Anda di halaman 1dari 27

Trypanosoma rhodesiense

Kelompok 3 Blok 8 Alpha 2019

Nama Anggota Kelompok:


1.Aji Fendi 04011281924079
2.Salsabila Nadhifah 04011281924088
3.Tongam Pasarela Saing 04011281924091
4.Alvira Putri Ayunda 04011281924092
5.Sofi Dwi Novrianta 04011281924094
6.Aidi Alifia Putri 04011281924097
7.Imaulina Sri Chelsee Limbong 04011281924100
8.Muniaty Sulam Ng 04011281924103
9.Frashad Fanseca Alvarez 04011281924106
10.Dian Christi Sihombing 04011281924109
11.Marlyani Tamara 04011281924112
12.Farina Syafira 04011281924115
13.Luthfiyah Khairunnisa 04011281924118
Taksonomi Trypanosoma rhodesiense

Kingdom: Protista
Subkingdom: Protozoa
Filum: Sacromastigophora
Subfilum: Mastigophora
Kelas: Zoomastigophora
Ordo: Kinetplastida
Famili: Trypanosomatidae
Genus: Trypanosoma
Spesies: Trypanosoma brucei
Subspesies: Trypanosoma b. rhodesiense
Hospes
Vektor dari Trypanosoma rhodesiense adalah lalat Glossina atau
yang biasa disebut lalat tsetse, sedangkan manusia dan binatang
liar seperti antilop merupakan hospes reservoa untuk
Trypanosoma rhodesiense.
Habitat
Trypanosoma brucei rhodesiense hidup sebagai parasit dalam
darah, getah bening, kelenjar getah bening, limpa, atau cairan
serebrospinal manusia dan di usus lalat penghisap darah Glossina
palpalis (lalat Tsetse).
Morfologi
• Antara spesies Trypanosoma rhodesiense dan Trypanosoma
gambiense tidak terdapat perbedaan morfologi. Pada manusia,
kedua spesies tersebut berada dalam stadium tripanomastigot yang
hidup dalam darah. Terdapat dua macam bentuk, yaitu bentuk
panjang (32 mikron) dan bentuk pendek (16 mikron) yang tidak
mempunyai flagel. Oleh karena itu, parasit ini disebut mempunyai
sifat polimori (Sutanto dkk, 2019: 152).
• Dalam darah, tripanosom bergerak cepat di antara sel darah merah.
Membran bergelombang dan flagel dapat dilihat dengan organisme
yang bergerak lebih lambat. Bentuk trypomastigote memiliki
panjang 14 hingga 33 μm dan lebar 1,5 hingga 3,5 μm (Garcia,
2007: 220).
Morfologi

Trypomastigotes Trypanosoma brucei gambiense (mempunyai morfologi sama dengan


Trypanosoma brucei rhodesiens) pada apusan darah tepi. Perhatikan kinetoplas kecil (Sumber:
Lynne Shore Garcia dalam Diagnostic Medical Parasitology, 2007 halaman 221)
Morfologi
• Dengan noda Giemsa atau Wright, sitoplasma butiran berwarna biru
pucat dan mengandung butiran biru tua dan kemungkinan vakuola.
Inti yang terletak di tengah berwarna kemerahan. Di ujung posterior
organisme adalah kinetoplast, yang juga berwarna kemerahan, dan
sisa flagel intrasitoplasma (aksonem), yang mungkin tidak terlihat.
• Flagel muncul dari kinetoplast, seperti halnya membran
bergelombang. Flagel membentang di sepanjang tepi membran
bergelombang sampai membran bergelombang menyatu dengan
badan tripanosom di ujung anterior organisme. Pada titik ini, flagel
menjadi bebas untuk melampaui tubuh (Garcia, 2007: 220). Dalam
bentuk epimastigote, nukleus berada di posterior kinetoplast,
berbeda dengan trypomastigote, di mana nukleus berada di anterior
kinetoplast (Garcia, 2007: 219).
Morfologi

Daur hidup tripanosom (Sumber: Lynne Shore Garcia dalam


Diagnostic Medical Parasitology, 2007 halaman 219)
Siklus Hidup
Gejala
 Timbul syanker tripanosoma dalam waktu seminggu.
• Pada penduduk asli, masa ini di daerah endemi berlalu afebril
(tanpa demam), sedangkan pada penduduk pendatang mengalami
demam.
• Kelenjar limfe menjadi besar dan nyeri. Hal ini nyata sekali pada
daerah servikal belakang yang disebut gejala winterbottom. Juga
terjadi pembesaran daerah limfe yang lain seperti di daerah ketiak
dan inguinal.
Gejala
• Hepatosplenomegali; penderita sakit berat dan dapat
meninggal.
Gejala

