber infeksi seperti tikus dan

hewan pengerat lainnya. (Brown HW, 1994 ; Joklik WK et al, 1996; Onggowaluyo JS, 2002)

5. Cacing Oxyuris vermucalis Betina

a. Pengertian

Enterobiasis merupakan infeksi cacing yang terbesar dan sangat luas dibandingkan dengan

infeksi cacing lainnya. Hal inidisebabkan karena adanya hubungan yang erat antara parasit ini dengan

manusiadan lingkungan sekitarnya. Parasit ini lebih banyak didapatkan diantara kelompok dengan
tingkat sosial yang rendah, tetapi tidak jarang ditemukan pada orang-orang dengan tingkat sosial

yang tinggi. ( Robert, 2002 )

b. Klasifikasi Ilmiah

Kingdom : Animalia

Filum : Nematoda

Kelas : Secernentea

Ordo : Oxyurida

Famili : Oxyuridae

Genus : Oxyuris

Spesies : Oxyuris vermicularis

(Jeffry HC dan Leach RM, 1983)

c. Morfologi

Cacing betina berukuran 8-13 x 0.4 mm. Pada ujung anterior ada pelebaran kutikulum seperti

sayap yang disebut alae. Ekornya panjang dan runcing. Uterus cacing betina berbentuk gravid yang

melebar dan penuh dengan telur. Cacing jantan berukuran 2-5 mm, juga mempunyai sayap dan

ekornya melingkar sehingga bentuknya seperti tanda tanya. Cacing betina yang gravid mengandung

11.000-15.000 butir telur. Telur berbentuk lonjong dan lebih datar pada satu sisi (asimetris). Dinding

telur bening dan agak lebih tebal dari dinding telur cacing tambang. ( Ganong, 2003 )
Gambar 2.5. Cacing Oxyuris vermivularis betina

( sumber : http://biologidewi.blogspot.com/2011/12/nemathelminthes.html )

d. Siklus Hidup

Cacing dewasa betina mengandung banyak telur pada malam hari dan akan melakukan

migrasi keluar melalui anus ke daerah perianal dan perinium. Migrasi ini disebut Nocturnal migration.

Telur-telur jarang dikeluarkan di usus sehingga jarang ditemukan di dalam tinja. Di daerah perinium

tersebut cacing-cacing ini bertelur dengan cara kontraksi uterus,kemudian telur melekat di daerah

tersebut. Telur dapat menjadi larva infektif pada tempat tersebut, terutama pada temperatur optimal

23-26 ºC dalam waktu 6 jam. Telur resisten terhadap desinfektan dan udara dingin. Dalam keadaan

lembab telur dapat hidup sampai 13 hari. Waktu yang diperlukan untuk daur hidupnya, mulai dari

tertelannya telur matang sampai menjadi cacing dewasa gravid yang bermigrasi ke daerah perianal,

berlangsung kira-kira 2 minggu sampai 2 bulan. ( Diah, 2006 )

Infeksi cacing kremi terjadi bila menelan telur matang, atau bila larva dari telur yang menetas

di daerah perianal bermigrasi kembali ke usus besar. Bila telur matang yang tertelan,telur menetas di

duodenum dan larva rabditiform berubah dua kali sebelum menjadi dewasa di yeyunum dan bagian

atas ileum. Infeksi cacing kremi dapat sembuh sendiri. Bila tidak adareinfeksi, tanpa pengobatanpun

infeksi dapat berakhir. ( Mitchel, 2000 )


e. Distribusi Geografik

Penularan cacing ini tidak merata pada lapisan masyarakat melainkan menyebar pada suatu

keluarga atau kelompok-kelompok yang hidup dalam satu lingkungan yang sama. Enterobiasis sering

menyerang anak-anak usia 5-14 tahun. Udara yang dingin, lembab dan ventilasi yang jelek

merupakan kondisi yang baik bagi pertumbuhan telur. Habitat cacing dewasa biasanya di rongga

sekum, usus besar dan di usus halus yang berdekatan dengan rongga sekum. Makanannya adalah isi

dari usus.Manusia merupakan satu-satunya hospes definitif. E.vermicularis dan tidak diperlukan

hospes perantara. ( Carpenito, 2007 )

f. Epidemiologi

Insiden cacing Enterobius vermicularis tinggi di negara-negara barat terutama di USA yang

mencapai 35-41%. Pada daerah tropis insiden lebih sedikit oleh karena cukupnya sinar matahari,

udara panas, kebiasaan ke WC dimana sehabis defekasi dicuci dengan air tidak dengan kertas toilet.

