Anda di halaman 1dari 20

Pewarnaan Spora Bakteri

LAPORAN
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Mikrobiologi
Yang dibina oleh Ibu Sitoresmi Prabaningtyas, S.Si, M.Si.

Oleh Kelompok 6 :
Offering H
1. Achmad Fais

(120342422457)

2. Laily Rahmawati (140342600476)


3. Listia Ningrum

(140342601711)

4. Siti Hartina Pratiwi

(140342603933)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
JURUSAN BIOLOGI

Februari 2016
A. JUDUL
Pewarnaan Spora Bakteri
B. TUJUAN
1. Untuk memperoleh keterampilan melakukan pewarnaan spora bakteri
2. Untuk mengetahui ada atau tidak adanya spora bakteri
C. DASAR TEORI
Spora bakteri adalah bentuk bakteri yang sedang dalam usaha mengamankan
diri terhadap pengaruh buruk dari luar. Segera setelah keadaan luar baik lagi bagi
mereka, maka pecahlah bungkus spora dan tumbuhlah bakteri. Bentuk spora
bermacam-macam, ada yang berbentuk bulat dan ada yang berbentuk lonjong. Spora
membiaskan cahaya, sulit untuk diwarnai, dan sangat resisten terhadap faktor
lingkungan yang buruk. Beberapa bakteri mampu membentuk spora meskipun tidak
dalam keadaan ekstrem ataupun medium yang kurang nutrisi. Hal ini dimungkinkan
karena bakteri tersebut secara genetis, dalam tahapan pertumbuhan dan
perkembangannya memang memiliki satu fase sporulasi (Dwidjoseputro, 2005).
Jenis-jenis bakteri tertentu, terutama yang tergolong genus Bacillus dan
Clostridium mempu membentuk spora. Oleh karena terbentuk di dalam sel, maka
disebut endospora (Hastuti, 2015). Mikroba lainnya misalnya jamur dan mikroalga
mempunyai spora yang terletak di luar sel (eksospora). Endospora jauh lebih tahan
terhadap pengaruh luar yang buruk dari pada bakteri biasa yaitu bakteri dalam
bentuk vegetatif. Tipe spora berdasarkan letak endospora bakteri yaitu:
a. Spora terminal, bila letak spora di ujung sel vegetatif
b. Spora lateral, bila letak spora di tepi sel vegetatif
c. Spora sentral, bila letak spora di tengah sel vegetatif
Spora bakteri ini dapat bertahan sangat lama, ia dapat hidup bertahun - tahun
bahkan berabad - abad jika berada dalam kondisi lingkungan yang normal.
Kebanyakan sel vegetatif akan mati pada suhu 60-70oC, namun spora tetap hidup,
spora bakteri ini dapat bertahan dalam air mendidih bahkan selama 1 jam lebih.

Selama kondisi lingkungan tidak menguntungkan, spora akan tetap menjadi spora,
sampai kondisi lingkungan dianggap menguntungkan, spora akan tumbuh menjadi
satu sel bakteri yang baru dan berkembang biak secara normal (Volk & Wheeler,
1988).
Bakteri dalam bentuk spora lebih tahan terhadap desinfektan, sinar,
kekeringan, suhu yang terlalu tinggi dan suhu yang terlalu rendah. Hal ini
disebabkan karena dinding spora yang impermeable, sedangkan banyaknya asam
ribonukleat di dalam protoplasma dapat menawar pengaruh buruk dari sinar, terlebih
sinar ultra ungu. Karena spora juga mengandung sangat sedikit air, maka keadaan ini
menyebabkan spora tidak mudah mengalami perubahan temperatur (Dwidjoseputro,
2005).
Pembentukan spora dapat dianggap sebagai suatu proses diferensiasi dari
suatu siklus hidup dalam keadaan-keadaan tertentu. Hal ini berbeda dari peristiwa
pembelahan sel karena tidak terjadi replikasi kromosom (Pelczar, 1986).
Salah satu ciri endospora bakteri adalah susunan kimiawinya. Semua
endospora bakteri mengandung sejumlah besar asam dipikolinat yaitu suatu
substansi yang tidak terdeteksi pada sel vegetatif. Sesungguhnya, asam tersebut
merupakan 5-10 % berat kering endospora. Sejumlah besar kalsium juga terdapat
dalam endospora, dan diduga bahwa lapisan korteks terbuat dari kompleks Ca2+
asam dipikolinat peptidoglikan (Pelczar, 1986).
Letak spora di dalam sel serta ukurannya selama pembentukannya tidaklah
sama bagi semua spesies contoh, beberapa spora adalah sentral yaitu dibentuk
ditengah tengah sel yang lain terminal yaitu dibentuk di ujung dan yang lain lagi
lateral yaitu di bentuk di tepi sel (Pelczar, 1986).
Diameter spora dapat lebih besar atau lebih kecil dari diameter sel
vegetatifnya. Dibandingkan dengan sel vegetatif, spora sangat resisten terhadap
kondisi-kondisi fisik yang kurang menguntungkan seperti suhu tinggi dan

