Anda di halaman 1dari 17

Makalah Pemeriksaan Laboratorium Peptisida

Dosen Pengampu : Ladyka Viola Harmawan, M.KM

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Matakuliah


Toksikologi

Di susun oleh :

Diana Puspita Sari

22018006

PROGRAM STUDI D3 TEKNOLOGI LABORATORIUM MEDIK


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKes) PRIMA INDONESIA
2020/202
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Pemeriksaan Laboratorium Peptisida
ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas  pada mata
kuliah Toksikologi. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan
tentang Pemeriksaan tiroid bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Saya mengucapkan terima kasih kepada Ibu Ladyka Viola Harmawan, M.KM, selaku  dosen
Toksikologi yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan
wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi sebagian
pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.

Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Rabu, 10 Juni 2020 

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Pestisida adalah zat untuk membunuh atau mengendalikan hama.
Beberapa jenis hama yang paling sering ditemukan adalah serangga dan
beberapa di antaranya sebagai vektor penyakit. Pestisida juga telah
dikembangkan untuk mengendalikan hama lain misalnya jamur (fungisida) dan
hewan pengerat (rodentisida). Beberapa produk pestisida rumah tangga juga
tersedia untuk mengendalikan hama pengganggu di rumah misalnya lalat dan
nyamuk.
Penggunaan pestisida yang tidak tepat dapat memberikan akibat samping
keracunan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi ketidaktepatan
penggunaan pestisida antara lain tingkat pengetahuan. sikap/perilaku pengguna
pestisida, penggunaan alat pelindung, serta kurangnya informasi yang berkaitan
dengan resiko penggunaan pestisida. Selain itu petani lebih banyak mendapat
informasi mengenai pestisida dari petugas pabrik pembuat pestisida disbanding
petugas kesehatan.
Bahan-bahan kimia pestisida menjadi bahaya besar dalam bentuk yang
terakumulasi di dalam tanah dan perairan. Selain dampak lingkungan berupa
pencemaran air tanah, dampak lain berupa matinya musuh alami dari hama
maupun patogen dan akan menimbulkan resurgensi, yaitu serangan hama yang
jauh lebih berat dari sebelumnya. Kemudian munculnya serangan hama
sekunder akibat predator hama sekunder telah ikut terbunuh dengan adanya
pestisida yang digunakan.Penggunaan dengan dosis di luar batas juga mampu
menimbulkan resistensi patogen terhadap pestisida
Menurut PP RI No.6 tahun 1995 dalam Soemirat (2005), pestisida juga
didefinisikan sebagai zat atau senyawa kimia, zat pengatur tubuh dan
perangsang tubuh, bahan lain, serta mikroorganisme atau virus yang digunakan
untuk perlindungan tanaman. Upaya untuk meningkatkan produksi dengan
tujuan agar tanaman tidak dirusak oleh hama dan penyakit adalah dengan
menggunakan pestisida. Penggunaan pestisida pada tanaman sayuran di dataran
tinggi tergolong sangat intensif, hal ini terutama disebabkan kondisi iklim yang
sejuk dengan kelembaban udara dan curah hujan yang tinggi menciptakan
kondisi yang baik untuk perkembangbiakan hama dan penyakit tanaman
(Munarso, dkk., 2009).
Pestisida (Inggris :pesticide) berasal dari kata pest yang berarti hama
dan cide yang berarti mematikan/racun. Jadi pestisida adalah racun hama.
Secara umum pestisida dapat didefenisikan sebagai bahan yang digunakan
untuk mengendalikan populasi jasad yang dianggap sebagai pest (hama) yang
secara langsung maupun tidak langsung merugikan kepentingan makhluk
hidup. Pestisida sangat berbahaya bagi makhluk hidup, bahkan bisa
menyebabkan kamatian. Padahal bagi petani, pestisidahampir menjadi santapan
keseharian, terutama saat budidaya tanaman yang membutuhkan perawatan
intensif. Pestisida bisa masuk melalui kulit, saluran pernapasan bahkan tertelan
melalui mulut. Kecerobohan pada saat penyemprotan menyebabkan tubuh kita
mengalami keracunan pestisida. (mualim,2002).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dari Pestisida?
2. Apa saja Klasifikasi dan Penggolongan dari Pestisida?
3. Bagaimana Cara Kerja Pestisida?
4. Bagaimana Prosedur Pemeriksaan dan Interpretasi Pestisida?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dari Pestisida
2. Untuk mengetahui bagaimana bentuk Klasifikasi dan Penggolongan
dari  Pestisida?
3. Untuk mengetahui bagaimana Cara Kerja Pestisida
4. Untuk mengetahui bagaimana Prosedur Pemeriksaan dan Interpretasi dari
pestisida
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Pestisida