• Pada stadium berikutnya, parasit dapat masuk ke otak dan


menyebabkan meningitis, ensefalitis dengan gejala sakit kepala
yang berat, kelainan motorik, apatis, letargi, koma dan berakhir
dengan kematian
Diagnosis
• Pemeriksaan fisik dan riwayat klinis sangat penting dalam
menegakkan diagnosis. Gejala diagnostik yang termasuk adalah
demam tidak teratur, pembesaran nodus limfatik, sensasi nyeri yang
tertunda, dan ruam dikulit.
• Diagnosis bergantung pada adanya trypomastigotes dalam darah,
aspirasi limfatik, sumsum tulang, dan cairan serebrospinal. Adanya
frekuensi parasitemia yang tinggi, mengakibatkan peluang infeksi
yang disebabkan oleh T. brucei rhodesiense lebih besar
dibandingkan yang disebabkan oleh T. brucei gambiense.
• Karena adanya peridisitas, jumlah parasit dalam darah dapat
berubah; oleh karena itu, beberapa spesimen harus dikumpulkan dan
sejumlah teknik harus digunakan untuk mendeteksi trypomastigotes.
•  Macam-macam metode diagnosis:
Diagnosis

1. Aspirasi Ulkus (Luka)


2. Aspirasi Nodus Limfatik
3. Darah
4. Sentrifugasi Mikrohematokrit
5. Sentrifugasi Pertukaran Mini-Anion
6. Cairan Serebrospinal
7. Deteksi Antigen
8. Inokulasi dan Budidaya Hewan
Patologi
T. brucei rhodesiense menginfeksi lebih cepat dan bersifat akut. Demam,
sakit kepala parah, emosional, kelelahan ekstrim, pembengkakan kelenjar
getah bening, nyeri otot dan persendian adalah gejala umumnya.

Tabel ciri – ciri trypanosomiasis(Sumber: Diagnostic Medical


Parasitology Edisi 5).
Patologi
• Ketika terinfeksi, parasit berkembangbiak di sela-sela jaringan
bawah kulit dan dalam waktu sekitar satu minggu timbul benjolan
borok yang disebut syanker tripanosoma. Kemudian akan terjadi lesi
primer pada benjolan yang akan sembuh secara spontan dalam 1
hingga 2 minggu. Selanjutnya pada stadium tripomasfigot, parasite
masuk ke pembuluh darah dan terjadi parasitemia yang afebril (tidak
menyebabkan demam) pada penduduk asli tetapi menimbulkan
demam pada penduduk pendatang.
• Timbulnya demam disebabkan oleh parasit yang menyerang kelenjar
limfe. Kelenjar limfe menjadi besar dan nyeri. Pada daerah servikal
belakang atau bagian belakang leher, terkandang tampak
pembengkakkan kelenjar yang disebut gejala winterbottom. Di
daerah ketiak dan inguinal juga terjadi pembesaran kelenjar limfe.
Pembesaran kelenjar ini lunak dan tidak nyeri.
Patologi

