Anda di halaman 1dari 19

BIOTRANSFORMASI TOKSIKAN

MAKALAH

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas kelompok mata kuliah toksikologi
jurusan teknologi laboratorium medik

Disusun oleh

1. Nabilah Delia Noviana (22018025)

2. Nada Danilah Hasbi (22018026)

3. Nur Aulia Farikha (22018028)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKes) PRIMA INDONESIA

Jurusan D3 Teknologi Laboratorium Medik (TLM)

Jl. Raya Babelan KM 9,6, Kelurahan Kebalen, Kecamatan Babelan, Bekasi Utara 17610

Telp. (021) 89134420 dan website: www.stikesprimaindonesia.ac.id


KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena atas berkat

dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah toksikologi ini tentang

“Biotransformasi Toksikan” dengan baik dan tepat pada waktunya. Adapun

makalah toksikologi ini telah kami usahakan semaksimal mungkin.

Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari bahwa masih banyak

kekurangan dan keterbatasan dari segi penyusun bahasanya maupun segi lainnya

yang kami miliki. Untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangatlah

kami perlukan untuk pengembangan makalah ini kedepan.

Harapan kami semoga makalah toksikologi ini dapat menambah

pengetahuan dan wawasan bagi pembaca, dapat memberikan pemahaman bagi

pembaca, serta dapat dijadikan pedoman bagi pembaca untuk lebih mendalami

materi ini.

Bekasi, 10 April 2020

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................iv
DAFTAR TABEL..................................................................................................v
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
A. Latar Belakang........................................................................................1
B. Rumusan Masalah...................................................................................1
C. Tujuan......................................................................................................1
D. Manfaat....................................................................................................1
BAB II.....................................................................................................................2
PEMBAHASAN.....................................................................................................2
A. Pengertian Biotransformasi.......................................................................2
B. Enzim Biotransformasi..............................................................................3
C. Tahapan Reaksi Biotransformasi...............................................................6
D. Faktor yang Mempengaruhi Biotransformasi..........................................11
BAB III..................................................................................................................13
PENUTUP.............................................................................................................13
A. Kesimpulan............................................................................................13
B. Saran.......................................................................................................13
DAFTAR REFERENSI.......................................................................................14
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR TABEL
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Di dalam tubuh, suatu senyawa xenobiotik akan mengalami
mekanismebiotransformasi. Dengan mekanisme tersebut diharapkan senyawa
xenobiotikyang masuk dapat diekskresikan dari tubuh. Hasil metabolisme ini ada
yangbersifat menjadi tidak toksik dan ada juga yang menjadi lebih aktif
(Siswandono,2000). Dalam biotransformasi toksikan, dibentuk sejumlah metabolit
elektrofilikyang sangat reaktif. Beberapa metabolit ini dapat bereaksi dengan
unsur-unsur seldan menyebabkan kematian sel atau pembentukan tumor (Lu,
1995).

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari makalah ini yaitu :

C. Tujuan
Tujuan dari makalah ini yaitu :

D. Manfaat
Manfaat dari makalah ini yaitu :
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Biotransformasi

Gambar 1. Skema singkat metabolisme obat

Biotransformasi atau metabolisme obat adalah proses perubahan struktur


kimia obat yang terjadi dalam tubuh dan dikatalisis oleh enzim. Pada proses ini
molekul obat diubah menjadi lebih polar artinya lebih mudah larut dalam air dan
kurang larut dalam lemak sehingga lebih mudah diekskresi melalui ginjal.

Selain itu, pada umumnya obat menjadi inaktif, sehingga biotransformasi


sangat berperan dalam mengakhiri kerja obat. Tetapi, ada obat yang metabolitnya
sama aktif, atau lebih aktif. Ada obat yang merupakan calon obat (prodrug) justru
diaktifkan oleh enzim biotransformasi ini. Metabolit aktif akan mengalami
biotransformasi lebih lanjut dan diekskresi sehingga kerjanya berakhir.
Biotransformasi terjadi terutama dalam hati dan hanya dalam jumlah yang sangat
rendah terjadi dalam organ lain misalnya dalam usus, ginjal, paru-paru, limfa,
otot, kulit atau dalam darah.