kekeringan serta bahan-bahan kimia seperti desinfektan. Ketahanan tersebut


disebabkan oleh adanya selubung spora yang tebal dan keras (Hadioetomo, 1985).
Dalam pengamatan spora bakteri diperlukan pewarnaan tertentu yang dapat
menembus dinding tebal spora. Pewarnaan tersebut adalah dengan penggunaan
larutan hijau malakit 5%, dan untuk memperjelas pengamatan, sel vegetative juga
diwarnai dengan larutan safranin 0,5% sehingga sel vegetative ini berwarna merah.
Dengan demikian ada atau tidaknya spora dapat teramati, bahkan posisi spora di
dalam tubuh sel vegetative juga dapat diidentifikasi.Namun ada juga zat warna
khusus untuk mewarnai spora dan di dalam proses pewarnaannya melibatkan
treatment pemanasan, yaitu; spora dipanaskan bersamaan dengan zat warna tersebut
sehingga memudahkan zat warna tersebut untuk meresap ke dalam dinding
pelindung spora bakteri (Volk & Wheeler, 1988).
Menurut Knaysi dalam Dwidjoseputro (2005) terjadinya spora atau sporulasi
dapat dibagi menjadi 4 tahap, yaitu:
1. Tahap permulaan, di mana koloni menunjukkan pertumbuhan yang sangat lambat
2. Selama beberapa jam kelihatan adanya bahan-bahan lipoprotein yang mengumpul ke
salah satu ujung sel, sehingga ujung itu tampak padat
3. Msaka timbullah bungkus yang menyelubungi calon spora. Selubung terdiri dari 2
lapis, yaitu kulit luar (eksin) dan kulit dalam (intin). Pada beberapa spesies intin itu
menjadi dinding sel, apabila spora melanjutkan pertumbuhannya menjadi bakteri
biasa. Dinding spora impermeabel bagi zat-zat yang dapat mengganggu kehidupan
bakteri
4. Pada tahap yang terakhir maka spora tampak berubah bentuk dan berubah volume.
Endospora dapat tetap tinggal di salah satu ujung atau di tengah-tengah sel. Sel dapat
pecah karena perkembangan endospora. Pecahan itu kemudian luluh menjadi satu
dengan medium
D. ALAT DAN BAHAN
Alat
1. Mikroskop
2. Kaca Benda

3.
4.
5.
6.

Mangkuk pewarna
Kawat penyangga
Pipet
Pinset

7. Lampu spiritus
8. Botol penyemprot

Bahan
1. Aquades steril

2. Bikakan murni bakteri


3. Larutan Hijau Malakit 5
%
4. Larutan Safranin 0,5%
5. Kertas lensa
6. Korek api
7. Alkohol 70%
8. Lisol
9. Sabun cuci
10. Lap
11. Kertas tisue

12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
E. CARA KERJA
F.
27. kaca benda yang bersih, lalu dilewatkan di atas nyala api lampu spiritus
Menyediakan
28.
Meneteskan setetes aquades steril di atas kaca benda tersebut
29.
30.

31.
n secara aseptik mengambil inokulum bakteri yang akan diperiksa dan ditaruh di atas tetesan aquade
32.
Meneteskan
larutan Hijau Malakit di atas sediaan itu, lalu dipanaskan di atas nyala api
33.
lampu spiritus selama 3 menit. Menjaga sediaan agar tidak sampai mendidih atau terlalu
kering
34.
35.
Meletakkan
sediaan di atas lewat penyangga di atas mangkuk pewarna, lalu dibiarkan
36.
sampai kering
37.
38.
Membersihkan larutan hijau malakit yang mengering diatas kaca benda dengan
mengalirkan air kran dalam botol penyemprot

39.
40.
41. Larutan safranin diteteskan di atas sediaan, lalu dibiarkan selama 3 menit
42.
43. kelebihan larutan safranin pada sediaan dengan mengalirkan air melalui botol
Mencuci
penyemprot
44.
45.
46.
Sediaan dikeringkan dengan kertas penghisap dan diamati di bawah mikroskop
47.
48.
Mengulangi semua langkah kerja untuk koloni yang berikutnya

49.