Akibat dari hal tersebut pertumbuhan telur menjadi terhambat sehingga dapat dikatakan penyakit ini

tidak berhubungan dengan keadaan sosial ekonomi tetapi lebih dipengaruhi oleh iklim dan kebiasaan

hidup. ( Widjajanti, 2006 )

Enterobiasis sering tidak menimbulkan gejala (asimptomatis). Cacing betina gravid, sering

mengembara dan bersarang di vagina serta tuba fallopi. Cacing ini di tuba fallopi dapat menyebabkan

salphyngitis. Kondisi ini sangat berbahaya, terutama pada wanita usia subur, sebab dapat

menyebabkan kemandulan, akibat buntunya saluran tuba. Cacing juga sering ditemukan di appendix.

Hal ini bisa menyebabkan apendisitis, meskipun jarang di temukan. ( Kus, 2009 )

g. Gejala Klinis
1. Kurang tidur (biasanya karena rasa gatal yang timbul pada malam hari ketika cacing betina

dewasa bergerak ke daerah anus dan menyimpan telurnya di sana)

2. Rewel (karena rasa gatal dan tidurnya pada malam hari terganggu)

3. Nafsu makan berkurang, berat badan menurun (jarang terjadi, tetapi bisa terjadi pada infeksi

yang berat)

4. Rasa gatal atau iritasi vagina (pada anak perempuan, jika cacing dewasa masuk ke dalam

vagina)

5. Kulit di sekitar anus menjadi lecet, kasar, atau terjadi infeksi (akibat penggarukan).

( Carpenito, 2007 )

Oleh karena cacing bermigrasi ke daerah anus dan menyebabkan pruritis ani, maka penderita

menggaruk daerah sekitar anus sehingga timbul luka garuk disekitar anus. Keadaan ini sering terjadi

pada waktu malam hari hingga penderita terganggu tidurnya dan menjadi lemah. Kadang-kadang

cacing dewasa muda dapat bergerak ke usus halus bagian proksimal sampai ke lambung, esophagus

dan hidung sehingga menyebabkan gangguan didaerah tersebut. ( Carpenito, 2007 )

Cara penularan Enterobius vermicularis dapat melalui tiga jalan :

1. Penularan dari tangan ke mulut penderita sendiri (auto infection) atau pada orang lain sesudah

memegang benda yang tercemar telur infektif misalnya alas tempat tidur atau pakaian dalam

penderita.
2. Melalui pernafasan dengan menghisap udara yang tercemar telur yang infektif.
3. Penularan secara retroinfeksi yaitu penularan yang terjadi pada penderita sendiri, oleh karena larva

yang menetas di daerah perianal mengadakan migrasikembali ke usus penderita dan tumbuh

menjadi cacing dewasa


( Inge, 2009 )

h. Diagnosis
Cara memeriksa Enterobiasis yaitu dengan menemukan adanya cacing dewasa atau telur dari

cacing E. vermiculsris. Adapun caranya adalah sebagai berikut :

 Cacing dewasa

Cacing dewasa dapat ditemukan dalam feses, dicuci dalam larutan NaCl agak panas,

kemudian dikocok sehingga menjadi lemas, selanjutnya diperiksa dalam keadaan segar atau

dimatikan dengan larutan fiksasi untuk mengawetkan. ( Juni, 2006)

 Telur cacing

Telur E. vermicularis jarang ditemukan didalam feses, hanya 5% yang positif pada orang-

orang yang menderita infeksi ini. Telur cacing E. vermicularis lebih mudah ditemukan dengan teknik

pemeriksaan khusus, yaitu dengan menghapus daerah sekitar anus dengan “Scotch adhesive tape

swab”. (Brown HW, 1994 ; Joklik WK et al, 1996; Onggowaluyo JS, 2002)

i. Pengobatan

Infeksi cacing kremi dapat disembuhkan melalui pemberian dosis tunggal obat anti-parasit

mebendazole, albendazole atau pirantel pamoat. Seluruh anggota keluarga dalam satu rumah harus

meminum obat tersebut karena infeksi ulang bisa menyebar dari satu orang kepada yang lainnya.

( Juni, 2006 )

Untuk mengurangi rasa gatal, bisa dioleskan krim atau salep anti gatal ke daerah sekitar anus

sebanyak 2-3 kali/hari. ( Juni, 2006 )

Meskipun telah diobati, sering terjadi infeksi ulang karena telur yang masih hidup terus

dibuang ke dalam tinja selama seminggu setelah pengobatan. Pakaian, seprei dan mainan anak

sebaiknya sering dicuci untuk memusnahkan telur cacing yang tersisa. ( Mitchel, 2008 )
j. Pencegahan
• Mencuci tangan sebelum makan dan setelah buang air besar
• Memotong kuku dan menjaga kebersihan kuku
• Mencuci seprei minimal 2 kali/minggu
• Membersihkan jamban setiap hari

• Menghindari penggarukan daerah anus karena mencemari jari-jari tangan dan setiap

benda yang dipegang / disentuhnya. (Brown HW, 1994 ; Joklik WK et al, 1996; Onggowaluyo JS, 2002)

6. Telur Cacing Tambang

a. Morfologi

Telur cacing tambang sulit dibedakan, karena itu apabila ditemukan dalam tinja disebut

sebagai telur hookworm atau telur cacing tambang. Telur cacing tambang besarnya ±60 x 40 mikron,

berbentuk oval, dinding tipis dan rata, warna putih. Di dalam telur terdapat 4-8 sel. Dalam waktu 1-

1,5 hari setelah dikeluarkan melalui tinja maka keluarlah larva rhabditiform. Larva pada stadium

rhabditiform dari cacing tambang sulit dibedakan. Panjangnya 250 mikron, ekor runcing dan mulut

terbuka. Larva pada stadium filariform (Infective larvae) panjangnya 600-700 mikron, mulut tertutup

ekor runcing dan panjang oesophagus 1/3 dari panjang badan. (Gandahusada , 2006 )

Gambar 2.6. Telur Cacing Tambang


(sumber: www.body_Hookworm.com )

b. Hospes

Hospes parasit ini adalah manusia ( Juni, 2006 )

c. Daur Hidup

Daur hidup cacing tambang adalah sebagai berikut : telur cacing akan keluar bersama tinja,

setelah 1–1,5 hari dalam tanah, telur tersebut menetas menjadi larva rabditiform. Dalam waktu

sekitar 3 hari larva tumbuh menjadi larva filariform yang dapat menembus kulit dan dapat bertahan

hidup 7–8 minggu di tanah. Setelah menembus kulit, larva ikut aliran darah ke jantung terus ke paru-

paru. Di paru-paru menembus pembuluh darah masuk ke bronchus lalu ke trachea dan laring. Dari

laring, larva ikut tertelan dan masuk ke dalam usus halus dan menjadi cacing dewasa. Infeksi terjadi

bila larva filariform menembus kulit atau ikut tertelan bersama makanan. (Kementerian Kesehatan

RI, 2006)

d. Distribusi Geografik

Telur cacing ini juga dapat ditemukan di daerah tropis dan subtropis antara 300 C utara dan

selatan khatulistiwa. Beigal, Grenburg, dan Ostfeld (Inge, 2000)

e. Patofisiologi

Cacing tambang hidup dalam rongga usus halus tapi melekat dengan giginya pada dinding

usus dan menghisap darah. Infeksi cacing tambang menyebabkan kehilangan darah secara perlahan-

lahan sehingga penderita mengalami kekurangan darah (anemia) akibatnya dapat menurunkan

gairah kerja serta menurunkan produktifitas (Kementerian Kesehatan RI, 2006)

f. Gejala Klinik Dan Diagnosis


Gejala klinik karena infeksi cacing tambang antara lain lesu, tidak bergairah, konsentrasi

belajar kurang, pucat, rentan terhadap penyakit, prestasi kerja menurun dan anemia (anemia

hipokrom micrositer). Disamping itu juga terdapat eosinofilia. (Kementerian Kesehatan RI, 2006)

g. Epidemiologi

Kejadian penyakit ini di Indonesiasering ditemukan terutama di daerah pedesaan, khususnya

di perkebunan atau pertambangan. Cacing ini menghisap darah hanya sedikit namun luka-luka

gigitan yang berdarah akan berlangsung lama, setelah gigitan dilepaskan dapat menyebabkan anemia

yang lebih berat. Kebiasaan buang air besar di tanah dan pemakaian tinja sebagai pupuk kebun

sangat berperan dalam penyebaran infeksi penyakit ini (Gandahusada, 1998). Tanah yang baik untuk

pertumbuhan larva adalah tanah gembur (pasir, humus) dengan suhu optimum 32 oC – 38oC. Untuk

menghindari infeksi dapat dicegah dengan memakai sandal atau sepatu bila keluar rumah

(Kementerian Kesehatan RI, 2006)

7. Cacing Necator americanus Dewasa

a. Klasifikasi Ilmiah

Phylum : Nemathelminthes

Kelas : Nematoda

Sub kelas : Secernantea

Ordo : Strongylida

Super famili : Ancylostomatoidea


Famili : Ancylostomatidae

Genus : Ancylostoma dan necator

Spesies : Necator americanus

(Jeffry HC dan Leach RM, 1983)

b. Morfologi

Cacing betina berukuran panjang kurang lebih 1 cm, cacing jantan kurang lebih 0,8 cm. Setiap

cacing betina dapat bertelur 9000 ekor per hari. Cacing dewasa jantan berukuran 8 sampai 11 mm.