B. Enzim Biotransformasi

Gambar 2. Diagram metabolisme obat

Enzim yang berperan dalam biotransformasi obat dapat dibedakan


berdasarkan letaknya dalam sel, yakni enzim mikrosom yang terdapat dalam
retikulum endoplasma halus (yang pada isolasi in vitro membentuk mikrosom)
dan enzim non-mikrosom. Kedua macam enzim metabolisme ini terutama
terdapat dalam sel hati, tetapi juga terdapat di sel jaringan lain misalnya ginjal,
paru, epitel saluran cerna, dan plasma.

Pada lumen saluran cerna juga terdapat enzim non-mikrosom yang


dihasilkan oleh flora usus. Enzim mikrosom mengkatalisis reaksi konjugasi
glukuronid, sebagian besar reaksi oksidasi obat, serta reaksi reduksi dan hidrolisis.
Sedangkan enzim non-mikrosom mengkatalisis reaksi konjugasi lainnya, beberapa
reaksi oksidasi, serta reaksi reduksi dan hidrolisis.

Sebagian besar biotransformasi obat dikatalisis oleh enzim mikrosom hati,


demikian juga biotransformasi asam lemak, hormon steroid, dan bilirubin. Untuk
itu obat harus larut lemak agar dapat melintasi membran, masuk ke dalam
retikulum endoplasma, dan berikatan dengan enzim mikrosom.

Sistem enzim mikrosom untuk reaksi oksidasi disebut oksidase fungsi


campur (mixed-function oxidase = MFO) atau monooksigenase, dengan sitokrom
P-450 adalah komponen utama dalam sistem enzim ini. Reaksi yang dikatalisis
oleh MFO meliputi reaksi N- dan O-dealkilasi, hidroksilasi cincin aromatik dan
rantai sampingnya, deaminasi amin primer dan sekunder, serta desulfurasi.

Berbeda dengan enzim non-mikrosom, enzim mikrosom dapat dirangsang


maupun dihambat aktivitasnya oleh zat kimia tertentu termasuk yang terdapat di
lingkungan. Zat ini menginduksi sintesis enzim mikrosom tanpa perlu menjadi
substratnya. Zat penginduksi enzim ini dibagi atas 2 golongan, yakni kelompok
yang kerjanya menyerupai fenobarbital dan kelompok hidrokarbon polisiklik.
Fenobarbital meningkatkan biotransformasi banyak obat, sedangkan hidrokarbon
polisiklik meningkatkan metabolisme beberapa obat saja.

Penghambatan enzim sitokrom P-450 pada manusia dapat disebabkan


misalnya oleh simetidin dan etanol. Berbeda dengan penghambatan enzim yang
langsung terjadi, induksi enzim memerlukan waktu pajanan beberapa hari bahkan
beberapa minggu sampai zat penginduksi terkumpul cukup banyak. Hilangnya
efek induksi juga terjadi bertahap setelah pajanan zat penginduksi dihentikan.

Beberapa obat bersifat autoinduktif artinya merangsang metabolismenya


sendiri, sehingga menimbulkan toleransi. Karena itu diperlukan dosis yang lebih
besar untuk mencapai efektivitas yang sama. Pemberian suatu obat bersama
penginduksi enzim metabolismenya, memerlukan peningkatan dosis obat.
Misalnya, pemberian warfarin bersama fenobarbital, memerlukan peningkatan
dosis warfarin untuk mendapatkan efek antikoagulan yang diinginkan. Bila
fenobarbital dihentikan, dosis warfarin harus diturunkan kembali untuk
menghindarkan terjadinya perdarahan yang hebat.

Oksidasi obat-obat tertentu oleh sitokrom P-450 menghasilkan senyawa


yang sangat reaktif, yang dalam keadaan normal segera diubah menjadi metabolit
yang stabil. Tetapi, bila enzimnya diinduksikan atau kadar obatnya tinggi sekali,
maka metabolit antara yang terbentuk juga banyak sekali. Karena inaktivasinya
tidak cukup cepat, maka senyawa tersebut sempat  beraksi dengan komponen sel
dan menyebabkan kerusakan jaringan, contohnya adalah parasetamol.