G. DATA PENGAMATAN
50.

51.

OLONI
55.

K 1

ADA/TI

52.

53.

DAK ADA

ENTUK

ETAK

SPORA
Ada yang

SPORA
- Bulat

SPORA
- Bebas

sudah

56.

63.

57.

64.

58.

65.

59.

66.

membentuk
spora (warna
-

hijau)
Ada yang
belum
membentuk
spora (warna
merah)

54.
69.

GAMBAR

60.

67.

61.

68.

62. -

Dominan

Bulat
71. 72.

Bebas

73.

tidak
berspora
(berwarna
merah)

70.

K
2

H. ANALISIS DATA
74.
Dari hasi pengamatan pewarnaan spora bakteri yang telah kami
lakukan, dapat diketahui spora bakteri yang terdapat pada koloni bakteri 1 (K1)
yang ditunjukan dengan spora yang berwarna hijau sebagai hasil dari perwarnaan
bakteri dengan larutan malakit hijau, sehingga jika bakteri yang bersprora maka
spora bakteri bersebut akan berwarna hijau, dan pada hasil yang kami peroleh
spora bakteri tersebut terletak bebas dan berbentuk bulat. Pada k1 juga dijumpai
bakteri yang tidak memiliki spora atau belum membentuk spora yang ditunjukan
dengan warna merah karena pemberian pewarna dengan larutan safranin.
Sedangkan pada koloni bakteri 2 (K2) dari hasil pengamatan kami lebih banyak

ditemukan bakteri yang tidak berspora. Pada praktikum morfologi koloni


sebelumnya bakteri yang kami biakan merupakan bakteri yang berbentuk basil
dalam hal ini dapat disimpulkan sementara yaitu saat perwarnaan terjadi sel
vegetatif bakteri telah luruh sehingga menyisakan sporanya saja pada koloni 1.
I. PEMBAHASAN
1. Pembentukan Spora
75.
Dari hasil pengamatan yang telah kami lakukan ditemukan
spora berwarna hijau pada koloni 1 dan berbentuk bulat dan terletak bebas.
Pada praktikum sebelum nya bakteri koloni 1 merupakan bakteri yang
berbentuk basil, dan saat dilakukan pewarnaan dengan larutan malakit hijau
sel vegetative bakteri terdegradasi sehingga hanya menyisakan spora bakteri
saja yang berwarna hijau karena efek pemberian warna dengan larutan
malakit hijau hal tersebut disebakan karena kondisi lingkungan bakteri yang
tidak mendukung karena saat proses pewarnaan juga dilalukan pemanasan
sehingga sel vegetatif bakteri mati dan menyisakan sporanya saja hal tersebut
telah sesuai dengan teori yang ada yaitu sebagai berikut:
76.
Spora bakteri umumnya disebut endospora, karena spora
dibentuk di dalam sel. Ada dua tipe sel spora yang terbentuk, yang pertama
terbentuk di dalam sel, yang disebut dengan endospora dan spora yang
terbentuk di luar sel yang disebut eksospora. Spora bakteri tidak berfungsi
untuk perkembangbiakan. Bentuk spora bermacam-macam, bulat atau bulat
memanjang, bergantung pada spesiesnya. Ukuran endospora lebih kecil atau
lebih besar daripada diameter sel induknya. Kebanyakan bakteri pembentuk
spora adalah penghuni tanah, tetapi spora bakteri dapat tersebar dimana saja
(Waluyo, 2007).
77.
Letak endospora di dalam sel serta ukurannya tidak sama bagi
semua spesies. Beberapa spora letaknya sentral yaitu dibentuk di tengahtengah sel, terminal, yaitu dibentuk di ujung, subterminal yaitu dibentuk di
dekat ujung. Adanya letak serta ukuran endospora sangat bermanfaat di
dalam pencirian dan identifikasi bakteri (Pelczar & Chan, 2008). Terdapat
enam marga bakteri penghasil endospora yaitu Bacillus, Sporolactobacillus,
Clostridium,

Desulfotomaculum,

Sporosarcina,

Thermoactinomycetes.