Pestisida berasal dari kata pest yang berarti hama dan sida yang berasal
darikata cide berarti pembunuh. Pestisida dapat diartikan secara sederhana
sebagai pembunuh hama. Secara umum pestisida dapat didefenisikan sebagai
bahan yang digunakan untuk mengendalikan populasi jasad yang dianggap
sebagai pest (hama) yang secara langsung maupun tidak langsung merugikan
kepentingan manusia.
Pengertian pestisida menurut Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1973
dalam Kementrian Pertanian (2011) dan Permenkes RI
No.258/Menkes/Per/III/1992 adalah semua zat kimia dan bahan lain serta jasad
renik dan virus yang dipergunakan untuk:

1. Memberantas atau mencegah hama dan penyakit yang merusak tanaman,


bagianbagian tanaman atau hasil-hasil pertanian
2. Memberantas rerumputan
3. Mengatur atau merangsang pertumbuhan yang tidak diinginkan
4. Memberantas atau mencegah hama-hama luar pada hewan peliharaan atau
ternak
5. Memberantas atau mencegah hama-hama air
6. Memberantas atau mencegah binatang-binatang dan jasad-jasad renik dalam
bangunanrumah tangga alat angkutan, dan alat-alat pertanian
7. Memberantas atau mencegah binatang-binatang yang dapat menyebabkan
penyakit pada manusia dan binatang yang perlu dilindungi dengan
penggunaan tanaman, tanahdan air.

Menurut PP RI No.6 tahun 1995 dalam Soemirat, pestisida juga didefinisikan


sebagai zat atau senyawa kimia, zat pengatur tubuh dan perangsang tubuh,
bahan lain, serta mikroorganisme atau virus yang digunakan untuk perlindungan
tanaman.
Penggunaan pestisida bertujuan untuk melawan jasad pengganggu
tanaman sehingga dapat menyelamatkan industri pertanian dari kehilangan
produk hasil panen. Pestisida tidak hanya berperan dalam mengendalikan jasad-
jasad pengganggu dalam bidang pertanian saja, namun juga diperlukan dalam
bidang kehutanan terutama untuk pengawetan kayu dan hasil hutan yang
lainnya. Pestisida juga berperan dalam bidang kesehatan dan rumah tangga
yakni untuk mengendalikan vector (penular) penyakit manusia dan binatang
pengganggu kenyamanan lingkungan.

Pestisida tersusun dan unsur kimia yang jumlahnya tidak kurang dari 105
unsur. Namun yang sering digunakan sebagai unsur pestisida adalah 21 unsur.
Unsur atau atom yang lebih sering dipakai adalah C, H, O, N, P, Cl, Fe, Cu, Hg,
Pb, dan Zn, beberapa di antaranya adalah logam berat.

2.2 Klasifikasi dan Penggolongan dari Pestisida

A.    Klasifikasi Pestisida

Sesuai dengan defenisi di atas, menurut bahan asalnya pestisida dibagi


menjadi 3 kelompok besar yaitu (Depkes RI 1982) :

1.    Pestisida yang berasal dari tumbuh-tumbuhan


Contoh : Pyrethrum, Rotenone, dan Allethrin

2.    Pestisida yang berasal dari hewan


Contoh : Nosema Locustae dan Nosema Furniferanae

3.    Pestisida yang berasal dari bahan kimia


Contoh : DDT, Lindane, Chlordrin, Malathion, dan Abate

B.   Penggolongan Pestisida

Pestisida adalah suatu zat kimia yang digunakan jntuk membunuh hama
atau pest. Pest sebagai target pestisida meliputi insekta, jamur, tikus, mites, dan
larva serangga. Pestisida yang beredar dapat digolongkan berdasarkan
kegunaan, struktur kimia, dan toksisitasnya.