Enzim non-mikrosom mengkatalisis semua reaksi konjugasi yang bukan


dengan glukuronat yaitu konjugasi dengan asam asetat, glisin, glutation, asam
sulfat, asam fosfat, dan gugus metil. sistem ini juga mengkatalisis beberapa reaksi
oksidasi, reduksi, dan hidrolisis.

Reaksi hidrolisis dikatalisis oleh enzim esterase nonspesifik di hati,


plasma, saluran cerna, dan di tempat lain, serta oleh enzim amidase yang terdapat
di hati. Reaksi oksidasi terjadi di mitokondria dan plasma sel hati serta jaringan
lain, dan dikatalisis oleh enzim alkohol dan aldehid dehidrogenase, xantin
oksidase, tirosin hidroksilase, dan monoamin oksidase.

Reaksi reduksi mikrosomal dan nonmikrosom terjadi di hati dan jaringan


lain untuk senyawa azo dan nitro, misalnya kloramfenikol. reaksi ini seringkali
dikatalisis oleh enzim flora usus dalam lingkungan usus yang anaerob.

Karena kadar terapi obat biasanya jauh dibawah kemampuan maksimal


enzim metabolismenya, maka penghambatan kompetitif antara obat yang menjadi
substrat bagi enzim yang sama jarang terjadi. Penghambatan kompetitif
metabolisme obat hanya terjadi pada obat yang kadar terapinya mendekati
kapasitas maksimal enzim metabolismenya, misalnya difenilhidantoin yang
dihambat metabolismenya oleh dikumarol dan 6-merkaptopurin yang dihambat
metabolismenya oleh allopurinol. Akibatnya, toksisitas obat yang dihambat
metabolismenya meningkat.

C. Tahapan Reaksi Biotransformasi

Penyelidikan proses biokimia yang berperanan pada perubahan zat asing,


dikenal sebagai xenobiokimia, mutlak diperlukan untuk pemahaman manifestasi
toksikologi. Hal-hal yang berlangsung dalam hal ini, yaitu biotransformasi, dapat
digolongkan menjadi:

a.  Reaksi fase I (Reaksi penguraian), yaitu: pemutusan hidrolitik, oksidasi dan
reduksi. Umumnya reaksi fase I mengubah bahan yang masuk ke dalam sel
menjadi lebih bersifat hidrofilik (mudah larut dalam air) daripada bahan asalnya.

b.  Reaksi fase II (Reaksi konjugasi), terdiri dari reaksi sintesis dan konjugasi. Oleh
reaksi konjugasi maka zat yang memiliki gugus polar (-OH, -NH2, -COOH),
dikonjugasi dengan pasangan reaksi yang berasal dari tubuh sendiri dan lazimnya
diubah menjadi bentuk yang larut dalam air, dan dapat diekskresikan dengan baik
oleh ginjal. Reaksi fase II ini merupakan proses biosintesis yang mengubah bahan
asing atau metabolit dari fase I membuat ikatan kovalen dengan molekul endogen
menjadi konjugat.

Reaksi penguraian (fase 1) biasanya disusul oleh reaksi konjugasi (fase 2).