Gambar Winterbottom (Sumber: Diagnostic Medical Parasitology


Edisi 5).
Patologi
• Kelenjar getah bening yang membesar cenderung tampak pada
submandibular, aksila dan inguinal saat terinfeksi T. b. rhodesiense. Selain
itu juga tejadi hepatosplenomegali; penderita sakit berat dan dapat
meninggal. T. rhodiense sangat ganas dan menimbulkan penyakit akut yang
dapat menyebabkan kematian sebelum timbul gejala otak.
• Pada stadium berikutnya, parasit dapat masuk ke otak dan menyebabkan
meningitis (radang selaput otak), ensefalitis dengan gejala sakit kepala yang
berat, kelainan motorik, apatis, letargi, koma dan berakhir dengan kematian.
Invasi sistem saraf pusat menyebabkan manifestasi neuropsikiatri berupa
gangguan tidur, disebut “penyakit tidur Afrika”. Perubahan perilaku dan
kepribadian, kejang, dan kesulitan dalam berjalan dan berbicara terjadi saat
organisme menyerang SSP. Gejala lain yang lebih cenderung terlihat pada
Trypanosomiasis rhodiense daripada T. b.gambiense adalah jantung
abnormal saat diperiksa melalu elektrokardiogram, anemia, penyakit kuning,
miokarditis, takikardi dan gagal jantung.
Pengobatan
• Pengobatan pada penyakit tidur Afrika biasanya berhasil baik bila dimulai pada
permulaan penyakit (infeksi dini), yaitu pada stadium darah-limfe. Untuk itu dipakai
suramin atau pentamidin. Bila susunan saraf sudah terkena, dapat dipakai triparsamid
oleh karena dengan suramin atau pentamidin kurang baik hasilnya.
• Obat yang tersedia umumnya toksik untuk manusia, dan beberapa strain parasite menjadi
resisten terhadap obat tersebut. Untuk itu dapat dipakai melarsopol: Mel B (arsobal).
Pencegahan
• Perlakuan preventif dilakukan dengan meminimalisir kontak
dengan lalat Tsetse. Penduduk lokal di daerah endemik
biasanya mengetahui area yang beresiko tinggi sehingga
mengetahui area mana yang harus dihindari. Tindakan preventif
lainnya dapat berupa:
1)Menggunakan baju berlengan panjang dan celana panjang
dengan material tidak terlalu berat dan berwarna netral. Lalat
Tsetse tertarik pada warna yang teralalu terang atau terlalu gelap,
dan mereka dapat menggigit menembus baju berbahan terlalu
tipis dan ringan.
2)Sebelum berkendara, perhatikan kendaraan yang hendak
dinaiki. Lalat Tsetse tertarik pada pergerakan debu pada
kendaraan yang bergerak.
Pencegahan
3)Hindari semak-semak. Lalat Tsetse menjadi kurang aktif pada saat-
saat terpanas dalam satu hari, tetapi akan menggigit bila terganggu.
4)Gunakan pembasmi serangga. Pembasmi serangga belum secara
efektif terbukti dapat melawan Lalat Tsetse, tetapi dapat mencegah
gigitan serangga lainnya yang dapat menyebabkan penyakit.
Pencegahan
WHO (World Health Organization) telah menargetkan pengeliminasian
Tripanosomiasis Afrika Timur sebagai masalah kesehatan masyarakat
pada tahun 2020. Tujuan akhirnya adalah untuk pengeliminasian
berkelanjutan pada tahun 2030. Strategi untuk eliminasi
Tripanosomiasis ini terdiri atas tiga strategi:
1)Penemuan kasus aktif dan pasif
2)Perawatan pada kasus terkonfirmasi
3)Mengontrol vector untuk mengurangi populasi lalat Tsetse.
Pengurangan reservoir infeksi dianggap lebih sulit pada T. b.
rhodesiense, karena host hewan (zoonosis) yang terlalu bervariasi. Oleh
karena itu, penghentian transmisi Tripanosomiasis Afrika dianggap tidak
mudah. Kontrol vector merupakan strategi utama yang digunakan, tetapi
pendekatan multisektoral (kesehatan hewan dan manajemen sumber
daya) juga penting untuk mengurangi transmisi.
Epidemiologi
T. rhodesiensisditemukan di daerah yang berfokus di Afrika timur
dan tenggara. Sejak tahun 2015, kurang dari 100 kasus telah
dilaporkan kepada WHO setiap tahunnya. Hewan peliharaan dan
hewan liar adalah reservoir utama infeksi. Hewan ternak telah
terlibat dalm penyebaran penyakit ke daerah baru dan menjadi
wabah local. Waduk hewan liar dianggap bertanggung jawab atas
penularan sporadis ke pemburu dan pengunjung taman bermain.
Infeksi terhadap para pengunjung internasional jarang terjadi,
tetapi bisa juga terjadi dan sebagian besar kasus penyakit tidur
diimpor ke Amerika Serikat terjadi pada pengunjung yang sedang
bersafari di Afrika Timur.
Epidemiologi
Daftar Pustaka
• CDC. 2019. Trypanosomiasis, African. 6 Maret. Diakses Agustus
19, 2020. https://
www.cdc.gov/dpdx/trypanosomiasisafrican/index.html.
• Michigan State University, “Taxonomic Classification of African
Trypanosoma Species.” Diakses melalui https
://msu.edu/course/zol/316/tbrutax.htm, pada tanggal 19
Agustus 2020 pukul 19.10.
• Abbas, A.K., Aster, J.C., dan Kumar, V. 2015. Buku Ajar
Patologi Robbins. Edisi 9. Singapura: Elsevier Saunders.
• Center for Disease Control and Prevention .2020.
Trypanosomiasis, African. https://
www.cdc.gov/dpdx/trypanosomiasisafrican/index.html.
• Susanto, I., et al. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran Edisi
Keempat. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
Daftar Pustaka
 Ananthanarayan, R., Paniker, C.K., Jayaram, C.K Textbook of
Microbiology. 8 th ed. Publisher: Universities Press.
• Garcia, Lynne Stone. 2007. Diagnostic Medical Parasitology
Edisi 5. Washington : ASM Press
• Sutanto I, dkk, Buku Ajar Parasitologi Kedokteran, edisi ke 4,
FKUI, Jakarta, hal 154. 2008.
• CDC. “African Trypanosomiasis – Prevention & Control.”
Cdc.gov. 9 Maret 2020, https://
www.cdc.gov/parasites/sleepingsickness/prevent.html . Diakses
pada 19 Agustus 2020.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai