Anda di halaman 1dari 10

PAPER PATOLOGI UNGGAS

Choanotaenia infundibulum

Nama : Aiza Annisa

NIM : 1802101010133

Kelas : 02

Dosen Pengajar : Prof. Dr. drh. Ummu Balqis, M.Si

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

UNIVERSITAS SYIAH KUALA

BANDA ACEH

2020
BAB 1

Pendahuluan

1. Latar Belakang

Choanotaenia merupakan genus dari Choanotaenia infundibulum. Choanotaenia


infundibulum termasuk ke dalam golongan cestoda. Choanotaenia infundibulum
berpredileksi pada ½ bagian anterior usus halus ayam dan kalkun. Panjang cacing pita
dewasa bisa mencapai 20 cm. Cacing pita banyak terdapat di dalam usus halus sehingga
dapat menyebabkan penyumbatan pada usus halus tersebut (Fadilah dan Polana, 2004).
Cacing pita Choanotaenia infundibulum ini biasanya terdapat di dalam saluran pencernaan
ayam dan kalkun bisa menyebabkan penyalit cestodosis. Cacing ini bersifat hermaprodit.
Tubuhnya terdiri dari beberapa bagian yaitu kepala (scolex) yang dilengkapi dengan alat
penghisap, leher, dan badan (strobila) yang terdiri dari beberapa segmen (proglotida)
(Fadilah dan Polana,2011).

Scolex berbentuk segitiga, mengarah ke depan denagn rostellum yang khas,


dikelilingi sekitar 18 kait ramping. Satu set organ reproduksi ada si setiap proglottid dan
pori-pori genital bergantian secara teratur. Telurnya berbentung oval berukuran sekitar 45
kali 55µm dan memili filament panjang yang khas di setiap kutub, yang merupakan ciri
diagnostik dari genus unggas ini (Taylor et al., 2015).
Gambaran Cacing Pita Choanotaenia infundibulum

Lalat Musca Domestica Host Defenitif Choanotaenia infundibulum


BAB 2

Pembahasan

1. Gejala Klinis

Unggas/ bangsa burung yang muda sering terinfeksi. Hewan menunjukkan nafsu
makan menurun, lesu, selalu haus, kelihatan lemah dan mudah lelah, kurus dan anemia. Pada
infeksi yang berat dapat menyebabkan kematian pada hewan muda. Pada unggas betina akan
mengalami produksi telur yang menurun pada ayam petelur (layer). Choanotaenia
infundibulum menyebabkan diare, feses bercamput pigmen- pigmen darah, kadang-kadang
terjadi gangguan saraf pada sebagian atau seluruhan tetapi tidak jelas ( Kusnoto et al., 2015).

2. Patogenesis

Cacing muda melakukan penetrasi dengan ujung anterior cukup dalam pada mukosa
dan submukosa duodenum sehingga menyebabkan bentukan nodule-nodule yang dapat
dibedakan dengan nodule Tuberkulosis. Nodule cacinng ini dapat dilihat pada permukaan
peritoneal dan mengandung jaringan nekrotik dan lekosit. Selama stadium awal, cacing muda
ditemukan menggantung di dalam lumen usus halus.

3. Siklus Hidup

Choanotaenia infundibulum memiliki siklus hidup tidak langsung dengan burung


domestic dan liar sebagai inang terakhir, dan beberapa spesies lalat (misalnya Musca
domestica), belalang, semut dan rayap sebagai inang perantara. Segmen cacing pita dewasa
yang mengandung telur dibuang bersama kotoran burung. Mereka motil dan bermigrasi
dengan cepat sambil membuang kotoran ke vegetasi sekitarnya. Inang perantara menelan
segmen yang hamil, yang melepaskan telur di usus mereka setelah pencernaan. Telur
kemudian berkembang menjadi cysticercoids di rongga tubuh inang perantara. Burung
menelan lalat, belalang, semut, dll. Dan setelah pencernaan, cysticercoids melepaskan cacing
pita muda yang menempel di dinding usus burung.
Siklus hidup dari cacing Choanotaenia infundibulum pada ayam dan kalkun sebagai berikut:
 Cacing dewasa hidup di usus halus dan menghasilkan proglotid yang mengandung
telur yang sudah dibuahi
 Proglotid akan keluar bersama feses, menempel di rumput ataupun tanah dan
bebatuan, kemuadian termakan oleh unggas lainnya
 Di usus halus hewan tersebut, telur menetas menjadi larva onkosfer
 Onkosfer menembus usus halus, masuk kedalam peredaran darah, kemudian menuju
ke jaringan otot untuk membentuk sista sistiserkus.
 Lalu sistiserkus akan berkembang menjadi Choanotaenia infundibulum dewasa di
dalam usus halus unggas
4. Mekanisme Infeksi

Perantara (intermediate) yang bisa menjadi inang cacing pita Choanotaenia


infundibulum yaitu hewan invertebrata seperti kumbang dan lalat. Hewan perantara ini akan
memakan telur cacing dari unggas yang terinfeksi cacing tersebut. Di dalam hewan perantara,
telur cacingakan menetas dalam saluran encernaan, kemudian larvanya menembuss dinding
usus dan masuk ke dalam rongga danberubah menjadi cysticercoids dalam waktu tiga
minggu. Unggas akan terinfeksi oleh cacing pita karena hewan perantara tersebut dimakan
dan cysticercoids akan terlepas dari induk semangnya kemudian menempel pada usus
unggas. Dalam waktu tiga minggu cacing pita Choanotaenia infundibulum tersebut sudah
menjadi dewasa (Fadilah dan Polana, 2011). Waktu antara infeksi dan pelepasan telur
pertama (periode prepaten) sekitar 2 sampai 4 minggu.