A. REAKSI PENGURAIAN
1.  Pemutusan hidrolitik
Bila suatu molekul dihidrolisis ia dipecah menjadi dua molekul karena
pengambilan satu molekul air. Contohnya adalah pemutusan ester oleh esterase
dengan pembentukan alkohol dan asam. Namun dalam keadaan tertentu stabilitas
ester yang toksik dapat merupakan kerugian, misalnya ester ftalat yang digunakan
sebagai peliat (plasticizer) pada pembuatan bahan plastik. Ester ini sangat lipofil
dan dapat berdifusi keluar dari wadah plastik, misalnya ke dalam bahan makanan
yang mengandung lemak yang disimpan didalamnya atau wadah plastik yang
digunakan pada transfusi darah. Bila peliat ini stabil terhadap berbagai esterase,
maka organisme tidak mampu untuk menguraikannya menjadi alkohol dan asam
dan tidak dapat menguraikannya.
Senyawa-senyawa demikian yang stabil terhadap hidrolisis enzimatik dan
sekaligus peliat yang lipofil, memperlihatkan kecenderungan tertimbun dalam
jaringan lemak organisme.
Mamalia memperlihatkan kadar esterase yang tinggi di dalam plasma dan
di hati. Jadi kapasitas hidrolisis esternya tinggi tetapi sebaliknya pada serangga.
Keadaan ini telah dimanfaatkan pada pengembangan jenis insektisida
organofosfat yang bekerja selektif. Zat ini mengandung suatu gugus ester
tambahan dalam molekul fosfat organik yang dihidrolisis oleh esterase menjadi
asam karboksilat dan alkohol. Mamalia mampu untuk mendetoksifikasi dengan
cepat zat tersebut dengan hidrolisis. Karena serangga lebih sedikit esterasenya,
maka mereka tidak mampu untuk mendetoksifikasi senyawa ini. Tetapi ada pula
usaha untuk pengembangan senyawa fosfat organik dengan toksisitas yang lebih
tinggi pada manusia, seperti pengembangan senyawa fosfat organik sebagai gas
saraf.
Kecuali ester, amida juga dapat dihidrolisis oleh pengaruh katalisis
amidase dengan pembentukan asam dan amina. Dalam hal ini stabilisasi mungkin
dilakukan dengan memasukkan gugus amino dari substituen alkil yang
bertetangga. Pada umumnya amida asam lebih stabil daripada ester karenanya
juga lebih lambat dihidrolisis. Selain itu plasma mengandung relatif lebih sedikit
amidase dibandingkan dengan esterase.

2.  Oksidasi
Enzim yang berperanan pada oksidasi zat asing berada di dalam sel,
terutama di dalam retikulum endoplasma sel hati. Penyelidikan di bidang ini
sering dilakukan dengan mikrosoma, yang diperoleh dari retikulum endoplasma
setelah homogenisasi sel hati. Substrat yang paling cocok untuk reaksi oksidasi ini
adalah senyawa alkohol, aldehida, asam karboksilat, senyawa dengan rantai
samping alifatik yang tidak bercabang dan amina alifatik.
Senyawa asam fenilalkil karboksilat, fenilalkilamina dan sebagainya
dengan rantai samping yang panjang tidak bercabang, dioksidasi menjadi asam
benzoat, bila rantai sampingnya mengandung atom karbon berjumlah ganjil dan
menjadi asam fenilasetat, bila rantai sampingnya mengandung atom karbon
berjumlah genap. Proses demikian merupakan mekanisme detoksifikasi yang
penting.
Proses penguraian secara oksidasi yang serupa berperanan pada proses
self-purification sungai dan kanal. Sabun yang klasik, yaitu garam natrium dan
kalium dari asam-asam lemak yang panjang, tidak bercabang, merupakan substrat
yang baik untuk banyak mikroorganisme yang terdapat di dalam air. Mula-mula
deterjen sintetik dibuat dari parafin (hidrokarbon) yang bercabang banyak yang
dihasilkan sebagai produk samping pada pengilangan minyak bumi karena tidak
cocok untuk dipakai sebagai bahan bakar. Zat hidrokarbon yang bercabang ini
tahan terhadap proses oksidasi yang berperanan dalam self-purification air,
sehingga merupakan deterjen kuat yaitu deterjen yang tidak dapat diuraikan.
Mereka menyebabkan pencemaran air yang berat dan terus menerus yang nampak
dari pembentukan busa dalam sungai dan kanal. Salah satu tanda pertama dari
pencemaran air oleh deterjen adalah menghilangnya serangga yang bergerak di
atas air. Deterjen menurunkan tegangan permukaan, sehingga serangga tenggelam
ke dalam air dan mati terbenam. Solusinya adalah dengan menggunakan deterjen
dengan rantai samping yang tidak bercabang, jadi zat yang dapat diuraikan secara
biologi. Deterjen lunak yaitu deterjen yang dapat diuraikan sudah banyak
digunakan sekarang.
Oksidasi xenobiotika selanjutnya dapat menghasilkan pembentukan
peroksida tokson atau pembentukan H2O2. Peroksida ini kemudian menyerang
substrat biologi dan dengan cara ini menimbulkan lesi kimia, misalnya
methemoglobinemia.
3.  Reduksi
Sebagai reaksi biotransformasi, reaksi reduksi relatif jarang terjadi.
Senyawa nitro dapat direduksi menjadi amina dan senyawa azo diuraikan melalui
reduksi menjadi amina yang sesuai. Senyawa keton dan aldehida yang tahan
oksidasi mungkin terjadi reduksi menjadi senyawa alkohol yang sesuai.