1. Penggolongan Berdasarkan Kegunaannya


Berdasarkan kegunaannya pestisida dapat dibagi menjadi :

A. Insektisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia yang bisa


mematikan semua jenis serangga. Contohnya Lebaycid, Lirocide 650 EC,
Thiodan, Sevin, Sevidan 70 WP, Tamaron

B. Fungisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun dan


bisa digunakan untuk memberantas dan mencegah fungsi/cendawan.
Contoh; Benlate, Dithane M-45 80P, Antracol 70 WP, Cupravit OB
21, Delsene MX 200, Dimatan 50 WP.

C. Bakterisida Disebut bakterisida karena senyawa ini mengandung bahan


aktif beracun yang bisa membunuh bakteri.
Contoh; Agrept,Agrimycin,Bacticin,Tetracyclin, Trichlorophenol Streptomycin.

D. Nermatisida, digunakan untuk mengendalikan nematoda.


Contoh; Nemacur, Furadan, Basamid G, Temik 10 G, Vydate.

E. Akarisida atau mitisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia


yang digunakan untuk membunuh tungau, caplak dan laba-laba.
Contoh; Kelthene MF dan Trithion 4 E.

F. Rodenstisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun


yang digunakan untuk mematikan berbagai jenis binatang pengerat,
misalnya tikus.
Contoh; Kelthene MF dan Trithion 4 E.

G. Moluskisida adalah pestisida untuk membunuh moluska, yaitu : siput,


bekicot serta tripisan yang banyak dijumpai di tambak.

Pestisida dapat membunuh organisme dengan cara menimbulkan keracunan


(sebagai senyawa beracun), oleh karena itu kemungkinan juga dapat beracun
atau toksik pada manusia. Pada manusia, pestisida dapat sangat toksik atau
bahkan dapat menyebabkan kematian. Beberapa pestisida yang relatif tidak
toksik dapat mengiritasi kulit, mata, hidung, dan mulut.

2.Penggolongan Beradasarkan Struktur Kimianya

a.    Organoklorin
Organoklorin atau disebut Chlorinated hydrocarcon terdiri dari beberapa
kelompok yang diklasifikasikan menurut struktur kimianya. Yang paling
populer dan pertama kali disentesis adalah dikloro difenil trikloroetan atau
DDT.

b.    Organofosfat
Organophosphat disentesis pertama kali di Jerman pada awal perang
dunia ke II. Bahan tersebut digunakan untuk gas saraf dan sebagai insektisida.
Pada awal sintesisnya diproduksi senyawa tetraethyl pyrophosphate (TEPP),
parathion, dan schordan yang sangat efektif sebagai insektisida, tetapi juga
cukup toksik terhadap mamalia. Penelitian berkembang terus dan ditemukan
komponen yang potensial toksik terhadap insekta tetapi kurang toksik terhadap
manusia, misalnya malation.

c.    Carbamat
Insektisida karbamat betkembang setelah organofosfat. Insektisida ini
toksisitasnya lebih rendah terhadap mamalia jika dibandingkan dengan
organofosfat, tetapi sangat efektif untuk membunuh insekta. Struktur carbamat
seperti fisogtimin, ditemukan secara alamiah dalam kacang Calabar (Calabar
bean). Karbaril telah secara ;uas dipakai sebagai intektisidadengan komponen
aktifnya adalah Sevin.

d.    Insektisida Dari Tanaman


Contoh dari golongan ini adalah nikotin, rotenone, dan pyrethrum.
Nikotin diperoleh dari tanaman Nicotiana tobacum dan Nicotiana
rustica.alkoloid bebasnya diabsorpsi dengan cepat pada permukaan mukosa dan
melalui permukaan kulit. Retenon diperoleh dari tumbuhan Derris elleptica,
Derris mallaccensis, Lanchocappus utilis, dan Lanchocappus urucu. Ingesti oral
terhadap insektisida ini menyebabkan GI iritasi, konjungtivis, dermatitis,
faringitis, dan rhinitis. Pyrethrum mengandung 6 insektisida ester : pyrethrin I,
dan II; cinerin I dan II, dan jasmolin I dan II.sekarang penggunaan pyrethoid
sintetik sebagai insektisida mencapai 30 %.

e.    Herbisida
Secara kimiawi, herbisida terdiri dari 2 goglongan, herbisida chlorophenoxy dan
herbisida bipyridyl.

1)    Herbisida chlorophenoxy
4-Dichlorophenoxy acetic acid (2,4-D), 2,4,5-trich-lorophenoxy acetic acid
(2,4,5-T), dalam bentuk garam dan esternya adalah herbisida utamayang
digunakan untuk merusakrumput liar. Mereka secara berurutan mempunyai
kelas toksisitas 3 dan 4, dengan kemungkinan dosis mematikan pada manusia
50-500 atau 500-5000 mg/kg.

2)    Bipyridyl Herbisida
Paraquat adalah contoh yang paling penting dan golongan ini. Toksisitas
paraquat berada dalam kelas 4, yang dosis letal pada manusia kemungkinan
adalah 50-500 mg/kg. Dibawah ini dicantumkan struktur kimia herbisida dari
chlorophenoxy dan bipyridly.
3. Penggolongan Pestisida Berdasarkan Toksisitasnya
Penggolongan pestisida berdasarkan toksisitasnya dapat bermacam-
macam, seperti berdasarkan toksisitas oralnya toksisitas dermalnya toksisitas
kumulasinya, dan volatilistasnya. Kebanyakan penggolongan toksisitas
berdasarkan pada toksisitas akut oral, inhlasi, dan juga berdasarkan efek iritasi
pada mata dan kulit dari masing-masing pestisida. Toksisitas pestisida
dimasukkan pada golongan toksisitas tertingginya berdasarkan toksisitas
akutnya. Misalnya suatu pestisida berdaarkan toksisitas oral dan dermal akut
tergolong toksik ringan, tetapi toksisitas akut inhlasi termasuk tinggi, maka
pestisida tersebut digolongkan mempunyai toksisitas tinggi.

2.3  Cara Kerja Pestisida

1.  Pestisida Golongan Organoklorin


Insektisida organoklorin bekerja dengan merangsang sistem syaraf dan
menyebabkan paratesia, peka terhadap rangsangan, iritabilitas terganggunya
keseimbangan, tremor dan kejangkejang. Cara kerja zat ini tidak diketahui
secara tepat. Beberapa zat kimia ini bekerja pada sistem syaraf.

2.    Pestisida Golongan Organofosfat dan Karbamat


Pestisida golongan organofosfat dan karbamat memiliki aktivitas
antikolinesterase seperti halnya fisostigmin, neostigmin, piridostigmin,
distigmin, ester asam fosfat, ester tiofosfat dan karbamat. Cara kerja semua jenis
pestisida organofosfat dan karbamat sama yaitu menghambat penyaluran impuls
saraf dengan cara mengikat kolinesterase, sehingga tidak terjadi hidrolisis
asetilkolin.

A. Menurut cara kerjanya, pestisida dibedakan menjadi 3 jenis yaitu :

1. Pestisida Sistemik
Jenis pestisida yang dapat masuk kedalam jaringan tanaman dan
ditranslokasikan kebagian-bagian tanaman lainnya. Pestisida yang disemprotkan
ketanaman akan menempel pada permukaan tanaman dan diserap melalui
stomata, meristem akar dan lentisel batang. Kemudian pestisida menuju
jaringan pengangkut yaitu xylem dan floem dengan melewati sel-sel tanaman.
Melalui xilem dan floem pestisida akan dotranslokasikan keseluruh bagian
tanaman. Sel-sel tanaman yang dilewati akan mengandung residu pestisida,
sehingga hama atau serangga akan mati jika memakan tanaman tersebut. Residu
pestisida sistemik tidak mudah tercuci air hujan dan tahan lebih lama, karena
residu masuk kedalam jaringan tanaman.