Sedangkan betina berukuran 10 sampai 13 mm. Bentuk badan Necator Americanus biasanya

berbentuk silindris menyerupai huruf S berwarna putih keabuan. Necator Americanus mempunyai

benda kitin, sedangkan pada Ancylostoma duodenale ada dua pasang gigi. Cacing jantan mempunyai

kopulatriks. ( Gandahusada, 1988).

Gambar 2.7. Cacing Necator americanus Dewasa

( sumber : www.cacing-perut-kremi-dan-cambuk.com )

c. Siklus Hidup

Cacing Tambang Cacing dewasa di dalam usus halus manusia, kemudian telur keluar bersama

feses dan mengalami embrionisasi di tanah . Di tempat lembab dan becek, telur menetas menjadi

larva yang disebut rhabditiform (tidak infektif). Kemudian larva ini berubah menjadi filariform
(infektif) yang dapat menembus kulit kaki dan masuk ke dalam tubuh manusia mengikuti aliran

darah, menuju jantung, paru - paru, faring, tenggorok, kemudian tertelan dan masuk ke dalam usus

(migrasi paru, maturasi pada manusia lebih kurang 35 hari) . Di dalam usus, larva menjadi cacing

dewasa yang siap menghisap darah kembali. Selain dengan cara infeksi aktif, dapat pula terjadi infeksi

pasif yaitu bila kista (larva berdinding tebal) tertelan bersama makanan (Soedarto, 1996 )

d. Distribusi Geografik

Necator americanus dibawa dari Afrika dan kini tersebar sampai ke Amerika Serikat. (Volk

dan Wheeler, 1990; Kotpal, dkk. 1981)

e. Epidemiologi

Cacing dewasa hidup dirongga usus halus dengan mulut yang besar melekat pada

mukosa dinding usus. Cacing betina Necator americanus tiap hari mengeluarkan telur kura – kura

9000 butir . (Volk dan Wheeler, 1990; Kotpal, dkk. 1981)

Penyebaran parasit pada waktu ini disebabkan oleh migrasi penduduk dan meluas ke

daerah tropik dan sub tropik. Diperkirakan bahwa cacing tambang diseluruh dunia menghinggapi 700

juta orang, menyebabkan kehilangan darah sejumlah 7 juta liter sehari, yaitu jumlah darah lebih dari

sejuta manusia, sebanyak darah orang – orang yang berdiam di Washington, Taipeh atau Bangkok.

(Volk dan Wheeler, 1990; Kotpal, dkk. 1981)

f. Diagnosa

Diagnosa pasti untuk infeksicacing tambang dengan cara menemukan telur, larva atau cacing

dewasa pada faeces yang dapat diperiksa secara langsung maupun konsentrasi. ( Juni, 2006 )

g. Gejala Klinis
Cacing tambang ini menyebabkan penyakit nekatoriasis dan ankilostomiasis, yang membuat

penderita mengalami anemia berat, keletihan, menurunnya berat badan, rentan pada infeksi, dan

diare berdarah. Gejala yang ditimbulkan cacing dewasa atau larvanya. Bila larva infektif menembus

kulit dapat terjadi gatal-gatal. Bila jumlah larva infektif yang masuk banyak , maka dalam beberapa

jam saja akan terjadi reaksi alergi terhadap cacing yang menimbulkan warna kemerahan, berupa

panel yang dapat menjadi vesikel. Reaksi ini disebut “ground itch” (Poespoprodjo, 1999).

Bila larva infektif A. duodenale tertelan, maka sebahagian akan menuju ke usus dan tumbuh

menjadi dewasa. Sebahagian lagi akan menembus mukosa mulut, faring dan melewati paru - paru

seperti larva menembus kulit. Cacing dewasa N. americanus yang menghisap darah penderita akan

menimbulkan kekurangan darah sampai 0,1 cc per hari, sedangkan seekor cacing dewasa A.

duodenale dapat menimbulkan kekurangan darah sampai 0,34 cc per hari (Ginting, 2003).

BAB III

Metode Praktikum
A. Alat

1. Mikroskop Cahaya dan Listrik

 Digunakan untuk melihat morfologi telur dan cacing

2. Kertas Gambar A4

 Digunakan sebagai media atau tempat menggambar hasil pengamatan telur dan cacing

3. Alat Tulis

 Digunakan sebagai alat bantu untuk menggambar hasil pengamatan jamur dan bakteri, seperti pensil,

penghapus, penggaris, jangka, dll.