B. REAKSI KONJUGASI
Reaksi konjugasi yang penting adalah konjugasi dengan asam glukuronat,
asam amino (terutama glisina), asam sulfat, dan asam asetat. Kecuali pada
konjugasi dengan asam asetat atau reaksi metilasi, pada konjugasi selalu
dimasukkan gugus asam ke dalam molekul yang meningkatkan sifat hidrofil
secara nyata. Konjugat asam ini cepat diekskresikan oleh ginjal melalui proses
aktif. Reaksi konjugasi bersifat sebagai reaksi detoksifikasi, karena produk
konjugasi hampir selalu tidak aktif secara biologi. Namun dalam beberapa kasus
konjugat dapat dihidrolisis kembali menjadi senyawa asalnya. Hal ini sering
terjadi bila konjugat bersama empedu, mencapai usus.
1.    Konjugasi dengan asam glukuronat
Senyawa alkohol sekunder dan tersier – yang dapat cepat dioksidasi –
dikonjugasi dengan asam glukuronat. Gugus OH-fenolik, gugus karboksil dan
gugus NH2 juga dapat dikonjugasi dengan asam glukuronat. Asam glukuronat
adalah suatu asam yang relatif kuat, yang mengandung gugus OH-alkohol
tambahan dan karena itu sangat hidrofil. Pada pembentukan glukuronida sifat ini
dipindahkan ke metabolit.

2.    Konjugasi dengan glisina


Asam karboksilat, khususnya asam karboksilat yang tidak dapat diuraikan
lanjut secara oksidasi, dapat membentuk konjugat dengan glisina. Contohnya
adalah asam hipurat yang dibentuk dari asam benzoat dan asam salisilurat yang
terjadi dari asam salisilat.
3.    Konjugasi dengan asam sulfat
Senyawa fenol terutama membentuk konjugat dengan asam sulfat
sehingga terbentuk ester parsial dari asam sulfat. Residu asam sulfat adalah asam
kuat sehingga konjugat sangat hidrofil dan dapat diekskresikan dengan mudah.
Karena itu senyawa fenol sering diekskresikan ke dalam urin sebagai ester asam
sulfat. Perbandingan antara sulfat organik dan sulfat anorganik meningkat kuat
dalam urin setelah penggunaan senyawa fenol atau zat yang diuraikan menjadi
senyawa fenol.

4.    Pembentukan turunan asam merkapturat


Pada reaksi biotransformasi ini terlibat reaksi konjugasi yang berlangsung melalui
beberapa tingkat. Hal ini menyangkut terutama senyawa klor dan brom organik
yang pada proses ini atom halogen diganti oleh gugus asam merkapturat. Zat
aromatik tertentu juga dapat juga dikonjugasi dengan cara ini.
Turunan asam merkapturat sangat hidrofil dan dapat diekskresikan dengan mudah.
Turunan asam merkapturat adalah substrat yang baik untuk sistem transpor aktif
dalam ginjal dan hati.

5.    Metilasi
Metilasi jarang terdapat dalam lingkup reaksi biotransformasi. Contohnya
adalah pembentukan N-metilnikotinamida dari nikotinamida. Basa amonium
kuaterner yang dibentuk dengan cara ini adalah hidrofil dan dapat diekskresikan
secara aktif. Reaksi ini menghasilkan suatu bioinaktivasi dan menjadi suatu
detoksikfikasi meskipun produk yang dihasilkan lebih kurang hidrofil dari zat
asal.