2. Pestisida Non Sistemik


Jenis pestisida ini jika disemprotkan ke tanaman hanya akan menempel
pada bagian luar tanaman. Pestisida non sistemik tidak bisa masuk atau tidak
diserap oleh jaringan tanaman. Residu hanya terjadi pada bagian luar tanaman
dan tidak tahan lama karena mudah tercuci air hujan. Lamanya residu
tergantung pada jenis bahan aktif, cara dan waktu aplikasi pestisida tersebut.
Hama atau serangga hanya akan mati jika memakan bagian permukaan tanaman
yang terkena pestisida.

3. Pestisida Sistemik Lokal


Pestisida ini jika disemprotkan ketanaman hanya akan meresidu bagian
permukaan tanaman dan hanya mampu menembus jaringan daun. Pestisida
sistemik lokal hanya akan menembus jaringan daun (efek translaminar) dan
tidak dapat ditranslokasikan kejaringan tanaman lainnya. Hama akan mati jika
memakan permukaan tanaman yang teresidu dan hama yang bersembunyi
dabalik daun akan mati jika memakan bagian bawah daun tersebut.

B. Mekanisme Kerja Pestisida Menurut Cara Meracuninya


Menurut cara meracuninya atau cara masuknya pestisida ke jaringan tubuh
hama, pestisida dibedakan menjadi 3 yaitu :

1. Racun Lambung
Racun lambung atau racun perut adalah pestisida yang membunuh hama
dengan cara masuk ke dalam pencernaan makanan melalui bagian tanaman yang
dimakan. Pestisida jenis ini masuk ke dalam pencernaan hama dan diserap oleh
dinding usus kemudian ditranslokasikan ke tempat sasaran sesuai dengan jenis
bahan aktifnya. Biasanya sasarannya adalah sel-sel lambung, pusat syaraf hama
dan organ respirasi. Hama akan mati jika memakan bagian tanaman yang
mengandung residu pestisida tersebut. Kemampuan membunuh hama dan
kekuatan residunya tergantung dari jenis bahan aktif yang digunakan.

2. Racun Kontak
Jenis pestisida ini akan membunuh hama jika mengenai langsung ketubuh
hama tersebut. Pestisida masuk ketubuh hama melalui kulit, mulut, atau trachea
hama tersebut. Hama akan mati jika tubuhnya bersentuhan langsung dengan
pestisida tersebut.
3. Racun Pernafasan
Pestisida jenis ini akan membunuh hama jika partikel mikro pestisida
yang melayang diudara terhirup oleh alat pernafasan hama tersebut. Kekuatan
membunuh dan residunya tergantung jenis bahan aktif dan dosis yang
digunakan.

a. Pestisida sistemik atau sistemik lokal efektif digunakan untuk membunuh


hama tanaman yang ada didalam jaringan tanaman. Misalnya hama penggorok
daun,penggerek batang, atau penggerek buah.

b. Pestisida kontak, sistemik dan lambung efektif digunakan untuk


mengendalikan hama tanaman dengan mobilitas tinggi, seperti belalang, kutu
gajah, lalat buah dan lain sebagainya. Karena pada saat penyemprotan
kemungkinan hama tersebut tidak ada ditempat atau terbang, dan beberapa
waktu kemudian akan kembali. Dan hama akan mati jika memakan bagian
tanaman yang masih mengandung residu. Untuk jenis hama ini efektif
dikendalikan dengan pestisida dengan efek residu yang lama.

c. Racun pernafasan efektik digunakan untuk mengendalikan hama mobilitas


tinggi, karena walaupun tidak terkena secara langsung, hama akan mati jika
menghirup partikel mikro pestisida yang terbang diudara.

d. Pestisida sistemik lokal dengan efek translaminarnya cocok digunakan untuk


membunuh hama yang suka bersembunyi dibalik daun.