5. Patologi Anatomi
Infeksi cacing saluran pencernaan pada umumnya mudah didiagnosis melalui
pemeriksaan tinja hewan yng dicurigai terinfeksi. Telur cacing yang keluar bersama feses
berkembang menjadi stadium infektif kemudian termakan induk semang antara atau langsung
masuk tubuh ayam yang kemudian akan menuju ke usus untuk berkembang sampai dewasa.
Tidak demikian dengan Cestodosis yang memiliki tingkat kesulitan tersendiri untuk
didiagnosis karena cacing pita tidak mengeluarkan telur bersama tinja. Nekropsi merupakan
cara terbaik yang dilakukan untuk mendiagnosis Cestodosis.

Cacing pita dewasa memiliki panjang hingga 25 cm dan lebar 3 mm. Kepala (scolex)
kecil dan memiliki penghisap dan kait untuk dipasang ke dinding usus inang. Biasanya tidak
lebih dari 30 segmen (proglottid), yang lebih lebar dari panjang. Setiap segmen memiliki
organ reprosuksinya sendiri untuk kedua jenis kelamin (yaitu hermafrodit). Setiap segmen
juga memiliki bukaan yang sama yang disebut pori genital. Pada segmen muda semua organ
ini masih belum sempurna. Mereka berkembang secara progresif, yang meningkatkan ukuran
segmen saat sidorong kea rah ekor. Sebaliknya, seperti cacing pita lainnya, mereka tidak
memiliki saluran pencernaan, atau system pernapasan peredaran darah. Mereka tidak
memiliki saluran pencernaan, atau system pernapasan peredaran darah. Mereka tidak
membutuhkannya karena setiap segmen menyerap apa yang dibutuhkannya secara langsung
melalui tegumentnya. Telur berbentuk bulat telur, berukuran sekitar 35x45 mikrometer, dan
menganding embrio (oncosphere).

6. Histopatologis
7. Pencegahan

Pencegahan yang dapat dilakukan yaitu :

1. Membasmi kumbang, lalat rumah, semut, maupum belalang disekitar kandang dengan
insektisida
2. Pemeliharaan unggas sebaiknya dikandangkan
3. Memberantas siput dengan molluscida
4. Hygiene kandang
5. Pemberian pakan dan minum supaya diletakkan di tempat yang bersih.

Untuk pencegahan lainnya yaitu sering mengganti sarang unggas dan menjaganya
tetap kering dapat membantu menghindari infeksi karena memperpendek kelangsungan
hidup segmen unggas dan telur yang sedang hamil. Tindakan menghindari kontaminasi
pakan dengan semut atau kumbang disarankan. Pengendalian lalat, semut, dan rayap ssecara
kimiawi di kandang unggas dapat disarankan. Namun, untuk alasan ekonomi dan ekologi,
penggunaan insektisida di luar ruangan untuk melawan semut, kumbang atau rayap tidak
dibenarkan.

Kawanan yang beresiko dapat diobati dengan anthelmintik yang efektif melawan
cacing pita. Mereka mengandung benzimidazol spektrum luas (misalnya albendazole,
febantel, fenbendazole, mebendazole, oxfendazole, dll). Atau taenicides spesifik (misalnya,
nislosamide, praziquantel, dll). Sebagian besar bahan aktif ini tersedia sebagai aditif untuk
pakan atau air minum, atau sebagai tablet untuk pemakaian oral.

Jika sudah terkena masih bisa diobati yaitu:

1. Di-N-butyl Tin Dilaurat.


Pemberian dicampur dalam makanan dengan dosis: 250 mg/kg makanan.
2. Di-N-butyl Tin Oxidase dengan dosis :15-100 mg per hewan
3. Dichlorophene dengan dosis :300 mg/kg makanan
4. Panhelmin (campuran levamisole dan praziquantel). Tiap 100 ml mengandung 5 g
levamisole dan 3,5 praziquantel, dosis: 100 ml panhelmin dilarutkan dalam 100 L air,
diberikan dalam air minum selama 2 hari (2x24 jam) dan dilakukan ulangan setelah 10
hari pemberian ulangan juga selama 2 hari.

Sanitasi Pada Kandang Ayam

Penampakan Kandang Ayam yang Bersih


DAFTAR PUSTAKA

Fadilah, R. dan Polana, A. (2004). Aneka Penyakit pada Ayam dan Cara Mengatasinya.
Agromedia, Jakarta.

Fadilah, R. dan Polana, A. (2011). Mengatasi 71 Penyakit Pada Unggas. Agromedia, Jakarta

Kisnoto, Bendryman, S. S., Koesdarto, S. dan Sosiawati, S. M. (2015). Ilmu Penyakit Helmin
Kedokteran Hewan.Zifatama Publisher, Sidoarjo.

Taylor, M. A., Coop, R. L. dan Wall, R. L. (2015). Veterinary Parasitology. Wiley Blackwell,
UK.

Anda mungkin juga menyukai