4. Pensil Warna

 Digunakan untuk membantu mewarnai gambar hasil pengamatan

B. Bahan

1. Preparat Awetan

 Digunakan sebagai objek yang diamati morfologinya. Yang terdiri dari :

- Preparat Cacing Strongyloides stercoralis Dewasa Betina

- Praparat Telur Clonorchis sinensis

- Praparat Telur Fasciola hepatica Dewasa

- Praparat Telur Hymenolepis nana

- Praparat Cacing Oxyuring vermicularis Betina


- Praparat Telur Cacing Tambang

- Praparat Cacing Tambang ( Cacing Necotor americanus Dewasa )

C. Skema Kerja Praktikum


BAB IV

Hasil dan Pembahasan

A. Hasil

1. Cacing Strongyloides stercoralis Dewasa Betina


Bentuk : Parasiter

Dx Penyakit : Strongiloidiasis

Perbesaran : 40 x 10

Tabel 4.1. Hasil Pengamatan Cacing Strongyloides stercoralis Dewasa Betina

2. Telur Clonorchis sinensis


Ukuran : ± 29 x 16 mikron

Bentuk : Seperti Kendi

Berisi : Mirasidium

Perbesaran : 40 x 10

Tabel 4.2. Hasil Pengamatan Telur Clonorchis sinensis

3. Telur Fasciola hepatica Dewasa


Ukuran : ± 140 x 80 mikron

Bentuk : Operkulum Kecil Berisi Morula

Perbesaran : 40 x 10

Tabel 4.3. Hasil Pengamatan Telur Fasciola hepatica Dewasa

4. Telur Hymenolepis nana


Ukuran : ± 47 x 37 mikron

Bentuk : Bulan / Bujur

Berisi : Embrio Heksakan

Perbesaran : 40 x 10

Tabel 4.4. Hasil Pengamatan Telur Hymenolepis nana

5. Cacing Oxyuring vermicularis Betina


Dx Penyakit : Oksiuriasis / Enterobiasis

Perbesaran : 100 x 10

Tabel 4.5. Hasil Pengamatan Cacing Oxyuring vermicularis Betina

6. Telur Cacing Tambang


Ukuran : ± 70 x 15 mikron

Bentuk : Bulat Lonjong

Berdinding Tipis

Berisi : Beberapa Sel

Perbesaran : 40 x 10

Tabel 4.6. Hasil Pengamatan Telur Cacing Tambang

7. Cacing Necator americanus Dewasa


Dx Penyakit : Ankilostomiasis dan Nekatoriasis

Perbesaran : 100 x 10

Tabel 4.7. Hasil Pengamatan Cacing Necator americanus Dewasa

B. Pembahasan.

1. Cacing Strongyloides stercoralis Dewasa Betina


Pada pengamatan cacing Strongyloides stercoralis dewasa betina, saya meneliti menggunakan

mikroskop dengan perbesaran 40 x 10, karena cacing tidak terlihat jelas apabila dilihat dengan mata

telanjang.

Berdasarkan hasil pengamatan, bentuk cacing Strongyloides stercoralis dewasa betina adalah

lonjong, tipis, panjang dan pada bagian ekor terlihat melengkung seperti ada pengait untuk parasiter.

Selain itu, Cacing Strongyloides stercoralis berwarna coklat atau kuning keemasan . Pada cacing

Strongyloides stercoralis juga diketahui dapat menyebabkan penyakit strongiloidiasis.

2. Telur Clonorchis sinensis

Pada pengamatan telur Clonorchis sinensis, saya meneliti menggunakan mikroskop dengan

perbesaran 40 x 10, karena telur cacing tidak terlihat jelas apabila dilihat dengan mata telanjang.

Berdasarkan hasil pengamatan, bentuk telur Clonorchis sinensis adalah bulat, pipih, lonjong

seperti kendi atau telur ayam, serta di sekelilingnya terdapat bagian – bagian seperti pulau – pulau

kecil dan bulatan – bulatan hitam. Selain itu, telur Clonorchis sinensis berwarna kuning keabuan,

serta kecoklatan. Di dalam telur Clonorchis sinensis juga terlihat adanya cairan mirasidium yang

berwarna bening kekuningan.

3. Telur Fasciola hepatica Dewasa

Pada pengamatan telur Fasciola hepatica dewasa, saya meneliti menggunakan mikroskop

dengan perbesaran 40 x 10, karena telur cacing tidak terlihat jelas apabila dilihat dengan mata

telanjang.