2.4 Prosedur Pemeriksaan dan Interpretasi Pestisida

Cholinesterase

1.    Pengertian Cholinesterase
Asetylcholinesterase atau cholinesterase (ChE) adalah enzim yang
berfungsi menghidrolisis acetylcholine. Cholinesterase atau disebut enzim
asetylcho-linesterase adalah suatu enzim yang terdapat di dalam membran sel
terminal syaraf kolinergik juga pada membran lainnya, seperti dalam plasma
darah, sel plasenta yang berfungsi sebagai katalis untuk menghidrolisis
acetylcholine menjadi choline dan asetat.
Acetylcholine adalah suatu agen yang terdapat dalam fraksi ujung syaraf
dari sistem syaraf yang akan menghambat penyebaran impuls dari neuron ke
post ganglionik. acetylcholine merupakan bahan penghantar rangsang saraf
(neurotransmitter) yang disintesis di dalam ujung serabut saraf motorik melalui
proses asetilasi kolin ekstrasel dan koenzim a yang memerlukan enzim
asetiltransferase. Acetylcholine disimpan dalam kantung atau gudang yang
disebut vesikel. Neurotransmiter merupakan senyawa kimia pembawa pesan
yang Meneruskan informasi elektrik dari sebuah neuron ke neuron lain atau sel
efektor(abdilah, 2013).

2.    Jenis-Jenis Cholinesterase 
Ada dua jenis cholinesterase didalam tubuh, yaitu cholinesterase I atau
cholinesterase sejati serta cholinesterase II atau pseudokolin esterase. Enzim
yang kedua ini disebut juga sebagai asilkolin asilhidrolase atau benzoil
cholinesterase. Enzim ini terdapat dalam sel darah merah, paru-paru, ujung
saraf, lempeng motorik di sambungan saraf otot rangka, limpa, dan substansi
kelabu dari otak.Di dalam tubuh, enzim ini dengan cepat sekali memecah
asetilkolin menjadi asetat dan kolin. Proses ini sangat penting dalam
pengantaran impuls saraf melalui sambungan saraf atau sinaps.
Cholinesterase II ditemukan dalam hati, jantung, pancreas, substansi putih dari
otak dan serum. Meskipun fungsi enzim ini dalam fisiologi belum diketahui,
akan tetapi pengukuran enzim ini secara klinis bermanfaat. Sedikit sulit untuk
membedakan kedua jenis cholinesterase ini, oleh karena keduanya sama-sama
dapat menghidrolisis substrat sintesis asetilkolin bromida menjadi ion asetat
(Sadikin, 2002).  Kedua enzim ini juga sama dihambat secara bersaing oleh
alkaloid prostigmin dan fisostigmin. Kedua alkaloid, seperti juga asetilkolin,
mempunyai amino kuaterner.Selain itu, kedua enzim ini sama-sama
memerlukan gugus –OH serin dalam situs katalitiknya agar dapat berfungsi,
karena keduanya tergolong ke dalam hidrolase serin. Akibatnya, keduanya
dapat dihambat dengan cara fosforilasi gugus ini dengan menggunakan senyawa
fosfat organik seperti DPFP (diisopropil fluorofosfat). Selain itu berbagai
senyawa penghambat yang sama dapat menghambat aktivitas kedua enzim ini
(Sadikin, 2002). 

3.    Aktivitas Cholinesterase di Dalam Serum 


Aktivitas cholinesterase dalam serum sering disebut pseudo-kolinesterase
(CHS), untuk membedakannya dari asetilkolinesterase (AcCHS) “sejati”, yang
ditemukan di eritosit dan ujung saraf. Asetilkolin adalah transmitter yang
dibebaskan di endplate neuron motorik oleh impuls listrik yang merambat dari
ujung saraf ke arah otot.Asetilkolin berdifusi dari ujung saraf ke otot dan
menyebabkan depolarisasi listrik selsel otot, diikuti oleh kontraksi otot.
Asetilkolin kemudian dengan cepat diuraikan menjadi asetat dan kolin oleh
AcCHS di tempat pascasinaps untuk menghentikan proses. Kegagalan
menginaktifkan asetilkolin menyebabkan paralisis otot (Sacher, 2004).  
Pseudokolinesterase dalam serum (CHS) disintesis pada hepatosit. AcCHS dan
CHS merupakan enzim yang berbeda, yang dapat diidentifikasi dalam
laboratorium berdasarkan sifat-sifat katalitiknya. AcCHS memiliki rentang
spesifisitas substrat yang sempit, sedangkan CHS mampu bekerja pada beragam
ester kolin. Selain itu, AcCHS aktif optimum pada konsentarsi asetilkolin yang
rendah dan dihambat oleh konsentrasi yang tinggi, sedangkan CHS aktif pada
konsentrasi substrat yang tinggi maupun rendah.Baik AcCHS maupun CHS
dihambat oleh senyawa organofosfat seperti insektisida yang biasa digunakan di
bidang pertanian (Sacher, 2004).