6.    Asetilasi
Xenobiotika dengan gugus amino yang tidak dapat diuraikan secara
oksidasi, sering diasetilasi. Contohnya adalah senyawa amina aromatik, yaitu
gugus amino langsung terikat pada cincin aromatik dan senyawa alkilamina yang
gugus aminonya terdapat pada atom karbon tersier. Asetilasi sulfonamida
menghasilkan penurunan kehidrofilan, sehingga menimbulkan komplikasi
kristaluria sebagai kerja samping sulfonamida. Asetilasi dapat mengurangi daya
kerja, karena gugus amino yang biasanya bermakna untuk aktivitas biologi
tertutup karena asetilasi.

D. Faktor yang Mempengaruhi Biotransformasi


 Faktor Instrinsik
Faktor penting yang mengontrol jalannya reaksi enzymatik dari bahan
asing adalah konsentrasinya dalam pusat aktivitas dari enzym. Konsentrasi ini
tergantung pada Lipophilicity, Protein binding, Doses, dan Route administration.
Lipophilicity penting karena dapat mengatur banyaknya absorbsi dari xenobiotik
dari jalan masuknya (kulit, usus, paru). Bahan kimia yang bersifat lipofilik lebih
mudah diabsorbsi dalam darah, sedangkan bahan yang larut dalam air kurang
cepat diserap.
 Variabel Host
Beberapa kondisi fisiologik, farmakologik, dan faktor lingkungan yang
mempengaruhi proses biotranformasi xenobiotik, yaitu: spesies, strain, umur, sex,
time of day, enzym induksi, enzym penghambat, status gizi, dan status penyakit.
Induksi dari enzym biotranformasi
Proses induksi enzym adalah proses dimana terjadi peningkatan aktivitas yang
diakibatkan peningkatan kecepatan sintesis dari enzym biotransfomasi dan
paparan bahan kimia tertentu dapat juga menginduksi enzym tersebut.
1)  Inhibisi (penghambatan) enzym biotransformasi
Penghambat metabolisme xenobiotik adalah beberapa faktor yang didapat
baik endogen maupun eksogen yang menurunkan kemampuan enzym untuk
melakukan proses metabolisme bahan asing.
2)  Variasi spesies, strain dan genetik
Variasi biotransfomasi diantara spesies digolongkan menjadi perbedaan
kualitatif dan kuantitatif. Perbedaan kualitatif menyangkut rute metabolik yang
diakibatkan oleh kelainan dari spesies atau adanya reaksi ginjal dari spesies. Yang
termasuk pada perbedaan kualitatif adalah kelainan enzym pada spesies tertentu,
reaksi spesies yang unik, evalutionary, dan beberapa aspek genetik. Perbedaan
kualitatif ini predominan pada reaksi fase II. Sedangkan yang termasuk perbedaan
kuantitatif adalah perbedaan konsentrasi enzym, perbedaan isozym cytokrom P-
450, perbedaan reaksi regio spesifik, dan genetika. Perbedaan kuantitatif ini
predominan pada reaksi fase I.
3)  Perbedaan sex pada biotransformasi
Perbedaan respon toksikologi dan farmakologi antara tikus betina dan
jantan pernah diteliti. Pada pemberian fenobarbital dengan dosis yang sama, tikus
betina tidur lebih lama daripada yang jantan.
4)  Efek umur pada biotransformasi
Fetus dan bayi baru lahir menunjukkan kemampuan yang terbatas untuk
biotransformasi xenobiotik sehingga kemungkinan terjadinya keracunan lebih
meningkat pada binatang percobaan yang lebih muda.
5)  Efek dari diet terhadap biotransformasi
Status nutrisi sangat penting dalam mempengaruhi biotranformasi,
defisiensi mineral misalnya Ca, CU, Fe, Mg dan Zn menurunkan reaksi oksidasi
maupun reduksi dari cytokrom P-450.
6)  Efek kelainan hepar (hepatic injury) terhadap biotranformasi
Karena hepar merupakan tempat utama dari biotransformasi xenobiotik
maka penyakit yang mempengaruhi fungsi normal dari hepar dapat pula
mempengaruhi proses biotransformasi. Begitu pula dengan bahan kimia yang
menginduksi gangguan liver akan menurunkan biotrnaformasi.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran
DAFTAR REFERENSI

Anda mungkin juga menyukai