Berasarkan hasil pegamatan, bentuk telur Fasciola hepatica dewasa adalah bulat, namun

sedikit tidak teratur seperti operkulum. Selain itu, juga terdapat serabut – serabut halus yang

mengelilinginya. Warna dari telur itu adalah hijau tua keabuan. Di dalam telur Fasciola hepatica
dewasa juga terlihat adadnya morula yang berbentuk kecil – kecil dan tidak teratur di dalam telur,

serta berwarna bening keabuan.

4. Telur Hymenolepis nana

Pada pengamatan telur Hymenolepis nana, saya meneliti menggunakan mikroskop dengan

perbesaran 40 x 10, karena telur cacing tidak terlihat jelas apabila dilihat dengan mata telanjang.

Berdasarkan hasil pengamatan, bentuk telur Hymenolepis nana adalah bulat seperti bulan,

serta ada juga di sekeliling telur itu yang berbentuk bujur panjang dan tipis. Selain itu, warna dari

telur Hymenolepis nana tersebut adalah kuning bening serta ada sedikit bagian yang berwarna biru.

Di dalam telur Hymenolepis nana juga terlihat adanya embrio heksakan yang berbentuk bulat

berwarna kuning keemasan.

5. Cacing Oxyuris vermicularis Betina

Pada pengamatan cacing Oxyuris vermicularis betina, saya meneliti menggunakan mikroskop

dengan perbesaran 100 x 10, karena cacing tidak terlihat jelas apabila dilihat dengan mata telanjang.

Berdasarkan hasil pengamatan, bentuk cacing Oxyuris vermicularis betina adalah lonjong,

panjang dan bagian ujungnya lancip. Warna dari cacing Oxyuris vermicularis betina yaitu coklat tua

pada bagian dalam dan coklat muda pada bagian luar. Selain itu, di dalam cacing juga terlihat seperti

bagian dalam atau organ dari cacing Oxyuris vermicularis betina. Pada cacing Oxyuris vermicularis

betina juga diketahui menyebabkan penyakit oksiuriasis atau enterobiasis.


6. Telur Cacing Tambang

Pada pengamatan telur cacing tambang, saya meneliti menggunakan mikroskop dengan

perbesaran 40 x 10, karena telur cacing tidak terlihat jelas apabila dilihat dengan mata telanjang.

Berdasarkan hasil pengamatan, bentuk telur cacing tambang adalah bulat lonjong, tipis serta

dikelilingi oleh bagian telur seperti pulau – pulau kecil atau kerak. Warna dari telur cacing tambang

adalah merah muda kemerahan. Selain itu, di dalam telur cacing Oxyuris vermicularis betina juga

terlihat beberapa sel yang berbentuk bulat tidak teratur menyebar di dalam telur.

7. Cacing Necator americanus Dewasa

Pada pengamatan cacing Necator americanus dewasa, saya meneliti menggunakan mikroskop

dengan perbesaran 100 x 10, karena cacing tidak terlihat jelas apabila dilihat dengan mata telanjang.

Berdasarkan hasil pengamatan, bentuk cacing Necator americanus dewasa yaitu silindris

panjang, dan tegak. Menurut hasil pengamatan, saya meneliti jika bagian yang nampak pada

mikroskop adalah bagian punggung atau bawah cacing Necator americanus dewasa. Warna dari

cacing Necator americanus dewasa adalah coklat tua pada bagian luar dan coklat muda pada bagian

dalam. Selain itu, pada bagian luar cacing Necator americanus dewasa dikelilingi oleh pulau – pulau

kecil berbentuk lingkaran yang tidak teratur berwarna coklat tua. Cacing Necator americanus dewasa

juga diketahui menyebabkan penyakit ankilostomiasis dan nekatorisis. Bentuk telur Fasciola hepatica

dewasa adalah bulat, namun sedikit tidak teratur seperti operkulum berwarna hijau tua keabuan,

terdapat serabut – serabut halus yang mengelilinginya. Bentuk telur cacing tambang adalah bulat

lonjong, tipis berwarna merah muda kemerahan.


BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengamatan dan pembahasan, bentuk morfologi, struktur tubuh dan

gejala klinis dari telur dan cacing dari sebagian cacing yang diamati. Karena masing – masing telur

dan cacing memliki sifat khas tersendiri.

Bentuk cacing Strongyloides stercoralis dewasa betina adalah lonjong, tipis, panjang, berwarna

coklat atau kuning keemasan. Bentuk telur Clonorchis sinensis adalah bulat, pipih, lonjong seperti

kendi atau telur ayam berwarna kuning keabuan, serta kecoklatan. Bentuk telur Hymenolepis nana

adalah bulat seperti bulan, serta ada juga di sekeliling telur itu yang berbentuk bujur panjang dan

tipis. Bentuk cacing Oxyuris vermicularis betina adalah lonjong, panjang dan bagian ujungnya lancip.