4.    Pemeriksaan Enzim Cholinesterase 


Pengukuran enzim ini merupakan petunjuk yang peka untuk melihat fungsi hati.
Jika terjadi penurunan aktivitas dalam serum (bukan kenaikan), hal ini
merupakan petunjuk akan adanya penurunan fungsi hati, terutama fungsi
sintesis.

metode dalam pemeriksaan cholinesterase, yaitu:

a.    Pemeriksaan cholinesterase dengan tintometer kit 


Prinsip kerja pengujian adalah darah yang mengandung enzim cholinesterase
membebaskan asam asetat dari acetylcholine sehingga akan merubah pH larutan
(mixture) darah dan indikator.
1)    Pemeriksaan cholinesterase dengan fotometer

a.    Metode
Metode yang digunakan dalam pemeriksaan enzim cholinesterase adalah
metode fotometrik. 

b.    Prinsip Fotometer   
Fotometer merupakan alat yang digunakan untuk mengukur tingkat
pengabsorpsian energi cahaya oleh suatu sistem kimia sebagai fungsi dari
panjang gelombang. Didalam alat terdapat program, panjang gelombang, dan
faktor untuk masing-masing jenis pemeriksaan, sehingga alat akan mengukur
sampel sesuai dengan jenis pemeriksaan. Sampel yang telah ditambahkan
reagen diaspirasikan oleh pipa khusus. Proses pengetesan dilakukan secara semi
otomatis dan hasil pembacaannya dikonversikan menjadi hasil akhir tes
kuantitatif.

c.    Prinsip pemeriksaan cholinesterase  


Cholinesterase (CHE) mengkatalisis hidrolisis dan butiriltiocolin menjadi
tiokolin menjadi asam butirik.Konsentrasi tiokolin dan asam butirik ditentukan
dari pengukuran jumlah heksasianoferat (III) pada panjang gelombang 405 nm.
Butiril-tiokolin+H2OCHE tiokolin + asam butirik 2 tiokolin + 2 OH+2
heksasianoferat (III) dithiobis (kolin)+2 heksasianoferat (III)
Prosedur  Penelitian

a.    Pengambilan Sampel

1)    Pengambilan sampel darah vena

a) Memilih lengan yang banyak melakukan aktivitas dan saat pengambilan


sampel posisi lengan pasien harus lurus, jangan membengkokan siku.
b) Meminta pasien untuk mengepalkan tangan.
c) Memasang tourniquet ± 10 cm diatas lipat siku.
d) Memilih vena mediana cubiti atau chepalic.
e) Membersihkan kulit pada bagian yang akan diambil darahnya dengan alkohol
70% dan dibiarkan kering untuk mencegah terjadinya hemolisisi dan rasa
terbakar. Kulit yang sudah dibersihkan jangan dipegang lagi.
f)  Menusuk bagian vena tadi dengan lubang jarum menghadap ke atas dengan
sudut kemiringan antara jarum dan kulit 150 C. Bila jarum berhasil masuk
vena, akan terlihat darah masuk dalam spuit. Bila darah tidak keluar, posisi
penusukan harus diganti (bila terlalu dalam, ditarik sedikit dan sebaliknya),
mengusahakan darah dapat keluar dengan satu kali tusuk.
g) Tourniquet dilepaskan setelah volume darah 2 cc dan meminta pasien untuk
membuka kepalan tangannya.
h) Jarum ditarik/dilepaskan dan segera diletakkan kapas alkohol 70% diatas
bekas suntikan untuk menekan bagian tersebut selama ± 2 menit, setelah
darah berhenti, plester diletakkan pada bagian ini selama ± 15 menit. Jangan
menarik jarum sebelum tourniquet dibuka. (sumber: panduan Good
Laboratory Practice Depkes RI, 2004)