Sebelum digolongkan menjadi enam marga, bakteri penghasil endospora


dibagi menjadi dua kelompok, yaitu termasuk Marga Bacillus jika
merupakan gram positif, dan termasuk marga Clostridium jika merupakan
gram negatif (Hatmanti, 2000).
78.
Struktur spora dari dalam ke luar secara berurutan yaitu inti
protoplasma yang mengandung komponen penting seluler seperti DNA,
RNA, enzim, asam dipikolinik, kation divalen dan sedikit air. Sebuah
membran dalam yang merupakan cikal bakal sitoplasma membran sel,
dinding sel germinal yang mengelilingi membran dan merupakan cikal bakal
dari dinding sel untuk memunculkan sel vegetatif. Setelah itu, korteks
mengelilingi dinding sel yang mengandung peptida dan glikan. Sebuah
membran luar paraspora dan mantel spora. Di bagian luar korteks dan
membran mengandung lapisan protein yang menyediakan ketahanan untuk
spora. Selama germinasi dan pertumbuhan, korteks dihidrolisis dan membran
luar paraspora dan mantel spora dihilangkan diikuti dengan munculnya sel
(Ray, 2004).
79.
Dinding spora bersifat impermeabel, tetapi zat-zat warna dapat
diserap kedalamnya dengan jalan memanaskan preparat. Sifat impermeabel
ini mencegah dekolorisasi spora oleh alkohol bila diperlakukan dalam waktu
yang sama seperti pada dekolorisasi sel-sel vegetatif (Irianto, 2006). Lapisan
luar spora merupakan penahan yang baik terhadap bahan kimia, sehingga
spora sukar untuk diwarnai. Spora bakteri dapat diwarnai dengan dipanaskan.
Pemanasan menyebabkan lapisan luar spora mengembang, sehingga zat
warna dapat masuk (Lay, 1994). Spora bakteri sangat sulit diwarnai dengan
pewarna biasa, oleh karena itu harus diwarnai dengan pewarna spesifik
(Fardiaz, 1992). Bahan yang digunakan untuk pewarnaan spora dapat
memakai larutan malachite green dan larutan safranin (Waluyo, 2010).
80.
Setiap sel bakteri hanya dapat membentuk satu spora. Struktur
endospora bervariasi untuk setiap jenis maupun spesies, tetapi struktur
umumnya hampir sama. Jika endospora ditempatkan di dalam suatu medium
yang baik, akan terjadi germinasi, spora akan mengambil air dari

sekelilingnya, membengkak dan berkecambah. Lapisan luar spora pecah dan


spora akan tumbuh menjadi sel vegetatif (Fardiaz, 1992).
81.
Menurut Ray (2004), proses sporulasi dapat dibagi ke dalam 7
tahap. Pertama tahap penghentian replikasi DNA, diikuti dengan penjajaran
kromosom di dalam filamen aksial dan pembentukan mesosom. Invaginasi
membran sel dan pembentukan septum. Pembentukan prespora atau
paraspora pun terjadi. Pembentukan dinding sel germinal dan korteks,
akumulasi ion Ca2+ dan sintesis DPN. Deposisi mantel spora, pematangan
spora, dehidrasi protoplas dan resistensi untuk panas. Tahap akhir terjadi lisis
enzimatis pada dinding sel dan pembebasan spora. Siklus sporulasi dapat
dilihat pada Gambar 1.
82.
Spora mengalami perubahan fisikokimia. Protein dengan berat
molekul yang kecil dibentuk dalam jumlah yang besar untuk melapisi DNA
dan memberikan perlindungan terhadap jenis kerusakan DNA. Protein
diuraikan selama perkecambahan untuk menyediakan sumber asam amino.
Asam dipikolinik disintesis di dalam sel vegetatif untuk diberikan kepada
prespora bersama dengan kation divalen (Ca2+), hal ini menyebabkan
dehidrasi dan mineralisasi spora (Todd et al., 2003).
83.
84.
85.
86.

87.
88.
Gambar 1 : Siklus sporulasi. (14) Multiplikasi sel, (5) Pembentukan filamen aksial,
(6) Pembentukan septat, (7) Pembentukan prespora, (8) Pembentukan korteks, (9)
Pembentukan mantel, (10) Spora bebas, (11) Germinasi diikuti dengan aktivasi, (12)
Pembengkakan spora, (13) Pertumbuhan sel (Ray, 2004)
89.

90.

91.

Sel bakteri memiliki kemampuan dalam memonitor sejumlah

sinyal internal dan eksternal. Informasi disalurkan melalui sistem pengaturan


yang terpisah. Komponen regulator transkripsi ini disebut dengan Spo0A.
Spo0A dibentuk untuk mengontrol proses transkripsi dan aktivitas protein
melalui proses fosforilasi. Fosforilasi Spo0A merupakan regulator sporulasi
yang sangat penting dan bekerja mengaktifkan transkripsi pada beberapa
proses sporulasi. Gen spesifik yang digunakan dalam proses sporulasi antara
lain spoIIA, spoIIE dan spoIIG (Errington, 2003). Spo0A merupakan faktor
penting pada proses sporulasi selama perkembangan sel vegetatif (Fujita &
Losick, 2003). Fawcett et al. (2000) telah meneliti ratusan gen pada Bacillus
subtilis, lebih dari 10% gen Bacillus subtilis dikontrol oleh Spo0A.
92.
Kontrol inisiasi dalam pembentukan spora secara substansial
berbeda pada organisme yang berbeda. Hal ini mencerminkan adaptasi
terhadap berbagai lingkungan. Beberapa dari bakteri yang telah diketahui
secara luas, misalnya Epulopiscium yang merupakan bakteri pembentuk
endospora. Epulopiscium berbeda dengan bakteri pembentuk spora lainnya
karena menghasilkan beberapa spora (Angert & Losick, 1998). Bahkan ada
organisme yang berbentuk bulat, misalnya Sporosarcina yang sulit untuk
membentuk sel yang asimetri saat memulai sporulasi, tetapi masih dapat
membentuk endospora dengan menggunakan regulator yang umum
digunakan (Chary et al., 2000).
93.
Sporulasi menghasilkan dua sekat pada sel dengan ukuran yang
berbeda, bagian prespora berukuran lebih kecil dan sel vegetatif dengan
ukuran yang lebih besar dengan pemisahan bahan kromosom di dalam setiap
kompartemen. Pembentukan septum yang asimetris ini merupakan suatu
tahap perkembangan yang diatur oleh beberapa ekspresi gen. Ekspresi gen ini
mempunyai program yang berbeda di antara dua sel tersebut. Dua faktor
sigma F dan E merupakan alat yang mengatur program sel spesifik untuk
mengekspresikan gen. Dua faktor sigma tersebut dibentuk sebelum septum
dibentuk (Errington, 2003). Selama sporulasi, pembelahan sel diarahkan pada

masing-masing kutub sel kemudian terjadi modifikasi septum, sehingga


septum mengandung material dinding sel (Yehuda & Losick, 2002).
94.
Setelah aktivasi F pada sekat prespora, E menjadi aktif di
dalam sel vegetatif. Faktor E disintesis sebagai preprotein inaktif yang
diaktifkan oleh proses proteolitik oleh SpoIIGA yang memiliki aktivitas
protein serin (Labell et al., 1987). SpoIIGA membutuhkan protein spesifik
prespora yang disebut dengan SpoIIR. Pengontrolan SpoIIR diatur oleh
aktivitas F (Karow & Piggot, 1995; Vallejo & Stragier, 1995).
95.
Pembelahan sel yang asimetrik membentuk morfologi yang
unik pada sel. Terbentuk prespora di bagian tepi, material dinding sel di
bagian septum mengalami degradasi dimulai dari pusat dimana septum
mengalami penutupan. Sepasang membran septum bermigrasi ke sekitar
sitosol prespora, membran berpindah dan bertemu di ujung sel tempat terjadi
fusi atau penggabungan. Kemudian dihasilkan prespora yang mempunyai
protoplasma bebas yang dekat dengan sitoplasma sel vegetatif (Margolis et
al., 1993). Korteks spora yang merupakan modifikasi dinding sel disintesis
diluar membran protoplas spora. Mantel spora dibentuk dan berisi berlapislapis protein yang letaknya berada diluar korteks (Todd et al., 2003). Faktor
Lingkungan yang Mempengaruhi Pembentukan dan Ketahanan Spora
96.
Menurut Sembiring & Fachmiasari (2004) selain media,
kondisi fisik untuk pertumbuhan seperti temperatur, pH, dan ketersediaan
oksigen memegang peranan penting dalam pertumbuhan dan sporulasi.
Temperatur pertumbuhan Bacillus thuringiensis berkisar antara 15 C-45 C
dengan temperatur optimum antara 26 C-30 C, tidak terlalu sensitif
terhadap pH dan dapat tumbuh pada pH 5,5-8,5 dengan pH optimum 6,5-7,5.
Ketersediaan oksigen yang cukup selama proses pertumbuhan memegang
peranan penting dalam pertumbuhan Bacillus thuringiensis dan dalam
produksi spora hidup.
2. Bakteri Pembentuk Spora dan Bacillus sp.
97.
Kelompok bakteri pembentuk spora biasanya berbentuk bulat
atau batang dan sebagian mempunyai filamen, berdiameter 0,3-2 m (kecuali
Oscillospira). Dari hasil pewarnaan sebagian besar gram positif. Sel bersifat

motil dengan flagel peritrik dan membentuk endospora yang resisten


terhadap panas (Errington, 2003). Bacillus merupakan bakteri pembentuk
spora yang optimum tumbuh pada suhu mesofilik (35 C-55 C). Kelompok
penting bakteri pembentuk spora lainnya adalah spesies Clostridium.
Clostridium merupakan bakteri anaerob yang dapat tumbuh pada suhu
mesofilik dan termofilik (Cousin, 1989). Clostridium spp. mampu mereduksi
sulfat, membentuk spora basil, spora lebih kecil dari kista protozoa dan
ookista. Spora Clostridium perfringens sangat tahan terhadap kondisi yang
tidak menguntungkan termasuk suhu dan pH ekstrim, juga tahan terhadap
proses desinfeksi seperti klorinasi (NHMRC & NRMMC, 2011). Beberapa
bakteri menunjukkan tingkat resistensi tinggi terhadap klorin. Bakteri
pembentuk spora seperti Bacillus atau Clostridium, Mycobacterium dan
Nocardia sangat tahan terhadap desinfeksi klorin. Klorin dioksida sebanding
dengan klorin bebas untuk inaktivasi bakteri dan virus pada pH netral (WHO,
2004).
98.
oval

Desulfotomaculum menghasilkan spora berbentuk bulat atau


pada

bagian

terminal

dan

subterminal

yang

menyebabkan

pembengkakan pada sel. Sporohalobacter menghasilkan spora berbentuk


bulat di bagian terminal. Sporolactobacillus menghasilkan spora berbentuk
elips dan letaknya terminal, Sporosarcina menghasilkan spora berbentuk
bulat diameternya 0,5-1,5 m, Sulfidobacillus menghasilkan spora berbentuk
bulat atau oval dan letaknya di bagian subterminal dan terminal.
Syntrophospora menghasilkan spora berbentuk oval dan letaknya di bagian
terminal serta membengkak pada sel (Holt et al., 1994).
99.
Transfer interspesifik dan intraspesifik pada DNA di antara
beberapa jenis Bacillus telah dicapai, diantaranya pada Bacillus megaterium,
Bacillus thuringiensis, Bacillus lichenniformis, Bacillus cereus, Bacillus
coagulans,

Bacillus

brevis,

Bacillus

sphaericus,

dan

Bacillus

stearothermophilus. Interaksi genetik ini memberikan pengaruh pada


identifikasi isolat dari berbagai habitat (Hatmanti, 2000). Bacillus berbentuk
batang panjang dan relatif besar, katalase positif, berspora, oksidasi positif