Berwarna coklat tua pada bagian dalam dan coklat muda pada bagian luar. Bentuk cacing Necator

americanus dewasa yaitu silindris panjang, dan tegak berwarna coklat tua pada bagian luar dan

coklat muda pada bagian dalam.

http://iddamahfiroh.blogspot.com/2013/04/laporan-praktikum-cacing.html

Laporan Praktikum Pemeriksaan telur cacing metode fluotasi


I. Judul Praktikum : Identifikasi Nematoda Usus Pada Sampel
Tinja metode Fluotasi ( Pengapungan )
II. Tanggal Praktikum : 19 April 2013
III. Tujuan Praktikum : Mengidentifikasi Keberadaan Telur Cacing
Dalam Sampel Tinja
IV. Prinsip Pemeriksaan : Sampel diemulsikan kedalam larutan NaCl
jenuh, dimana telur cacing akan mengapung kepermukaan
larutan dikarenakan perbedaan berat jenis antara
telur cacing dan larutan NaCl.
V. Landasan Teori

Parasit merupakan kelompok biota yang pertumbuhan dan hidupnya bergantung pada
makhluk lain yang dinamakan inang. Inang dapat berupa binatang atau manusia. Menurut cara
hidupnya, parasit dapat dibedakan menjadi ektoparasit dan endoparasit. Ektoparasit adalah jenis
parasit yang hidup di permukaan luar tubuh, sedangkan endoparasit adalah parasit yang hidup di
dalam organ tubuh inangnya. Parasit yang hidup pada inangnya dalam satu masa/tahapan
pertumbuhannya seluruh masa hidupnya sesuai masing-masing jenisnya (Setyorini dan
Purwaningsih, 1999).

Manusia merupakan satu-satunya hospes Ascaris lumbricoides. Penyakit yang disebabkanya


disebut askariasis. Cacing jantan berukuran 10-30 cm, sedangkan cacing betina 22-35 cm. Stadium
dewasa hidup di rongga usus muda. Seekor cacing betina dapat bertelur sebanyak 100.000-200.000
butir sehari, terdiri telur yang dibuahi, dan yang tidak dibuahi. Telur yang dibuahi, besarnya kurang
lebih 60x45 mikron dan yang tidak dibuahi 90x40 mikron. Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang
dibuahi berkembang menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Bentuk infektif ini,
bila tertelan oleh manusia, menetas di usus halus. Larvanya menembus dinding usus halus menuju
pembuluh darah atau saluran limfe, lalu dialirkan ke jantung, kemudian mengikuti aliran darah ke
paru. Larva di paru menembus dinding pembuluh darah, lalu dinding alveolus, masuk ke rongga
alveolus, kemudian naik ke trakea melalui bronkiolus dan bronkus. Dari trakea penderita batuk
karena rangsangan ini dan larva akan tertelan ke esofagus, lalu menuju ke usus halus. Di usus halus,
larva berubah menjadi cacing dewasa. Sejak telur matang tertelan sampai cacing dewasa bertelur
diperlukan waktu kurang lebih 2 bulan (Gandahusada dkk, 1998).

Cacing ascaris lumbricoides merupakan jenis cacing gilig penyebab ascariasis pada manusia
maupun hewan diseluruh dunia. Kejadian ascariasis sangat tinggi pada daerah tropis dan sub tropis
cacing ini berparasit pada usus halus, infeksi dapat terjadi melalui pakan, air minum, melalui
kolostrum dan uterus ( Levine, 1990 ).
VI. Alat Dan Bahan

A. Alat Yang Digunakan :

1. Batang pengaduk
2. Cover glass
3. Mikroskop
4. Objek gelas
5. Pipet tetes
6. Rak tabung
7. Tabung reaksi

B. Bahan Yang Digunakan :

1. Aquadest
2. Garam dapur atau Kristal NaCl
3. Tinja
4. Tisu

VII. Prosedur Kerja

1. Buatlah larutan NaCl jenuh dengan melarutkan garam ke dalam aquadest


2. Buatlah larutan emulsi larutan tinja dengan menggunakan larutan NaCl jenuh
3. Pipet emulsi tinja dalam tabung reaksi, kemudian cukupkan volumenya dengan menggunakan NaCl
jenuh sampai rata dengan permukaan tabung
4. Letakkan cover glass diatas permukaan tabung reaksi sehingga menyentuh permukaan larutan,
hindari terbentuknya gelembung
5. Biarkan 3 menit, sampai telur cacing naik ke permukaan larutan
6. Pindahkan cover glass tersebut diatas objek glass yang bersih dan kering
7. Periksalah dibawah mikroskop dengan pembesaran 10x10.