b.    Pengolahan Serum

1)    Darah dibiarkan membeku terlebih dahulu pada suhu kamar selama 20-30
menit, kemudian disentrifus 3000 rpm selama 5-15 menit.
2)    Pemeriksaan serum dilakukan dalam waktu 2 jam setelah pengambilan
sampel.
3)    Serum yang memenuhi syarat harus tidak kelihatan merah (lisis) dan keruh
(lipemik). (sumber: panduan Good Laboratory Practice Depkes RI, 2004)
c.    Pemeriksaan kadar cholinesterase.

1)    Metode pemeriksaan
Metode yang digunakan dalam pemeriksaan enzim cholinesterase adalah
metode fotometrik.

2)    Prinsip 
Prinsip Cholinesterase (CHE) mengkatalisis hidrolisis dan butiriltiocolin
menjadi tiokolin menjadi asam butirik. Konsentrasi tiokolin dan asam butirik
ditentukan dari pengukuran jumlah heksasianoferat (III) pada panjang
gelombang 405 nm. Butiril-tiokolin+H2OCHE tiokolin+asam butirik 2 tiokolin
+ 2 OH + 2 heksasianoferat (III) dithiobis (kolin) + 2 heksasianoferat (III)

3)    Preparasi reagen
Work Reagen (WR) : masukkan reagen B kedalam reagen A, homogenkan  (4
ml Reagen A + 1 ml reagen B).

4)    Skema pipetasi
a)    Work Reagen 1,5 ml
b)    Sampel 25 µl
Homogenkan, ukur dengan fotometer dengan panjang gelombang 405 nm dan
pada suhu 370 C (leaflet biosystem)

    Interprestasi hasil
Laki-laki                 4620-11500 U/L
Perempuan            3930-10800 U/L 

BAB III

PENUTUP
A.Kesimpulan
Pestisida merupakan bahan kimia atau bahan alami yang memberantas
populasi hama terutama dengan cara membunuh organisme hama, seperti
serangga, penyakit, gulma atau hewan. Jadi pestisida disebut sebagai racun
hama. Yang pada umumnya merupakan bahan yang digunakan untuk
mengendalikan populasi jasad yang dianggap sebagai pest (hama) yang secara
langsung maupun tidak langsung merugikan kepentingan makhluk
hidup. Pestisida sangat berbahaya bagi makhluk hidup, bahkan bisa
menyebabkan kamatian. Pestisida bisa masuk melalui kulit, saluran pernapasan
bahkan tertelan melalui mulut. Kecerobohan pada saat penyemprotan
menyebabkan tubuh kita mengalami keracunan pestisida.

DAFTAR PUSTAKA
Olson. K. R. 2001. Direktoraat Pupuk Dan Pestisida, Pestisida Hygiene Lingkungan,
Dit Pupuk Dan Pestisida Ditjen Bina Sarana Pertanian Deptan RI. Jakarta.

Raini. M. 2007. Toksikologi Pestisida dan Penanganan Akibat Keracunan Pestisida.


Jurnal Media Litbang Kesehatan. Diakses padda Mei 2015

Soemirat. J. 2003. Toksikologi Lingkungan. Bandung. Universitas Gajah Mada


(UGM)

Ames. R. G., Brown. SK. Mengle D.C., Khan. E., Stratton. J.W., Jacktion R.J.,
Cholinesterase Activity Depression Among California Agrikultural Pesticide
Aplicators. Industri. Med; 1989, 15:143 – 150.

Darmansyah. I., Gan. Sulistia. 1987. Kolinergik dalam farmakologi dan terapi ed3.
Farmakologi FKUI. Jakarta.

https://deeresnewbie.blogspot.com/2019/08/pemeriksaan-laboratorium-keracunan.html?m=0

https://mitalom.com/jenis-jenis-pestisida-berdasarkan-mekanisme-kerjanya/

Anda mungkin juga menyukai