atau negatif, bersifat aerobik atau anaerobik fakultatif, motil atau tidak motil,
memfermentasi glukosa atau tidak dan dapat bersifat fermentatif, oksidatif
atau tidak keduanya (Naufalin, 1999). Famili Bacillaceae kadang-kadang
berbentuk streptobasil, flagel peritrik atau tanpa flagel, gram positif, parasit
atau patogen terutama pada insekta (Irianto, 2006). Jenis Bacillus spp.
menunjukkan bentuk koloni yang berbeda-beda pada medium agar cawan
Nutrien Agar. Warna koloni pada umumnya putih sampai kekuningan atau
putih keruh, tepi koloni bermacam-macam namun pada umumnya tidak rata,
permukaannya kasar dan tidak berlendir, ada yang cenderung kering
berbubuk, koloni besar dan tidak mengkilat. Bentuk koloni dan ukurannya
sangat bervariasi tergantung dari jenisnya. Setiap jenis Bacillus spp. juga
menunjukkan kemampuan dan ketahanan yang berbeda-beda dalam
menghadapi kondisi lingkungannya, misalnya ketahanan terhadap panas,
asam, kadar garam, dan sebagainya (Hatmanti, 2000).
100.
Genus Bacillus memiliki 25 spesies dengan letak endospora di
tengah atau di ujung sporangium (Irianto, 2006). Spora Bacillus mempunyai
resistensi yang lebih dibandingkan sel vegetatifnya (Hatmanti, 2000). Spora
Bacillus memiliki dinding yang tebal dan sangat resisten terhadap kondisi
fisik yang kurang menguntungkan seperti suhu tinggi, kekeringan, radiasi,
asam dan terhadap bahan-bahan kimia seperti desinfektan (Sembiring &
Fachmiasari, 2004). Bila Bacillus subtilis berada dalam kondisi kekurangan
nutrisi dalam media, Bacillus subtilis memiliki strategi bertahan termasuk
motilitas, kemotaksis, produksi enzim, transformasi, pembentukan antibiotik
untuk menekan persaingan nutrisi (Errington, 2003).
101.
Marga Bacillus mudah dibedakan dari kelompok bakteri
penghasil endospora lain. Organisme diklasifikasikan dalam Marga Bacillus
pada umumnya karena membentuk spora dan menunjukkan karakteristik
pada beberapa tes fenotip. Pembagian grup dalam Marga Bacillus didasarkan
pada bentuk spora dan letak sporangium. Bentuk spora yang dihasilkan oleh
Bacillus

spp. bermacam-macam

tergantung

jenisnya.

Bacillus

spp.

membentuk tidak lebih dari satu endospora untuk tiap sel, Bacillus subtilis

dan Bacillus cereus memproduksi spora berbentuk silinder, Bacillus


polymixa dan Bacillus spaericus membentuk spora yang membengkak (lebih
besar dari sel vegetatifnya) (Hatmanti, 2000).
102.
103.
104.
105.
106.
107.
108.
J. KESIMPULAN
109.
Spora bakteri berwarna hijau pada koloni 1 dan berbentuk bulat dan
terletak bebas. Pada praktikum sebelum nya bakteri koloni 1 merupakan bakteri
yang berbentuk basil, dan saat dilakukan pewarnaan dengan larutan malakit hijau
sel vegetative bakteri terdegradasi sehingga hanya menyisakan spora bakteri saja
yang berwarna hijau karena efek pemberian warna dengan larutan malakit hijau
hal tersebut disebakan karena kondisi lingkungan bakteri yang tidak mendukung
karena saat proses pewarnaan juga dilalukan pemanasan sehingga sel vegetatif
bakteri mati dan menyisakan sporanya saja hal tersebut telah sesuai dengan teori
yang ada
110.

111.

Daftar Rujukan .

112.
113. Angert, E.R. & Losick, R.M. 1998. Propagation by Sporulation in The
Guinea Pig
Symbiont Metabacterium polyspora. Proceedings of
The National Academy of Sciences. USA. 95. pages. 1021810223.
114. Chary, V.K., Hilbert, D.W., Higgins, M.L. & Piggot, P.J. 2000. The
Putative DNA
Translocase SpoIIIE is Required for Sporulation of The
Symmetrically
Dividing Coccal Species Sporosarcina ureae.
Molecular Microbiology. 35.
612622.
115. Cousin, M.A. 1989. Sporeforming Bacteria in Foods. Purdue
University Press. West Layfayette.
116.

Dwidjoseputro. 2005. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Jakarta: Djambatan.

117. Errington, J. 2003. Regulation of Endospore Formation in Bacillus


subtilis. Nature Reviews. 1: 117-126.
118. Fachmiasari A & Sembiring T. 2004. Kombinasi Ekstrak Kedelai
dengan Tepung Jagung dan Tapioka Sebagai media Produksi Kristal
Spora Bacillus
Thuringiensis. Jurnal Tekonologi Indonesia LIPI Press
27:33-49.
119. Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi Pangan1. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
120. Fawcett, P., Eichenberger, P., Losick, R. & Youngman, P. 2000. The
Transcriptional Profile of Early to Middle Sporulation in Bacillus
subtilis. Proceedings of the
National Academy of Science. USA. 97.
pages. 8063- 8068.
121. Fujita, M. & Losick, R. 2003. The Master Regulator for Entry into
Sporulation in
Bacillus subtilis becomes a Cell-Specific Transcription
Factor After
Asymmetric Division. Genes Development. 17: 1166
1174.
122. Hadioetomo, R.S. 1985.Mikrobiologi Dasar dalam Praktek.Jakarta:
PT Gramedia.
123. Hastuti, S.U. 2015. Petunjuk Praktikum Mikrobiologi . Malang: UMM
Press.
124. Hatmanti, A. 2000. Pengenalan Bacillus spp.. Balitbang Lingkungan
Laut, Puslitbang Oseanologi-LIPI. 25(1): 31-41.