VIII. Data Pengamatan

A. Makroskopis

1. Bau : Khas
2. Warna : Kuning kecoklatan
3. Lendir : Tidak ada
4. Konsistensi : Padat
5. Darah : Tidak ada

B. Mikroskopis

1. Telur : Negatif ( - )
2. Larva : Negatif ( - )
3. Eritrosit : Negatif ( - )
4. Leukosit : Negatif ( - )
5. Epitel sel : Positif ( + )
6. Serat makanan : Positif ( + )
7. Granula pati : Positif ( + )
8. Tetesan minyak : Positif ( + )
9. Gelembung udara : Positif ( + )

C. Garmbar

Keterangan gambar :

1. trichuris trichiura

IX. Pembahasan

Pemeriksaan parasit dengan sampel feses pada manusia atau hospes dapat dilakukan dengan
pemeriksaan kualitatif dan kuantitatif. Pemeriksaan feses secara kualitatif yaitu pemeriksaan yang
didasarkan pada ditemukannya telur pada masing – masing metode pemeriksaan tanpa dihitung
jumlahnya. Metode pemeriksaan yang termasuk dalam pemeriksaan kualitatif adalah pemeriksaan
metode apung ( fluotasi ).

Pada praktikum ini metode yang digunakan yaitu metode pengapungan atau fluotasi. Pada
metode ini menggunakan larutan NaCl jenuh atau larutan gula jenuh dan terutama dipakai untuk
pemeriksaan feses yang sedikit telur.

Cara kerjanya didasarkan atas berat jenis telur yang lebih ringan dari pada berat jenis larutan
yang digunakan, sehingga telur – telur terapung dipermukaan dan juga untuk memisahkan partikel –
partikel yang besar yang terdapat dalam feses. Pemeriksaan ini hanya berhasil untuk telur – telur
nematode.

Sampel yang digunakan dalam praktikum ini yaitu tinja yang diambil langsung dari manusia
dengan criteria tertentu sekitar 5 – 6 jam sebelum praktikum. Penggunaan tinja dalam praktikum
sebesar biji kelereng dan langsung dimasukkan ke dalam larutan NaCl yang disimpan dalam tabung
reaksi kemudian dilarutkan sampai tidak ada feses yang menumpuk.

Pada permukaan tabung reaksi diletakkan cover glass sampai menyentuh permukaan larutan
emulsi dan dibiarkan kurang lebih 3 menit tujuannya agar telur cacing nematode mengendap ke atas
dan menempel pada cover glass. Jika pada proses pendiaman terlalu lama bisa menyebabkan telur
cacing kembali jatuh kedalam larutan. Akibatnya dapat menimbulkan hasil negative palsu.

Sertelah dilakukan pendiaman diambil cover glass dan diletakkan diatas objek gelas yang
bersih dan kering kemudian diperiksa dibawah mikroskop. Pada praktikum ini tidak didapatkan telur
cacing dan dapat dinyatakan bahwa negative terhadap infeksi parasit atau terdapat kesalahan dalam
pemeriksaan.

Kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi dalam pemeriksaan feses diantaranya adalah:

 Kesalahan pemeriksa/praktikan (human error)


Kesalahan yang termasuk antara lain kesalahan saat melakukan pemeriksaan/melaksanakan
praktikum, kesalahan dalam menggunakan alat dan bahan, dan kesalahan dalam pengambilan feses
saat praktikum.
 Kesalahan saat awal pengambilan feses
Kesalahan yang dimaksud yakni kesalahan saat pengambilan feses dari manusia/hospes, apakah
diambil pada tempat pembuangan/kloset atau tidak langsung dari perianal, apakah tercampur
dengan urin.
 Kesalahan penyimpanan feses
Kemungkinan kesalahan saat proses penyimpana feses tidak dalam suhu rendah dan ruangan yang
tidak steril.
Kelebihan dari metode fluotasi ( pengapungan ) yaitu tidak menyebabkan penumpukan telur
cacing sehingga memudahkan dalam pemeriksaan telur cacing.

X. Kesimpulan
Setelah dilakukan pemeriksaan telur cacing nematode usus pada sampel tinja, tidak ditemukan
adanya telur cacing nematode usus yang menandakan bahwa sampel tidak terinfeksi parasit.

http://yazhid28bashar.blogspot.com/2013/07/laporan-praktikum-pemeriksaan-telur.html 01/04/14
1.08

Anda mungkin juga menyukai