125. Holt, J., G. Krieg, N., R. Sneath, P., H.A. Staley, J., T. Williams, S., T.
1994.
Bergeys Manual of Determinative Bacteriology. Edisi ke-9.
Williams &
Wilkins. 559-561.
126. Irianto. 2006. Mikrobiologi Menguak Dunia mikrobiologi. Bandung:
CV YRAMA
127. Karow, M.L., Glaser, P. & Piggot, P.J. 1995. Identification of a Gene,
spoIIR, that
Links the Activation of E to The Transcriptional
Activity of F During
Sporulation in Bacillus subtilis. Proceedings of
The National Academy of
Sciences. USA. 92. pages. 20122016.
128. Lay, B., W. 1994. Analisis Mikroba di Laboratorium. Jakarta: PT.
RajaGrafindo
Persada.
129. Labell, T.L., Trempy, J.E. & Haldenwang, W.G. 1987. Sporulation
Specific Factor 29 of Bacillus subtilis is Synthesized from a Precursor
Protein, P31.
Proceedings of The National Academy of Sciences.
USA. 84. pages. 1784 1788.
130. Margolis, P., Driks, A. & Losick, R. 1993. Sporulation Gene SpoIIB
from Bacillus
subtilis. Journal Bacteriology. 175: 528540.
131. Naufalin R. 1999. Isolasi, Identifikasi dan Ketahanan Panas Bakteri
Pembentuk
Spora Aerob pada Bumbu Masakan Tradisional. Tesis.
Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
132. [NHMRC & NRMMC] National Health and Medical Research
Council and National
Resource Management Ministerial Council.
2011. Australian Drinking Water Guidelines Paper 6 National Water
Quality Management Strategy. Commonwealth of Australia. Canberra.
133.

Pelczar, M.J. 1986. Dasar-Dasar Mikrobiologi I. Jakarta: UI Press.

134. Pelczar MJ & Chan ECS. 2005.Dasar-Dasar Mikrobiologi 2. Jakarta:


Universitas
Indonesia.
135. Ray B. 2004. Fundamental Food Microbiology. Third Edition. New
York: CRC
Press.
136. Todd, S.J., Moir, A.J., Johnson, M.J. & Moir, A. 2003. Genes of
Bacillus cereus and
Bacillus anthracis Encoding Proteins of the
Exosporium. Journal
Bacteriology. 185: 33733378.
Vallejo, J.A.L. & Stragier, P. 1995. Cell-cell Signaling Pathway
Activating a
Developmental Transcription Factor in Bacillus
subtilis. Genes Development.
9: 503508.

137.

138. Volk dan Wheeler. 1988. Mikrobiologi Dasar. Edisi Kelima. Jakarta:
Erlangga.
139. Waluyo L. 2007. Mikrobiologi Umum. Edisi Revisi. Malang:
Universitas
Muahmmadiyah Malang.
140. [WHO] World Health Organization. 2004. Water Treatment and
Pathogen Control:
Process Efficiency in Achieving Safe Drinking
Water. IWA Publishing. London, UK.
Yehuda, S.B & Losick, R. 2002. Asymmetric Cell Division in B.
subtilis Involves a Spiral-Like Intermediate of the Cytokinetic Protein
FtsZ. Cell. 109: 257 266.

141.

142.
143.
144.
145.
146.
147.
148.
149.
150.
151.
152.
153.
154.
155.
156.
157.
158.
159.
160.

161.
162.
163.
164.
165.
166.

167.

LAMPIRAN

168.
169.
170.
171.
1

172.
173.
174.
175.
176.

177.

Keterangan: Pada koloni 2 bakteri dominan tidak


berspora
1. 178.
Bakteri Basillus tidak berspora (merah)

Keterangan: Pada Koloni 1 bakteri ada yang sudah


membentuk spora dan ada yang belum
2
membentuk spora
1. Bakteri yang belum membentuk spora
(merah)
2. Bakteri yang sudah membentuk spora (hijau)

Anda mungkin juga menyukai